DISUSUN OLEH:
KOMANG NOVIANTARI
1302105006
dan
elemennya.
Inflamasi
kronik
menyebabkan
peningkatan
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast
terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
5. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu:
1) Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang disebabkan oleh
faktor-faktor pencetus spesifik (alergen), seperti serbuk bunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi
serangan
asthma
ekstrinsik.
Pasien
dengan
asma
ekstrinsik
Gejala
Gejala <1x/minggu
Tanpa
gejala
Gejala Malam
Faal Paru
2 kali sebulan- VEP1 atau
antar
APE 80%
serangan
2
Persisten
ringan
- Variabilitas
Serangan singkat
Gejala
>1x/minggu
tetapi <1x/hari
>
<20%
kali- VEP1 atau
sebulan
Serangan
APE 80%
dapat
- Variabilitas
Persisten
sedang
tidur
Gejala setiap hari
Serangan
mengganggu
Persisten
berat
Sering kambuh
Ringan
Sedang
APE
60-80%
- Variabilitas
>30%
- VEP1 atau
Sering
APE >60%
APE
20-30%
APE
Berat
Ancaman
Fungsi Faal
Henti
Paru,Laboratoriu
Napas
APE
m
Sesak (breathless) Aktivitas:
Aktivitas:Berbicar
Aktivitas:Istiraha
Berjalan
Bayi :
Bayi :
Bayi :
Menangis
keras
lemah,
Posisi
Bisa
menetek/makan
Lebih suka duduk
Duduk
Bicara
berbaring
Kalimat
Penggal kalimat
bertopang lengan
Kata-kata
Sianosis
Tidak ada
Tidak Ada
Ada
Wheezing
Sedang,
Nyaring sepanjang
sering
ekspirasi
hanya
inspirasi
kesulitan makan/minum
dan
pada
akhir
ekspirasi
Penggunaan otot Biasanya
bantu napas
mau
Biasanya ya
Nyata
Sangat nyaring
Tidak
terdengar tanpa
terdenga
stetoskop
Ya
tidak
Gerakan
paradok
torakoabdomina
Retraksi
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Dangkal,
Sedang,ditambah
l
Dalam, ditambah Dangkal/
retraksi
retraksi
napas
interkosta
suprasternal
hidung
l
Normal
Takikardi
Takikardi
Bradikard
Takipneu
i
Bradipne
Takipneu
Takipneu
cuping hilang
u
6. Gejala Klinis
a. Gejala awal dapat berupa batuk terutama pada malam atau dini hari, sesak
napas, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya, rasa berat di dada, dahak sulit keluar (Direktorat Bina Farmasi dan
Klinik, 2007).
b. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa atau
disebut juga stadium kronik (status asmatikus). Yang termasuk gejala yang
berat adalah serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengalsengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur dan
posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk, kesadaran menurun,
thorak seperti barel chest, tampak tarikan otot sternokleidomastoideus,
sianosis, suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest) (Direktorat
Bina Farmasi dan Klinik, 2007).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis dari asma, diantaranya:
a. Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan asma
biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai
dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
b. Sianosis karena hipoksia
c. Gejala retensi CO2 : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.
7. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis
jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan
(Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil
oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus.
Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang
mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009)
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Bernstein, 2003). Spirometri
adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung
kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai
VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan
spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1
>15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif
dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1 (Bernstein, 2003).
c. X-ray dada/ Thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
(Bernstein, 2003). Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru
biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan.
d. Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent
test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism) (Bernstein, 2003).
e. Petanda inflamasi.
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinophil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan
dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara
jumlah eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan
yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
(Bernstein, 2003).
b) Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas
cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan
dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang
(Bernstein, 2003).
c) Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometer
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau
rasio VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui
reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 >15 % secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.
2) Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk mendukung anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma.
Pemeriksaan
darah
IgE
Atopi
dilakukan
dengan
cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada der-mographism) (Bernstein, 2003).
3) Petanda inflamasi.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan
derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar
riset (Bernstein, 2003).
4) Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
5) Pemeriksaan laboratorium
2. Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat
mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip
kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi
golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari Agonis -2
kerja
singkat,
Kortikosteroid
sistemik,
Antikolinergik
(Ipratropium
bromide), Metilsantin.
b) Penatalaksanaan non Medikamentosa:
1. Saat serangan
- pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar
-
Setelah
diketahui
jenis
alergen,
kemudian
dilakukan
desensitisasi.
Relaksasi/kontrol emosi.
untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi fisik dapat
Serangan asma akut yang sangat parah, berkepanjangan, dan tidak merespon
terapi biasa secara memadai. Hal ini disebabkan oleh penyempitan saluran napas
akibat bronkospasme yang sedang berlangsung, edema, dan penyumbatan lendir.
3) Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma udara, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan
oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru,
saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
4) Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
5) Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6) Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami
bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak).
Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya
mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama klien
c. Pemeriksaan fisik
d. Pemeriksaan tanda-tanda vital
Tekanan Darah
Nadi
Frekuensi pernapasan
Suhu tubuh
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan Manajemen kesehata
Perawat perlu menanyakan pengetahuan tentang kesehatan, pengetahuan
preventif.
2. Pola nutrisi, cairan dan metabolic
Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan
bersihan
paten,
dengan
dalam
jumlah
Evaluasi
tambahan
2 Tidak ada penggunaan otot
bantu pernapasan
banyak,
mengi,
3 Tidak terdapat akumulasi
penggunaan
otot
sputum
bantu pernapasan. 4 Tidak batuk dan mengi
S:
Airway Management
1
(asma)
terdapat
Rasional
Intervensi
dapat
ventilasi
pengembangan
(semifowler
dada
secret
atau suction
isntruksikan bagaimana
cara
4
5
batuk
efektif
membantu
bagaimana
menggunakan
ihaler
sesuai
resep
dengan
pernapasan
cara
napas tambahan
Tidak
ada
otot
memudahkan -
akumulasi sputum
Tidak batuk dan
pasien
untuk
di
saluran
sehingga
penggunaan
suara
ventilasi
pasien
ada
bantu pernapasan
Tidak
terdapat
dapat
pengeluaran sekret.
Batuk atau suction dapat
terakumulasi
pasien
Ajarkan
Tidak
dinding
sehingga
serta
kepada pasien
Auskultasi suara nafas
dokter
meningkatkan
memperlancar
memaksimalkan potensi
300)
Keluarkan
O:
Airway Management
mengi
A:
Berdasarkan
yang
di
tujuan
harapkan
Pertahankan
kondisi
jalan nafas pasien
klien dengan intervensi
Batuk efektif diajarkan
baru khususnya dengan
agar
pasien
dapat
Atur
penanganan
mengeluarkan
dengan
memberikan
Oxygen Therapy
1
pasien
nafas
pada
area
yang
kebutuhan
oksigen
menarik
oksigen pasien
Pantau humidifier pada
alat
beritahu
dengan
pada
yang
area
sedangkan
terpasang
konsolidasi
bunyi
ronkhi
dan
ekspirasi
dan
adanya
obstruksi.
Inhaler merupakan
obat
dengan
disemprotkan
pasien
6
sehingga
cara
kemulut
pasien
dalam
sehingga
dapat
Oxygen Therapy
1
Membersihkan
mulut,
pemberian
oksigen,
2
oksigen
terapi
yang
dapat optimal.
Pemasangan
oksigen
oleh
pasien
pasien
tidak
mengalami
oksigen
kelebihan
yang
memperburuk
4
pasien juga.
Pemantauan
sangat
dapat
kondisi
humidifier
penting
berfungsi
karena
dalam
bersfiat
kering
Ketidakefektifan
pola
berhubungan
dengan
penyakit pasien
dapat
Respiratory Monitoring
teratasi 1
S:
Respiratory Monitoring
Pasien
mengatakan
(asma)
ritme
dengan
dispnea,
pernapasan pasien
Pantau pola pernapasan
pasien
Pantau
pernapasan dengan
cuping
pernapasan
penggunaan
aksesorius
NOC Label:
hidung, Respiratory
bibir, Ventilation
otot
untuk
kedalaman
pernapasan.
Frekuensi
normal
bernapas,
perubahan
Status:
dan
upaya
2
nilai
PFT,
pernapasan
2
3
4
kali/menit)
4
Pola napas teratur
Tidak ada sesak napas
Tidak ada pursed lips
breathing
Tidak ada penggunan
inspirasi/ekspirasi pasien
Pantau sesak nafas dan
keadaan
yang
dapat
meningkatkan
dan
memperburuk
sesak
Frekuensi
kelainan
pernapasan normal
pada
proses
pernapasan pasien
Pola pernapasan yang tidak normal merupakan
(12-20 kali/menit)
Pola napas teratur
Tidak ada pursed
lips breathing
Tidak
ada
penggunan
otot
menguji
bantu napas
TD dalam rentang
kemampuan
dikeluarkan
mmHg)
Nadi dalam rentang
memiliki
Posisikan
tidak.
benar
nafas
dengan perlahan
tersebut
untuk
dan
dalam
Sputum
dianalisis
pasien
nyaman
Dorong pasien untuk
tarik
karakteristik
normal
Ventilation Assistance
dengan
normal
bernafas pasien
Sekret atau sputum yang
berbagai
pasien
volume
cadangan
(12-20
(120/80 mmHg)
2 Nadi dalam rentang normal
dan
(120/80
(60-100x
per menit)
A:
Berdasarkan
yang
di
tujuan
harapkan
pasien
pemeriksaan spirometer
Ajarkan teknik bernafas
bernafas
Ajukan
program
kekuatan
otot
pernapasan
dan
jadi
sebagai
dapat
tindakan
pencegahan.
atau
endurance training
sehingga
Ventilation Assistance
1
dan
kenyamanan
dapat
membantu
dalam
memberikan
pernapasan pasien.
Tarik nafas dalam secara
perlahan dapat memenuhi
asupan oksigen yang harus
masuk ke tubuh dan dapat
merilekskan pasien.
Pemeriksaan
spirometer
digunakan
untuk
mengetahui
fungsi
kelainan
yang
pasien.
Bernafas
dengan
dirapatkan
dialami
bibir
dapat
melambatkan
ekspirasi,
membantu
untuk
pasien
mengendalikan
yang
memungkinkan
untuk
dyspnea
5
pasien
control
terhadap
dan
perasaan
panik.
Latihan bernafas dilakukan
dengan
pernapasan
frekuensi
pernapasan, meningkatkan
ventilasi
alveolar,
terkadang
dan
membantu
mengeluarkan
udara
ekspirasi.
Latihan otot pernapasan
dilakukan apabila pasien
telah
menjalani
latihan
pernapasan
diafragmatik.
Latihan
ini
membantu
menguatkan
otot-otot
pasien.
dapat
pernapasan
Latihan
mengharuskan
bernafas
terhadap
ini
pasien
suatu
Risiko Respon
Alergi dengan
faktor resiko
jam
substansi
tidak
lingkungan (seperti
tidak
diharapkan
pasien
mengalami
risiko
muncul/kambuh
menjadi
alergi.
alergi
(seperti
spora
dan
dalam
Promoting Behavior
1. Mampu
mengontrol
lingkungan
NIC Label:
Allergy Management
1. Identifikasi penyebab
yang
pencetus
dapat
menimbulkan
risiko alergi
3. Diskusikan
pasien
dalam
diberikan.
Allergy Management
S:
1. Dengan
identifikasi
Pasien
mengatakan
dapat
mengetahui
mengerti dengan HE
pencetus yang dapat
yang diberikan.
menyebabkan respon
O:
alergi
Pasien
tampak
2. Dapat mencegah secara
mengerti
dan
dini terjadinya resiko
melakukan HE yang
respon alergi
3. Pengetahuan
yang diberikan
misalnya
diberikan kepada pasien melakukan pencegahan
kepada
dan
keluarga
mengontrol
yang
risiko
(seperti
terpapar/menghirup
yang
terjadinya A:
Berdasarkan
yang
di
tujuan
harapkan
debu,
bulu
binatang,
P:
Pertahankan
bunga).
pasien, menganjurkan
kepada
kondisi
pasien
dan
risiko alergi.
S:
Ketidakseimbanga
n
nutrisi
dari
Nutrition Management
dengan
makanan tertentu.
