Anda di halaman 1dari 10

Trombositopenia yang Disebabkan Oleh Heparin

Andreas Greinacher, M.D.

Jurnal ini diawali dengan sebuah gambaran kasus yang menyoroti sebuah
masalah klinis umum. Petunjuk yang mendukung beragam metode juga
disajikan, diikuti oleh tinjauan pedoman-pedoman resmi, jika ada. Artikel
ini diakhiri oleh sejumlah rekomendasi klinis dari penulis.

Seorang wanita berumur 64 tahun yang dirawat di rumah sakit


karena mengidap endokarditis dan dalam kondisi stabil serta
menerima injeksi antiobiotika intravena mengalami penurunan
jumlah platelet dari 161.000 per milimeter kubik pada hari ke-7
perawatan hingga 60.000 per milimeter kubik pada hari ke-9.
Wanita tersebut telah menerima heparin berat molekul rendah
berdosis 40 mg per hari sejak masuk rumah sakit. Bagaimana
sebaiknya kasus wanita tersebut dievaluasi dan diatasi secara
lebih lanjut?

KASUS KLINIS
Berbeda dengan kondisi lainnya yang disebabkan oleh peningkatan
pengonsumsian, produktivitas yang terganggu, atau kerusakan trombosit,
yang menyebabkan komplikasi pendarahan, dimediasi imun HerpinInduced Thrombocytopenia (HIT) tidak mengakibatkan pendarahan namun
lebih mengarah ke kondisi paradoxical prothrombotic. Aksi protrombotik
ini membuat penemuan awal dari HIT menjadi sangatlah penting. HIT
terjadi kira-kira pada 1 dari 5000 pasien rawat inap, dengan variabilitas
yang besar diantara para pasien. Para pasien yang menerima heparin
yang tak terpecah selama 7 sampai 10 hari memiliki resiko paling tinggi;
tingkat terjadinya HIT 1 hingga 3% setelah operasi jantung. Komplikasi
tromboeboli berkembang di kurang-lebih 50% pasien yang positif HIT.
Trombosis vena dari pembuluh besar tungkai bawah dan emboli paru
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi, diikuti oleh trombosis
arteri perifer dan dilanjutkan dengan stroke; infark miokard biasanya tidak
terjadi. Komplikasi trombosis juga dapat memengaruhi pembuluhpembuluh lain, termasuk sinus otak atau pembuluh darah splanknik.
Timbulnya HIT biasanya terjadi dalam 5 hingga 10 hari setelah pemberian
heparin dimulai, baik para pasien yang baru pertama kali menerima
heparin maupun pasien yang kembali diinjeksi heparin. Meskipun

demikian, ada beberapa pengecualian. Pertama, operasi besar memutar


kembali waktu (dengan kata lain, jangka waktu 5 hingga 10 hari mebulang
dari awal), walaupun pasien baru saja menerima heparin (sebagai contoh,
HIT dapat berkembang dalam kurun waktu 5 hingga 10 hari setelah
operasi pada pasien yang telah menjalani hemodialisis untuk waktu yang
lama). Kedua, pada orang-orang yang telah menerima heparin 90 hari
sebelumnya (khususnya, 30 hari), ada kemungkinan terdapat antiplatelet factor 4 (PF4)antibodi heparinyang terus beredar, dan HIT
dapat tiba-tiba muncul saat pemberian heparin kembali (serangan-cepat
HIT); dalam kasus ini, HIT terkadang terkomplikasi oleh reaksi
anaphylactoid dalam waktu 30 menit setelah pemberian heparin bolus.
Jika tidak, setelah antibodi sementara menghilang (rata-rata, 50 hingga 85
hari, bergantung pada penggunaan pengujian kadar logam), regenerasi
antibodi membutuhkan setidaknya 5 hari (tanpa adanya respon
anamnestic terlebih dahulu). Pada beberapa pasien, HIT berkembang atau
memburuk setelah pemberian heparin dihentikan (serangan HIT yang
tertunda). Pasien-pasien ini bisa mendapatakan trombosis hingga 3
minggu setelah menerima heparin. Perhatikan bahwa dalam sejumlah
kasus, sebuah heparin bolus mampu memicu sindrom, sehingga
permulaan heparin adalah satu-satunya waktu yang paling tepat.
Bentuk yang langka dan fatal dari HIT adalah spontan, atau autoimun HIT,
yang berkembang saat ketiadaan pemberian heparin, paling sering terjadi
setelah operasi besar (khususnya operasi penggantian lutut) atau infeksi
baru. Berbanding terbalik dengan HIT pada umumnya, dimana jumlah
platelet meningkat dalam waktu 2 hingga 5 hari setelah antikoagulan
alternatif dimulai, autoimun HIT dapat berlangsung selama bermingguminggu.

PATOGENESIS
HIT disebabkan oleh antibodi IgB yang mengenali neoopitope pada
kemokin PF4 bermuatan positif dalam kompleks PF4-polyanion (Gambar
1). Kompleks imun yang dihasilkan menyilang reseptor Fc pada trombosit
(Fc RIIa) dan monosit (Fc RI), sehingga mengaktifkan mereka. Aktivasi
trombosit dan monosit meningkatkan pembentukam trombin, dibantu oleh
perubahan sel-sel endotel. Peningkatan trombin, bukan trombositopenia,
menyebabkan kasus klinis di atas.
Selain mengikat heparin, PF4 juga mengikat polianion-polianion lainnya,
seperti asam nukleat dan lipopolisakarida pada bakteri. Fenomena ini
dapat menjelaskan kasus-kasus HIT yang datang secara tiba-tiba setelah

operasi besar (melepaskan DNA, RNA, atau glikosaminoglikan) atau infeksi


akibat bakteri. Ada sebuah konsep menarik dimana PF4 yang telah
berubah menyesuaikan di dalam sebuah paduan bersama para
nonheparin polianion (contohnya, pada permukaan bakteri) menghasilkan
imunisasi dasar. Paduan-paduan PF4-polianion ini bertindak sebagai tanda
bahaya dan menyebabkan pembentukan antibodi IgG yang sangat cepat,
yang memfasilitasi proses opsonisasi dan fagositosis dari bakteri yang
terlapisi PF4, bahkan melawan patogen PF4 yang belum pernah ditemui
oleh sistem imun sebelumnya. Mekanisme ini, bagaimanapun,
menghasilkan HIT jika salah dalam proses pengobatan dengan heparin
sebagaimana reaksi dari imun sekunder terhadap trombosit yang terlapisi
paduan PF4-heparin, yang mengakibatkan produksi dini (antara hari ke-5
dan hari ke-14) dari antibodi IgG bertiter tinggi. Antibodi anti-PF4-heparin
diproduksi oleh sel-sel B (kemungkinan sel marginal-zone B), yang mampu
memediasi respon antibodi transien.

LANGKAH-LANGKAH DAN PETUNJUK

BAHAYA DARI HIT

Bahaya dari HIT bergantung pada tipe heparin dan pasien. Kemungkinan
HIT pada pasien yang menerima heparin tak terpecah 10 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien yang menerima heparin berat molekul
rendah, dan HIT terjadi lebih sering pada pasien yang pernah menjalani
operasi besar dibandingkan dengan pasien yang pernah menjalani operasi
kecil atau sedang dalam terapi medis. HIT jarang ditemukan pada pasien
yang mengandung, walaupun dalam aspek selain kehamilan, wanita
sedikit lebih berisiko terjangkit HIT dibandingkan pria.
DIAGNOSA

Diagnosa HIT didasarkan pada turunnya jumlah trombosit lebih dari 50%
atau trombosis yang timbul 5 hingga 10 hari setelah pemberian heparin,
sehubungan dengan munculnya trombosit yang mengaktivasi antibodi
HIT, seperti yang ditunjukkan dengan cara uji fungsional atau kesimpulan
dari imunoasai positif yang kuat. Penurunan jumlah trombosit pada HIT
terjadi dengan sangat cepat (selama periode 1 hingga 3 hari) dan ditaksir
relatif terhadap jumlah trombosit tertinggi saat pemberian heparin. Nadir
biasanya berada pada titik 40.000 hingga 80.000 trombosit per milimeter
kubik, namun jumlah tersebut bisa saja berada pada titik normal (sebagai
contoh, penurunan dari 50.000 ke 20.000 per milimter kubik). Kurang dari
10% pasien mengalami penurunan jumlah trombosit yang kurang pasti
(30 hingga 50% dari jumlah tertinggi sebelumnya). Jarang didapati jumlah
trombosit turun hingga di bawah 20.000 per milimeter kubik, khususnya
jika HIT dikaitkan dengan penyebab trombositopenia lainnya, seperti
koagulopati konsumtif.
Meskipun pengawasan terhadap penurunan jumlah trombosit
mempermudah penemuan HIT, sulit untuk menerapkannya ke banyak
pasien, terutama pasien rawat jalan. Pengawasan sebaiknya dilakukan
saat risiko timbulnya HIT cukup tinggi (>1%), seperti pada pasien-pasien
yang pernah menjalani operasi jantung dan yang menerima heparin tak
terpecah setelah operasi besar (selain heparin yang dikonsumsi untuk
munculnya rona kemerahan intraoperatif atau rona kemerahan karena
kateter). Setelah operasi besar, pasien biasanya mengalami peningkatan
jumlah trombosit yang reaktif yang melampaui batas jumlah minimum
(yaitu, jumlah sebelum pemberian heparin) setelah minggu pertama
pascaoperasi. Mengingat waktu yang diperlukan HIT untuk terjadi,

pengawasan terhadap jumlah trombosit pada hari ke 5, 7, dan 9


mengizinkan kita untuk mengidentifikasi HIT secara dini pada sebagian
besar pasien. Meskipun HIT timbul kemudian, jumlah trombosit pada hari
ke-9 mendekati jumlah maksimal dari trombosit pascaoperasi. Mengawasi
jumlah trombosit pada hari-hari tersebut mempermudah identifikasi
penurunan jumlah trombosit lebih dari 50%, yang bisa saja terlewatkan
jika hanya batas jumlah minimum praoperasi yang diperhatikan. Bahkan
dengan pengawasan terhadap jumlah trombosit sekalipun, komplikasi
trombotik pertama bisa jadi tidak dapat dihindari, sebab kurang lebih
pada 20% pasien yang sebelumnya sudah atau sedang terkena komplikasi
trombotik, jumlah trombosit menurun.
Scoring system juga dapat membantu proses memperkirakan
kemungkinan timbulnya HIT. Scoring system yang paling sering digunakan
adalah sistem 4T score, yang menilai berdasarkan 4 faktor; relatifitas
penurunan jumlah trombosit, waktu saat jumlah trombosit turun pertama
kali, ada atau tidaknya trombosis, dan kemungkinan adanya penyebab
lain, dengan nilai bagi masing-masing faktor 0 sampai 2 dan nilai tertinggi
menunjukan kemungkinan tertinggi adanya HIT. Total nilai yang berjumlah
kurang dari 4 poin memiliki nilai prediksi negatif yang sangat tinggi (97
hingga 99%), sebalinya nilai prediksi positif sangatlah rendah (10 hingga
20% untuk nilai menengah [4 atau 5 poin] dan 40 hingga 80% untuk nilai
yang tinggi [6 hingga 8 poin]). Nilai rendah yang salah dapat diakibatkan
oleh nilai jumlah trombosit yang hilang atau kondisi penumpukan yang
bisa saja menutupi trombositopenia. Bagi pasien yang mengalami hal-hal
tersebut dan bagi mereka yang memiliki nilai menengah atau tinggi,
diperlukan tes laboratorium untuk mendeteksi HIT.
UJI LABORATORIUM TAMBAHAN

