Anda di halaman 1dari 11

Pengaruh Defisiensi Zat Besi dalam Perkembangan dan Fungsi Otak

John Beard
ABSTRAK : Anemia defisiensi besi dalam awal kehidupan sejauh ini dihubungkan
dengan adanya perubahan perkembangan perilaku dan saraf seseorang. Beberapa
studi yang dilakukan pada bayi manusia menunjukkan bahwa perubahan
perkembangan tersebut merupakan efek ireversibel yang berhubungan dengan
perubahan kimia neurotransmiter, organisasi dan morfologi jaringan saraf, dan
neurobiologi mielinasi. Penyerapan zat besi di dalam otak merupakan proses yang
berkaitan dengan usia serta bergantung kepada daerah otak yang mengontrol
pergerakan zat besi saat melewati sawar darah otak. Reseptor dan transporter
dopamin juga diubah di dalam tubuh. Hingga saat ini telah muncul berbagai bukti
yang menunjukkan bahwa otak yang kekurangan zat besi pada awal kehidupan
memiliki banyak akibat bagi tubuh seseorang baik secara neurokimia maupun secara
neurobiologi. J. Nutr. 133: 1468S-1472S, 2003.
KATA KUNCI : defisiensi zat besi, perkembangan otak, perilaku, tikus, manusia,
neurotransmiter
Defisiensi zat besi saat ini dilaporkan sebagai masalah gizi yang paling sering
ditemui di dunia dengan perkiraan penderita sebanyak 2,5 5 juta orang (1,2). Selain
efek biologis yang dihasilkan dari zat besi, terdapat juga bukti yang menunjukkan
bahwa zat besi juga memiliki peran yang penting dalam perkembangan dan fungsi
saraf (3-7). Mekanisme dasar terjadinya keterlambatan perkembangan kognitif dan
perilaku pada bayi hingga saat ini belum dapat dipahami seutuhnya, akan tetapi
terdapat hipotesis kemungkinan-kemungkinan penyebab yang meliputi : i) adanya
kelainan dalam metabolisme neurotransmitter (3,6,8,9); ii) adanya penurunan
pembentukan mielin (10); dan iii) adanya perubahan metabolisme energi di dalam
otak (11). Meskipun bukti terbaru dari studi ini tidak membedakan antara tiga

kemungkinan tersebut, namun studi tersebut mengarah kepada melambatnya


pengolahan sistem saraf pusat sebagai komponen kunci pada terjadinya disfungsi
saraf anak-anak yang menderita kekurangan zat besi (5,12).
Artikel ini akan membahas mengenai peranan zat besi dalam fungsi saraf dan
hubungannya dengan kognisi dan perilaku.
Bagaimana otak mendapatkan zat besi dan bagaimana metabolismenya?
Di dalam otak, terdapat sistem yang berperan dalam penyerapan zat besi dari
plasma (melalui reseptor transferin (Tf)), transportasi (Tf), serta penyimpanan zat
besi dan cadangan besi dalam masing-masing sel otak (H dan isoform L feritin)
(3,13,14). Sawar darah otak mengatur pergerakan zat besi secara efektif dari plasma
darah ke dalam cairan cerebrospinal dimana di sini terdapat pleksus choroids yang
juga mengatur pengeluaran zat besi dan masuknya ke dalam otak. Tidak semua
daerah otak mengandung jumlah zat besi yang sama. Ganglia basalis, substansia nigra
dan nucleus cerebellar merupakan daerah otak yang kaya akan zat besi (14,15).
Magnetic Resonance Imaging (MRI) baru-baru ini telah digunakan untuk memetakan
distribusi zat besi pada otak anak-anak dan remaja (15,16). Konsentrasi tertinggi
ditemukan pada globus pallidus, nucleus caudatus, putamen dan substansia nigra.
Seperti tercantum dalam Gambar 1, terdapat variasi konsentrasi zat besi di dalam otak
tikus. Area otak tikus tidak akan kaya akan zat besi sampai dengan berusia 60 hari
(17). Menariknya, hal ini juga berlaku pada manusia dimana substansia nigra tidak
menjadi kaya zat besi sampai dengan usia 12-15 tahun (16). Konsentrasi zat besi
tertinggi di otak pada saat lahir akan menurun pada masa menyapih, dan kemudian
meningkat kembali bertepatan dengan proses mielinasi saraf dan meningkatnya
ekspresi Tf mRNA (5,17,18).
Otak memperoleh zat besi terutama melalui Tf dan reseptor Tf dalam sel
endotel pembuluh darah otak (2,19). Terdapat peran astrosit dalam regulasi
penyerapan zat besi ini saat melalui sawar darah otak (Gambar 2). Kami telah
mempelajari proses ini sebagai fungsi dari keberadaan zat besi dalam otak dan
peranan potensial saturasi plasma Tf dalam proses penyerapan ini (20-22). Tingkat

penyerapan zat besi dipengaruhi oleh ketersediaan zat besi dalam otak;
penyerapannya akan meningkat saat ketersediaan zat besi rendah dan menurun saat
konsentrasinya tinggi (23). Selain itu, proses penyerapan ini sangat selektif dan tidak
mencerminkan permeabilitas sawar darah otak secara keseluruhan (24,25). Upaya
kolaboratif kami dengan Laboratorium Dr James Connor menunjukkan hilangnya zat
besi yang berbeda-beda pada keadaan defisiensi zat besi serta pemulihan yang
berbeda-beda juga dengan terapi besi (20 - 22). Distribusi zat besi yang heterogen
dalam otak ini sangat mungkin merupakan akibat dari regulasi penyerapan yang
berbeda dan juga bergantung pada distribusi reseptor Tf dan transportasi protein
endosomal DMT1 (transporter mineral divalen), eksportir selular besi, serta
ferroportin (MTP1 atau FPN1) (26). Distribusi regional protein Tf dan kadar mRNA
juga mendukung gagasan bahwa sebagian besar protein Tf otak terlokalisir pada
lokasi yang berbeda-beda (27) (Gbr. 3).

Gambar 2. Protein transport besi dan sawar darah otak berperan penting dalam
mobilisasi besi ke dalam otak meliputi : DMT1 (divalent metal transporter 1), Tf
(transferrin), TfR (transferrin receptor), MTP (metal transport protein atau
ferroportin).

Gambar 3. Efek dari intake yang kurang dan cukup zat besi pada distribusi Tf
dan TfR mRNA pada otak tikus kelompok dewasa muda dan kelompok kontrol
dengan matching usia (Han et al. (26))
Pentingkah onset waktu terjadinya defisiensi zat besi?
Studi konduksi saraf pada bayi manusia memberikan bukti bahwa keadaan
defisiensi zat besi pada saraf akan menimbulkan efek yang ireversibel (5,12). Oleh
karena itu, onset waktu terjadinya defisiensi zat besi adalah hal yang penting. Data
pengukuran yang pertama secara langsung mendukung pendapat bahwa balita dengan
anemia defisiensi besi dapat mengalami keterlambatan perkembangan karena adanya
kelainan biologis. Mengingat fakta bahwa hampir semua intervensi percobaan pada
bayi manusia gagal menunjukkan normalisasi lengkap dalam normalisasi status zat
besi, para peneliti kemudian didorong untuk mencari 'periode kritis'' masa
perkembangan yang benar-benar membutuhkan zat besi yang memadai untuk
perkembangan normal. Sejumlah penelitian pada hewan telah dilakukan dalam upaya
untuk meniru kondisi dan waktu kekurangan gizi yang bertepatan dengan waktu
puncak risiko kekurangan zat besi pada bayi manusia (28). Tidak ada data otopsi pada
bayi yang menderita kekurangan zat besi, sehingga kami mengandalkan hewan
sebagai model dan metode pencitraan untuk mengetahui masa kritis tersebut.
Terdapat kesamaan urutan migrasi sel, mielinasi yang signifikan, diferensiasi seluler,
dan peningkatan ekspresi neuropeptida pada tikus dan manusia. Apa yang terjadi pada
usia 3-16 bulan postnatal pada manusia terjadi pada usia 7-25 hari postnatal pada
tikus (28). Kekurangan zat besi selama menyusui pada tikus menghasilkan kehilangan

