DISPEPSIA ORGANIK
CITRA JULITA TARIGAN
Bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A.
psikis dan lingkungan bio-sosio- kulturil dan bahkan agama. Dengan demikian konsep
monokausal dari suatu penyakit sudah tidak dianut lagi (6) .
Pengetahuan tentang hubungan antara jiwa dan badan terus berkembang
sampai akhir abad ke dua puluh ini, baik melalui pendekatan psikoanalisa maupun
bukti- bukti yang didapat dengan hasil penelitian modern (6).
Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun hal tersebut merupakan gangguan
emosi, akan tetapi terdapat pula gangguan somatik (7) .
Pasien- pasien ini sering datang menghubungi dokter- dokter non psychiatrist
dengan keluhan somatiknya, yang paling sering mempengaruhi saraf pusat, saluran
pencernaan, kardiovaskuler, atau sistem muskuloskeletal (8) .
Wright mengatakan bahwa lebih dari 40 % pasien depresi, pada awalnya
muncul dengan ke luhan somatik dari pada simtom psikologi dan selalu tidak
bertingkah laku seperti pasien depresi (9).
Pasien- pasien depresi yang tidak diketahui ini, dikatakan kurang
mengeluhkan keadaan depresinya, tetapi dengan keluhan penyakit- penyakit fisik
akan memperberat depresinya (9). Whilist mengatakan mereka menutupi depresinya
dengan banyaknya keluhan- keluhan somatiknya (9). Yang harus kita pikirkan pada
pasien-pasien dengan keluhan tersebut adalah :
a. Masalah mungkin murni psikis yang diekspresikannya.
a. Mungkin ada sedikit kelainan organik yang bertumpang tindih dengan faktor
psikis.
a. Beberapa pasien yang jelas ada kelainan organik, mungkin memiliki sedikit
masalah psikis (15).
Diagnosis depresi dibuat dengan menegakkan tidak dijumpainya gangguan organik
yang menjelaskan keluhan fisik dan didapatinya tanda- tanda vegetatif yang selalu
dijumpai pada pasien depresi (8).
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Pada praktek kedokteran umum sering ditemukan kasus depresi dengan
berbagai manisfestasi (3). Tidak jarang mereka datang denga n berbagai keluhan fisik
(somatis), seperti sakit kepala, nafsu makan hilang, letih, lesu, tidak bersemangat,
konstipasi, nausea, jantung berdebar- debar, kurang konsentrasi, sukar tidur dan
sebagainya (10,12,14). Bila diadakan pemeriksaan lebih lanjut, biasanya keluhan
tersebut jarang sekali disertai penemuan kelainan organik (3,12 ).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Johnsen R, dan kawan-kawan terhadap
pasien dispepsia non ulkus dan ulkus peptik melaporkan bahwa ulkus peptik dan
dispepsia non ulkus sangat berbeda hubungannya dengan psikologi, sosial,
kebiasaan hidup dan diet. Ulkus peptik berhubungan dengan usia, riwayat keluarga
menderita ulkus dan merokok (16,18). Kebalikannya pada dispepsia non ulkus
menunjukkan hubungan dengan faktor psikologi dan kondisi- kondisi sosial.
Perbedaan diantara dispepsia ulkus dan dispepsia non ulkus, mungkin pada etiologi,
oleh karena itu secara klinis yang bermakna, disebutkan pengobatan pada pasien
dispepsia nonulkus berbeda dari pengobatan dispepsia dengan ulkus yang tradisional
(16)
.
Demikian juga Haug TT, dan kawan-kawannya yang membandingkan
peristiwa- peristiwa dalam kehidupan dan stress pada pasien dispepsia fungsional dan
pasien
ulkus
yang
diteliti
dimana
sebelumnya
pasien- pasien
tersebut
mengalamiperistiwa- peristiwa ketegangan (stress) dalam kehidupan selama 6 bulan
sebelumnya. Ditemukan pasien- pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai
tingkat yang lebih tinggi keadaan kecemasannya, psikopathologi, depresi dan
keluhan somatik yang berbeda- beda ( lebih somatisas i) daripada pasien dispepsia
dengan ulkus (16,17,18). Dan mereka juga merasa kurang puas terhadap pelayanan
F. KERANGKA KERJA
Poliklinik Sub Bagian Gastroenterologi
RSU H.Adam Malik Medan
Dispepsia
Endoskopi
PPDGJ III
Depresi (- )
PPDGJ III
Depresi (+)
Depresi (- )
Skala HDRS
Hasil Score / penilaian HSDRS 1
Terapi konvensional 2 minggu
Skala HDRS
Depresi (+)
Skala HDRS
Hasil Score/penilaian HSDRS 1
Terapi konvensional 2 minggu
Skala HDRS
Catatan : Terapi konvensional ialah terapi dengan obat antasida dan antagonis
resptor H2 (ARH 2)
G. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif. Metode deskriptif bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenal fakta- fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki (24) .
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran depresi pada pasien
dispepsia fungsional dan dispepsia organik.
H. LOKASI DAN JADWAL PENELITIAN
Penelitian
dilakukan
dipoliklinik
Penyakit
Dalam
sub.
bagian
Gastroenterologhepatologi
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
dimulai 1 Pebruari sampai dengan 30 Juni 2001.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Secara historis kata dispepsia berasal dari kata dus (=bad) dan peption (=to
digest). Gabungan kedua kata tersebut
ialah dispepsia (= indigestion; berarti
gangguan pencernaan) (1,2,4). Defenisi yang sampai saat ini disepakati para pakar di
bidang gastroenterohepatologi ialah sebagai berikut :
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan / gejala klinis (sindrom) yang terdiri ; rasa
tidak enak / sakit perut di bagian atas yang disertai dengan keluhan lain, perasaan
panas di dada, daerah jantung (heart burn), regurgitasi, kembung, perut terasa
penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa ke luhan
lain (1,2,,24).
