Anda di halaman 1dari 33

Contoh Proposal PTK Pendidikan

Posted on Januari 11, 2008 by Pakde sofa

A. Judul Penelitian

Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan


Berbicara bagi Siswa SMPN 3 Tarakan Kalimantan Timur

oleh Yones P

B. Bidang Kajian

Penelitian ini meliputi Bidang Kajian sebagai berikut:

1 Keterampilan Berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP.

2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP.

C. Pendahuluan

Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam
upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya
adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta
didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai
konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga
akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu
melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah
dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan
generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut
dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan
generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk
berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat
dia sedang berbicara.
Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP,
khususnya keterampilan berbicara, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini
tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah
gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang
lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa
tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia
seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru
(Depdiknas 2004:9).

Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan fenomena


yang hampir sama. Keterampilan berbicara siswa SMP berada pada tingkat yang
rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur
tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif.

Demikian juga keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan,


Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa
yang dinilai sudah terampil berbicara dalam situasi formal di depan kelas.
Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbicara, di
antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat,
kelogisan (penalaran), dan kontak mata.

Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan
siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk
faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari,
banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa
percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan
bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang
digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang
menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan kaidah-
kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk
berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.
Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber
pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru
bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan
miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara
berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar
berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang
disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan
situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara.
Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai
sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan
afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan
serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.

Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah


menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang
bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using
language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa
(form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran
tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara
nyata (Nurhadi, 2000).

Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak


mungkin keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP akan terus berada pada
aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam
mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang
tepat, menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang
masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan
interaktif pada saat berbicara.

Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan


berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung
aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang
bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih
dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis,
interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan
terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan.
Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang selalu
dirindukan dan dinantikan oleh siswa.

Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang
diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A SMPN 3
Tarakan, Kalimantan Timur, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan
kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan
pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan

membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu


mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik,
siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan
menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.

Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada


siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan
situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui
pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam
situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya.

Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik,


yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran;
(2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan; (3)
penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4)
penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak
komunikatif.
Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan pragmatik
dalam pembelajaran keterampilan berbicara diharapkan mampu membawa siswa
ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan
berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif,
emosional, dan afektif.

Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan


berbicara, para siswa SMP akan mampu menumbuhkembangkan potensi
intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya, sehingga kelak mereka
mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, arif, dan dewasa.
Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan
secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan
kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi
berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis,
mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

D. Perumusan dan Pemecahan Masalah

1.Perumusan Masalah

1.1 Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan


pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa
SMP?

1.2 Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa


Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP?

2. Pemecahan Masalah

3. Tujuan Penelitian
3.1 untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara
bagi siswa SMP;

1. untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa SMP setelah


pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa
Indonesia.

4. Manfaat Penelitian

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.1 Para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran
keterampilan berbicara, khususnya bagi siswa SMP;

4.2 Keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan, Kalimantan


Timur, yang menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;

4..3 Para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan


pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru bahasa
Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD/MI, atau yang
lebih tinggi, seperti SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian
ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia.

E. Kajian Teori dan Pustaka

Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan


keterampilan berbicara bagi siswa SMP digunakan teori yang berkaitan dengan
keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori
yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang
dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP.
I.1 Keterampilan berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Saat
ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan
pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum.
Secara garis besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anak-
anak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan media
bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988).

Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak


memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti

1. Menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan


2. Membuat surat lamaran pekerjaan
3. Berbicara di depan umum atau berdiskusi
4. Berpikir kritis dan kreatif dalam membaca
5. Membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat
pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apa pun bahan atau aturan-
aturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk
mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu.

Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia


Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan
Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa
memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional
peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua
bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal
dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan
menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada
dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil
karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa
Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang
menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap
positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan
dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional,
nasional, dan global.

Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu


diharapkan:

1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,


kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan
terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;
2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi
bahasa peserta didik

dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;

1. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan
dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan
peserta didiknya;
2. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan
program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
3. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan

keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan

(6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan
kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan:

1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis;
2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara;
3. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan;
4. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial;
5. menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi

pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;

1. menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya


dan intelektual manusia Indonesia. Sedangkan, ruang lingkup mata
pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen- kemampuan berbahasa
dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek:

(1) mendengarkan;

(2) berbicara;

(3) membaca; dan

(4) menulis.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara


merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib
dikembangkan di SMP. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan
yang setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.

Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara


dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester
berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas VII Semester I Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar Berbicara

2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan


menyampaikan pengumuman

2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan


pilihan kata dan kalimat efektif

2.2. Menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan


kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana

Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat disimpulkan


bahwa pada semester I, siswa kelas VII SMP diharapkan mampu mengembangkan
dua kompetensi dasar, yaitu:

(1) menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan


pilihan kata dan kalimat efektif; dan

(2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan


kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan difokuskan pada
upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam
menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan
kata dan kalimat efektif.
Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek keterampilan
berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang diarahkan agar
siswa memiliki kemampuan untuk:

1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku
secara lisan;
2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa

negara;

1. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif


untuk berbagai tujuan;
2. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144) dijelaskan


bahwa berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan pendapat
(dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding”. Sementara itu, Tarigan
(1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara

menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi


artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya,
berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasangagasan
yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang
pendengar atau penyimak.

Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa
berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata
untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara
merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan
otototot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara
juga

dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis,
neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan
sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.

Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa berbicara


pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam
bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan berbicara bisa
dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau
mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian
nada, tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi berlangsung secara tatap
muka, aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan bantuan mimik dan
pantomimik pembicara.

Merujuk pada pendapat tersebut, keterampilan berbicara pada hakikatnya


merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan
kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain.

I.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP


Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan
belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan
menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan
yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk
menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna
L. Matlin, 1989:2).

Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa di


dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran
karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang
terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran
language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang

kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).

Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran


terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat
meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses
yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan
untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger,
2001).

Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP
belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih
cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar
berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang
diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa
diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan
siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan
siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks
komunikasi.

Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di
Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang
dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan
persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di
sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa
hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan
antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.

Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan


yang inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP bisa
berlangsung dalam suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik,
dan menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan
dapat menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan

emosional, sehingga mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa


Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan konteks dan sitiuasinya.

Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI


Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, khususnya yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs. Dalam lampiran
tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam

perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan


penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.

Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya,


budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan
menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada
dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan
baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi
terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang diduga mampu menciptakan suasana yang kondusif; interaktif,

dinamis, terbuka, inovatif, kreatif, menarik, dan menyenangkan adalah pendekatan


pragmatik.

Pendekatan pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatif yang mulai


digunakan dalam pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap paham
behaviorisme melalui metode Drill-nya. Pendekatan komunikatif dalam pengajaran
bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah
communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang

tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks
sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa
Indonesia 2004:4).

Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna


dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal
dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan
bahasa seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di
dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi,
yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro
terdiri atas:

1. kealamiahan bahasa,

1. peranan anak-anak dalam berkomunikasi,


2. tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk menjelaskan makna,
dan
3. ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru.

Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat anak-anak


belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa
belajar keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja.
Dari berbagai penelitian tentang pengajaran bahasa disimpulkan bahwa
keterampilan berbahasa anak, khususnya keterampilan berbicara,
dikembangkan melalui tiga cara, yaitu:

(1) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan memproduksi


ujaran dalam bahasa target secara lebih sering, lebih tepat, dan dalam
variasi yang luas;
(2) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara mengolah
input dari ujaran orang lain; dan

(3) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya melalui pelibatan diri


dalam tugas atau interaksi yang menuntut adanya kemampuan kreatif
berkomunikasi dengan orang lain (Ellis, 1986).

Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian pengajaran
bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat
penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input
generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab,
menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat
belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam
berkomunikasi menggunakan bahasa.

Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam
pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara
nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis
baru tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku
aktif ini dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam
bidang pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang
menekankan pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap,
membaca, atau menulis yang sebenarnya).

Pembelajaran kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian


pembelajaran bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri:

1. makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk;


2. konteks itu penting, bukan item bahasa;
3. belajar bahasa itu belajar berkomunikasi;
4. target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi
hambatan berkomunikasi;
5. kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi
kebahasaan;
6. kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar
ketepatan bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa
lain (Brown, 2001:45).

Penggunaan pendekatan paragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga


dilandasi oleh semangat pembelajaran kontruktivistik yang memiliki ciri-ciri:

perilaku dibangun atas kesadaran diri;

1. keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman;


2. hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi
intrinsik;
3. seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan
bermanfaat bagi dirinya;
4. pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu
siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks
nyata;
5. siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam
mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut
bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif,
membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran;
6. pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri,
dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu
pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri,
sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu
tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete);
7. siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi;
8. hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber;
9. pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik dalam
Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia
2004:21-22).

Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga


didasari oleh prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah
keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan
pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru
dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan
berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful).
Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang
tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata
bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis.

Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa


diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia,
baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa
Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana
pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan.

Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktif sehingga


tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran
guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan
dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan
bahasa Indonesia agar dihindari.

Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam


pembelajaran keterampilan berbicara adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini
dimaksudkan agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa
Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata.

Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu
meliputi dua macam, yaitu:
1. berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan
2. berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang
berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut
koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan
dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20). Makna
sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa
pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis
1993:57).

Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti situasi,
pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat,
kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa
surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.

Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa
itu. Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor itu berjumlah
delapan, yaitu:

1. latar atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur;

1. participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain;


2. end atau tujuan;
3. act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur;
4. key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam
mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya;

1. instrument, yaitu alat elalui telepon atau bersemuka;


2. norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap
peserta tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan, seperti wawancara, diskusi,
kampanye, dan sebagainya. Lebih lanjut

dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur,
mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode
(dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam novel,
konteks tuturan tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri konteks
sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968).

Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan.
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat,
sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada
tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam
pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui
situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi
situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai.
Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis atau fenomena
semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur.
Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan
maksud suatu tuturan.

Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu


penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur
adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di
dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi
sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di dalam peristiwa
komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Yang
semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi mitra
tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan
mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat keakraban. Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks
tuturan. Di dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau
latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat
fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks,
sedangkan konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik,
konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh
penutur dan mitra tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur di dalam
menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.

Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin
dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi
hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki tujuan.
Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu
tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk

mencapai suatu tujuan.

Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan
atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan
tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang
berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah
tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat
ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.

Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal.
Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan
menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan
menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah
tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena
tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal.
Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan
tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki
maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.

Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan


pendekatan pragmatik sebagai inovasi dalam pengajaran keterampilan berbicara di
SMP dimaksudkan untuk melatih dan membiasakan siswa untuk berbicara sesuai
dengan konteks dan situasi tutur senyatanya sehingga siswa dapat memperoleh
manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi masalah atau refleksi awal
terhadap rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri
3 Tarakan Kalimantan Timur. Berdasarkan refleksi awal ditemukan penyebab
rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3
Tarakan Kalimantan Timur, yaitu penggunaan pendekatan pembelajaran yang
tidak mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata
atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan. Akibatnya, proses pembelajaran
berlangsung monoton dan membosankan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
pembelajaran yang diduga mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan
bahasa secara nyata sehingga siswa memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan
dalam peristiwa komunikasi seharihari. Berdasarkan penggunaan pendekatan
pragmatik yang ditawarkan sebagai solusi, dirumuskan masalah yang akan diteliti,
yaitu:

1. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan


pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi
siswa SMP; dan
2. Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP.

Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam


menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan
berbicara bagi siswa SMP; dan
2. untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa SMP setelah
pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran Bahasa
Indonesia.
Berdasarkan rumusan tujuan, dilakukan kajian teori sehingga pendekatan yang
ditawarkan sebagai solusi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
ilmiah. Teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek
keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori
yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang
dilakukan dalam upaya dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP.

Dari hasil kajian teori dirumuskan hipotesis tindakan, yaitu penggunaan


pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP.
Berdasarkan rumusan hipotesis tindakan, dilakukan perencanaan tindakan yang
akan dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP klas
VII-A SMPN Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Langkah selanjutnya adalah
melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dengan melibatkan seorang
kolaborator untuk melakukan observasi terhadap tindakan yang dilakukan.

Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis data


yang diperoleh dari hasil keterampilan berbicara siswa klas VII-A SMP Negeri 3
Tarakan Kalimantan Timur. Data tersebut dibandingkan dengan indikator
keberhasilan penggunaan pendekatan pragmatik, yaitu 70% (28 siswa) dari 40
siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara
berdasarkan aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur
kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Bersama kolaborator, peneliti
melakukan refleksi terhadap hasil analisis data. Jika hasil analisis data belum
menunjukkan hasil yang signifikan, dilakukan refleksi untuk memperbaiki
langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya.

Langkah selanjutnya adalah menyusun replanning (rencana tindakan) untuk siklus


II berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan bersama kolaborator. Pada siklus II,
peneliti melakukan tindakan sesuai dengan replanning yang telah disusun dengan
melibatkan kolaborator untuk mengamati efektivitas pelaksanaan tindakan.
Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data keterampilan berbicara
siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur dibandingkan dengan
indikator keberhasilan untuk direfleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum
signifikan, dilakukan replanning untuk siklus III. Jika penggunaan pendekatan
pragmatik sudah menunjukkan hasil yang signifikan dengan indikator

keberhasilan, tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Ini artinya, penggunaan


pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP
seperti yang telah dirumuskan dalam hipotesis tindakan.

F.1. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 3 Tarakan
Kalimantan Timur. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan
yang terdiri atas 40 siswa, dengan rincian 18 siswa laki-laki dan 22 siswa
perempuan.

F.2 Pemecahan Masalah

Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam penelitian ini
adalah rendahnya tingkat keterampilan berbicara, khususnya keterampilan siswa
kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur, dalam menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat
yang efektif.

Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan refleksi awal, siswa kelas VII-A SMP
Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur yang dinilai sudah mampu menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan
kalimat efektif baru sekitar 20% (8 siswa) dari 40 siswa. Data ini masih jauh dari
standar ketuntasan belajar minimal secara nasional, yaitu 75%.

Materi pembelajaran berseumber dari standar isi dalam lampiran Peraturan


Mendiknas No. 22/2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs seperti pada tabel 7.1 berikut ini. Tabel 7.2
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Menceritakan
Pengalaman yang Paling Mengesankan dengan Menggunakan Pilihan Kata dan
Kalimat Efektif

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara

2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan


menyampaikan pengumuman

2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan


pilihan kata dan kalimat efektif.

Masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman


yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif
akan dipecahkan dengan menggunakan pendekatan pragmatik melalui enam
langkah, antara lain sebagai berikut:

7.2.1 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin


diceritakan.

7.2.2 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang
terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.

7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang
dimiliki penutur dan mitra tutur.

7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur
berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.

7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal
yang telah dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur yang
dihasilkan oleh alat ucap, berupa kata-kata dan kalimat.

7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas
tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal berupa tindak tutur
yang dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak tangan, atau gerak anggota
badan yang lain. Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik yang
digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa
kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur.

Melalui alur penggunaan pendekatan pragmatik tersebut, siswa diharapkan dapat


menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pilihan kata
yang tepat dan kalimat yang efektif sesuai konteks dan situasi tutur. Artinya,
pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan dalam berbicara sangat
ditentukan oleh konteks dan situasi tutur yang telah ditentukan oleh siswa.
Pendekatan ini memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memilih dan
menentukan pengalaman yang hendak diceritakan, sedangkan guru hanya
memberikan rambu-rambu sebagai pedoman bagi siswa dalam berbicara.