Imunoasai enzim anti-PF4-heparin memiliki nilai prediktif negatif yang


sangat baik (98 hingga 99%) tapi memiliki nilai prediktif positif yang
rendah, akibat deteksi antibodi anti-PF4-heparin yang tidak signifikan
secara klinis. Dalam studi sero-survelians sistematis, HIT yang terbukti
secara klinis berkembang hanya pada minoritas (2 hingga 15%) pasien
yang menerima heparin yang di dalam tubuhnya terdeteksi antibodi antiPF4-heparin saat proses imunoasai enzim. Pada pasien yang terjangkit
trombositopenia dengan hasil test negatif, pengujian ulang tidak
disarankan karena tidak adanya penurunan jumlah trombosit baru atau
peristiwa trombotic. Antibodi anti-PF4-heparin selalu ada sebelum jumlah
trombosit mulai menurun, dan sero-konversi yang terjadi setelah uji
negatif terhadap antinodi anti-PF4-heparin dilakukan sebelumnya hampir
selalu mendeteksi antibodi yang tidak relevan. Diagnosis dan penangan
HIT yang berlebih mungkin lebih sering ditemukan dibandingkan dengan

identifikasi yang disepelekan, mengingat frekuensi tinggi timbulnya


tromobositopenia pada pascaoperatif dini dan pasien dalam kondisi sakit
kritis dan kurangnya spesifikasi asai.
Beberapa cara dapat digunakan untuk meningkatkan spesifikasi
imunoasai enzim PF4-heparin. Cara pertama adalah dengan pembatasan
asai pada antibodi IgG, sebab hanya IgG yang mengaktifkan trombosit
dan monosits menggunakan reseptor Fc, sementara beberapa asai
komersil mendeteksi gabungan IgG, IgA, dan IgM. Selain itu, tingkat
reaktivasi imunoasai enzim anti-PF4-heparin sebaiknya diperhatikan,
sebab semakin tinggi tingkat rekativasi terjadi semakin tinggi pula
kemungkinan timbulnya HIT; sebuah densitas optis yang kurang dari 1,0
pada imunoasai enzim jarang dikaitkan dengan antibodi anti-PF4-heparin
yang secara klinis relevan. Namun, nilai densitas optis merupakan unit
yang berubah-ubah dan mungkin bervariasi di beberapa laboratorium
berbeda. Pembatasan imunoasai enzim oleh heparin berkonsentrasi tinggi
juga meningkatkan spesifikasi, tapi antibodi yang paling relevan dan
paling kuat bereaksi tidak ikut terbatasi.
Ketepatan diagnosa HIT dapat ditingkatan dengan penggunaan baik
imunoasai enzim anti-PF4-heparin dan uji fungsional (contohnya, asai
aktivasi trombosit). Secara khusus, asai aktivasi trombosit dengan
menggunakan trombosit yang telah dicuci (contohya, asai yang
melepaskan serotonin dan uji aktivasi trombosit akibat heparin, dengan
keduanya menggunakan pembatasan tinggi terhadap heparin) lebih
spesifik dibandingkan dengan imunoasai enzim bagi antibodi yang relevan
secara klinis dan juga mendeteksi antiobodi-antibodi yang jarang ditemui
dengan spesifikasi berbeda. Asai fungsional negatif pada dasarnya
mengeluarkan HIT. Asai ini dilarang di beberapa laboratorium khusus dan
biasanya digunakan sebagai uji tingkat dua pada pemeriksaan diagnostik
HIT.
Asai HIT sebaiknya tidak digunakan untuk menyaring pasien asimtomatik
dan hanya ditafsirkan dalam hal pra uji kemungkinan adanya HIT. Nilai 4T
yang rendah dan menengah bersama dengan uji antigen yang negatif
dapat mengensampingkan HIT, sedangakan nilai yang menengah dan
tinggi bersama dengan asai fungsional yang positif memperbesar
kemungkinan adanya HIT.
Pada sebagian kelompok pasien, antibodi anti-PF4-heparin menunjukan
nilai densitas optis yang sangat tinggi (>2.0) dan mengaktifasi trombosit
secara kuat bahkan tanpa adanya heparin. Autoreaktif antibodi ini, yang
pertama kali ditemukan saat HIT terlambat muncul, menengahi HIT yang
muncul secara tiba-tiba. Antibodi-antibodi yang autoreaktif tersebut

