Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Persepsi


2.1.1

Definisi Persepsi
Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individuindividu untuk

mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna


kepada lingkungan. Namun apa yang merupakan persepsi seseorang dapat
berbeda dari kenyataan yang objektif karena perilaku orang didasarkan pada
persepsi mereka akan realitas, dan bukan pada realitas itu sendiri (Ismaniar, 2015).
Menurut Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004), persepsi adalah daya
mengenal barang, kualitas atau hubungan, dan perbedaan antara hal ini melalui
proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah pancainderanya
mendapat rangsang.
Menurut Sunaryo (2004), persepsi dapat diartikan sebagai proses
diterimanya rangsang melalui pancaindra yang didahului oleh perhatian sehingga
individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang
diamati, baik yang ada di luar maupun dalam diri individu.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah
suatu pengamatan manusia terhadap lingkungan yang menghasilkan makna
sehingga dapat menafsirkan hasil pengamatannya.

2.1.2

Macam-macam Persepsi
Ada dua macam persepsi, yaitu (Sunaryo, 2004) :

a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang
datang dari luar diri individu.
b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang
berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah
dirinya sendiri.

2.1.3

Ciri dan Karakteristik Persepsi


Irwanto dalam (Umi Amalia, 2003) mengemukakan ciri-ciri umum

persepsi adalah sebagai berikut :


a. Rangsangan-rangsangan yang diterima harus sesuai dengan moralitas tiaptiap indera, yaitu sensoris dasar dan masing-masing indera (cahaya untuk
penglihatan, bau untuk penciuman, suhu bagi perasa, bunyi bagi pendengaran,
sifat permukaan bagi peraba dan sebagainya).
b. Dunia persepsi mempunyai dimensi ruang (sifat ruang), kita dapat
menyatakan atas-bawah, tinggi-rendah, luas-sempit, depan-belakang, dan lain
sebagainya.
c. Dimensi persepsi mempunyai dimensi waktu seperti cepat-lambat, tua-muda,
dan lain sebagainya.
d. Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur
yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan kontek ini merupakan
keseluruhan yang menyatu, contohnya kita melihat meja tidak berdiri sendiri
tetapi diruang tertentu, posisi atau letak tertentu.
e. Dunia persepsi adalah dunia penuh arti, kita cenderung melakukan
pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi
kita, yang ada hubungannya (dengan tujuan yang ada pada diri kita).
2.1.4

Faktor yang Mempengaruhi Persepsi


Menurut Ismaniar (2015), faktor yang mempngaruhi persepsi, yaitu :

a. Pelaku persepsi (pemersepsi)


Penafsiran seorang individu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya
sendiri, seperti sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu,
dan pengharapan. Melalui pengalaman, seseorang bisa mendapatkan
informasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Langsung artinya
pengalaman tertentu dialami sendiri oleh individu yang bersangkutan dan
tidak langsung artinya individu yang bersangkutan memperoleh informasi
dari buku atau sumber lain (Siagian, 2004).
b. Target
Gerakan, bunyi, ukuran dan atribut-atribut lain dari target akan membentuk
cara kita memandangnya.
c. Situasi
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah waktu, keadaan kerja, dan keadaan
sosial. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam penumbuhan
persepsi seseorang.
2.1.5

Syarat Terjadinya Persepsi


Persepsi merupakan suatu proses yang didahului penginderaan, yaitu

dengan diterimantya stimulus oleh reseptor, siteruskan ke otak atau pusat saraf
yang diorganisasikan dan diinterpretasikan sebagai proses psikologis. Akhirnya
individu menyadari tentang apa yang dilihat dan didengarkan. Akhirnya individu
menyadari tentang apa yang dilihat dan didengarkan (Sunaryo, 2004).
a. Adanya objek: Objek
stimulus
alat indra (reseptor).
Stimulus berasal dari luar individu (langsung mengenai alat indra/ resetor)
dan dari dalam diri individu (langsung mengenai saraf sensoris yang bekerja
sebagai reseptor).
b. Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi.
c. Adanya alat indra sebagai reseptor penerima stimulus.

d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak (pusat saraf
atau pusat kesadaran). Dari otak dibawa melalui saraf motoris sebagai alat
untuk mengadakan respons.

2.1.6

Proses Terjadinya Persepsi


Persepsi pada dasarnya hanya akan terjadi apabila individu menerima

rangsangan dari luar dirinya, sehingga persepsi akan timbul setelah adanya
pengamatan terhadap objek. Menurut Sunaryo (2004) persepsi melewati tiga
proses, yaitu :
a. Proses fisik (kealaman) : adanya objek yang diikuti oleh stimulus melalui
reseptor atau alat indera.
b. Proses fisiologis: adanya stimulus respon saraf sensoris menuju ke otak.
c. Proses psikologis: proses dalam otak sehingga seseoran menyadari stimulus
yang diterima.

Skema 2.1 Proses terjadinya persepsi

Objek

Saraf sensorik

Stimulus

Reseptor

Otak

Saraf motorik

Persepsi

Sumber : Sunaryo, 2004.

2.1.7

Teknik Persepsi
Menurut Ismainar (2015), ada beberapa teknik dalam menilai orang yang

memungkinkan kita membuat persepsi yang lebih akurat dengan cepat dan
memberikan data yang valid untuk membuat ramalan, yaitu :
a. Persepsi Selektif : individu menafsirkan apa yang mereka saksikan
berdasarkan pengalaman, latar belakang, kepentingan, dan sikap.
b. Efek halo : menarik kesan umum mengenai seseorang individu berdasarkan
suatu karakteristik tunggal, misalnya pendiam, sangat bersemangat, pintar,
dll. Orang yang menilai dapat mengisolasi hanya karakteristik tunggal. Suatu
ciri tunggal dapat mempengaruhi seluruh kesan orang dari individu yang
sedang dinilai.
c. Efek kontras : evaluasi atas karakteristik-karakteristik seseorang yang
dipengaruhi oleh perbnadingan-perbandingan dengan orang lain yang baru
saja dijumpai yang berperingkat lebih tinggi atau lebih rendah pada
karakteristik yang sama.
d. Proyeksi : yaitu menghubungkan karakteristik diri sendiri dengan
karakteristik orang lain.
e. Berstereotipe : menilai seseorang berdasarkan persepsi seorang terhadap
kelompok seseorang itu. Misalnya kita menilai bahwa orang yang gemuk itu
malas, maka kita akan mempersepsikan semua orang gemuk secara sama.
Generalisasi seperti ini dapat menyederhanakan dunia yang rumit ini dan

memungkinkan kita mempertahankan konsistensi, namun sangat mungkin


juga bahwa stereotipe itu tidak mengandung kebenaran ataupun tidak relevan.

2.1.8

Hubungan antara Persepsi dan Pengambilan Keputusan Individual


Menurut Ismainar (2015), seorang individu dalam organisasi mengambil

keputusan dan kualitas dari pilihan mereka sebagian besar dipengaruhi oleh
persepsi. Pengambilan keputusan terjadi sebagai suatu reaksi terhadap suatu
masalah. Persepsi dari pengambil keputusan akan mempunyai hubungan yang
besar pada hasil akhirnya. Ada enam langkah dalam model pengambilan
keputusan yang rasional, yaitu: menetapkan masalah, mengidentifikasi kriteria
keputusan, mengalokasikan bobot pada kriteria,mengembangkan alternatif,
mengevaluasi alternatif, dan memilih alternatif terbaik.

2.1.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Perawat dalam Asuhan


Keperawatan Bermutu
Menurut Herymrt (2008), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi
perawat dalam asuhan keperawatan yang bermutu adalah :
a. Pemberian kewenangan utuh untuk mendesain, mengatur, melaksanakan, dan
mengevaluasi pelayanan keperawatan karena hanya perawat yang tahu
kondisi pasien dan lingkungan sekitarnya.
b. Pelayanan keperawatan diberikan dalam

lingkungan

kerja

praktek

profesional.
c. Kualifikasi keperawatan yang memadai ini bertujuan utnuk mengoptimalkan
pelayanan pada pasien di rumah sakit.

d. Tersedianya sarana dan prasarana yang dapat memperlancar kegiatan


keperawatan seperti peralatan keperawatan (alat tenun yang cukup, materi
pencegah infeksi, pencegahan trauma).
e. Diberlakukannya sistem penghargaan (promosi dan kompensasi) memadai
yang memungkinkan perawat tidak harus berfikir tentang kepentingan sendiri,
pendidikan, dan masa depan karirnya.

2.2
2.2.1

Konsep Discharge Planning


Pengertian Disharge Planning
Discharge planning merupakan suatu proses yang terpusat, terkoordinasi

terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang memberi kepastian bahwa klien
mempunyai suatu rencana untuk memperoleh perawatan berkelanjutan setelah
meninggalkan rumah sakit (Potter & Perry, 2005).
Rorden dan Taff (1990) dalam jurnal Watts et al. (2005) mendefinisikan
bahwa discharge planning adalah sebuah proses yang terdiri dari beberapa
langkah atau tahapan yang bertujuan untuk memastikan kesinambungan atau
continum of care. Definisi ini menjelaskan bahwa discharge planning merupakan
sebuah proses yang dinamis yang melibatkan keterampilan tertentu dan
mengharuskan semua anggota tim perawat dan tim kesehatan lainnya untuk
bekerja sama secara terkoordinasi

untuk mencapai tujuan yang disepakati

bersama dan pada akhirnya terjalin kontinuitas perawatan (Watts, Gardner, &
Pierson, 2005).
Pengembangan proses perencanaan pulang yang efektif menempatkan
pasien dan perawat sebagai fokus utama perawatan dengan melibatkan mereka
bersama dengan tim kesehatan lainnya di seluruh proses discharge planning

(Yam, et al., 2010). Proses discharge planning pada klien secara dini menjadi
penting. Ini sesuai dengan pernyataan dari The Joint Commission for
Accreditation of Healthcare Organization (JCHO) yaitu untuk memfasilitasi
pemulangan pada pasien dengan tingkat perawatan akut tidak dilaksanakan
sesegera mungkin, rencana pulang dimulai sedini mungkin untuk penentuan
kebutuhan aktivitas (Swansburg, 2000)
Discharge planning klien adalah suatu rencana pulang klien yang ditulis di
lembar catatan keperawatan yang merupakan tujuan dari perencanaan perawatan
klien, yang akhirnya bertujuan untuk memberdayakan klien untuk membuat
keputusan dan berupaya untuk memaksimalkan potensi untuk hidup secara
mandiri, dan untuk memberdayakan klien melalui dukngan dan sumber-sumber
yang ada dalam keluarga atau masyarakat (NCSS, 2006)
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa discharge
planning adalah pelayanan perawatan yang bersifat berkesinambungan yang
bertujuan untuk mempersiapkan klien dan keluarganya baik dari segi pengetahuan
maupun psikologis agar mampu memelihara kesehatan secara optimal setelah
pulang dari rumah sakit, dalam discharge planning perlu dijkaji kebutuhannya
karena tidak semua klien membutuhkan discharge planning dini.

2.2.2

Tujuan Discharge Planning


Menurut Potter & Perry (2005) secara umum discharge planning bertujuan

untuk membantu proses transisi klien dari lingkungan rumah sakit ke lingkungan
rumah tempat tinggalnya, memberikan perawatan suportif yang terus menerus
pada klien dengan masalah yang dihadapinya, serta untuk mempersiapkan klien

kembali kepada perannya yang di sesuaikan dengan keadaan klien setelah sembuh
dari sakitnya.
Menurut Neylor (2003) dalam Nursalam (2011) menyebutkan bahwa
tujuan dari discharge planning adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Meningkatkan kontinuitas dan kualitas keperawatan.


Memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan.
Mengurangi jumlah hari perawatan.
Mencegah kekambuhan, rawat ulang, dan komplikasi.
Membantu klien mencapai kualitas hidup yang optimum.
Menurunkan beban perawatan pada keluarga.
Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Discharge planning juga bertujuan memberikan pelayanan terbaik untuk

menjamin keberlanjutan asuhan berkualitas antara rumah sakit dan komunikasi


yang efektif (Discharge Planning Association, 2008).
Menurut WHO (2005), tujuan discharge planning adalah :
1. Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang masalah kesehatan dan
kemungkinan adanya komplikasi dari penyakitnya dan hal-hal yang perlu
pembatasan yang akan diberlakukan saat klien di rumah.
2. Mengembangkan kemampuan klien dan keluarga untuk merawat dan
memenuhi kebutuhan klien dan memberikan lingkungan yang aman untuk
klien di rumah.
3. Memastikan bahwa rujukan yang diperlukan untuk perawatan selanjutnya
untuk klien dibuat dengan tepat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa discharge planning bertujuan untuk
memfasilitasi proses pemulangan yang nyaman dengan memastikan semua
fasilitas pelayanan kesehatan yang diperlukan telah dipersiapkan untuk klien,
mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi kepada klien dan keluarga,
juga mencegah terjadinya rawat ulang.

2.2.3

Manfaat Discharge Planning


Menurut NCSS (2006), discharge planning memiliki manfaat untuk

menetapkan tujuan bersama antara klien dan pemberi pelayanan sesuai dengan
kebutuhan klien, untuk mengelola perawatan jangka panjang, untuk mendorong
pendekatan tim baik dari pemberi pelayanan yang formal maupun informal, dan
untuk mendapatkan jaminan kelangsungan perawatan.
Menurut Spath (2003) dalam Nursalam & Efendi (2011), perencanaan
pulang memiliki manfaat sebagai berikut,
1. Dapat memberikan kesempatan untuk memperkuat pengajaran kepada klien
yang dimulai dari rumah sakit.
2. Dapat memberikan tidak lanjut secara sistematis yang digunakan untuk
menjamin kontinuitas perawatan klien.
3. Mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang terencana pada penyembuhan
klien dan mengidentifikasi kekambuhan atau kebutuhan perawatan baru.
4. Membantu kemandirian dan kesiapan klien dalam melakukan perawatan di
rumah.

2.2.4

Pemberi Layanan Discharge Planning


Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif dan

melibatkan multidisiplin, mencakup semua pemberi layanan kesehatan yang


terlibat dalam memberi layanan kesehatan kepada pasien (Potter & Perry, 2005).
Perawat bertanggung jawab terhadap proses discharge planning, sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Morris, Winfield, dan Young (2012) tentang
persepsi perawat terhadap pelaksanaan discharge planning yang

menyatakan

bahwa 76% dari 461 perawat sepakat bahwa pelaksanaan discharge planning
adalah tanggung jawab perawat.

2.2.5

Penerima Layanan Discharge Planning


Setiap klien yang dirawat di rumah sakit membutuhkan discharge

planning. Menurut Rice (1992) dalam Potter & Perry (2005), setiap pasien yang
dirawat di rumah sakit memerlukan discharge planning atau rencana pemulangan.
Discharge planning tidak hanya melibatkan pasien tapi juga keluarga, temanteman, serta pembeli layanan kesehatan dengan catatan bahwa pelayanan
kesehatan dan sosial bekerja sama (The Royal Marsden Hospital, 2004).

2.2.6

Prinsip-Prinsip Discharge Planning


Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam discharge planning adalah sebagai

berikut (Nursalam & Efendi, 2011).


1. Klien merupakan fokus dalam discharge planning. Nilai keinginan dan
kebutuhan dari klien perlu dikaji dan dievaluasi.
2. Kebutuhan dari klien diidentifikasi, kebutuhan ini dikaitkan dengan masalah
yang mungkin muncul pada saat klien pulang nanti, sehingga kemungkinan
masalah yang muncul di rumah dapat segera diantisipasi.
3. Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif. Perencanaan pulang
merupakan pelayanan multidisiplindan setiap tim harus saling bekerja sama.
4. Perencanaan pulang disesuaikan dengan sumber daya dan fasilitas yang ada.
Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan
dengan pengetahuan dari tenaga yang tersedia maupun fasilitas yang tersedia
di masyarakat.
5. Perencanaan pulang dilakukan pada setiap sistem pelayanan kesehatan.
Setiap klien masuk tatanan pelayanan maka discharge planning harus
dilakukan.

2.2.7

Jenis-Jenis Pemulangan
Chesca (1982) dalan Nursalam & Efendi (2011) mengklasifikasikan jenis

pemulangan klien sebagai berikut :


1. Pulang sementara atau cuti (Conditioning discharge). Keadaan pulang ini
dilakukan apabila kondisi klien baik dan tidak terdapat komplikasi. Klien
untuk sementara dirawat di rumah namun harus ada pengawasan dari pihak
rumah sakit atau puskesmas terdekat.
2. Pulang mutlak atau selamanya (absolute discharge). Cara ini merupakan
akhir dari hubungan klien dengan rumah sakit. Namun apabila klien perlu
dirawat kembali, maka prosedur perawatan dapat dilakukan kembali.
3. Pulang paksa (Judicial discharge). Kondisi ini klien diperbolehkan pulang
walaupun kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk pulang, tetapi klien
harus dipantau dengan melakukan kerja sama dengan perawat puskesmas
terdekat. Pada situasi ini, ada risiko komplikasi yang akan dialami oleh klien
karena meninggalkan rumah sakit sebelum waktunya. Klien harus
menandatangani sebuah format yang melepaskan dokter atau pihak rumah
sakit dari tanggung jawab hukum terhadap kesehatan klien (Potter & Perry,
2005).

2.2.8

Peran Perawat dalam Pelaksanakan Discharge Planning


Mengajar klien, keluarga, dan pemberi pelayanan lain merupakan

tanggung jawab yang penting bagi seluruh anggota tim kesehatan. Perawat
mempunyai tanggung jawab utama untuk memberi instruksi pada klien tentang
sifat masalah kesehatan, hal-hal yang harus dihindari, penggunaan obat-obatan di
rumah, jenis komplikasi yang harus diberitahukan pada dokter, dan sumber
bantuan yang tersedia (Potter & Perry, 2005).

Perawat memiliki peranan penting dalam pelaksanaan discharge planning


pada klien dan keluarganya karena kegiatan ini merupakan bagian dari proses
keperawatan yang komprehensif. Dalam menjalankan peran ini perawat bertugas
sebagai pelaksana pelayanan (home care resources) bekerja sama dengan tim
kesehatan lain, sebagai pendidik klien dan keluarga (teaching health), sebagai
konseling

mempersiapkan

psikologis

klien

dan

keluarga

(psychologist

preparation) (Kozier, 2004).


Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Morris, Winfield, dan Young
(2012) tentang persepsi perawat terhadap pelaksanaan discharge planning,
menyatakan bahwa 76% dari 461 perawat sepakat bahwa pelaksanaan discharge
planning adalah tanggung jawab perawat dan 79% setuju bahwa pelaksanaan
discharge planning harus dimulai saat klien mulai masuk ke ruang perawatan.

2.2.9

Prosedur Pelaksanaan Discharge Planning


Proses dicharge planning mencakup kebutuhan fisik pasien, psikologis,

sosial, budaya, dan ekonomi. Discharge planning keperawatan merupakan


komponen yang terkait dengan rentang keperawatan. Rentang keperawatan sering
pula disebut dengan perawatan berkelanjutan yang artinya perawatan yang
dibutuhkan oleh klien di mana pun klien berada. Kegagalan untuk memberikan
dan mendokumentasikan perencanaan pulang

beresiko terhadap

beratnya

penyakit, ancaman hidup, dan disfungsi fisik (Nursalam & Efendi, 2011).
Perencanaan untuk pemulangan klien dimulai saat klien masuk ke fasilitas.
Rencana asuhan keperawatan diperbarui dan diselesaikan selama klien dirawat

inap. Saat pulang, masalah keperawatan dapat terselesaikan atau mengalami


kemajuan ke arah resolusi, dan rencana tindak lanjut dicatat (Rosdahl, 2014).
Semua pemberi pelayanan yang merawat klien dengan masalah kesehatan
spesifik harus berpartisipasi dalam perencanaan pulang. Pengembangan rencana
dengan hasil yang saling menguntungkan dan komunikasi secara terus menerus
tentang kemajuan rencana tersebut merupakan tindakan yang esensial. Semua
pemberi layanan harus bekerja sama untuk keberhasilan perencanaan pulang klien
(Potter & Perry, 2005).
Langkah-langkah prosedur pelaksanaan discharge planning sebagai
berikut (Potter & Perry, 2005):
1. Sejak awal penerimaan klien, lakukan pengkajian tentang kebutuhan
pelayanan kesehatan untuk klien pulang, dengan menggunakan riwayat
keperawatan, rencana keperawatan, dan pengkajian kemampuan fisik dan
fungsi kognitif yang dilakukan secara terus menerus.
2. Mengkaji kebutuhan pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga yang
terkait dengan pelaksanaan terapi di rumah, hal-hal yang harus dihindari, dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
3. Mengkaji faktor-faktor lingkungan di rumah bersama klien dan keluarga
tentang hal-hal yang dapat menganggu perawatan diri.
4. Berkolaborasi dengan dokter dan tim kesehatan lainnya untuk mengkaji
perlunya rujukan agar klien mendapat perwatan lanjutan baik di rumah atau di
temapt pelayanan yang lainnya.
5. Mengkaji penerimaan terhadap masalah kesehatan dan larangan yang
berhubungan dengan masalah kesehatan tersebut.
6. Konsultasi dengan anggota tim kesehatan lain tentang berbagai kebutuhan
klien setelah pulang.

7. Menetapkan diagnosa keperawatan dan rencana keperawatan. Melakukan


implementasi rencana perawatan dan evaluasi kemajuan kondisi klien terus
menerus.
Pada langkah awal dalam pelaksanaan discharge planning perawat, klien
dan keluarga apabila memungkinkan mendiskusikan hal-hal mengenai :
1. Kondisi klien dan perubahan yang mungkin terjadi.
2. Tanda dan gejala atau masalah berhubungan dengan penyakit klien yang
mungkin terjadi di rumah.
3. Rencana asuhan keperawatan klien dalam pemenuhan kebutuhan pasca rawat
dirumah, kebutuhan keluarga dan proses adaptasi.
4. Dampak dari pelaksanaan asuhan keperawatan terhadap klien.

Skema 2.2 Alur Pelaksanaan Discharge Planning

Perawat PP dibantu PA

Penyelesaian
administrasi

Perawat PP dibantu PA

Keadaan klien
1. Klinis dan pemeriksaan
penunjang lain
2. Tingkat ketergantungan
Program Health
klien
Education
- Kontrol
dan
obat/perawata
- Nutrisi
- Aktivitas
dan
istirahat
- Perawatan diri

Lain-lain

Monitor (sebagai program


service safety) oleh :
Keluarga dan petugas
Keterangan :
Tugas Perawat Primer
a.
Membuat perencanaan pulang (discharge planning).
b.
Membuat leaflet.
c.
Memberikan konseling.
d.
Memberikan pendidikan kesehatan.
Sumber : Nursalam dan Efendi (2011).
2.3 Proses Keperawatan
Proses keperawatan adalah metode penyelesaian masalah dengan cara
memilih strategi asuhan keperawatan yang dilakukan melalui penerapan
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan evaluasi
(Basford & Slevin, 2006).
2.3.1

Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Budiono, 2015). Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari
pngumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien (Potter & Perry, 2005).
Pengkajian discharge planning yang dikembangkan oleh Nursalam (2011)
mendeskripsikan tentang dengan siapa pasien tinggal, keinginan untuk tinggal
setelah pulang, pelayanan kesehatan yang digunakan sebelum dari rumah sakit,
transportasi yang digunakan saat pulang, antisipasi keuangan setelah pulang,
perawatan diri dan bantuan yang diperlukan setelah pulang.

Format pengkajian pun dikembangkan oleh CMS (2008) yang ditujukkan


kepada klien dan pengasuh. Format ini berfokus kepada hal-hal sebagai berikut
yaitu kemana klien pulang, siapa yang akan merawatnya, kondisi klien, masalah
yang dialami klien dan cara mengatasinya, pengatahuan tentang obat, penggunaan
bahan dan peralatan medis, kebutuhan sehari-hari, cara mengatasi penyakit, cara
mneghubungi dan meminta bantuan petugas kesehatan, kapan kunjungan untuk
kontrol, daftar obat-obatan, ringkasan status klien, nama-nama lembaga yang
dapat membantu klien, serta siapa yang menanggung biaya pengobatan klien.

2.3.2

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respons

individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses


kehidupan aktual ataupun potensial sebagai dasar pemilihan intervensi
keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat bertanggung jawab (Budiono,
2015). Diagnosa keperawatan didasarkan pada hasil pengkajian discharge
planning, dikembangkan utuk mengetahui kebutuhan klien dan keluarga.
Carpenito (2009) menyatakan bahwa yang termasuk standar discharge
planning adalah pengajaran yang dibutuhkan pada klien dengan kondisi medik
dan pembedahan tertentu.standar perawatan biasanya ditujukan pada dua diagnosa
yang berisi tentang: resiko ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik dan
resiko kelemahan manajemen pemeliharaan di rumah.

2.3.3

Perencanaan
Perencanaan keperawatan merupakan kategori perilaku keperawatan

dimana tujuan yang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan
dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuab tersebut (Potter &
Perry, 2005)
Kelompok perawat berfokus kepada kebutuhan rencana pengajaran yang
a.

baik untuk persiapan pulang klien, yang disingkat dengan METHOD yaitu :
Medication (obat). Klien sebaiknya mengetahui obat yang harus dilanjutkan

b.

setelah pulang.
Environment (lingkungan). Lingkungan tempat klien akan pulang dari rumah sakit
sebaiknya aman. Klien juga sebaiknya memiliki fasilitas pelayanan yang

c.

dibutuhkan untuk kelanjutan perawatannya.


Treatment (pengobatan). Perawat harus memastikan bahwa pengobatan dapat

d.

terus berlanjut setelah klien pulang ke rumah.


Health Teaching (Pendidik Kesehatan). Klien yang akan pulang harus diberikan
pendidikan kesehatan tentang cara mempertahankan kesehatan, termausk tanda

e.

dan gejala yang mengindikasikan kebutuhan perawatan kesehatan tambahan.


Outpatient Referal. Klien seharusnya dapat mengenal pelayanan dari rumah sakit
atau agen komunitas lain yang dapat membantu meningkatkan perawatan

f.

berkelanjutan.
Diet. Klien perlu tahu mengenai pembatasan pada dietnya dan klien sebaiknya
mampu memilih diet yang sesuai dengan dirinya.
2.3.4

Implementasi
Implementasi dalam discharge planning adalah pelaksanaan rencana

pengajaran referal. Seluruh pengajaran yang diberikan harus didokumentasikan


pada catatan perawatan dan resume pulang. Instruksi tertulis diberikan kepada
klien.

1. Pendidikan klien dalam discharge planning


Mengajar klien, keluarga, dan pemberi pelayanan lain merupakan
tanggung jawab yang penting bagi seluruh anggota tim kesehatan. Perawat
mempunyai tanggung jawab utama untuk memberi instruksi pada klien tentang
sifat masalah kesehatan, hal-hal yang harus dihindari, penggunaan obat-obatan di
rumah, jenis komplikasi yang harus diberitahukan pada dokter, dan sumber
bantuan yang tersedia (Potter & Perry, 2005). Klien yang masuk ke rumah sakit
untuk waktu kurang dari 23 jam harus menerima pendidikan atau diberikan
instruksi tentang masalah prioritas sebelum mereka pulang ke rumah masingmasing.
Menurut WHO (2005), prinsip dasar penyuluhan yang baik kepada klien
adalah :
a. Menjadwalkan pendidikan klien ketika klien sadar dan berminat terhadap
pembelajaran.
b. Memulai dengan bahan pembelajaran yang paling ingin klien ketahui atau
minati.
c. Memulai dengan informasi yang plaing sederhana atau mudah dimengerti,
kemudian baru memberikan informasi pada klien tentang hal-hal yang lebih
rumit atau komplek.
d. Menggunakan kata-kata atau bahasa yang jelas, umum, bukan kata-kata atau
istilah medis.
e. Menghentikan penyuluhan apabila klien terlihat bingung dan tanyakan
apakah pasien dapat memahami.
f. Mengulangi informasi yang telah diberikan bila diperlukan, atau katakan
dalam kata-kata yang berbeda sampai klien memahami penjelasan perawat.
g. Memberi kesempatan pada klien untuk berpendapat dan mengajukan
pertanyaan dan untuk menunjukkan informasi mana yang sudah diketahui.

h. Meminta untuk melakukan demonstrasi ulang prosedur yang perlu dilakukan


klien.
i. Memberi kesempatan anggota keluarga untuk mengajukan pertanyaan dan
pastikan bahwa mereka memahami mengenai apa yang perlu dilakukan.
j. Menggunakan media atau gambar dalam penyuluhan dan berikan makalah
sederhana atau leaflet dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami
oleh pasien.
k. Memberikan jawaban yang jelas untuk pertanyaan dan berikan senyaman dan
setenang mungkin, tanpa mengatakan bahwa ada yang tidak benar.
2. Persiapan pemulangan klien
Menurut Potter & Perry (2005) persiapan yang dapat dilakukan perawat
sebelum hari kepulangan klien di antaranya :
a. Menganjurkan cara-cara untuk merubah pengaturan fisik di rumah sehinga
kebutuhan klien terpenuhi.
b. Memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang sumber-sumber
pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat.
c. Memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dan keluarga segera setelah
klien di rawat di rumah sakit, klien mungkin dapat diberikan buku atau
pamflet.

Hal-hal yang harus diperhatikan ketika klien meninggalkan rumah sakit


adalah (WHO, 2005) :
a. Menekankan informasi yang telah diberikan sebelumnya dan program dokter
untuk medikasi, tindakan atau peralatan khusus.
b. Menekankan perjanjian rujukan sehingga klien merasa jelas tentang hal-hal
yang perlu dilakukan.

c. Memastikan klien dan keluarga memahami ketebatasan klien, berapa lama


keterbatasan ini berlangsung, bagaimana mengindentifikasi tanda dan gejala
yang perlu diwaspadai dna tindakan untuk membantu proses pemulihan.
d. Memotivasi klien dan keluarga untuk kembali memeriksakan diri ke rumah
sakit jika kondisi klien tidak mengalami perkembangan ataupum menjadi
memburuk.
e. Memotivasi untuk kembali ke kehidupan dan perannya secara normal seperti
ketika sebelum saki, apabila sudah pulih dari penyakitnya.
Sedangkan pada hari kepulangan klien yang dapat dilakukan perawat di
antaranya (Rosdahl, 2014) :
1. Verifikasi program pemulangan.
2. Periksa program yang baru.
3. Periksa program untuk mengetahui obat-obatan yang dibawa pulang, terapi
khusus, atau perlengkapan khusus.
4. Periksa program untuk mengetahui prosedur, pemeriksaan laboratorium, atau
pemeriksaan foto ronsen di menit terakhir.
5. Pastikan individu memiliki tempat tujuan.
6. Koordinasikan transportasi jika perlu. Perawat mungkin perlu menelepon
untuk meminta pelayanan dari ambulans atau taksi. Pelayanan sosial mungkin
diperlukan untuk membantu.
7. Membantu klien dalam mennetukan pakaian yang tepat untuk digunakan.
8. Bantu klien untuk mengemas dan berpakaian untuk pulang.
9. Periksa kamar mandi dan meja di smaping tempat tidur untuk mencari
barang-barang pribadi yang masih ada. Minta klien menandatangani lembar
kepemilikan, meverifikasi bahwa ia telah mengumpulkan semua barang
pribadinya. Periksa dan minta klien menandatangani catatan tentang
kepemilikan.Sediakan

alat

pengangkut

barang

untuk

memudahkan

pengangkutan benda-benda milik klien ke pintu keluar.