F.3 Rencana Tindakan

Rencana tindakan yang akan dilakukan dalam menggunakan pendekatan


pragmatik untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas VII-A SMP Negeri 3
Tarakan Kalimantan Timur dalam menceritakan pengalaman yang paling
mengesankan dengan pilihan kata dan kalimat yang efektif, antara lain sebagai
berikut.

F.3.1

Guru menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar


keterampilan berbicara mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kelas VII semester
I seperti yang tercantum dalam Standar Isi (lampiran Permendiknas No. 22/2006).
Dalam silabus dicantumkan nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata
pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, dan standar kompetensi), kompetensi
dasar, materi pokok, kegiatan belajar, indikator, penilaian (teknik, bentuk, dan
contoh instrumen), alokasi waktu, dan sumber/media belajar.

F.3.2
Guru mengembangkan silabus Menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang memuat komponen: nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata
pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, standar kompetensi, kompetensi dasar,
indikator, alokasi waktu), tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode
pembelajaran, langkahlangkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, penilaian
dan pedoman penilaian.

F.3.3

Guru melaksanakan tindakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran


(RPP) yang telah disusun. Pada tahap ini, peneliti melibatkan kolaborator untuk
mengamati pelaksanaan tindakan.

F.3.4

Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam berbicara mengenai


pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.

F.3.5

Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui
efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah
melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai belum memberikan
hasil yang signifikan, kolaborator memberikan masukan dan bersama-sama dengan
peneliti melakukan langkah-langkah perbaikan untuk dilaksanakan pada siklus
berikutnya.

F.3.6

Peneliti melakukan replanning untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan


pada siklus berikutnya berdasarkan hasil refleksi bersama kolaborator.

F.3.7
Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana tindakan
yang telah disusun.

F.3.8

Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan


pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.

F.3.9

Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui
efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah
melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai sudah memberikan
hasil yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan, penelitian dinyatakan
selesai dan tinggal melakukan tindakan pemantapan kepada siswa (subjek
penelitian). Namun, jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang
signifikan, peneliti kembali melakukan refleksi bersama kolaborator untuk
merencanakan tindakan perbaikan (replanning) yang akan dilaksanakan pada
siklus berikutnya.

F.4 Tahap Pelaksanaan

Tahap-tahap yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan terinci sebagai


berikut.

F.4.1 Tahap Persiapan Tindakan

Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru menyiapkan
silabus, RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang digunakan untuk
mendukung efektivitas pelaksanaan tindakan.

F.4.2 Pelaksanaan Tindakan


Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti melaksanakan tindakan sesuai rencana
yang tersusun dalam RPP. Secara garis besar, tindakan yang dilaksanakan pada
setiap siklus sesuai dengan yang tersusun dalam RPP antara lain sebagai berikut.

F.4.2.1 Tindakan Awal

F.4.2.1.1

Apersepsi: peneliti mengaitkan materi pembelajaran tentang dengan pengalaman


siswa.

F.4.2.1.2

Motivasi: peneliti memberikan motivasi kepada siswa agar gemar menceritakan


pengalaman yang mengesankan kepada orang lain.

F..4.2.2Tindakan Inti

F.4.2.2.1

Siswa menyimak contoh cerita pengalaman yang mengesankan yang disampaikan


oleh peneliti.

F..4.2.2.2

Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk menentukan
langkah-langkah menceritakan pengalaman mengesankan berdasarkan contoh
cerita yang disimak.

F..4.2.2.3

Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan.

F..4.2.2.4
Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat
dalam pengalaman yang akan diceritakan.

F..4.2.2.5

Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki
penutur dan mitra tutur.

F..4.2.2.6

Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur
berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.

F..4.2.2.7

Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan halhal yang
telah dicatat sebelumnya.

F..4.2.2.8

Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas


tindakan verbal yang telah dilakukan.

F.4.2.3Tindakan Akhir

F..4.2.3.1

Siswa bersama peneliti menyimpulkan cara menceritakan pengalaman


mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif.

