Anda di halaman 1dari 32

TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI

Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia. Hewan
mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus untuk
mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala dapat
mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang beberapa
lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan :
a.
b.
c.
d.
e.

Kerusakan jaringan secara umum,


perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
awal dari peradangan

Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari
rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau
alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila
manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra
yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan
yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang .
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular,
jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
II.

EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan sebanyak 50000 hingga 100000 orang di seluruh dunia meninggal setiap
thunnya karena racun gigitan ular. Diantara individu tersebut petani dan pemburu yang
tinggal di negara tropis memiliki risiko yang paling tinggi. Di Amerika serikat, sebanyak
8000 kejadian akibat gigitan ular berbisa muncul tiap tahunnya, dan sebanyak 6 orang
meninggal dunia. Korban yang paling sering terkena yaitu laki-laki, pembuk, dan paling
sering digigit pada bagian ekstremitas bawah. Hal tersebut terjadi karena korban berjalan di
dekat, sedangkan pada orang yang sengaja memegang ular, lebih sering digigit pada

ekstremitas atas. Ular termasu poikilothermic, dimana insidensi kejadian digigit ular yaitu
pada bulan-bulan hangat.
III.

ULAR DI INDONESIA

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat
dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada
bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke
dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular,
jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang
dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys
carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular
serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk
dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan
tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis),
ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra
(Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat
ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua
subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk
mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan
mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris).

1.2

Ular Berbisa Asia Tenggara

Ular berbisa memiliki sepasang gigi yang besar dan taring di rahang depan.Taringnya
mengandung racun saluran (seperti suntik). Jika manusia digigit, racunnya disuntikkan
secara subkutan atau intamuskuler. Lidah kobra dapat menekan racun keluar dari ujung
taringnya dan menghasilkan semprotan halus yang diarahkan pada mata.

IV.

MENGENALI ULAR BERBISA DENGAN TIDAK BERBISA

Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular tidak
berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun beberapa ular berbisa dapat dikenali
melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada
luka bekas gigitan terdapat bekas taring.

Ular Berbisa
Kepala bersegitiga

Ular Tidak Berbisa


Kepala bundar

Mata elipse, dan terapat heat sensing pit


Singel row of ventral scales
Rattle
2 gigi aring besar di rahang atas

V.

Mata bulat
Ventral scales
No rattle
Gigi taring kecil

TOXICOLOGY

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi
merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Racun ular sangat kompleks dan mengandung banrbagai peptide dan enzim. Peptida dapat
merusak vascular endothelium, sehingga meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan
edema dan shock hipovolemik. Enzim tersebut termasuk enzim protease dan asam L-amino
oxidase, yang menyebabkan nekrosis jaringan, dan A2 phospholipase yang merusak eritrosit
dan sel otot. Enzim lainnya yaitu endonuklese, alkaline phosphate, asam phosphate, dan
cholinesterase. Selain menyebabkan cedera local, komponen tersebut juga memberikan efek
yang merusak cardiovaskuler, pulmonary, renal dan system saraf. Komponon lain dari racun
tersebut diketahui mempengaruhi koagulasi, fibrinolisi, fungsi trombosit dan integritas
vascular, terkadang menyebabkan perdarahan atau trombotik sekuele.
a. Komposisi Bisa Ular

Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk
enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis2 :
1. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat
pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung
beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade
pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian
besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan
terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi
sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.
2. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
3. Racun sitolitik atau nekrotik mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas
membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat
menghancurkan membran sel dan jaringan.
4. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
5. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan
transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
6. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang
mirip seperti paralisis kuraonium2
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu
bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan
larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan

timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan,
dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka
gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit
sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjut nya
mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti
saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
VI.

