Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit utama
penyebab kematian dan kesakitan yang juga mempengaruhi aspek ekonomi dan
sosial masyarakat di dunia, dimana kedua aspek tersebut merupakan aspek penting
dalam masyarakat.1 Di Indonesia, PPOK merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang
ditimbulkan akibat terjadinya transisi epidemiologi di Indonesia serta dipengaruhi
oleh terjadinya peningkatan usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan
faktor resiko, semakin banyaknya jumlah perokok pada usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun diluar ruangan dan di tempat kerja.2
Menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease),
PPOK merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran
udara yang bersifat persisten dan progresif, serta berhubungan dengan respon
inflamasi kronis pada saluran nafas dan paru akibat pajanan partikel dan gas yang
beracun. Tingkat keparahan pada setiap pasien ditentukan oleh eksaserbasi dan
penyakit komorbid yang menyertainya.3
Prevalensi dan angka mortalitas PPOK terus meningkat. Berdasarkan data
WHO tahun 2002, PPOK menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker. Di Indonesia PPOK menempati urutan
pertama (35%) penyumbang angka kesakitan untuk penyakit tidak menular
berdasarkan hasil survey penyakit oleh Depkes RI tahun 2004, diikuti oleh asma
bronchial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).2 Di Amerika Serikat
diperkirakan terdapat 115.000 kematian pada tahun 2000 oleh karena PPOK.3
Di Asia, penderita PPOK sedang sampai berat pada tahun 2006 mencapai
56,6 juta pasien dengan prevalensi 6,3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 5,9
juta pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini dapat terus meningkat dengan
makin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok dan
mantan perokok.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas beracun berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.5
Penyakit paru obstruksi kronik terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan
anatomis paru yang ditandai dengan pelebaran bagian distal bronkiolus terminal
disertai kerusakan dinding alveoli.6
2.2

Epidemiologi
Prevalensi dan angka mortalitas PPOK terus meningkat. Pada tahun 1992,

berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI, PPOK bersama asma
bronkial menduduki peringkat keenam dan merokok merupakan penyebab PPOK
terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. 6 Selanjutnya pada tahun 2004,
PPOK menempati urutan pertama (35%) penyumbang angka kesakitan untuk
penyakit tidak menular berdasarkan hasil survey penyakit oleh Depkes RI, diikuti
oleh asma bronchial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).2
Di Indonesia penyakit bronkitis kronik dan emfisema meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok dan pesatnya
kemajuan industri. PPOK merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang
sekitar 10% penduduk usia 40 tahun ke atas.6 Hasil studi pada 29 negara pada
tahun 1990 2004 ditambah dengan studi di Jepang, membuktikan bahwa
prevalensi PPOK meningkat pada perokok dan mantan perokok, umur di atas 40
tahun dan pada laki laki.1
2.3 Faktor Risiko
Faktor resiko penyakit PPOK yang paling utama dan terpenting adalah
kebiasaan merokok, apakah orang tersebut perokok aktif atau pasif atau bekas
perokok serta diukur dari derajat berat merokok. Faktor lainnya antara lain
riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hipereaktivitas
bronkus, dan riwayat infeksi saluran napas bawah berulang.5

Faktor resiko penyakit PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau
mempengaruhi/menyebabkan

terjadinya

PPOK

pada

seseorang.

Menurut

American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK, yaitu :5


a. Faktor host

: faktor genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas.

b. Faktor exposure

: merokok, hiperaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi


lingkungan, dan infeksi bronkopulmoner berulang.

Faktor risiko tersebut meliputi:


a. Faktor pejamu (host)
Faktor resiko PPOK yang meliputi faktor host dapat disebabkan oleh
faktor genetik, hiperresponsive nafas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang
utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu serin protease inhibitor.
Hiperresponsif jalan nafas akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pada gangguan
pertumbuhan paru yang dikaitkan pada masa kehamilan, berat lahir dan pajanan
semasa anak-anak memiliki kaitan terhadap penurunan fungsi paru (VEP1)
sehingga memiliki resiko yang tinggi untuk mendapatkan PPOK.
b. Faktor perilaku (kebiasaan) merokok
Merokok merupakan faktor resiko terjadinya PPOK. Pada perokok akan
tejadi gangguan respirasi dan penurunan faal paru. Perokok aktif yang
berhubungann dengan usia mulai merokok, jumlah rokok perbungkus, serta
perokok pasif juga merupakan faktor risiko PPOK.
Hubungan rokok dengan PPOK menunjukan dose response. Hubungan
dose response dapat dilihat melalui Indeks Brinkman (IB) yang menilai derajat
berat merokok. IB merupakan perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap
sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Untuk klasifikasi berdasarkan IB:
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
c. Faktor lingkungan (polusi udara)
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
roko, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain. Polusi diluar ruangan meliputi
gas buangan industri, kendaraan bermotor, debu jalanan, serta polusi di tempat

