A. Judul Penelitian
oleh Yones P
B. Bidang Kajian
C. Pendahuluan
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam
upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya
adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta
didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai
konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga
akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu
melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah
dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan
generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut
dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan
generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk
berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat
dia sedang berbicara.
Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP,
khususnya keterampilan berbicara, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini
tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah
gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang
lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa
tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia
seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru
(Depdiknas 2004:9).
Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan
siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk
faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari,
banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa
percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan
bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang
digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang
menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan kaidah-
kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk
berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.
Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber
pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru
bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan
miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara
berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar
berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang
disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan
situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara.
Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai
sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan
afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan
serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang
diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A SMPN 3
Tarakan, Kalimantan Timur, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan
kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan
pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan
Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis,
mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
1.Perumusan Masalah
2. Pemecahan Masalah
3. Tujuan Penelitian
3.1 untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara
bagi siswa SMP;
4. Manfaat Penelitian
4.1 Para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran
keterampilan berbicara, khususnya bagi siswa SMP;
1. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan
dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan
peserta didiknya;
2. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan
program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
3. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan
(6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan
kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan:
1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis;
2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara;
3. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan;
4. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial;
5. menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi
(1) mendengarkan;
(2) berbicara;
(4) menulis.
1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku
secara lisan;
2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa
negara;
Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa
berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata
untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara
merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan
otototot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara
juga
dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis,
neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan
sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).
Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP
belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih
cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar
berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang
diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa
diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan
siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan
siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks
komunikasi.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di
Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang
dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan
persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di
sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa
hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan
antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.
tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks
sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa
Indonesia 2004:4).
1. kealamiahan bahasa,
Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian pengajaran
bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat
penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input
generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab,
menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat
belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam
berkomunikasi menggunakan bahasa.
Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam
pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara
nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis
baru tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku
aktif ini dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam
bidang pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang
menekankan pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap,
membaca, atau menulis yang sebenarnya).
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu
meliputi dua macam, yaitu:
1. berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan
2. berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang
berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut
koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan
dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20). Makna
sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa
pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis
1993:57).
Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti situasi,
pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat,
kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa
surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.
Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa
itu. Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor itu berjumlah
delapan, yaitu:
dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur,
mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode
(dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam novel,
konteks tuturan tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri konteks
sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968).
Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan.
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat,
sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada
tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam
pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui
situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi
situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai.
Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis atau fenomena
semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur.
Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan
maksud suatu tuturan.
Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin
dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi
hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki tujuan.
Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu
tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk
Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan
atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan
tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang
berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah
tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat
ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.
Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal.
Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan
menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan
menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah
tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena
tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal.
Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan
tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki
maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi masalah atau refleksi awal
terhadap rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri
3 Tarakan Kalimantan Timur. Berdasarkan refleksi awal ditemukan penyebab
rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3
Tarakan Kalimantan Timur, yaitu penggunaan pendekatan pembelajaran yang
tidak mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata
atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan. Akibatnya, proses pembelajaran
berlangsung monoton dan membosankan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
pembelajaran yang diduga mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan
bahasa secara nyata sehingga siswa memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan
dalam peristiwa komunikasi seharihari. Berdasarkan penggunaan pendekatan
pragmatik yang ditawarkan sebagai solusi, dirumuskan masalah yang akan diteliti,
yaitu:
Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
F.1. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 3 Tarakan
Kalimantan Timur. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan
yang terdiri atas 40 siswa, dengan rincian 18 siswa laki-laki dan 22 siswa
perempuan.
Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam penelitian ini
adalah rendahnya tingkat keterampilan berbicara, khususnya keterampilan siswa
kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur, dalam menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat
yang efektif.
Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan refleksi awal, siswa kelas VII-A SMP
Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur yang dinilai sudah mampu menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan
kalimat efektif baru sekitar 20% (8 siswa) dari 40 siswa. Data ini masih jauh dari
standar ketuntasan belajar minimal secara nasional, yaitu 75%.
7.2.2 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang
terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang
dimiliki penutur dan mitra tutur.
7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur
berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal
yang telah dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur yang
dihasilkan oleh alat ucap, berupa kata-kata dan kalimat.
7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas
tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal berupa tindak tutur
yang dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak tangan, atau gerak anggota
badan yang lain. Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik yang
digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa
kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur.