MANIFESTASI KLINIS

Local
Sebanyak 20% gigitan disebabkan oleh ular tidak berbisa, biasanya yang ditemukan yaitu
luka atau laserasi, dan nyeri minimal. Sedangkan pada ular berbisa menimbulkan nyeri
yangyang terasa panas dalam beberapa menit, yang diikuti dengan edema dan eritema. Dalam
waktu beberapa jam akan terjadi proses pembengkakan dan muncul ekimosis dan bulla
hemorrhagic. Bila penanganannya terlambat dan tidak ade kuat akan menimbulkan nekrosis
jaringan yang berat.
Sistemik
Pasien biasanya mengeluhkan lemah, mual, muntah, parastesia perioral, mulut berasa logam,
otot berkedut. Kebicilan kapiler difuse menyebabkan edema pulmonary, hipotensi dan
akhirnya shock. Pada korban dengan gigitan yang berat dalam beberapa jam dapat timbul
konsumptif koagulopati. Pada beberapa pasien dapat terjadi perdarahan spontan dari hamper
tiap bagian anatomi, walau secara klinis terjadinya perdarahan tersebut secara signifikan tidak
umum, tetapi berdasarkan hasil tes koagulasi abnormal. Gagal ginjal akut multifactorial
disebabkan oleh efek langsung nephrotoxins, sirkulasi yang kolaps, myoglobinuria, dan
koagulopati konsumtif. Hasil laboratorium yang abnormal dapat berupa hypofibrinogenemia,
thrombocytopenia,

prolonged

protombin

time

dan

partial

thromboplastine

times,

meningkatnya kreatinin dan keratin phopokinase, proteinuria, hematuria, dan anemia atau
hemokonsentrasi.
Pada ular tanah yang berbisa menyebabkan gaguan pada system multiorgan, tetapi pada ular
coral berbisa efeknya lebih ke neurotoxic seperti disfungsi saraf kranial, dan hilangnya reflex
tendon, dapat juga berlanjut kepada depresi respiratori, dan paralysis dalam beberapa jam.

VII.

TANDA GEJALA

Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan
banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban.
Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri
lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh,
infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
Gejala Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena
darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Gejala sistemik: hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi
(ludah bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur
Gejala dan tanda awal
Setelah rasa sakit langsung penetrasi ke kulit oleh taring ular, mungkin ada peningkatan nyeri
lokal (terbakar, meledak, berdenyut) dilokasi gigitan, pembengkakan lokal secara bertahap
meluas sampai ekstremitas, sakit di daerah kelenjar getah bening regional (di selangkanganfemoralis, atau inguinalis.
Gejala dan tanda-tanda bervariasi sesuai dengan jenis ular yang bertanggung jawab yang
menggigit dan jumlah racun disuntikkan. Terkadang identitas ular yang menggigit tidak bisa
dikonfirmasikan dengan memeriksa ular mati, melainkan dapat diduga kuat dari deskripsi
pasien

atau keadaan gigitan atau dari pengetahuan efek klinis dari racun spesies yang

menggigit. Informasi ini akan memungkinkan dokter untuk memilih sebuah antivenom tepat,
mengantisipasi kemungkinan komplikasi dan karena itu mengambil sesuai tindakan. Jika
spesies yang menggigit tidak diketahui, bisa diketahui dengan gejala dan tanda (sindrom
klinis), hasil tes labotatorium, supaya mencapai hasil yang tepat.
Gejala dan tanda lokal di daerah gigitan
Tanda Fang

Nyeri lokal
Perdarahan Lokal

Memar
Limfangitis
Pembesaran Kelenjar getah bening
Inflamasi (Pembengkakan, Kemerahan, terasa panas)
Blistering

Infeksi Lokal, pembentukan abses


Nekrosis

Gejala dan tanda sistemik


Umum
Mual, muntah, malaise, nyeri abdomen, kelemahan, mengantuk.
Kardiovaskular (Viperidae)

Gangguan visual, pusing, pingsan, kolaps, syok, hipotensi, jantung aritmia, edema paru,
edema konjungtiva.

Perdarahan dan gangguan pembekuan (Viperidae)


-

Perdarahan dari luka (termasuk tanda fank), Venapunkture.


perdarahan sistemik spontan dari gusi, epistaksis, perdarahan ke dalam air mata,
hemoptisis, hematemesis, melena atau perdarahan rektum, hematuria, perdarahan vagina,
perdarahan ke dalam kulit (petechiae, purpura, ekimosis) dan mukosa (misalnya
konjungtiva intrakranial perdarahan (meningisme dari perdarahan subarachnoid, tandatanda lateralising dan / atau koma dari pendarahan otak

Neurologis (Elapidae, Russell Viper)


Mengantuk, paraestisia, ptosis opthalmoplegia, eksterna,kelumpuhan otot wajah yang disarafi
saraf cranial, aphonia dan kesulitan dalam menelan.