Dispepsia berdasarkan atas ada tidaknya penyebab dibagi menjadi : dispepsia
organik dan dispepsia fungsional (1,2,4,5).
Suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau jaringan saja tetapi terletak
pada organisme yang hidup dan kehidupan tidak ditentukan oleh faktor biologis
semata tetapi erat sekali hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan yaitu
lingkungan bio- sosio-kulturil dan agama (6,7). Faktor- faktor biologis (somatis), psikis
dan lingkungan masing- masing mempunyai interrelasi dan interaksi yang dinamis
dan terus menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat ketiganya dalam
keadaan seimbang. Jika ada gangguan dalam satu segi saja akan mempengaruhi
pada segi yang lain demikian pula sebaliknya (6,7). Inilah sebabnya depresi walaupun
sebagai gangguan emosi, terdapat pula gangguan somatik (6,7).
A. DISPEPSIA
1. Definisi
Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang tidak jelas penyebabnya atau
dispepsia yang tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan gastroenterohepatologi
konvensional. (1,2,4,5).
Ulkus peptikum adalah merupakan diskontinuitas permukaan dari mukosa
gastrointestinal yang terbatas, yang disebabkan ketidak seimbangan tekanan asam
lambung dan pepsin. (23)
2. Epidemiologi
Pada dispepsia fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh
karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus keganasan, sedangkan dispepsia
fungsional diatas 20 tahun (3,5). Begitu pula wanita lebih sering dari pada laki- laki (5).
Pada ulkus peptik perbandingan laki- laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus
meningkat pada usia pertengahan (22). Penyakit ulkus memperlihatkan interaksi
kompleks dari berbagai faktor lingkungan dan genetik yang menghasilkan penyakit ;
a. Genetik dan faktor yang berhubungan dengan penyakit.
Insiden akan meningkat pada keadaan :
Sanak keluarga tingkat pertama dari penderita, peningkatannya 3 kali lebih
besar.
Penderita ulkus yang kembar meningkat 3 kali lebih besar.
Golongan darah O, meningkat 30 %
b. Perokok : Merokok berkaitan dengan peninggian frekuensi ulkus 33- 110 %
dibandingkan dengan yang tidak merokok.
c . Aspirin : Penggunaan yang kronis meningkatkan insiden ulkus
d. Obat anti peradangan non steroid :
Obat - obat seperti indometasin, ibuprofen dan lain-lain, menyebabkan perubahan
mekanisme pertahanan lambung.
e. Kopi dan alkohol
Kafein yang terkandung dalam kopi merupakan stimulan kuat dari sekresi asam,
seperti susu, bir dan minuman ringan.
f. Kortikosteroid :
Sifat ulserogenik dari kortikosteroid secara umum masih kontroversial
G. Stress
Peran stress dan tipe personal masih kontroversial, meskipun beberapa penelitian
menghubungkan pepsinogen serum yang tinggi.
Dasar patofisiologi dispepsia fungsional adalah sangat kompleks dan belum
dapat dipastikan. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan antara lain :
a.
Dismotilitas lambung : perlambatan dari masa pengosongan lambung dan
gangguan motilitas lain, seperti abnormalitas kontraksi, abnormalitas
mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. (1,2,3,21,22)
b.
Asam lambung : dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hyposekresi.
(1,2,21)
c.
pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan
pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum.
(2,5,22)
Diikuti dengan USG (Ultra Sono Graphy) dapat mengungkapkan kelainan pada
saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan
perubahan anatomis (2,5,22)
Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan
penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier.
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor (2,22).
B. DEPRESI
Depresi telah lama dikenal, sejak zaman Hippocrates, yang menyebutkannya
melancholi (10,11). Gejala- gejala depresi yang dikemukakan sejak zaman Hippocrates
sampai sekarang tidak atau sedikit sekali perubahan dari gambaran klinisnya (10).
Sering sekali yang menonjol adalah gejala somatiknya, misalnya sakit kepala.
Keluhan somatik lainnya pada penderita depresi dapat mempengaruhi seluruh tubuh,
misalnya pada saluran pencernaan, mulut kering, perut tersa kembung, dan nyeri
ulu hati, perut terasa kejang. (9,10,13,15)
1. Definisi.
Depresi adalah suatu perasaan kesedihan yang psikopatologis. Yang disertai
perasaan yang sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang
menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah
bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas (10,12,26). Depresi dapat merupakan
suatu gejala, atau kumpulan gejala (sindroma), dan dapat pula suatu kesatuan
penyakit nosologik. (10,12)
2. Epidemiologi.
Depresi adalah satu dari penyakit yang sering dijumpai tidak hanya oleh
psikiater, tetapi juga oleh dokter- dokter umum (11). Diperkirakan prevalensi seumur
hidup kira- kira 15 %, dan kemungkinan wanita sekitar 25 %. (12)
3. Etiologi.
Dasar penyebab yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk mengetahui
penyebab dari gangguan ini (12) . Faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab
dapat dibagi atas : faktor biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana
ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (12).
a. Faktor biologi :
1). Faktor neurotransmitter :
Dari
biogenik
amin,
norepinefrin
dan
serotonin
merupakan
dua
neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
(12,25).
10
memiliki informasi dengan hubungan neural dari pusat yang lebih tinggi, dalam
mempengaruhi sensasi gastrointestinal, pergerakan, sekresi dan peradangan.
Sebaliknya efek viscerotropik ( contoh noieception) mempengaruhi balik persepsi
rasa sakit pusat, mood, dan tingkah laku. (28)
Gangguan yang timbul sebagai akibat pengaruh luar (infeksi, intoksikasi,
trauma, konflik psikis) akan mempengaruhi sistem saraf vegetatif otonomik dalam
mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap perubahan
perubahan yang disebabkan oleh gangguan tersebut. (29)
Anatomi sistem saraf otonomi vegetative terdiri dari : sentra vegetatif di
cortex Mesensefalon dan diensefalon inti vegetative di Medula oblongata
Medula spinalis ganglion simpatis dan parasimpatis organ ferifer di seluruh
badan. (31)
Cortex
Cerebri
Farmatio
Retikularis
Limbik
Extrinsic
emosi
pikiran
Hipofise / Hypothalamus
Simpatik
Pituitary
S.S. Otonom
Adrenal
Organ
perifer
Parasimpatik
Organ
Perifer
(30)
Organ viscera menerima dua macam suplai otonom. Pada sebahagian kasus,
dimana terdapat dua macam suplai saraf, kerja kedua bagian (simpatetik dan
parasimpatetik) mungkin tidak bersifat antagonist. Klasifikasi neuron-neuron
postganglionik otonom sebagai adrenergik atau cholinergik lebih berguna secara
klinik dan fungsional daripada klasifikasi sebagai simpatetik atau parasimpatetik.
Kebanyakan (namun tidak semuanya) elemen postganglionik simpatetik ialah
11
12
3. Hypersensitifitas visceral.
Nyeri abnomen pada penelitian akhir- akhir ini dijelaskan berhubungan dengan
sensasi visceral yang abnormal (= hypersensitifitas visceral). (29) Pasien mungkin
mempunyai ambang nyeri yang rendah, yang dibuktikan dengan percobaan
peregangan balon pada saluran pencernaan (hyperalgesia visceral) (29) . Peningkatan
gangguan somatik yang menyebab kan nyeri visceral pada gangguan fungsional
berhubungan dengan :
a. Perubahan sensitifitas pada viscus
b. Peningkatan perangsangan spinal cord dorsal neuron.
c . Perubahan modulasi sensasi sentra
Namun masih belum jelas hubungan hipersensitifitas
gangguan fungsional gastrointestinal (29)
visceral
dengan
4. Nyeri abnormal.
Nyeri abdominal sering dijumpai bergabung dengan gangguan pencernaan.
Pasien tersebut sering melaporkan sedang menghadapi ketegangan-ketegangan
dalam kehidupan terlebih dahulu sebelum timbul simt o m- simtomnya, dan sering
mendapatkan prevalensi yang tinggi dan berulang- ulangnya penyakit psikiatri
terutama depresi dan cemas (28,29,32). Kejadian-kejadian ketegangan dalam
kehidupan dan simptom psikiatrik, terutama depresi, akan mempengaruhi pasienpasien nyeri abdomen untuk mendapatkan pengobatan (28,32) . Depresi akan
mengubah pergerakan usus yang akan menimbulkan perasaan nyeri yang
berlebihan, lagi pula depresi memperkuat perasaan nyeri dan meningkatkan usaha
untuk mencari pengobatan mengurangi rasa nyeri (32).
Pada pertengahan abad 20, penelitian oleh Stewart Wolf dan Harold Wolf,
Sidey Margolin dan Gerge engel yang meneliti mukosa lambung, dengan
memperhatikan pada fungsi lambung terhadap emosional dan prilaku dalam periode
yang lama. Dengan mudah dijumpai penurunan sekresi lambung dan motilitas
(pergerakan) lambung mukosa menjadi pucat yang berhubungan dengan rasa takut,
cemas serta depresi. (37)
D. PENATALAKSANAAN.
1. Penatalaksanaan Secara Umum
Secara umum, aspek yang terpenting dalam pengobatan adalah hubungan
yang baik antara dokter dan pasien (patient - physician - relationship). (3). Simtomsimtom cendrung menjadi kronis dan ditandai dengan periode yang berulang- ulang
dan remisi. (3) Dengan menenangkan pasien (re assurance) dan memberikan
penjelasan adalah sangat penting (3), dimana patogenesis dispepsia fungsional
maupun dispepsia organik harus diterangkan pada pasien (3,21) .
13
untuk
faktor- faktor
yang
akan
3. Obat-obatan
Obat-obatan yang sering dipakai antara lain :
a. Antasida : Golongan ini banyak jenisnya dan mudah didapat, pemakaian obat
ini cendrung ke arah simptomatik. Pemakaian obat ini jangan terus menerus
dan harus diperhatikan efek sampingnya serta penyakit lain yang diderita
oleh pasien. (3-5,21,22)
b. Anti Kolinergik : Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini
tidak begitu selektif. (4,22)
c. Antagonis reseptor H2 : Golongan obat ini antara lain : simetidin, ranitidine;
famotidin, roksatidin, nizatidin, dan lain- lain. Pemakaiannya lebih banyak ke
arah kausal disamping bersifat simtomatik. Sebaiknya diberikan pada
organik dan ulkus. (3-5,22)
d. Penghambat pompa asam : Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan
saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan asam lambung.
Dengan berkembangnya penemuan etiologi ulkus peptikum khususnya ulkus
duodeni yaitu didapatkan helikobakter pylori, penggunaan obat penghambat
pompa ini dengan kombinasi antibiotik dan metronidazol memberikan hasil
yang cukup memuaskan. (4,22)
e. Prokinetik : Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dispepsia
yang disertai disebabkan gangguan motilitas. Jenis obat ini antara lain
metoklopamid, dompreridon, dan cisapride. ( 4,21,22)
f. Golongan lain : Yaitu obat- obat seperti sukraflat, bismuth subsitrat. Golongan
ini mempunyai efek melenyapkan helikobakter pylori . (4,5,21,22)
g. Psikofarmakoterapi :
Terapi ini khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia fungsional,
memberi hasil yang cukup memuaskan terutama untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala / keluhan. Pada kasus ini terapi dengan anti depresan
atau anti anxietas dapat membantu mengurangi gejala klinis . (4,21)
Preparat dan dosis antidepresan :
a. Siklik antidepresan :
Antidepresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine dan
memiliki sedikit kegunaan sejak tahun 1950.
Trisiklik seperti : amitriptiline, imipramine, trimipramine dan dispramine,
dengan dosis 150 300 mg/hari (8,35). Amoxapine dan trazodone dosis
efektif secara klinis : 150 600 mg/hari (32). Efek amping yang sering
dijumpai : sedasi, mulut kering, konstipasi dan hipotensi postural. (8,35)
b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)
MAOI memiliki kekurangan, dimana pasien harus melakukan diet bebas
tiramine, untuk menghindari krisis hipertensi, yang disebut reaksi keju
(chese rection). (8,35)
Moclobemide (Reversible MAOI =RIMA) dapat menghindari beberapa
masalah yang dimiliki MAOI yang lainnya (8,35).
C. Selective Serotonin re - uptake inhibitors (SSRI)
Y ang termasuk SSRI adalah : fluoxetin, fluvoxamine, sentraline,
citalopram dan paraxetine. (13,34) Dosis fluoxetin 20- 80 mg/hari, sentraline
50- 200mg/hari. (35)
14
4. Psikoterapi
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek : terapi kognitif, terapi interpersonal,
dan terapi perilaku yang telah diteliti manfaatnya dalam pengobatan gangguan
depresi mayor. (12)
Harold G.K, dan kawan-kawan dalam penelitiannya memperoleh kesimpulan,
bahwa psikoterapi psikoreligius dapat mempersingkat masa remisi pada pasien
pasien depres i dengan penyakit- penyakit medis yang dirawat di rumah sakit (36).
E. LIAISON PSIKIATRI
Liaison psikiatri merupakan bidang keahlian khusus, yang bekerja sebagai
bagian dari team multidisipliner di rumah sakit, termasuk staff perawat, pekerja pekerja sosial, terapis dalam pekerjaan, dan psikolog. (37)
Walaupun rumah sakit umum tertuju pada penyakit-penyakit fisik, namun hampir
semua penyakit pada umumnya mempunyai aspek psikologi dan sosial. Diatas 40 %
pasien memiliki kecemasan atau gangguan depresi, yang mengganggu kualitas
hidup, memperlambat penyembuhan, dan peningkatan perubahan problema perilaku
sakit. (37,38)
Konsultasi Psikiatri adalah mengajukan opini diagnosis dan saran penanganan
sehubungan dengan keadaan mental pasien dan tingkah lakunya untuk memenuhi
permintaan dari profesi kesehatan lain. (37,38)
Liaison merujuk kepada membantu perkembangan suatu hubungan antar
kelompok untuk tujuan kerjasama yang efektif. Untuk psikiatri, konsultasi liaison ini
berarti menjadi media antara pasien dengan team klinisi, antara kesehatan jiwa
dengan psofesi kesehatan lain, menjelaskan sikap dari pasien, mempersiapkan
tenaga kesehatan dalam usaha menjaga komunikasi dan kerjasama untuk
menghilangkan konflik. (37)
Alat bantu yang dimiliki konsultasi Liaison untuk membuat diagnosis adalah
wawancara dan observasi klinik secara serial. (37,38)
Tujuan diagnosis adalah mengenal gangguan mental dan respon psikologis
terhadap penyakit fisik, mengenal gambaran kepribadian pasien dan mengetahui
tehnik mengatasi masalah yang khas dari pasien dalam membuat rekomendasi
intervensi pengobatan yang paling sesuai dengan keinginan pasien. (37,38)
Prinsip konsultasi Liaison psikiatri dalam pengobatan medical adalah analisa
secara lengkap dari respon pasien terhadap penyakit psikiatri jika ada.
Tantangan bagi dokter dan Liaison psikiatri adalah menemukan jalan yang
lebih efektif untuk menyingkirkan penyebab organik dengan sedikit pemeriksaan dan
penanganannya. (37)
Dengan perkataan lain, keuntungan liaison psikiatri dalam penganganan
pasien-pasien secara menyeluruh baik fisik dan psikologi adalah :
1. memerlukan waktu yang sedikit untuk pemeriksaan
2. memperpendek lamanya pasien dirawat
3. memperbaiki kualitas hidup
4. mengurangi ketegangan, termasuk anxietas dan depresi
5. mengurangi hal-hal yang merugikan diri sendiri. (37)
F. KESIMPULAN
Dispepsia merupakan perasaan tidak enak diperut bagian atas yang bersifat
menetap atau berulang, dapat berhubungan atau tanpa berhubungan dengan
makanan, dan bersifat kronik bila berlangsung lebih dari tiga bulan.
Dispepsia merupakan kumpulan gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang disertai keluhan lain, perasaan panas didada
daerah jantung (heart burn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat
kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah dan beberapa keluhan lainnya.
15
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif untuk
melihat perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik
dalam hal ini ulkus. Selanjutnya, penelitian ini juga ingin mengetahui seberapa besar
derajat keparahan depresi yang terjadi.
Cara pelaksanaannya yakni :
Subjek yang diambil secara random dan dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok dispepsia fungsional dan dispepsia organik.
16
17
7.1. Data dasar yang didapat dalam formulir tiap penderita dikelompokkan dan
ditabulasi kedalam tabel-tabel menurut jenisnya.
7.2. Dari sampel yang ada yakni penderita dispepsia fungsional dan dispepsia
organik ditegakkan depresinya berdasarkan PPDGJ III, dan dihitung
ting katan depresinya dengan menggunakan HDRS, dan dilakukan
perhitungan perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan
dispepsia organik dengan menggunakan uji statistik Chi- square.
Hipotesa nul yaitu tidak ada perbedaan depresi pada kelompok penderit a
dispepsia fungsional dan dispepsia organik (ulkus). Hipotesa alternatif
yaitu ada perbedaan depresi pada kelompok penderita dispepsia
fungsional dan kelompok dispepsia organik (ulkus).
7.3. Pada setiap penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang
depresi diberikan pengobatan yakni pemberian antasida dan antagonis
reseptor H2 selama 2 minggu.
7.4. Pasien depresi yang diberikan pengobatan selama dua minggu, dihitung
kembali HDRS nya.
7.5. Analisa Data.
a. Untuk melihat perbedaan depresi pada pende rita dispepsia digunakan uji
chi-square dengan rumus (40)
N (ad cb) 2
2
X =
(a+b) (c+d)(a+c)(b+d)
b. Pada uji chi-square jika didapat sel dalam tabel ada nilai yang lebih kecil
dari 5 harus digunakan Yates correction (40)
2
X =
{[(ad-cb)-N/2}]2 N
(a+b) (c+d)(a+c)(b+d)
BAB IV
HASIL PENELITAIN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Data-data dari hasil penelitian yang didapat ini, kemudian dideskripsikan. Dan
beberapa dari data- data itu dikumpulkan menurut jenisnya yang kemudian
ditabulasikan menurut karakteristiknya dan disesuaikan dengan batasan masalah
yang telah dikemukakan. Berikut ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian.
Kelompok penderita dispepsia fungsional yang diteliti selama 1 Februari
sampai 30 Juni 2001, yang memenuhi persyaratan didalam penelitian sebanyak 22
orang, terdiri dari laki- laki 9 orang dan perempuan 13 orang. Pada kelompok
penderita dispepsia organik (ulkus) 22 orang terdiri dari laki- laki 15 orang dan
perempuan 7 orang.
18
Tabel 1. Distribusi jenis kelamin pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok
dispepsia organik (ulkus).
Jenis
Dispepsia Fungsional
Dispepsia Organik
Kelamin
Laki- laki
40.9
15
68,2
Perempuan
13
59,1
31,8
Total
22
100
22
100
Pada tabel 1, distribusi jenis kelamin penderita dispepsia fungsional dan dispepsia
organik (ulkus). Didapatkan penderita dispepsia fungsional laki- laki sebanyak : 9
orang (40,9 %), wanita sebanyak : 13 orang (59,1 %).
Sedangkan penderita dispepsia organik (ulkus), laki- laki sebanyak 15 orang
(68,2%), perempuan sebanyak 7 orang (31,8%).
Tabel 2. Karakteristik umur pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok
dispepsia organik (ulkus).
NO
Umur
Dispepsia Fungsional
Dispepsia Organik
(tahun)
- 25
9,2
4,1
26 35
11
50,0
36,4
36 45
40,9
36,4
46
22,7
22
100
22
100
Total
Pada tabel 2 diatas dapat dilihat pada kelompok dispepsia fiungsional pada
umur 25 tahun 2 orang (9,1 %), 26 35 tahun 11 orang (50 %), 36 45 tahun 9
orang (40,9 %) diatas 46 tahun tidak dujumpai. Pada kelompok dispepsia organik,
pada umur 25 tahun 1 orang (4,1 %), 26 35 tahun 8 orang (36,4 %), 36 45
tahun 8 orang (36,4 %), diatas 45 tahun 5 orang (22,7 %).
Tebel 3. Karakteristik Status Perkawinan pada kelompok dispepsia fungsional dan
kelompok dispepsia organik (ulkus)
NO
Dispepsia Fungsional
Status
Dispepsia Organik
Belum Kawin
4,5
9,1
Kawin
21
95,5
20
90,9
22
100
22
100
Total
19
Tabel 4.
NO
Agama
Dispepsia Organik
Islam
10
45,5
13,6
Kristen
12
54,5
18
81,8
Budha
4,5
22
100
22
100
Total
NO
Suku
Dispepsia Organik
Batak
10
45,5
16
72,7
Karo
27,3
13,6
Nias
4,5
Jawa
18,2
4,5
Mandailing
4,5
Melayu
4,5
Cina
4,5
22
100
22
100
Total
Pada tabel 5, dapat dilihat karakteristik distribusi suku bangsa pada kelompok
dispepsia fungsional suku Batak 10 orang (45.5 %) dan suku Karo 6 orang (27,3 %)
suku Jawa 4 orang (18,2 %) suku Mandailing 1 orang (4,5 %) dan Melayu 1 orang
(4,5 %). Pada kelompok dispepsia organik, suku Batak 16 orang (72,7 %) dan suku
Karo 3 orang ( 13,6 %) suku Nias 1 orang (4,5 %) suku Jawa 1 orang (4,5 %) dan
Cina 1 orang (4,5 %).
20
Tabel 6. Karakteristik distrib usi jenis pekerjaan pada kelompok dispepsia fungsional
dan kelompok dispepsia organik (Ulkus)
Dispepsia Fungsional
NO
Pekerjaan
Dispepsia Organik
40,9
18,2
PNS
27,3
10
45,5
Wiraswasta
27,3
31,8,
Bertani
4,5
Mahasiswa
4,5
22
100
22
100
Total
NO
Pendidikan
Dispepsia Organik
SD
9,1
9,1
SLTP
27,3
22,7
SLTA
27,7
10
45,5
Akademi
4,5
Sarjana
36,4
22,7
22
100
22
100
Total
21
Depesi
Depresi
Tidak
Total
Dispeps ia Organik
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
14
63,6
14
63,6
36,4
4,6
36,4
36,4
14
63,6
21
95,4
22
100
22
100
22
100
22
100
Depesi
Dispepsia
Fungsional
Sebelum
Pengobatan
Ringan
Sedang
Berat
Dispepsia
Organik
Sesudah Pengobatan
Ringan
Sedang
Berat
Tidak
Ringan
Sedang
Berat
22
Depresi
Dispepsis
Dispepsia
fungsional
organik
Total
1.
Depresi
14
22
2.
Tidak Depresi
Total
8
22
14
22
22
44
Keterangan : df = 1
X2 tabel = 3,841
Tingkat kemaknaan p [ 0,05
X2 hitungan = 0,025
X2 tabel X2 Hitungan
Maka H0 diterima; tidak ada perubahan depresi pada dispepsia fungsional dan
dispepsia organik.
Tabel 11. Perbedaan pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah
pengobatan
No
Depresi
Dispepsis
Dispepsia
fungsional
organik
Total
1.
Depresi
14
15
2.
Tidak Depresi
Total
8
22
21
22
29
44
Keterangan df = 1
X2 tabel = 3,841
Tingkat Kemaknaan p [ 0,05
Dengan uji statistik Yates correction.
Dijumpai X2 Hitungan = 14,56
Berarti X2 tabel X2 Hitungan
Ho ditolak, sehingga Ha diterima.
Bilamana Ha diterima, maka dijumpai adanya perbedaan bermakna depresi pada
dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan, yaitu terutama pada
dispepsia organik.
B. PEMBAHASAN
Tujuan penelitian ini seperti disebutkan dalam bab pendahuluan adalah untuk
melihat jumlah pasien depresi pada penderita dispepsia fungsional dan organik
(ulkus), dan melihat perbedaan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan
dispepsia organik. Juga melihat pengaruh pengobatan konvensional pada penderita
dispepsia fungsional dan dispepsia organik,dimana pada dispepsia fungsional sedikit
atau tidak mempengaruhi tingkat depresi, sehingga pada penderita dispepsia
fungsional memerlukan pendekatan psikopatologinya.
Pada tabel 1 dapat dilihat dari 22 orang pasien dispepsia fungsional yang ikut
dalam penelitian ini, ternyata sebahagian besar adalah perempuan 13 orang (59,1
23
%) dan laki-laki 9 orang (40,9 %). Hal ini sesuai dengan literatur, perempuan lebih
sering menderita dispepsia fungsional dari pada laki- laki. (5)
Dan dari 22 orang dispepsia organik (ulkus) didapati 15 orang (68,2 %)laki- laki dan
7 orang (31,8 %) perempuan. Dan berdasarkan literatur dinyatakan perbandingan
laki- laki dan perempuan pada ulkus 2 : 1. (22)
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pasien dispepsia fungsional, kelompok
umur 26 35 tahun lebih banyak (50,0 %). Dan pada pasien dispepsia organik
(ulkus) kelompok umur 26 35 dan 36 45 tahun rata rata sebanyak 36,4 %.
Pada tabel 3 dapat dilihat pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia
organik sering diderita pada kelompok yang sudah kawin yaitu pada dispepsia
fungsional 95,5 % dan pada dispepsia organik (ulkus) 90,9 %.
Pada tabel 4 dapat dilihat distribusi agama pada pasien dispepsia fungsional,
Islam 45,5 %, Kristen 54,5 %. Dan pada pasien dispepsia organik (ulkus) Islam 13,6
%, Kristen 81,8 %, dan Budha 4,5 %.
Pada tabel 5 dapat dilihat berdasarkan suku, pasien dispepsia fungsional
terdapat pada kelompok suku Batak (45,5 %), suku Karo 27,3 %, suku Jawa 18,2
%, suku Mandailing dan suku Melayu masing- masing 4,5 %.
Pada pasien dispepsia organik (ulkus) suku Batak (72,8 %), suku Karo 13,7 %,
suku Nias 18,2 %, suku Jawa dan Cina masing- masing 4,5 %.
Pada tabel 6 dapat dilihat berdasarkan jenis pekerjaan pada dispepsia
fungsional dijumpai ibu rumah tangga sebanyak 40,9 %, dan Pegawai Negeri,
Wiraswasta sebanyak 27,3 %, dan mahasiswa sebanyak 4,5 %. Dan pada dispepsia
organik (ulkus) dijumpai Pegawai Negeri sebanyak 45,5 %, Wiraswasta sebanyak
31,8%, ibu rumah tangga sebanyak 18,2% dan petani sebanyak 4,5%.
Pada tabel 7 dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan pada penderita
dispepsia fungsional, tingkat pendidikan sarjana terbanyak yakni 36,4 %, setelah itu
SLTP 27,3 %, dan SD 9,1 %, dan Akademi sebanyak 4,5 %. Pada penderita
dispepsia organik (ulkus) tingkat pendidikan SLTA terbanyak yakni 45,5 %, setelah
itu SLTP dan sarjana masing- masing 22,7 %, dan SD 9,1 %.
Pada tabel 8 dapat dilihat penderita dispepsia fungsional yang depresi sebelum
pengobatan dan sesudah pengobatan 63,3 %, dan yang tidak depresi sebelum dan
sesudah pengobatan 36,4 %. Pada penderita dispepsia organik (ulkus) sebelum
pengobatan yang depresi sebanyak 36,4 %, yang tidak depresi sebanyak 63,6 %.
Dan setelah pengobatan sebanyak 95,4 %. Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa
jumlah pasien dispepsia fungsional yang depresi sebelum dan sesudah pengobatan
lebih banyak dari pasien dispepsia organik (ulkus). Dan jumlah penderita dispepsia
organik yang depresi sesudah pengobatan mengalami penurunan jumlah dari 36,4 %
menjadi 4,6 %.
Dari tabel ini dapat kita lihat bahwa dispepsia fungsional jumlahnya lebih
banyak dari dispepsia organik (ulkus). Hal ini sesuai dengan literatur dispepsia
fungsional lebih depresi (2,20,21). Dan juga dapat dilihat pengobatan pada pasien
dispepsia fungsional tidak mempengaruhi jumlah penderita depresi, sedangkan pada
pasien dispepsia organik (ulkus) terdapat penurunan jumlah yang depresi setelah
pengobatan.
Pada tabel 9 dapat dilihat perubahan tingkat depresi pada pasien dispepsia
fungsional sebelum dan setelah pengobatan, dari tingkat berat (5 orang). Setelah
pengobatan menjadi sedang (3 orang) dan tetap pada tingkatan berat (2 orang).
Dari tingkat sedang (4 orang) berubah menjadi tingkat ringan (2 orang) dan tetap
pada tingkat sedang (2 orang). Dari tingkat
depresi berat (5 orang) setelah
pengobatan tetap pada tingkat berat.
Sedangkan dispepsia organik (ulkus), pada tingkatan depresi ringan (3 orang)
tingkat sedang (4 orang) setelah mendapat pengobatan menjadi tidak depresi. Dan
dari tingkat berat (1 orang) setelah pengobatan berubah menjadi tingkat sedang.
24
BAB V
PENGUJIAN HIPOTESIS
A. HIPOTESIS
1. Hipotesis Nul
a. Tidak ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia
organik.
b. Ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia
organik.
2. Hipotesis alternatif
Ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik.
B. PENUNJANG
Jumlah penderita dispepsia fungsional yang ikut dalam penelitian : 22 orang.
Dan penderita dispepsia organik : 22 orang. Penderita dispepsia fungsional yang
depresi: 14 orang (63,6 %) dan yang tidak depresi 8 orang (36,4 %). Penderita
dispepsia organik yang depresi 8 orang (36,4 %) dan yang tidak depresi 14 orang
(63,6 %). Penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang depresi diberi
pengobatan. Dan dengan perhit ungan statistik test uji chi-square ditemukan adanya
perbedaan depresi setelah pengobatan pada dispepsia organik dan dispepsia
fungsional.
Data-data dari hasil penelitian yang didapat ini, kemudian dideskripsikan. Dan
beberapa dari data- data itu dikumpulkan menurut jenisnya yang kemudian ditabulasi
25
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan masing- masing penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan
kaitan keseluruhan dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
A. KESIMPULAN UMUM
1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi : 14
orang (63,6 %), dan pada kelompok dispepsia organik : 8 orang (36,4 %).
2. Dari hasil penelitian pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia
organik mengalami perubahan depresi setelah pengobatan.
B. KESIMPULAN KHUSUS
1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi
sebanyak 14 orang, terdapat 5 orang yang mengalami depresi ringan, 4
orang
mengalami depresi sedang dan 5 orang depresi berat
sebelum
pengobatan. Pada dispepsia organik yang mengalami depresi sebanyak 8
orang, 3 orang mengalami depresi ringan, 4 orang depresi sedang dan 1
orang depresi berat sebelum pengobatan.
2. Penurunan tingkat depresi pada penderita dispepsia fungsional (sebelum
pengobatan dan sesudah pengobatan) dijumpai sebagai berikut .
a. Dari tingkat depresi ringan = 5 orang . Tetap
b. Dari tingkat depresi sedang = 4 orang menjadi depresi ringan 2
orang dan tetap 2 orang
c . Dari tingkat depresi berat = 5 orang menjadi depresi sedang = 3
orang dan tetap = 2 orang
Pada penderita dispepsia organik .
a. Dari tingkat depresi ringan (3 orang ) menjadi tidak depresi.
b. Dari tingkat depresi sedang (4 orang ) menjadi tidak depresi.
c . Dari tingkat depresi berat (1 orang ) menjadi depresi sedang.
C. SARAN
Pada penelitian ini dapat dilihat baik pada penderita dispepsia fungsional
maupun dispepsia organik ada yang mengalami depresi dengan tingkatan yang
bervariasi ringan, sedang dan berat. Penderita dispepsia fungsional yang mengalami
depresi lebih banyak dari pada dispepsia organik.
Hal ini menjadi perhatian yang khusus bagi gastroenterohepatologis untuk
lebih memperhatikan adanya hubungan gangguan somatik, psikis dan lingkungan
bio- sosio - kulturil dan agama. Sehingga perlu kerja sama dengan disiplin ilmu yang
terkait dalam penanganan kasus- kasus dispepsia baik organik maupun fungsional.
Pengobatan konvensional yang diberi pada penderita dispepsia fungsional dan
dispepsia organik yang mengalami depresi dapat merubah tingkatan depresinya.
Namun pada dispepsia fungsional perubahan tingkat depresi ma sih belum maksimal.
26
BAB VII
RINGKASAN
Telah dilakukan penelitian melalui pendekatan ilmu jiwa dan penyakit dalam
sub bagian gastroenterologi, yang dilakukan terhadap 22 orang penderita dispepsia
fungsional dan 22 orang penderita dispepsia organik yang berobat jalan di poliklinik
sub bagian gastroenterologi RS H. Adam Malik Medan. Penderita dispepsia fungsional
yang mengalami depresi sebanyak 14 orang (depresi ringan 5 orang, depresi sedang
4 orang, depresi berat 5 orang) dan dispepsia organik mengalami depresi sebanyak
8 orang (depresi ringan 3 orang, depresi sedang 4 orang, dan depresi berat 1 orang)
dilakukan pengobatan. Dan setelah pengobatan di lihat kembali gambaran
depresinya.
Metode penelitian yang dipakai adalah metode deskriptif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pasien dispepsia fungsional dan
dispepsia organik yang mengalami depresi serta perubahan depresi pada penderita
dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan.
Alat ukur yang digunakan adalah status psikiatri, kriteria diagnosis dispepsia
baik fungsional maupun organik, dan PPDGJ III untuk mendiagnosis depresi dan
Hamilton Depression Rating Scale untuk mengukur skor depresi.
Manfaat kegunaan penelitian ini adalah melihat seberapa besar penderita
dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi. Dan melihat
perubahan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah
pengobatan. Didalam penelitian ini didapatkan hasil sebagai berikut :
A. KESIMPULAN UMUM
1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi : 14
orang (63,6 %) sebelum pengobatan dan setelah pengobatan dan pada
kelompok penderita dispepsia organik : 8 orang (36,4 %), sebelum pengobatan
dan 1 orang (36,4 %) setelah pengobatan.
2. Pengobatan yang diberikan baik pada penderita dispepsia fungsional dan
dispepsia organik memberikan manfaat, terutama pada dispepsia organik.
B. KESIMPULAN KHUSUS
1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi
sebanyak 14 orang, terdapat 5 orang yang mengalami depresi ringan, 4
orang mengalami depresi sedang, dan 5 orang depresi berat.
2. Pada dispepsia organik yang mengalami depresi sebanyak 8 orang, 3 orang
mengalami depresi ringan dan 1 orang depresi berat.
3. Perubahan tingkat depresi :
Pada penderita dispepsia fungsional (sebelum pengobatan dan
setelah
pengobatan) dijumpai sebagai berikut.
a. Dari tingkat depresi ringan = 5 orang
b. Dari tingkat depresi sedang = 4 orang menjadi depresi ringan 2
orang dan tetap 2 orang.
27
BAB VIII
EXTENSIVE SUMMARY
A. THE SCOPE OF THE RESEARCH
The world dispepsia is a medical term that refers to a vague constellation of
upper abdominal symptoms. Patients more commonly refer to this symptom, as
indigestion, which is used synonymously.
Dispepsia is an extremely common condition. Dispepsia is the fourth most
common medical diagnosis.
Defined dispepsia as episodic or persistent abdominal discomfort that is located
in upper abdomen or epigastria. Other symptoms, such as bloating, early satiety,
distention, and nausea, are commonly present.
Dyspepsia may be divided into two main groups : organic and functional.
Organic dyspepsia denotes dyspepsia for which a responsible disease process has
been identified.
Common causes of Organic dyspepsia include peptic ulcer,
gastric cancer, and gallbladder disease.
In many patients which dyspepsia, clinical assessment and investigation fail to
identify any abnormality to account for symptoms, and a diagnosis of functional
dyspepsia is made. In making this distinction, the clinician is confronted with a
number of potential diagnostic tests.
The patho physiological basis of symptoms is complex and unresolved.
Over one- half of patients with dyspepsia have either normal exams or nonspecific findings. The majority of these are labeled as having no ulcer dyspepsia or
functional dyspepsia. Thus, the primary use of endoscopies in patients with
dyspepsia is to diagnose peptic ulcer disease or atypical reflux esophagitis and to
exclude malignancy. Upper endoscopies have become the study of first choice in the
evaluation of most patients with dyspepsia.
28
29
30
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
31
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
32