Anda di halaman 1dari 9

INVITED REVIEW

Annals of

Gastroenterology (2015) 28, 1-8

Tatalaksana Akalasia di Era Manometry Resolusi Tinggi


Francesco Torresan, Alexandros Ioannou, Francesco Azzaroli, Franco Bazzoli
Policlinico Sant Orsola-Malpighi, University of Bologna, Italy

Abstrak

Akalasia esofagus adalah kelainan motalitas primer yang dikarakteristikkan dengan


gangguan relaksasi sfingter bawah esofagus dan hilangnya peristaltik esofagus yang
mengakibatkan terganggunya transit dari bolus, serta bermanifestasi sebagai disfagia, regurgitasi,
nyeri retrosternal, dan turunnya berat badan. Alat yang digunakan sebagai standar diagnostik
adalah manometri esofagus yang akan menunjukkan relaksasi inkomplit dari sfinkter bawah
esofagus dan gangguan peristaltik esofagus. Belakangan ini, teknik terbaru, resolusi tinggi
manometri (HRM) dengan tambahan pressure topography plotting, menggunakan sensor multipel
umtuk merekam data manometrik secara langsung dan berkelanjutan, menghasilkan gambaran
yang detail untuk merekam motilitas esofagus. Teknik ini merupakan gold standard untuk
mendiagnosis akalasia, yang menghasilkan tiga subklasifikasi dari tipe manometri yang nantinya
akan mempunyai respon tatalaksana yang berbeda. Karena patogenesis belum diketahui,
tatalaksana dari akalsia bukan merupakann tindakan kuratif. Pasien dengan akalasia tipe II
memiliki respon lebih baik dengan pengobatan dibandingkan tipe I dan tiep III. Pasien akalasia
risiko rendah tipe I atau II mempunyai respon yang bagus baik dengan dilatasi pneumatik maupun
Helle Myotomi laparaskopi, sedangkan tipe III akalasia hanya berespon pada myotomi Helle
laparaskopi. Walaupun jika dibandingkan respon akalasia tipe III masih dibawah respon dari tipe I
dan tipe II. Miotomi endoskopi peroral merupakan teknik baru yang menjanjikan, tetapi
dibutuhkan penelitian dan follow up jangka panjang untuk menguji keamanan dan keefisenannya.
Artikel ini menjelaskan tentang opsi teraupetik yang dipakai sekarang, khususnya tentang pengaruh
dari HRM untuk memperkirakan outcome dan menentukan pengobatan dari akalasia.
Keywords Achalasia, high-resolution manometry, botox, pneumatic dilatation, laparoscopic
Heller myotomy, peroral endoscopic myotomy

nyeri ulu hati,dan penurunan berat badan. Nyeri ulu hati dapat

High-resolution manometry in achalasia 2

Introduction
Akalasia adalah gangguan motorik esofagus yang ditandai
dengan hilangnya peristaltik dan kegagalan relaksasi dari
sfingter esofagus bagian bawah (LES) yang mengakibatkan
gangguan transportasi bolus dan stasis makanan di esofagus [1].
Kejadian Akalasia mempunyai proporsi yang sama pada pria
dan wanita dengan kejadian 1 dari 100.000 individu dan
prevalensi 10 dari 100.000. Puncak insiden terjadi antara 30
dan 60 tahun [2,3]. Gejala akalasia yang paling sering adalah
disfagia baik makanan padat atau cair, regurgitasi air liur, dan
kegagalan mencerna makanan, komplikasi respirasi (batuk
malam hari dan aspirasi), nyeri dada,
Department of Medical and Surgical Sciences, Gastroenterology and
Endoscopy Unit, Policlinico Sant Orsola-Malpighi, University of
Bologna, Bologna, Italy
Confl ict of Interest: None
Correspondence to: Francesco Torresan, Department of Medical and
Surgical Sciences, Gastroenterology and Endoscopy Unit, Policlinico
Sant Orsola-Malpighi, University of Bologna, Via Massarenti, 9,
40138 Bologna, Italy, Tel.: +39 051 6364358, email: francesco.torresan@aosp.bo.it
Received 17 October 2014; accepted 21 November 2014

menyerupai penyakit
refluks gastroesofageal (GERD).
Disfagia dan regurgitasi biasanya berespon terhadap
pengobatan, tetapi nyeri dada lebih sulit untuk ditatalaksana.
Skor Eckart simptomp merupakan skor grading yang paling
sering digunakan untuk mengevaluasi gejala, staging, dan
efisiensi dari dari tatalaksana akalasia. Skor gejala 0-1
menunjukkan stage 0, skor 2-3 menunjukkan stage I, skor 4-6
Stage II, dan skor>6 menunjukkan stage III. Stage 0 dan I
menunjukkan remisi dari penyakit. Sedangkan Stage II dan III
menunjukkan kegagalan penatalaksanaan. Patogenesis dari
akalasian belum diketahui secara pasti tapi diperkirakan karena
adanya pengaruh proses inflamasi neurodegeneratif yang
dipengaruh virus. Virus campak dan herpes diperkirakan
merupakan virus yang menyebabkan kejadian tersebut. Namun
teknik moekular gagal memastikan hal ini dan agen penyebab
dari hal tersebut masih belum diketahui. Ada juga hipotesis
yang menyatakan proses autoimun dirangsang oleh hal yang
belum diketahui pada subjek yang mempunyai predisposisi
genetik yang akan menyebabkan inflamasi kronik dan berujung
pada kerusakan neuron. Inflamasi kronik pada esofagus ini
menyebabkan hilangnya neuron inhibitor post ganglion pada
pleksus mientrik dan menyebabkan berkurangnya transmitter
inhibitor, nitric oxide dan peptida vasoaktif usus. Neuron
eksitasi tidak terpengaruh, hal ini nantinya akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara neuron eksitasi dan inhibisi

2015 Hellenic Society of Gastroenterology

www.annalsgastro.gr

Table 1 Eckardt score: clinical scoring for achalasia

Score

None

None

None

Occasional

Occasional

Occasional

None

Daily

Daily

Daily

5-10

Each meal

Each meal

Each meal

>10

<5

yang mencegah relaksasi sfingter esofagus bawah.(10.11).


Type I

Absence of peristalsis, no pressurization within the


esophageal body, high integrated relaxation
pressure

Type II

Absence of peristalsis, and contractile activity,


panesophageal pressurization >30 mmHg, and high
integrated relaxation pressure

Type III

Absence of peristalsis, and two or more spastic


contractions with or without periods of
compartmentalized pressurization and a high
integrated relaxation pressure

Langkah awal diagnosis adalah menetukan tipe obstruks benign


atau maligna melalui endoskopi atau radiologi. Pada stadium
awal, keduanya bisa saja ditemukan normal. Pada kasus
terbaru, esofagus akan mengalami dilatasi dengan menahan
makanan dan saliva; secara endoskopi, esofagogastrik junction
akan menampilkan gambaran seperti bunga mawar dan kadang
dengan peningkatan pasase ke gaster. Studi Barium
memperlihatkan gambaran paruh burung akibat keadaan
sfingter esofagus bawah yang terelaksasi, variasi derajat dilatasi

Dysphagia

Regurgitation

Retrosternal Weight
pain
loss
(kg)
Table 2 Manometric subtypes of achalasia according to Chicago
classifi cation

esofagus hingga sigmoid esofagus, hilangnya peristaltik dan


kadang ditemukan air-fluid level dan hilangnya air bubble pada
lambung. Untuk menilai pengosongan esofagus, timed barium
swallow dapat dilakukan, di mana puncak pengisian barium
adalah 5 menit setelah memakan barium dengan kadar 8 oz
(236
mL), hal ini merupakan langkah yang baik untuk
mengukur pengosongan esofagus. Manometri masih merupakan
gold standard diagnostik untuk akalasia (12). Pada
konvensional manometri, ciri utama akalasia adalah; hilangnya
peristaltik, kadang dengan peningkatan tekanan intraesofagus,
dan relaksasi tidak sempurna dari LES pada deglutisi (tekanan
residu >10 mmHg) (13). Peningkatan waktu resting tonus dari
LES sering diamati (4) Namun, akurasi dari studi ini telah
ditentang oleh muculnya teknik baru untuk diagnosis akalasia
esofagus seperti dengan High Resolution Manometry (HRM)
dan ditambah dengan Pressure Topography Plotting (12).
Penggunaan multipel sensor bersensitivitas tinggi untuk
merekam data manometric secara berkelanjutan dan leluasa,
serta untuk memperoleh rekaman yang detail dari faring hingga
perut dan dianggap sebagai gold standard untuk diagnosis
akalasia [4,14]. Algoritma diagnostik untuk menentukan
diagnosa manometric konvensional akalasia lebih akurat
dengan bantuan HRM, karena objektivitas dan akurasinya

Annals of Gastroenterology 28

High-resolution manometry in achalasia 3

dalam mengidentifikasi gangguan relaksasi esofagogastrik


junction dan kontraksi peristaltik [14]. Penggunaan HRM
ditujukan untuk mengklasifikasikan akalasia (Chicago
klasifikasi) menjadi tiga kelompok klinis yang berdasarkan
pola kontraktilitas esofagus (Tabel 2, Gambar 1.)
Tipe I (akalasia klasik) tidak terdapat tekanan yang
signifikan pada esofagus dan gangguan relaksasi LES.
Tipe II (akalasia dengan kompresi atau kompartementalisasi
distal esofagus > 30 mmHg) peningkatan cepat tekanan
panesofageal dengan menelan air.
Tipe III (akalasia spastik) peningkatan cepat tekanan
disebabkan kontraksi abnormal lumen yang mengalami
obliterasi
Selain itu, HRM memperkenalkan parameter baru
untuk menilai kuantitas relaksasi LES : tekanan relaksasi yang
berhubungan dengan menghitung rata-rata tekanan LES selama
4 detik yang mana tekanan LES adalah yang terendah,
melampaui periode kontraksi crural jika diperlukan. Batas
normal untuk tekanan relaksasi terintegrasi adalah 10 mmHg
untuk tipe I akalasia, 15 mmHg untuk tipe II dan 17 mmHg
untuk akalasia tipe III, yang dapat membedakan dengan baik
gangguan relaksasi pada akalasia pada individu non-akalasia
dan pasien dengan spasme esofagus [15].

20 mg, selama 15-30 menit sebelum makan sering digunakan


sebagai obat oral untuk akalasia. Kerjanya dengan menghambat
kontraksi LES

Treatment of achalasia
Karena patogenesis dari akalasia belum diketahui,
pengobatan masih belum tersedia hingga saat ini. Pilihan
pengobatan paliatif bertujuan untuk mengurangi gradien
seluruh LES, menghilangkan gejala utama dari disfagia dan
regurgitasi, meningkatkan pengosongan esofagus, dan
mencegah perkembangan megaesophagus [16]. Terapi
modalitas meliputi: terapi farmakologis, injeksi endoskopik
botulinum toxin (Botox), dilatasi pneumatik (PD), laparoskopi
Heller myotomy (LHM), dan peroral myotomy endoskopi
esofagus (POEM) [3,4]. Tidak ada intervensi yang signifikan
mempengaruhi peristaltik esofagus dan disamping itu intervensi
terapeutik hipertonus LES hingga sekarang, membutuhkan
prosedur ulangan [2].

Pharmacological therapy
Manajemen farmakologis berperan minimal dalam
pengobatan akalasia esofagus karena adalah sedikitnya pilihan
terapi[17]. Dua agen farmakologi yang palingsering digunakan
adalah nitrat dan calcium channel blockers. Nitrat menghambat
kontraksi LES yang normal dengan meningkatkan konsentrasi
oksida nitrat dalam sel otot polos, yang kemudian
meningkatkan kadar adenosin monofosfat siklik sehingga
menstimulasi relaksasi otot. Wen et al, dalam review terbarunya
dilakukan dua penelitian acak untuk menilai keberhasilan nitrat
dalam pengobatan akalasia. Mereka menyimpulkan bahwa
tidak ada obat yang bisa direkomendasikan [18]. Antagonis
kalsium memblokir masuknya kalsium dan menyebabkan
kontraksi otot esofagus. Nifedipin, dalam dosis sublingual 10-

Annals of Gastroenterology 28

4 F. Torresan et al

dan menurunkan rest pressure nya hingga 60% [17]. Respon


klinis obat dengan durasi pendek; perbaikan gejala sering
inkomplit dan memiliki efek samping seperti sakit kepala,
hipotensi dan edema kaki merupakan faktor yang menyebabkan
farmakologis terbatas dalam penggunaannya. Obat ini biasanya
disediakan untuk pasien yang tidak dapat atau menolak untuk
menjalani terapi yang invasif dan pengobatan Botox telah gagal
[2]..