(asma)
dengan
minat
makanan,
penurunan
badan,
menimbulkan
Pasien
keinginan
Alergi terhadap makanan memiliki
menjadi indikator makanan untuk makan
nutrisinya.
terhadap makanan
Nutritional Status
membrane mukosa
1
Asupan
pucat, berat badan
nutrisi yang adekuat
20% atau lebih
2
Jumlah
menentukan
metode
yang
memenuhi
kalori
dan
optimal.
Sediakan
nutrisi
diet
makanan 3
mengatakan
asupan
nutrisi
adekuat
Jumlah cairan dan
makanan
yang
diterima
sesuai
dengan kebutuhan
yang
-
tubuh pasien
Rasio berat badan
dan tinggi badan
dibawah
badan ideal.
berat
cairan
yang
dan
makanan
diterima
sesuai
sesuai
dengan
keinginan
dan
kondisi pasien.
5
dapat
Rasio berat
dengan
memenuhi
umur,
kebutuhan nutrisi.
keinginan/nafsu
(IMT 18,5-22,9)
Hidration
Nutrition Therapy
lembab
Intake dan output
pengkajian
lengkap
mengenai
< 2 detik)
2
Membran
nutrisi klien.
kebutuhan pasien.
jika diperlukan.
mukosa lembab
3
Intake
dan
Fluid Management
1
Pantau berat
Pertahankan
kandungan
tepat
kalori
cairan seimbang
Lakukan
Turgor kulit 1
2 detik)
Membran mukosa
makan
seseorang.
22,9)
Turgor kulit normal
(cubitan kembali <
rentang
intake
dalam
sesuai
kecukupan
nutrisi
harus A:
dengan Berdasarkan
yang
yang Pertahankan
Monitor
harapkan
kondisi
di
tujuan
Nutrition Therapy
1Mengetahui status nutrisi klien
Health Education
sangat
mukosa
lembab,
nadi
2Suplemen
Berikan
Berikan
diberikan
untuk
Tingkatkan
sehingga
yang tepat.
penting
makanan.
Fluid Management
1
volume
cairan
bila diperlukan
sehingga
cairan
dapat
Untuk
menjaga
mengetahui
cairan
pasien
3
Status
mencerminkan
hidrasi
keseimbangan
cairan
di
dalam tubuh
4
untuk
memenuhi
Pemberian
dapat
cairan
dilakukan
infus
untuk
keperawatan
dengan
ketidakseimbangan
melaporkan
selama
Activity Therapy
peningkatan 1
dengan kriteria
S:
Kolaborasikan
Activity Therapy
O:
-
Tenaga
Rehabilitasi
Medik
dalam
melakukan
aktivitas
dan
ditandai
menyatakan merasa
letih dan lemah.
merencanakan
Activity Tolerance
pasien
secara
kemampuan
dapat
beraktivitas
secara
fisik,
dilakukan
memiliki
gangguan
tanda keletihan
Sesak napas tidak
pasien
menunjukkan tanda 4
tanda keletihan
untuk
Endurance
mengidentifikasi
defisit aktivitas
memburuk
tidak
Energy management
saat 1
ketika beraktivtas
Pilih intervensi yang tepat
beraktivitas normal
untuk
penyebab
berikan
mengatasi
kelemahan,
intervensi
tidak
menyebabkan
pada
ringan
kemampuan
Klien
menunjukkan tanda
sesuai
yang
frekuensi pernapasan
Kaji pasien dan keluarga
tidak
tenang
Klien melakukan
dengan
pasien
napas
dengan
aktivitas
1. Sesak
istirahat
optimal
dengan 2Untuk menghindari
sesuai
kemampuan
4. Klien
energy
dengan tenang
3. Klien
melakukan
program
yang
tidak
memburuk
saat
beraktivitas normal
A:
Berdasarkan
tujuan
menimbulkan gangguan
4Untuk
dapat
menentukan yang
di
harapkan
penyebab kelemahan yang semua tujuan tercapai
menyebabkan tidak dapat P:
melakukan aktivitas secara Pertahankan
optimal
kondisi
dan
membenahi kausa
Energy management
Health Education
farmakologi
3
farmakologi
Batasi
dan
non- 1
Untuk
mengetahui
perkembangan
stimulasi
kondisi
mengganggu
waktu
istirahat pasien
itu
teratasi.