Kerusakan otot rangka (ular laut, russell viper)


Nyeri yang general, kekakuan dan nyeri trismus myoglobinuria, jantung gagala ginjal akut

Ginjal (Viperidae, ular laut)


Nyeri punggung bawah, hematuri,hemoglobinuriamyoglobinuria, oligouri/anuri.
Endokrin (hipofisis akut/ insufisiensi adrenal)
Fase akut
Fase kronik
hipotiroidisme

: Shock, hipoglikemi.
: kelemahan,kehilangan seksual sekunder,amenore, atrofi testis,

Gejala klinis dari gigitan ular di Asia Tenggara


Keterbatasan pendekatan klinis.
Semakin

hati-hati

efek

klinis

dari

gigitan

ular

dipelajari,

semakin

disadari

bahwa berbagai kegiatan dari racun tertentu sangat luas. Sebagai contoh, beberapa
racun elapid, seperti kobra dari Asia, dapat menyebabkan racun lokal yang parah
Sindrom 1
racun lokal (pembengkakan, dll ) dengan perdarahan / gangguan bekuan =
(semua jenis) Viperidae
Sindrom 2
racun lokal (pembengkakan) dengan perdarahan / gangguan pembekuan, shock atau gagal
ginjal = Russell viper (dan mungkin melihat skala viper - spesies Echis - dalam beberapa
daerah) dengan konjungtiva (chemosis) dan edem akut, insufisiensi hipofisis = Russell
viper, Burma dengan ptosis, ophthalmoplegia eksternal, dll kelumpuhan wajah dan air seni
berwarna coklat tua = Russell viper, Sri Lanka dan India Selatan
Sindrom 3
racun local (dll pembengkakan) dengan kelumpuhan = kobra atau raja kobra
Sindrom 4
Kelumpuhan dengan racun minimal
Menggigit di darat saat tidur, di luar Filipina = Krait
di Filipina = kobra (Naja philippinensis) Menggigit di laut = ular laut
sindrom 5

Kelumpuhan dengan urin berwarna coklat tua dan gagal ginjal:


Menggigit di darat (dengan perdarahan / gangguan pembekuan) = viper Russell, Sri
Lanka / Selatan India Menggigit di laut (tidak ada perdarahan / gangguan pembekuan)
= ular laut

GRADING GIGITAN ULAR


GRADE

FANG
MARKS

NYERI

EDEMA

ERYTHEMA

SISTEMIK

< 1 inch

Dalam 12 jam

NO

0
No

Envenomation
I
Minimal

Envenomation
II
Moderat

Minimal

SedangBerat

1 5 inch

Berat

6 12 inch

Berat

>12 inch

Envenomation
III
Severe
Envenomation
IV
Very severe
Envenomation

12 jam setelah
digigit
12 jam setelah
digigit

Ada

NO

Mungkin ada

Petekie dan
ekimosis

Meluas seluruh
+

Berat

tungkai atau
setengah badan

Ada

Selalu ada

sisi yang sama.

VIII.

DIAGNOSIS KLINIS

Anamnesis:
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan
sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?

Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya
bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan
ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah
diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit
adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau
russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila
terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air
payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular

tersebut dibawa

bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular
tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular
samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan
ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau
mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah
terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan
ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur
atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.

Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa
ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik dengan
yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran,
bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.

Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada
luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.

Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang
yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi
panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala
dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan
banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain
adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar,
pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan
(terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae)2.
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis

Gambar 4. Gejala Umum Gigitan Ular (Sumber : www.doctorsecret.com)


Tanda dan gejala sistemik2 :
a. Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema
konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terusmenerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian
(oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan dari gusi, epistaksis,
perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda
lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal
(melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil,
perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid,
ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)

mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia


eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau
atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot
pernafasan dan flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russells viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti
jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda
dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase
akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) :
kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis,
hipotiroidism
Manajemen pada gigitan ular
Pertama bantuan pengobatan
Transportasi ke rumah sakit
penilaian klinis yang cepat dan resusitasi
penilaian klinis lengkap dan diagnosis spesies
Investigasi / tes laboratorium
pengobatan antibisa
Pengamatan respon terhadap antivenom: keputusan tentang kebutuhan untuk lebih
lanjut dosis (s) dari antivenom
dukungan/ pengobatan tambahan
Pengobatan bagian digigit
Rehabilitasi
Pengobatan komplikasi kronis

DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR


PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR

PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDA
K
TIDA
K

YA

ULAR DIBAWA KE
TIDA
RS
K

TERDAPAT
TANDA
ENVENOMASI
(KERACUNAN)

