Asma Nadia
2015
Sumber:
Harian Republika dan www.republika.co.id
KEAGAMAAN
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
"Allah, terima kasih atas satu hari lagi yang Kau beri!"
Setiap hari adalah keajaiban.
Setiap hari adalah berkah.
Meski seringkali kita lupa akan begitu banyak nikmat sebab terlalu berlimpah yang
Allah beri.
Teringat sebuah dialog yang saya dengar bertahun lalu, ketika Sultan mendapatkan
pertanyaan dari seorang Bijak, "Paduka, seandainya paduka terdampar di tengah
padang pasir berhari-hari, tanpa air sama sekali, padahal yang paduka butuhkan
saat itu hanyalah segelas air putih. Jika seseorang datang dengan segelas air putih.
Apakah paduka bersedia memberikan salah satu istana sebagai bayarannya?"
Tanpa berpikir dua kali, Sultan mengangguk.
"Jika ia menuntut setengah kekayaan Paduka, apakah masih mau menukarkannya?"
"Tentu saja," jawab Sultan.
"Tapi jika seseorang tersebut baru bersedia menukar segelas air jika mendapatkan
semua kekayaan Paduka, apakah bersedia?
Sudahkan langkah kita berjalan hanya ke arah kebaikan? Apakah selama ini ringan
kaki menuju tempat ibadah, apakah langkah pun bersegera menjelang pintu-pintu
kebaikan?
Sudahkah tangan diperuntukkan hanya bagi kebaikan? Apakah selama ini kita
menandatangani proyek kebaikan atau justru kerusakan? Apakah tangan digunakan
untuk melindungi atau menghancurkan?
Sudahkah karya yang dikembangkan mendukung kebaikan? Karya tulis, karya seni,
karya kerja, sudahkah semua untuk kebaikan. Seandainya saja kita belum mampu
berkarya, sudahkah kita mendukung sekuat tenaga setiap karya kebaikan?
Hari-hari di 2015 terpampang di depan mata. Adakah kebaikan lebih yang ingin kita
isi di tahun 2015 ini? Apa yang ingin kita capai?
Jangan pernah lupa akan begitu banyak kebaikan yang Allah berikan, ingat setiap
saat, agar diri bersegera melakukan kebaikan dan tidak lalai akan amanah yang
Allah berikan. Sebab jika hanya mengejar dunia, bisa jadi semuanya hanya senilai
segelas air putih saja.
Seni Memberi
28 Maret 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Seorang pengemis setengah baya mengiba di balik jendela mobil seorang sahabat,
pengusaha muda, Gadis namanya. Ia hanya mengangkat tangan tanda tak bersedia
memberikan uang diimbuhi kalimat singkat, "Maaf!"
"Seribu, 2.000 saja, Non, buat makan!" si pengemis tetap mengiba. Maaf, katanya
lagi. Lampu hijau menyala, Gadis melaju meninggalkan lampu merah tanpa memberi
sepeser pun pada si pengemis.
Di sebuah pertigaan, seorang nenek tua tampak sabar memungut satu per satu
botol dan gelas bekas minuman mineral di pinggir jalan. Gadis meminggirkan
mobilnya, turun dan mengobrol sebentar dengan sang nenek. Sejurus kemudian,
mengulurkan uang 50 ribuan dari dompet tanpa diminta.
Segenap doa keluar dari mulut sang nenek agar rezeki mengalir buat sang pemberi
sedekah. Sahabat saya hanya tersenyum dan berlalu.
Sejam kemudian, ia bertemu seorang kakek penjual pisang. Lagi-lagi, Gadis
memberhentikan kendaraannya. "Berapa, Pak?" "20 ribu setandan. Gadis
mengeluarkan uang 100 ribuan dan mengambil pisang setandan, kemudian berlalu
tanpa mengambil uang kembalian.
Kejadian berturut-turut tadi sebenarnya bukan hal luar biasa. Siapa pun yang dekat
10 juta sebulan?"
Anggukan kepala si Gadis sepenuhnya menghapus keraguan. "Awalnya, saya juga
tidak percaya. Tapi, coba hitung. Rata-rata lampu merah berhenti 60 detik. Berarti
dalam satu jam ada 60 kali lampu merah. Jika pengemis mengejar tiap peluang
lampu merah dan setiap lampu merah mendapat Rp 2.000, maka sejam diprediksi
penghasilannya bisa mencapai Rp 120 ribu. Jika bekerja selama delapan jam penuh
maka potensi penghasilannya mencapai Rp 960 ribu per hari. Anggap ia hanya
menunggu di satu sisi, berarti dia akan mendapat Rp 480 ribu per hari. Wajar jika
mengemis menjadi bisnis besar. Bahkan, ada pihak yang mengumpulkan mereka
untuk dikaryakan sebagai pengemis."
Mobil telah terparkir di halaman rumah saya. Sebelum berpisah, sang sahabat
menutup pembicaraan. "Wallahu a'lam apakah cara saya salah. Hanya, rasanya
tidak adil jika pengemis mendapat penghasilan lebih dari mereka yang bekerja
keras. Berbeda jika ada pengemis di daerah bencana yang meminta-minta karena
kehilangan segalanya. Saya mengangguk, melambaikan tangan hingga
kendaraannya menghilang di gerbang kompleks.
Begitu banyak keutamaan bersedekah yang Rasulullah sampaikan menjadi motivasi
tersendiri untuk berbagi. Sedekah bisa menambah rezeki, juga menolak bala.
Sedekah memadamkan amarah Allah. Sedekah yang ikhlas mampu menolak suul
khatimah atau jelek dalam menemui kematian. Sedekah pun bisa menjadi jalan
kesembuhan.Bahagia ada bukan karena menerima, melainkan dengan memberi.
Mengenal si Gadis bertahun-tahun cukup bagi saya untuk mengerti jalan sedekah
yang dipilih-Nya demi membuka pintu keridhaan Allah. Hari ini, ditambah sebuah
pelajaran baru, menggabungkan semangat berbagi dengan seni memberi. Memilih
dengan bijak dari begitu banyak cara berbagi hingga lebih banyak mendatangkan
manfaat dan kebaikan.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Ada satu adegan menarik dalam film PK yang sukses menjadi film terlaris sepanjang
sejarah film India. Dalam adegan tersebut, PK (tokoh pemeran utama yang berasal
dari planet lain) membawa beberapa pemeluk agama ke sebuah ruang pertemuan
orang suci.
Orang pertama berjanggut dan berpeci, orang kedua yang terlihat klimis
mengenakan jubah pendeta lengkap dengan kalung salibnya, orang ketiga berbaju
pandita Hindu, sementara sosok keempat berkepala plontos dengan baju biksu.
Lalu, PK bertanya pada lawan bicaranya, pemimpin yang dikultuskan, apakah ia
tahu agama yang dianut keempat orang di hadapannya itu? Dengan mudah orang
suci mengatakan, "Mudah. Yang pertama adalah Muslim, yang kedua adalah
Nasrani, ketiga Hindu, dan keempat adalah Buddha."
Mendengar itu, PK tersenyum. "Anda menilai agama seseorang hanya dari apa yang
Anda lihat." Kepada keempat orang yang dibawanya, PK lalu berbicara.
"Siapakah yang Muslim?" Orang ketiga yang mengenakan busana identik dengan
penganut agama Hindu maju. Sontak semua terperangah, termasuk sang pemimpin
yang seluruh tebakannya salah. Ternyata, keempat orang tersebut telah bertukar
pakaian lebih dahulu. Begitu mudah karenanya tokoh agama yang dianggap orang
suci--juga penonton--terkecoh.
Adegan di atas bukan sekadar lelucon, melainkan punya pesan yang sangat
Menghormati Salat
18 April 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Ada sebuah pemandangan tidak lazim di lorong Stadion Anfield saat Liverpool
bertanding melawan Blackburn Rovers 8 Maret lalu. Dua orang muslim melakukan
salat di waktu jeda istirahat setelah babak pertama berakhir.
Mungkin kejadian ini akan berlalu begitu saja jika tidak ada yang
mempermasalahkan. Akan tetapi seorang fans Liverpool memilih memotret, mentweet dan menghinanya, sehingga memicu reaksi, terutama para netizens.
"Muslim berdoa saat istirahat babak pertama kemarin. #memalukan!"
Begitu bunyi cuitan Stephen Dodds yang akhirnya memancing kericuhan di media
sosial. Bagaimana Liverpool menanggapinya?
The Red tidak menganggap remeh insiden ini. Klub melaporkan tindakan Dodds
ke kepolisian. Official Club menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk
menegaskan bahwa klub tidak mentolelir segala bentuk diskriminasi terkait dengan
ras, jenis kelamin, usia, maupun agama. Klub sepak bola raksasa tersebut
menyadari pentingnya menghormati salat yang merupakan kewajiban umat Islam.
Peristiwa ini melemparkan kenangan saya ketika berkunjung ke sebuah toko kecil di
Eropa Timur, yang pemiliknya berkebangsaan Serbiatahun 90-an Serbia dikenal
sebagai bangsa pembantai kaum muslimin Bosnia dalam misi ethnic cleansing yang
dilakukan milisi dan militer. Ketika berada di dalam toko saya tersadar bahwa waktu
salat telah tiba dan akan sulit mencari tempat lain untuk salat kecuali di toko yang
ukurannya tidak lebih besar dari satu petak kecil itu.
Saya minta izin bapak tua pemilik toko untuk menumpang salat. Dia mengiyakan
bahkan menggeser etalase dan kursi agar saya punya cukup ruang. Lalu tentang
wudu, bapak Serbia itu berkata, "Saya tidak punya kamar mandi, tapi kamu bisa
pergi ke restoran di seberang jalan. Katakan pada mereka kamu adalah customer
saya, untuk menggunakan toiletnya!"
Bapak tua itu sebenarnya bisa berkata, "Ruang saya sempit, tidak ada kamar
mandi," untuk menolak permintaan saya salat. Tapi ia memilih menolong dan
mempermudah.
Kejadian kebalikan justru dialami suami ketika berbelanja ke sebuah toko yang
menyediakan solusi perkakas kerja di wilayah Margonda Depok. Saat itu menjelang
maghrib, suami mampir untuk membeli perkakas sebagai solusi memperbaiki
rumah. Karena waktu yang sempit, suami meminta izin ikut salat di toko tersebut.
Staf di sana bilang ruang salat hanya ada untuk staf. Lalu staf tersebut minta izin
pada supervisor-nya, tapi sang atasan tidak mengizinkan.
Suami menegaskan dirinya pelanggan yang cukup sering datang dan mempunyai
daftar belanja banyak, sehingga bisa kehilangan waktu salat jika ia tidak diizinkan
menumpang. Sekali lagi staf minta izin pada supervisor, dan ternyata tetap tidak
mendapatkan persetujuan. Tidak menyerah suami memutuskan untuk menemui
supervisor di sana, namun usaha tetap nihil. Padahal sang supervisor adalah
seorang muslim.
Akhirnya suami terpaksa meninggalkan tempat yang tidak memberi solusi untuk
mempermudah salat tersebut, dan kemudian menuju toko hardware lain di jalan
yang sama. Di tempat ini, pihak toko mengizinkan customer salat di musala
pegawai.
Saya jadi teringat sebuah tempat mewah di Margonda yang menyediakan musala
sangat tidak nyaman. Toko ini bisa jadi merupakan toko pastry paling mewah di
Kekuatan Ramadhan
28 Juni 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Seorang pria yang sedang berada di balik kemudi, marah besar menyaksikan
kendaraan di depannya diam dan menimbulkan kemacetan. Hal yang membuatnya
akan terlambat tiba di kantor.
Dengan wajah kesal, ia segera membuka kaca, bersiap mengumpat si pengemudi
mobil. Tapi begitu kaca terbuka, lelaki ini tiba-tiba tersadar jika ia sedang berpuasa.
Maka kembali kaca jendela mobil dinaikkan diiringi ucapan istighfar. Menarik napas
dalam, memilih bersabar hingga lalu lintas kembali normal.
Di sebuah sekolah, seorang siswa yang kesulitan menghadapi ujian, berusaha
meraih kertas contekan yang telah disiapkan di bawah meja. Akan tetapi, sebuah
bisikan hati serta merta menghentikan usahanya. "Malu, masak lagi puasa nyontek!"
Siswa ini lalu mengerjakan ujian sampai selesai tanpa membuka-buka kertas yang
sudah disiapkan, dan bertekad belajar lebih giat selama Ramadhan sehingga tak
perlu menyontek.
Beberapa ibu berkumpul, berbincang akrab dan santai sambil menunggu anak-anak
mereka yang masih kecil sekolah. Topik yang dibicarakan beragam, mulai dari film,
sinetron religi, harga yang melambung naik, bisnis yang makin sulit, hingga
merembet ke masalah personal orang lain. Seperti biasa, di antara mereka selalu
saja ada bigos (biang gosip) yang memberi 'info' terbaru. Akan tetapi, kali ini semua
Pribadi yang mudah naik darah, terbukti bisa menahan diri selama berpuasa.
Artinya, jika mau mereka punya kemampuan untuk itu. Sayang di bulan lain lebih
banyak yang memilih kembali kalah dalam menahan emosi.
Orang yang curang dan sering melakukan korupsi sebenarnya bisa jujur. Tapi ia
memutuskan meneruskan kebiasaan buruknya, begitu Ramadhan berakhir.
Ramadhan mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang kuat. Benarbenar kuat dan punya kemampuan menjadi pemenang dalam berbagai situasi. Kuat
menahan emosi. Kuat tidak melakukan kecurangan. Kuat untuk bertindak jujur. Akan
tetapi, banyak di antara kita hanya mau menggunakan kekuatan tersebut saat
Ramadhan dan memilih mengabaikan di sebelas bulan berikutnya.
Ramadhan adalah bulan latihan. Sebuah latihan tentu dianggap berhasil jika
melahirkan akhlak dan perilaku konsisten, bahkan sesudah masa training berlalu.
Dan berapa bilangan Ramadhan telah kita lalui? Belasan, mungkin puluhan
Ramadhan telah menyapa kita. Bilangan 'latihan' dan kesempatan bertaubat yang
Allah pertemukan kita dengannya. Sungguh bodoh dan meruginya manusia, yang
tak kunjung menjadi lebih baik, bahkan masih mengulang dosa yang sama. Padahal
mungkin saja ini Ramadhan terakhir kita.
Siang itu saya terburu-buru pergi ke bank untuk satu keperluan. Setelah melewati
macet dan berbagai hambatan, akhirnya tiba juga dengan napas terengah. Sayang,
ternyata bank yang didatangi sudah tutup.
"Selama bulan Ramadhan, bank tutup jam 14.30!" jelas satpam yang berada di
pelatarannya. Setengah atau satu jam lebih cepat dari biasanya, batin saya
mencatat.
Keesokan harinya saya datang lagi, masih untuk memenuhi keperluan yang sama.
Sampai di bank, ruangan sudah dipenuhi nasabah. Mau tidak mau saya harus
menghabiskan waktu mengantre lebih lama dari biasanya. "Maklum, Bu, karena
bank tutup lebih cepat, waktu pelayanannya jadi terbatas," tutur konsumen lain yang
senasib.
Mungkin memang harus seperti ini di bulan Ramadhan, pikir saya pasrah. Dari tahun
ke tahun toh tidak ada yang protes. Tapi, perbincangan kemudian setelah saya
pulang, membuat saya mengambil kesimpulan berbeda.
Saat beristirahat di rumah, saya menelepon Mas Eka Tanjung, sahabat di Belanda,
warga negara Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin itu
bersama keluarga.
"Wah, kami baru buka, nih?" ujarnya membuka perbincangan. "Oh, maaf
mengganggu. Selamat berbuka, Mas. Memangnya di sana buka puasa jam berapa,
ya, Mas?"
"Iya, kami buka puasanya pukul 22.07, Mbak." Jelas Mas Eka lagi. "Wah, berat.
Berarti puasanya sekitar 17 jam, ya?" Saat itu yang tebersit dalam benak saya
adalah sahur pukul 05.00-an, lalu buka puasa sekitar pukul 10 malam.
"Bukan, Mbak, di sini subuh pukul 03.03. Jadi, puasa di Belanda sekitar 19 jam.
Makanya, anak-anak di sekolah lumayan berat perjuangannya."
Masya Allah, 19 jam puasa! Subuh datang lebih cepat, Maghrib hadir lebih lambat.
Tidak ada privilese, tidak diperlakukan istimewa. Anak-anak muslim Indonesia di
Belanda hanya punya jeda waktu lima jam sehabis berbuka sebelum bersiap
berpuasa lagi.
Pembicaraan singkat dengan Mas Eka membuat saya tertarik untuk melihat data
puasa terlama di dunia. Ternyata, selama musim panas ini, negara Skandinavia
seperti Swedia, Finlandia, dan Norwegia menjalani puasa selama 21 jam--jeda
makan cuma tiga jam. Muslim di Rusia berpuasa sekitar 19 jam, di Inggris rentang
puasa 17 jam 45 menit. Di Amerika Serikat, waktu puasa 16 jam, sementara di
Jepang waktu puasa 15 jam 37 menit.
Dan di semua negara tersebut, umat Islam umumnya menjalankan ibadah puasa
tanpa ada pengecualian sama sekali. Mereka yang masih belajar harus sekolah
setiap hari, tanpa tugas yang diringankan. Mereka yang bekerja pun tetap menjalani
rutinitas setiap hari tanpa ada kekhususan. Intinya, produktivitas mereka tetap sama
sekalipun pengorbanan dan tantangan di sana jauh lebih berat.
Sedangkan, di Indonesia yang waktu berpuasa sekitar 13 jam, kaum muslimin
banyak diberi keistimewaan dengan banyak kemudahan. Pulang kantor lebih cepat,
jam masuk kerja malah ada yang lebih siang dari biasanya--kalau terlambat masih
ditoleransi--bahkan jika tidur di jam kerja pun sebagian masih dianggap wajar.
Jika kemudahan dan keluangan waktu itu agar memiliki waktu ibadah lebih panjang
mungkin bisa dimengerti. Tetapi, banyak yang menerjemahkan waktu lowong
tersebut sebagai masa istirahat lebih banyak. Jika kita mampir ke masjid-masjid
besar atau musala di siang hari, masih banyak terlihat mereka yang rebahan tidurtiduran di saat istirahat siang.
Kekontrasan yang terjadi memaksa saya kembali merenung memikirkan puasa dan
produktivitas. Apakah tepat jika ada anggapan bahwa puasa menghambat
produktivitas?
Jika melihat sejarah, bulan Ramadhan justru menjadi bulan prestasi umat Islam.
Perang Badar Kubra terjadi pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah. Fathu Makkah
terjadi tanggal 21 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Tersebarnya agama Islam pertama
kali di negeri Yaman terjadi pada Ramadhan tahun ke-10 Hijriyah. Islam di bawah
pimpinan Thariq bin Ziyad masuk ke Spanyol pertama kali pada 28 Ramadhan tahun
92 Hijriyah.
Dalam sejarah Indonesia, tak pelak bulan Ramadhan juga tercatat sebagai bulan
prestasi. Fatahillah merebut Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 M atau bertepatan
dengan 22 Ramadhan 933 H. Proklamasi kemerdekaan Indonesia juga terjadi pada
bulan suci. Ya, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan.
Kini, pertanyaan yang perlu kita gaungkan di hati masing-masing, mampukah di harihari Ramadhan yang tersisa kita produktif? Bahkan, lebih baik lagi--mungkin lebih
produktif dari 11 bulan lainnya? Masih ada sejumlah hari Ramadhan yang bisa kita
koreksi bersama, hingga setelahnya terasa benar, insya Allah, lahir-batin kita adalah
pemenang.
Al-Hajj: 23)
Dalam surat Al-Mukminun dijabarkan orang beriman adalah pewaris surga, orangorang yang khusyuk dalam shalatnya, menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, yang menunaikan zakat, dan menjaga kemaluannya.
Perindu surga adalah orang yang bertakwa.
"Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga
berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu
sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjagapenjaganya: Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka
masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya. ( QS. Az-Zumar: 73-74)
Perindu surga adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan rasulNya. " ... dan
barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di
dalamnya dan itulah kemenangan yang besar." (QS. An Nisa : 13)
Lalu siapakah yang tidak merindukan surga? Kebalikan dari semua di atas. Mereka
yang tidak beriman, tentu saja sudah jelas termasuk dalam orang-orang yang tidak
merindukan surga.
Yang berbahaya adalah orang yang mengaku beriman tapi tidak taat pada perintah
Allah dan mengabaikan ajaran Rasulullah. Mereka ingin masuk surga, percaya
surga itu ada, tapi perilakunya tidak menunjukkan kerinduannya terhadap surga.
Bahkan jika kita menelaah Al-Qur'an dan hadits serta fakta di lapangan, orang yang
perilakunya tidak menujukkan kerinduan pada surga jauh lebih banyak.
Mereka yang menyekutukan Allah atau syirik, percaya dukun, melakukan sihir, takut
hantu, adalah orang yang tidak merindukan surga. Orang yang berzina, melakukan
aktivitas yang mendekati zina, membuka situs porno, ber-khalwat (pacaran berduaduaan), melakukan sodomi atau homoseksual, adalah orang yang tidak merindukan
surga.