yang signifikan pada otak, berbeda dengan kekurangan zat besi yang intakenya
dibatasi (22). Pemulihan zat besi otak melalui intake besi yang agresif setelahnya
menghasilkan pemulihan yang tidak lengkap pada metabolisme dopamin (DA) dan
perilaku (22,29,30). Sensitivitas area otak terhadap kehilangan zat besi selama masa
perkembangan berhubungan dengan ketersediaan besi selama periode tersebut.
Berlawanan dengan pendapat bahwa zat besi dalam otak tidak mengalami deplesi,
percobaan ini menunjukkan cukup jelas bahwa pada hewan pengerat, pengobatan
melalui intake besi dapat menurunkan zat besi otak dalam waktu 10 hari dan
kemudian terpenuhi kembali dalam waktu 14 hari. Belum ada data perbandingan pada
bayi dengan model primata mengenai hal ini sehingga masih terdapat ketidakpastian
mengenai kelengkapan pemulihan zat besi pada otak meskipun status besi dalam
indeks hematologi telah terpenuhi (berada dalam batas normal) (5,12).
Perdebatan muncul mengenai studi efek ireversibel dari defisiensi zat besi
pada bayi ini dengan dasar sebagai berikut : i) sebagian besar studi pada manusia
difokuskan pada studi defisiensi besi pada bayi usia 12-24 bulan tanpa pemeriksaan
yang sama pada anak-anak yang lebih tua. ii) model hewan menunjukkan kelainan
ireversibel yang sangat jelas akibat defisiensi besi pada masa kehamilan dan awal
menyusui. iii) Laporan mengenai defisiensi zat besi dan hubungannya dengan fungsi
otak pada remaja dan dewasa umumnya menunjukkan perilaku yang normal setelah
defisiensi besi dikoreksi (31). Kondisi klinis yang baru-baru ini disebut sebagai
Restless Leg Syndrome (RLS) tampaknya berhubungan dengan deficit kadar dan
metabolisme zat besi dalam otak (32). MRI menunjukkan adanya penurunan kadar
besi pada substansia nigra dan nucleus. Tingkat keparahan gejalanya berkorelasi
dengan tingkat penurunan zat besi dalam otak. Sejumlah pasien cukup dikoreksi
dengan intake zat besi untuk memenuhi kekurangannya, akan tetapi pada sebagian
besar kasus gejala diatasi dengan dosis tinggi dekstran besi secara intravena. Cukup
menarik ketika banyak pasien dengan RLS berespon terhadap terapi agonis dopamin
atau

L-dopa.

Pada

bagian

selanjutnya,

terpadat

bukti

yang

jelas

mengkorelasikan antara metabolisme dopamine dengan metabolisme besi.

yang

Besi dan neurotransmiter


Sistem dopamin berkembang pesat selama awal kehidupan postnatal sejalan
dengan peningkatan pesat jumlah dan kepadatan transporter dopamin dan reseptornya
sampai dengan awal pubertas. Transporter monoamina lain dan reseptornya juga
secara aktif diekspresikan dalam pengembangan saraf selama periode waktu ini.
Proyeksi monoamina ini memainkan peran penting dalam pertumbuhan aksonal dan
pembentukan sinaps selama tahap awal pertumbuhan otak. Peran dari zat besi atau
mikronutrien lainnya dalam hal ini tidak diketahui secara umum.
Peran zat besi dalam metabolisme neurotransmitter telah diteliti oleh sejumlah
kelompok penelitian selama empat dekade terakhir. Sebagai hasilnya, kita saat ini
mengetahui bahwa zat besi sangatlah penting untuk sejumlah enzim yang terlibat
dalam sintesis neurotransmitter (3,14) termasuk triptofan hidroksilase (serotonin) dan
hidroksilase tirosin (norepinefrin (NE) dan dopamine). Selain itu, zat besi merupakan
kofaktor untuk ribonucleotide reduktase, dan sangat penting untuk reaksi transfer
elektron pada metabolisme lipid maupun metabolisme energi dalam otak (14). Besi
berkaitan dengan aktivitas monoamine oksidase, yaitu suatu enzim yang penting
untuk degradasi neurotransmitter. Selain dari peran biokimia ini, ada beberapa
pengamatan mendasar mengenai besi meliputi : i) besi terlokalisasi pada saraf
dopaminergik di seluruh otak (6,14); ii) dopamine ekstraseluler dan norepinefrin
meningkat pada otak tikus yang kekurangan zat besi, namun neurotransmiter lainnya
tidak (8,30,33); iii) kadar zat besi otak turun akibat pembatasan intake zat besi,
terdapat penurunan kepadatan reseptor D2 dan D1 dan transporter dopamine di
striatum (8,29,35); iv) hilangnya zat besi otak adalah spesifik pada daerah tertentu
dan merupakan efek heterogen dari neurobiologi dopamin, pada daerah di mana
kadarnya tidak turun, tidak ada perubahan pada biologi dopamine (8,9), dan v)
dampak dari kekurangan zat besi pada dopamin otak tidak terjadi karena anemia,
pada anemia hemolitik dimana tidak terjadi defisiensi zat besi tidak ditemukan
adanya kelainan pada neurobiologi dopamin (6,8,35).
Meskipun

sebagian

besar

penelitian

mengenai

zat

besi

otak

dan

neurotransmiter telah difokuskan pada dopamin, terdapat bukti bahwa metabolisme

serotonin dan norepinefrin juga berubah pada otak yang kekurangan besi. Kepadatan
transporter serotonin secara signifikan lebih rendah pada otak tikus yang kekurangan
zat besi (34) sedangkan pada microdialysis vivo pada tikus memberikan bukti
mengenai penurunan penyerapan norepinefrin (33). Studi kami mengenai toleransi
dingin dan termoregulasi menunjukkan bahwa pada tikus dan wanita dengan anemia
defisiensi besi, keduanya memiliki peningkatan kadar norepinefrin plasma (36). Hasil
ini sejalan dengan kehilangan norepinefrin yang lebih cepat pada sistem saraf
simpatik perifer dan diduga merupakan efek defisiensi zat besi pada mekanisme
penyerapan monoamina. Penting untuk mengingat bahwa transporter serotonin,
norepinefrin, dan dopamin,merupakan bagian yang sama dari cotransporters Na1
sehingga menunjukkan karakteristik yang serupa sehubungan dengan regulasi dan
translokasi transporter tersebut (37). Satu-satunya neurotransmiter lain yang dipelajari
berkaitan dengan status besi dalam otak adalah asam g-aminobutyric (38).
Mekanisme langsung dari efek seluler status besi pada metabolisme monoamina
belum diketahui meskipun telah dilakukan percobaan kultur sel pada laboratorium
kami (39). Percobaan dengan sel pheochromocytoma (PC12) dan sel neuroblastoma
menunjukkan hubungan respon dosis antara khelasi besi dan ekspresi transporter
dopamine dan norepinefrin. Percobaan ini menunjukkan untuk pertama kalinya bukti
langsung hubungan seluler pada metabolisme besi dan monoamina.

Bagaimana perilaku berhubungan dengan besi dalam otak dan biologi


neurotransmiter?
Kekurangan zat besi pada hewan dan bayi manusia mengakibatkan perubahan
perilaku yang resisten terhadap terapi zat besi (2-5,40). Kami mendemonstrasikan
pada model binatang, bahwa perubahan perilaku berhubungan dengan perubahan
pada pusat dopamine dan konsentrasi besi (8,22,29). Analisis terakhir kami mengenai
perilaku, dopamine, dan daerah otak yang kaya besi, bagaimanapun, mengungkapkan
beberapa hubungan yang relevan:

Analisis regresi multivariat terhadap aktivitas spontan menunjukkan 65 %


variabilitas perilaku mencari lingkungan baru yang dihubungkan dengan besi

otak tengah bagian ventral, dan kepadatan reseptor dopamine D1 di otak


tengah dan putamen caudatus (41).

Analisis multivariat perilaku kecemasan menunjukkan hampir 45% varian


kecenderungan untuk pindah ke lingkungan yang lebih aman. Hal ini dapat
dikaitkan dengan variasi transporter dopamine nukleus accumbens dan
kepadatan reseptor D2 (40).

Defisiensi besi sebelum dan sesudah masa menyapih pada tikus menghasilkan
perilaku kurang aktif (41,42). Pemenuhan besi menghasilkan normalisasi pada
sebagian besar perubahan dalam biologi dopamine tersebut.

Defisiensi zat besi dan fungsi kognitif pada orang dewasa


Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah kekurangan zat
besi selama periode nondevelopmental berhubungan dengan perubahan perilaku,
kognisi dan fungsi otak (31,43). Studi pada remaja yang kekurangan zat besi, tetapi
tidak anemia, mengungkapkan perubahan dalam fungsi kognitif yang dapat dikaitkan
dengan deplesi besi tetapi bukan anemia (31). Saat tes khusus dilakukan, remaja
dengan anemia defisiensi zat besi anemia memberikan hasil yang kurang baik dari
pada remaja yang kebutuhan besinya tercukupi
Artikel singkat ini telah menyoroti beberapa peran biologis besi pada fungsi
metabolisme otak dan saraf. Meskipun banyak penelitian telah difokuskan pada awal
perkembangan sebagai periode kritis, namun belum ada kepastian bahwa periode
kritis telah ditentukan atau dibatasi pada bayi yang usianya kurang dari 2 tahun. Bukti
terbaru terhadap orang dewasa dengan RLS, penyakit ginjal maupun pada kondisi
postpartum juga menunjukkan adanya perubahan fungsi saraf dan perilaku akibat
defisit besi otak yang tidak terbatas hanya pada bayi.