Endoscopic injection of Botox

Botox adalah neurotoksin biologis yang berasal dari


Clostridium botulinum yang menyebabkan kelumpuhan otot
baik volunter dan involunter dengan menghalangi pelepasan
asetilkolin dari ujung terminal saraf. Aksinya berlangsung ratarata selama 3 sampai 4 bulan [19]. Ada lima formulasi
komersial Botox dengan berbagai potensi. Sebagian besar
penelitian melaporkan penggunaan Botox (Allergan Inc, Irvine,
California, C
USA) dan studi membandingkan Botox dan Dysport
(Ipsen Pharma, Boulogne-Billancourt, France) menjelaskan
hasil klinis yang sama berdasar dosis yang disesuaikan dengan
potensi formulasi yang berbeda [20]. Botox A disuntikkan
dengan dosis 80-100 U di empat kuadran tepat di atas Z line ke
LES menggunakan jarum sclerotherapy selama endoskopi
pencernaan bagian atas. Injeksi Botox relatif aman dengan
komplikasi ringan seperti nyeri sementara (25% dari pasien)
dan gejala refluks (kurang dari 5%). Efek samping yang serius
seperti mediastinitis dan reaksi alergi yang terkait dengan
protein telur jarang. Dosis yang lebih tinggi dari 100 U belum
terbukti lebih efektif [21,22]. Lebih dari 75% kasus memiliki
respon klinis awal yang baik namun tingkat keberhasilan
menurun hingga kurang dari 60% dalam satu tahun. Sekitar
Absent contractile activity
50% pasien menderita kekambuhan dan memerlukan perawatan
berulang selama 6-24 bulan setelah pengobatan pertama [21Figure 1Achalasia subtypes according to Chicagocation.
classif(A)
I (classic
achalasia)
to
refers
patients
with
absence
peristalsis, no
23].Type
Respon
yang lama
telah dilaporkan
pada
pasien
yang of
lebih
pressurization within the esophageal body, high integrated
relaxation
pressure (IRP).
(B) Typeini
II (achalasia
refers tolebih
patients
with compression)
tua dengan
pola manometric
kuat. Namun,
mungkin
Absent peristalsis
mirip dengan pola tipe II berhubungan dengan tekanan udara
panesophageal oleh HRM [24]. Lima percobaan acak yang
membandingkan Botox injeksi pada PD dan satu untuk LHM
yang menunjukkan perbaikan dari disfagia pada awalnya tetapi
terjadi penurunan cepat dalam kelompok pasien yang diobati
High IRP
dengan injeksi Botox setelah 6-12 bulan setelahnya [23,25-29] .
Selain itu, seri suntikan Botox lebih mahal daripada PD [16].
Ada beberapa bukti bahwa beberapa suntikan Botox ke LES
berefek pada hasil myotomy bedah berikutnya [25]. Mengingat
keterbatasan ini, penggunaan suntikan Botox harus dibatasi
Type I
untuk pasien lansia dan orang-orang dengan penyakit penyerta
yang tidak dianjurkan untuk PD dan LHM.
B

PD
Resolution of pressurization

PD dari LES dianggap pengobatan nonsurgical paling


efektif untuk akalasia [30]. PD menggunakan tekanan udara
untuk melebarkan intralumen dan menghmbat serat otot
Absent contractile activity
melingkar dari LES. Dilator yang paling umum digunakan

Annals of Gastroenterology 28

Absent peristalsis

Normal IRP

High-resolution manometry in achalasia 5

adalah Micro-invasif sistem Rigiflex Balloon (Boston scientifi


c Corp, Boston, Massachusetts, USA). Balon ini tersedia dalam
tiga diameter (30, 35 dan 40 mm) dipasang pada kateter
fleksibel ditempatkan di atas sebuah kawat pemandu
endoskopi. Dengan teknik anestesi sedasi dan di bawah
bimbingan fluoroscopic balon diposisikan di LES dan secara
bertahap dikembangkan sampai ukuran yang direncanakan,
sekitar 7-15 psi udara, ditahan selama 15-60 detik [16].
Protokol yang sebenarnya sangat bervariasi [13]. Protokol yang
paling sering digunakan adalah dilatasi yang dimulai dengan
balon 30 mm dan dilatasi selanjutnya selama interval waktu
sekitar (2-4 minggu) mengacu pada gejala klinis (Eckardt skor
gejala) atau dengan mengulang pengukuran tekanan LES atau
perbaikan pengosongan esofagus [ 31-35]. Setelah prosedur
pasien harus menjalani rontgen gastrografi diikuti oleh barium
esophagogram untuk mengetahui perforasi esofagus [36].
Namun, itu adalah pendapat kami bahwa pengujian radiografi
dengan gastrografin atau barium tidak harus dilakukan jika
pasien mengalami nyeri dan dicurigai perforasi. Bahkan, dalam
kasus ini, gastrografin dapat meningkatkan diameter perforasi
esofagus yang kecil dan kontaminasi mediastinum yang dapat
membuat manajemen non-bedah menjadi sulit. Dalam kasus
tersebut, computed tomography untuk mengidentifikasi udara
bebas mungkin merupakan pilihan yang lebih baik. PD dapat
dilakukan sebagai prosedur rawat jalan. Pasien tanpa
kecurigaan perforasi esofagus dapat menjalani tes radiografi
setelah pengamatan 4-6 jam dan bisa dipulangkan jika negatif.
Pasien dapat kembali ke kegiatan normal pada hari berikutnya.
Namun, pasien harus diinstruksikan untuk melakukan kontrol
segera jika memiliki keluhan nyeri dada yang parah dengan
atau tanpa demam dengan delayed perforasi yang mungkin
terkait dengan prosedur muntah [2]. ]. Banyak studi
menunjukkan bahwa dengan menggunakan pendekatan dilator,
membantu dengan sangat baik menurunkan gejala hingga 5093% dari pasien yang diobati [2,37-39]. Richter et al, dalam
tinjauan hampir 1.200 pasien dari 24 penelitian dengan rata-rata
follow up 37 bulan, di laporkan bahwa PD dengan balon
Rigiflex berefek lebih baik untuk memperbaiki gejala hingga
74%, 86% dan 90% dari pasien yang diterapi dengan ballon
30, 35 dan 40 mm. Sepertiga dari pasien akan mengalami gejala
kekambuhan setelah 5 tahun, namun remisi jangka panjang
1
dapat dicapai di sebagian besar pasien dengan "on demand"
5
PD di ulangi berdasarkan gejala
kekambuhan [40,41]. Prediktor
hasil klinis terbaik PD meliputi:
10
usia yang lebih tua dari 40
Length along the esophagus (cm)
tahun, perempuan,
tekanan 15
LES setelah dilatasi <10 mmHg dan
tipe II pola dengan HRM [5,6,12,31,34,42,43].
20 pasien mengalami komplikasi
Tiga puluh tiga persen
prosedur terkait, tetapi kebanyakan
ringan seperti nyeri dada,
25
perdarahan, pneumonia aspirasi, demam, hematoma esofagus,
30
dan mucosal tear tanpa perforasi
[44]. Komplikasi yang paling
serius yang berhubungan dengan
PD adalah perforasi esofagus
35
dengan tingkat rata-rata keseluruhan diTimetangan
ahli 1,9%
(s)
(kisaran 0-16) [31,34]. Terapi konservatif dengan nutrisi
parenteral antibiotik dan mungkin efektif pada perforasi kecil
dan tear dalam yang menyakitkan, tapi perbaikan bedah
melalui torakotomi adalah pendekatan yang terbaik untuk
perforasi besar dengan kontaminasi mediastinum yang luas
[45]. Sebagian besar perforasi terjadi selama dilatasi pertama.
kesulitan menjaga balon dalam posisi yang tepat tampaknya
menjadi faktor risiko potensial [46]. Boeckxstaens et al dalam

Type II

laporan kasus perforasi pada akalasia, terutama pada pasien


yang lebih tua, ketika PD pertama dilakukan dengan 35 mm
dibandingkan balon 30 mm [6]. GERD dapat terjadi setelah PD
sekitar 15-35% dari pasien dan terapi PPI dapat memperbaiki
gejala terkait refluks [40]. PD adalah pengobatan dengan biaya
paling efektif untuk akalasia yang difollow up lebih 5-10 tahun
periods of compartmentalized pressurization
[47,48].

LHM

Prosedur bedah yang paling banyak digunakan untuk


mengobati akalasia adalah Heller myotomy, pertama kali
dijelaskan pada tahun
1913
oleh
Ernst Heller
digunakan
or more
spastic
contractions
with or dan
without
sejak ditemukan beberapa teknik modifikasi baru [49]. Dua
perubahan dari modifikasi prosedur Heller adalah teknik
memotong sisi anterior serat otot kardia saja dan asosiasi
fundoplication untuk mengurangi keparahan GERD [50,51],
Absent
peristalsis
komplikasi yang paling
sering
setelah miotomi tanpa
fundoplication. Teknik yang berkembang awalnya dengan
pendekatan laparotomi diikuti oleh keberhasilan thoracoscopic .
Namun, pada tahun 1991 Shimi et al menjelaskan teknik
minimal invasif untuk LHM yang menjadi metode yang disukai
karena morbiditas yang lebihHigh
rendah
IRP dan pemulihan yang lebih
cepat [52,53]. Sebuah meta-analisis terbaru oleh Campos et al
menunjukkan bahwa LHM (3086 pasien) memperbaiki gejala
signifikan lebih baik dari pendekatan thoracoscopic (211
pasien) (89,3% vs 77,6, P = 0,048) dan mengurangi kejadian
GERD pasca operasi ( 14,9% vs 28,3%, P = 0,03). Campos et al
Type III
juga menunjukkan bahwa penambahan
prosedur antirefluks
seperti
fundoplication
pada
LHM,
mengurangi
gastroesophageal refluks secara lebih signifikan (31,5% vs
8,8%) dengan keberhasilan terapi yang sama [38]. Richards et
al menjelaskan keuntungan penambahan fundoplication LHM
pada uji coba secara acak membandingkan myotomy doubleblind dengan atau tanpa fundoplication [54]. Terdapat keraguan
pada jenis fundoplication yang diterapkan untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik. Disfagia pasca operasi meningkat lebih
signifikan setelah fundoplication Nissen dibandingkan dengan
pendekatan anterior parsial [55]. Sebuah multicenter uji
kontrol acak terbaru membandingkan pendekatan anterior Dor
150
dan posterior Toupet yang menyarankan keduanya
untuk
kontrol refluks setelah LHM [56,57]. Secara keseluruhan,
LHM dengan fundoplication parsial adalah operasi100
yang sangat
aman dengan angka kematian 0,1% [4].
Tingkat keberhasilan klinis yang sangat tinggi, dengan
50
keberhasilan rata-rata 89% (kisaran 76-100%) pada tindak
30
lanjut 35 bulan [38]. Namun, tingkat keberhasilan
setelah 5
tahun turun jadi 65-85%, mungkin sebagai 0akibat dari
perkembangan penyakit [58,59]. Laki-laki yang lebih muda
(<40
tekanan LES lebih
besar dari 30 mmHg dan
Time tahun),
(s)
Time (s)
kerongkongan lurus (tanpa tortuosities distal) merupakan faktor
prognostik positif untuk kesuksesan LHM [60,61]. Adapun PD,
subtipe manometric juga mempengaruhi tingkat keberhasilan
LHM. Pasien dengan pola akalasia HRM tipe II memiliki hasil
terbaik [62]. Terdapat selisih keberhasilan klinis antara PD dan
LHM untuk pasien dengan akalasia tipe I dan tipe II , tetapi
pola tipe III merespon lebih baik untuk operasi daripada PD,
mungkin karena gangguan proksimal lebih luas dari otot

Annals of Gastroenterology 28

6 F. Torresan et al

esophagus [ 42,62]. Penting untuk sangat berhati-hati pada


pasien yang sebelumnya diinjeksi dengan intrasphincteric
Botox, seperti fibrosis yang dapat muncul pada
gastroesophageal juction. Dalam kasus ini, myotomy memiliki
peningkatan risiko perforasi mukosa. Portale dkk melaporkan
bahwa pasien yang sebelumnya menjalani injeksi Botox dan
PD memiliki keberhasilan yang rendah di LHM dibandingkan
dengan pasien yang tidak ditatalaksana seperti itu [54,63,64].
Komplikasi yang paling umum dari LHM adalah perforasi
esofagus ataumukosa
lambung (rata-rata 6,3%) selama
myotomy, biasanya diperbaiki tanpa konsekuensi klinis [65].
Kekambuhan disfagia setelah LHM berkembang dalam 12-18
bulan. Kebanyakan sering disebabkan oleh incomplete
myotomy pada sisi lambung yang diseksi lebih rumit, parut
lambat myotomy dan sebuah antireflux obstruktif [13, 66].
Kekambuhan setelah LHM dapat sukses diobati dengan PD
dan bisa timbul kegagalan dengan LHM baru [66].

PD versus LHM
Saat ini, PD dan LHM adalah pilihan pengobatan yang
paling efektif untuk akalasia. Keputusan mengenai pendekatan
ini mengalami kesulitan karena kurangnya uji coba secara acak
terkontro dalam kelompokl besar. Campos et al dalam review
mereka melaporkan peningkatan 68% pada 1065 pasien yang
diobati dengan PD versus tingkat peningkatan 89% dari LHM
di 3.086 pasien [38]. Pada tahun 2006, sebuah studi crosssectional oleh Vela dkk menunjukkan tingkat keberhasilan yang
sama untuk PD dan LHM. 106 pasien menjalani PD dan 73
pasien diobati dengan LHM. Keberhasilan didefinisikan jika
regurgitasi atau disfagia kurang dari tiga kali per minggu atau
tidak ada pengobatan alternatif, dilaporkan terdapat 96% untuk
kelompok PD vs 98% untuk kelompok LHM pada 6 bulan
follow up. Tingkat keberhasilan yang menurun menjadi 44% vs
57% pada 6 tahun setelah nya[31]. Pada tahun 2007 Kostic et al
melakukan uji coba terkontrol secara acak yang
membandingkan PD dengan balon Rigiflex dan LHM dengan
Toupet fundoplication [67]. Hasilnya menunjukkan keunggulan
prosedur operasi, tapi keterbatasannya adalah hanya 51 pasien
yang diteliti dengan tindak lanjut yang terbatas dalam 1 tahun
[67]. Akhirnya, pada tahun 2011 Boeckstaens et al melaporkan
hasil trial achalasia di Eropa , dengan percobaan acak klinis
membandingkan PD dan LHM dengan Dor fundoplication. 201
pasien diacak untuk tindakan PD dengan Rigiflex balon (30
dan 35 mm dengan sampai tiga dilatations berulang) atau LHM.
Keberhasilan terapi didefinisikan sebagai penurunan skor gejala
Eckardt bawah 4. Setelah dua tahun follow up, tingkat
keberhasilan terapi yang dibandingkan adalah 86% dan 90%
pada PD dan LHM. Pengosongan barium dan tekanan LES
membaik untuk kedua kelompok. Redilatation dilakukan pada
23 dari 95 pasien (25%). Berdasarkan data tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa LHM tidak mencapai tingkat
keberhasilan terapi yang lebih dominan dibandingkan dengan
PD sebagai pengobatan utama untuk akalasia, setelah follow up
rata rata 43 bulan, dan, karena itu, salah satu dapat
direkomendasikan sebagai terapi awal.

POEM
Meskipun perawatan awal saat akalasia efektif, PD
dikaitkan dengan perlunya penatalksanaan ulang (25%) dan
myotomy bedah masih membutuhkan laparoskopi dan diseksi
dari gastroesophageal juction. Dengan demikian, ada minat
dalam mengembangkan teknik baru yang menggabungkan
pendekatan endoskopik dengan prinsip-prinsip operasi alami
transluminal endoskopi untuk bedah myotomy. Teknik ini
disebut POEM [68]. Sayatan longitudinal 2 cm dibuat pada
permukaan mukosa untuk membuat pintu masuk ke ruang
submukosa. Kemudian terowongan submukosa dibuat untuk
mencapai LES dan untuk membedah serat otot melingkar 7 cm
di atas esofagus dan 2 cm panjang lambung. Inoue et al
mempelajari 17 pasien dan melaporkan tingkat keberhasilan
100% dan penurunan yang signifikan dari tekanan LES [2,6].
Serangkaian penelitian lain menegaskan tingkat keberhasilan
yang tinggi (85-100%) bahkan setelah beberapa PD
sebelumnya, meskipun follow up hanya 6 bulan [39,69-72].
Selain itu, karena tidak ada prosedur antireflux termasuk dalam
teknik ini, risiko untuk keparahan GERD meningkat hingga
46% [39]. Tindak lanjut yang lama dan percobaan terkontrol
acak prospektif dengan standar LHM dan / atau PD diperlukan
sebelum menerima POEMI sebagai pilihan pengobatan baru
untuk akalasia.

Other therapies

Annals of Gastroenterology 28

High-resolution manometry in achalasia 7

Self-expanding metallic stents


Beberapa penelitian telah melaporkan penggunaan dari stent
logam untuk pengobatan akalasia. Stent secara bertahap
meningkatkan suhu tubuh lebih dari 24 jam, sehingga lebih
diprediksi menyebabkan "tearing" otot kardia, kurangnya
jaringan parut, dan rasio dari stenosis yang lebih rendah setelah
removal stent [73,74]. Baru-baru ini, sebuah studi prospektif
acak mengevaluasi Manfaat inisiasi jangka panjang dari
partially cover removable stent logam dibandingkan PD pada
kelompok ras Cina. Li dkk melaporkan tingkat keberhasilan
klinis 83% untuk 30 mm stent pada 10 tahun, sedangkan
tingkat keberhasilan untuk 20 mm stent dan PD adalah 0%.
Namun, protokol dilatasi kurang agresif dibandingkan teknik
standar yang digunakan di Eropa dengan diameter maksimal 32
mm [74]. Single-center jangka panjang studi prospektif, Zhao
et al melaporkan, menggunakan 30 mm stent logam, dilaporkan
tingkat keberhasilan klinisnya > 80%. Tidak ada perforasi atau
kematian dilaporkan, namun migrasi stent terjadi pada 5%
pasien, GERD di 20%, dan nyeri dada di 38,7% [73]. Meskipun
hasil ini menjanjikan, teknik ini perlu dievaluasi lebih lanjut
dan diuji dibandingkan dengan protokol terapi PD dan LHM
digunakan di Eropa dan Amerika Serikat.
Endoscopic sclerotherapy
Baru-baru ini, studi yang berbeda dari peneliti Spanyol dan
Iran melaporkan penggunaan etanolamin oleat untuk mengobati
akalasia [75,76]. Moreto et al melakukan suntikan setiap 2-4
minggu hingga disfagia sembuh pada 103 pasien selama 20
tahun terakhir. Hasil utama adalah perbaikan disfagia. Hasil
sekunder adalah tekanan LES, esophagogram, gastroesophageal
reflux, dan ultrasonografi endoskopik. Dilaporkan 90%
akumulasi dari kekambuhan terjadi pada 50 bulan [76].
Skeptisisme tentang prosedur ini karena striktur fibrotik
mungkin membuat terapi yang lebih tradisional sulit untuk
dilakukan [16].

Future therapies
Semua pendekatan untuk pengobatan akalasia menargetkan
untuk perbaikan kerongkongan daripada mencoba untuk
memperbaiki kelainan yang mendasari dan mengembalikan
fungsi motilitas. Mengingat fakta bahwa enterik yang diinervasi
neuron esofagus dan LES bisa menghilang karena mekanisme
autoimun, terapi imunosupresif secara teoritis di anggap dapat
mencegah perkembangan penyakit [77]. Namun, pada saat
diagnosis, jumlah neuron sudah menurun, menyebabkan
disfungsi signifikan dan gejala. Studi lain eksperimental pada
tikus menunjukkan bahwa transplantasi sel induk saraf
mungkin menjadi pilihan terapi masa depan [78]. The
neurospheres, disebut sel induk saraf, dapat diisolasi dan
dibiakkan dari biopsi mukosa yang dibuktikan dengan Metzger
et al. Mereka

dihasilkan dari tubuh neurosphere yang mampu berkembang


biak dan menghasilkan beberapa subtipe neuronal; ketika
ditransplantasikan, koloni aganglionik hindgut manusia yang
dikultur menghasilkan struktur seperti ganglia, neuron enterik
dan glia [79]. Sayangnya, setelah transplantasi in vivo ke
pilorus tikus neurosphere gagal untuk mengadopsi fenotipe
saraf. Temuan serupa dilaporkan dari kelompok lain. Jelas,
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan terapi
yang optimal dan teknik terapi sel induk untuk mengembalikan
anatomi fungsional dari LES.

Concluding remarks
Munculnya teknik terbaru dari HRM sebagai alat diagnostik
telah membantu mengidentifikasi tiga subtipe dari akalasia
yang menunjukkan respon yang berbeda untuk endoskopi atau
terapi bedah. Subklasifikasi ini telah memfasilitasi pemilihan
pengobatan yang tepat untuk setiap pasien, terdapat
peningkatan efektivitas pengobatan secara keseluruhan.
Menurut pendapat kami, pasien tua yang berisiko tinggi dan
orang-orang dengan penyakit penyerta yang berat harus
menjalani Botox, sementara semua pasien lain dapat dianggap
sebagai risiko rendah dan memperoleh perawatan bedah atau
endoskopi (Gambar. 2). Pilihan antara PD atau operasi mungkin
tergantung pada keahlian lokal.

Peran POEM sebagai pengganti pilihan terapi tradisional


akan menjadi pilihan dalam waktu dekat setelah uji
perbandingan prospektif acak dan studi tindak lanjut jangka
panjang diterbitkan. Terapi farmakologi bisa diberikan untuk
pasien yang menunggu endoskopi atau pembedahan dan untuk
orang-orang dengan risiko bedah tinggi setiap kali pendekatan
dengan Botox tidak mungkin atau telah gagal. Sementara
pengobatan akalasia sekaran masih berfokus pada gangguan
mekanik dari LES, terapi masa depan diharapkan dapat
bertujuan memulihkan fungsinya.

References
1. Boeckxstaens GE. Th e lower oesophageal sphincter.
Neurogastroenterol Motil 2005;17( Suppl 1):13-21.
2. Vaezi MF, Pandolfi no JE, Vela MF. ACG clinical guideline: diagnosis
and management of achalasia. Am J Gastroenterol
2013;108:12381249 ; quiz 50.
3. Francis DL, Katzka DA. Achalasia: update on the disease and its
treatment. Gastroenterology 2010;139:369-374.
4. Boeckxstaens GE, Zaninotto G, Richter JE. Achalasia. Lancet
2014;383:83-93.
5. Vaezi MF, Baker ME, Achkar E, Richter JE. Timed barium
oesophagram: better predictor of long term success aft er pneumatic
dilation in achalasia than symptom assessment. Gut 2002;50:765-770.
6. Boeckxstaens GE, Annese V, des Varannes SB, et al. Pneumatic
dilation versus laparoscopic Hellers myotomy for idiopathic achalasia.
N Engl J Med 2011;364:1807-1816.

Annals of Gastroenterology 28

8 F. Torresan et al

7. Gockel I, Junginger T. Th e value of scoring achalasia: a comparison of


current systems and the impact on treatment--the surgeons viewpoint.
Am Surg 2007;73:327-331.
8. Boeckxstaens GE. Achalasia: virus-induced euthanasia of neurons?
Am J Gastroenterol 2008;103:1610-1612.
9. Gockel I, Muller M, Schumacher J. Achalasia--a disease of unknown
cause that is oft en diagnosed too late. Dtsch Arztebl Int
2012;109:209-214.
10. De Giorgio R, Di Simone MP, Stanghellini V, et al. Esophageal and
gastric nitric oxide synthesizing innervation in primary achalasia. Am J
Gastroenterol 1999;94:2357-2362.
11. Park W, Vaezi MF. Etiology and pathogenesis of achalasia: the current
understanding. Am J Gastroenterol 2005;100:1404-1414.
12. Pandolfi no JE, Fox MR, Bredenoord AJ, Kahrilas PJ. Highresolution
manometry in clinical practice: utilizing pressure topography to classify
oesophageal motility abnormalities. Neurogastroenterol Motil
2009;21:796-806.
13. Richter JE, Boeckxstaens GE. Management of achalasia: surgery or
pneumatic dilation. Gut 2011;60:869-876.
14. Bansal A, Kahrilas PJ. Has high-resolution manometry changed the
approach to esophageal motility disorders? Curr Opin
Gastroenterol 2010;26:344-351.
15. Lin Z, Kahrilas PJ, Roman S, Boris L, Carlson D, Pandolfi no JE. Refi
ning the criterion for an abnormal Integrated Relaxation Pressure in
esophageal pressure topography based on the pattern of esophageal
contractility using a classifi cation and regression tree model.
Neurogastroenterol Motil 2012;24:e356-e363.
16. Richter JE. Esophageal motility disorder achalasia. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg 2013;21:535-542.
17. Bortolotti M, Labo G. Clinical and manometric eff ects of nifedipine in
patients with esophageal achalasia. Gastroenterology 1981;80:3944.
18. Wen ZH, Gardener E, Wang YP. Nitrates for achalasia. Cochrane
Database Syst Rev 2004:Cd002299.
19. Ghosh B, Das SK. Botulinum toxin: a dreaded toxin for use in human
being. J Indian Med Assoc 2002;100:607-608, 10-2, 14.
20. Ramzan Z, Nassri AB. The role of Botulinum toxin injection in the
management of achalasia. Curr Opin Gastroenterol 2013;29:468473.
21. Pasricha PJ, Ravich WJ, Hendrix TR, Sostre S, Jones B, Kalloo AN.
Intrasphincteric botulinum toxin for the treatment of achalasia. N Engl
J Med 1995;332:774-778.
22. Annese V, Bassotti G, Coccia G, et al. A multicentre randomised study
of intrasphincteric botulinum toxin in patients with oesophageal
achalasia. GISMAD Achalasia Study Group. Gut 2000;46:597-600.
23. Zaninotto G, Annese V, Costantini M, et al. Randomized controlled
trial of botulinum toxin versus laparoscopic heller myotomy for
esophageal achalasia. Ann Surg 2004;239:364-370.
24. Pandolfi no JE, Kwiatek MA, Nealis T, Bulsiewicz W, Post J, Kahrilas
PJ. Achalasia: a new clinically relevant classifi cation by highresolution manometry. Gastroenterology 2008;135:1526-1533.
25. Smith CD, Stival A, Howell DL, Swaff ord V. Endoscopic therapy for
achalasia before Heller myotomy results in worse outcomes than heller
myotomy alone. Ann Surg 2006;243:579-584; discussion 84-6.
26. Muehldorfer SM, Schneider TH, Hochberger J, Martus P, Hahn EG, Ell
C. Esophageal achalasia: intrasphincteric injection of botulinum toxin
A versus balloon dilation. Endoscopy 1999;31:517-521.
27. Ghoshal UC, Chaudhuri S, Pal BB, Dhar K, Ray G, Banerjee PK.
Randomized controlled trial of intrasphincteric botulinum toxin A
injection versus balloon dilatation in treatment of achalasia cardia. Dis
Esophagus 2001;14:227-231.
28. Vaezi MF, Richter JE, Wilcox CM, et al. Botulinum toxin versus
pneumatic dilatation in the treatment of achalasia: a randomised trial.
Gut 1999;44:231-239.
29. Mikaeli J, Fazel A, Montazeri G, Yaghoobi M, Malekzadeh R.
Randomized controlled trial comparing botulinum toxin injection to

Annals of Gastroenterology 28

pneumatic dilatation for the treatment of achalasia. Aliment


Pharmacol Th er 2001;15:1389-1396.
30. Stefanidis D, Richardson W, Farrell TM, Kohn GP, Augenstein V,
Fanelli RD. SAGES guidelines for the surgical treatment of esophageal
achalasia. Surg Endosc 2012;26:296-311.
31. Vela MF, Richter JE, Khandwala F, et al. Th e long-term effi cacy of
pneumatic dilatation and Heller myotomy for the treatment of
achalasia. Clin Gastroenterol Hepatol 2006;4:580-587.
32. Hulselmans M, Vanuytsel T, Degreef T, et al. Long-term outcome of
pneumatic dilation in the treatment of achalasia. Clin Gastroenterol
Hepatol 2010;8:30-35.
33. Kadakia SC, Wong RK. Graded pneumatic dilation using Rigifl ex
achalasia dilators in patients with primary esophageal achalasia. Am J
Gastroenterol 1993;88:34-38.
34. Eckardt VF, Aignherr C, Bernhard G. Predictors of outcome in patients
with achalasia treated by pneumatic dilation. Gastroenterology
1992;103:1732-1738.
35. Rohof WO, Lei A, Boeckxstaens GE. Esophageal stasis on a timed
barium esophagogram predicts recurrent symptoms in patients with
long-standing achalasia. Am J Gastroenterol 2013;108:49-55.
36. Ott DJ, Richter JE, Wu WC, Chen YM, Castell DO, Gelfand DW.
Radiographic evaluation of esophagus immediately aft er pneumatic
dilatation for achalasia. Dig Dis Sci 1987;32:962967.
37. Vaezi MF, Richter JE. Current therapies for achalasia: comparison and
effi cacy. J Clin Gastroenterol 1998;27:21-35.
38. Campos GM, Vittinghoff E, Rabl C, et al. Endoscopic and surgical
treatments for achalasia: a systematic review and meta-analysis. Ann
Surg 2009;249:45-57.
39. Swanstrom LL, Kurian A, Dunst CM, Sharata A, Bhayani N, Rieder E.
Long-term outcomes of an endoscopic myotomy for achalasia: the
POEM procedure. Ann Surg 2012;256:659-667.
40. Richter JE. Update on the management of achalasia: balloons, surgery
and drugs. Expert Rev Gastroenterol Hepatol 2008;2:435-445.
41. Zerbib F, Th etiot V, Richy F, Benajah DA, Message L, Lamouliatte H.
Repeated pneumatic dilations as long-term maintenance therapy for
esophageal achalasia. Am J Gastroenterol 2006;101:692-697.
42. Rohof WO, Salvador R, Annese V, et al. Outcomes of treatment for
achalasia depend on manometric subtype. Gastroenterology
2013;144:718-725 ; quiz e 13-e14.
43. Vantrappen G, Hellemans J, Deloof W, Valembois P, Vandenbroucke J.
Treatment of achalasia with pneumatic dilatations. Gut 1971;12:268275.
44. Katzka DA, Castell DO. Review article: an analysis of the effi cacy,
perforation rates and methods used in pneumatic dilation for achalasia.
Aliment Pharmacol Th er 2011;34:832-839.
45. Vanuytsel T, Lerut T, Coosemans W, et al. Conservative management
of esophageal perforations during pneumatic dilation for idiopathic
esophageal achalasia. Clin Gastroenterol Hepatol 2012;10:142149.
46. Metman EH, Lagasse JP, dAlteroche L, Picon L, Scotto B, Barbieux
JP. Risk factors for immediate complications aft er progressive
pneumatic dilation for achalasia. Am J Gastroenterol
1999;94:1179-1185.
47. OConnor JB, Singer ME, Imperiale TF, Vaezi MF, Richter JE. Th e
cost-eff ectiveness of treatment strategies for achalasia. Dig Dis Sci
2002;47:1516-1525.
48. Karanicolas PJ, Smith SE, Inculet RI, et al. Th e cost of laparoscopic
myotomy versus pneumatic dilatation for esophageal achalasia. Surg
Endosc 2007;21:1198-1206.
49. E. H. Extra mucous cardioplasty in chronic cardiospasm with dilatation
of the esophagus (Extramukose Cardiaplastik mit dilatation des
oesophagus). Mitt Grenzgels Med Chir 1913;27:141-148.
50. Zaaijer JH. Cardiospasm in the aged. Ann Surg 1923;77:615-617.
51. Dor J, Humbert P, Paoli JM, Miorclerc M, Aubert J. Treatment of refl
ux by the so-called modifi ed Heller-Nissen technic. Presse Med
1967;75:2563-2565.

High-resolution manometry in achalasia 9

52. Shimi S, Nathanson LK, Cuschieri A. Laparoscopic cardiomyotomy for


achalasia. J R Coll Surg Edinb 1991;36:152-154.
53. Ali A, Pellegrini CA. Laparoscopic myotomy: technique and effi cacy
in treating achalasia. Gastrointest Endosc Clin N Am
2001;11:347-358, vii.
54. Richards WO, Torquati A, Holzman MD, et al. Heller myotomy versus
Heller myotomy with Dor fundoplication for achalasia: a prospective
randomized double-blind clinical trial. Ann Surg 2004;240:405-412;
discussion 12-15.
55. Rebecchi F, Giaccone C, Farinella E, Campaci R, Morino M.
Randomized controlled trial of laparoscopic Heller myotomy plus Dor
fundoplication versus Nissen fundoplication for achalasia: long-term
results. Ann Surg 2008;248:1023-1030.
56. Rawlings A, Soper NJ, Oelschlager B, et al. Laparoscopic Dor versus
Toupet fundoplication following Heller myotomy for achalasia: results
of a multicenter, prospective, randomized-controlled trial. Surg
Endosc 2012;26:18-26.
57. Mattioli S, Ruff ato A, Lugaresi M, Pilotti V, Aramini B, DOvidio F.
Long-term results of the Heller-Dor operation with intraoperative
manometry for the treatment of esophageal achalasia. J Th orac
Cardiovasc Surg 2010;140:962-969.
58. Costantini M, Zaninotto G, Guirroli E, et al. Th e laparoscopic HellerDor operation remains an eff ective treatment for esophageal achalasia
at a minimum 6-year follow-up. Surg Endosc 2005;19:345-351.
59. Chen Z, Bessell JR, Chew A, Watson DI. Laparoscopic cardiomyotomy
for achalasia: clinical outcomes beyond 5 years. J Gastrointest
Surg 2010;14:594-600.
60. Torquati A, Richards WO, Holzman MD, Sharp KW. Laparoscopic
myotomy for achalasia: predictors of successful outcome aft er 200
cases. Ann Surg 2006;243:587-591; discussion 91-93.
61. Zaninotto G, Costantini M, Rizzetto C, et al. Four hundred
laparoscopic myotomies for esophageal achalasia: a single centre
experience. Ann Surg 2008;248:986-993.
62. Salvador R, Costantini M, Zaninotto G, et al. Th e preoperative
manometric pattern predicts the outcome of surgical treatment for
esophageal achalasia. J Gastrointest Surg 2010;14:1635-1645.
63. Patti MG, Feo CV, Arcerito M, et al. Eff ects of previous treatment on
results of laparoscopic Heller myotomy for achalasia. Dig Dis Sci
1999;44:2270-2276.
64. Portale G, Costantini M, Rizzetto C, et al. Long-term outcome of
laparoscopic Heller-Dor surgery for esophageal achalasia: possible
detrimental role of previous endoscopic treatment. J Gastrointest
Surg 2005;9:1332-1339.
65. Lynch KL, Pandolfi no JE, Howden CW, Kahrilas PJ. Major
complications of pneumatic dilation and Heller myotomy for achalasia:
single-center experience and systematic review of the literature. Am J
Gastroenterol 2012;107:1817-1825.

66. Zaninotto G, Costantini M, Portale G, et al. Etiology, diagnosis, and


treatment of failures aft er laparoscopic Heller myotomy for achalasia.
Ann Surg 2002;235:186-192.
67. Kostic S, Kjellin A, Ruth M, et al. Pneumatic dilatation or laparoscopic
cardiomyotomy in the management of newly diagnosed idiopathic
achalasia. Results of a randomized controlled trial. World J Surg
2007;31:470-478.
68. Inoue H, Minami H, Kobayashi Y, et al. Peroral endoscopic myotomy
(POEM) for esophageal achalasia. Endoscopy 2010;42:265-271.
69. von Renteln D, Inoue H, Minami H, et al. Peroral endoscopic
myotomy for the treatment of achalasia: a prospective single center
study. Am J Gastroenterol 2012;107:411-417.
70. Costamagna G, Marchese M, Familiari P, Tringali A, Inoue H, Perri V.
Peroral endoscopic myotomy (POEM) for oesophageal achalasia:
preliminary results in humans. Dig Liver Dis 2012;44:827832.
71. Chiu PW, Wu JC, Teoh AY, et al. Peroral endoscopic myotomy for
treatment of achalasia: from bench to bedside (with video).
Gastrointest Endosc 2013;77:29-38.
72. Hungness ES, Teitelbaum EN, Santos BF, et al. Comparison of
perioperative outcomes between peroral esophageal myotomy (POEM)
and laparoscopic Heller myotomy. J Gastrointest Surg
2013;17:228-235.
73. Zhao JG, Li YD, Cheng YS, et al. Long-term safety and outcome of a
temporary self-expanding metallic stent for achalasia: a prospective
study with a 13-year single-center experience. Eur Radiol
2009;19:1973-1980.
74. Li YD, Cheng YS, Li MH, Chen NW, Chen WX, Zhao JG. Temporary
self-expanding metallic stents and pneumatic dilation for the treatment
of achalasia: a prospective study with a long-term follow-up. Dis
Esophagus 2010;23:361-367.
75. Niknam R, Mikaeli J, Mehrabi N, et al. Ethanolamine oleate in
resistant idiopathic achalasia: a novel therapy. Eur J Gastroenterol
Hepatol 2011;23:1111-1115.
76. Moreto M, Ojembarrena E, Barturen A, Casado I. Treatment of
achalasia by injection of sclerosant substances: a long-term report. Dig
Dis Sci 2013;58:788-796.
77. Micci MA, Learish RD, Li H, Abraham BP, Pasricha PJ. Neural stem
cells express RET, produce nitric oxide, and survive transplantation in
the gastrointestinal tract. Gastroenterology 2001;121:757-766.
78. Urbach DR, Hansen PD, Khajanchee YS, Swanstrom LL.
A decision analysis of the optimal initial approach to achalasia:
laparoscopic Heller myotomy with partial fundoplication,
thoracoscopic Heller myotomy, pneumatic dilatation, or botulinum
toxin injection. J Gastrointest Surg 2001;5:192-205.
79. Metzger M, Caldwell C, Barlow AJ, Burns AJ, Th apar N. Enteric
nervous system stem cells derived from human gut mucosa for the
treatment of aganglionic gut disorders. Gastroenterology
2009;136:2214-2225.e1-3.

Annals of Gastroenterology 28

Anda mungkin juga menyukai