Ada perlakukan yang tidak biasa saya alami ketika menuju Tianjin dan Bandara
Beijing. Petugas bandara memeriksa begitu ketat, bahkan bisa dikatakan ekstra
ketat, penuh curiga, sangat berbeda dari biasanya.
Mereka bahkan meminta saya membuka jilbab (belum pernah saya alami
sebelumnya) dan juga meminta saya membuka pakaian karena mengira baju yang
saya kenakan adalah jaket (ini salah paham). Saya cukup berkeras menghadapi
petugas setempat sampai akhirnya bisa meninggalkan Beijing tanpa harus
melakukan apa yang mereka minta yang dalam kacamata Islam bisa dianggap
tidak menghormati kepercayaan individu.
Sikap yang jauh berbeda saya rasakan begitu tiba di Tianjin dan Yunnan.
Penduduknya ramah. Murah senyum dan sangat hangat menyambut kedatangan
saya dan teman-teman yang sedang mempersiapkan melihat lokasi untuk televisi
seri Assalamualaikum Beijing.
Saat meninggalkan Beijing, awalnya saya merasa diperlakukan tidak pantas. Akan
tetapi, setelah membaca beberapa berita, saya mulai memahami mengapa hal itu
terjadi.
Ternyata, ketika kami berada di Beijing, terjadi ledakan besar di Tianjin, peristiwa
yang saya dengar, tapi tidak mendetail karena sibuk beraktivitas di Beijing dengan
membaca berita tersebut. Meski jika dicermati nama-nama negara yang menolak
kehadiran pendatang, sebagian besar di antaranya juga sedang berjuang
membangun perekonomian bangsa. Belum mencapai kemakmuran yang
diharapkan, malah masih menghadapi banyak tantangan untuk mensejahterakan
bangsanya.
Selain alasan agama, ternyata ada alasan ekonomi. Seperti juga Indonesia yang
sempat 'menghalau' kehadiran muslim Rohingya dengan alasan mengurus rakyat
sendiri saja tidak mudah, apalagi ditambah beban menangani pengungsi negara
lain. Rasa kemanusiaan bangsa kita diuji!
Dibanding negara-negara di atas, sebenarnya ada negara Timur Tengah yang
memiliki kemampuan ekonomi berlimpah, tapi terkesan enggan menerima
kedatangan para pengungsi. Padahal yang menuju mereka adalah saudara seiman
yang tengah menderita dan sangat membutuhkan bantuan.
Akibatnya, media Barat dengan sinis membuat kartun di mana seorang Arab dari
balik pintu menghardik tetangga sebelah, orang Eropa, yang diskriminatif terhadap
pengungsi muslim. Di depan pintu si Eropa, seorang perempuan berkerudung
bersimpuh, mengiba ingin masuk. Yang 'lucu' dari kartun tersebut, di depan pintu
rumah orang Arab justru terbentang kawat berduri yang bahkan pengungsi tidak bisa
mendekat.
Pada kenyataannya, ada beberapa negara Arab yang dengan sangat terbuka
menerima kedatangan para pengungsi, malah menyambut dan memperlakukan
mereka dengan sukacita. Sayang hal inientah karena apatidak terekspos ke
media massa.
Sebagai manusia, kita harus belajar bahwa sikap dan tindakan kemanusiaan tidak
boleh terkotak-kotakkan. Agama, suku bangsa, budaya semata penanda identitas
belaka. Tidak seharusnya menjadi penyekat apalagi penghalang.
Sebagai informasi, Jerman menerima suaka sebanyak 98.700 migran dan tidak
membatasi diri. Kanselir Jerman Angela Merkel menyerukan negara-negara Uni
Eropa agar mengambil kuota untuk berbagi pengungsi. Swedia telah menerima
64.700 permintaan suaka. Pada 1990-an, Swedia menerima 84 ribu orang dari
Balkan.
Perancis, sekalipun permintaan suaka relatif rendah, hanya 6.700, namun Presiden
Francois Hollande mengatakan, negaranya siap menampung 24 ribu migran selama
dua tahun ke depan. Britania Raya mendapat 7.000 permintaan suaka. PM David
Cameron mengatakan siap menerima 20.000 pengungsi Suriah selama lima tahun
ke depan. Sedang Denmark telah menerima 11.300 permintaan suaka warga Suriah.
Amerika Serikat sendiri siap membuka pintu bagi 10 ribu imigran Suriah dan Afrika.
Dari negara-negara muslim yang mempunyai semangat ukhuwah, Indonesia pun
bisa belajar. Turki menerima 1,9 juta pengungsi. Menjadikannya negara yang paling
banyak menerima pengungsi sekaligus menjadi destinasi nomor satu mereka yang
ingin hijrah.
Lebanon yang berpenduduk 4,4 juta, menerima 1,1 juta pengungsi Suriah.
Peningkatan penduduk yang mencapai 25 persen, menjadikan Lebanon sebagai
negara dengan konsentrasi tertinggi pengungsi per kapita. Yordania menyediakan
tempat tinggal bagi 629 ribu orang. Negara tersebut memiliki sejarah panjang terkait
pengungsi. Hampir setengah dari tujuh juta populasinya berasal dari Palestina.
Bahkan Irak yang tengah dikepung kesulitan juga telah menampung 249 ribu
pengungsi. Sementara Mesir menerima 132 ribu migran, sebagian besar dari Suriah.
Bahkan seorang miliarder Mesir, Naguib Sawiris, menawarkan keinginan membeli
sebuah pulau di Yunani untuk menampung pengungsi.
Tampaknya kita harus kembali mereka ulang, dan mengembalikan lagi sejarah yang
penuh keteladanan Rasul bersama sahabat. Melihat dengan ruang batin bagaimana
kaum Anshor menyambut kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah, dengan
ketulusan dan cinta.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Lebih dari 700 orang meninggal akibat berdesakan
dan terinjak-injak karena penumpukan jamaah di Mina. Jumlah korban ini yang
terbesar dalam 25 tahun terakhir, dan kedua terbesar sesudah peristiwa terowongan
al-Muaisim, Mina, 2 Juli 1990 yang menelan 1.426 nyawa. Peristiwa duka setelah 11
September lalu, sebuah crane jatuh di kompleks Masjidil Haram. Kecelakaan yang
mengakibatkan 107 orang meninggal dan sekitar 238 lainnya luka-luka.
Mungkin hanya ucapan belasungkawa dan doa yang bisa kita sampaikan untuk para
korban di Mina dan Masjidil Haram, semoga Allah menjadikan mereka sebagai
syuhada. Tapi bagi pemerintah Kerajaan Arab Saudi, sepertinya doa saja bukan
pilihan tepat. Mereka harus melakukan evaluasi penuh terhadap kejadian getir
dalam rangkaian ibadah haji kali ini.
Terlebih, sebagian besar peristiwa yang menelan banyak korban jiwa terjadi di Mina
dan saat pelaksanaan lempar jumrah. Padahal, insiden serupa sempat terjadi
bertahun lalu. Pada 23 Mei 1994, sebanyak 270 jamaah tewas di Mina, juga ketika
mereka melakukan lempar jumrah.
Menyusul tiga periode haji berikutnya. Tercatat 343 jamaah tewas, sementara 1.500
lainnya terluka akibat kebakaran tenda di Mina 15 April 1997. Efek kejadian tersebut,
kini tenda para jamaah didesain agar tahan api. Kecelakaan berikutnya merenggut
nyawa 118 jamaah dan sekitar 180 lain terluka dalam insiden di jembatan Jamarat
untuk melempar jumrah pada 9 April 1998.
Rupanya nilai merah masih menghiasi penyelenggara ibadah haji, terutama terkait
jumrah. Tanggal 5 Maret 2001 tercatat 35 korban. Berikutnya pada 1 Februari 2004,
sebanyak 251 jamaah wafat dan 244 terluka akibat terkena lemparan batu jamaah
lain, selain terinjak-injak karena saling dorong antarjamaah.
Sementara, pada 12 Januari 2006, sebanyak 346 jamaah meninggal dunia dan 289
terluka saat melempar jumrah. Musibah lain menyusul ketika ratusan orang yang
baru tiba saling bertabrakan dengan jamaah lain di jembatan Jamarat. Akibat
kejadian ini, Pemerintah Arab Saudi merekontruksi ulang Jamarat agar jamaah tak
perlu berdesakan saat melempar jumrah.
Kembali pada peristiwa Mina 25 September 2015. Berita yang selalu
dikumandangkan berkaitan hal ini adalah adanya penumpukan jamaah. Bagi
penulis, analisis berita ini memberi saya ruang imajinasi dan memunculkan
pertanyaan. Mengapa bisa terjadi penumpukan? Apa yang terjadi sehingga mereka
berhenti?
Awalnya, saya hanya menduga alasan sederhana. Mungkin ada jamaah yang tali
sepatunya lepas, lalu terjatuh dan jamaah di belakangnya tersandung, hingga terjadi
saling dorong dan memakan korban. Atau mungkin beberapa jamaah pingsan,
bahkan wafat di barisan depan hingga jamaah lain tertahan. Begitu seterusnya
seperti efek domino hingga memakan korban. Akan tetapi, beberapa media melansir
meninggalnya lebih dari 700 orang jamaah haji di Mina kali ini dipicu iring-iringan
pengamanan seorang pejabat kerajaan yang menghambat jalan. Berita tersebut
sudah dibantah pemerintah setempat karena mereka juga mempunyai standar
pengamanan yang tidak akan mengganggu jamaah haji.
Terlepas apa penyebabnya, saya pribadi pernah terjebak dalam situasi unik ketika
umrah, beberapa tahun lalu. Saat sedang bertawaf mengelilingi Ka'bah, tiba-tiba
putaran terhenti, sementara dari arah belakang jamaah tetap merangsek ke depan.
Saya terimpit dan nyaris kehabisan napas. Suara kepanikan terdengar di mana-
Kata Rasulullah SAW selanjutnya, Itulah orang yang bangkrut di hari kiamat, yaitu
orang yang rajin beribadah tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas
hak orang lain dan menyakiti hati mereka. (HR Muslim nomor 6522).
Dalam konteks zaman dulu, tanpa medsos, orang yang menuduh tanpa bukti bisa
bangkrut di akhirat, apalagi jika mereka melakukannya di media sosial. Semakin
banyak follower, maka yang terpengaruh tuduhannya pun bertambah, belum jika
mereka lalu me-retwit atau share?
"Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa
seperti orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi sedikit pun dosa-dosa
mereka." (HR Muslim). Amal yang tak seberapa semoga tak menguap sia-sia.
Hal yang sama berlaku bagi para penulis. Jika baru lansiran media, katakan tanpa
dipelintir. Jika ada bantahan, cantumkan agar berimbang. Tak ada kesalahan,
sekecil apa pun yang Allah SWT akan luput menghitungnya. Terlebih jika mereka
yang difitnah tidak bersedia memaafkan, maka ini menjadi tabungan yang kelak
akan menyedot amal sang pemfitnah. Jika dulu gosip cuma didengar satu-dua
orang, di era medsos kabar menyebar seperti multilevel, mencapai ribuan bahkan
jutaan orang.
Pertanyaannya, seberapa besarkah tabungan amal yang dimiliki seorang hamba
hingga berani menyebarkan ketidakbenaran? Bijak sebelum menuding di media
sosial, pun keseharian. Berlindung kepada Allah SWT dari menjadi agen gibah dan
fitnah. Pastikan kebenaran informasi dan hikmahnya untuk diri juga umat.
Sungguh, Allah Mahatahu. Orang Mukmin menutup aib dan menasehati. Orang
jahat membuka aib dan mengata-ngatai." (Syeikh Fudhail bin 'Iyadh, w. 803 M,
terima kasih Gus Mus untuk mengingatkan hal ini).
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Pertama kali berkunjung ke Brussel, enam tahun lalu bersama suami, koper kecil
kami hampir dilarikan seorang muslim keturunan Afrika Utara, tepat di depan
Manneken Pis yang menjadi salah satu ikon kota.
Saya mengetahui latar belakang pelaku karena sebelum beraksi ia mengucapkan
salam dan memperkenalkan diri. Lalu berjabat tangan dan berusaha memeluk suami
sebagai ikatan persaudaraan. Ternyata itu langkah awal untuk mengambil kamera di
saku suami--setelah gagal, ia memutuskan mencuri koper.
Namun bulan lalu ketika kami singgah kembali ke ibu kota Belgia tersebut, kondisi
tampak berubah. Sekalipun di kereta, begitu masuk perbatasan Belgia dari Belanda,
berulang kali terdengar peringatan untuk waspada terhadap para pencopet.
Kenyataannya dua hari satu malam di Brussel, saya tidak menemukan kasus
pencopetan. Padahal enam tahun sebelumnya, hanya singgah 4 jam saja kami dua
kali hampir menjadi korban.
Perbedaan lain yang mencolok, saya menemukan banyak muslim asal Afrika Utara
yang memiliki kios sendiri, atau setidaknya bekerja di toko suvenir atau restoran.
Mereka sudah mempunyai kehidupan lebih mapan. Alhamdulillah. Bahkan dari salah
satu toko terdengar lantunan murotal Alquran yang sangat merdu. Menggerakkan
saya untuk masuk ke toko yang ternyata milik seorang muslim dari India.
Selain melihat-lihat, saya dan suami berbincang tentang banyak hal. Termasuk
perkembangan komunitas muslim di tengah penduduk setempat. Merespons
pertanyaan saya, sang pemilik toko menjawab, "Pada dasarnya, masyarakat Belgia
sangat terbuka terhadap muslim. Mereka tidak mempermasalahkan keberadaan
kami. Akan tetapi sejak aksi teror yang terjadi di kantor pusat Charlie Hebdo di Paris,
beberapa orang mulai takut mendekati muslim."
"Apakah reaksi masyarakat serupa dengan ketika WTC dulu diserang pada 11
September?
Pemilik toko yang saya tanya terdiam sejenak sebelum mengutarakan jawaban.
"Waktu insiden WTC mereka shock sebentar, lalu kembali normal seperti biasa. Tapi
setelah insiden Charlie Hebdo, mereka lebih waspada dan sangat kentara menjaga
jarak."
Ada nada prihatin mendalam. Mungkin mengingat betapa sulit posisinya sebagai
muslim sejak peristiwa tersebut. Sebelum kami berpisah, ia menutup pembicaraan
dengan sebuah pernyataan yang membekas kuat. "Dakwah Islam mundur beberapa
puluh tahun akibat peristiwa itu. Interaksi kami tidak sehangat dulu."
Puluhan tahun muslim di Eropa berusaha memperkenalkan Islam yang damai, sejuk,
serta menjadi jawaban bagi banyak hal, namun dirusak oleh segelintir orang yang
meyakini bahwa kekerasan adalah solusi.
Kelang beberapa pekan setelah perbincangan, dunia dikejutkan dengan aksi teror
yang jauh lebih luas dan memilukan di Paris. Serangan terpisah terjadi serentak di
kafe, stadion, dan gedung konser. Korban yang jatuh mencapai lebih dari 129 jiwa.
Sumber lain menyebutkan 153 orang.
Sebuah tragedi kemanusiaan yang sewajarnya menimbulkan rasa duka. Duka
seperti juga terhadap apa yang dialami masyarakat Libanon dalam waktu hampir
Islam adalah rahmatan lil alamin, dan muslim serta muslimah seharusnya menjadi
penebar rahmat, hanya kebaikan --bukan kengerian-- bagi semesta.
PENDIDIKAN
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Belum lama ini saya menghadiri sebuah festival yang diadakan oleh Kedutaan Besar
India. Event ini rencananya akan berlanjut terus hingga bulan Mei, dan menjangkau
kota-kota besar Indonesia, selain Jakarta, seperti Yogyakarta dan Bandung.
Festival yang menampilkan bukan hanya tarian, lagu, dan film India yang sudah
begitu akrab dengan masyarakat Indonesia, tapi juga fotografi, kepenulisan, kuliner
dan berbagai produk budaya lainnya.
Saat ini, India melalui Duta Besarnya, Mr. Gurjit Singh, sedang gencar
mensosialisasikan 'Sahabat India', sebuah slogan yang sangat bersahabat dan tentu
saja harus kita sambut secara positif. Beberapa tokoh nasional nusantara pada
kesempatan tersebut juga hadir dan sangat mendukung niat baik pemerintah India
dalam mempererat hubungan antar bangsa ini.
Bagi saya pribadi, ikhtiar ini perlu disyukuri. Kesempatan belajar yang luar biasa.
Sebab dalam banyak hal India jauh lebih maju dari negeri kita. Di bidang IT
(Information Technology), India tidak perlu diragukan lagi, sebagian besar orang
mengakui keunggulan ini.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Saya teringat betapa bangganya rasa hati ketika melihat anak-anak Solo
memperkenalkan mobil Kiat Esemka buatan Indonesia sekitar tiga tahun lalu di
bulan Januari 2012.
Lebih bangga lagi mendengar Jokowi, wali kota setempat saat itu, memberi
dukungan penuh dan menyatakan akan menggunakan karya putera bangsa tersebut
sebagai mobil dinas walikota. Sayangnya hal ini kemudian tidak terwujud karena
belum melalui proses perizinan dan sertifikasi. Kenapa seolah dipersulit, pikir saya
merespons hambatan dari lembaga sertifikasi berwenang.
Bulan Maret 2012 justru kabar buruk yang muncul. Mobil Esemka tidak lolos uji
emisi. "Ndak apa-apa kalau sekarang gagal. Kita coba lagi, kita minta diuji lagi
sambil kita perbaiki apa kekurangannya. Mewujudkan sesuatu untuk kebanggaan
bangsa dan negara harus terus optimis," Joko Widodo tetap memberi semangat.
Waktu berjalan, baik Pak Walikota dan juga mobil Esemka sama-sama menanjak
karirnya. Sang wali kota menjadi Gubernur Jakarta dan Esemka yang awalnya
hanya karya anak SMK kini menjadi perusahaan otomotif yang didirikan untuk
merintis mobil nasional.
Sayangnya mereka tidak berjalan seiring. Ketika mobil Esemka diluncurkan di Solo
Techno Park, pada November 2012, Gubernur DKI Joko Widodo menyatakan tidak
akan hadir karena dia sudah menjadi bagian dari Pemerintah Provinsi DKI dan mobil
Esemka kini bukan tanggung jawabnya lagi, apalagi sudah dikelola perusahaan
swasta.
Saya sedih, karena awalnya berharap semangat mobil nasional harusnya tidak
tersekat provinsi. Tapi perasaan tersebut menguap dan saya kembali optimis ketika
mendengar Jokowi bersemangat lagi menceritakan Kiat Esemka sebagai salah satu
contoh pengembangan penelitian saat memberikan kuliah umum yang
diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, pada
September 2014. Apalagi kini ia berbicara dengan kapasitas sebagai presiden
terpilih.
Tentang kekurangan mobil tersebut beliau berujar, "Harusnya diperbaiki supaya kita
punya mobil rakyat, mobil nasional yang bisa dipakai dengan benar,"
Berita ini membangun kembali harapan saya dan mungkin sebagian besar rakyat
Indonesia akan terwujudnya kebanggaan Indonesia untuk akhirnya memiliki mobil
nasional. Akan tetapi berita penandatanganan MoU dengan Proton di awal Februari
2015 membuat saya bertanya-tanya lagi, lalu bagaimana nasib mobil nasional?
Semangat mobil nasional memang bukan isu baru di Indonesia, dan sejauh ini selalu
pasang surut. Di masa lalu sempat ada Kancil, Komodo, Tawon, Marlip yang
kemudian tidak jelas kemana rimbanya.
Pernah juga Indonesia bekerja sama dengan Korea merintis mobil Timor dengan
janji transfer teknologi. Sesuatu yang tidak pernah kita dapatkan dari Jepang
sekalipun industri mobilnya di Indonesia sudah puluhan tahun di Indonesia, jauh
lebih awal dari keberadaan industri otomotif negara lain di Tanah Air. Akan tetapi
protes di WTO dan jatuhnya Orde Baru membuat proyek ini dihentikan.
Tidak terlupakan mobil listrik Tuxuci dan Selo yang digagas Dahlan Iskan. Proyek
yang sangat prospektif sebenarnya dan layak didukung, akan tetapi kenyataannya
sulit mendapatkan izin dan sertifikasi. Lagi-lagi, ada apa sebenarnya?
Sebagai rakyat, saya tidak begitu peduli siapa yang menghasilkan mobil nasional,
yang penting impian memiliki mobil nasional terwujud. Bangsa Indonesia harus bisa
membuat mobil sendiri. Tentang transfer teknologi, saya teringat pernyataan seorang
wartawan Jepang ketika meliput di Indonesia, yang berbicara dengan gamblang.
"Jangan berharap ada transfer teknologi, karena itu berarti mematikan sumber
penghasilan negara pencipta mobil. Bongkar mobilnya pelajari, tiru lalu susun
kembali. Begitu caranya!'
Apa yang dikatakan sang wartawan mungkin jawaban kenapa setelah puluhan tahun
memproduksi mobil Jepang kita tetap tidak terjadi pengalihan teknologi.Bekerja
sama dengan Korea pun ketika memproduksi Timor hal ini tidak terjadi. Lalu apakah
seterusnya kita tetap menanti sesuatu yang mungkin tidak akan pernah diberikan?