F.3.1
F.3.2
Guru mengembangkan silabus Menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang memuat komponen: nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata
pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, standar kompetensi, kompetensi dasar,
indikator, alokasi waktu), tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode
pembelajaran, langkahlangkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, penilaian
dan pedoman penilaian.
F.3.3
F.3.4
F.3.5
Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui
efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah
melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai belum memberikan
hasil yang signifikan, kolaborator memberikan masukan dan bersama-sama dengan
peneliti melakukan langkah-langkah perbaikan untuk dilaksanakan pada siklus
berikutnya.
F.3.6
F.3.7
Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana tindakan
yang telah disusun.
F.3.8
F.3.9
Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui
efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah
melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai sudah memberikan
hasil yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan, penelitian dinyatakan
selesai dan tinggal melakukan tindakan pemantapan kepada siswa (subjek
penelitian). Namun, jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang
signifikan, peneliti kembali melakukan refleksi bersama kolaborator untuk
merencanakan tindakan perbaikan (replanning) yang akan dilaksanakan pada
siklus berikutnya.
Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru menyiapkan
silabus, RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang digunakan untuk
mendukung efektivitas pelaksanaan tindakan.
F.4.2.1.1
F.4.2.1.2
F..4.2.2Tindakan Inti
F.4.2.2.1
F..4.2.2.2
Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk menentukan
langkah-langkah menceritakan pengalaman mengesankan berdasarkan contoh
cerita yang disimak.
F..4.2.2.3
F..4.2.2.4
Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat
dalam pengalaman yang akan diceritakan.
F..4.2.2.5
Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki
penutur dan mitra tutur.
F..4.2.2.6
Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur
berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
F..4.2.2.7
Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan halhal yang
telah dicatat sebelumnya.
F..4.2.2.8
F.4.2.3Tindakan Akhir
F..4.2.3.1
F..4.2.3.2
Siswa bersama peneliti melakukan refleksi untuk mengetahui kesan siswa ketika
menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pendekatan
prgmatik.
F.4.3 Pelaksanaan Pengamatan
1. respon siswa,
2. perubahan yang terjadi selama proses pembelajaran;
Pada tahap ini, peneliti menganalisis data yang diperoleh berdasarkan unjuk kerja
yang dilakukan siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan
pilihan kata dan kalimat yang efektif. Unsur-unsur yang dianalisis, yaitu
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata, keefektifan kalimat, kelogisan
penalaran, dan kemampuan menjalin kontak mata. Berdasarkan hasil analisis data
akan diketahui unsur-unsur mana saja yang masih menjadi hambatan siswa dalam
menceritakan pengalamannya yang mengesankan.
Hasil analisis data tersebut juga sangat penting dan berharga sebagai bahan untuk
melakukan refleksi bersama kolaborator. Pada saat melakukan refleksi,
kolaborator memberikan masukan kepada peneliti berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dicatat untuk melakukan langkah-langkah perbaikan pada siklus
berikutnya.
Penelitian tidak perlu dilakukan lagi pada siklus berikutnya jika hasil analisis data
menunjukkan pengingkatan yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan
penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A
SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara berdasarkan aspek
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan
(penalaran), dan kontak mata.
Untuk memperoleh data yang valid, data dikumpulkan melalui cara/teknik berikut
ini:
F.5.1 Tes
F.5.2 Nontes
Teknik nontes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
F..5.2.2 Wawancara: teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk
mengetahui respon siswa secara langsung dalam berbicara dengan menggunakan
pendekatan pragmatik. Wawancara terutama dilakukan kepada siswa yang
menonjol karena kelebihan atau kekurangannya. Pelaksanaan wawancara
dilakukan di luar kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pedoman
wawancara.
F.5.2.3 Jurnal: teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai
mengimplementasikan tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi
diri bagi peneliti untuk mengungkap aspek:
1. respon siswa terhadap penggunaan pendekatan pragmatik;
2. situasi pembelajaran; dan
3. kekurangpuasan peneliti terhadap pelaksanaan tindakan yang telah
dilakukan. Selain peneliti, siswa juga membuat jurnal setiap kali mengikuti
kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk mengungkapkan:
(1) respon siswa (baik yang positif maupun negatif) terhadap penggunaan
pendekatan pragmatik;
Pada setiap siklus dideskripsikan jumlah skor yang diperoleh semua siswa, daya
serap, dan rata-rata skor untuk aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata
(diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Selain itu, juga
dideskripsikan jumlah skor, jumlah nilai, rata-rata nilai, dan tingkat daya serap,
dan ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus.