Anda di halaman 1dari 25

BIOSKRINING

PENDAHULUAN
Keadaan industri farmasi di tengah pasar obat
di Indonesia merupakan suatu ironi
224 industri farmasi nasional kapasitas
produksi 3% total kapasitas dunia
Namun, pasar farmasi Indonesia hanya 0,2%
total pasar dunia. Co: 1997 pasar farmasi dunia
297 milyar US$ (pertumbuhan 7,1% dan
disuplai oleh 7.000 perusahaan farmasi.
Pasar penjualan lokal Indonesia hanya 1.2
milyar US$ inefisiensi pabrik farmasi
Indonesia

Konsumsi obat perkapita di Indonesia paling rendah di Asia. Data WHO


1996:Faktor ekonomi turun daya beli masyarakat turun tingkat kesehatan
masyarakat (jangka pendek & panjang).
Pengembangan industri farmasi Indonesia perlu dikaji (kebutuhan bahan
baku & ketergantungan impor).
Sebisa mungkin langkah-langkah pengembangan obat perlu diperpendek
untuk mengejar ketinggalan Indonesia dalam pengembangan bahan baku
obat tersebut. Penekanan pendekatan penemuan obat pun perlu dikaji
dengan seksama, apakah dari bahan alam, pengembangan bahan obat
yang sudah ada, dengan sintesa kimia dan model hewan percobaan atau
dengan pendekatan modern desain obat.
Perlu diingat pengembangan jamu menjadi fitofarmaka perlu melalui proses
panjang, tidak bisa jalan pintas. Paling tidak diperlukan langkah-langkah
skrining/penapisan untuk menentukan potensinya, proses ekstraksi-isolasi,
penentuan senyawa aktif, uji aktivitas farmakologi, uji toksisitas akut dan
kronis, uji klinik, formulasi, pembesaran skala produksi, uji penyesuaian
dengan regulasi (aturan) yang ada, dan uji evaluasi lainnya.

METODE BIOSKRINING
Konsumsi obat perkapita di Indonesia memang sangat rendah, bahkan termasuk yang paling rendah di Asia. Data WHO tahun 1996
menunjukkan angka USD 5, jauh di bawah Malaysia yang USD 12 atau Singapura yang USD 42. Selain itu menguatnya nilai dollar telah
menyebabkan harga obat melonjak drastis sekaligus menurunkan daya beli masyarakat. Akibatnya bagi masyarakat, obat semakin sulit
dijangkau, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Akibat
yang lain, semakin terpuruknya industri farmasi Indonesia, dalam hal profitabilitas, dan likuiditas serta semakin membengkaknya idle
capacity yang tersedia.
Pengembangan industri farmasi Indonesia perlu dikaji, terutama dalam memenuhi kebutuhan bahan baku dan mengurangi
ketergantungan impor. Pemilihan jenis bahan bahan baku obat yang akan dikembangkan perlu dilakukan dengan seksama, apakah lebih
memilih obat baru atau obat-obat yang perlindungan patennya sudah kadaluwarsa atau hampir kadaluwarsa. Sebisa mungkin langkahlangkah pengembangan obat perlu diperpendek untuk mengejar ketinggalan Indonesia dalam pengembangan bahan baku obat tersebut.
Penekanan pendekatan penemuan obat pun perlu dikaji dengan seksama, apakah dari bahan alam, pengembangan bahan obat yang
sudah ada, dengan sintesa kimia dan model hewan percobaan atau dengan pendekatan modern desain obat.
Perlu diingat pengembangan jamu menjadi fitofarmaka perlu melalui proses panjang, tidak bisa jalan pintas. Paling tidak diperlukan
langkah-langkah skrining/penapisan untuk menentukan potensinya, proses ekstraksi-isolasi, penentuan senyawa aktif, uji aktivitas
farmakologi, uji toksisitas akut dan kronis, uji klinik, formulasi, pembesaran skala produksi, uji penyesuaian dengan regulasi (aturan)
yang ada, dan uji evaluasi lainnya.
Metode Penapisan (Screening) Bahan Alam
Bahan alam (khususnya tumbuh-tumbuhan) merupakan keanekaragaman hayati yang masih sangat sedikit menjadi subjek penelitian
ilmiah di Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati terbesar didunia dengan lebih
kurang 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan berikut biota lautnya. Dari sekian besar jumlah tersebut baru sekitar 940 species yang diketahui
berkhasiat terapautik (mengobati) melalui penelitian ilmiah dan hanya sekitar 180 species diantaranya yang telah dimanfaatkan dalam
temuan obat tradisional oleh industri obat tradisional Indonesia (DepKes, 2000). Hal ini disebabkan karena pemanfaatan tumbuhan di
Indonesia untuk mengobati suatu penyakit biasanya hanya berdasarkan pengalaman empiris yang diwariskan secara turun temurun
tanpa disertai data penunjang yang memenuhi persyaratan (Sirait, 2001). Dengan melihat kenyataan tersebut maka usaha-usaha untuk
menggali informasi kandungan senyawa kimia dan bioaktivitas tumbuhan obat melalui penelitian ilmiah menjadi sangat penting.
Bioaktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat didalamnya. Perbedaan kandungan senyawa
kimia yang ada menunjukan perbedaan aktifitas farmakologis dari tanaman yang bersangkutan (Cutler and Cutler. 2000; Katzung et.al,
1995; Siswandono, 1998). Selain dipengaruhi oleh jenis senyawa kimia, metoda yang digunakan untuk melakukan uji bioaktivitas juga
memegang peranan penting dalam memberikan hasil yang ingin diketahui dari aktifitas tanaman tersebut (Cassady et. al. 1980;
Colegate et, al. 1993).

Beberapa pendekatan :
Pemilihan secara acak yg diikuti skrining kimia (random selection followed by chemical
screening)
Pemilihan secara acak yg diikuti dgn satu atau lebih uji biologi (random selection followed
by one or biologic assay)
Menindaklanjuti berbagai aktivitas biologi yg telah diketahui (follow up of biologic activity
reports)
Menindaklanjuti pemanfaatan tumbuhan secara etnomedisin (pengobatan tradisional)
(follow up of ethnomedical (traditional medicine) uses of plants)
Pemilihan secara acak yg diikuti skrining kimia
Sering disebut sbg skrining fitokimia (alkaloid, flavonoid, triterpen, bufanolid, dsb)
Sering menimbulkan positif palsu atau negatif palsu
Sulit untuk mengaitkan antara suatu golongan senyawa kimia dgn efek biologi yg
ditimbulkan : alkaloid & flavonoid >> dgn bioaktivitas yg beragam
Pemilihan secara acak yg diikuti dgn satu atau lebih uji biologi
Skrining antikanker secara in vitro & in vivo o/ NCI thd > 35000 spesies th 1960-1981
hanya menghasilkan 2 obat yg bisa dimanfaatkan secara klinis : taxol & campothecin
Skrining berbagai bioaktivitas (antibakteri, antidiabet, antijamur, antiheperkolesterolemia,
antiinflamasi, antitumor, dsb) o/ CDRI hingga sekarang belum menghasilkan sesuatu yg bisa
dimanfaatkan secara klinis

Pengembangan obat baru dari Bahan Alam


Skrining senyawa alami untuk aktivitas biologis dari tanah, tumbuhan, kapang, dll. Isolasi dan purifikasi dari bahan aktif :
kromatografi, freeze-drying, dll. Determinasi struktur NMR, IR, Mass spec, X-Ray kristalografi. Hubungan struktur-aktivitas :
Identifikasi farmakopor. Sintesa analog : Peningkatan aktivitas, penurunan efek samping, pemakaian yang mudah dan efisien
Teori reseptor : Informasi lokasi terjadinya reaksi obat. Disain dan sintesa struktur obat baru.
Uji Farmakologi
Simplisia diekstraksi dengan cara infus.
Sebelum percobaan, hewan dipelihara selama 1 minggu dan diamati tingkah lakunya. Hanya hewan-hewan yang sehat dan naif
yang digunakan untuk percobaan. Sebelum dilakukan percobaan, mencit dan tikus dipuasakan selama 16-18 jam, air minum
tetap diberikan.
Uji Blind Screening
Tiga puluh ekor mencit dibagi menjadi 6 kelompok. Kelompok kontrol diberi air suling, kelompok uji diberi ekstrak biji pronojiwo
dosis 500; 707,11; 994,05; 1401,61; 1976,27 mg/kg bb secara oral. Efek diamati setelah 45 menit pemberian sediaan, meliputi
uji panggung, aktivitas motorik, uji refleks, uji katalepsi, uji gelantung, uji Haffner, pengamatan lakrimasi, salivasi, midriasis,
jumlah tinja, urinasi, mortilitas selama uji sampai 24 jam.
Uji Automatic Hole Board
Kelompok-kelopmpok mencit diadaptasi dengan kondisi ruangan percobaan 1 jam sebelumnya. Dosis yang digunakan adalah
470,22; 672,33 dan 1008,5 mg/kg bb. Diberikan secara oral 45 menit sebelum mencit ditempatkan diatas Hole Board. Kelompok
kontrol diberi air suling, dan kelompok pembanding diberi kofein dosis 15,6 mg/kg bb.
Mencit ditempatkan ditengah-tengah board, lalu alat dinyalakan. Percobaan dilakukan siang hari dalam ruang gelap, penerangan
lampu 25 VA secara tidak langsung, tanpa pengaruh sinar matahari dan kegaduhan. Pengamatan dilakukan setiap menit selama
5 menit.
Uji Tedeschis Actograph
Kelompok-kelompok tikus diadaptasi dengan kondisi ruangan percobaan 1 jam sebelumnya. Dosis yang digunakan adalah
317,75; 470,63 dan 705,9 mg/kg bb. Diberikan secara oral 45 menit sebelum dimasukkan ke dalam kotak Tedeschis. Kelompok
kontrol diberi air suling, dan kelompok pembanding diberi kofein dosis 10,9 mg/kg bb.
Percobaan dilakukan siang hari dalam ruang gelap, penerangan lampu 25 VA secara tidak langsung, tanpa pengaruh sinar
matahari dan kegaduhan. Pengamatan dilakukan setiap 5 menit selama 15 menit.

Uji Chimney
Sebelum percobaan mencit dipuasakan selama 16 jam. Dosis digunakan adalah 470,22; 672,33 dan 1008,5
mg/kg bb. Kelompok kontrol diberi air suling, dan kelompok pembanding diberi kofein dosis 15,6 mg/kg bb.
Mencit diletakkan di ujung tabung gelas Chimney 45 menit setelah pemberian sediaan. Jika mencit telah
mencapai ujung yang lain, posis tabung yang horizontal diubah menjadi vertikal. Mencit akan mencoba
memanjat tabung dengan gerakan mundur. Kecepatan gerakan mencit pada kedua posisi tabung diukur.
Uji ketahanan (uji renang)
Sebelum percobaan mencit dipuasakan selama 16 jam. Dosis digunakan adalah 470,22; 672,33 dan 1008,5
mg/kg bb. Diberikan secara oral, kelompok kontrol doberikan air suling, dan kelompok penbanding diberikan
Hept amyl dosis 39 mg/kg bb.
Ikatkan pada ekor mencit pemberat 2 gram, masukkan mencit kedalam tempat yang berisi air. Ketahanan
berenang diukur dari waktu mencit berenang sampai tenggelam.
Terlihat adanya kenaikan jumlah jengukan dan kenaikan aktivitas mototrik. Efek bertambah dengan
meningkatnya dosis. DE 50 = 672,33 mg/kg bb.
Adanya peningkatan aktivitas motorik dan rasa ingin tahu secara berarti dibandingkan dengan kelompok
kontrol (p 0,05) pada pemberian ekstrak dosis 672,33 dan 1008,5 mg/kg bb.
Tidak ada hubungan antara dosis dengan kenaikan jumlah aktivitas motorik dan rasa ingin tahu.
Adanya kenaikan aktivitas motorik secara bermakana dibandingkan kelompok kontrol (p 0,05) pada
pemberian ekstrak dosis 470,63 dan 705,9 mg/kg bb. Dan terlihat adanya kenaikan aktivitas motorik pada
peningkatan dosis. Ketiga dosis ekstrak pronojiwo menunjukkan kenaikan aktivitas motorik yang berarti (p
0,05).Tidak ada hubungan antara pertambahan dosis dengan peningkatan ketangkasan.
Adanya peningkatan nilai ambang kelelahan secara bermaknadibanding kelompok kontrol (p 0,05) pada
dosis 470,22; 672,33 dan 1008,5 mg/kg bb.

MANFAAT BIOSKRINING

Daftar Pustaka
Sekolah Farmasi ITB http://bahan-alam
.fa.itb.ac.id
http://www.kompetitif.lipi.go.id/
PortalVB/uploads/TOR%20Bahan%20Ba
ku%20Obat%20(Revisi%202005).doc
http://www.mahkotadewa.com/Indo/in
fo/makalah/Vivi201002.htm
www.warintek.ristek.go.id/pangan_ke
sehatan/tanaman_obat/pt/buku10.pdf

Anda mungkin juga menyukai