Lee Myung Bak ketika bekerja di Hyundai memerintahkan untuk membongkar
Buldozer Jepang dan meniru serta merakit ulang sampai akhirnya Korea mampu
membuat buldozer sendiri. Atas kesuksesannya, pria itu dijuluki Mr. Buldoser.
Keberhasilannya membuatnya terkenal dan terpilih sebagai walikota Seoul lalu
kemudian menjadi presiden Korea Selatan tahun 2002-2006.
Tidakkah saatnya meniru dengan mengikuti langkah Cina atau Korea?
Membongkar, mempelajari, mencuri ilmu dan tidak hanya menunggu diajari?
Kerinduan akan mobnas, telah lama ada di hati rakyat. Rindu Indonesia memiliki
kebanggaan yang lain. Jika pesawat dan kapan laut saja sudah pernah kita buat,
mobnas tak pantas menjadi impian (apalagi) yang tak pernah diwujudkan.
Balon, rambut kuncir atau potongan cepak-cepak, papan nama besar diikat tali rafia,
topi dari ember atau keranjang sayur, tas dari karung atau plastik sampah, hanyalah
sedikit contoh atribut yang nyaris kita lihat setiap kali penerimaan siswa baru di SMP,
SMA, universitas, bahkan kini ada sekolah dasar yang mulai ikut-ikutan.
Pernak-pernik tersebut harus dibawa siswa baru/maba, dengan perintah dan
instruksi yang disampaikan "penuh semangat" hingga menimbulkan rasa takut.
Suara keras, bentakan, hukuman fisik, juga menjadi bagian yang lumrah terjadi.
Sering kita mendengar peraturan pertama yang berlaku selama Masa Orientasi
Siswa (MOS), senior tidak pernah salah. Peraturan kedua, Jika senior salah maka
lihat aturan pertama. Peraturan tidak tertulis yang susah diterima akal sehat, dan
masih dipegang oleh sebagian besar senior.
Alih-alih membangun mental, masa orientasi di sekolah yang demikian justru
membuat siswa menjadi pengecut, penakut, hingga mematuhi apa saja yang
diperintahkan senior sekalipun merepotkan banyak pihak--tidak hanya siswa baru
membuat siswa yang sakit tidak berani mengaku sakit, mereka yang sudah tidak
kuat tidak berani meminta berhenti.
Pada tahun 2013 di Institut Teknologi Nasional Malang, Fikri Dolasmantya Surya
meninggal akibat kelelahan dan kekerasan fisik saat Kemah Bakti Desa selama lima
hari (9-13 Oktober 2013) di Gua Cina, Kabupaten Malang.
Di tahun yang sama, di SMKN 1 Pandak Bantul, Anindya Ayu Puspita (16)
meninggal saat mengikuti kegiatan MOS. Anindya pingsan seusai menjalani
hukuman squat jump karena tidak memakai seragam kaos saat latihan barisberbaris.
Ingin rasanya menyebutkan semua nama korban masa orientasi agar mereka
menjadi pahlawan yang mengingatkan kita bahwa hal ini tidak boleh terjadi lagi.
Karena itu saya mendukung langkah Mendikbud Anies Baswedan tahun ini untuk
mulai melarang keras orientasi siswa yang bertindak melecehkan dan membebani
biaya. Seharusnya peraturan serupa diberlakukan di perguruan tinggi.
Saya bersyukur tahun ini anak saya beruntung masuk SMAN 2 Depok yang
menjunjung tinggi keilmuan. Menyadari ada kebijakan menteri terkait kegiatan masa
orientasi siswa baru, kepala sekolah dan OSIS secara positif langsung
menyesuaikan diri mengisi MOS dengan kegiatan yang edukatif dan informatif.
Sayangnya, masih ada yang membandel, melakukan praktik perpeloncoan, dan
pihak sekolah tutup mata. Bahkan meski orang tua sudah mengajukan keberatan.
Tentu saja langkah tegas terhadap pihak sekolah harus ditegakkan. Terlebih setelah
MOS, akan banyak lagi kegiatan rekrutmen ekskul yang juga punya potensi
perpeloncoan.
Semoga 2015 menjadi tahun terakhir. Tidak ada lagi perpeloncoan, tidak ada lagi
rasa takut. Apa pun namanya: OSPEK, OKK, MPA, MOS, MOPD, dan sebagainya,
jika rasa takut dan hegemoni adalah dasar yang menggerakkan, penyimpangan
akan tetap terjadi.
Orang tua dan anak didik punya pilihan. Selamatkan anak-anak kita dari kekerasan
MOS. Segera laporkan penyimpangan yang ada--meski MOS tahun ini sudah
berakhir--melalui http://mopd.kemdikbud.go.id/.
Jangan diam. Keberanian kita bertindak, sangat mungkin menyelamatkan banyak
calon pemimpin dan tokoh masa depan.
Bukan kebetulan jika pemuda dan pemudi yang kuliah disebut mahasiswa.
Gabungan dua kata, maha dan siswa. Ini adalah bentuk penghargaan karena
mereka berada di strata paling tinggi, jauh di atas siswa SD, SMP, dan SMA.
Berbeda dengan siswa yang masih perlu diberi dorongan untuk belajar, maha-nya
siswa sudah mampu belajar dengan kesadaran sendiri.Mereka bukanlah pemuda
pemudi sembarangan. Para mahasiswa sudah lebih dewasa, mandiri, matang, dan
lebih segalanya dari siswa lain. Karena berbagai alasan itulah mereka diberi
tambahan kata 'maha'.
Akan tetapi, apakah saat ini predikat maha layak dilekatkan pada kata siswa untuk
mereka yang berada di jenjang kuliah? Hasil pelaksanaan OSPEK di 2015 ini,
rasanya bisa menjadi salah satu jawaban.
Walaupun belum semua, tetapi di tahun ini sebagian besar siswa SMP-SMA mulai
menyadari betapa banyak dari atribut MOS yang merupakan bentuk pelecehan,
perpeloncoan, dan pembebanan biaya. Berbagai aksesoris seperti balon, rambut
kuncir, atau pun potongan rambut cepak, papan nama besar diikat tali rafia, topi dari
ember atau keranjang, tas dari karung atau plastik sampah, tidak lagi menjadi tradisi
keren yang perlu diwariskan ke adik-adik pelajar baru.
Perintah yang tidak masuk akal, tugas yang berlebihan, bentakan, dan marah tanpa
alasan juga mulai ditinggalkan di MOS tingkat SMP atau SMA. Jika akhirnya pelajar
SMP dan SMA sudah meninggalkan banyak hal-hal tak baik dari tradisi turuntemurun MOS, karena dianggap tidak mendidik, dan cenderung melecehkan,
bagaimana dengan mereka yang berpredikat maha-nya siswa?
Jika mahasiswa masih melakukan keburukan yang sudah ditinggalkan anak SMP
dan anak SMA, maka apakah predikat maha masih layak disandang? Jika
mahasiswa lebih tertinggal pemikirannya, lebih terbelakang cara penyambutan
terhadap mahasiswa baru dibanding anak SMP dan SMA, apakah tetap layak
disebut maha-nya siwa?
Tentu tidak, seharusnya yang lahir justru rasa malu menyandang status yang tidak
mencerminkan kebesaran jiwa. Sayang, pada kenyataannya di kelompok siswa
berlabel maha ini justru banyak rekam praktik tindak kekerasan dan tugas tidak
masuk akal. Bahkan kerap kali di acara penyambutan, siswa yang berpredikat maha
ini masih terjadi kegiatan yang tidak edukatif, lebih bernuansa kekerasan, dan kental
perpeloncoannya.
Karena itu saya memberi dukungan besar kepada Menteri Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir yang menerbitkan buku pedoman tentang
pelarangan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) mahasiswa baru
perguruan tinggi yang menggunakan cara kekerasan atau perpeloncoan.
Sang menteri bahkan memerintahkan agar ketua panitia OSPEK dipegang oleh
dosen, bukan mahasiswa. Hal ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai
penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang sering terjadi.
Beliau juga memastikan adanya sanksi jika kekerasan atau perpeloncoan tetap
terjadi. Jika penyimpangan dilakukan mahasiswa senior maka akan ada sanksi
akademik. Sedangkan bila tindakannya mengarah ke kriminal maka universitas bisa
Semoga arus perubahan di OSPEK tahun ini lebih besar dari keinginan
mempertahankan tradisi yang telah cukup banyak membawa tragedi.
Kepada seluruh mahasiswa di tanah air, selamat menyambut adik-adik yang baru
menginjak perguruan tinggi dengan cinta, bukan rasa takut. Dengan damai dan
bermartabat.
Sebagian orang percaya era buku lambat laun akan berakhir. Kekuatan dunia digital
dan internet mungkin segera membinasakannya. Keperkasaan teknologi informasi
terbukti sudah meluluhlantakkan tatanan bisnis musik, kaset dan CD, koran, film,
telepon kabel, penjualan ritel, dan berbagai bidang lain. Buku, akankah menjadi
korban berikutnya?
Perhelatan supermegah di Frankfurt International Book Fair justru menunjukkan
situasi sebaliknya. Ratusan penerbit dari puluhan negara berlomba-lomba
memperkenalkan buku mereka ke dunia luar. Penerbit, agen, penerjemah dari
berbagai negara berkumpul dalam ajang pameran yang paling bergengsi ini untuk
saling bertukar informasi.
Ada yang mencari buku untuk mereka terjemahkan, ada juga yang menawarkan
bukunya untuk diterjemahkan. Sebagian berusaha membangun relasi dengan
agensi, penerbit atau penerjemah, juga distributor. Pendeknya, semua kegiatan
selama pameran buku paling bergengsi di dunia itu menunjukkan betapa buku masih
ramai dicari, bisnisnya masih menjanjikan, dan memiliki masa depan yang panjang.
Sebenarnya terdapat banyak alasan mengapa buku masih akan bertahan. Pertama,
buku tetap menjadi rujukan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada
informasi di internet. Jika kita merujuk informasi di internet dan rujukan tersebut
dihapus, maka validitas tulisan ikut diragukan.
Kedua, jika mengambil data di internet dan sumber data tersebut kemudian
dikoreksi, maka data yang digunakan si penulis menjadi tidak akurat lagi. Ketiga,
ketika merujuk di internet dan bahan yang diambil ternyata hasil plagiat, maka kita
berisiko dituduh plagiat juga.
Dengan alasan di atas, ditambah hal-hal lain, seharusnya buku masih akan menjadi
kebutuhan di masa depan. Seiring dengan semangat ini, seorang akademisi Jerman,
Prof Dr Dieter Riemenschneider, menyatakan keyakinan terhadap buku yang
menurutnya akan tetap hidup.
Ketika saya bertanya, apakah buku akan habis dilindas digitalisasi, lelaki berusia 80
tahun yang masih terlihat gagah itu menggeleng tegas. Tidak, selama anak-anak
sejak kecil diajarkan untuk mencintai buku. Para orang tua biasa memperkenalkan
anak-anak dengan buku hingga akhirnya mencintai kegiatan membaca. Sebagian
besar anak ketika dewasa tetap merasakan sesuatu yang berbeda ketika menyentuh
kertas. Merasakan sensasi khas saat membuka lembaran-lembaran buku
konvensional. Kepuasan yang hilang sewaktu berinteraksi dengan e-book.
Atas alasan itu, sang profesor yang sangat bersemangat pada karya-karya dari
negara ketiga untuk diterbitkan dalam bahasa Jerman itu percaya jejak buku tidak
akan tergilas oleh perkembangan digital dan internet. Meski benar, bagaimana pun
pemerhati buku harus melakukan langkah-langkah antisipasi untuk melanggengkan
usia buku cetak.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak
kehebatan, tetapi tak jarang kehilangan momentum berkali-kali. Dunia Barat
mengenal budaya baca sebelum budaya televisi. Sehingga, setelah televisi masuk,
masyarakat Barat masih suka membaca sekalipun ada tayangan televisi. Budaya
yang membuat mereka tetap terjaga sebagai negara maju.
Sedangkan, sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal televisi sebelum
mereka suka membaca. Akibatnya, generasi muda kita banyak dipengaruhi tontonan
ketimbang tuntunan buku. Tantangan ini bertambah berat sebab sebelum pegiat
baca di Tanah Air berhasil meningkatkan minat baca anak-anak, Indonesia terserang
lagi dunia online dan digital. Membuat buku-buku makin tersudut, berada di posisi
yang terancam tak lagi tersentuh.
Sulit menolak tumbuhnya kekhawatiran. Jangan-jangan anggapan buku sudah habis
masanya justru akan terbukti di Indonesia, seiring minat membaca buku sastra yang
selalu tertinggal dibanding negara-negara lain bahkan di Asia.
Kabar baiknya, tahun ini Indonesia terpilih menjadi tamu kehormatan dalam
Frankfurt Book Fair 2015. Artinya, di antara semua peserta dari berbagai bangsa,
Indonesia mendapat panggung pentas paling luas dan mencuri perhatian. Satu
peluang mahal yang sulit diperoleh.
Jika setiap negara harus bergantian menjadi tamu kehormatan dalam FBF, berarti
kesempatan ini mungkin hanya terulang 50 tahun sekali atau lebih. Peluang yang
sangat jarang dan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Karenanya wajar
ratusan bakat dari Indonesia dihadirkan untuk mengikuti deret kegiatan di panggung
buku terbesar di dunia ini dengan pembiayaan pemerintah.
Akan tetapi berbagai pertanyaan lain menanti. Apakah seusai kehadiran Indonesia
sebagai tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair Festival ini akan memberi citra
makin baik pada literasi Indonesia di dunia luar?
Apakah setelah terselenggaranya festival ini penulis-penulis di Tanah Air akan lebih
dihargai? Kenyataannya jelas. Sebuah buku mustahil hadir tanpa didahului
keberadaan penulisnya.
Terakhir, persoalan lebih penting adalah bagaimana agar dana tidak sedikit ini akan
terasa manfaatnya bagi masyarakat Indonesia secara umum. Semoga saja.
KRITIK SOSIAL
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Sebuah berita di Cina tidak begitu menjadi perhatian masyarakat luas sekalipun
sangat penting bagi pembelajaran bangsa Indonesia. Satu tim investigasi kota
Shanghai memecat 11 pejabat distrik Huangpu karena dianggap lalai. Pemecatan ini
terkait dengan insiden terinjak-injaknya warga saat perayaan tahun baru yang
menewaskan 36 orang warga dan 49 orang luka-luka, 3 di antaranya masih dirawat
di rumah sakit.
Dalam sebuah jumpa pers, ketua tim investigasi menyimpulkan bahwa pemerintah
distrik Huangpu kurang serius menjaga keamanan publik, pun soal persiapan
pencegahan, lalu respon yang terasa minim, selain peringatan dini malam itu
dianggap lemah, dan langkah respons tidak sesuai.
Kepala daerah, kepala kepolisian daerah, wakil kepala kepolisian daerah, pimpinan
partai distrik Huangpu dipecat bersama tujuh pejabat lainnya. Selain memecat
pejabat yang dianggap lalai, pemerintah kota Shanghai juga memberi kompensasi
pada keluarga korban. Kantor berita Xinhua memberitakan setiap keluarga korban
akan menerima kompensasi sebesar 800 ribu yuan atau setara dengan Rp1,6 miliar.
Peristiwa tersebut tidak terlalu terekspose di media karena sebelumnya pemerintah
menahan informasi dan menekan keluarga untuk tidak bicara pada media. Lalu apa
pelajaran yang bisa diambil oleh bangsa Indonesia?
Di Indonesia begitu banyak terjadi peristiwa yang memakan korban, salah satunya
akibat kelalaian pihak berwenang atau pejabat publik, akan tetapi nyaris tidak ada
budaya pertanggungjawaban.
Di negara maju seperti Jepang, Jerman, budaya mundur sudah lazim, lalu
bagaimana dengan Indonesia atau Cina yang tidak punya budaya tersebut?
Jawabannya seperti di Cina. Ketegasan, pertanggungjawaban, pemecatan dan jika
perlu hukuman.
Dengan kasat mata kita bisa melihat deret kelalaian pihak berwenang yang berujung
jatuhnya korban jiwa tapi nyaris tidak ada yang bertanggung jawab, tidak ada yang
dipecat, seolah tidak ada yang bersalah dan murni bencana belaka.
Yang menarik dari peristiwa di Cina tersebut, media dibungkam tapi pemerintah
tetap mencari siapa yang paling bertanggung jawab. Sebaliknya, di Indonesia media
bebas mengungkap dan mengkritik tapi terkesan pihak terkait tidak malu dan tetap
tidak maksimal mencari siapa yang bertanggung jawab. Tidak ada yang dipecat,
tidak ada yang dianggap gagal. Sungguh ironi.
Setiap tahun saat mudik sekitar 900 sampai 1.000 orang meninggal. Terus terjadi,
berulang setiap tahunnya. Apakah itu bencana? Bukan. Rutinitas mudik adalah
peristiwa yang bisa diantisipasi. Toh tetap memakan korban. Alasan ada jutaan
orang melakukan mobilitas bersamaan pada waktu yang sama sungguh tidak bisa
diterima.
Di musim haji, jutaan orang bergerak dalam waktu bersamaan tapi tidak memakan
korban sebanyak itu. Dari puluhan tahun haji tidak banyak korban akibat terinjakinjak, hanya sekali peristiwa tragedi Mina yang dipicu listrik mati. Tapi setelah itu
pemerintah setempat melakukan evaluasi dan (semoga) sampai saat ini tidak terjadi
lagi.
Belum lagi banyak kecelakaan yang dipicu oleh jalan berlubang. Sesuatu yang
seharusnya selalu dipantau, namun kenyataannya terus berlangsung. Ketika terjadi
peristiwa tanggul yang bobol dan memakan korban jiwa, juga tidak ada yang dipecat
atau bertanggung jawab. Seolah merupakan kejadian alamiah. Padahal jauh
sebelum bobol sudah ada retakan yang mengindikasikan tanggul sudah rentan.
Begitu juga longsor yang terjadi dan memakan korban jiwa. Tidak ada yang dipecat,
tidak ada yang salah. Padahal jauh hari sebelumnya pihak berwenang setempat
sudah diingatkan potensi longsor dilihat dari keretakan tanah, histori longsor, dll. Tapi
tetap tidak diantisipasi.
Bencana asap yang terjadi hampir tiap tahun juga tidak ada yang bertanggung
jawab. Tidak ada yang salah, tidak ada yang dipecat. Seolah merupakan bencana
alam belaka. Padahal dari peta satelit terlihat jelas di mana titik api muncul, yang
sebagian besar bersumber di wilayah pekebunan milik swasta. Tapi mereka tidak
membayar kompensasi, tidak ada sanksi, bahkan tidak ada langkah serius untuk
mengetahui apakah ini sepenuhnya bencana alam atau fenomena alam, adanya
unsur kelalaian antisipasi atau bahkan pemicu kebakaran.
Bagaimana mungkin aparat, pejabat publik, atau swasta akan bersungguh-sungguh
mengantisipasi sebuah bencana, sedangkan ketika terjadi bencana atau kesalahan
pun tidak ada konsekuensi yang dihadapi.
Semoga apa yang dilakukan pemerintah Cina bisa menjadi pembelajaran. Harus
ada yang bertanggung jawab atau sebuah kesalahan dan kelalaian. Tanpa tanggung
jawab, hal serupa akan terus terjadi dan layaknya rutinitas yang hanya dipandang
sebelah mata.
Kecuali Indonesia tidak malu dan ingin melestarikan kelalaian sebagai sebuah
tradisi.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
adakan, Bambang akan mengikuti proses hukum yang berlaku. Ia sadar, ini bukan
sekedar salah atau tidak bersalah, tapi persolan hukum yang (lagi-lagi terkesan
dipaksakan) menjerat tentu akan banyak menyita waktu dan perhatian.
Ada dua pelajaran yang bisa diambil oleh bangsa Indonesia atas peristiwa ini.
Pertama budaya taat hukum. Terlepas apa yang kita yakini dan apa yang kita
ketahui, hukum harus dihormati. Proses hukum harus tetap dijalani.
Kedua, budaya malu. Saya percaya sebenarnya Bambang Widjojanto bisa saja
menemukan berbagai alasan untuk tidak mundur, tapi ia memilih mundur. Lelaki
yang puluhan tahun mengabdikan hidupnya dalam membela kepentingan rakyat ini
ingin menunjukkan pada bangsa Indonesia budaya patuh hukum dan budaya malu
jika tidak patuh pada hukum.
Kadang ketika kita bicara malu, kita sama sekali tak menyinggung tentang
melanggar hukum atau tidak.Rasa malu sebetulnya bisa membuat seseorang
berhenti melakukan sesuatu yang buruk sekalipun keburukan tesebut belum di atur
hukum dan undang-undang.
Dalam sebuah hadist Rasulullah bahkan bersabda, budaya malu adalah pesan yang
dibawa para nabi sejak dulu dan budaya malulah yang membuat manusia bisa
mengontrol diri.Sesungguhnya di antara ungkapan yang dikenal manusia dari
ucapan kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah semaumu.
[HR. al-Bukhari]
Saya teringat ketika klub Wigan Athletic dikalahkan Tottenham Hotspur di White Hart
Lane, pada tahun 2011 dengan skor yang memalukan 9 -1. Para pemain tidak hanya
kecewa juga malu, hingga semua pemain sepakat mengembalikan uang tiket
penonton sebagai kompensasi atas penampilan buruk mereka. Apakah mereka
punya kewajiban mengembalikan uang tiket? Tidak. Tapi kenapa dilakukan, semata
terdorong rasa malu. Mereka menghukum diri sendiri agar punya alasan kuat untuk
bisa bangkit.
Di tahun 2013 Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan mundur setelah gelar
doktornya dari sebuah universitas dicabut karena tuduhan menjiplak. Meski memilih
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Buat sebagian besar orang, Laila Fitriani Ahmad mungkin hanya sekadar nama.
Nama remaja puteri yang tewas setelah motornya disenggol iring-iringan bus polisi
yang bertugas melakukan pengamanan pada persidangan praperadilan Komjen
Budi Gunawan versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Buat kebanyakan orang, kecelakaan di dekat Mabes Polri mungkin hanya sekadar
berita: seorang siswi SMK tewas ketika dibonceng ayahnya. Namun, bagi Ahmad
Guntur, hari itu adalah kali terakhir dia bisa melihat senyum manis sang puteri yang
baru saja merayakan ulang tahun. Hari itu ia menyaksikan anaknya berpulang ke
Sang Pencipta.
Seterusnya, keluarga mereka tak lagi sama. Sang ayah juga bunda kehilangan
seluruh momentum diskusi akan masa depan Laila. Seperti mau memilih jurusan
apa di kelas dua, akan kuliah di mana, nanti menikah tunggu lulus atau sambil
kuliah. Seluruh deret diskusi dan momentum kebersamaan keluarga dengan Laila
mendadak terenggut sempurna.
Bagi saya pribadi, nama-nama di atas bukan sekadar sosok dalam berita, melainkan
teman, saudara, dan kenalan masa kecil. Adik Guntur adalah teman baik saya ketika
SMP, juga SMA. Dari dialah saya pertama kali mendengar kisah memilukan ini.
Imajinasi kontan membayangkan kecelakaan yang terjadi ketika sang adik bercerita
akan kakaknya, Guntur, yang dalam keadaan terbaring lemah, kaget, spontan
berteriak-teriak panik, "Tolong anak saya, tolong anak saya, tolong anak saya ...!"
Saya bisa merasakan sebagian nyawa lenyap dari seorang ayah saat melihat
anaknya tergeletak terluka parah dan berdarah-darah sementara dirinya sendiri tidak
mampu berbuat banyak karena ia pun dalam keadaan syok dan terluka. "Tolong
anak saya, tolong anak saya."
Bus aparat yang menabrak mereka terus melaju, berhenti pun tidak. Lalu muncul
bus lain mendekat. Sang ayah melambaikan kakinya, ya dengan kaki, meminta
bantuan. Beruntung bus aparat tersebut berhenti dan memberi bantuan, tapi nyawa
sang anak sudah tidak bisa diselamatkan.
Berapa harga sebuah nyawa? Tak ada yang bisa membayarnya. Berapa harga
sebuah kenangan? Tak akan sanggup kita membelinya.
Akan tetapi upaya keadilan seharusnya tetap diperjuangkan, mampu ditegakkan.
Sekalipun tak akan mengembalikan nyawa remaja puteri yang dikenal cantik, sangat
baik, dan ramah oleh teman-temannya, tapi akan menjadi pembelajaran tegas bagi
semua pihak agar tidak terulang lagi.
Alhamdulillah, pihak Polri berjanji akan mengusut tuntas peristiwa yang
menyebabkan hilangnya nyawa gadis berjilbab ini. Sedikit pun saya dan banyak
pihak tidak pernah kehilangan kepercayaan akan kemampuan, kecerdasan, serta
rasa keadilan dari para penegak keadilan.
Saya teringat beberapa tahun lalu ketika iring-iringan Presiden secara tidak
langsung mengakibatkan kecelakaan maut di jalan tol. Apakah ini pelajaran mahal
yang sama?
Apakah sudah saatnya kita mengevaluasi kecepatan iring-iringan mobil aparat.
Benarkah harus selalu sedemikian cepat? Apalagi jika hanya dalam perjalanan
pulang.
Sungguh ironis. Ketika Budi Gunawan menuntut keadilan, ketika KPK menuntut
keadilan, ketika persidangan dilangsungkan untuk memastikan keadilan tetap
dipelihara, di saat yang sama, seorang anak SMA dan seorang ayah dari keluarga
biasa, tanpa terduga terkena imbas dan jatuh menjadi korban, dari perkara yang
sama sekali tidak ada hubungan apa-apa dengan mereka.
Teringat satu peribahasa, gajah bertarung pelanduk mati di tengah-tengah. Bahkan,
meski dalam kejadian ini sang pelanduk tidak berada di antara dua gajah, ia tetap
menjadi korban.
Semoga para pemimpin di Tanah Air sadar, apa pun yang mereka lakukan akan
besar pengaruhnya bagi rakyat. Semoga banyak pihak belajar dari peristiwa--yang
saya yakin bukan merupakan kesengajaan, melainkan kelalaian semata--ini. Doa
saya untuk ananda Laila Fitriani Ahmad, semoga Allah memeluk dan menjadikanmu
bidadari di surga terindah. Amin.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Beras habis!
Beras hilang!
Beras mahal!
Rasanya aneh jika di negara yang mayoritas penduduknya adalah pemakan nasi,
beras bisa habis dan sulit dicari dimana-mana.
Kebutuhan beras terukur setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Dengan metode
yang paling sederhana pun kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia akan
beras sebetulnya bisa dihitung, sebab beras merupakan hal pokok yang nyaris tak
bisa ditinggalkan.
Beras bukan kebutuhan yang bersifat insidentil, pun bukan kebutuhan musiman,
bukan pula barang yang susah didapat jika pemerintah sejak awal memiliki niat baik
untuk memenuhi kebutuhan riil rakyatnya.
Dalam keadaan normal, seharusnya semua bisa dideteksi dan diantisipasi.
Tidak mungkin ada peningkatan drastis atas kebutuhan beras karena sifat
konsumsinya. Lalu bagaimana mungkin beras bisa habis dan sulit dicari di manamana?
"Ada kok, masih banyak yang jual!" kata seseorang yang ingin menyanggah
hilangnya beras dari pasaran.Ya, memang ada. Tapi tidak dengan harga normal.
Melainkan dengan harga persediaan terbatas.
Kejadian ini mengingatkan saya pada pelajaran di Sekolah Dasar yang sangat
umum yaitu tentang kebutuhan dasar manusia."Kebutuhan dasar manusia dibagi
menjadi tiga bagian, sandang, pangan dan papan. Sandang adalah pakaian, pangan
adalah makanan dan papan adalah rumah," kata guru SD saya suatu hari.
Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya urutan berdasarkan prioritas yang benar adalah
Pangan, Sandang, Papan.Jadi jelas pangan merupakan kebutuhan utama.
Jika diurutkan lagi maka dalam pangan ada macamnya.Makanan pokok dan lauk
pauk.Makanan pokok harus ada, lauk pauk bisa diabaikan jika terpaksa.
Makanan pokok, buat sebagian besar bangsa Indonesia berarti beras.Singkatnya
dari semua kebutuhan manusia Indonesia, kebutuhan paling mendasar adalah
beras.
Papan? Rakyat Indonesia bisa tinggal di mana mereka tinggal sekarang.
Sandang? Manusia Indonesia bisa pakai baju yang mereka pakai sekarang,
Tapi begitu tidak ada beras? Jelas masalah besar.
Beras berbeda dengan papan dan sandang, bukan kebutuhan yang bisa dipakai
ulang. Sekali habis harus ada persediaan baru.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Seorang anak pulang sekolah membawa nilai buruk. Ibunya kontan kecewa.
"Soalnya tidak sesuai dengan materi yang diajarkan!" kilah sang anak cepat-cepat,
dengan raut memelas.Sang ibu diam, mencoba memaklumi.
Di hari lain, sang anak kembali dengan nilai rendah yang membuat ibunya
berwajah masam."Habis gurunya nggak enak ngajarnya, sih," keluh puteranya.
Seminggu kemudian, anak yang sama, pulang membawa hasil ujian yang tidak
memuaskan, mirip nilai sebelum-sebelumnya.Kali ini wajah sang ibu memerah,
semerah angka di kertas ujian buah hatinya.
"Jangan marah dulu, Bu. Tadi ada keributan di sekolah, jadi nggakkonsen
mengerjakan ujian," hati-hati anaknya mengemukakan alasan.
Si Ibu yang diam-diam curiga dan yakin ada yang tidak beres, esoknya memutuskan
pergi ke sekolah untuk menemui teman-teman sekelas puteranya. Dari jawaban
yang diterima, ternyata banyak yang meraih nilai bagus di ujian pertama. Ini
mengherankan. Bagaimana mungkin ada cukup banyak siswa tetap memeroleh nilai
bagus sekalipun materi ujian berbeda dengan yang telah diajarkan, sementara
kondisi tersebut justru membuat nilai puteranya jatuh.
Sang Ibu lalu menanyakan perolehan angka pada ujian kedua, uniknya masih
banyak di antara teman sekelas puteranya yang menyatakan mendapat nilai baik.
Meski seluruhnya mengakui ketidakcakapan guru mata pelajaran tersebut saat
mengajar.
Terakhir, sang ibu mencari tahu benarkah terjadi keributan saat ujian ketiga
diselenggarakan. Kompak siswa dan siswi sekelas puteranya mengangguk.
Anggukan yang disusul keterangan bahwa apa yang terjadi tidak lantas membuat
prestasi ujian mereka menurun. Ada apa ini?
Dialog yang berlangsung lambat laun akhirnya mengantarkan sang ibu pada
pemahaman, bahwa masalahnya bukan terletak pada guru, bukan pula pada
pelajaran sekolah, atau situasi kegiatan belajar mengajar, melainkan murni berasal
dari puteranya.
Di teras rumah, setelah pulang dari sekolah, Sang Ibu pun menegur anaknya yang
selama ini sibuk menyalahkan soal-soal, guru, dan berbagai situasi atas buruknya
nilai yang didapat. Beberapa saat puteranya terdiam, seolah mencerna kalimat demi
kalimat yang lahir dari ibunya, meski kemudian dengan setengah berbisik tetap
mengeluarkan dalih, "Teman-temanku itu dari keluarga kaya, Bu. Semua-semua
sarana belajar ada, ditambah ikut les privat, terus kemana-mana diantar jemput, jadi
tidak capek!"
Mendengar jawaban itu, sang ibu tercenung. Lebih dari yang dikiranya. Sang anak
rupanya telah dihinggapi virus "EXCUSE" tingkat kronis, yang mendorongnya terus
mencari alasan atas kegagalan sendiri.
Dalam pengaruh virus tersebut seseorang akan selalu berhasil menemukan deret
alasan bagi kegagalannya--bahkan meski alasan itu mengada-ada atau tidak masuk
akal dan tidak 'nyambung' dengan permasalahan pokok.
Seperti anaknya yang tidak pernah kehabisan dalih, terbiasa menimpakan
kesalahan pada siapa dan apa saja kecuali dirinya sendiri. Ini celaka, batin sang Ibu
lagi. Sebab orang yang cenderung menyalahkan keadaan dan pihak-pihak lain,
akan sulit menjadi sukses. Pertama, mereka yang terbiasa menyalahkan pihak lain
pada akhirnya akan tidak terbiasa atau lupa mencari akar masalah sebenarnya.
Sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Kedua, pribadi yang terbiasa excuse atau beralasan, saking sibuk terus saja
mencari kesalahan orang lain atau keadaan, akan luput meneropong dan menggali
kekuatan diri yang sebenarnya dimiliki untuk memperbaiki situasi.
Curhat yang disampaikan seorang Ibu kepada saya itu, tentang anaknya itu, entah
bagaimana terngiang lagi seiring pikiran saya yang tiba-tiba melayang pada kurs
dolar yang telah menembus angka Rp13 ribu.
Saya ingat setiap betapa di halaman-halaman berita, setiap kali dolar naik, bukan
hanya sekarang tapi sejak periode sebelumnya, yang acapkali terdengar adalah
deret excuse yang menuduh pihak luar atau kondisi sebagai biang keladi. "Mata
uang dolar menguat atas semua mata uang lain, kok. Bukan hanya rupiah",
"Sekarang memang perekonomian Amerika sedang membaik,"Masih banyak alasan
lain. Benarkah?
Kenyataannya, ketika dolar menembus angka tertinggi terhadap rupiah, nilai dolar
justru melemah atas bath Thailand, ringgit Malaysia, peso Filipina, dan dolar
Singapura. Dari lima negara besar di ASEAN, hanya rupiah yang melemah.
Katakanlah memang ada faktor luar yang berpengaruh, namun menyalahkan
sepenuhnya situasi luar berarti mengaku kalah pada keadaan dan menafikkan
kemungkinan langkah-langkah pembenahan dari dalam yang bisa diperjuangkan
untuk menguatkan nilai rupiah.
Misalnya saja mewajibkan eksportir merupiahkan hasil ekspor dalam batas tertentu
setelah menghasilkan dolar di luar negeri. Karena pada dasarnya nilai yang
meningkat pun nyaris tidak ada gunanya bagi penguatan rupiah jika tidak ada
peraturan yang memaksa eksportir merupiahkan dolar yang dihasilkan. Apalagi jika
mereka selama ini memilih memarkir dolar di luar negeri --cara yang
menguntungkan diri-- daripada harus pusing atau merasa bertanggung jawab
memikirkan kestabilan ekonomi dalam negeri.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah membatasi tabungan dolar. Sudah menjadi
rahasia umum adanya pejabat yang ternyata menabung dolar dalam jumlah besar,
karena tidak ada regulasi batasan. Ketika kurs dolar naik, sekalipun banyak yang
menjerit-jerit terkena imbasnya, pihak-pihak ini justru gembira sebab tabungan
mereka kian berlipat ganda.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah membangun iklim investasi yang mendukung.
Atmosfer bisnis bagus akan menggerakkan para investor asing untuk berbondong
masuk dan merupiahkan dolar mereka.
Tentu masih banyak ikhtiar lain yang bisa dijajaki sebagai upaya menelaah
penurunan nilai rupiah yang terus terjadi dan mencari cara menguatkannya kembali.
Dan ini jauh lebih layak dilakukan ketimbang cuma bisa berkomentar, "Dolar naik
bukan salah saya."
'Fikih' Permusuhan
10 Mei 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
"Kalau ada jenis fikih baru yang diperlukan umat Islam sejak lama, mungkin 'fikih'
permusuhan," komentar seorang teman sekonyong-konyong.
"Maksudnya?"
"Ya, karena saat ini umat Islam sangat ceroboh dalam bermusuhan. Teman
seperjuangan menjadi musuh, musuh sesungguhnya menjadi teman.
Ketidaksepahaman hal tertentu dalam masalah cabang menjadi pangkal perpecahan
besar, sementara kesalahan mendasar malah diabaikan," paparnya lagi.
Saya tertarik dengan lontarannya yang unik. Apa iya, ada pemikiran kuat di balik
pernyataan yang terkesan asal?
"Ide saya, 'fikih permusuhan adalah cabang baru ilmu fikih yang mengatur umat
Islam agar bijak dalam mencari musuh."
"Tidak bisa seenaknya begitu. Protes saya, Lagi pula, bukannya tidak boleh
mencari musuh?"
"Benar, tapi musuh dicari atau tidak, nyatanya selalu ada. Bahkan, kadang begitu
banyak hingga kita tidak akan punya cukup waktu untuk menghadapi semua. Itu
sebabnya, kita harus bijak memilih musuh."
Deretan contoh yang diberikannya kemudian membuat gambaran tak utuh di kepala
berangsur menemukan bentuk. Mujahidin Afghanistan berhasil mengusir Rusia
setelah melalui peperangan panjang 11 tahun. Namun, keberhasilan itu hancur
seketika saat Taliban datang memerangi dan membunuh banyak pejuang di sana.
Jika Taliban mengerti 'fikih permusuhan, masih banyak musuh lain di lapangan yang
lebih layak diperangi.
Negara-negara Arab mendadak bersatu menyerang Yaman. Ratusan pesawat
tempur dan kekuatan militer dilibatkan. Dalam sejarah modern, belum pernah
bangsa Arab bersatu sebanyak itu. Jika mengerti 'fikih permusuhan, tidak jauh dari
sana, Palestina tertindas puluhan tahun oleh Zionis yang jelas memusuhi umat
Islam. Tapi, apa kabar para tetangga negeri Arab? Palestina seolah dibiarkan
berjuang seorang diri.
Di antara begitu banyak musuh, ada bobot yang harus kita pilih untuk dilawan. Jika
ingin menjadikannya jalan perjuangan, pilihlah medan yang lawannya jelas-jelas
menimbulkan kerusakan.
Dengan kata lain, jika kita berjihad melawan sesama umat Islam, padahal di tempat
lain ada orang-orang ingkar yang menindas dan menebarkan keburukan maka jihad
yang dilakukan tidak menghargai fikih permusuhan atau dalam hal ini seperti fikih
seperti mereka yang sudah lama hijrah. Upaya sang artis menolak dipeluk sama
sekali tidak diapresiasi.
Begitu keras kritik yang beredar hingga banyak penggemar (yang belum berjilbab)
dari aktris tersebut pun bersuara. "Pantas tidak banyak artis mau berjilbab, sikap
untuk tidak mau disentuh tidak dihargai, malah photoshop-nya dihakimi!"
Fikih permusuhan atau yang semacam itu, benarkah diperlukan? Telah demikian
lama seolah buta mata kita untuk melihat lawan sebenarnya. Bersikap amat keras
terhadap muslim yang berjuang dengan karyanya, tapi pasif, tak terdengar suaranya
ketika produk-produk keburukan merajalela, mengepung dari segenap penjuru.
"Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengannya
bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang
serta belas kasihan sesama mereka. (QS al-Fath: 29).
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Kisruh sepak bola di tanah air membuat saya ingin tahu lebih dalam seburuk apa
performa olahraga ini di tanah air. Kebetulan musim lalu saya berkesempatan terlibat
dalam kompetisi sepak bola profesional, sehingga sedikit-banyak mendapat
informasi langsung dari sumbernya.
Terlebih, beberapa pemain divisi utama yang saya kenal tidak mendapat gaji
berbulan-bulan dari klubnya, sehingga sementara waktu mereka bekerja di
penerbitan kami. Jumlahnya, cukup untuk membentuk satu kesebelasan sendiri.
Saya mulai bertanya lebih detail pengalaman mereka di sepak bola selama ini. "Gaji
saya selama satu musim tidak dibayar, Bunda. Sudah tiga tahun tidak ada tandatanda pelunasan. Katanya, jika klub terjual baru hutang gaji dilunasi. Sekarang, klub
sepertinya sudah beralih kepemilikan, tapi gaji masih tidak dibayarkan. Padahal
syarat menjual klub salah satunya adalah semua tanggungan terlunasi!" cerita
seorang atlet divisi utama yang diamini rekan-rekannya.
"Kenapa bisa selama semusim tidak digaji? Kenapa tidak mogok bermain sejak
awal?" kejar saya penasaran.
"Kami pernah niat mogok dan mengadu ke induk organisasi, tapi malah diancam
akan di-blacklist kalau tidak main di kompetisi."
Aneh, mereka korban kenapa malah ditekan? Pikir saya tak mengerti. Melihat
kebingungan saya, mereka menjelaskan. "Mungkin jika aturan diketatkan, akan
banyak klub yang diberi sanksi. Induk organisasi akan malu kalau banyak klub
sebenarnya tak layak ikut kompetisi."
Penjelasan panjang-lebar itu membuat saya mulai mengerti kenapa banyak klub
yang tidak memenuhi kewajiban membayar gaji tetap aman untuk mengikuti
kompetisi pada musim berikutnya. Karena bagi induk organisasi yang penting
kompetisi berjalan, tidak peduli bagaimana nasib gaji pemain sepak bolanya. Lebih
buruk lagi, para pemain tidak punya posisi tawar untuk menagih gaji, karena mereka
hanya bisa main di klub lain pada musim berikutnya jika ada surat keterangan tidak
terikat kontrak dari klub lamanya. Kalau ada pemain yang terus menagih, surat
keluar dari klub bisa dihambat.
Saya kini memahami kenapa Menpora dan BOPI (Badan Olahraga Profesional
Indonesia) begitu bersikeras untuk menegakkan aturan secara profesional. Kasihan
para atlet bola tanah air.
Bagaimana dengan perjudian? Sebuah pertanyaan yang lama saya simpan,
terbersit. Fixing game, benarkah marak terjadi?
Gadis kecil,
Maafkan kami yang terlambat,
yang tidak berbuat lebih banyak,
dan membiarkanmu dalam kesendirian luka...
Saya tidak pernah mengerti apa yang ada di kepala manusia dewasa ketika
karena percaya, orang tua tidak berhak menyakiti atau membahayakan, sekalipun
anak kandung mereka sendiri. Semoga kepedulian dan kepekaan kita terhadap anak
lain, bisa menyelamatkan lebih banyak anak di dunia ini.