kerja meliputi bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun. Pajanan yang terus
menerus oleh zat dari lingkungan tersebut akan menyebabkan penurunan faal paru
dan berisiko untuk terjadinya PPOK.
d. Stress oksidatif
Paru selalu terpajan zat endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul
dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan
asap rokok. Oksidan endogen seperti derivate electron mitokondria transport
termasuk dalam selular signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxidative
chalange yang berkembang secara sistem enzimatik atau nonenzimetik. Ketika
keseimbangan antara oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan
stress oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada
paru tetapi juga menimbulkan aktivitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan memegang peran penting
pada PPOK.

2.4

Patogenesis
Pada bronkhitis kronis perubahan awal terjadi pada saluran udara yang

kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
(emfisema),

yang

menyebabkan

hilangnya

elastic

recoil,

hiperinflasi,

terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi


sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan akibat peningkatan
pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di bagian luar saluran
napas, sehingga menghambat pembukaan saluran napas. Lumen saluran napas
kecil berkurang karena penebalan mukosa berisi eksudat sel radang yang
meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh beberapa derajat penebalan dan hipertofi otot polos pada
bronkiolus respiratorius. Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO 2 meningkat
dan dorongan respirasi bergeser dari CO 2 ke hipoksemia, dorongan pernapasan
juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas.4,7
Menurut Hipotesis Elastase-Anti Elastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk mencegah

terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara enzim proteolitik


elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastin paru.
Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya rangsangan pada paru antara lain
oleh asap rokok dan infeksi yang menyebabkan elastase bertambah banyak atau
oleh adanya defisiensi alfa-1 antitripsin.9
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan aliran
udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang berlebihan,
dan vasokontriksi otot polos bronkus.

Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal

Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK terjadi akibat peradangan


dan penyempitan saluran nafas perifer sehingga bermanifestasi sebagai penurunan
VEP1, sementara kerusakan parenkim paru pada emfisema akan menurunkan
proses transfer gas pada paru, sehingga terjadi ketidakseimbangan ventilasiperfusi.5
Saluran napas normal akan melebar karena perlekatan alveolar selama
ekspirasi diikuti oleh proses pengosongan alveolar dan pengempisan paru.
Perlekatan alveolar pada PPOK rusak karena emfisema menyebabkan penutupan

jalan napas ketika ekspirasi dan menyebabkan air trapping pada alveoli dan
hiperinflasi. Saluran napas perifer mengalami obstruksi dan destruksi karena
proses inflamasi dan fibrosis, lumen saluran napas tertutup oleh sekresi mukus
yang terjebak akibat bersihan mukosilier kurang sempurna.4
2.5

Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala

ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti berikut ini : 5,6
1.

Sesak
Sesak yang bersifat progresif dimana semakin bertambah berat seiring

berjalannya waktu (kronik), bertambah berat atau dipicu dengan aktivitas,


persisten dan menetap sepanjang hari, keluhan bernafas berat, sukar bernafas dan
terengah-engah saat bernafas.
2.

Batuk kronik berdahak


Setiap batuk kronik berdahak dapat mengidentifikasikan PPOK. Batuk kronik

dengan dahak (pada bronkitis kronik keadaan ini terjadi setiap hari selama 3
bulan dalam 1 tahun pada sedikitnya 2 tahun berturut-turut.
3. Riwayat terpajan faktor risiko
Riwayat pajanan terhadap faktor rosiko yang dialami pasien seperti asap
rokok, debu, bahan kimia ditempat kerja dan termasuk juga asap dapur.

Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala :5


Sesak nafas bertambah
Produksi sputum bertambah banyak
Sputum berubah warna
Klasifikasi PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga, antara lain : 5
1. Tipe I (eksaserbasi berat), terdapat peningkatan gejala sesak nafas,
peningkatan produksi sputum, dan peningkatan purulensi sputum
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) hanya memiliki 2 gejala diatas

3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan


infeksi saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernafasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.
Tabel klasifikasi PPOK menurut GOLD (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease) 20105
GOLD 2010
Klinis

Derajat

Faal paru

Gejala klinis

Normal

(batuk, produksi suptum)


Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP <70%

Derajat I:
PPOK ringan

sputum tapi tidak sering. Pada VEP1 90% prediksi


derajat ini pasien sering tidak
menyadari bahwa faal paru mulai

Derajat II:

menurun
Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP <70%

PPOK sedang

aktivitas dan kadang ditemukan 50%<VEP1<90% prediksi


gejala batuk dan produksi sputum.
Pada derajat ini biasanya pasien
mulai memeriksa kesehatannya.

Derajat III:

Gejala sesak lebih berat, penurunan VEP1/KVP <70%

PPOK berat

aktivitas, rasa lelah dan serangan 30%<VEP1<50% prediksi


eksaserbasi semakin sering dan
berdampak pada kualitas hidup

Derajat IV:
PPOK
berat

pasien
Gejala diatas ditambah tanda-tanda VEP1/KVP <70%

sangat gagal napas atau gagal jantung VEP1<30% prediksi atau


kanan dan ketergantungan oksigen. VEP1<50%

prediksi

Pada derajat ini kualitas hidup disertai gagal nafas kronik


pasien

meburuk

dan

jika

eksaserbasi dapat mengancam jiwa

2.6

Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri, dll). PPOK klinis
didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks. Sedangkan
diagnosis derajat PPOK dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.2,5,6
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi, batukbatuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala, riwayat paparan dengan faktor risiko, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS
sebelumnya, komorbiditas, dan dampak penyakit terhadap aktivitas.5,6
2. Pemeriksaan fisik4,5
Inpeksi : Bentuk dada barrel chest, terdapat cara bernafas purse lip
breathing, terlihat penggunaan dan hipertrofi otot bantu nafas, pelebaran sela iga.
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena juguaris dileher dan
edema pada tungkai. Penampilan Pink puffer (pasien kurus, kulit kemerahan dan
pernafasan pursed-lips breathing) atau blue bloater (pasien gemuk, sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah dibasal paru).

Palpasi : Fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa rendah,


hepar terdorong kebawah.

Auskultasi: suara nafas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi


memanjang, mengi (pada saat eksaserbasi), dan ronki.

3. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri5
Penilaian menggunakan spirometri dapat menentukan derajat obstruksi dan
merupakan parameter yang paling umum yang digunakan dalam penilaian
beratnya PPOK dan memantau perkalanan penyakit, berdasarkan penilaian
VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP dan Uji bronkodilator (saat

diagnosis ditegakkan): VEP1 diukur sebelum diberikan bronkodilator, 90%


prediksi
2. Laboratorium : peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia
sekunder) dan Defisiensi kadar alfa-1 antitripsin (kongenital).9
3. Foto toraks : pada emfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau
hiperlusen, diagframa mendatar dan letak rendah, corakan bronkovaskuler
meningkat, bulla, dan jantung menggantung (jantung pendulum/eye drop
appearance). Sedangkan pada bronkitis kronis akan terlihat gambaran
paru normal, namun terlihat corakan bronkovaskular meningkat.9
4. Analisis gas darah pada semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi dan
secara klinis diperkirakan gagal napas atau gagal jantung kanan.9
5. Kultur dan sensitivitas kuman
Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman
terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak
ada respon terhadap antobiotik yang dipakai sebagai pengobatan pada
permulaan penyakit.9

2.7

Diagnosis Banding

PPOK dan diagnosis banding3,5


Diagnosis
PPOK

Gambaran klinis
1. Onset pada usia pertengahan
2. Gejala semakin progresif
3. Terdapat riwayat merokok atau terpajan oleh

Asma

polusi yang berbahaya.