Untuk
intervensi
nonfarmakologi
dan
berkolaborasi
dokter
dengan
menggunakan
intervensi
apabila
farmakologi
kelemahan
segera
teratasi
menggunakan
3
tidak
teknik
nonfarmakologi
Kondisi lingkungan yang
tenang
dapat
menunjang
begitu
6
Gangguan
fisiologis jam
diharapkan
pola 1
dengan
pasien tidak
terganggu,
dengan
tidur,
pola
2
3
4
NOC Label
Sleep
dapat
tidur
Pasien
minimal 5 8 jam/hari
Pasien mengatakan tidak Sleep Enhancement
mengantuk, badan lebih 1
segar, tidak letih dan
lebih rileks serta tidak
sering menguap
pemulihan
energi
dapat dicapai.
Environmental Management
Comfort
1
2
3
4
S:
Pasien
mengatakan
tidak
mengantuk,
badan
lebih
Jelaskan
pentingnya Sleep Enhancement
tidur yang cukup selama
masa sakit pada klien
Instruksikan pada pasien, 1 Memberikan
informasi
untuk menghindari jam
dasar kepada klien
makan pada saat akan 2 Mengurangi
gangguan
tidur
karena
akan
tidur
mengganggu pola tidur
3 Memberi informasi dasar
Identifikasi jika adanya
dalam
rencana
segar,
yang
di
tujuan
harapkan
kondisi
Ansietas
obat
tidur
yang
keperawatan
dikonsumsi oleh klien
Setelah dilakukan asuhan NIC Label:
1. Tindakan yang tepat agar S:
berhubungan
Anxiety Reduction
ditandai
rasa
ketidakberdayaan,
bingung, menyesal,
menurunkan
peningkatan
ansietas
3. Dapat
ketegangan,
strategi
gemetar, kesulitan
berkonsentrasi,
tertekan
merencanakan
koping
jika
melamun.
Coping
1. Klien
mampu
mendekati
ketenangan
Berikan informasi factual
tentang
pengobatan,
diagnosis,
kekhawatiran
berkurang
2. Untuk
dapat -
Pasien mengatakan
sudah
membantu
menentukan
apa
kurangnya informasi
3. Untuk mendapat dukungan
hal
yang
akan
dilakukan
gejala
dapat
ketika
muncul
kembali
Pasien mengatakan
lebih nyaman
Klien
mampu
mengidentifikasi
pola koping yang
efektif
Klien
mampu
mengidentifikasi
pola koping yang
tidak efektif
mengidentifikasi pola
proses penyakitmya
4. Untuk membantu klien Berdasarkan
tujuan
3. Anjurkankan
untuk
koping yang efektif
menentukan tindakan yang yang
di
harapkan
2. Klien
mampu
bersikap realistis sebagai
dapat
dilakukan
untuk semua tujuan tercapai
mengidentifikasi pola
cara untuk mengatasi
mengatasi stressnya.
P:
koping yang tidak
perasaan tidak berdaya
Pertahankan
kondisi
4. Anjurkan klien untuk
efektif
klien dengan intervensi
3. Klien
melaporkan
mengevaluasi perilakunya
baru khususnya dengan
peningkatan
Health Education
kenyamanan
psychological
DAFTAR PUSTAKA
Bernstein JA. 2003. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott
Williams & Wilkins, USA.
Boushey, Homer A. Jr., David B. Corry, John V. Fahy, Esteban G. Burchard, Prescott G.
Woondruff. 2005. Asthma dalam Mason, Robert J, John F. Murray, V. Curtney
Broaddus, Jay A. Nadel, editor. Textbook of Respiratory Medicine. Volume Two.
Fourth Edition. Pennsylvania: Elsevier.
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, Joanne M. and Wagner, Cheryl M.
2013. Nursing Interventtions Classification (NIC), Sixth Edition.USA : Mosby
Elsevier
Chung, K.F., 2002. Clinicians Guide to Asthma. United States of America: Oxford
University Press.
Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health,
2007.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2006. Global Burden of Asthma-Global Initiative for
Asthma.
Available
from:
http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=29