Merenggut Kebahagiaan
21 Juni 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
"Halo, Mbah," kalimat sederhana terdengar dari ujung telepon di Jakarta. Suara
Saskia, batita mungil berusia dua tahun, membuat sang nenek begitu bahagia.
Semakin dia merindukan cucu yang belum pernah ditemuinya itu.
Lebaran lalu Saskia baru berusia satu tahun, terlalu kecil untuk diajak mudik. Tahun
ini adalah saat tepat untuk memperkenalkan si kecil pada keluarga besar di
kampung. Gadis cilik yang kehadirannya melalui penantian panjang hingga 12 tahun
pernikahan.
Yono, sang ayah, sengaja membeli minibus bekas khusus untuk mudik Lebaran.
Cukup lama juga ia menabung untuk mewujudkan impian mudik dengan mobil
sendiri. Selama perjalanan, ia menyetir, bergantian dengan adik ipar yang juga
bekerja di Jakarta. Di belakang, istri dan bayi mereka duduk berdampingan dengan
sang adik. Di baris belakang, ada keponakan yang rela bersisian dengan setumpuk
barang bawaan.
Belum lama berjalan, ponsel tuanya berdering. "Sudah sampai di mana?" tanya
sang ibu. "Baru masuk tol pertama, Bu. Masih di Jakarta. Nanti tak kabari kalau
sudah dekat. Nih, cucunya mau ngomong lagi."
Sang istri menempelkan ponsel ke bibir si batita. "Halo, Mbah!" Mendengar suara
imut cucunya membuat perempuan tua itu kian tak sabar menunggu.
Sepanjang perjalanan di hari pertama, ia selalu menelepon. Bertanya sudah di
mana, sekaligus ingin mendengar cucunya menyapa, "Halo, Mbah!"
Tapi ada yang berbeda di hari kedua. Ketika dia menelepon, bukan suara akrab
anak lelakinya yang terdengar, tapi pria lain dalam nada bicara yang sangat formal.
"Halo, dengan siapa saya bicara?" "Ini Mbah, ini siapa?"
Suara di seberang awalnya samar, tapi semakin jelas terdengar semakin
menyakitkan. Mbah jatuh pingsan sebelum semua informasi mampu diterimanya.
Tapi sejak itu si Mbah tahu, tidak akan ada lagi suara anak, Saskia cucunya, atau
keluarga tercinta di Jakarta yang akan didengarnya.
Sebuah bus melaju cepat, oleng, dan menabrak median jalan. Karena kecepatan
tinggi kendaraan besar ini melewati median jalan dan masuk ke jalur dari arah
berlawanan. Menabrak minibus berisi enam penumpang yang seluruhnya tewas
seketika, termasuk Saskia. Menurut keterangan polisi hal ini terjadi disebabkan
pengemudi bus yang mengantuk.
Mbah hanya salah satu dari begitu banyak keluarga yang kehilangan sosok tercinta
ketika mudik. Lebaran yang seharusnya menjadi suasana sukacita, nyaris setiap
tahun menjadi berita duka bagi sekitar seribu keluarga.
Mungkin ada yang menganggap tema mudik ini terlalu cepat untuk dibahas di awal
Ramadhan. Tapi saya justru merasa persoalan tersebut harus dibahas intensif sedini
mungkin agar persiapan bisa dilakukan lebih matang dan tidak terburu-buru.
Faktanya, korban mudik setiap tahun masih menyentuh angka luar biasa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pernah mengungkap bahwa
jumlah korban kecelakaan mudik selama 20 hari lebih tinggi dari korban bencana
alam dalam satu tahun. Contoh dramatis terjadi pada 2012. Korban mudik selama
20 hari mencapai 902 orang, padahal di tahun yang sama bencana alam selama
satu tahun dari 13 macam bencana menyebabkan 641 orang meninggal, dan 226
orang hilang, atau keseluruhan 867 orang.
Presiden Jokowi baru saja meresmikan Tol Cikopo-Palimanan yang merupakan jalan
tol terpanjang di Indonesia dan bagian dari sistem jalan tol Trans Jawa. Sebenarnya
proyek ini baru siap pada Agustus, tapi karena mengejar mudik, pemerintah meminta
agar diselesaikan lebih cepat. Tentu saja langkah ini harus diapresiasi sebagai
bentuk kepekaan pemerintah pusat terhadap fenomena mudik di Tanah Air yang
selalu menelan korban. Tapi masalah tidak selesai di sini. Masih ada sekitar 200 km
jalan rusak di Jawa Timur dan jalan lainnya. Semua pihak harus bekerja keras agar
korban saat mudik bisa diminimalkan.
Setiap pemerintah daerah harus berjuang menurunkan angka kecelakaan di wilayah
mereka dan menjadikannya agenda serius untuk ditangani. Setiap pengusaha
angkutan darat harus menyiapkan armada dan kru yang akan bekerja sebaik dan
seaman mungkin. Setiap pemudik harus menjaga keselamatan dan disiplin lalu
lintas.
Jika semua melakukan tugasnya masing-masing, insya Allah Lebaran tahun ini
bersama-sama semoga kita bisa mengurangi jumlah korban kecelakaan mudik,
hingga segenap lapisan masyarakat bisa menyambut Lebaran dengan suka cita
Ketika 1998 Indonesia dilanda krisis moneter, saya termasuk salah satu rakyat yang
merasakan pukulan berat. Bisnis produksi kaset nasyid dan percetakan yang kami
rintis langsung mati suri, kehilangan pembeli. Jangankan membeli kaset, masyarakat
kala itu bahkan susah untuk membeli susu dan makanan pokok.
Saat itu, saya terpaksa menjual barang-barang ke Pegadaian, bahkan hingga lemari
plastik dan perkakas rumah tangga harus dijual ke kerabat untuk menutupi
kebutuhan harian, termasuk anak pertama kami yang masih bayi.
Bersama suami, saya mencari pekerjaan apa saja, termasuk melamar sebagai guru
privat bahasa Inggris karena saat itu banyak dibutuhkan. Antara lain untuk mereka
yang memutuskan pergi ke luar negeri demi menyelamatkan diri karena khawatir
situasi di tanah air.
Apa yang saya alami memang tidak separah saudara kita yang harus meninggalkan
tanah air karena mendapat tekanan pihak tertentu. Tidak juga semenderita mereka
yang bisnisnya hancur ada yang sampai aset perusahaan dan keluarga dijarah,
dibakar serta dirusak massa. Akan tetapi saya bisa merasakan betapa krisis yang
didahului dengan membengkaknya nilai dolar merusak nyaris semua sendi
kehidupan.
Ketika kurs dolar melambung tinggi seperti yang terjadi sekarang, ingatan saya
kembali ke masa-masa pahit dalam episode bangsa Indonesia itu. Kalau dikaji dan
dikaji lagi, boleh jadi sebenarnya semua terjadi karena: PERCAYA atau sebaliknya
TIDAK PERCAYA.
Krisis moneter 1998 dimulai dengan TIDAK PERCAYA-nya rakyat Indonesia bahwa
pemerintah mampu mengatasi masalah, sebaliknya rakyat PERCAYA dolar akan
terus naik. Karena keyakinan demikian, maka kalangan yang memiliki
simpanan dolar akan menahan, sementara mereka yang belum memiliki berusaha
membelinya.
Selama hal ini dipercayai, maka kurs dolar akan terus tinggi, dan terjadilah krisis.
Sekalipun saya mengakui ada kepentingan politik yang menyertai, tapi tanpa
ketidakpercayaan yang masif, krisis moneter sebenarnya masih mungkin dihindari.
Sadar krisis dimulai ketika rakyat PERCAYA dolar akan naik terus, maka untuk
menghindarinya saya kali ini bersikeras untuk TIDAK PERCAYA dolar akan terus
melambung. Pilihan sikap ini membuat saya memilih tidak membeli dolar meski
sekadar investasi atau mengambil keuntungan sesaat. Karena percaya dolar akan
turun, saya --mungkin juga sebagian masyarakat yang berpikir serupa--tanpa ragu
justru menjual dolar sisa perjalanan dari luar negeri.
Jika seluruh pihak meyakini kurs dolar pasti turun, masyarakat akan berbondongbondong menjual dolar hingga nilainya benar-benar turun. Kekuatan kepercayaan
adalah kuncinya. Sebaliknya, jika rakyat percaya dolar akan terus naik, lebih banyak
orang akan membeli dolar sebagai simpanan, hingga nilainya meningkat terus.
"Tapi saya hanya membeli sedikit, cuma 1.000 dolar," kilah seorang rekan ketika
bertemu. Benar juga. Perbedaan apa yang bisa dibuat oleh satu orang?
Persoalannya jika ada di antara penduduk Indonesia satu juta orang yang berpikir
demikian, maka akan ada transaksi pembelian dolar sebanyak 1 miliar USD. Lebih
buruk lagi jika jutaan orang dari kelas menengah kita memutuskan menabung dolar,
berarti nilai mata uang tersebut akan semakin melambung. Dan setiap kita yang
melakukannya tanpa disadari telah berkontribusi dalam mencabik-cabik nilai rupiah.
Saya mengerti ada banyak alasan untuk bersikap pesimis saat ini. Namun pesimistis
tidak pernah membawa kita ke arah lebih baik. Sebagai rakyat yang bisa dilakukan
saat ini adalah percaya. Yakin bahwa nilai dolar akan turun. Percaya pemerintah
akan melakukan yang terbaik untuk mewujudkannya.
Jika hal ini dipercayai maka kita tidak akan membeli dolar untuk investasi. Jika
memutuskan mendukung pemerintah, berarti memberi kesempatan pemerintah
untuk berkonsentrasi bekerja.
Sementara peran pemerintah saat ini adalah membuat rakyat percaya bahwa
pemerintah mereka sedang berpikir dan bekerja keras untuk meredam laju dolar.
Termasuk membuat langkah luar biasa yang bisa menarik dolar sebanyak-banyak ke
Indonesia atau ditukarkan dengan rupiah.
Saya ingat, dulu pemerintah Habibie membuat kebijakan gila dengan menaikkan
suku bunga hingga 70%-an hingga masyarakat melihat bahwa menabung dalam
rupiah lebih menguntungkan dari dolar. Yang kemudian terjadi adalah rakyat
Di sebuah keluarga yang mapan, seorang ayah menerapkan kebijakan baru dalam
memberi uang bagi keempat anaknya.
Mulai saat ini, ia akan memberikan uang bulanan pada anak pertama, kedua, ketiga,
dan si bungsu dalam jumlah lumayan besar, lebih dari cukup untuk sekadar jajan
atau keperluan sehari-hari mereka. Anak-anak pun diberi kebebasan untuk
menggunakannya. Pesan beliau cuma satu, belanjakan uang untuk yang bermanfaat
atau tidak sama sekali.
Di akhir bulan, sang ayah memanggil putra-putrinya untuk menanyakan bagaimana
mereka menghabiskan uang yang diberikan. Anak pertama mengatakan uang dari
ayah dipakainya untuk membeli gadget terbaru. Anak kedua yang perempuan
menjelaskan bahwa uang yang diberikan habis untuk membeli pakaian bermerek.
Sementara anak ketiga membelanjakan uangnya untuk perlengkapan sekolah. Anak
keempat berbeda dengan ketiga kakaknya. Ia memutar uang bulanannya untuk
usaha.
Mendengar penjelasan mereka, sang ayah marah pada anak pertama dan kedua. Ia
menganggap kedua anak tertuanya boros dan telah menggunakan uang secara
tidak bijak. Namun untuk bulan berikut, lelaki itu kembali memberi uang bulanan
dengan jumlah sama bagaimana pun, ini merupakan hak mereka, pikirnya.
Di akhir bulan, kembali sang ayah ingin tahu bagaimana keempat anaknya
menggunakan uang tersebut. Anak pertama ternyata memilih tidak memakai uang
yang diberikan sama sekali. Ia bahkan memutuskan melewatkan makan siang di
kantin karena takut dimarahi jika salah menggunakan uangnya. Anak kedua hanya
membeli makan siang, dan sisanya dibiarkan utuh. Anak ketiga dan keempat tetap
seperti bulan sebelumnya.
Anehnya, meski anak pertama dan kedua sudah jauh berhemat, mereka tetap
mendapatkan kemarahan sang ayah. Beliau berpikir kedua anak tertuanya tersebut
pelit, menzalimi diri sendiri dan tidak menggunakan uang secara bijak.
Anak pertama dan kedua makin bingung. Dipakai salah tidak dipakai salah, jadi
harus bagaimana?
Kebingungan karena tidak memiliki uang adalah hal wajar. Akan tetapi bingung
meski memiliki uang, ini baru sesuatu. Lucunya, kisah anak pertama dan kedua
adalah fakta yang saat ini terjadi di Indonesia.
Rupanya saat ini Indonesia tercinta sedang dililit masalah baru. Bukan kekurangan
uang (saja), tapi kekurangan figur yang cerdas dan berani memanfaatkan dana
yang ada untuk kepentingan rakyat. Alokasi dana yang tepat jelas menuntut
perencanaan matang yang harus disiapkan. Juga penegakan hukum yang
profesional dan keberanian pemimpin untuk bertindak selama yakin ia benar.
Saya bisa menerima jika empat putra putri si ayah dalam ilustrasi di atas salah dan
menjadi trauma karena mereka anak-anak yang masih terus belajar. Tapi sikap
seperti ini tidak sewajarnya terjadi pada pejabat publik yang telah memutuskan maju
dan mengatakan siap memimpin.
Di sebuah negeri hijau nan permai, seorang perdana menteri geram dengan
bencana asap yang sedang melanda. Tidak hanya itu, ia juga malu karena asap
meluas hingga negara tetangga. Dengan amanah kekuasaan yang dimiliki, ia
menginginkan adanya solusi jitu untuk mengakhiri bencana asap yang terjadi hampir
setiap tahun.
Sang PM segera menggelar rapat khusus bersama para pembantunya. Saya
ingin, kita membuat langkah nyata untuk menangani masalah asap. Kita tidak boleh
menyerahkan solusi pada alam atau selalu menuding alam sebagai penyebab, ujar
Sang PM dengan rahang gemeretak menahan amarah. Tidak seperti biasa pula ia
membuka rapat sambil berdiri tegak.
Kalau terjadi sekali, boleh kita sebut bencana. Tapi kalau setiap tahun, maka bukan
bencana lagi namanya. Ini tantangan yang harus diatasi!
Pemimpin jutaan rakyat itu menghenyakkan tubuhnya ke kursi. Pandangannya kini
tertuju pada petinggi penegak hukum. Saya dengar 80% asap berasal dari area
perkebunan di bawah otoritas perusahaan. Apakah mungkin kita jerat perusahaan
yang menjadi sumber utama kebakaran dalam delik hukum?
Yang ditanya menjawab, Siap Pak, nanti kami periksa dan selidiki apakah ada
unsur kelalaian. Selain itu juga akan kami lihat apakah ada tindakan pelanggaran
hukum yang memicu seperti pembajakan liar atau pembakaran hutan dengan
sengaja untuk penghematan biaya pembukaan lahan .
Bagus, jalankan!
Giliran Sang PM melihat para menteri di bidang ekonomi. Saya ingin menambah
armada pesawat dan heli pemadam, akan tetapi saya juga mau perusahaan di area
tersebut melakukannya. Apakah negara bisa mewajibkan ini kepada perusahaan
perkebunan yang areanya kerap menimbulkan kebakaran?
Salah seorang menteri merespons, Dengan bisnis bernilai triliunan tentu
perusahaan sanggup. Kita bisa mewajibkan itu sebagai standar minimal keamanan
area produksi. Perusahaan dengan lahan sekian ratus ribu hektar harus mempunyai
heli atau pesawat pemadam sendiri.
Menteri lain memberi usulan, Kerugian sosial atas bencana ini mencapai 2 triliun
rupiah, Pak. Jadi kita juga harus membuat peraturan yang membebankan
perusahaan untuk mengganti biaya akibat asap.
Oke, siapkan perangkat hukumnya, tegas sang PM. Seperti teringat sesuatu beliau
meluncurkan pertanyaan, Bagaimana dengan lingkungan hidup?
Sebenarnya, salah satu sebab kebakaran hutan terutama di daerah gambut adalah
dibuatnya sungai baru untuk mengalirkan kayuagar menghemat biaya
transportasi. Sungai itu menghisap kandungan air di hutan gambut sehingga
membuat kadar air makin berkurang, kering sampai ke bagian bawah. Perusahaan
bermaksud menghemat anggaran dengan tidak membuat jalan, tapi
mengakibatkan kebakaran hutan yang nilainya triliunan setiap tahun.
Baik, siapkan aturan untuk mengatasinya!"
Kali ini menteri kesehatan angkat bicara, Pak, dalam kasus kebakaran besar,
seringkali rokok menjadi penyebab. Alangkah baiknya jika diterapkan larangan
merokok di area perkebunan, sehingga jika terjadi kebakaran yang dipicu oleh rokok,
maka perokok dan perusahaan perkebunan bisa langsung dipidanakan.
Bisa diterima. Segera realisasikan, dukung sang perdana menteri.
Rapat terus bergulir. Setiap menteri berusaha memberikan masukan terbaik mereka.
Berikutnya giliran menteri perhubungan menyampaikan ide. Saat ini teknologi
pesawat tanpa awak sudah tinggi dan mudah diakses. Saya sarankan setiap
perkebunan diwajibkan memonitor area perkebunan secara luas termasuk
mendeteksi panas sejak dini dengan pesawat drone tersebut.
Sang perdana menteri mengangguk, lalu memandang menteri luar negeri. Tolong
sampaikan maaf pada negara tetangga. Dan katakan kita berjanji akan
mengatasinya lebih baik dari sebelumnya. Tahun depan kita buktikan!"
"Baik, Pak." Jawab sang menteri. Jika program ini berhasil, tentu ia tak perlu lagi
menyembunyikan muka ketika bertemu pemimpin negara tetangga yang selama ini
menjadi korban ekspor asap yang tak dirindukan.
Di akhir rapat, sang perdana menteri menambahkan, Saya tekankan, selain
pemerintah, perusahaan wajib bertanggung jawab atas wilayah mereka. Masak
mereka hanya mau mendapatkan untung dari wilayah hutan? Ketika ada musibah di
areanya, pemerintah juga yang harus bertanggung jawab. Benar kita semua ikut
berperan menyelesaikan masalah, tapi kita juga harus menagih tanggung jawab
mereka yang terkait, secara hukum dan finansial.
Rapat berjalan efektif, dan menemukan solusi yang memungkinkan untuk membuat
negeri hijau tersebut terhindar dari bahaya asap. Sang perdana menteri tersenyum,
sebab kini ia mulai melihat titik cerah. Diam-diam dia bertekad tidak akan ada lagi
bencana asap karena telah diantisipasi dengan matang, selama sisa masa
jabatannya.
Sudah dua bulan lebih ladang milik Bapak terbakar. Bisa dibilang, memang setiap
kemarau datang, ladang Bapak selalu mengalami kebakaran. Asap tebal menghitam
menyebar ke mana-mana, hingga ke kampung sebelah dan mengganggu kesehatan
dan aktivitas warganya.
Sekalipun ladang yang terbakar sebagian besar dalam status sedang disewa para
kolega, kenyataannya, anak buah Bapaklah yang sibuk memadamkan api. Sedang
sama kampung sebelah. Mereka punya tangki air yang jauh lebih besar dan alat
semprot yang lebih canggih. Jadi, masalah asap bisa segera selesai. Apalagi
mereka bilang siap membantu!"
Mendengar usulan tersebut Bapak mendelik. "Kamu mau mempermalukan Bapak?
Itu sama saja bilang Bapak tidak sanggup mengatasi hal sepele kayak gitu. Mau
kamu keluarga kita dianggap lembek? Bapak masih bisa, kok, mengatasi, tidak usah
minta bantuan. Sekalipun kampung tetangga punya alat yang lebih hebat."
"Tapi ini sudah dua bulan lebih. Kita sudah terbukti tidak mampu. Korban sudah
berjatuhan. Atau Bapak sewa saja, kalau malu minta bantuan. Bilang kita sewa,
nanti dibayar. Yang penting api padam, asap hilang dulu!"
Bapak tampak manggut-manggut. Kalaupun sewa, uang sebenarnya ada, bahkan
bisa gratis karena kampung sebelah memang berkali-kali menawarkan bantuan.
Di sisinya, sang anak terus menguraikan ide.
"Nanti semua biaya ditagih ke para penyewa atau kolega Bapak yang seharusnya
bertanggung jawab!"
Bapak baru akan membuka mulut ketika telepon tiba-tiba berdering. Dari ujung
telepon terdengar suara tangis--membawa berita duka. Wajah Bapak spontan
berubah pias. Cucu semata wayangnya, anak dari putra sulung yang tinggal di
kampung sebelah, terkena infeksi saluran pernapasan akut, dan kini dirawat di
rumah sakit. Bocah berusia lima tahun itu sedang berjuang antara hidup dan mati,
semua gara-gara asap.
Meski dilanda kesedihan Bapak masih tampak ragu. Hingga si bungsu memecah
keheningan.
"Apa lagi yang ditunggu, Pak?" ujarnya sambil menyerahkan telepon. "Hubungi
kepala desa sebelah. Tidak ada harga diri yang pantas dibayar dengan nyawa cucu
bapak, atau siapa pun."