1. Onset pada awal usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma

Gagal jantung

1. Ronki halus di basal paru

kongesti

2. Foto

thorak

memperlihatkan

pembesaran

jantung, edema paru


3. Riwayat hipertensi
4. Pemeriksaan faal paru: indikasi restriksi volume
1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak

Bronkiektasis

2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri


3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus
1. Onset semua usia

Tuberkulosis

2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru


3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
Panbronkiolitis

4. Lokasi prevalensi TB tinggi


1. Dominan pada keturunan etnis asia

difuse

2. Umumnya laki-laki, riwayat sinusitis kronis


Penyakit lain yang bisa menjadi diagnosis banding PPOK antara lain :

1. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) adalah penyakit obstruksi


saluran nafas yang ditemukan pada pasien pasca tuberkulosis dengan lesi
paru minimal.
2. Pneumothoraks dimana keadaan cembung ditempat kelainan, perkusi
hipersonor, auskultasi saluran nafas melemah.
3. Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misalnya destroyed
lung.
2.8 Penatalaksanaan
A. Terapi PPOK Stabil
Terapi Non- Farmakologis6
1. Motivasi dan pendidikan meliputi :
-

Usaha mengurangi faktor risiko (polusi, debu)

Edukasi-motivasi berhenti merokok

Farmakoterapi stop merokok

10

2. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan,


rehabilitasi psikososial
3. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari)
Untuk PPOK stadium III, AGD :
-

PaO2 < 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/tanpa hiperkapnia

PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 <88% disertai hipertensi pulmonal,


edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.

4. Nutrisi
-

Pembedahan : pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungsi


paru atau gerakan mekanik paru).

Terapi Farmakologis6
1. Bronkodilator
-

Secara inhalasi, kecuali preparat tak tersedia/ tak terjangkau.

Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala


intermiten).

3 golongan :

Agonis -2 : fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin,


formoterol, salmeterol. . Bentuk inhaler digunakan untuk
menatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai
monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai oabat pemeliharaan
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

Antikolinergik : ipratropium bromide, oksitroprium bromide.


Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi lender

Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2 dan


steroid belum memuaskan. Dianjurkan bronkodilator kombinasi
daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.

2. Steroid, pada :
-

PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid

PPOK dengan FEV1 < 50% prediksi (stadium IIB dan III)

Eksaserbasi akut.

11

3. Obat-obat tambahan lain


-

Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein,


gliserol iodide, gliseryl guayakolat.

Antioksidan : N-asetil-sistein

Immunoregulator (immunostimunolator,immunomodulator) : tidak


rutin

Antitusif : tidak rutin

Vaksinasi : influenza, pneumokokus.

B. Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah : bronkodilator
seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat
diberikan selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat diberikan antibiotik spektrum
luas (termasuk S. pneumonia, H. influenzae, M. catarrhalis).6
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:6

Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.

Bronkodilator : inhalasi agonis 2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) +


antikolinergik

Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam).


Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10
menit) untuk menghindari efek samping. Lalu lanjutkan perdrip 0,50,8 mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat
bersama-sama dalam 1 botol cairan perinfus. Cairan infus yang
digunakan adalah dektrose 5%, NaCl 0,9% atau ringer laktat.

Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari

Steroid intravena : pada keadaan berat.

Algoritma Penanganan PPOK :5

12

13

Gambar 2. Algoritma penanganan PPOK

Terapi jangka panjang dilakukan dengan :

Antibiotik untuk kemoterapi preventif, ampisilin 4 x 0,25-0,5 g dapat


menurunkan eksaserbasi akut.

Bronkodilator, tergantung tingkat reversibelitas obstruksi saluran napas tiap


pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan objektif dari
fungsi faal paru.

Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.


14

Mukolitik dan ekspektoran.

Antibiotik yang umumnya digunakan pada PPOK eksaserbasi akut


Eksaserbasi ringan-sedang
Lini pertama

Eksaserbasi sedang-berat
Sefalosporin

Doksisiklin 100mg 2x/hari

Ceftriakson 1-2 g IV/hari

Kotrimoksasol 2x1tab/hari

Cefotaksim 1g tiap 8-12 jam

Ceftazidime 1-2 g IV tiap 8-12 jam

Amoksisklin-klavulanat
-

Penicilin antipseudomonal

125mg tab 3x sehari

Piperasillin-tazobaktam3,375 gIV/6jam
Ticarcilinclavulanat 3,1 g IV/6jam
Fluoroquinolones

Makrolide
-

Klarithromisin 500mg 2x/hari

Levofloksasin 500mg IV/hari

Azitrommisin 500 mg pertama,

Gatifloksasin 400mg IV/hari

selanjutnya 250mg/hari
Fluoroquinolone

Amiglosida

Levofloksasin 500mg/hari

Gatifloksasin 400mg/hari

Moksifloksasin 400mg/hari

Tobramisin 1mg/kgbb/8-12 jam

Indikasi rawat inap pada PPOK


-

Eksaserbasi sedang-berat

Terdapat komplikasi

Infeksi saluran nafas berat

Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik

Gagal jantung kanan

BAB III
ILUSTRASI KASUS

15

Identitas Pasien
Nama

: Ny. A

Umur

: 50 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Masuk RS

: 04 November 15

Tgl periksa

: 04 November 2015

ANAMNESIS ( Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan anak kandung


pasien)
Keluhan utama
Sesak napas yang semakin memberat sejak 1 minggu smrs.
Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 6 bulan yang lalu smrs pasien merasakan sesak napas. Sesak
diperberat saat melakukan aktifitas. Sesak dipicu oleh cuaca. Jika sesak
datang, pasien lebih suka duduk agak membungkuk untuk menghilangkan
sesaknya.

Sejak 1 minggu smrs pasien merasakan sesak yang semakin memberat,


ditambah dengan nyeri dada kiri tidak menjalar.

Sejak 1 minggu smrs pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dengan


dahak kental berwarna kuning. Batuk dirasakan paling berat saat pagi hari
dan hilang apabila di bawa beristirahat. Batuk berdarah tidak ada.

Demam (+) keringat dingin (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Riwayat Asma (-)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat DM (-)

Riwayat TB dan minum obat selama 6 bulan (+)

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama

16

Riwayat Asma dan alergi (-)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat DM (-)

Riwayat TB dan minum obat selama 6 bulan (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:


-

pasien bekerja sebagai guru.

Riwayat merokok (-).

Pasien memasak menggunakan kayu bakar

Tidak pernah mengkonsumsi alkohol

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: komposmentis

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

HR

: 96 x/menit,

RR

: 28 kali/menit

Suhu

: 36,6 C

BB

: 45 kg

TB

: 155 cm

IMT

Kepala dan leher:


Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Mulut

: Pursed-lip breathing (+)

Leher

: Pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cm H2O

Paru :
Inspeksi

: Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding


dada seimbang.

Palpasi

: Vokal fremitus + / +

17

Perkusi

: Sonor hampir di seluruh lapangan paru

Auskultasi : vesicular (+/+), ronki (-/-), wheezing (+/+)


Jantung :
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung kanan : Linea parasternal dekstra SIK 5


Batas jantung kiri

Auskultasi

: 1 jari medial LMCS SIK 5

: S1 dan S2 normal, gallop (-), murmur (-)

Abdomen :
Inspeksi

: Perut datar, simetris kiri dan kanan. Distensi (-)

Auskutasi

: Bising usus (+) 13x/menit

Palpasi

: Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi

: Timpani

Ekstremitas :
Akral hangat, clubbing finger (-), CRT < 2 detik, edema (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hasil laboratorium tanggal 3 November 2015 :
Darah rutin
Hb

: 9,98 gr%

Leukosit

: 8.700 /mm3

Trombosit

: 443.000/mm3

Hematokrit : 29,9 vol%


LED

: 41/jamlkoi[0p

- Pemeriksaan Sputum (4 November 2015) :

18

BTA ()
- Foto Toraks PA

Hasil rontgen toraks didapatkan :

Posisi foto PA

Marker ada

Kekerasan foto cukup

Simetris kiri dan kanan

Trakea di tengah, deviasi (-)

Sudut costofrenikus kanan tumpul dan kiri lancip

Tampak sela iga melebar, diafragma letak rendah, jantung tampak menggantung.
Hiperlunsen pada kedua lapangan paru

CTR < 50%

RESUME :
Ny.A tahun, dirawat di RSUD AA dengan keluhan Sesak napas yang
semakin memberat sejak 7 hari SMRS. Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak

19

sejak lebih dari enam bulan yang lalu, sesak semakin memberat tujuh hari
sebelum masuk rumah sakit disertai nyeri dada kiri yang tidak menjalar, sesak di
perberat dengan aktivitas, dan sedikit berkurang dengan istirahat. Sesak dipicu
pajanan asap. Jika sesak, pasien lebih nyaman dengan posisi duduk daripada
berbaring. Batuk berdahak sejak 7 hari SMRS, dengan dahak kental berwarna
kuning kehijauan. Riwayat batuk darah (), Riwayat menggunakan OAT satu
tahun lalu. Pasien sering terpajan asap dari rokok suami dan memasak
menggunakan kompor kayu.
Dari pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis, TD 120/80 mmHg, TD 130/80 mmHg, HR 96 x/i, RR
28 x/i, suhu 36,6oC. Pada pemeriksaan penunjang rontgen toraks didapatkan sela
iga melebar, diafragma letak rendah, jantung tampak menggantung.
DIAGNOSIS
-

PPOK Eksaserbasi Akut Tipe Sedang (Tipe II)

DIAGNOSIS BANDING
-

Asma

TB
RENCANA PEMERIKSAAN
1. Spirometri
2. Uji Bronkodilator
3. Mikrobiologi sputum
RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
-

Istirahat (bed rest)

Hindari aktivitas yang berlebihan

Diet makanan bergizi

Farmakologi
-

O2 nasal kanul 4 L/menit

20

IVFD D5 18 tpm

Inh. Combiven : Pulmicort 3x/hr

Inj. Metilprednisolon 3 x 125 mg

Ceftazidime 2 x 1 g

Ambroxol tab 3 x 1

PEMBAHASAN

21

PPOK merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan


aliran udara yang bersifat persisten dan progresif. Pada pasien ini ditemukan
adanya keluhan sesak nafas yang bertambah berat seiring berjalannya waktu
(progresif dan kronik), perubahan warna sputum namun tidak ada peningkatan
volume sputum. Gejala sesak nafas sudah sering dirasakan pasien berulang-ulang
dalam 6 bulan terakhir dan disertai dengan batuk berdahak berwarna putih lalu
berubah menjadi kuning. Berdasarkan tipe dari gejala eksaserbasi akut pasien ini
diklasifikasikan eksaserbasi akut tipe sedang (tipe II). Pasien merupakan perokok
pasif karena sering terpapar asap rokok dari suami pasien dan juga pasien sering
terpapar asap dar kayu untuk memasak.
Sebagai perokok pasif, zat yang terkandung dalam asap rokok pada pasien
ini merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan suatu proses hipertrofi
kelenjar mukus

bronkial

dan meningkatkan produksi mukus

sehingga

menyebabkan batuk produktif, ditambah dengan adanya infeksi di parenkim paru


yang menyebabkan inflamasi dan hipereaktivitas bronkus yang semakin
meningkatkan kemungkinan terjadinya bronkitis. Pada bronkitis kronis perubahan
awal terjadi pada saluran udara yang kecil ditambah dengan terjadinya destruksi
jaringan paru disertai dilatasi rongga udara (emfisema), yang menyebakan
hilangnya elastic recoil, hiperinflasi, terperangkapnya udara sehingga terjadi sesak
nafas sebagai upaya untuk meningkatkan udara pernafasan. Batuk berdahak yang
berwarna kuning kehijauan menandai adanya infeksi sekunder oleh bakteri.
Infeksi sekunder mukosa oleh trakeobronkial akibat bakteri yang ditandai dengan
adanya batuk berdahak berwarna kuning dapat memicu terjadinya peradangan
lebih berat pada saluran pernapasan sehingga terjadi obtruksi mekanis selama
pernapasan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya eksaserbasi akut pada
pasien dengan peningkatan sesak selama bernapas.
Pada pemeriksaan didapatkan wheezing (+/+). Pada rontgen toraks
didapatkan sela iga melebar, diafragma letak rendah dan jantung tampak
menggantung. Hal ini memperkuat diagnosis PPOK pada pasien ini.

22

Daftar Pustaka

1. GOLD Inc. 2015. Global strategy for the diagnosis, management and
treatment.

23

2. Departemen Kesehatan. 2008. Pedoman pengendalian penyakit paru


obstruksi

kronik.

Keputusan

Menteri

kesehatan

Nomor:

1022/MENKES/SK/2008.
3. GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and
Prevantion.

Di

unduh

dari

URL:

http://www.goldcopd.com/guidelineitem.asp?11=2&12=1&intd=989
4. Agustin H, Yunus F. Proses metabolisme pada penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK). J Respir Indo. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia. 2008; 28(3): 155-60.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK ; Diagnosis dan
penatalaksanaan. Jakarta. Ed 2003
6. Rani AZ, Soegondo S, Nasir AUZ. Panduan pelayanan medik. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000; 105-7.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. 2010.
Diunduh dari: http://www.klikpdpi.com.
8. Price AS, Wilson CML. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit
volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006; 785-8.
9. Antariksa B, dkk. PPOK. Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. Jakarta.
2002
10. Salim EM, Hermansyah, Suyata. Standar profesi ilmu penyakit dalam.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2000; 117-9.
11.

24

Anda mungkin juga menyukai