mungkin ada namun berpindah-pindah dalam periode 5 sampai 7 hari


pertama HIT, tanpa memengaruhi proses penangangan.
Pada pasien-pasien yang diduga kuat atau bahkan positif HIT,
ultrasonografi dupleks dapat mengenyampingkan adanya trombosis vena
dalam subklinis, yang bisa memengaruhi lamanya penanganan. Pada
pasien-pasien HIT yang mengalami rasa sakit yang berhubungan dengan
perut atau hipotensi, pendarahan bilateral pada kelenjar adrenal yang
berkaitan dengan trombosis di pembuluh darah adrenal harus
diperhatikan; sakit kepala yang parah mungkin terjadi sebagai akibat dari
trombosis sinus kavernosus.
PENANGANAN

Intervensi-intervensi kunci pada pasien yang diduga kuat atau positif HIT
akut adalah penghentian cepat dari heparin (jika masih diberikan) dan
inisiasi alternatif antikoagulan dalam dosis terapeutik. Antikoagulan yang
dalam dosis profilaksis kurang tepat untuk mengganti generasi masal
trombin, bahkan jika si pasien tidak memilki trombosis semu. Vitamin K
antagonis (contohnya, warfarin dan phenprocoumon) sebaiknya tidak
diberikan hingga HIT mereda (sebagai contoh, jumlah trombosit telah
meningkat hingga >150.000 per milimeter kubik pada keadaan stabil
selama 2 hari berturut-turut), karena Vitamin K antagonis tersebut dapat
meningkatkan risiko dari venous limb gangrene dan limb loss dengan
menurunkan kadar protein C. Saat Vitamin K anatgonis dinisiasi, harus
dilengkapi oleh alternatif antikoagulan.
Ada dua obat yang diperbolehkan untuk digunakan dalam penanganan
HITargatroban yang mencegah langsung trombin (di Amerika Serikat,
Kanada, Uni Eropa, dan Australia) dan danaparoid yang menghalangi
faktor Xa yang bergantung pada antitrombin (di Kanada, Uni Eropa, dan
Australia). Sebuah analisis dari kelompok prospektif menunjukan adanya
penurunan risiko akan outcome dari trombosis baru, kematian akibat
trombosis, atau amputasi yang terkait dengan trombosis pada pasien
yang ditangani dengan argatroban, jika menilik pada kontrol historis
(tingkat bahaya outcome trombosis baru pada pasien HIT tanpa
trombosis, 0.33; 95% confidence interval [CI], 0.20 hingga 0.54; tingkat
bahaya outcome trombosis baru pada pasien HIT yang memiliki trombosis,
0.30; 95% CI, 0.25 hingga 0.62). Sebuah analisis terhadap outcome
danaparoid yang digunakan dalam compassionate use menunjukan
tingkat keberhasilan penanganan (pembaharuan jumlah trombosit tanpa
trombosis baru dan tidak ada peristiwa besar yang merugikan yang
membutuhkan penghentian obat) hingga melebihi 90%. Dalam sebuah
percobaan rambang kecil yang membandingkan danparoid dengan

dextran 70 untuk penanganan HIT bertrombosis, tingkat pembaharuan


dari tromboembolisme secara signifikan lebih tinggi jika menggunakan
danaparoid. Fondaparinux dan bivalirudin juga digunakan dalam kasus ini,
meskipun obat-obat tersebut belum mendapatkan izin dari Food and Drug
Administration untuk indikasi ini. Beberapa kasus menunjukan hasil yang
baik bagi pasien HIT yang mengonsumsi fondaparinux atau bivalirudin.
Argatroban sering digunakan oleh pasien yang dalam kondisi sakit kritis.
Obat ini relatif memiliki waktu paruh yang pendek, yang merupakan
fungsi ginjal bebas, namun memerlukan pemberian intravena.Dikarenakan
argatroban yang memengaruhi rasio ternormalkan internasional,
perpindahan ke warfarin harus mengikuti protokol khusus. Satu hal yang
terkesampingkan adalah masa tromboplastin separa yang telah aktif bisa
saja seakan tinggi saat argatroban diberikan kepada pasien yang memiliki
koagulopati lebih (sebagai contoh, koagulopati konsumtif atau fungsi hati
yang terganggu) atau pasien yang sebelumnya menerima penanganan
dengan wafarin. Situasi ini dapat menyebabkan terjadinya kekurangan
dosis argatroban, dengan risiko trombosis mikrovaskular progresif dan
ischemic limb loss. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan penggunaan
asai pembekuan yang berbasis ecarin (yang memiliki kertabatasan
kemampuan) atau asai masa trombin dengan plasma yang terencerkan
(dimana argatroban harus memenuhi standar nasional).
Danaparoid dapat diberikan secara intravena atau subkutan, sementara
fondaparinux hanya diberikan secara subkutan. Kedua obat ini dapat tepat
diawasi oleh asai anti-faktor Xa, namun obat-obat tersebut memiliki wkatu
paruh yang panjang dan pada pasien dengan insufisiensi ginjal diperlukan
penyesuaian dosis. Suntikan subkutan membuat obat-obat ini lebih
mudah diberikan dibandingkan dengan argatroban di luar unit perawatan
intensif (ICU). Selain itu, danaparoid menghalau mekanisme imun HIT
dengan menghancurkan kompleks PF4-heparin. Belum ada kasus yang
menyatakan bahwa memburuknya HIT akibat penggunaan danaparoid
ataupun fondaparinux sejauh ini. Meskipun sebagian besar kasus
memburuknya HIT disebabkan oleh antibodi autoimun HIT dan bukan
akibat dari obat-obat tersebut, namun sebagian kecil pasien memiliki
reaktivitas silang in vivo dan in vitro positif. Jika HIT tersebut memburuk
meski tingkat aktivitas anti-faktor Xa sesuai pada pasien yang
mengonsumsi danaparoid atau fondaparinux, penanganan perlu diubah
(contohnya, diubah ke argatroban).
Transfusi trombosit profilaksis sebaiknya dihindari pada pasien yang
terjangkit HIT. Risiko pendaharan sangatlah rendah, dan tranfusi semacam
itu dapat meningkatkan risiko trombosis.

BAGIAN-BAGIAN SAMAR

Meskipun data in vitro menyarakan dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban


juga dapat digunakan untuk menangani pasien HIT, perlu data lebih
sebeluh obat-obat ini dapat direkomendasikan untuk kasus HIT akut. Hal
yang perlu diperhatikan adalah apakah trough levels mampu untuk
menghalang proses generasi trombin dengan mereaktifkan antibodi antiPF4-heparin secara kuat.
Pasien yang terkena HIT dengan trombosis membutuhkan antikoagulasi
berdosis terapeutik selama minimal 3 bulan. Namun, pada pasien HIT
tanpa trombosis, durasi dari antikoagulasi berdosis terapeutik setelah
jumlah trombosit mencapai plato stabil (secara ideal >150.000 per
milimeter kubik) tidak dapat ditentukan.
Imun globulin G intravena berdosis tinggi (sebagai contoh, pada dosis 2 g
per kilogram berat badan setelah periode 2 hari) menghalau HIT dengan
menutupi reseptor trombosit Fc. Data berbatas menganjurkan obat ini
bisa menjadi sebuah pilihan (bersama dengan antikoagulasi) bagi pasien
yang berisiko tinggi memiliki trombosis dan pendaharan (pasien-pasien
yang sedang hamil atau memiliki HIT yang terkomplikasi dengan
trombosis vena sinus) atau pasien yang mempunya autoimun HIT.
PF4 membentuk kompleks-kompleks dengan asam nukleat bermuatan
negatif dan aptamer, yang bereaksi silang dengan antibodi anti-PF4heparin. Aptamers dan obat-obat lainnya yang berbasis asam nukleat
mulai memasuki aplikasi klinis, dan masih belum jelas apakah mereka
mampu mengakibatkan HIT.
Pada pasien yang memiliki sejarah pernah terkena HIT yang
membutuhkan operasi jantung, penundaan operasi hingga antibodi antiPF4-heparin yang mengaktivasi trombosit menghilang dan kemudian
menggunakan heparin dengan cara intrabedah adalah langkah teraman.
Opsi lain dalam situasi darurat adalah pengambilan antibodi anti-PF4heparin yang mengaktifasi trombosit dengan cara plasmaferesis, seperti
yang dijelaskan dalam laporan anekdot. Sebalinya, bivalirudin merupakan
antikoagulan yang sesuai untuk operasi jantung jika antibodi pengaktif
trombosis anti-PF4-heparin ada. Namun, penggunaannya membutuhkan
pendekatan khusus untuk menghindari stagnasi darah (yang berakibat
pada degradasi bivalirudin).
PEDOMAN-PEDOMAN

Pedoman-pedoman dalam the American College of Chest Physicians


(ACCP) dan pedoman nasional Eropa menuliskan tentang HIT. Dalam

ketidakadaan data dari percobaan acak, sebagian besar rekomendasi


didukung oleh bukti bermutu rendah. Semua pedoman-pedoman tersebut
menyarankan penggunaan scoring system untuk menentukan probabilitas
HIT sebelum pengujian dilakukan dan menekankan pentingnya
antikoagulan berdosis terapeutik pada kasus HIT akut. Pedoman-pedoman
ini berbeda-beda berasarkan rekomendasi-rekomendasi spesifik tentang
pasien mana yang harus menjalani pengawasan jumlah trombosit secara
rutim dan frekuensi dari pengawasaan itu sendiri. Pedoman ACCP
menyatakan bahwa pasien yang sedang dirawat berisiko tinggi terkena
HIT (>1%) setiap 2 sampai 3 hari antara hari ke-4 dan hari ke-14.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pasien yang dideskripsikan dalam gambaran kasus telah mengalami


penurunan jumlah trombosit setelah beberapa hari terapi dengan heparin
berat molekul rendah, yang meningkatkan kewaspadaan akan HIT.
Penghitungan nilai 4T disarankan untuk menentukan besar risiko pasien
tersibut terkena HIT. Nilainya yang berujumlah 5 poin (penurunan jumlah
trombosit, 2; waktu, 2; trombosis, 0; dan kemungkinan pengaruh faktor
lain, 1, sebab endokarditis pasien tersebut stabil dan jumlah trombosit
terlalu tinggi untuk imun trombositopenia akbiat antibiotik)
menempatkannya pada risiko menengah. Meskipun pengawasan rutin
terhadap antibodi PF4-heparin sangat dihindari, pasien yang berisiko
menengah atau tinggi sebaiknya menjalani pengujian ini. Imunoasai
enzim anti-PF4-heparin IgG positif juga dibutuhkan untuk mendiagnosa
HIT meskipun tidak spesifik. Sebuah pengujian yang sangat postif
(densitas optis, >1,5) atau asai aktivasi trombosit postif akan sangat
mendukung diagnosa HIT. Penanganan ini mencakup penghentian cepat
heparin dan inisiasi alternatif antikoagulan (argatroban atau danaparoid,
yang keduanya sudah mendapatkan izin untuk indikasi ini, atau
fondaparinux atau bivalirudin, dimana penggunaan obat-obat tersebut
harus didampingi oleh seri kasus).

Anda mungkin juga menyukai