TIDA
K
RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

Insisi cross bila


memenuhi kriteria

YA
TIDA
K

TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK


DARI ENVENOMASI
(KERACUNAN) ULAR YANG
UMUM BERADA DI AREA
GEOGRAFIS YANG SAMA

YA

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

ULAR
DITETAPKAN
TIDAK BERBISA

YA

TERSEDIA
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

YA

BERIKAN
ANTIBISA
POLISPESIFIK
UNTUK SPESIES
ULAR YANG
BERADA DI AREA
GEOGRAFIS

RAWAT

TENANGKAN KORBAN,
BERI SERUM
ANTITETANUS,
PULANGKAN KORBAN

TIDA
K

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA1
TIDA
K

TERDAPAT TANDA
ENVENOMASI
((KERACUNAN)
YA
TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA

TIDA
K

RAWAT

ULAR DAPAT
TERIDENTIFIKASI
YA

TIDA
K

YA

RAWAT

BERIKAN
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

TERAPI
KONSERVATIF**

LIHAT RESPON2

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS

RAWAT
TIDA
K

TANDA
ENVENOMASI
SISTEMIK

Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical


Management of Snake Bite in The South East
Asia Region 2005

YA

ULANGI DOSIS
RAWAT INISIASI
ANTIBISA (MAX 80-100
ml)

TIDAK ADA PERBAIKAN :


RUJUK SEGERA

ADA PERBAIKAN :
OBSERVASI* DI RS

IX.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik

b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure
monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat
pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi
pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit

X.

PENATALAKSANAAN

Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5:


1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain
yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat
penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang
membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan
korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit
dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan
bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber :


WHO,2005)
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk

membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu,
atau pasien dapat dipikul (dengan firemans metode). Pasien diposisikan miring
(recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan
3. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah),
insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah
yang digigit.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan
lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan.
Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan
jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak
dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat
menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan

nafas;

penatalaksanaan

fungsi

pernafasan;

penatalaksanaan

sirkulasi;

penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa


hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi
yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat
rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.
XI.
SERUM ANTI BISA ULAR
Gunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular merupakan
serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda yang dikebalkan
terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik, yang kebanyakan
ada di Indonesia.
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD

d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet


Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular
Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2
tahun.
Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular
Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat untuk
ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah dan keadaan
korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan
2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu
diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau
bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat
perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk
dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml
diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang
lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam.
Cara Pemberian Serum Anti Bisa Ular
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat
diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk
anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga
menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler
atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus
diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik

CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR

injeksi 0,2 ml serum


encerkan 1: 10
(subkutan)
KETERANGAN :
30 kepala
menit pusing,
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini Amati
: pucat,
perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntahmuntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat,
Amati
respon
suntikkan
serum
dalam
Reaksi
Injeksi Reaksi
serum yang
tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak Reaksi
nyaman di perut,
Reaksi
terhadap
serum
dosis
penuh
secara
Serum jangan
Amati
30 menit
hipersensitivitas
(+)
hipersensitivitas
Injeksi adrenalin
tidak
diencerkan
0,2(-)ml
sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang
hipersensitivitas (+)
hipersensitivitas (-)

(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)

Efek Samping Serum Anti Bisa Ular

Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan memberikan


perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-hati, mengingat
kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal,
sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan serum
yang sudah dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi dalam
pemberian 24 jam
Oleh karena itu, pemberian serum harus berdasarkan atas indikasi yang tajam.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum
1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari es,
apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama dengan
suhu badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan relax
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30 menit
Tes hipersentivitas subkutan
Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu harus
dilakukan tes hipersensitifitas sbukutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.

Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.


Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini
seperti pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau
muntah-muntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah
menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun

atau kejang.
Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin 1:1000.
Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2 ml subkutan

dan amati lagi selama 30 menit.


Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan

Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan
dan amati lagi paling sedikit 30 menit.

Syarat-syarat pemberian serum secara intravena


1. Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih dahullu, kemudian
dicoba dengan suntikan intramuskuler, baru intravena.
2. Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.
3. Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu jam.
Tindakan terhadap reaksi sampingan
1. Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)
Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau
botol berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler.
Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-0,5
adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler.
Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.
2. Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila sangat
mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang
dalam 24 jam.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan
sendirinya.
Indikasi Pemberian Anti Bisa Ular :
Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau dicurigai
mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda berikut :
Gejala venerasi sistemik
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan kreatinin/urea urin
(hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat gelap (klinis), dipstik urin

atau bukti lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri
otot, hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya
terhadap tanda venerasi.