F..4.2.3.2

Siswa bersama peneliti melakukan refleksi untuk mengetahui kesan siswa ketika
menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pendekatan
prgmatik.
F.4.3 Pelaksanaan Pengamatan

Ketika peneliti melaksanakan tindakan, anggota peneliti sebagai kolaborator


melakukan pengamatan terhadap situasi yang terjadi selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Hal-hal yang perlu diamati dan dicatat oleh
kolaborator dalam lembar observasi, di antaranya:

1. respon siswa,
2. perubahan yang terjadi selama proses pembelajaran;

1. keterampilan guru dalam menggunakan pendekatan pragmatik, baik dalam


tindakan awal, tindakan inti, maupun tindakan akhir; dan

1. kesesuaian antara rencana dan implementasi tindakan.

F.4.4 Analisis dan Refleksi

Pada tahap ini, peneliti menganalisis data yang diperoleh berdasarkan unjuk kerja
yang dilakukan siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan
pilihan kata dan kalimat yang efektif. Unsur-unsur yang dianalisis, yaitu
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata, keefektifan kalimat, kelogisan
penalaran, dan kemampuan menjalin kontak mata. Berdasarkan hasil analisis data
akan diketahui unsur-unsur mana saja yang masih menjadi hambatan siswa dalam
menceritakan pengalamannya yang mengesankan.

Hasil analisis data tersebut juga sangat penting dan berharga sebagai bahan untuk
melakukan refleksi bersama kolaborator. Pada saat melakukan refleksi,
kolaborator memberikan masukan kepada peneliti berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dicatat untuk melakukan langkah-langkah perbaikan pada siklus
berikutnya.

Penelitian tidak perlu dilakukan lagi pada siklus berikutnya jika hasil analisis data
menunjukkan pengingkatan yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan
penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A
SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara berdasarkan aspek
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan
(penalaran), dan kontak mata.

F.5 Cara Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang valid, data dikumpulkan melalui cara/teknik berikut
ini:

F.5.1 Tes

Teknik tes digunakan untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa dalam


menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain. Aspek-aspek yang
dinilai, yaitu kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat,
kelogisan (penalaran), dan kontak mata.

F.5.2 Nontes

Teknik nontes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

F.5.2.1 Observasi (pengamatan): teknik ini digunakan oleh kolaborator untuk


mengobservasi pelaksanaan tindakan yang dilakukan oleh peneliti.

F..5.2.2 Wawancara: teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk
mengetahui respon siswa secara langsung dalam berbicara dengan menggunakan
pendekatan pragmatik. Wawancara terutama dilakukan kepada siswa yang
menonjol karena kelebihan atau kekurangannya. Pelaksanaan wawancara
dilakukan di luar kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pedoman
wawancara.

F.5.2.3 Jurnal: teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai
mengimplementasikan tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi
diri bagi peneliti untuk mengungkap aspek:
1. respon siswa terhadap penggunaan pendekatan pragmatik;
2. situasi pembelajaran; dan
3. kekurangpuasan peneliti terhadap pelaksanaan tindakan yang telah
dilakukan. Selain peneliti, siswa juga membuat jurnal setiap kali mengikuti
kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk mengungkapkan:

(1) respon siswa (baik yang positif maupun negatif) terhadap penggunaan
pendekatan pragmatik;

(2) metode pembelajaran yang disukai siswa; dan

(3) kemampuan peneliti dalam menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif,


kreatif, efektif, dan menyenangkan.

F..6 Teknik Analisis Data

Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi data secara


kuantitatif berdasarkan hasil tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus. Hasil
tindakan pada setiap siklus dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui
persentase peningkatan keterampilan siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan dalam
menceritakan pengalaman yang mengesankan.

Pada setiap siklus dideskripsikan jumlah skor yang diperoleh semua siswa, daya
serap, dan rata-rata skor untuk aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata
(diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Selain itu, juga
dideskripsikan jumlah skor, jumlah nilai, rata-rata nilai, dan tingkat daya serap,
dan ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus.

Anda mungkin juga menyukai