Tapi Bapak belum beranjak dari kediaman. Ibu yang mulai terisak mendekat dan
pelan-pelan bicara. "Bukannya Ibu mau menggurui, tapi coba baca dua ayat ini,
Pak." Telunjuk ibu mengarah pada sebuah ayat dalam Al-Quran.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)
Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, adalah disebabkan oleh perbuatan
tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahankesalahanmu). (QS. Asy-Syuro: 30)
Mungkin memang Bapak belum maksimal, pikirnya. Mungkin sesuatu yang cukup
baik tetap harus ditingkatkan menjadi lebih baik, apalagi dalam situasi darurat.
Kabut masih menyelimuti pikiran Bapak ketika sekonyong-konyong angin berubah
arah. Asap dari kampung sebelah berbondong-bondong menuju rumah Bapak. Lakilaki itu merasa matanya mendadak perih, sementara kerongkongan gatal hingga dia
terbatuk-batuk parah. Asap terus bergerak, menebal, mengunci pandangan Bapak
juga Ibu.
Tangan laki-laki setengah baya itu meraba-raba mencari telepon yang belum lama
diletakkan di meja. Kali ini tak ada keraguan, tanpa menunda apa pun, ia
menelepon semua orang.
"Halo, apakah bisa kampung Saudara membantu saya...."
"Halo, bisa disediakan oksigen dan masker...."
"Halo, tolong segera dicairkan dana untuk atasi asap...."
"Halo, ya, semua penyewa tidak tanggung jawab akan saya tuntut...."
"Halo....?"
Di sela kepanikan Bapak dan asap yang memenuhi rumah, Ibu dan anak-anak
saling pandang.
Bapak... Bapak..... Giliran diri yang terkena asap, baru berpikir mengatasi secepat
mungkin dengan segala sumber daya yang ada. Padahal seharusnya seseorang
tidak harus menjadi korban dulu untuk sungguh-sungguh peduli pada penderitaan
sesama.
Final Piala Presiden antara Persib Bandung dan Sriwijaya sejatinya bukan sekadar
pertandingan olahraga, melainkan lebih dari itu. Peristiwa ini merupakan
pengukuhan kembali wibawa pemerintah sebagai pemerintah.
Sebelumnya, sering kali kebijakan olahraga pemerintah pusat, pemerintah daerah,
juga aparat keamanan seakan didikte para suporter sepak bola. Misalnya, untuk
Sikap yang sama harus diterapkan terkait bencana asap yang dari tahun ke tahun
selalu terjadi. Sebagian besar diakibatkan oleh lahan di perkebunan milik swasta.
Saatnya pemerintah kembali menunjukkan kewibawaan.
Pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh mengatasi masalah asap
dibandingkan menangani suporter bola. Melibatkan lebih banyak tenaga,
menyiapkan lebih banyak dana. Karena, pemerintah bisa. Jika tidak, rakyat pasti
protes keras.
Pemerintah itu memerintah, maka perintahkan para pengusaha agar menjaga
keamanan lingkungan atau jika tidak, maka hukum bicara. Menegakkan keadilan
tanpa pandang bulu. Jika ditegakkan dalam koridor yang tepat, sesuai aturan, rakyat
siap mendukung sikap tegas pemerintah demi kemaslahatan rakyat.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Pa, berita APBN ini maksudnya apa, sih? tanya seorang istri sambil menunjuk
koran yang memuat soal Badan Anggaran DPR yang menyetujui Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 senilai Rp 2.095,7 triliun.
Sang suami yang sebenarnya tidak terlalu banyak tahu tentang ekonomi menjawab
seadanya. "Itu rencana belanja tahunan negara, Ma. Ya, mirip kitalah. Setiap
bulan kan selalu ada rencana belanja bulanan atau mau beli apa tahun ini."
Penjelasan itu ternyata tidak meredam, malah menumbuhkan rasa penasaran baru
istrinya. "Tapi, Pa, di sini ditulis pendapatan negara Rp 1.822,5 triliun. Berarti negara
belanja lebih banyak dong, dari penghasilannya. Nah, kurangnya dari mana?
Ya, berutang, tukas sang suami, idealnya ini tidak dilakukan kalau memang tidak
perlu. Apalagi jika terjadi pemborosan di sana-sini. Papa juga heran kenapa rasanya
hampir tiap tahun negara selalu utang.
Sang istri meneliti angka-angka yang tertera dengan lebih cermat, seakan kehidupan
rumah tangganya tergantung benar pada data di sana. Terus, ini ada tulisan
penerimaan dari sektor pajak Rp 1.546,7 triliun dan penerimaan negara bukan pajak
Rp 273,8 triliun, maksudnya?
Itu artinya belanja negara lebih dari 70 persen dibayar rakyat Indonesia lewat pajak.
Sisanya dibiayai hasil alam, BUMN, atau utang, dll.
Meski berusaha mencerna, wajah perempuan hampir setengah baya itu malah
semakin bingung. Kalau di film-film Barat kan, sering ada adegan pas aparat atau
pejabat berlaku kasar, rakyatnya berani bilang, 'Saya ini pembayar pajak.' Tapi
kenapa di sini nggak ada yang ngomong begitu, ya?
Kali ini suaminya terdiam beberapa hela sebelum menjelaskan. Di Indonesia
banyak pejabat dan aparat tidak sadar bahwa mereka digaji rakyat. Menganggap
yang menggaji mereka adalah atasan atau uang negara. Padahal, uang negara itu
sebagian besar dari rakyat lewat pajak. Karena tidak sadar, ketika ada rakyat yang
menegur pejabat atau aparat dengan, 'Saya ini pembayar pajak!' bisa-bisa malah
dijawab, "Terus, gue harus bilang wow gitu?!"
Lelucon suaminya membuat sang istri tertawa. Sang suami ikut tertawa sampai
terbatuk-batuk. Tidak lama kemudian dia meneruskan, Dan rakyat juga banyak
yang tidak paham bahwa mereka sebenarnya yang menggaji para pejabat dan
aparat negara. Ketika masyarakat membeli mobil, motor, makan di restoran, bahkan
termasuk beras, sebenarnya ada pajak yang dibayarkan. Langsung maupun tidak
langsung itu untuk menggaji para pejabat dan aparat.
Sebenarnya boros tidak, sih, anggaran kita? Sudah sesuai dengan kebutuhan
belum, Pa? Mendapati sang istri masih bersemangat menunggu jawaban, laki-laki
itu membuka laptopnya, mengutak-atik data di internet, terus mencari informasi yang
dibutuhkan melalui Google. Penasaran ingin memastikan apa saja yang telah
dianggarkan negara.
Detik-detik berikutnya si lelaki sibuk menggumam sendiri. Hmm, anggaran untuk
KPK sekitar Rp 1 triliun, untuk kepolisian lebih dari Rp 60 triliun. Padahal penyakit
paling berbahaya salah satunya korupsi. Seandainya semua pihak bekerja untuk
memberantas korupsi, pasti sangat kuat.
Hmm ... anggaran untuk Radio Indonesia mencapai Rp 800 miliar dan TVRI Rp 900
miliar. Kenapa dengan suntikan dana sebesar itu rasanya belum banyak programnya
diminati?
Hmm, Perpustakan Nasional Rp 700 miliar. Buat apa saja, ya?
Komnas HAM anggarannya cuma Rp 94 miliar setahun. Cukup kecil.
Kemungkinannya dua. Di Indonesia tidak banyak pelanggaran HAM atau bisa jadi
pelanggaran HAM tidak dianggap penting.
Lalu dana yang paling besar di pekerjaan umum dan perumahan rakyat, lebih dari
Rp 100 triliun, sementara untuk pertahanan lebih dari Rp 90 triliun." Kalimat terakhir
ditutup dengan gumaman lebih panjang.
Kesal karena suaminya sejak tadi cuma bergumam dan bicara lirih sendiri, sang istri
terus mengusik. Pa, jangan cuma hmm hmm, jadi bagaimana?
Triliunan Sampah
06 Desember 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Puluhan ribu ikan terdampar mati di Teluk Jakarta. Berbagai teori muncul di media.
Perubahan suhu menyebabkan endapan racun yang mengakibatkan ikan-ikan mati.
Ada yang mengatakan limbah pabrik di pantai yang membuat ikan keracunan.
Reklamasi pantai Jakarta merusak habitat ikan.
Belum ada kepastian teori mana yang paling tepat, tapi bisa dipastikan penyebab
utamanya: Mismajamenen sampah atau limbah. Untuk sebagian besar wilayah di
Indonesia, sampah adalah masalah. Padahal di negara maju, sampah menjadi
bisnis triliunan (rupiah)!
Teringat obrolan singkat dengan seorang surfer bule yang duduk di sebelah saya
dalam penerbangan kembali ke Jakarta dari Eropa. Pria bertubuh besar itu
mengungkap sebuah data yang cukup mengagetkan. "Di dunia ini, 80% sampah di
lautan hanya disumbangkan oleh 6 negara, dan salah satunya Indonesia." Informasi
yang menyentakkan, di antara 200-an negara, hanya 6 negara yang menyumbang
80% sampah di lautan? Luar biasa memalukan.
Beberapa minggu lalu media ramai memberitakan sampah yang menumpuk di
Jakarta. Puluhan truk mengantre, bau busuk menyebar ke mana-mana sehingga
mengganggu kenyamanan juga kesehatan. Pihak pengelola swasta menyatakan
rugi karena biaya operasional membengkak, salah satu penyebabnya adalah
pemerintah daerah yang menolak wilayahnya menjadi tempat pembuangan
sampah.
Mengapa sepertinya berita tentang sampah selalu terkait masalah, padahal
berpotensi menjadi bisnis sangat menguntungkan. Bahkan sebenarnya ada banyak
investor luar yang tertarik menanganinya asal didukung sistem yang kondusif.
Sampah dan limbah mengembalikan ingatan saya ketika mengunjungi ananda yang
sedang mendalami sepak bola di Belanda. Saya menginap selama beberapa
minggu di kediaman penduduk Belanda yang menyediakan penginapan murah.
Yang menarik, pemilik rumah tersebut bekerja di pusat pengelolaan sampah milik
pemerintah daerah. Kepada saya beliau bercerita bagaimana sampah menjadi salah
satu komoditi ekspor yang sangat menguntungkan. Hampir semua sampah didaur
ulang menjadi material yang berguna. Bahkan ribuan ton sampah diekspor. Beliau
belum lama bertemu pembeli sampah dari India, Jepang, dan beberapa negara lain
di Asia.
Dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan bagaimana penataan sampah begitu
rapih di Belanda. Tempat sampah tersedia di mana-mana.Tak hanya itu setiap
rumah memiliki tempat sampah yang disediakan pemerintahdengan bentuk dan
ukuran sama. Bentuk disesuaikan dengan desain mobil pengangkut sampah yang
mengangkat semua sampah secara hidrolik.
Truk sampah di sana memiliki jadwal operasional yang teratur. Misalnya hari ini
hanya sampah kertas yang diambil, besok sampah plastik. Hari berikutnya giliran
sampah organik, begitu seterusnya. Jika ada sampah besar seperti kulkas atau
barang elektronik besar lainnya, warga dapat menelepon untuk membuat janji
pengambilan atau mengirim ke lokasi tertentu.
Semua penduduk harus disiplin. Ketertiban yang terbangun bukan cuma
berdasarkan kesadaran tapi juga peraturan. Ini yang penting, untuk tidak hanya
mengandalkan kesadaran masyarakat, tapi juga penegakan hukum.
Setiap minggu ada polisi sampah yang membongkar tempat sampah penduduk
secara random, memastikan isinya. Jika ada plastik dicampur dengan sampah
organik, penghuni rumah tersebut akan didenda, 70 euro atau 1 jutaan. Karena
sampah yang bercampur berarti tidak bisa langsung diproses, atau harus melewati
fase lebih mahal untuk daur ulang.
Di Indonesia, sebagian besar sampah bercampur baur. Sampah kertas dicampur
dengan organik akan membuat kertas hancur dan berkontribusi terhadap
penggundulan hutan. Sampah plastik bercampur organik akan menghabiskan
banyak zat kimia untuk pembersihan.
Belajar dari negara-negara lain, Indonesia harus segera merevolusi sistem
persampahan. Setidaknya mulai diterapkan di hotel dan gedung perkantoran
sebelum menyeluruh masuk ke masyarakat luas. Jika tidak, kita hanya akan
menumpuk sampah serta makin merusak lingkungan dan mewariskan alam yang
sakit pada anak-cucu.
Bersyukur masih banyak pahlawan kecil yang begitu berjasa mengelola sampah.
Mereka adalah pemulung, aktivis pendaur ulangjuga penggerak bank sampah.
Melakukan tugas yang seharusnya dikerjakan pemerintah. Tanpa mereka, seluruh
keindahan dan potensi negeri tercinta bukan mustahil lambat laun menghilang di
balik gunungan sampah.
DEMOKRASI
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
"Hancur sistem hukum kita kalau begini!" Komentar seorang teman yang mengerti,
menanggapi keputusan praperadilan atas kasus BG melawan KPK.
Saya yang tidak begitu paham persoalan hukum bertanya-tanya masalah besar apa
yang akan muncul di masa depan, terkait ini?
"Bayangkan saja, keputusan hakim mengatakan, 'Menimbang bahwa atas
penyidikan pemohon tidak sah, surat sprindik termohon sebagai tersangka maka
terhadap surat penyidikan yang menetapkan sebagai tersangka pun dinyatakan
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.'"
Ia mengutip lengkap keputusan hakim yang saya dan juga mungkin kebanyakan
masyarakat awam tidak mengerti benar maksudnya. Memahami kebingungan saya,
sang teman menjelaskan. "Praperadilan seharusnya menjadi proses untuk
menentukan apakah sebuah kasus layak di bawa ke pengadilan atau tidak. Jadi
proses penyidikan sudah selesai dan siap disidangkan. Baru kasus tersebut bisa
diangkat ke praperadilan sebelum pengadilannya dimulai. Dan itu tidak boleh
mencakup pokok materi tapi prosedural hukum saja. Tapi dalam kasus ini yang di
praperadilankan adalah proses penyidikan, atau status tersangkanya."
"Lalu?" tanya saya polos.
"Artinya semua tersangka nanti bisa mempraperadilankan statusnya jadi tersangka.
Ke depan semua kasus bisa berhenti sebelum pengadilan, jika semua proses
penyidikan dibatalkan. Semua tersangka yang berduit akan mudah melepaskan diri
dari jerat hukum, melalui praperadilan atas kasus tersangkanya. " jelasnya lebih
gamblang.
Berangsur saya mulai memiliki bayangan masalah yang akan muncul di kemudian
hari.
"Lebih buruk lagi, nanti para tersangka bisa mangkir jika dipanggil kepolisian,
kejaksaan atau KPK, karena mereka menunggu dulu hasil praperadilan atas status
tersangka. Mereka bisa menunda proses pemeriksaan tersangka karena menolak
status tersangkanya. Ini menjadi mungkin karena presedennya sudah ada."
Benarkah? Kekhawatiran saya semakin bertambah.Dengan proses yang sudah ada
saja terdakwa korupsi dan yang lolos, masih banyak penjahat yang bebas, apalagi
dengan peristiwa ini.Bayangkan ribuan tersangka berlomba-lomba
mempraperadilankan status mereka, yang jika menang maka proses penyidikan
terkait seluruhnya harus dihentikan.
Saya mulai mengerti kenapa salah satu kuasa hukum KPK, Chatarina Mulia
Girsang memprediksi tersangka lain akan mengajukan hal yang sama karena
merasa memiliki kemungkinan menang."Yang pasti setelah ini semua yang menjadi
tersangka, baik di Polri, kejaksaan, atau KPK, akan mengajukan praperadilan."
Dunia tenang saya mendadak diguncang kepanikan dan kekhawatiran. Saya yang
awam perlahan memahami kenapa banyak pihak yang mengerti hukum dan peduli
atas penegakan dan konsistensi hukum sangat marah dan kecewa dengan
keputusan ini, sebagaimana penuturan Ketua Tim Independen Buya Syafii Maarif,
"Orang yang bela Budi Gunawan pasti senang (dengan putusan itu). Tapi ahli hukum
pasti kecewa, karena putusan itu merusak struktur hukum," kata Buya.
Lalu bagaimana solusinya, masih adakah harapan mengembalikan proses hukum ke
jalur yang benar?
Teman saya terdiam, memandang langit sejenak seraya menghela
napas,"Seandainya saja MA mengabulkan kasasi untuk membatalkan keputusan ini,
berarti keputusan menjadi batal demi hukum. Artinya preseden ini tidak ada. Akan
tetapi..." tambahnya, "lebih bagus lagi kalaupun keputusan ini batal, lalu diperjelas
seterusnya tidak ada praperadilan yang mengangkat penetapan status tersangka di
pengadilan mana pun. Jadi harusnya praperadilan atas status tersangka ditolak
sejak awal tanpa dijadwalkan untuk dipraperadilankan."
Memandang wajah teman yang diliputi rasa frustrasi, hati saya berdebar. Kepastian
dan tata kelola hukum kita dalam bahaya. Semoga Allah menyelamatkan negeri ini.
Semoga seluruh penegak, aparat dan semua punggawa hukum arif menjaga hukum
di Tanah Air agar berjalan sesuai prosedur, dan tidak dipermainkan, doa saya dalam
hati. Doa yang sama, saya yakin sedang dipanjatkan ratusan juta anak negeri.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Enam puluh tahun lalu, tepatnya 18-24 April 1955, tidak ada kekuatan besar dunia
yang mengira bahwa sebuah negara muda yang baru 10 tahun merdeka mampu
mengumpulkan puluhan negara baru dari Asia dan Afrika dalam sebuah konferensi
yang diselenggarakan di Bandung.
Tercatat sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk
dunia mengirimkan wakil untuk mengikuti konferensi yang bertempat di Gedung
Merdeka, Bandung, Indonesia.
Sejarawan Agung Pribadi melihat, Konferensi Asia Afrika (KAA) berhasil memberi
perubahan besar pada peta dunia. Setidaknya, ada sekitar 40 negara yang baru
merdeka terpicu langsung oleh diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika 1955.
Sebagai gambaran, usai Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri,
beranggotakan 51 negara, yang merupakan jumlah sebagian besar negara di dunia
saat itu.
Dalam kurun waktu 15 tahun (1945-1960), sebanyak 36 negara telah bergabung
sehingga anggota PBB mencapai 87 negara. Beberapa negara baru pun muncul
setelah Perang Dunia II. Mereka adalah negara merdeka yang keanggotaannya
menyusul karena tidak langsung bergabung di PBB ketika didirikan.
Akan tetapi, dalam kurun waktu 10 tahun selama 1960-1970, sebanyak 40 negara
baru bergabung dalam PBB dan sebagian besar berasal dari Benua Asia dan Afrika.
Sebut saja Tunisia, Ghana, Guyana, Mauritania, Mali, Togo, Dahomay, Republik
Afrika Tengah, Gabon, Chad, Kongo, Senegal, Pantai Gading, Volta Hulu (Burkina
Faso), Nigeria, Somalia, Sierra Leone, Burundi, Rwanda, Tanzania, Kenya, Zambia,
dan Malawi adalah nama-nama negara yang merdeka setelah Konferensi Asia
Afrika.
Sebelum KAA, di Afrika hanya terdapat lima negara, yaitu Mesir, Libya, Etiopia,
Liberia, dan Afrika Selatan. Setelah KAA sampai 1965, sebanyak 33 negara di
Benua Afrika berhasil meraih kemerdekaannya.
Tidak berlebihan jika KAA dikatakan telah mengubah peta dunia, dan Indonesia
mempunyai peran besar di dalamnya. Bahkan, kemerdekaan puluhan negara di Asia
dan Afrika setelah tahun 1970-an masih merupakan pengaruh lanjutan semangat
KAA.
Sebuah pesan masuk di WA, perihal surat edaran Kapolri tentang penanganan
ujaran kebencian, terutama di media sosial.
Ada yang merespons secara positif kebijakan tersebut yang dipercaya akan
mendorong mereka yang aktif di dunia maya hingga lebih bijak dan berhati-hati. Ada
pula yang memberi tanggapan negatif karena surat edaran tersebut dikhawatirkan
makin memberi keleluasaan pada aparat dan pemerintahan untuk membatasi ruang
gerak netizen. Apalagi tidak berselang lama, mencuat kasus office boy di Ponorogo
yang dilaporkan anggota polisi karena memposting meme yang menyinggung
anggota Polantas.
Segala sesuatu, bahkan niat baik bisa saja bermata dua. Saya sendiri melihat
kenyataan masih banyak netizen yang belum bijak menggunakan sosial media. Alihalih memaksimalkan sosial media untuk kebaikan dan menebar manfaat, sebagian
tak jarang menggunakan kekuatan sosmed untuk melecehkan karakter atau
merusak reputasi individu yang telah dibangun bertahun-tahun.
Bukan sekali-dua kali tuduhan tanpa bukti disebarkan di ranah maya. Fitnah tanpa
klarifikasi dan berbagai jenis ujaran kebencian dan hujatan tanpa alasan jelas. Tidak
jarang saya mengajak mereka yang menyebarkan fitnah di sosial media agar sama-
sama tidak gegabah, karena bukan hanya hukum dunia, tetapi di akhirat ada hukum
Allah yang menanti.
Rasul mengingatkan, amal ibadah sang pemfitnah akan diambil untuk diberikan
pada korban fitnahnya. Jika amalnya sudah habis dikuras, maka dosa korban fitnah
akan dibebankan kepada para penyebar rumor dusta.
Akan tetapi, pemfitnah dan penyebar kebencian yang egonya lebih kuat dari iman,
mengabaikan peringatan hadits tersebut. Mereka tetap leluasa menyebarkan fitnah
dan kebencian di sosial media. Sekalipun tahu, bahkan akun palsu mereka tidak
mungkin membebaskan dari tanggung jawab di mahkamah Allah.
Surat edaran ini semoga menjadi jawaban untuk menghentikan para pelaku fitnah
dan penebar kebencian yang mungkin sudah tidak percaya lagi konsekuensi di
akhirat.
Dengan kesungguhan Polri untuk meredam penyebar kebencian, dan dukungan
teknologi IT, pemilik akun palsu tidak semudah itu berkelit. Mereka dapat ditemukan
melalui penelusuran IP Address, jenis gadget, dan berbagai metode lain. Intinya,
polisi memiliki beragam cara mengungkap identitas nyata di balik sebuah akun
palsu. Dan hal ini sudah banyak terbukti.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa penerbitan Surat Edaran Ujaran
Kebencian bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik di tengah masyarakat.
Sebab banyak kejadian berawal dari ujaran kebencian yang bersifat provokasi,
hasutan, dan lainnya. Dengan adanya surat ini, diharapkan polisi mampu melakukan
pencegahan sebelum terjadi tindak pidana akibat hate speech--atau bahkan konflik
sosial.
Pendekatan ini sudah berhasil turut meredam potensi kerusakan--dan kerusuhan-lebih parah saat pertandingan final Piala Presiden 2015 di Jakarta beberapa minggu
lalu.
Tetapi keresahan sebagian pihak tetap merebak.Bagaimana jika polisi atau
penguasa memanfaatkan ini sebagai alat untuk kepentingan sebagian
orang? Sebenarnya, tanpa surat edaran ini pun pihak kepolisian bisa saja
menggunakan 'senjata' lain, misalnya pasal yang berkaitan dengan pencemaran
nama baik, penghinaan, dan penyebaran berita bohong. Jadi, kalau muncul
kecemasan bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan mereka pemegang
kekuasaan, bisa dikatakan tidak tepat. Jika ditelaah, surat edaran ini justru banyak
berpihak pada kepentingan masyarakat.
Kepolisian, pemerintahan, serta lembaga kepresidenan memang bukan institusi
yang sempurna. Tetapi tetap tidak lantas menjadi sah untuk difitnah. Rakyat boleh
protes, kritik boleh diajukan, namun kebencian yang diciptakan berdasarkan
kebohongan dan rekayasa tidak dibolehkan, bahkan oleh agama.
Setelah melihat meme polantas yang melaporkan dirinya dicemarkan, saya bisa
mengerti. Dialog fiktif dalam meme seolah sang polantas sedang berbincang dengan
istrinya tentang uang hasil tilang untuk dipakai shopping, tentu tidak
menyenangkan.
Sebagai manusia dan rakyat suatu negara berdaulat, polantas tersebut punya hak
melaporkan. Yang salah adalah pihak yang mencemarkan. Tantangan bagi polisi
untuk menerapkan hal ini di masa depan secara adil dan tidak tebang pilih.
Saya justru melihat surat edaran tersebut serupa angin segar bagi masyarakat
umum. Rakyat biasa yang sering menjadi korban fitnah dan tidak tahu harus ke
siapa meminta bantuan.
Kini pihak mana pun yang difitnah di media sosial, bisa dengan mudah datang ke
kantor polisi men-capture postingan yang dianggap menghina atau menfitnah,
mendokumentasikan akun pemostingnya dan dibawa sebagai bukti. Polisi akan
menindaklanjuti. Awalnya akan dilakukan mediasi, jika tidak akan sangat mungkin
dilanjutkan ke tahap yang lebih serius.
Maka, jika tidak ingin terjerat aturan, mulai saat ini hendaknya tidak gegabah
menyebar fitnah dan kebencian di sosial media. Sampaikan protes dengan cara apa
pun, tapi tetap mengikuti aturan main yang disepakati bersama yakni dalam koridor
moral dan hukum. Jika ingin mengkritik, ungkapkan dengan cara elegan sehingga
menghasilkan angin perubahan, dan bukan kebencian.
Sekali lagi, saya berharap langkah tegas kepolisian yang bertujuan baik ini
dilaksanakan dengan baik pula. Segenap mata rakyat akan berjaga untuk
mengawasi bahwa aturan yang dibuat bukanlah untuk kepentingan sesaat
sekelompok orang atau penguasa belaka. Melainkan sungguh-sungguh demi
kemaslahatan bersama.
Semoga kerinduan akan dunia media sosial yang minim hasutan dan lebih ramah,
menemukan jawaban.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Mungkin hanya di tanah tercinta ini, korupsi mempunyai nama, wajah, dan wujud
yang beragam. Pada era 1980-an, seingat saya, mulai terkenal kata pungli atau
pungutan liar. Akronim ini bahkan masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Jika satu akronim dicantumkan dalam kamus, berarti kata tersebut dianggap
sudah membudaya.
Pada era 1990-an, tren berubah. Muncul istilah "katabelece" yang berasal dari
bahasa Belanda kattabelletje yang berarti surat peringatan. Dari bahasa aslinya,
istilah ini merupakan hasil gabungan kata kat (kucing) dan bel (lonceng). Seekor
tikus akan tiba-tiba ketakutan ketika mendengar bunyi klintingan kucing.
Berangsur kata "katabelece" kemudian mengalami penyempitan makna menjadi
"surat sakti". Jika seorang pejabat membuat katabelece atau nota sakti, bawahan
atau pihak internal terkait harus waspada jika tidak menaatinya.
Ketika era Reformasi bergulir, tokoh Reformasi Amien Rais memperkenalkan istilah
KKN yang merupakan singkatan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Istilah
korupsi sendiri sudah sering didengar, tapi kolusi dan nepotisme lalu diperkenalkan
sebagai saudara dekat korupsi. Masyarakat mulai mawas.
Saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dan UU Korupsi dibuat, istilah
gratifikasi mulai memasyarakat. KBBI sendiri masih secara sempit mendefinisikan
gratifikasi sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.
Untung saja KPK memberi arti lebih luas. Gratifikasi kemudian meliputi pemberian
uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas
lainnya.
Beberapa tahun belakangan, populer juga frasa wani piro?" Dua kata yang berasal
dari bahasa Jawa yang maknanya "berani bayar berapa?" pemakaiannya mendadak
dikaitkan dengan korupsi.
Sebenarnya, kalau mau dirunut, masih banyak istilah atau frasa baru terkait korupsi
yang muncul setelah kemerdekaan Indonesia, seperti uang pelicin, uang dengar,
tempat basah, mark up, manipulasi, dan lain-lain. Namun, yang terbaru adalah
kasus pencatutan nama dan dalam kalimat populernya dikenal sebagai "papa minta
saham".
Dunia memang sedang berlomba membesarkan industri kreatif. Sayangnya, di
Indonesia, yang berkembang pesat adalah kreativitas dalam berkorupsi. Berbagai
sebutan, cara, serta wajah berubah seiring dengan waktu. Pelaku korupsi dari
generasi ke generasi selalu menemukan cara baru untuk menjalankan aksinya.
Uniknya, dari semua jenis korupsi yang ada di Indonesia, ternyata pelakunya cuma
satu. Ya, hanya satu. Oknum!
Pemakaian istilah oknum sebenarnya merupakan salah satu bentuk denial atau
penyanggahan. Penolakan atas suatu fakta. Dalam hal ini, sebanyak apa pun kasus
korupsi di sebuah lembaga, berapa orang pun yang terlibat, tetap yang disalahkan
adalah oknum. Akibatnya, sistem tidak berubah karena kalau ada kesalahan, yang
disebut selalu oknum, lagi-lagi individu, hingga tidak mendorong adanya evaluasi
terhadap sistem lembaga terkait.
Menilik sejarah, sebenarnya praktik korupsi di negeri ini memiliki akar budaya jauh
kemungkinan lebih baik untuk terpilih lagi. Beberapa nama diperkirakan akan
berhasil kembali menjabat karena prestasi yang menakjubkan selama periodenya.
Biasanya ditunjukkan dengan persentase kemenangan yang mencolokmencapai
hingga lebih 70% perolehan suara. Ini kondisi ideal. Dari penghitungan cepat
misalnya, bisa dilihat Wali Kota Surabaya Risma, Bupati Banyuwangi Abdullah
Azwar Anas, serta Bupati Kukar Rita Widyasari sampai tulisan ini dibuat,
mengantongi kemenangan telak di atas 80%, karena memberikan perubahan yang
signifikan di mata rakyat.
Sayangnya, tidak semua petahana yang terpilih kembali karena prestasi
menakjubkan. Sekalipun kinerjanya biasa saja, mereka menduduki jabatan lagi
karena rakyat tidak mau mengambil risiko dengan calon yang kinerjanya belum
diketahui atau tidak ada lawan pasangan yang lebih menjanjikan.
Fenomena menarik lain adalah calon dari kalangan selebriti atau non-selebriti.
Sekalipun ada yang menyikapi secara negatif, saya sendiri melihat pertimbangan
utamanya bukan pesohor atau bukan, melainkan rekam jejak mereka. Di antara
seleb juga ada yang visioner dan punya sejarah yang bisa dilihat dari karya atau
perjalanan karir. Mereka yang demikian termasuk pesohor berkualitas yang layak
dipilih.
Semisal Deddy Mizwar. Dari semua karyanya kita bisa melihat sang tokoh bukan
sekadar aktor tapi punya misi dan visi. Helmy Yahya menurut saya juga sosok
selebriti yang berbeda. Hampir semua reality show dan program kuis yang
dirancangnya menginspirasi dan memiliki pesan yang kuat. Dedi Gumelar juga
selebriti dengan pemikiran tajam dan kritis dalam karyanya. Bahkan semasa Orde
Baru, ketika banyak pihak takut bersuara, tokoh yang lebih dikenal dengan nama
Miing ini sering mengkritik situasi saat itu.
Selebriti yang mempunyai visi baik seharusnya juga mendapat kesempatan.Namun
kenyataan di lapangan tidak selalu seperti yang diharapkan. Ada selebriti yang
dengan visi kuat malah kalah di pilkada atau pileg. Sebaliknya selebriti yang sekadar
bermodal popularitas mendapat kesempatan, entah di pilkada atau pileg.
Fenomena menarik lain adalah isu generasi tua atau muda. Pemilih seolah digiring
oleh pendukung kandidat muda bahwa tua adalah ketinggalan zaman sementara
muda adalah segar. Padahal kenyataannya tua tidak selalu berarti kolot, dan muda
juga tidak selalu menjamin kebaruan. Tentu, pemimpin dari kalangan tua harus
membuktikan mereka bisa sama dinamisnya dengan wajah-wajah muda.
Calon perempuan yang banyak terpilih juga fenomena menarik. Setidaknya kini
perempuan bisa bersuara lebih lantang dan menggenggam lebih banyak kebijakan.
Koalisi pilkada yang berbeda dengan koalisi pusat juga menjadi catatan. Setidaknya
calon pemimpin di daerah tidak serta-merta mengikuti konstelasi di pusat. Mereka
melihat kepentingan dan kondisi di daerah masing-masing. Terdapat kemandirian
politik di sini.
Harus diakui, dalam pemilihan apa pun termasuk pilkada, tidak selalu yang terbaik
yang menang. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi; pencitraan, dukungan
partai, dukungan finansial, dan lainnya.
Tapi yang terpenting bagi rakyat saat ini bukanlah siapa pemenangnya, namun
bagaimana para pemimpin daerah kelak mampu memimpin, bekerja dengan bijak,
jujur, berani, serta memiliki visi ke masa depan, dan berhasil mengelola daerah yang
dipimpin hingga menjadi lebih berkembang dan sejahtera.
Pada masa kejayaan samurai, seorang pendekar Jepang biasanya membawa dua
bilah pedang. Satu katana yang panjang, satu lagi tanto yang berukuran pendek.
Pedang panjang digunakan sebagai senjata untuk menuntaskan misi sedangkan
pedang pendek digunakan untuk seppuku atau bunuh diri jika gagal melaksanakan
tugas. Budaya ini hanya memberi pilihan para samurai untuk menang. Daripada
ditawan atau malu akibat kalah, lebih baik mati.
Budaya harakiri atau memotong perut sendiri memang sudah nyaris hilang di
Jepang, tapi spirit untuk malu ketika gagal atau melakukan kesalahan tetap tertanam
hingga kini. Karena itu, suatu hal yang lumrah di Negeri Matahari Terbit jika pejabat
yang gagal menjalankan tugas mengundurkan diri. Tidak hanya di Jepang, di negara
yang menjunjung tinggi integritas kerja, pejabat mundur juga merupakan kelaziman.
Sayangnya, di Tanah Air, sangat jarang terjadi seorang pejabat rela melepas
kedudukannya karena sadar telah gagal menjalankan tugas. Saking langkanya
peristiwa ini, wajar ketika Dirjen Pajak mengundurkan diri sempat menjadi trending
topic, beritanya banyak menghiasi media di nusantara.
Secara jabatan, sebenarnya Dirjen Pajak tidaklah sehebat menteri atau pejabat
tinggi lain, tetapi mengapa menjadi berita besar? Salah satu sebab sang Dirjen
mundur bukan karena bersalah atau terlibat masalah, tapi merasa telah gagal
mencapai target pengumpulan pajak. Meski secara nominal apa yang dicapainya
cukup memuaskan, tidak sesuai target yang ditetapkan.
Padahal, jika ini menjadi tradisi atau tuntutan--sekalipun bukan kewajiban--setiap
pejabat akan berlomba-lomba bekerja secara optimal untuk mencapai target atau
memenuhi janjinya pada publik. Sebaliknya, karena belum menjadi kebiasaan,
sampai saat ini pejabat tetap dapat duduk di kursi empuk meski tidak banyak
perbaikan yang dilakukan atau tidak ada peningkatan berarti. Bahkan, bukannya
mundur, pejabat seperti ini masih banyak yang tidak malu mencalonkan diri lagi.
Anehnya, mereka yang memiliki kinerja buruk pun ada yang menang di pilkada.
Indonesia memang memiliki banyak keunikan, termasuk integritas pejabat publiknya.
Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat yang menjadikan
mundur sebagai pilihan pertama jika gagal menjalankan tugas. Di Indonesia, mundur
hampir selalu menjadi pilihan terakhir. Banyak yang kalaupun akhirnya mundur
bukan karena kesadaran diri, melainkan dipaksa atas status tersangka. Begitu pun
masih ada yang berusaha berkelit agar tidak mundur.
Banyak juga yang mundur karena tahu bahwa mereka tidak akan menang. Daripada
kalah lebih parah, lebih baik memilih mundur duluan. Bukan sebuah bentuk
kesadaran, melainkan meminimalkan risiko.
Sementara, di beberapa negara, banyak pejabat publik yang mundur dipicu masalah
kecil. Sebut saja Jerman. Perdana menteri mundur karena tersangkut skandal kredit
rumah berbunga ringan yang didapat dari keluarga pengusaha--mendapat diskon
khusus ketika membeli rumah. Sementara, di negeri ini, pejabat yang
mengumpulkan puluhan rumah dari 'hadiah' pun masih duduk tenang dan bisa pergi
ke kantor memakai mobil dinas dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat memilih mundur
sebelum kasusnya meluap sehingga kesalahan mereka tidak terekspos terlalu
banyak. Sepertinya di negeri ini lebih banyak pejabat bertelinga tebal yang kebal.
Sanggup tetap berdiri kokoh di posisinya sekalipun hujatan serta caci maki terus
ditujukan kepadanya.
Padahal, Rasulullah SAW sudah mewanti-wanti akan tanggung jawab seorang
pemimpin. "Tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan
padanya. Dan, tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya." (HR
Ahmad bin Hambal).
Atau di hadis lain, "Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari
kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin
yang adil. Sedangkan, orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari Allah
adalah seorang pemimpin yang zalim." (HR Turmudzi).
Semoga saja pada masa depan akan lahir sosok-sosok pejabat Indonesia yang
berintegritas tinggi. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan karena ingin berbuat
lebih banyak untuk rakyat. Mereka yang ingin menepati janji dan tahu diri jika tidak
mampu dengan segera memberi kesempatan kepada orang lain. Insya Allah
Indonesia tercinta akan lebih maju, kuat, juga terhormat.
RAGAM
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Selain sebagai penulis, orang mengenal saya dengan julukan Jilbab Traveler.
Di rumah, terpajang seribu lebih gantungan kunci dan ratusan magnet dari negara
dan kota yang pernah saya kunjungi. Di lemari kaca ada puluhan snow ball, topi,
mug, dan koleksi beraneka ragam kartu remi serta berbagai souvenir lain. Makin
lama, rumah kami kata orang lebih mirip museum traveling dari pada tempat tinggal.
Sebagian tamu menjadikan pajangan tersebut sebagai icon travelling, tapi setelah
melihat--termasuk yang saya upload di instagram, beberapa di antaranya justru
protes."Kok, nggak ada yang dari Indonesia sih, Mbak!?"
Sekalipun sebenarnya ada gantungan kunci atau souvenir yang saya beli ketika
berkunjung ke beberapa daerah di Nusantara, seolah tertutup oleh begitu variatif
dan menariknya gantungan kunci dari negara lain yang jumlahnya lebih banyak.
Kelihatannya sederhana, tapi pengalaman ketika traveling ke berbagai negara
menujukkan bahwa suvenir kecil seperti gantungan kunci, snow ball, kartu remi,
kaus, topi, dan lainnya bisa menjadi indikator seberapa serius sebuah masyarakat
atau pemerintah menggarap potensi wisatanya.
Bahkan lebih dari itu, suvenir tersebut juga menjadi parameter rasa memiliki dan
bangga kita sebagai anak bangsa.Coba cari gantungan kunci 'pabrikan' ala
Indonesia yang dibuat dengan desain dan kualitas prima. Tidak mudah. Kita hanya
menemukannya di airport, daerah wisata, atau pusat perbelanjaan tertentu, itu pun
dengan desain yang masih kalah bersaing. Padahal, setiap orang asing atau turis
biasanya ingin punya sesuatu yang dibawa pulang sebagai suvenir, dan kalau ingin
membeli oleh-oleh gantungan kunci sering menjadi pilihan pertama.
Di Roma, Barcelona, Amsterdam, dan negara Eropa lainnya turis bisa dengan
mudah menemukan ratusan desain gantungan kunci, magnet, dan suvenir yang
menarik. Tidak hanya di daerah wisata, di minimarket pinggiran jalan umum pun
menyediakan sehingga turis dengan mudah bisa mendapatkan cenderamata di
mana saja.
Suvenir yang dibeli dibawa pulang, dipajang dan dijadikan oleh-oleh. Secara tidak
sadar oleh-oleh tanda mata itu akhirnya menjadi daya tarik buat orang yang melihat
untuk mengunjungi daerah tersebut. Sebagai alat promosi yang tidak berbiaya,
mereka menjadi barang dagang yang menguntungkan sekaligus media promosi
yang sangat kuat.
Singapura dan Malaysia sangat mengerti betapa penting menyediakan suvenir
murah untuk para turis. Di sana kita bisa membeli gantungan kunci seharga lima
puluh ribu sampai seratus ribuan untuk satu lusin gantungan kunci yang standar.
Padahal di Indonesia gantungan kunci sejenis harus dibeli dengan harga Rp 50 ribu
satu buah.
Setiap orang Indonesia yang pulang dan memberi hadiah gantungan kunci ke
banyak orang seolah berkata, "Kunjungilah negeri ini suatu saat nanti!"
Di Tanah Air mungkin hanya Bali dan Jogjakarta yang benar-benar siap
menyediakan suvenir yang bisa menjadi alat promosi efektif ketika turis kembali ke
negaranya. Padahal ada Raja Ampat, Mentawai, Wakatobi, Pulau Seribu, Pulau
Komodo, dan daerah-daerah lain yang memiliki potensi untuk diminati wisatawan
mancanegara.
Sebenarnya alat promosi lain yang sangat penting dalam dunia pariwisata adalah
keramahan dan keamanan. Wisata adalah kepuasan batin. Jika wisatawan merasa
nyaman dan senang, mereka akan bercerita, dan dari sana muncul promosi dari
mulut ke mulut yang sangat kuat. Infrastruktur dan transportasi juga penting untuk
memajukan wisata, karena salah satu sebab wisata di Indonesia menjadi mahal
adalah kendala infrastuktur dan transportasi.
Untuk meningkatkan industri periwisata Indonesia, pemerintah merencanakan
memberi fasilitas bebas visa pada 45 negara. Saat ini baru 15 negara yang bebas
visa. Selain itu, pemerintah menaikkan anggaran promosi pariwisata dari tahun
sebelumnya Rp 300 miliar menjadi Rp 1,2 triliun pada tahun 2015.
Biaya promosi ini, seandanya berhasil akan membuat wisatawan datang ke
Indonesia tapi tidak menjamin mereka akan betah atau tertarik berkunjung kembali
dan mempromosikannya ke teman-teman mereka.Mereka akan datang lagi dan
menjadi duta promosi jika keramahan kita memberi kenangan dan kesan mendalam.
Mereka merekomendasikan Indonesia jika kenyamanan dan keamanan mereka
selama traveling di negeri kita, terjaga. Mereka secara tak sadar akan menceritakan
Indonesia jika membawa pulang suvenir dan oleh-oleh kecil yang dibagikan ke
keluarga dan teman-teman mereka di negara asal. Jika ini terjadi, tanpa promosi
berbiaya mahal pun pariwisata Indonesia akan terdengar dan memiliki citra bagus.
Alhamdulillah, enam puluh negara, 279 kota di dunia Allah izinkan saya
menapakinya. Dan kian jauh berjalan, semakin tebal kesadaran akan potensi
kekayaan wisata negeri kita yang unik dan memiliki kekhasan yang tidak dimiliki
negara lain. Saya percaya Indonesia lebih indah, tinggal bagaimana kita
mengelolanya.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Indonesia telah menjadi surga penjualan narkoba. Saat ini diperkirakan 4 juta
rakyatnya adalah pemakai, sehingga narkoba menjadi bisnis bernilai triliunan rupiah.
Tidak hanya sebagai importir, narkoba kini bahkan mampu diproduksi sendiri di
Indonesia. Tercatat ratusan pabriknya sudah digrebek aparat. Diduga ratusan lain
masih bebas beroperasi.
Data berlanjut. Setiap hari 30 sampai 50 orang tewas. Total tahun lalu lebih dari
12.000 korban yang meninggal secara langsung maupun tidak dikarenakan narkoba.
Sangat beralasan jika Kepala BNN Komjen Anang Iskandar menyatakan Indonesia
dalam keadaan darurat narkoba.
Langkah penting tentu saja harus dilakukan mulai dari keluarga. Bahwa miras
haram, kerap ditekankan para orang tua kepada anak-anak mereka sejak kecil. Tapi
apakah kita juga sudah mewanti-wanti mereka bahwa narkoba yang merugikan
bahkan mampu menghilangkan nyawa seseorang pun, haram?
Selain keluarga, langkah penting lain harus dilakukan terkait institusi pendidikan dan
sosialisasi narkoba, disiplin aparat, penegakan hukum, hingga hukuman berat bagi
pengedarnya.
Tentang pendidikan dan sosialisasi narkoba, ternyata masih banyak masyarakat
yang tidak sadar betapa narkoba bisa masuk dan merusak generasi dari berbagai
golongan. Sebagian besar kita mungkin mengira narkoba hanya menjangkiti
kriminal, pengangguran, pelajar dengan akademisi rendah serta para pecundang,
kenyataannya 75% pengguna justru para pekerja dan usia produktif.
Banyak eksekutif, pengusaha, pekerja produktif, pekerja seni dan kreatif, serta
politisi, pendeknya para sosok sukses dan terdidik, yang juga mengonsumsi barang
terlarang tersebut. Salah satu alasan mereka--yang semula coba-coba--menjadi
rutin mengonsumsi karena merasa narkoba membuat mereka lebih produktif dan
kreatif. Padahal ini tentu keliru, ditambah mereka luput melihat resiko yang menanti
di masa depan. Jumlah pemakai dari kelompok produktif sebagai mayoritas menjadi
masuk akal mengingat harga narkoba hanya bisa dijangkau kalangan
berpenghasilan tertentu.
Tentang disiplin aparat, pengedaran narkoba dan hukuman berat, justru
menunjukkan situasi yang aneh sekaligus memalukan dan memilukan. Sebanyak
60% sampai 70% peredaran narkoba disinyalir dikendalikan dari penjara.
Jika itu benar maka berarti para gembong narkoba di balik terali cukup bebas
melakukan aktivitas termasuk mengatur peredaran benda laknat itu. Bahkan konon
ada yang bisa melakukan produksi di dalam penjara. Padahal seharusnya di lapas,
penghuni tidak diperkenankan memakai handphone dan berkomunikasi bebas, serta
dalam pengawasan ketat.
Mencermati hal ini, hukuman berat karenanya tidak hanya layak dijatuhkan kepada
para pengedar dan produsen, tapi juga aparat yang memberi keleluasaan
peredaran narkoba, melakukan aktivitas kriminal dari dalam penjara, atau terbukti
melindungi pengedarannya. Tentu saja pemecatan atau mutasi tidak cukup, pasal
terkait narkoba juga harus dibebankan pada oknum aparat yang jelas-jelas terbukti
mendukung peredaran narkoba.
Hal lain, mengingat upaya pemerintah bersikap tegas terhadap para pengedar
sempat mendapat hambatan dan tekanan internasional atas nama hak asasi, maka
segenap rakyat harus mengapresiasi langkah pemerintah dalam memberikan
hukuman berat yang diharapkan bisa memberi efek jera bagi para bandar dan
pengedar narkoba.
Jika dikatakan sikap keras Pemerintah terhadap para pengedar melanggar hak
asasi, maka lihatlah betapa banyaknya jumlah narkoba yang selama ini
diselundupkan dan beredar. Kemampuan aparat menggulung para pengedar justru
menunjukkan besarnya jumlah anak dan remaja serta berbagai kalangan di tanah air
yang berhasil diselamatkan.
Apalagi saat ini masih terdapat terpidana mati yang dikabarkan tetap mengendalikan
peredaran narkoba sambil mengulur waktu, berupaya menunda eksekusi dengan
mengajukan langkah hukum tahapan demi tahapan.
Masih ada lebih dari lima puluh pelaku kejahatan narkoba tervonis mati yang sedang
menjalani proses. Pemerintah harus mengambil tindakan hukum dengan cepat, teliti
dan seadil-adilnya, agar segera mencapai keputusan akhir yang bersifat final.
Negeri tercinta dalam keadaan darurat narkoba. Anak-anak dan remaja, segenap
rakyat dalam bahaya. Maka langkah penyelamatan yang harus dilakukan adalah
langkah-langkah dararut, dengan sense of emergency bukan sekadar tindakan
standar. Penegakan hukumnya harus darurat, jauh lebih cepat prosesnya dari yang
lain. Penegakkan disiplin aparatnya pun harus lebih ketat. Tanpa langkah darurat,
jangan heran jika Indonesia kelak semakin menjadi surga yang subur bagi
peredaran narkoba di dunia.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
dan tentu saja kelengkapan persenjataan. Sehingga TNI kita menjadi tentara yang
semakin disegani bangsa asing dan dicintai bangsa sendiri.
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
"Caca masuk rumah sakit, demam berdarah!" suara Kakak di ujung telepon
mengabarkan kondisi anaknya setelah beberapa hari demam. Keluarga bergegas
menjenguk keponakan yang terlihat lesu dengan infus menempel di tangan. Ayah
dan ibunya menemani untuk memberi semangat.
Belum lama berbincang di ruang perawatan, tiba-tiba pasangan suami-istri tersebut
mendengar kabar lain. Anak kedua mereka juga demam dan mendesak harus
diperiksa darah. Sang ibu terpaksa pulang meninggalkan putri pertama di rumah
sakit karena harus mengurus anak kedua yang juga panas.
Keesokan hari setelah tes darah di laboratorium, ternyata sang adik juga terjangkit
penyakit DBD. Kedua kakak beradik tersebut pun dirawat di satu kamar inap yang
sama. Cobaan berat bagi setiap orang tua. Apalagi sakitnya DBD.
Ketika hal ini saya ceritakan, seorang teman nyaris tertawa. Alasannya saya
mengerti kemudian. "Saya malah pernah sekeluarga berempat, semuanya dirawat
karena demam berdarah."
Teman saya meneruskan. "Awalnya Bapak masuk rumah sakit karena demam
berdarah, lalu ternyata Ibu terjangkit. Sehari setelah membesuk orang tua kami,
saya dan adik malah turut dirawat karena positif demam berdarah!" lanjutnya dengan
ekspresi melas bercampur lucu mengenang sakit berjamaah gara-gara satu jenis
penyakit: DBD!
Kejadian ini mengingatkan saya pada satu fakta, betapa kampanye demam
berdarah belum digarap secara maksimal, kesannya belum serius menangani
sosialisasi penyakit yang mudah mewabah ini. Saya sendiri melihat ada kelemahan
utama dalam kampanye penanggulangan DBD.
Sejak kecil sampai sekarang, kita masih berkutat di 3M (menguras, menutup, dan
mengubur). Beberapa tulisan mulai menambah memantau, memelihara ikan, dan
lain-lain. Tapi ada satu hal penting--menurut saya malah sangat penting--yang jarang
dikampanyekan, yaitu meminimalkan penularan.
Dalam kampanye penanggulangan demam berdarah, masyarakat seolah dicekoki
ancaman utama penyebabnya, yaitu nyamuk Aedes aegypti sehingga semua
langkah yang dianjurkan adalah bagaimana memberantas nyamuk tersebut. Begitu
gencar, mungkin sampai-sampai sebagian besar masyarakat mengira bahwa
nyamuk tersebut lahir membawa virus dengue.
Padahal, nyamuk ketika menetas bukan "makluk berbahaya", dalam arti mereka
lahir tidak dengan membawa virus, melainkan mendapatkannya ketika menggigit
manusia yang darahnya mengandung virus penyebab DBD. Artinya, langkah paling
penting untuk meminimalkan penyebarannya adalah dengan menghindari--tidak
melakukan kontak langsung--penderita yang positif terjangkit penyakit itu.
Jika ada nyamuk aedes beterbangan tapi tidak punya akses menggigit penderita
demam berdarah, sekalipun banyak, maka gangguan nyamuk tersebut hanya seperti
nyamuk biasa.
Karena itu, seharusnya saat ini meski sepele juga dipropagandakan anjuran para
penderita DBD untuk memakai kelambu ketika tidur sehingga tidak ada nyamuk
yang menggigit mereka. Selain itu, ketika sehari-hari, penderita demam berdarah
diingatkan untuk mengoleskan krim antigigitan nyamuk.
Setidaknya rutinitas ini bisa dimulai di setiap rumah sakit karena rumah sakit juga
berpotensi dalam penularan demam berdarah. Insya Allah jika program 3M atau 4M
ditambah dengan kewajiban memakai kelambu dan krim antinyamuk pada penderita,
akan mengurangi secara masif penularan demam berdarah.
Selain penularan, ada satu hal penting yang perlu diketahui penderita tapi kurang
disosialisasikan oleh pemerintah, yaitu pentingnya air, air, dan air. Masyarakat umum
sampai lapisan bawah seharusnya terinformasikan bahwa air putih adalah
kebutuhan paling mendasar untuk penanganan demam berdarah. Setidaknya ketika
penderita masih dalam perawatan di rumah atau dalam antrean di RS, pihak
keluarga bisa melakukan langkah pertolongan awal.
Semoga tulisan ini meski terkesan remeh, bisa mengingatkan bahwa masih banyak
hal bisa kita lakukan untuk menanggulangi demam berdarah. Selama bertahuntahun Indonesia sering menjadi peringkat satu atau kedua tertinggi di dunia untuk
jumlah penderita penyakit yang disebabkan virus dengue ini. Kita harus menemukan
berbagai pendekatan baru, paradigma baru, agar ada perubahan yang signifikan.
Mungkin ide di atas salah satunya. Memasukkan demam berdarah dalam kurikulum
sekolah dasar mungkin juga solusi lain. Intinya, selalu mencari cara yang lebih baik
dan lebih baik lagi agar penyebaran demam berdarah bisa diminimalkan sejauh
mungkin.
Setiap tahun tanggal 23 Juli dicanangkan sebagai Hari Anak Nasional, hari saat kita
merayakan anak sebagai bintang. Tapi apakah ada yang perlu dirayakan?
Apakah anak-anak kita sejahtera? Kemensos mencatat 1,2 juta anak balita
terlantar. Selain itu ada 2,9 juta anak terlantar dan anak jalanan. Belum lagi
ditambah 2,3 juta anak usia 7-15 tahun yang putus sekolah.
Apakah anak-anak kita terjaga? Kepala Bidang Advokasi dan Fasilitasi Pemenuhan
Hak Sipil Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Elita Gafar mengatakan, jumlah anak-anak yang berprofesi sebagai PSK
diperkirakan mencapai 40 ribu sampai 150 ribu orang. Angka-angka yang
menyedihkan semakin memilukan ketika kita melihat fakta di lapangan.
Membaca judul di atas mungkin banyak yang tidak setuju. Tapi percaya atau tidak
prinsip inilah yang dipegang Rasulullah, pendiri negara ini dan para pejuang di mana
pun mereka berada dan apa pun yang mereka perjuangkan.
Sejak kecil kita diajari untuk tidak bermusuhan dan ini benar. Hanya saja sebagai
catatan, petuah tersebut tidak berlaku untuk segala kesempatan. Di satu saat, di
satu waktu pada akhirnya kita akan berhadapan dengan pilihan yang menuntut kita
membangun kesiapan mempunyai musuh.
Bayangkan apa yang terjadi bila Bung Karno dan para pendiri bangsa tidak berani
punya musuh. Apakah Indonesia akan merdeka? Seandainya Soekarno muda takut
berpidato membaca Indonesia Menggugat apakah akan ada Indonesia?
Bayangkan juga jika Bung Tomo tidak menentang Sekutu. Akankah Indonesia
dihormati? Peristiwa 10 November telah membuat Sekutu berpikir ulang untuk
mengembalikan Indonesia kepada Belanda.
Atau jika Kyai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah atau Kyai Hasyim Ashari tidak
berani menghadapi celaan dan gugatan ketika mulai memperkenalkan pendidikan
modern dalam dunia pendidikan Islam yang masih tradisional. Apakah
Muhammadiyah atau NU akan sebesar sekarang?
Dan Rasulullah panutan kita, ketika mulai memperjuangkan Islam, pun menghadapi
banyak musuh. Muhammad SAW yang santun, yang dipercaya semua golongan,
yang disukai semua lapisan masyarakat tiba-tiba menjadi musuh nomor satu di
Mekkah saat ia memperjuangkan sesuatu. Padahal Muhammad muda sebelum
diangkat sebagai Rasul sudah mempunyai jiwa yang lurus.
Sebagai individu ia memilih untuk menyepi dan menghindari keburukan, mencari
ketenangan hati. Tetapi ketika diangkat menjadi Rasul, Allah tidak memberinya
pilihan menyepi. Sebaliknya tugas beliau adalah menyebarkan ajaran Islam. Untuk
perjuangan ini, Rasul sempat dibenci dan dimusuhi. Singkatnya mempunyai musuh
karena memperjuangkan sesuatu yang benar adalah bagian dari sunnatullah.
Sementara dalam fenomena saat ini, tak jarang cukup banyak pihak yang
menghindari perbedaan pendapat, memilih diam pun di sosial media, walaupun
terhadap persoalan yang amat sangat penting, hingga berakibat merajalelanya
keburukan, tanpa ada yang menghentikan. Secara jumlah kita mungkin banyak
tetapi tidak memiliki kekuatan untuk membawa perubahan ke arah kebaikan, karena
selama ini memilih diam.
Kenapa MOS dari tahun ke tahun masih saja terjadi kekerasan dan pelecehan,
meski banyak orang tua, senior lurus, dosen dan guru yang di hati kecilnya tidak
setuju? Bisa jadi alasannya antara lain karena sebagian besar guru takut dibenci
murid senior, karena dosen atau rektor takut dianggap mengekang kebebasan
mahasiswa, atau alasan-alasan lain. Mereka memilih diam dan 'membiarkan' anak
REPUBLIKA.CO.ID
Asma Nadia
Saya mendapat hadiah sebuah buku baru yang sengaja diterbitkan untuk
memperingati Hari Pahlawan.
Buku tersebut ditulis seorang lelaki tentang ayahnya, Moch. Achijat, yang dikenal
sebagai salah satu aktor penting di balik tewasnya Jenderal Mallaby di pertempuran
Surabaya. Tahun 1976, dalam usia 48 tahun, Moch. Achijat meninggal akibat
kecelakaan dan dimakamkan di taman makam pahlawan Ngagel Surabaya.
Yang menarik dari buku ini adalah, sumber data berasal--salah satunya--dari sebuah
buku catatan kecil bersampul kulit kambing yang selalu dibawa sang pejuang
selama masa gerilya. Buku harian ini ditemukan setelah istri Moch. Achijat
meninggal, 2013, pada usia 80 tahun. Sebuah kotak kenangan menyimpan rapi
catatan sejarah yang belum banyak terungkap, selama puluhan tahun sebelum
akhirnya ditemukan.
Moch. Achijat adalah komandan Pasukan Alap-Alap. Ia memiliki hubungan dekat
dengan Bung Tomo dan Pak Yasin (pendiri Brimob).
Dalam buku kecilnya ia mencatat banyak hal, sebagian ditulis menggunakan
bahasa sandi. Di sana tertulis nama-nama anggota pasukan elit yang dipimpinnya,
lengkap dengan data nama orang tua mereka. Detail sederhana yang menunjukkan
bahwa setiap anggota sudah siap mempertaruhkan nyawa, dan ketika mereka
menemui ajal maka anggota lain akan menyampaikan kabar duka ke orang tua yang
bersangkutan.
Bahkan nama anggota Pasukan Alap-Alap tertera lengkap dengan spesialisasi yang
mereka miliki. Ada sniper (penembak jitu) yang selain memiliki kemampuan
menembak, juga andal merakit dan merekayasa senjata. Terdapat pula pasukan
khusus penyamaran, pengintaian, dan penyusupan. Tidak ketinggalan pasukan
pelucutan/perampasan senjata, peluru, dan logistik musuh.
Tidak sembarang orang dapat bergabung dengan Pasukan Alap-alap Simokerto.
Hanya orang-orang tertentu. Pada zaman sekarang mereka tak ubahnya pasukan
elit militer. Bisa bergabung dengan pasukan elite ini merupakan kebanggaan dan
prestise tersendiri, aku Pak Buhari, salah satu anggota pasukan siluman tersebut.
Pasukan Alap-Alap terdiri dari beragam latar belakang. Selain arek Suroboyo, ada
anggota yang keturunan Cina, ada dua orang mantan anggota Gurka, bahkan ada
beberapa orang Ambon mantan tentara KNIL. Pasukan ini banyak terlibat perang di
garis depan, salah satunya pertempuran di depan gedung Internatio yang akhirnya
menewaskan Jenderal Mallaby.
Sepak terjang pasukan yang dipimpin Achijat mungkin akan mudah terhapus sejarah
seandainya tidak ada dokumentasi yang dibuatnya dalam buku kecil bersampul
bahan kulit kambing. Kiprahnya pun tak bergema sepanjang buku itu disimpan lebih
dari setengah abad. Dan sebenarnya banyak peran pahlawan lain yang sejarah
perjuangannya menguap sempurna hanya karena tidak ada catatan tentang mereka,
atau tidak ada yang menuliskan kisahnya.
Mencatat dan menulis, tidak kalah penting dari perjuangan mengangkat senjata itu
sendiri. Perjuangan di masa lalu yang tidak tercatat, tidak meninggalkan warisan
pembelajaran bagi generasi sesudahnya. Lebih dari itu, kekuatan pena bukan
mustahil bisa lebih kuat dari senjata.
Anne Frank hanya satu dari begitu banyak gadis kecil yang ketakutan dan
bersembunyi untuk menghindari penangkapan Nazi. Tapi kini rumah
persembunyiannya menjadi salah satu museum yang paling ramai dikunjungi di
Amsterdam. Semata karena ia menuliskan kehidupannya di buku harian selama
bersembunyi. Buku harian yang kini dijadikan sebagai salah satu bukti sejarah
kekejaman Nazi terhadap Yahudi.
Charles Darwin mengubah peta ilmu pengetahuan dan agama dimulai dengan
tulisan. Ia awalnya mencatat dan menggambar semua hewan yang dilihatnya di
berbagai wilayah. Lalu membuat kesimpulan dari semua catatannya. Karyanya
menafikan penciptaan Tuhan. Sekalipun membuat kesimpulan salah, apa yang
didokumentasikannya telah memperkuat atheisme dan sekularisme di dunia.
Kong Hu Chu menjadi filsuf yang paling mengakar di Cina juga karena kebiasaan
mencatat. Ia menuliskan apa yang ada dalam pikiran, hati dan semua yang
dialaminya. Berkas catatannya menjadi gulungan kertas penuh dengan ilmu dan
kebijakan yang kemudian diajarkan turun-temurun hingga menjadi tuntunan bagi
masyarakat Cina di masa lalu.
Baru-baru ini di Den Haag diadakan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) yang
mencari keadilan bagi korban pembantaian massal 1965. Jika saja semua ulama,
santri, dan pejuang mencatat lengkap daftar korban kekejaman PKI di Indonesia,
maka sidang non-formal tersebut akan memiliki sumber lain, dan tidak sepihak
hingga mengarah pada kesimpulan berbeda.
Karena itu, berjuang dan abadikan dalam tulisan. Sebab hanya dengan demikian
semangat dan prosesnya terus menjadi cahaya bagi generasi sesudahnya.