Daftar Pustaka
1. Yip, R. (2002) Prevention and control of iron deficiency: policy and strategy
issues. J. Nutr. 132: 802S805S.
2. Beard, J. L. (2001) Iron biology in immune function, muscle metabolism and
neuronal functioning. J. Nutr. 131: 568S579S.
3. Beard, J. L., Connor, J. R. & Jones, B. C. (1993) Iron in the brain. Nutr. Rev. 51:
157170.
4. Lozoff, B., Brittenham, G. M., Wolf, A. W., McClish, D. K., Kuhnert, P. M. &
Jimenez, E. (1987) Iron deficiency anemia and iron therapy: effects on infant
developmental test performance. Pediatrics 79: 981995.
5. Roncagliolo, M., Garrido, M., Walter, T., Peirano, P. & Lozoff, B. (1998) Evidence
of altered central nervous system development in infants with iron deficiency
anemia at 6 mo: delayed maturation of auditory brainstem responses. Am. J. Clin.
Nutr. 68: 683690.
6. Yehuda, S. (1990) Neurochemical basis of behavioral effects of brain iron
deficiency in animals. In: Brain, Behavior, and Iron in the Infant Diet (Dobbing J.,
ed.) pp. 83106, Springer-Verlag, London.
7. Weinberg, J., Dallman, P. R. & Levine, S. (1980) Iron deficiency during early
development in the rat. Behavioral and physiological consequences. Pharmacol.
Biochem. Behav. 12: 493502.
8. Erikson, K. M., Jones, B. & Beard, J. L. (2001) Altered functioning of dopamine
D1 and D2 receptors in brains of iron deficient rats. Physiol. Pharmacol. Behav.
69: 409418.
9. Ben-Shachar, D., Finberg, J. P. M. & Youdim, M. B. (1985) The effect of iron
chelators on dopamine D2 receptors. J. Neurochem. 45: 9991005.
10. Larkin, E. C. & Rao, G. A. (1990) Importance of fetal and neonatal iron:
adequacy for normal development of central nervous system. In: Brain, Behaviour
and Iron in the Infant Diet (Dobbing J., ed.) pp. 4363, Springer-Verlag, London.
11. Rao, R. & Georgieff, M. K. (2001) Neonatal iron nutrition. Semin. Neonatol. 6:
425435.
12. Shankar, N., Tandon, O. P., Bandhu, R., Madan, N. & Gomber, S. (2000)
Brainstem auditory evoked potential responses in iron deficient anemic children.
Indian J. Physiol. Pharmacol. 44: 297303.
13. Epstein, R. & Connor, J. R. (1999) The role of iron in neurodegenerative disease.
In: Chemicals and Neurodegenerative Disease (Bondy, S. E., ed.) pp. 2850,
Prominent Press, Melbourne, Australia.
14. Wigglesworth, J. M. & Baum, H. (1988) Iron dependent enzymes in the brain. In:
Brain Iron: Neurochemical and Behavioural Aspects (Youdim, M. B. H., ed.), pp.
2566. Taylor and Francis, New York.
15. Dwork, A. J., Lawler, G., Zybert, P. A., Durkin, M., Osman, M., Willson, N. &
Barkai, A. I. (1990) An autoradiographic study of the uptake and distribution of
iron by the brain of the young rat. Brain Res. 518: 3139.

16. Aoki, S., Okada, Y., Nishimura, K., Barkovich, A. J., Kjos, B. O., Brasch, R. C. &
Norman, D. (1989) Normal deposition of brain iron in childhood and adolescence:
MR imaging at 1.5 T. Radiology 172: 381385.
17. Connor, J. R. & Menzies, S. (1996) Relationship of iron to oligodendrocytes and
myelination. Glia 17: 8396.
18. Connor, J. R. & Fine, R. E. (1987) Development of transferrin-positive
oligodendrocytes in the rat central nervous system. J. Neurosci. Res. 17: 5159.
19. Fishman, J. B., Rubin, J. B., Handrahan, J. V., Connor, J. R. & Fine, R. E. (1987)
Receptor mediated uptake of transferrin across the blood brain barrier. J. Neurosci.
Res. 18: 299309.
20. Chen, Q., Connor, J. R. & Beard, J. L. (2000) Alterations of brain iron,
transferrin, and ferritin concentrations in iron deficient developing rats. J. Nutr.
125: 15291535.
21. Erikson, K., Pinero, D., Connor, J. & Beard, J. L. (1997) Iron status and
distribution of iron in the brain of developing rats. J. Nutr. 127: 20302038.
22. Pinero, D. J., Jones, B. & Beard, J. L. (2000) Alterations in brain iron metabolism
in response to dietary iron changes. J. Nutr. 130: 254263.
23. Taylor, E. M., Crowe, A. & Morgan, E. H. (1991) Transferrin and iron uptake by
the brain: effects of altered iron status. J. Neurochem. 57: 15841592.
24. Crowe, A. & Morgan, E. H. (1992) Iron and transferrin uptake by brain and
cerebrospinal fluid in the rat. Brain Res. 592: 816.
25. Malecki, E. A., Cook, B., Devenyl, A. G., Beard, J. L. & Connor, J. R. (2000)
Transferrin is required for normal distributions of 59Fe and 54Mn in mouse brains.
J. Neurol. Sci. 170: 112118.
26. Siddappa, A. J., Rao, R. B., Wobken, J. D., Leibold, E. A., Connor, J. R., &
Georgieff M. K. (2002) Developmental changes in the expression of IRP and iron
proteins in perinatal rat brain. J. Neurosci. Res. 68: 761775.
27. Han, J., Day, J. R., Connor, J. R. & Beard, J. L. (2003) Gene expression of
transferrin and transferrin receptor in brains of control vs irondeficient rats. J.
Nutr. Neurosci 6: 110.
28. Dobbing, J. (1992) Undernutrition and the developing brain. The relevance of
animal models to the human problem. Bibl. Nutr. Dieta 17: 3546.
29. Felt, B. & Lozoff, B. (1996) Brain iron and behavior of rats are not normalized by
treatment of iron deficiency anemia during early development. J. Nutr. 126: 693
701.
30. Nelson, C., Erikson, K., Pinero, D. J. & Beard, J. L. (1997) In Vivo DA
metabolism is altered in ID anemic rats. J. Nutr. 127: 22822288.
31. Bruner, A. B., Joffe, A., Duggan, A. K., Casella, J. F. & Brandt, J. (1996)
Randomised study of cognitive effects of iron supplementation in nonanaemic
iron-deficient adolescent girls. Lancet 348: 992996.
32. Earley, C., Allen, R., Beard, J. L. & Connor, J. R. (2000) Insight into the
pathophysiology of restless legs syndrome. J. Neurosci. Res.62: 623628.
33. Beard, J. L., Chen, Q., Connor, J. R. & Jones, B. C. (1994) Altered rat brain
monoamine metabolism in caudate putamen of iron deficient rats. Pharmacol.
Biochem. Behav. 48: 621 624.

34. Morse, A., Beard, J. L. & Jones, B. (1999) Behavioral and neurochemical
alterations in iron deficient mice. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 220: 147 152.
35. Ashkenazi, R., Ben-Shachar, D. & Youdim, M. B. H. (1982) Nutritional iron
deficiency and dopamine binding sites in the rat brain. Pharmacol. Biochem.
Behav. 17: 4347.
36. Beard, J. L., Borel, M. J. & Derr, J. (1990) Impaired thermoregulation and thyroid
function in iron deficiency anemia. Am. J. Clin. Nutr. 52: 813 819.
37. Reith, M., Xu, C. & Chen, N. (1997) Pharmacology and regulation of the
neuronal dopamine transporter. Eur. J. Pharmacol. 324: 110.
38. Li, D. (1998) Effects of iron deficiency on iron distribution and
gammaaminobutyric acid (GABA) metabolism in young rat brain tissues.
Hokkaido Igaku Zasshi 73: 215225.
39. Weisinger, J., Connor, J. R. & Beard, J. L. (2002) Iron chelation alters dopamine
transporter expression in cell culture models. FASEB abstract from EB2002
40. Lozoff, B. (2000) Perinatal iron deficiency and the developing brain. Pediatr. Res.
48: 137139.
41. Beard, J. L., Erikson, K. & Jones, B. C. (2002) Neurobehavioral analysis of
developmental iron deficiency in rats. Behav Brain Res. 134: 517524.
42. Pinero, D. J., Jones, B. C. & Beard, J. L. (2001) Functional alterations in the
behavior of rats in response to lactational iron deficiency. J. Nutr. 131: 311 318.
43. Murray-Kolb, L., Whitfield, K. & Beard, J. L. (2002) Iron deficiency alters
cognition and behavior in college age women. FASEB abstract from EB2002.

Anda mungkin juga menyukai