10. Keluarkan setiap beda berharga dengan aman yang telah diperiksa dan
disimpen di ruang penyimpanan.

11. Periksa program dan instruksi pemulangan, program medikasi, dan jadwal
tindak lanjut dengan klien.
12. Jika klien meninggalkan fasilitas dengan membawa medikasi, berikan
informasi mengenai medikasi tersebut dan pastikan telah dimasukkan ke
dalam informasi pulang.
13. Minta klien untuk menandatangani format pulang dan pastikan klien
mendapat salinannya.
14. Beri tahu departemen yang terkait dan berwenang mengenai pemulangan
klien.
15. Antarkan klien dari unit klinis ke pintu keluar. Gunakan kursi roda. Bantu
klien ke mobil atau kendaraan lainnya.
16. Tuliskan atau masukkan catatan pulang ke dalam catatan klien atau rekam
medik klien.
2.3.5

Evaluasi
Evaluasi sangat penting dalam proses discharge planning. Keberhasilan

program discharge planning tergantung pada enam variabel :


a. Derajat penyakit.
b. Hasil yang diharaokan dari perawatan.
c. Durasi perawatan yang dibutuhkan.
d. Jenis-jenis pelayanan yang diperlakukan.
e. Komplikasi tambahan.
f. Ketersediaan sumber-sumber untuk mencapai

2.4 Hospitalisasi pada Anak


2.4.1

Pengertian Hospitalisasi pada Anak


Hospitalisasi adalah suatu keadaan kritis pada anak, saat anak sakit dan

dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk
beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi

tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua
dan keluarga (Wong, 2000).
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian
yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat
traumatik dan penuh dengan stress (Supartini, 2004).
Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah,
sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000). Perasaan tersebut dapat timbul
karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa
tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya,
dan sesuatu yang dirasa menyakitkan (Supartini, 2004).
Menurut WHO, hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam
ketika anak mejalani hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat
menimbulkan perasaan tidak aman.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapa disimpulkan bahwa hospitalisasi
pada anak adalah suatu keadaan yang mengharuskan anak dirawat di rumah sakit
yang dapat menimbulkan dampak seperti stres dan cemas akibat terjadinya
perpisahan dengan orang tua dan adaptasi terhadap lingkungan baru.

2.4.2

Reaksi Anak terhadap Hospitalisasi


Berbagai macam perilaku yang dapat ditunjukkan anak sebagai reaksi

terhadap perawatannya di rumah sakit. Menurut Supartini (2004), reaksi tersebut

bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak,
pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan
kemampuan koping yang dimilikinya.
1. Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)
Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety atau cemas
apabila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena
perpisahan dengan orang tuanya. Reaksi yang sering muncul pada anak usia
ini adalah menangis, marah dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap
stranger anxiety.
2. Masa Todler (2 sampai 3 tahun)
Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes, putus
asa, dan pengingkaran ( denial ).

Pada tahap protes, perilaku yang

ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau


menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilkau
yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang
menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap
denial perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima
perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat
menyukai lingkungannya.
3. Masa Prasekolah (3 sampai 6 tahun)
Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah adalah
dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan,
dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Ketakutan anak terhadap
perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya
mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi
agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan

kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan
pada orang tua.
4. Masa Sekolah ( 6 sampai 12 tahun)
Kehilangan kontrol terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya
pembatasan aktivitas. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan
ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena
anak sudah mampu mengomunikasikannya.
5. Masa Remaja (12 sampai 18 tahun)
Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit menyebabkan
timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya.
2.4.3

Reaksi Orang Tua terhadap Hospitalisasi Anak


Dampak dari perawatan anak di rumah sakit tidak hanya dirasakan oleh

anak saja tetapi juga oleh orang tua. Perasaan orang tua tidak boleh diabaikan
karena apabila orang tua merasa stres, hal ini akan membuat orang tua tidak dapat
merawat anaknya dengan baik dan akan menyebabkan anak menjadi semakin stres
(Supartini, 2000).
Reaksi orang tua yang akan timbul akibat perawatan anak di rumah sakit
adalah :
1. Perasaan cemas dan takut
Perasaan ini muncul ketika orang tua melihat anak mendapatkan prosedur
yang menyakitkan, seperti pengambilan darah, injeksi, dan lainnya. Perasaan
cemas juga dapat muncul pada saat pertama kali datang ke rumah sakit dan
membawa anaknya untuk dirawat, merasa asing dengan lingkungan rumah
sakit. Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya
perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal

yang sama berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang,
dan bahkan marah.
2. Perasaan Sedih
Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi terminal dan
orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan anaknya untuk sembuh.
Pada kondisi ini, orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau
didekati orang lain, bahkan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
3. Perasaan Frustasi
Seringkali orang tua menunjukkan perilkau tidak kooperatif, putus asa,
menolak tindakan, bahkan ,menginginkan pulang paksa.
2.4.4

Peran Perawat Anak

Anda mungkin juga menyukai