Gejala venerasi lokal :


Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena gigitan
(tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah tergigit pada
jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan). Pembengkakan yang meluas ( misalnya di
bawah pergelangan tangan atau mata kaki pada beberapa jam setelah gigitan pada tangan dan
kaki), pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang
terkena gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di
bawah ini :
Derajat
0
I
II

Venerasi
0
+/+

Luka gigit
+
+
+

Nyeri
+/+
+++

Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm-

Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,

III

++

+++

25cm/12jam
>25cm/12jam

IV

+++

+++

Pada satu

petekie,ekimosis
++, gangguan faal

ekstremitas

ginjal, koma,

secara

perdarahan

menyeluruh

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 ampul SABU

Derajat III: 5-15 ampul SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 ampul SABU

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa
hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih.
Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati
persisten. Apakah antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi,
namun beberapa bukti klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti
bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.

Observasi Dan Evaluasi Respon Terhadap Pemberian Antibisa Ular


Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di bawah ini
dapat diobservasi.
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan

waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak
tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin
akan kembali ke warna normal.

Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa ular
(perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat terjadi
kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari depot pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi
eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab) 2 80-100 jam;
Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.

Kriteria pengulangan dosis inisiasi anti bisa ular :


a. Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis
yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar
antibisa diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa
ular) diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki
tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang
antara 1-2 jam.

d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis


awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus
dipertimbangkan.

XII.
KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi
luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi
hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh
mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi
ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi
oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat
laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa
intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu setelah
pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit,
sendi,

dan

ginjal

bertanggung

jawab

atas

timbulnya

arthralgia,

urtikaria,

dan

glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.
XIII.
PROGNOSIS
Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik, memprediksi
prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta bahwa mungkin
terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10 kematian, dan
kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu alasan dan lain hal.
Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan medis di AS.
Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa, korban
akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang
tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus).Ular tidak membawa atau
mentransmisikan rabies
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari 20%
gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan. Hal ini
disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang diakibatkan oleh elapid.

Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular
tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik
lain sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang
dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting, antibisa
ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang awalnya
terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh
ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda.
PENCEGAHAN GIGITAN ULAR
a. Mengenali ular lokal di daerah masing-masing, mengetahui tempat tinggal dan
tempat persembunyian yang disukai ular, mengetahui waktu dan cuaca dimana ular
akan lebih aktif, terutama gigitan ular setelah hujan, saat banjir, saat panen, serta
malam hari
b. Gunakan sepatu atau bots dan celana panjang, khususnya saat berjalan di malam hari
atau semak-semak
c. Gunakan cahaya (lampu senter, obor) saat berjalan di malam hari
d. Hindari ular sejauh mungkin, termasuk pertunjukan penjinak ular. Jangan pernah
menyentuh, mengancam, atau menyerang ular dan jangan pernah menjebak dan
memojokkan ular dalam tempat tertutup
e.

Bila memungkinkan, hindari tidur di tanah

f. Jauhkan anak-anak dari daerah yang diketahui rawan ular


g. Hindari atau lakukan dengan saat hati-hati saat menangani ular mati, atau ular yang
terlihat mati
h. Hindari reruntuhan, sampah, gundukan anai-anai, atau hewan domestik yang dekat
dengan hunian manusia, karena dapat menarik ular
i. Memeriksa rumah secara berkala untuk ular, dan bila mungkin, hindari jenis
konstruksi rumah yang memungkinkan ular untuk bersembunyi (misalnya dinding
jerami dan tanah liat yang memiliki celah dan ruang yang lebar, ruang tidak tertutup
pada lantai)
j. Untuk mencegah gigitan ular laut, nelayan sebaiknya menghindari menyentuh ular
laut yang tertangkap jala dan terpancing. Kepala dan ekor ular tidak mudah
dibedakan. Terdapat resiko tergigit pada mereka yang mandi dan mencuci pakaian
pada air yang keruh pada muara, hulu sungai dan pesisir pantai.

DAFTAR PUSTAKA
Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East
AsiaRegion, World Health Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold
Blooded News Vol. 28,Number 3, March, 2001.
Norris, Robert L.; Auerbach, Paul S.; Nelson, Elaine E.;. (2004). Bites and Stings. In
C. M. Townsend JR, Sabiston: Textbook of Surgery 17th edition (p. 597). Philadelpia:
Elsevier.
Schwartz, S. I. (2000). Intisari Prinsip - prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai