TESIS
OLEH
Mashudi
NPM. 0906594425
UNIVERSITAS INDONESIA
OLEH
Mashudi
NPM. 0906594425
Universitas Indonesia
ii
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
iii
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
nikmat, serta karunia-Nya laporan hasil tesis yang berjudul Pengaruh
Progressive Muscle Relaxation (PMR) Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Jambi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Laporan tesis ini penulis
susun berdasarkan beberapa literatur berupa kritisi terhadap tesis dan antitesis dari
riset-riset terkait, beberapa teks book, dan materi lain yang penulis akses dari
internet.
Laporan tesis ini dapat penulis selesaikan atas bimbingan, arahan, dukungan, dan
saran-saran dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1.
2.
Dr. Luknis Sabri, M.Kes., selaku pembimbing II yang dengan tulus ikhlas dan
penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan.
3.
4.
Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua,
isteri tercinta Restu Yulvikasari dan anak-anak (M. Zayyan dan M. Tsaqif)
dengan segala pengorbanannya yang telah memberikan dukungan moril, doa
dan cinta kasih yang tiada putus kepada peneliti.
5.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Zaenal Arifin dan bapak
Sukarmin selaku teman yang banyak membantu penulis dalam penyusunan
dan penyelesaian tesis ini.
6.
Universitas Indonesia
7.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga amal ibadah yang telah diberikan mendapatkan ridho Allah SWT. Penulis
menyadari tesis ini masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis dengan lapang
hati menerima masukan dan saran-saran yang konstruktif untuk perbaikan dimasa
yang akan datang.
Penulis
iv
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
vi
Universitas Indonesia
Abstract
PMR was procedure to muscle relaxation, through stretching and relaxing the
muscles followed by focus attention to create relaxation effect. The aim of this
study was to identivy the effect of progressive muscle relaxation to decrease blood
glucose levels in patients with type 2 diabetes mellitus in Raden Mattaher
Hospital Jambi. The study used quasi-experimental with pre and post control
group, each group consisted of 15 respondents. Data was analyzed by univariate
and bivariate test. The results showed that there was a significant effect of PMR in
lowering blood glucose levels of DMT2 patients in Raden Mattaher Hospital
Jambi. The variables of age, sex, comorbidities, and long-suffering DMT2 did not
have a significant relationship with an average of blood glucose levels after
providing intervention. The results could be an input for nurses to develop the
PMR as an independent nursing intervention as a part of nurse management
standard for DMT2 patients.
vii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul
Halaman Pernyataan Orisinalitas
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk
Kepentingan Akademis
Abstrak
Abstract
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Skema
Daftar Grafik
Daftar Lampiran
BAB 1
BAB 2
vi
vii
viii
ix
x
xi
xii
: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................
1.3 Tujuan ............................................................................
1.4 Manfaat ..........................................................................
1
5
6
7
: TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Glukosa Darah ................................................................
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2 .................................................
2.2.1
Definisi .............................................................
2.2.2
Etiologi .............................................................
2.2.3
Faktor risiko .....................................................
2.2.4
Patofisiologi .....................................................
2.2.5
Manifestasi Klinik ............................................
2.2.6
Diagnosis ..........................................................
2.2.7
Penatalaksanaan ...............................................
2.2.8
Komplikasi .......................................................
8
9
9
9
9
11
13
13
13
17
2.3
2.4
2.5
2.6
BAB 3
i
ii
iii
iv
v
19
22
22
23
23
24
27
28
30
Universitas Indonesia
3.2
3.3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
Hipotesis ......................................................................... 31
Definisi Operasional ....................................................... 32
: METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ............................................................
4.2 Populasi Dan Sampel .....................................................
4.2.1
Populasi ............................................................
4.2.2
Sampel .............................................................
4.3 Waktu Dan Tempat Penelitian
4.3.1
Waktu penelitian ..............................................
4.3.2
Tempat penelitian .............................................
4.4 Etika Penelitian ..............................................................
4.4.1
Prinsip etik .......................................................
4.4.2
Informed Consent .............................................
4.5 Alat Dan Prosedur Pengumpulan Data
4.5.1
Alat pengumpul data ........................................
4.5.2
Prosedur pengumpulan data .............................
4.6 Pengolahan Dan Analisa Data
4.6.1
Pengolahan data ...............................................
4.6.2
Analisa data ......................................................
33
34
34
34
36
36
37
37
38
38
39
43
43
: HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Univariat ..........................................................
5.2 Analisis Bivariat ............................................................
46
50
: PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dan diskusi hasil penelitian .........................
6.2 Keterbatasan penelitian ..................................................
6.3 Implikasi dan tindak lanjut hasil penelitian ...................
66
74
74
76
76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Hal
1. Tabel 2.1 Daftar konversi A1c dalam rata-rata glukosa darah
16
32
36
44
44
46
47
8. Tabel 5.3 Hasil analisis kadar glukosa darah sebelum dan setelah
dilakukan PMR di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
48
9. Tabel 5.4 Hasil analisis uji normalitas data KGD sebelum dan
setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
51
54
11. Tabel 5.6 Hasil analisis uji homogenitas data kadar glukosa darah
pasien DMT2 sebelum PMR antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei
2011
55
12. Tabel 5.7 Hasil analisis perbedaan kadar glukosa darah pasien
DMT2 sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi
April-Mei 2011
57
13. Tabel 5.8 Hasil analisis selisih rata-rata kadar glukosa darah
pasien DMT2 setelah intervensi PMR antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei
2011
63
ix
Universitas Indonesia
14. Tabel 5.9 Hasil analisis umur, jenis kelamin, penyakit penyerta,
dan lama menderita DMT2 dengan selisih kadar glukosa darah jam
06.00, 11.00, dan 16.00 di RSUD Raden Mattaher Jambi AprilMei 2011
ix
64
Universitas Indonesia
DAFTAR SKEMA
Hal
1.
12
2.
12
3.
29
4.
31
5.
33
Universitas Indonesia
DAFTAR GRAFIK
Hal
1. Grafik 5.1A Perubahan KGD Jam 06.00 masing-masing responden
sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
60
60
61
61
62
62
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Penjelsasn penelitian
Lampiran 2
: Lembar persetujuan
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampitan 11
xii
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Melitus
(DM)
adalah
kelompok
penyakit
metabolik
yang
Universitas Indonesia
2
Kurang lebih 5-10% pasien diabetes menderita DMT1, selebihnya sekitar 90-95%
pasien diabetes menderita DMT2 (Smeltzer & Bare, 2002).
Di Indonesia pasien DMT2 meliputi 90% dari semua populasi diabetes (Suyono
dalam Soegondo, et al, 2009). DMT2 ini dikarakteristikkan oleh adanya
hiperglikemia, resistensi insulin, dan adanya penglepasan glukosa hati yang
berlebihan (Ilyas, 2009). Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah karena
perubahan gaya hidup (Suyono dalam Soegondo, et al, 2009).
Diabetes melitus menjadi masalah kesehatan yang serius, baik di negara maju
maupun di negara berkembang seperti di Indonesia karena insidensinya yang terus
meningkat (Suyono dalam Soegondo, 2009). Hal ini dapat dilihat dari angka
prevalensi yang dirilis oleh International Diabetes Federation (IDF) tahun 2006
(Suyono, 2009). Angka prevalensi Amerika Serikat 8,3%, dan Cina 3,9%. Angka
prevalensi Indonesia menurut penelitian Litbang Depkes 2008 adalah 5,7%,
meningkat 1,1% dari 4,6% tahun 2000 (Suyono dalam Soegondo, 2009).
Badan kesehatan dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000
jumlah penderita diabetes di atas 20 tahun berjumlah 150 juta orang, dan dalam
kurun waktu 25 tahun kemudian pada tahun 2025 jumlah itu akan meningkat
menjadi 300 juta orang (Suyono dalam Sudoyo, et al, 2006). Di Indonesia,
menurut perkiraan IDF pada tahun 2000 terdapat penduduk di atas 20 tahun
sebesar 125 juta, dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%, diperkirakan pada
tahun 2000 penderita DM berjumlah 5,6 juta. Berdasarkan pola pertambahan
penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada 178 juta
penduduk berusia di atas 20 tahun, dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar
4,6% akan didapatkan 8,2 juta penderita diabetes (Diabetes Atlas 2000 dalam
Suyono, 2009).
DMT2 sering tidak menunjukkan gejala yang khas pada awalnya, sehingga
diagnosis baru ditegakkan ketika pasien berobat untuk keluhan panyakit lain yang
sebenarnya merupakan komplikasi dari diabetes tersebut (Soegondo dalam
Soegondo, et al, 2009). Lebih lanjut Soegondo (2009) mengatakan secara
epidemiologis DMT2 sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
Universitas Indonesia
3
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini.
Komplikasi kronik pada pasien DMT2 seperti retinopati diabetik, nefropati
diabetik, dan neuropati diabetik ini yang mengindikasikan pasien harus menjalani
perawatan di rumah sakit untuk pengelolalan kadar glukosa darah dan keluhankeluhan lain yang ditimbulkan oleh penyakit yang menyertainya. Kondisi seperti
ini sering kali membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat (Price
& Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2008).
Stres yang menetap menimbulkan respon stres berupa aktivasi sistem saraf
simpatis dan peningkatan kortisol. Kortisol ini akan meningkatkan konversi asam
amino,
laktat,
dan
piruvat
di
hati
menjadi
glukosa
melalui
proses
4
konsensus tersebut disepakati ada 5 pilar utama pengelolaan DM, yaitu
perencanaan makan (diit), latihan jasmani, obat berkhasiat hipoglikemik, edukasi,
dan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (home monitoring) (Subekti,
2009; Batubara, 2009).
Selama kurun waktu dua dekade terakhir ini asuhan keperawatan pasien DMT2
dilakukan dalam konteks kolaborasi farmakologi (Smeltzer & Bare, 2008),
padahal perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan mampu
memberikan asuhan keperawatan secara mandiri dalam konteks nonfarmakologi
(Dochterman & Bulechek, 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pendekatan nonfarmakologis diantaranya latihan relaksasi merupakan intervensi
yang dapat dilakukan pada pasien DM (Smeltzer & Bare, 2008).
Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind-body therapy dalam terapi
komplementer dan alternatif (Complementary and Alternative Therapy (CAM)
(Moyad & Hawks, 2009). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional
yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional/
medis. Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad
& Hawks, 2009).
Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara
kerja sistem saraf simpatetis dan parasimpatetis. Terapi relaksasi ini ada
bermacam-macam, salah satunya adalah relaksasi otot progresif (Progressive
Muscle Realaxation (PMR)). Relaksasi ini sering dilakukan karena terbukti efektif
mengurangi ketegangan dan kecemasan. Yildirim & Fadiloglu, (2006) dari hasil
penelitiannya
menyebutkan
bahwa
PMR
menurunkan
kecemasan
dan
5
kemoterapi. Istiarini, (2009) menilai pengaruh terapi refleksologi terhadap kadar
glukosa darah pada pasien diabetes di Yogyakarta. Setyawati, (2010) mengukur
pengaruh relaksasi otogenik terhadap penurunan glukosa darah dan tekanan darah
pada pasien DMT2 dengan hipertensi. Selanjutnya relaksasi otot progresif efektif
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Kota Malang
(Hamarno, 2010).
Penelitian tentang pengaruh PMR terhadap penurunan kadar glukosa darah pada
DMT2 belum ada. Penelitian tentang latihan PMR terhadap penurunan glukosa
darah masih terbatas pada diabetes anak-anak (diabetes tipe 1), yaitu pengaruh
terapi masase dan progressive muscle relaxation terhadap hemoglobin
terglikosilasi (HbA1c) pada diabetes anak-anak di Iran (Ghazavi, et al, 2007).
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden
Mattaher Jambi. RSUD Raden Mattaher adalah rumah sakit umum unit swadana
tipe B non pendidikan yang menjadi rumah sakit rujukan dari 10 kabupaten/ kota
di provinsi Jambi. Rumah sakit ini memiliki
Occupation Rate (BOR) 80,32 %, Bed Turn Over (BTO) 59,11 kali, Lenght Of
Stay (LOS) 4,03 hari dan Turn Over interval (TOI) 1,21 hari (Profil RSD Raden
Mattaher Jambi, 2006). Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan,
diperoleh data sebanyak 412 pasien DMT2 yang menjalani rawat inap di RSUD
Raden Mattaher
keterangan perawat yang bekerja di ruang penyakit dalam RSUD Raden Mattaher
Jambi belum ada intervensi PMR oleh perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
Diabetes melitus menjadi masalah kesehatan yang serius, baik di negara maju
maupun di negara berkembang karena insidensinya yang terus meningkat (Suyono
dalam Soegondo, 2009). Penyakit ini sering diderita oleh orang dewasa, yang
berkaitan dengan gaya hidupnya (life style). Diabetes melitus merupakan penyakit
kronis yang dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai sistem tubuh, dan
hanya dapat dikontrol kadar glukosa darahnya, tetapi tidak dapat disembuhkan.
Hal ini membuat pasien stres dan berakibat buruk terhadap kesehatannya karena
Universitas Indonesia
6
menambah tinggi kadar glukosa darahnya. Oleh karena itu, selain diberikan terapi
standar diabetes, pasien juga perlu mendapatkan terapi komplementer berupa
latihan relaksasi untuk mengatasi stresnya.
Berbagai studi yang berbasis terapi relaksasi telah dilakukan untuk mengatasi
stres dan kecemasan serta kadar glukosa darah, tetapi penelitian tentang pengaruh
PMR terhadap penurunan glukosa darah pada pasien DMT2 belum ada. Dengan
demikian, masalah penelitian ini adalah: Belum diketahuinya pengaruh
Progressive Muscle Relaxation terhadap kadar glukosa darah (KGD) pada pasien
DMT2.
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah teridentifikasikannya pengaruh progressive
muscle relaxation terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes
melitus tipe 2.
1.3.2 Tujuan Khusus
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Universitas Indonesia
7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Untuk pelayanan keperawatan dan masyarakat
a.
komplementer dalam
b.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab 2 ini diuraikan konsep teori yang mendukung penelitian meliputi
glukosa darah, diabetes melitus tipe 2, stres dan diabetes melitus, progressive
muscle relaxation (PMR), dan peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien DMT2.
2.1 Glukosa darah
Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana yang diabsorpsi ke
dalam cairan darah melalui sistem pencernaan. Kadar glukosa darah ini akan
meningkat setelah makan dan biasanya akan turun pada level terendah pada pagi
hari sebelum orang makan. Kadar glukosa darah diatur melalui umpan balik
negatif untuk mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh (Price & Wilson,
2006; Smeltzer, 2008). Kadar glukosa di dalam darah dimonitor oleh pankreas.
Bila konsentrasi glukosa menurun karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
energi tubuh, pankreas melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel
di hati. Kemudian sel-sel ini mengubah glikogen menjadi glukosa (proses ini
disebut glikogenolisis). Glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga
meningkatkan kadar gula darah (Ignatavicius & Walkman, 2006).
Konsentrasi glukosa darah sangat penting dipertahankan pada kadar yang cukup
tinggi dan stabil sekitar 70-120 mg/dl untuk mempertahankan fungsi otak dan
suplai jaringan secara optimal. Kadar glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak
meningkat terlalu tinggi (hiperglikemia) mengingat glukosa juga berpengaruh
terhadap tekanan osmotik cairan ekstra seluler (Robbins, 2007; Ignatavicius &
Walkman, 2006; Waspadji, 2009).
Hiperglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah puasa lebih dari 126
mg/dl dan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl
(Soegondo, 2009). Hiperglikemia terjadi karena adanya gangguan sekresi insulin
8
Universitas Indonesia
9
(defisiensi insulin) dan rendahnya respon tubuh terhadap insulin atau resistensi
insulin (Manaf, 2006; Smeltzer & Bare, 2008). Hiperglikemia dapat menyebabkan
dehidrasi seluler akibat keluarnya glukosa dalam urin yang menyebabkan diuresis
osmotik oleh ginjal. Kondisi ini menyebabkan manifestasi poliuri (pengeluaran
urin secara berlebihan), polidipsi (minum berlebihan), dan polifagi yang
disebabkan oleh kegagalan metabolisme glukosa oleh tubuh yang menyebabkan
penurunan berat badan dan kecendrungan makan secara berlebihan. Manifestasi
ini merupakan gejala khas diabetes melitus (Soegondo, 2009).
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2
2.2.1 Definisi
Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang dikarakteristikkan
oleh tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) karena kelainan sekresi
insulin, kelainan kerja insulin, atau kombinasi keduanya (Smeltzer & Bare, 2008;
Robbins, 2007; Gustaviani, 2006; American Diabetes Association (ADA), 2010).
Diabetes melitus tipe 2 dikarakteristikkan oleh adanya hiperglikemia, resistensi
insulin, dan adanya penglepasan glukosa hati yang berlebihan (Ilyas, 2009).
2.2.2 Etiologi
DMT2 dapat disebabkan oleh faktor genetik, resistensi insulin, dan faktor
lingkungan. Selain itu ada faktor-faktor yang mencetuskan diabetes diantarannya
obesitas, kurang gerak/ olahraga, makanan berlebihan, dan penyakit hormonal
yang kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono & Subekti, 2009).
2.2.3 Faktor Risiko Diabates
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah dan
terjadinya DMT2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, dan penyakit penyerta
(Dunning, 2003).
a. Usia
Golberg dan Coon dalam Rochmah (2006) menyatakan bahwa umur sangat
erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin
meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa
semakin tinggi. DMT2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin
Universitas Indonesia
10
sering terjadi setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia
lanjut. Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun, dan 11% individu berusia di
atas 65 tahun (Ignatavicius & Walkman, 2006). Usia lanjut yang mengalami
gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92% (Medicastore, 2007; Rochmah
dalam Sudoyo, 2006).
Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat
sel berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang
mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami
perubahan adalah sel pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target
yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa darah. WHO menyebutkan bahwa setelah usia
30 tahun, maka kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat
puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun pada 2 jam setelah makan (Rochmah
dalam Sudoyo, 2006).
b. Jenis kelamin
Meskipun belum diketahui secara pasti pengaruh jenis kelamin terhadap
kejadian DMT2 dan peningkatan kadar glukosa darah, namun beberapa
penelitian memasukkan jenis kelamin ke dalam karakteristik pasien DMT2,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Santono, Lian, dan Yudi, (2006)
tentang gambaran pola penyakit diabetes di bagian rawat inap RSUD Koja
Jakarta tahun 2000-2004. Menurut hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, kadar glukosa darah
saat masuk rata-rata 201- 500 mg/dl, dan komplikasi terbanyak adalah infeksi
saluran kemih (Cermin dunia kedokteran No. 150).
c. Penyakit penyerta
Separuh dari keseluruhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas dirawat di
rumah sakit setiap tahunnya, dan komplikasi DM menyebabkan peningkatan
angka rawat inap bagi pasien DMT2 (Smeltzer & Bare, 2002). Penyandang
DM mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan
penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah
Universitas Indonesia
11
menderita ulkus/ gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal,
dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari
pada pasien non DM (Waspdji, 2009). Kalau sudah terjadi penyulit, usaha
untuk menyembuhkan melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan
pengobatan penyakit tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang
sudah terjadi umumnya akan menetap (Waspadji, 2009).
d. Lama menderita DM
DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh
karena itu kontrol terhadap kadar glukosa darah sangat diperlukan untuk
mencegah komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien
menderita DM dikaitkan dengan komplikasi kronik yang menyertainya. Hal
ini didasarkan pada hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik
DM adalah sebagai akibat kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM
(Waspdji, 2009). Semakin lama pasien menderita DM dengan kondisi
hiperglikemia, maka semakin tinggi kemungkinan untuk terjadinya
komplikasi kronik. Atas dasar hipotesis ini Kelly West lebih setuju
menganggap kelainan vaskuler sebagai manifestasi patologis DM dari pada
sebagai penyulit, karena eratnya hubungan dengan kadar glukosa darah yang
abnormal, sedangkan untuk mudahnya terjadi infeksi seperti tuberkulosis atau
gangren diabetik lebih sebagai komplikasi (Waspadji, 2009).
2.2.4 Patofisiologi
Pankreas atau kelenjar ludah perut adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak
dibelakang lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti
pulau dalam peta, sehingga disebut pulau-pulau Langerhans pankreas. Pulaupulau ini berisi sel alpa yang menghasilkan hormon glukagon dan sel beta yang
menghasilkan insulin. Kedua hormon ini bekerja berlawanan, glukagon
meningkatkan glukosa darah sedangkan insulin bekerja menurunkan kadar
glukosa darah (Price & Wilson, 2006; Subekti & Suyono , 2009).
Insulin yang dihasilkan oleh sel pankreas dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam
sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Jika insulin tidak ada atau
Universitas Indonesia
12
jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga
kadarnya di dalam darah meningkat (hiperglikemia).
Pada DMT2 jumlah insulin berkurang atau dapat normal (defisiensi relatif), tetapi
jumlah reseptor insulin di permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat
diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Meskipun anak
kuncinya (insulin) cukup banyak, namun karena jumlah lubang kuncinya
(reseptor) berkurang, maka jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel berkurang
juga (resistensi insulin). Sementara produksi glukosa oleh hati terus meningkat,
kondisi ini menyebabkan kadar glukosa darah meningkat (Subekti & Suyono,
2009).
Resistensi insulin pada awalnya belum menyebabkan DM secara klinis, sel
pankreas masih bisa melakukan kompensasi. Insulin disekresikan secara
berlebihan sehingga terjadi hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar
glukosa darah. Mekanisme kompensasi yang terus menerus menyebabkan
kelelahan sel pankreas (exhaustion), kondisi ini disebut dekompensasi dimana
produksi insulin menurun secara absolut. Resistensi dan penurunan produksi
insulin menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Kondisi ini memenuhi
kriteria diagnostik DM (Manaf, 2006; Waspadji, 2009). Secara skematis dapat
dijelaskan pada skema 2.1 dan 2.2 di bawah ini :
Glukosa
Sel
Sel
Pankreas
Sekresi berkurang
Dari skema ini dapat diketahui adanya tiga kelainan yang mendasari terjadinya
DMT2, yaitu resistensi insulin, peningkatan produksi glukosa di hati, dan sekresi
insulin yang berkurang.
Universitas Indonesia
13
Skema 2.2 Etiologi terjadinya DM tipe 2
Genetik
Resistensi insulin
Didapat
Hiperinsulinemia
Resistensi insulin
Terkompensasi
(Normal/ TGT)
Genetik
Didapat
Toksisitas glukosa
Asam lemak, dll
Kelelahan sel
DM Tipe 2
Resistensi insulin
Produksi glukosa hati
Sekresi insulin kurang
Sumber : Waspadji dalam Soegondo, et al, (2009)
14
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus
vulvae pada wanita (Soegondo, 2009).
Apabila ada keluhan khas dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
atau pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan yang khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemeriksaan untuk memastikan
lebih lanjut dengan mendapatkan satu kali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl atau kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
pada hari yang lain (Soegondo, 2009).
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan standar DMT2 mencakup pengaturan makanan, latihan jasmani,
obat berkhasiat hipoglikemia (OHO dan insulin), edukasi/ penyuluhan, dan
pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (home monitoring) (Waspdji,
2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009). Penatalaksanaan non farmakologis
merupakan langkah pertama dalam pengelolaan DMT2. Apabila dengan
penatalaksanaan non farmakologis ini sasaran pengendalian glukosa darah belum
tercapai, dapat dilanjutkan dengan terapi farmakologis atau penggunaan obat
(Waspdji, 2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009).
Pengelolaan DM sesuai lima pilar utama pengelolaan DM dijabarkan sebagai
berikut :
a. Perencanaan makan
Tujuan perencanaan makan pada pasien DMT2 adalah untuk mengendalikan
glukosa, lipid, dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diit hipokalori pada
pasien gemuk akan memperbaiki kadar hiperglikemia jangka pendek dan
berpotensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang. Sukardji (2009)
mengatakan bahwa penurunan berat badan ringan dan sedang (5-10 kg) dapat
meningkatkan kontrol diabetes. Penurunan berat badan dapat dicapai dengan
penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi
(Sukardji, 2009).
Universitas Indonesia
15
Kebutuhan energi pasien diabetes tergantung pada umur, jenis kelamin, berat
badan, tinggi badan, kegiatan fisik, keadaan penyakit dan pengobatannya.
Energi yang dibutuhkan dinyatakan dalam satuan kalori. Komposisi makanan
yang dianjurkan adalah 10-20% protein, 20-25% lemak, dan 45-65%
karbohidrat (Sukardji, 2009).
b. Latihan jasmani
Masalah utama pada pasien DMT2 adalah kurangnya respon reseptor insulin
terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat membawa masuk glukosa ke
dalam sel-sel tubuh kecuali otak. Dengan latihan jasmani secara teratur,
kontraksi otot meningkat yang menyebabkan permeabilitas membran sel
terhadap glukosa juga meningkat. Akibatnya resistensi berkurang dan
sensitivitas insulin meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan kadar
glukosa darah (Ilyas, 2009).
Kegiatan fisik dan latihan jasmani sangat berguna bagi pasien diabetes karena
dapat
meningkatkan
kebugaran,
mencegah
kelebihan
berat
badan,
Universitas Indonesia
16
2) Insulin
Saat ini dalam penanganan diabetes tipe 2 terdapat beberapa cara pendekatan.
Salah satu pendekatan terkini yang dianjurkan di Eropa dan Amerika Serikat
adalah dengan memakai nilai A1c (HbA1c) sebagai dasar penentuan awal sikap
atau cara memperbaiki pengendalian diabetes (Soegondo, 2009).
Untuk daerah yang pemeriksaan A1c masih sulit dilaksanakan dapat digunakan
daftar konversi A1c dengan rata-rata kadar glukosa darah (seperti pada tabel
2.1). Meskipun demikian semua pendekatan pengobatan tetap menggunakan
perencanaan makan (diet) sebagai pengobatan utama, dan apabila hal ini
bersama dengan latihan jasmani ternyata gagal mencapai target yang
ditentukan, maka diperlukan penambahan obat hipoglikemik oral atau insulin
(Soegondo, 2009). Pada pasien DM tipe 2 awalnya diberikan obat hipoglimeik
oral, namun karena pasien tidak melakukan kontrol glukosa darah secara
teratur maka pasien akhirnya memerlukan insulin untuk kontrol glukosa
darahnya (Tarigan, 2009).
Tabel 2.1 Daftar Konversi A1c Dalam Rata-rata Glukosa Darah
A1c (%)
5
5,5
6
6,5
7
7,5
8
8,5
9
9,5
10
10,5
11
11,5
12
d. Penyuluhan
Salah satu penyebab kegagalan dalam pencapaian tujuan pengobatan diabetes
adalah ketidakpatuhan pasien terhadap program pengobatan yang telah
ditentukan. Penelitian terhadap pasien diabetes, didapatkan 80% menyuntikkan
Universitas Indonesia
17
insulin dengan cara yang tidak tepat, 58% memakai dosis yang salah, dan 75%
tidak mengikuti diet yang dianjurkan (Basuki, 2009). Untuk mengatasi
ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan terhadap pasien dan keluarganya mutlak
diperlukan.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang
berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan dengan obat-obatan memang
penting, tetapi tidak cukup. Pengobatan diabetes memerlukan keseimbangan
antara berbagai kegiatan yang merupakan bagian integral dari kegiatan rutin
sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja, dan lain-lain. Pengaturan jumlah dan
jenis makanan serta olah raga merupakan pengobatan yang tidak dapat
ditinggalkan,
walaupun
ternyata
banyak
diabaikan
oleh
pasien
dan
18
Pemantauan dengan menggunakan A1c merupakan parameter tingkat
pengendalian kadar glukosa darah. Kelebihan pemeriksaan A1c adalah mampu
menunjukkan kadar rata-rata gula darah selama 8-12 minggu terakhir.
Pemeriksaan
A1c
mempunyai
korelasi
dengan
komplikasi
diabetes.
Pengendalian dikatakan baik jika kadar HbA1c kurang dari 7%, acceptable jika
kadar HbA1c antara 7,6% - 9% (Batubara, 2009).
2.2.8 Komplikasi
Menurut Price & Wilson (2006), komplikasi penyakit DM dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu komplikasi yang terjadi secara akut (komplikasi metabolik
akut) dan komplikasi yang terjadi secara kronis (komplikasi vaskuler jangka
panjang).
2.2.8.1 Komplikasi akut
Komplikasi akut DM terjadi akibat perubahan yang relatif akut pada konsentrasi
glukosa plasma, yaitu hipoglikemia dan hiperglikemia.
a.
Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat
berupa koma disertai kejang (Boedisantoso, 2009). Hipoglikemia ditegakkan
apabila kadar glukosa darah plasma 63 mg/dl (3,5 mmol/L).
Berbagai studi fisilogis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah
terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L), lebih lanjut diketahui
bahwa kadar glukosa darah 55 mg/dl yang berulang kali dapat merusak
proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat (Soemadji, 2006).
Hipoglikemia terjadi akibat peningkatan kadar insulin baik sesudah
penyuntikan subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin
seperti
sulfonilurea
(Soemadji,
2006).
Penyebab
lain
yang
dapat
Universitas Indonesia
19
b.
Hiperglikemia
Melalui anamnesis penyebab hiperglikemia dapat diketahui, diantaranya
karena adanya
Mikroangiopati
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan
arteriol retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), dan
saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot dan kulit.
b.
Makroangiopati
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa
aterosklerosis yang disebabkan karena penimbunan sorbitol dalam intima
vaskuler (Waspadji, 2009). Apabila mengenai
Universitas Indonesia
20
(gangren). Bila mengenai arteri koronaria dan aorta menyebabkan angina dan
infark miokard (ADA, 2010; Price & Wilson, 2006; Smeltzer, 2008).
2.3 Stress dan Diabetes Melitus
Stres adalah reaksi non spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan
(stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual,
sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapannya bagi orang
lain (Hartono, 2007). Stres diartikan sebagai suatu kondisi dimana kebutuhan
tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan
(Taylor dalam Gunawan, 2007). Lebih lanjut, Taylor mendeskripsikan stres
sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi,
fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres (Gunawan &
Sumadiono, 2007).
Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu, 1) stresor fisik atau biologik seperti
dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, dan pukulan. 2) stresor psikologis seperti takut,
khawatir, cemas, dan marah, dan 3) stresor sosial budaya seperti menganggur,
perceraian, dan perselisihan (Gunawan & Sumadiono, 2007).
Stres fisiologis seperti infeksi dan pembedahan mempermudah terjadinya
hiperglikemia dan dapat mencetuskan terjadinya Diabetes Ketoasidosis (DKA)
atau Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketotik Sindrom (HHNS). Stres emosional
(stres, kecemasan, depresi) yang terjadi akibat tingginya kadar glukosa darah dan
komplikasi DMT2 bisa berdampak negatif pada pasien (Smeltzer & Bare, 2008).
Selama stres, hormon-hormon yang mengarah pada peningkatan kadar glukosa
darah seperti epineprin, kortisol, glukagon, ACTH, kortikosteroid, dan tiroid akan
meningkat. Selain itu selama stres emosional, pasien DMT2 mengubah pola
kebiasaan makan, latihan, dan pengobatan. Hal ini tentunya dapat memperburuk
kondisi pasien (Smeltzer & Bare, 2008; Price & Wilson, 2006).
Stres menyebabkan epineprin bereaksi pada hati meningkatkan konversi glukagon
menjadi glukosa. Kortisol memiliki efek meningkatkan metabolisme glukosa,
sehingga asam amino, laktat, dan pirufat diubah di hati menjadi glukosa
Universitas Indonesia
21
(glukoneogenesis) yang akhirnya meningkatkan kadar glukosa darah. Glukagon
meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara mengkonversi glikogen di hati
menjadi glukosa. ACTH dan glukokortikoid pada korteks adrenal dapat
meningkatkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pembentukan glukosa
baru oleh hati. ACTH dan glukokortikoid meningkatkan lipolisis dan katabolisme
karbohidrat (Smeltzer & Bare, 2008; Price & Wilson, 2006).
Reaksi pertama dari respon stres adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis
yang diikuti sekresi simpatis-adrenal-medular. Secara simultan hipotalamus
bekerja secara langsung pada sistem saraf otonom untuk merangsang respon yang
segera terhadap stress. Sistem otonom sendiri diperlukan dalam menjaga
keseimbangan tubuh. Sistem otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan
parasimpatis (Price & Wilson, 2006).
Sistem simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus stress, berupa
peningkatan denyut jantung, napas yang cepat, dan penurunan aktivitas
gastrointestinal. Sementara sistem parasimpatis membuat tubuh kembali ke
keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan pernapasan, dan
peningkatan aktivitas gastrointestinal. Perangsangan yang berkelanjutan terhadap
sistem simpatis menimbulkan respon stres yang berulang-ulang dan menempatkan
sistem otonom pada ketidakseimbangan. Untuk kompensasi lebih lanjut sistem
hipotalamus-pituitari akan diaktifkan (Price & Wilson, 2006; Smeltzer, 2008).
Hipotalamus menstimulasi neuron-neurosekretori untuk melepaskan hormon CRH
(Corticotropin- Releasing Hormone) ke hipofisis anterior melalui sistem portal,
hipofisis anterior melepaskan hormon lain yaitu ACTH (Adrenocorticotropic
Hormone) ke dalam sirkulasi. ACTH sebagai gantinya menstimulasi kelenjar
adrenal, yaitu korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid (kortisol). Proses
ini merupakan mekanisme umpan balik negatif hipotalamus-hipofisis-korteks
adrenal (Price & Wilson, 2006). Kortisol ini selanjutnya akan meningkatkan
konversi asam amino, laktat, dan pirufat di hati menjadi glukosa melalui proses
glukoneogenesis, namun karena resistensi insulin, glukosa tidak bisa diambil oleh
sel dari siskulasi sehingga kadarnya meningkat dalam darah (Price & Wilson,
2006; Smeltzer, 2008).
Universitas Indonesia
22
2.4 Progressive Muscle Relaxation (PMR)
2.4.1 Definisi
PMR adalah gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian
tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot secara progresif ini dilakukan secara
berturut-turut (Snyder & Lindquist, 2002). Pada relaksasi ini perhatian pasien
diarahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot
dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi tegang.
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik relaksasi yang mudah dan
sederhana serta sudah digunakan secara luas. PMR merupakan suatu prosedur
untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan
memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan
tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut
menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang (Richmond,
2007).
2.4.2 Indikasi
Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind-body therapy dalam terapi
komplementer dan alternatif (Complementary and Alternative Therapy (CAM)
(Moyad & Hawks, 2009). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional
yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional/
medis. Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad
& Hawks, 2009).
PMR merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat diberikan kepada
pasien DM untuk meningkatkan relaksasi dan kemampuan pengelolaan diri.
Latihan ini dapat membantu mengurangi ketegangan otot, stres, menurunkan
tekanan
darah,
meningkatkan
toleransi
terhadap
aktivitas
sehari-hari,
23
kondisi medis. Yildirim & Fadiloglu (2006) dari hasil penelitiannya menyebutkan
bahwa PMR menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien
yang menjalani dialisis. Penelitian yang dilakukan oleh Sheu, et al, (2003)
memperlihatkan bahwa PMR menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar
5,4 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 3,48 mmHg pada pasien
hipertensi di Taiwan. Gazavi, et al, (2007) menyebutkan bahwa PMR dan masase
menurunkan tingkat HbA1C pada diabetes melitus tipe 1 (DM pada anak-anak).
Maryani (2008), menyebutkan PMR mengurangi kecemasan yang berimplikasi
pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi.
Selanjutnya relaksasi otot progresif efektif menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi primer di Kota Malang (Hamarno, 2010).
2.4.3 Manfaat PMR
Stres dan kecemasan mencetuskan beberapa sensasi dan perubahan fisik, meliputi
peningkatan aliran darah menuju otot, ketegangan otot, mempercepat atau
memperlambat pernafasan, meningkatkan denyut jantung, dan menurunkan fungsi
digesti (Ankrom, 2008). Jika stres dan kecemasan yang dialami berlangsung terus
menerus, maka respon psikofisiologikal yang berulang dapat membahayakan
tubuh.
Brown 1997 dalam Snyder & Lindquist (2002) menyebutkan bahwa respon stres
adalah bagian dari jalur umpan balik yang tertutup antara otot-otot dan pikiran.
Penilaian terhadap stressor mengakibatkan ketegangan otot yang mengirimkan
stimulus ke otak dan membuat jalur umpan balik. Relaksasi PMR akan
menghambat jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf
parasimpatis dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk
memperkuat sikap positif sehingga rangsangan stres terhadap hipotalamus
berkurang (Copstead & Banasik, 2000).
2.4.4 Kontra indikasi
Beberapa hal yang mungkin menjadi kontra indikasi latihan PMR antara lain
adalah cidera akut atau ketidaknyamanan muskuloskeletal, dan penyakit jantung
berat/ akut (Fritz, 2005). Latihan PMR dapat meningkatkan kondisi rileks yang
Universitas Indonesia
24
dapat menyebabkan hipotensi, sehingga perlu memeriksa tekanan darah untuk
mengidentifikasi kecendrungan hipotensi (Snyder & Lindquist, 2002).
2.4.5 Prosedur PMR
Progressive Muscle relaxation (PMR) merupakan suatu prosedur untuk
mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan
tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut
kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks,
merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang. Untuk hasil yang maksimal
dianjurkan untuk melakukan PMR pada jam yang sama 2 kali sehari selama 25-30
menit. Latihan bisa dilakukan pagi dan sore hari, dilakukan 2 jam setelah makan
untuk mencegah rasa mengantuk setelah makan (Charleswarth & Nathan, 1996).
Jadwal latihan biasanya memerlukan waktu 1 minggu. Berstein & Borkovec
menganjurkan menggunakan 10 sesi untuk PMR. Greenberg (2002) mengatakan
relaksasi akan memberikan hasil setelah dilakukan sebanyak 3 kali latihan.
Berdasarkan pendapat di atas dan atas pertimbangan lama hari rawat pasien
DMT2 di RSUD Raden Mattaher yaitu antara 5-12 hari, maka pada penelitian ini
latihan PMR diberikan dalam 6 kali latihan.
Prosedur PMR terdiri dari 15 gerakan berturut-turut,
yaitu; gerakan
pertama ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan cara
menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan. Pasien diminta
membuat kepalan ini semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang
terjadi. Lepaskan kepalan perlahan-lahan, sambil merasakan rileks selama 8
detik. Lakukan gerakan 2 kali sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan
pada tangan kanan.
Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada
pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan
bawah menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit. Lakukan penegangan 8
detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Universitas Indonesia
25
Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot bisep. Gerakan ini diawali dengan
menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian membawa
kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot bisep akan menjadi tegang. Lakukan
penegangan otot 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali.
Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Dilakukan dengan
cara mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan menyentuh kedua
telinga. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras ketegangan yang terjadi di
bahu, punggung atas, dan leher. Rasakan ketegangan otot-otot tersebut 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kelima sampai ke delapan adalah gerakan-gerakan yang ditujukan
untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih adalah otototot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat dilakukan dengan
cara mengerutkan dahi dan alis sampai ototototnya terasa dan kulitnya keriput,
mata dalam keadaan tertutup. Rasakan ketegangan otot-otot dahi selama 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan keenam ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali dengan
menutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata
dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata. Lakukan penegangan otot 8
detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan ketujuh
oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan menggigit
gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot rahang. Rasakan ketegangan
otot-otot tersebut 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali.
Universitas Indonesia
26
Gerakan kedelapan dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut.
Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di
sekitar mulut. Rasakan ketegangan otot-otot sekitar mulut selama 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kesembilan ditujukan untuk merilekskan otot-otot leher bagian
belakang. Pasien dipandu meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat,
kemudian diminta untuk menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi
sedemikian rupa sehingga pasien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang
leher dan punggung atas. Lakukan penegangan otot 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan. Gerakan
ini dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian pasien diminta
untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat merasakan ketegangan di
daerah leher bagian muka. Rasakan ketegangan otot-otot tersebut 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot punggung. Gerakan ini
dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi, kemudian
punggung dilengkungkan, lalu busungkan dada. Kondisi tegang dipertahankan
selama 8 detik, kemudian rileks. Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke
kursi, sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas. Rasakan ketegangan otot-otot
punggung selama 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali.
Gerakan kedua belas dilakukan untuk melemaskan otot-otot dada. Tarik nafas
panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Tahan
selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian
turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, pasien dapat bernafas normal dengan
Universitas Indonesia
27
lega. Lakukan penegangan otot 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahanlahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan
gerakan ini 2 kali.
Gerakan ketiga belas bertujuan untuk melatih otot-otot perut. Tarik kuat-kuat
perut ke dalam, kemudian tahan sampai perut menjadi kencang dan keras.
Rasakan ketegangan otot-otot tersebut 8 detik, kemudian relaksasikan secara
perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks.
Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan keempat belas bertujuan untuk melatih otot-otot paha, dilakukan
dengan cara meluruskan kedua belah telapak kaki sehingga otot paha terasa
tegang. Rasakan ketegangan otot-otot paha tersebut selama 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kelima belas bertujuan untuk melatih otot-otot betis, luruskan kedua
belah telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang. Gerakan ini dilanjutkan
dengan mengunci lutut, lakukan penegangan otot 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali. Langkah-langkah relaksasi PMR
dapat dilihat pada lampiran6.
2.5 Peran perawat
Relaksasi PMR merupakan relaksasi yang mudah untuk diajarkan kepada pasien
dalam rangka meningkatkan kemandirian pasien dalam mengatasi masalah
kesehatannya. Perawat berperan dalam memfasilitasi kemandirian pasien, hal ini
sesuai dengan konsep self-care Orem. Menurut teori self-care Orem, pasien
dipandang sebagai individu yang memiliki potensi untuk merawat dirinya sendiri
dalam memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan, dan mencapai
kesejahteraan. Kesejahteran atau kesehatan yang optimal dapat dicapai pasien
apabila dia mengetahui dan dapat melakukan perawatan yang tepat sesuai dengan
kondisi dirinya sendiri. Perawat menurut teori self-care berperan sebagi
pendukung atau pendidik bagi pasien (Tomey & Alligood, 2006).
Universitas Indonesia
28
Menurut Orem (dalam Tomey & Alligood, 2006), perawatan merupakan suatu
kebutuhan universal untuk menjaga dan meningkatkan eksistensi diri, kesehatan,
dan kesejahteraan hidup. Pasien DMT2 yang menjalani perawatan di rumah sakit
sering mengalami stres fisik maupun psikologis akibat penyakitnya. Stres fisik
maupun psikologis ini dapat memicu meningkatnya kadar glukosa darah. Oleh
karena itu selain memberikan terapi kolaboratif, perawat dapat membantu pasien
mencapai kemampuan dalam mengontrol kadar glukosa darahnya melalui latihan
relaksasi otot progresif (PMR).
2.6 Kerangka teori
Hubungan berbagai variabel dalam penelitian ini diuraikan dalam suatu kerangka
teori yang diadopsi dari beberapa literatur. Untuk lebih jelasnya kerangka teori
penelitian ini dapat dilihat pada skema 2.3.
Universitas Indonesia
29
Skema 2.3 Kerangka Teori Penelitian
Diabetes Melitus
Komplikasi Akut
Komplikasi Kronis
Hiperglikemia
Hipoglikemia
Ketoasidosis diabetik
Sindrom HHNK
Makrovaskuler
Kaki diabetik
PJK
Stroke
Mikrovaskuler
Neuropati
Retinopati
Nefropati
TD Normal
Keseimbangan tubuh
Hemodinamik stabil
KGD Normal
Umur
Jenis kelamin
Penyakit penyerta
Lama menderita DMT2
Sumber : Kombinasi dari Black & Hawks (2009); Riyadi & Sukarmin (2008);
Snyder & Lindquist (2002)
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN
DEFINISI OPERASIONAL
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka konsep penelitian, hipotesis, dan
difinisi operasional untuk membantu mempermudah memahami masing-masing
variabel penelitian dan hipotesis yang akan dibuktikan, serta batasan dari masingmasing variabel penelitian.
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan landasan berpikir dalam melakukan penelitian yang
dikembangkan berdasarkan teori. Dalam kerangka konsep ini dijelaskan tentang
variabel-variabel yang dapat diukur dalam penelitian. Variabel-variabel yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Variabel terikat (dependent)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kadar glukosa darah pasien DMT2
sebelum dan setelah mendapatkan relaksasi PMR.
b. Variabel bebas (independent)
Variabel independent pada penelitian ini adalah relaksasi PMR pada DMT2
yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok intervensi atau kelompok
yang diberikan latihan PMR dan kelompok kontrol atau kelompok yang tidak
mendapat latihan PMR.
c. Variabel perancu (confounding)
Variabel perancu pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, penyakit
penyerta, dan lama menderita diabetes.
Hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada
skema 3.1
30
Universitas Indonesia
31
Variabel Independen
Variabel Dependen
Relaksasi PMR
Variabel Confounding
Usia
Jenis Kelamin
Penyakit Penyerta
Lama menderita DM
3.2 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang merupakan jawaban sementara peneliti
terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2008). Hipotesis inilah yang akan
dibuktikan oleh peneliti melalui penelitian. Ada dua kemungkinan hasil apakah
hipotesis penelitian terbukti atau tidak terbukti. Dalam penelitian ini ada dua
hipotesis yang dirumuskan peneliti, yaitu hipotesis mayor dan hipotesis minor.
Hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh PMR terhadap
penurunan KGD pada pasien DMT2 di RSUD Raden Mattaher Jambi. Sedangkan
hipotesis minornya adalah :
a.
Ada perbedaan rata-rata KGD sebelum dan setelah latihan PMR pada
kelompok intervensi.
b.
Ada perbedaan rata-rata KGD sebelum dan setelah intervensi pada kelompok
kontrol.
c.
d.
Ada hubungan antara umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama
menderita DMT2 dengan penurunan rata-rata KGD setelah latihan PMR.
Universitas Indonesia
32
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional masing-masing variabel dijelaskan dalam tabel 3.1 berikut
ini.
Definisi Operasional
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Independent:
Progressive
Muscle
Relaxation
(PMR)
Observasi
pelaksanaan
relaksasi PMR
1= iya/
melakukan 15
langkah PMR
0= tidak
melakukan 15
langkah PMR
Nominal
Dependent:
Kadar glukosa
darah
Kadar
glukosa
darah
pasien diabetes melitus
tipe 2 jam 06.00, 11.00,
dan 16.00 yang diukur
dengan glukometer
Pengukuran
dengan
observasi nilai
KGD
menggunakan
Glukometer.
KGD
diukur
hari 0 sebelum
dan hari ke 4
setelah
dilakukan PMR
Glukosa darah
dalam satuan
mg/dl
Interval
Perancu:
Umur
Kuesioner
1= 45 tahun
2= > 45 tahun
Ordinal
Jenis Kelamin
Kuesioner
Kategori :
1. Laki-laki
2. Perempuan
Nominal
Penyakit
penyerta
DMT2
0= tidak ada
1= ada
Nominal
Lama
menderita DM
Kuesioner
Data
ini
diperoleh
dengan melihat
catatan medis/
keperawatan
Kuesioner
0 = mean
1 = > mean
Ordinal
Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan desain penelitian, populasi dan sampel, tempat penelitian,
waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpul data, prosedur pengumpulan
data, dan analisis data.
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan pre and post with control
group, yaitu suatu desain yang memberikan perlakuan pada dua atau lebih
kelompok, kemudian diobservasi sebelum dan sesudah implementasi (Polit &
Beck, 2006). Desain ini digunakan untuk membandingkan hasil intervensi dua
kelompok, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang keduanya
diukur sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (Notoatmojo, 2005). Kelompok
kontrol dalam penelitian ini penting untuk melihat perbedaan perubahan variabel
dependen antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Untuk lebih
jelasnya desain ini dapat dilihat pada skema 4.1.
Skema 4.1 Desain penelitian
Post test
Pre test
X1
X2
Relaksasi PMR
Out put
X1 X2 = Y1
X3 X4 = Y2
X1 X3 = Y3
Tidak mendapat
relaksasi PMR
X3
X4
Y1 Y2 = Y4
Keterangan :
X1
X2
Universitas Indonesia
34
X3
X4
Y1
Y2
Y3
Y4
35
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah; 1) Pasien pulang sebelum mencapai 6
kali perlakuan, 2) Pasien menolak melanjutkan perlakuan sebelum mencapai 6
kali latihan PMR, 3) Mengalami stres dan kecemasan berat, dan 4) Pasien
mengalami gangguan kesadaran.
Dalam penelitian ini subjek atau responden dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
kelompok DMT2 yang mendapat latihan PMR (kelompok intervensi), dan
kelompok pembanding atau kelompok kontrol yaitu kelompok DMT2 yang
dirawat sesuai standar perawatan rumah sakit dan tidak mendapat PMR.
Penentuan kelompok dibedakan pada ruang rawat pasien, kelompok intervensi
diambil pada pasien yang dirawat di ruang Mayang Mengurai, Pinang Masak, dan
Gapkindo, sedangkan kelompok kontrol diambil pada pasien yang dirawat di
ruang Interne RSUD Raden Mattaher Jambi.
4.2.2.2 Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini ditetapkan dengan
menggunakan rumus dua populasi berpasangan (Sastroasmoro, 2008; Dahlan,
2006), yaitu :
n = (Z + Z). Sd
d
Keterangan :
n
Universitas Indonesia
36
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyawati, (2010) diketahui : Sd =
51,87, selisih kadar glukosa darah dianggap bermakna 50, maka :
n = (Z +Z) Sd
d
= 13,9
Untuk antisipasi drop out, jumlah sampel ditambah 10% dari perkiraan besar
sampel sehingga besar sampel masing-masing kelompok menjadi 15 responden.
Pada pelaksanaan pengambilan data, jumlah responden yang didapatkan adalah
15 orang untuk masing-masing kelompok.
4.3 Waktu dan Tempat Penelitian
4.3.1 Waktu
Jadwal waktu penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1 seperti di bawah ini.
Tabel 4.1 Rencana Jadwal Penelitian dalam Minggu
Kegiatan
Jan-Feb-Mar
1 2 3 4
April
Mei
Juni
Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Universitas Indonesia
37
4.4 Etika Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan memperhatikan dan menjunjung tinggi etika
penelitian, meliputi penerapan prinsip-prinsip etik dan informed consent.
4.4.1 Prinsip Etik
Penelitian ini dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip atau isu-isu
etik, yang meliputi; nonmaleficience, beneficience, autonomy, dan justice.
a.
b.
Beneficience (bermanfaat)
Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperiman dengan memberikan terapi pada
kelompok intervensi berupa relaksasi PMR, artinya responden mempunyai
potensi untuk menerima manfaat dari intervensi yang diberikan. Secara fisik
manfaat PMR bagi responden adalah membantu menurunkan kadar glukosa
darah, sedangkan secara psikologis responden akan merasa lebih tenang, lebih
segar, serta stres dan kecemasannya menurun. Selama penelitian berlangsung
beberapa responden mangatakan rasa enak dan rileks setelah melakukan
PMR.
c.
Autonomy
Sebelum penelitian dilakukan responden diberi penjelasan secara lengkap
meliputi tujuan penelitian, prosedur, gambaran risiko atau ketidaknyamanan
yang mungkin terjadi, serta keuntungan atau manfaat penelitian. Setelah
diberikan penjelasan pasien bebas menentukan pilihan untuk berpartisipasi
Universitas Indonesia
38
dalam penelitian atau tidak, dan tidak ada unsur paksaan. Pasien yang
bersedia ikut dalam penelitian dipersilahkan untuk menandatangani surat
persetujuan menjadi responden penelitian.
d.
Justice (Keadilan)
Semua responden berhak mendapatkan perlakuan yang adil baik sebelum,
selama, dan setelah berpartisipasi dalam penelitian. Semua responden tetap
menjalankan terapi standar dari rumah sakit. Responden yang tergabung
dalam kelompok intervensi mendapatkan tambahan terapi berupa relaksasi
PMR selama penelitian berlangsung, responden dalam kelompok kontrol
diberikan relaksasi PMR setelah pengumpulan data penelitian selesai
dilakukan.
Universitas Indonesia
39
a.
Glukometer
a) Spesifikasi
Nama produk blood glucose monitor, volume 11 dan opsi tetes ulang.
Rentang hasil pengukuran 10-600 mg/dl dengan waktu tes 5 detik.
Metode pengukuran menggunakan fotometrik, dan sistem kalibrasi
menggunakan kode chip.
b) Validasi alat
Alat yang masih baru telah dilakukan uji validitas oleh pabrik.
Penggunaan alat untuk pemeriksaan glukosa darah lebih dari 50 kali atau
minimal 3 bulan sekali dilakukan uji validitas dengan menggunakan alat
khusus yang disebut quality control (QC).
b.
c.
Persiapan Instrumen
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan instrumen yang digunakan untuk
pengumpulan data berupa lembar panduan PMR, kuesioner karakteristik
responden, lembar observasi kadar glukosa darah, lembar observasi
pelaksanaan PMR, dan peralatan glukometer.
Universitas Indonesia
40
Pada tahap ini peneliti juga merekrut tiga orang asisten yang peneliti pilih
dari perawat ruangan dengan kriteria; berpendidikan minimal diploma tiga
keperawatan, pengalaman kerja di ruang penyakit dalam minimal 5 tahun,
bersedia diberi pelatihan PMR dan cara pengumpulan data, dan bersedia
menjadi asisten penelitian. Peran asisten dalam penelitian ini adalah
membantu peneliti dalam pengumpulan data meliputi observasi pelaksanaan
PMR, pengukuran KGD, observasi terhadap ketaatan diit dan pengobatan
pasien.
b.
Persiapan Administrasi
Pada tahap ini peneliti mengurus perijinan tempat penelitian dengan
mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari Dekan FIK-UI yang
ditujukan ke Direktur RSUD Raden Mattaher Jambi.
41
untuk melatih PMR sampai pasien bisa melakukan sendiri. Peneliti juga
melakukan kontrak waktu pelaksanaan PMR yang dilakukan selama 3 hari, 2
kali sehari selama 15 menit yaitu antara pukul 11.00-12.00 WIB dan pukul
16.00-17.00 WIB.
b.
c.
Pada hari ke-2 penelitian ini peneliti dan atau asisten peneliti memastikan dan
mencatat ke dalam lembar observasi tentang penatalaksanaan yang diberikan
kepada responden, meliputi; 1) menjalankan terapi (insulin atau OHO), dan
menghabiskan makan pagi yang dihidangkan petugas rumah sakit. 2) Pasien
melakukan PMR3 sesuai panduan yaitu 15 langkah PMR secara berurutan
yang dilakukan antara pukul 11.00-12.00 WIB selama 15 menit. 3)
Menjalankan terapi (insulin atau OHO), dan menghabiskan makan siang yang
dihidangkan petugas rumah sakit. 4) Pasien melakukan PMR4 sesuai panduan
yang dilaksanakan antara pukul 16.00-17.00 WIB selama 15 menit dibawah
observasi peneliti atau asisten peneliti. 4) Menjalankan terapi (insulin atau
OHO), dan menghabiskan makan malam yang dihidangkan petugas rumah
sakit. 5) Mengingatkan kontrak untuk hari ke-3.
Universitas Indonesia
42
d.
dan
mencatat
ke
dalam
lembar
observasi
tentang
dilakukan pengukuran kadar glukosa darah pukul 06.00, 11.00, dan 16.00 WIB,
dan responden yang ingin mempelajari relaksasi PMR, pada hari ke-4 ini akan
diberikan latihan PMR. Untuk prosedur penelitian, dapat dilihat pada lampiran 7
Universitas Indonesia
43
4.6 Pengolahan dan Analisis Data
4.6.1 Pengolahan Data
Proses pengolahan data meliputi proses editing, coding, entry data, dan cleaning
data. 1) Editing dilakukan untuk melihat kelengkapan data, data yang belum
lengkap segera dilengkapi pada pertemuan berikutnya., 2) Coding yaitu tindakan
memberi kode pada lembar kuesioner dan lembar observasi masing-masing
responden., 3) Entry data, yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam program
komputer untuk dilakukan analisis menggunakan softwear statistik., dan 4)
Cleaning, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengecek kembali apakah masih
terdapat kesalahan data atau tidak. Setelah semua data dipastikan benar, maka
dilanjutkan dengan analisis data menggunakan komputer.
4.6.2 Analisis Data
4.6.2.1 Analisis Univariat
Tujuan analisis univariat adalah untuk mendeskripsikan karakteristik masingmasing variabel yang diteliti. Untuk data numerik (umur dan kadar glukosa darah)
digunakan nilai mean, median, simpangan baku, nilai minimal dan maksimal.
Sedangkan data kategorik (jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama menderita
DM) dijelaskan dengan nilai persentasi dan proporsi masing-masing kelompok.
4.6.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan
baik hipotesis mayor maupun hipotesis minor. Hipotesis mayor dalam penelitian
ini adalah ada pengaruh PMR terhadap penurunan KGD pasien DMT2 di RSUD
Raden Mattaher Jambi. Sedangkan hipotesis minornya adalah ada perbedaan ratarata KGD sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol, ada perbedaan selisih mean rata-rata KGD setelah intervensi PMR pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dan ada hubungan masing-masing
variabel confounding terhadap penurunan rata-rata KGD setelah intervensi.
Sebelum dilakukan analisis bivariat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data
menggunakan uji Shapiro-Wilk, karena jumlah sampel pada penelitian ini kurang
dari 50. Data yang berdistribusi secara normal diuji dengan uji beda dua mean (uji
Universitas Indonesia
44
t), dan data yang berdistribusi tidak normal diuji dengan uji Wilcoxon atau MannWhitney. Setelah dilakukan uji normalitas data, selanjutnya dilakukan uji
homogenitas atau kesetaraan pada setiap variabel data antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol. Untuk data kategorik diuji dengan uji Chi-Square dan
untuk data numerik digunakan uji Levenes test. Apabila nilai p>0,05, maka data
tersebut homogen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2 Rencana Uji Kesetaraan Variabel Confounding
Variabel Confounding
Kelompok
Intervensi
Kontrol
Jenis Uji
Umur
Ordinal
Ordinal
Chi-Square
Jenis kelamin
Nominal
Nominal
Chi-Square
Penyakit penyerta
Nominal
Nominal
Chi-Square
Lama menderita DM
Ordinal
Ordinal
Chi-Square
Kelompok Data
Uji Statistik
Wilcoxon
11.00
PMR
Uji t berpasangan
(paired t test)
16.00
PMR
Wilcoxon
Uji t berpasangan
(paired t test)
Uji t berpasangan
(paired t test)
Uji t berpasangan
(paired t test)
Uji Mann-Whitney
Universitas Indonesia
45
Selisih mean KGD jam 11.00
kelompok kontrol
Uji t tidak
berpasangan (pooled
t test)
Uji t tidak
berpasangan (pooled
t test)
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Tabel 5.1 Hasil Analisis Umur Responden Di RSUD Raden Mattaher Jambi
April-Mei 2011 (n1=n2= 15)
Kelompok
Mean
Median
SD
Min-Maks
95% CI
Intervensi
Kontrol
51,60
52,87
52,00
53,00
7,199
7,671
42-62
42-64
47,61-55,59
48,62-57,11
Hasil analisis tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa umur responden kelompok
intervensi dan kelompok kontrol hampir sama. Rata-rata umur responden
kelompok intervensi adalah 51,60 tahun dengan standar deviasi 7,199 tahun.
Umur terendah 42 tahun dan tertinggi 62 tahun. Dengan tingkat kepercayaan
95%, rata-rata umur responden kelompok intervensi berada antara 47,6146
Universitas Indonesia
47
55,59 tahun. Sedangkan rata-rata umur responden kelompok kontrol adalah
52,87 tahun dengan standar deviasi 7,671 tahun. Umur terendah 42 tahun dan
tertinggi 64 tahun. Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-rata umur
responden kelompok intervensi berada antara 48,62-57,11 tahun.
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Penyakit Penyerta,
dan Lama Menderita DMT2 Di RSUD Raden Mattaher Jambi
April-Mei 2011 (n1=n2= 15)
Variabel
Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
Penyakit penyerta
- Tidak ada
- Ada
Lama menderita DMT2
- 8 tahun
- > 8 tahun
Intervensi
n
%
Kontrol
n
%
Total (%)
8
7
53,3
46,7
10
5
66,7
33,3
18 (60,0)
12 (40,0)
5
10
33,3
66,7
5
10
33,3
66,7
10 (33,3)
20 (66,7)
9
6
60,0
40,0
8
7
53,3
46,7
17 (56,7)
13 (43,3)
Hasil analisis tabel 5.2 menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin
laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, yaitu 8 orang (53,3%) untuk
kelompok intervensi dan 10 orang (66,7%) untuk kelompok kontrol. Sebagian
besar responden dirawat dengan penyakit penyerta, yaitu 66,7% dari
kelompok intervensi dan 66,7% dari kelompok kontrol. Sebagian besar
responden menderita DMT2 kurang atau sama dengan 8 tahun, yaitu 60,0%
untuk kelompok intervensi dan 53,3% untuk kelompok kontrol.
b.
Gambaran rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah dilakukan PMR
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Universitas Indonesia
48
Tabel 5.3 Hasil Analisis Kadar Glukosa Darah Responden Sebelum
Dan Setelah Dilakukan PMR Di RSUD Raden Mattaher Jambi
April-Mei 2011 (n1=n2=15)
Variabel
KGD
Kelompok
Mean
SD
Min-Maks
95% CI
182,20
69,104
96-339
143,93-220,47
KGD 11.00
262,33
77,391
146-405
219,48-305,19
KGD 16.00
236,67
84,641
88-400
189,79-283,54
Setelah
KGD 06.00
130,67
53,581
91-291
100,99-160,34
KGD 11.00
177,00
45,530
104-256
151,79-202,21
KGD 16.00
148,80
74,289
88-388
107,66-189,94
168,27
54,293
89-300
138,20-198,33
KGD 11.00
226,80
62,065
134-315
192,43-261,17
KGD 16.00
206,00
75,277
80-303
164,31-247,69
Setelah
KGD 06.00
155,53
46,457
99-279
129,81-181,26
KGD 11.00
206,53
45,436
142-307
181,37-231,69
KGD 16.00
197,53
66,517
110-367
160,70-234,37
Intervensi
Sebelum
KGD 06.00
Kontrol
Sebelum
KGD 06.00
n
15
15
Hasil analisis tabel 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah
(KGD) jam 06.00 sebelum dilakukan PMR pada kelompok intervensi adalah
182,20 mg/dl, dengan standar deviasi 69,104 mg/dl. Dengan tingkat
kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 06.00 sebelum PMR pada kelompok
intervensi diyakini antara 143,93 sampai dengan 220,47 mg/dl. Rata-rata
KGD jam 11.00 adalah 262,33 mg/dl, dengan standar deviasi 77,391 mg/dl.
Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 11.00 sebelum PMR
pada kelompok intervensi diyakini antara 219,48 sampai dengan 305,19
mg/dl. Sedangkan rata-rata KGD jam 16.00 adalah 236,67 mg/dl, dengan
standar deviasi 84,641 mg/dl. Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-rata
KGD jam 16.00 sebelum PMR pada kelompok intervensi diyakini antara
189,79 sampai dengan 283,54 mg/dl.
Rata-rata KGD jam 06.00 setelah dilakukan PMR pada kelompok intervensi
adalah 130,67 mg/dl, dengan standar deviasi 53,581 mg/dl. Dengan tingkat
Universitas Indonesia
49
kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 06.00 setelah dilakukan PMR pada
kelompok intervensi diyakini antara 100,99 sampai dengan 160,34 mg/dl.
Rata-rata KGD jam 11.00 adalah 177,00 mg/dl, dengan standar deviasi
45,530 mg/dl. Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 11.00
setelah dilakukan PMR pada kelompok intervensi diyakini antara 151,79
sampai dengan 202,21 mg/dl. Sedangkan rata-rata KGD jam 16.00 adalah
148,80 mg/dl, dengan standar deviasi 74,289 mg/dl. Dengan tingkat
kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 16.00 setelah dilakukan PMR pada
kelompok intervensi diyakini antara 107,66 sampai dengan 189,94 mg/dl.
Dari tabel 5.3 juga diketahui rata-rata KGD jam 06.00 sebelum intervensi
pada kelompok kontrol adalah 168,27 mg/dl, dengan standar deviasi 54,293
mg/dl. Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 06.00 sebelum
intervensi pada kelompok kontrol diyakini antara 138,20 sampai dengan
198,33 mg/dl. Rata-rata KGD jam 11.00 adalah 226,80 mg/dl, dengan standar
deviasi 62,065 mg/dl. Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam
11.00 sebelum intervensi pada kelompok kontrol diyakini antara 192,43
sampai dengan 261,17 mg/dl. Sedangkan rata-rata KGD jam 16.00 sebelum
intervensi pada kelompok kontrol adalah 206,00 mg/dl, dengan standar
deviasi 75,277 mg/dl. Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam
16.00 sebelum intervensi pada kelompok kontrol diyakini antara 164,31
sampai dengan 247,69 mg/dl.
Rata-rata KGD jam 06.00 setelah intervensi pada kelompok kontrol adalah
155,53 mg/dl, dengan standar deviasi 46,457 mg/dl. Dengan tingkat
kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 06.00 setelah intervensi pada kelompok
kontrol diyakini antara 129,81 sampai dengan 181,26 mg/dl. Rata-rata KGD
jam 11.00 adalah 206,53 mg/dl, dengan standar deviasi 45,436 mg/dl. Dengan
tingkat kepercayaan 95%, rata-rata KGD jam 11.00 setelah dilakukan
intervensi pada kelompok kontrol diyakini antara 181,37 sampai dengan
231,69 mg/dl. Sedangkan rata-rata KGD jam 16.00 adalah 197,53 mg/dl,
dengan standar deviasi 66,517 mg/dl. Dengan tingkat kepercayaan 95%, rata-
Universitas Indonesia
50
rata KGD jam 16.00 setelah dilakukan intervensi pada kelompok kontrol
diyakini antara 160,70 sampai dengan 234,37 mg/dl.
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat akan menguraikan ada tidaknya perbedaan rata-rata kadar
glukosa darah sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol, ada tidaknya perbedaan selisih mean rata-rata kadar glukosa
darah setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol,
serta menguraikan ada tidaknya hubungan masing-masing variabel terhadap ratarata kadar glukosa darah setelah intervensi. Analisis bivariat dilakukan untuk
membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan.
Sebelum dilakukan analisis bivariat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data
numerik yaitu KGD jam 06.00, 11.00, dan 16.00 sebelum dan setelah intervensi
PMR pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, serta rata-rata selisih KGD
jam 06.00, 11.00, dan 16.00 sebelum dan setelah intervensi. Uji normalitas data
dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk. Setelah uji normalitas data, perlu juga
dilakukan uji homogenitas atau kesetaraan data antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol. Pengujian ini bertujuan untuk menentukan bahwa
perubahan rata-rata kadar glukosa darah yang terjadi bukan karena variasi
responden, tetapi karena pengaruh PMR. Untuk data numerik digunakan uji
Levenes test, sedangkan data kategorik diuji dengan uji Chi-Square. Apabila
nilai p>0,05, maka data tersebut homogen. Berikut adalah tabel uji homogenitas
dan normalitas setiap variabel :
a.
Uji normalitas data rata-rata KGD jam 06.00, 11.00, dan 16.00 sebelum dan
setelah intervensi PMR antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Universitas Indonesia
51
Tabel 5.4 Hasil Analisis Uji Normalitas Data Kadar Glukosa Darah Sebelum Dan
Setelah Intervensi PMR Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol
Di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
Variabel
KGD
Kelompok
Intervensi
KGD 06.00
Sebelum
Setelah
KGD 11.00
Sebelum
Setelah
KGD 16.00
Sebelum
Setelah
Kontrol
KGD 06.00
Sebelum
Setelah
KGD 11.00
Sebelum
Setelah
KGD 16.00
Sebelum
Setelah
*Distribusi normal (p>0,05)
Mean
SD
pValue
182,20
130,67
69,104
53,581
0,135*
0,000
262,33
177,00
77,391
45,530
0,309*
0,439*
236,67
148,80
84,641
74,289
0,631*
0,000
168,27
155,53
54,293
46,457
0,235*
0,065*
226,80
206,53
62,065
45,436
0,254*
0,695*
206,00
197,53
75,277
66,517
0,166*
0,166*
15
15
Hasil analisis tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa rata-rata KGD jam 06.00
sebelum intervensi PMR pada kelompok intervensi adalah 182,20 mg/dl
dengan standar deviasi 69,104 mg/dl. Setelah intervensi PMR diperoleh ratarata KGD jam 06.00 sebesar 130,67 mg/dl dengan standar deviasi 53,581
mg/dl. Setelah dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk
terhadap rata-rata KGD jam 06.00 sebelum intervensi PMR diperoleh nilai
p=0,135 (p>0,05), berarti rata-rata KGD jam 06.00 sebelum intervensi
berdistribusi secara normal. Namun rata-rata KGD jam 06.00 setelah
intervensi PMR pada kelompok intervensi berdistribusi secara tidak normal
dengan hasil uji statistik nilai p=0,000 (p<0,05).
Rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi PMR pada kelompok intervensi
adalah 262,33 mg/dl dengan standar deviasi 77,391 mg/dl. Setelah intervensi
PMR diperoleh rata-rata KGD jam 11.00 adalah 177,00 mg/dl dengan standar
deviasi 45,530 mg/dl. Setelah dilakukan uji normalitas data dengan uji
Shapiro-Wilk terhadap rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi PMR
diperoleh nilai p=0,309 (p>0,05), berarti rata-rata KGD jam 11.00 sebelum
Universitas Indonesia
52
intervensi berdistribusi secara normal. Demikian juga rata-rata KGD jam
11.00 setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi berdistribusi secara
normal dengan hasil uji statistik nilai p=0,439 (p>0,05).
Rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi PMR pada kelompok intervensi
adalah 236,67 mg/dl dengan standar deviasi 84,641 mg/dl. Setelah intervensi
PMR diperoleh rata-rata KGD jam 16.00 adalah 148,80 mg/dl dengan standar
deviasi 74,289 mg/dl. Setelah dilakukan uji normalitas data dengan uji
Shapiro-Wilk terhadap rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi PMR
diperoleh nilai p=0,631 (p>0,05), berarti rata-rata KGD jam 16.00 sebelum
intervensi berdistribusi secara normal. Namun rata-rata KGD jam 16.00
setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi berdistribusi secara tidak
normal dengan hasil uji statistik nilai p=0,000 (p<0,05).
Hasil analisis tabel 5.4 juga memperlihatkan bahwa rata-rata KGD jam 06.00
sebelum intervensi PMR pada kelompok kontrol adalah 168,27 mg/dl dengan
standar deviasi 54,293 mg/dl. Setelah intervensi PMR rata-rata KGD jam
06.00 adalah 155,53 mg/dl dengan standar deviasi 46,547 mg/dl. Hasil uji
normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk terhadap rata-rata KGD jam 06.00
sebelum intervensi PMR diperoleh nilai p=0,235 (p>0,05), berarti rata-rata
KGD jam 06.00 sebelum intervensi berdistribusi secara normal. Demikan
juga rata-rata KGD jam 06.00 setelah intervensi PMR pada kelompok kontrol
berdistribusi secara normal dengan hasil uji statistik nilai p=0,065 (p>0,05).
Rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi PMR pada kelompok kontrol
adalah 226,80 mg/dl dengan standar deviasi 62,065 mg/dl. Setelah intervensi
PMR rata-rata KGD jam 11.00 adalah 206,53 mg/dl dengan standar deviasi
45,436 mg/dl. Hasil uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk terhadap
rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi PMR diperoleh nilai p=0,254
(p>0,05), berarti rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi berdistribusi
secara normal. Demikian juga rata-rata KGD jam 11.00 setelah intervensi
PMR pada kelompok kontrol berdistribusi secara normal dengan hasil uji
statistik nilai p=0,695 (p>0,05).
Universitas Indonesia
53
Rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi PMR pada kelompok kontrol
adalah 206,00 mg/dl dengan standar deviasi 75,277 mg/dl. Setelah intervensi
PMR rata-rata KGD jam 16.00 adalah 197,53 mg/dl dengan standar deviasi
66,517 mg/dl. Hasil uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk terhadap
rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi PMR diperoleh nilai p=0,166
(p>0,05), berarti rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi berdistribusi
secara normal. Demikian juga rata-rata KGD jam 16.00 setelah intervensi
PMR pada kelompok kontrol berdistribusi secara normal dengan hasil uji
statistik nilai p=0,166 (p>0,05).
Analisis bivariat dilakukan dengan uji statistik Wilcoxon untuk mengetahui
perbedaan rata-rata KGD jam 06.00 dan KGD jam 16.00 sebelum dan setelah
intervensi PMR pada kelompok intervensi, serta selisih rata-rata KGD jam
06.00 antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Paired t test
untuk mengetahui perbedaan rata-rata KGD jam 11.00 sebelum dan setelah
intervensi PMR pada kelompok intervensi dan rata-rata KGD jam 06.00,
11.00 dan 16.00 sebelum dan setelah intervensi pada kelompok kontrol.
Sedangkan untuk analisis perbedaan selisih mean rata-rata KGD jam 06.00
setelah intervensi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
digunakan uji Mann-Whitney, selisih mean KGD jam 11.00 dan 16.00 setelah
intervensi PMR antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol
dilakukan dengan menggunakan uji statistik pooled t test. Untuk analisis
hubungan masing-masing variabel confounding dengan variabel dependen
dilakukan dengan uji Mann-Whitney.
b. Uji homogenitas terhadap umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama
menderita DMT2 antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Universitas Indonesia
54
Tabel 5.5 Hasil Analisis Uji Homogenitas Responden Berdasarkan Umur, Jenis
Kelamin, Penyakit Penyerta, Dan Lama Menderita DMT2 Antara Kelompok
Intervensi Dan Kelompok Kontrol Di RSUD Raden Mattaher Jambi
April-Mei 2011
Variabel
Umur
45 thn
> 45 thn
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Penyakit penyerta
Tidak ada
Ada
Lama menderita DM
8 tahun
> 8 tahun
*Homogen (p>0,05)
Intervensi
n
%
Kontrol
n
Total (%)
pValue
6
9
40,0
60,0
5
10
33,3
66,7
11 (36,7)
19 (63,3)
1,000*
8
7
53,3
46,7
10
5
66,7
33,3
18 (60,0)
12 (40,0)
0,709*
5
10
33,3
66,7
5
10
33,3
66,7
10 (33,3)
20 (66,7)
1,000*
9
6
60,0
40,0
8
7
53,3
46,7
17 (56,7)
13 (43,3)
1,000*
Universitas Indonesia
55
kontrol diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), artinya ada kesetaraan data penyakit
penyerta antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Sebagian besar responden menderita DMT2 kurang atau sama dengan 8
tahun, yaitu 60,0% untuk kelompok intervensi dan 53,3% untuk kelompok
kontrol. Setelah diuji dengan uji Chi-Square untuk mengetahui kesetaraan
lama menderita DMT2 antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol
diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), artinya ada kesetaraan data lama menderita
DMT2 antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
c.
Kelompok
KGD 06.00
Intervensi
Kontrol
KGD 11.00
Intervensi
Kontrol
KGD 16.00
Intervensi
Kontrol
*Homogen (p>0,05)
Mean
SD
SE
pValue
95% CI
182,20
168,27
69,104
54,293
17,842
14,019
0,452*
-32,547-60,413
262,33
226,80
77,391
62,065
19,982
16,025
0,187*
-16,935-88,002
236,67
206,00
84,641
75,277
21,854
19,436
0,571*
-29,243-90,576
KGD
Hasil analisis tabel 5.6 dapat disimpulkan bahwa rata-rata KGD jam 06.00
sebelum intervensi PMR pada kelompok intervensi adalah 182,20 mg/dl
dengan standar deviasi 69,104 mg/dl, sedangkan rata-rata KGD jam 06.00
sebelum intervensi pada kelompok kontrol adalah 168,27 mg/dl dengan
standar deviasi 54,293 mg/dl. Dari hasil uji t tidak berpasangan (pooled t test)
diperoleh nilai p=0,452 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan rata-rata KGD jam 06.00 sebelum intervensi PMR
antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Diyakini sebesar 95%
bahwa jika pengukuran dilakukan di populasi, maka perbedaan rata-rata KGD
jam 06.00 sebelum intervensi antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol adalah antara -32,547 sampai dengan 60,413 mg/dl.
Universitas Indonesia
56
Rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi PMR pada kelompok intervensi
adalah 262,33 mg/dl dengan standar deviasi 77,391 mg/dl, sedangkan ratarata KGD jam 11.00 sebelum intervensi pada kelompok kontrol adalah
226,80 mg/dl dengan standar deviasi 62,065 mg/dl. Dari hasil uji t tidak
berpasangan (pooled t test) diperoleh nilai p=0,187 (p>0,05), maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata KGD jam
11.00 sebelum intervensi PMR antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di populasi,
maka perbedaan rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah antara -16,935 sampai
dengan 88,002 mg/dl.
Rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi PMR pada kelompok intervensi
adalah 236,67 mg/dl dengan standar deviasi 84,641 mg/dl, sedangkan ratarata KGD jam 16.00 sebelum intervensi pada kelompok kontrol adalah
206,00 mg/dl dengan standar deviasi 75,277 mg/dl. Dari hasil uji t tidak
berpasangan (pooled t test) diperoleh nilai p=0,571 (p>0,05), maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata KGD jam
16.00 sebelum intervensi PMR antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di populasi,
maka perbedaan rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah antara -29,243 sampai
dengan 90,576 mg/dl.
Setelah diketahui distribusi masing-masing data, dilanjutkan dengan analisis
pengaruh PMR terhadap rata-rata kadar glukosa darah. Berikut adalah tabel
pengaruh PMR terhadap kadar glukosa darah :
a.
Pengaruh PMR terhadap rata-rata kadar glukosa darah pasien DMT2 sebelum
dan setelah intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Universitas Indonesia
57
Tabel 5.7 Hasil Analisis Perbedaan Kadar Glukosa Darah Pasien DMT2 Sebelum
Dan Setelah Intervensi PMR Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok
Kontrol Di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
Variabel
Kelompok
Intervensi
KGD 06.00
Sebelum
Setelah
Selisih
KGD 11.00
Sebelum
Setelah
Selisih
KGD 16.00
Sebelum
Setelah
Selisih
Kontrol
KGD 06.00
Sebelum
Setelah
Selisih
KGD 11.00
Sebelum
Setelah
Selisih
KGD 16.00
Sebelum
Setelah
Selisih
*signifikan pada =0,05
Mean
SD
SE
P
Value
95% CI
182,20
130,67
51,53
69,104
53,581
54,970
17,842
13,835
14,193
0,001*
15
21,092-81,975
262,33
177,00
85,33
77,391
45,530
72,777
19,982
11,756
18,791
0,000*
15
45,031-125,636
236,67
148,80
87,87
84,641
74,289
96,598
21,854
19,181
24,941
0,003*
15
34,373-141,361
168,27
155,53
12,73
54,293
46,457
35,546
14,019
11,995
9,178
0,187
15
-6,951-32,418
226,80
206,53
20,27
62,065
45,436
47,131
16,025
11,731
12,169
0,118
15
-5,834-46,367
206,00
197,53
8,47
75,277
66,517
55,571
19,436
17,175
14,348
0,565
15
-22,307-39,241
KGD
Dari tabel 5.7 dapat disimpulkan bahwa rata-rata KGD jam 06.00 sebelum
intervensi PMR adalah 182,20 mg/dl dengan standar deviasi 69,104 mg/dl.
Setelah intervensi PMR diperoleh rata-rata KGD jam 06.00 sebesar 130,67
mg/dl dengan standar deviasi 53,581 mg/dl. Dari hasil uji Wilcoxon diperoleh
nilai mean perbedaan antara rata-rata KGD sebelum dan setelah intervensi
PMR sebesar 51,53 mg/dl, dengan standar deviasi 54,970 mg/dl. Hasil uji
statistik didapatkan nilai p= 0,001 (p<0,05), maka dapat disimpulkan ada
perbedaan yang signifikan antara rata-rata KGD jam 06.00 sebelum dan
setelah intervensi PMR. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran
dilakukan di populasi, maka perbedaan rata-rata KGD jam 06.00 antara
sebelum dan setelah intervensi PMR adalah antara 21,092 sampai dengan
81,975 mg/dl.
Universitas Indonesia
58
Rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi PMR adalah 262,33 mg/dl
dengan standar deviasi 77,391 mg/dl. Setelah intervensi PMR didapatkan
rata-rata KGD jam 11.00 sebesar 177,00 mg/dl dengan standar deviasi 45,530
mg/dl. Dari hasil uji t berpasangan (paired t test) diperoleh nilai mean
perbedaan antara rata-rata KGD sebelum dan setelah intervensi PMR sebesar
85,33 mg/dl, dengan standar deviasi 72,777 mg/dl. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p= 0,000 (p<0,05), maka dapat disimpulkan ada perbedaan
yang signifikan antara rata-rata KGD jam 11.00 sebelum dan setelah
intervensi PMR. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di
populasi, maka perbedaan rata-rata KGD antara sebelum dan setelah
intervensi PMR adalah antara 45,031 sampai dengan 125,636 mg/dl.
Rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi PMR adalah 236,67 mg/dl
dengan standar deviasi 84,641 mg/dl. Setelah intervensi PMR didapatkan
rata-rata KGD jam 16.00 sebesar 148,80 mg/dl dengan standar deviasi 74,289
mg/dl. Dari hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai mean perbedaan antara rata-rata
KGD sebelum dan setelah intervensi PMR sebesar 87,87 mg/dl, dengan
standar deviasi 96,598 mg/dl. Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,003
(p<0,05), maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara ratarata KGD jam 16.00 sebelum dan setelah intervensi PMR. Diyakini sebesar
95% bahwa jika pengukuran dilakukan di populasi, maka perbedaan rata-rata
KGD jam 16.00 antara sebelum dan setelah intervensi PMR adalah antara
34,373 sampai dengan 141,361 mg/dl.
Dari tabel 5.7 juga dapat disimpulkan bahwa rata-rata KGD jam 06.00
sebelum intervensi pada kelompok kontrol adalah 168,27 mg/dl, dengan
standar deviasi 54,293 mg/dl. Setelah intervensi didapatkan rata-rata KGD
sebesar 155,53 mg/dl, dengan standar deviasi 46,457 mg/dl. Dari hasil uji t
berpasangan diperoleh nilai mean perbedaan antara rata-rata kadar glukosa
darah sebelum dan setelah intervensi sebesar 12,73 mg/dl, dengan standar
deviasi 35,546 mg/dl. Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,187 (p>0,05),
maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata
KGD jam 06.00 sebelum dan setelah intervensi pada kelompok kontrol.
Universitas Indonesia
59
Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di populasi, maka
perbedaan rata-rata KGD jam 06.00 antara sebelum dan setelah intervensi
adalah antara -6,951 sampai dengan 32,418 mg/dl.
Rata-rata KGD jam 11.00 sebelum intervensi pada kelompok kontrol adalah
226,80 mg/dl, dengan standar deviasi 62,065 mg/dl. Setelah intervensi
didapatkan rata-rata KGD sebesar 206,53 mg/dl, dengan standar deviasi
45,436 mg/dl. Dari hasil uji t berpasangan diperoleh nilai mean perbedaan
antara rata-rata KGD jam 11.00 sebelum dan setelah intervensi sebesar 20,27
mg/dl, dengan standar deviasi 47,131 mg/dl. Hasil uji statistik didapatkan
nilai p= 0,118 (p>0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara rata-rata KGD jam 11.00 sebelum dan setelah intervensi
pada kelompok kontrol. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran
dilakukan di populasi, maka perbedaan rata-rata KGD jam 11.00 antara
sebelum dan setelah intervensi adalah antara -5,835 sampai dengan 46,367
mg/dl.
Rata-rata KGD jam 16.00 sebelum intervensi pada kelompok kontrol adalah
206,00 mg/dl, dengan standar deviasi 75,277 mg/dl. Setelah intervensi
didapatkan rata-rata KGD sebesar 197,53 mg/dl, dengan standar deviasi
66,517 mg/dl. Dari hasil uji t berpasangan diperoleh nilai mean perbedaan
antara rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi sebesar
8,47 mg/dl, dengan standar deviasi 55,571 mg/dl. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p= 0,565 (p>0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara rata-rata KGD jam 16.00 sebelum dan
setelah intervensi pada kelompok kontrol. Diyakini sebesar 95% bahwa jika
pengukuran dilakukan di populasi, maka perbedaan rata-rata KGD jam 16.00
antara sebelum dan setelah intervensi adalah antara -22,307 sampai dengan
39,241 mg/dl.
Pengaruh PMR terhadap perubahan KGD jam 06.00, 11.00, dan 16.00
masing-masing responden setelah intervensi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Universitas Indonesia
60
Grafik 5.1A Perubahan Kadar Glukosa Darah Jam 06.00 Masing-Masing
Responden Sebelum Dan Setelah Intervensi PMR Pada Kelompok
Intervensi Di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
KGD
(mg/
dl)
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1
10 11 12 13 14 15
Responden
KGD JAM 6.00 PRE
KGD
(mg
/dl)
350
300
250
200
150
100
50
0
1
10 11 12 13 14 15
Responden
KGD 6.00 PRE
Universitas Indonesia
61
Grafik 5.2A Perubahan Kadar Glukosa Darah Jam 11.00 Masing-Masing
Responden Sebelum Dan Setelah Intervensi PMR Pada Kelompok
Intervensi Di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
KGD
(mg/
dl)
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Responden
KGD JAM 11.00 PRE
KGD JAM 11.00 POST
KGD
(mg/
dl)
350
300
250
200
150
100
50
0
1
10 11 12 13 14 15
Responden
KGD JAM 11.00 PRE
yang
KGD-nya
meningkat.
Sedangkan
grafik
5.2B
Universitas Indonesia
62
Grafik 5.3A Perubahan Kadar Glukosa Darah Jam 16.00 Masing-Masing
Responden Sebelum Dan Setelah Intervensi PMR Pada Kelompok
Intervensi Di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
KGD
(mg/
dl)
6 7 8 9
Responden
10 11 12 13 14 15
KGD
(mg/
dl)
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1
6 7 8 9
Responden
10 11 12 13 14 15
yang
KGD-nya
meningkat.
Sedangkan
grafik
5.3B
63
b. Perbedaaan selisih mean rata-rata kadar glukosa darah setelah intervensi PMR
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Tabel 5.8 Hasil Analisis Selisih Rata-Rata Kadar Glukosa Darah Pasien DMT2
Setelah PMR Antara Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol
Di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
Variabel
Kelompok
KGD 06.00
Intervensi
Kontrol
KGD 11.00
Intervensi
Kontrol
KGD 16.00
Intervensi
Kontrol
*Signifikan pada =0,05
Selisih Mean
SD
P Value
95% CI
51,53
12,73
54,970
35,546
0,014*
4,178-73,422
85,33
20,27
72,777
47,131
0,025*
7,919-107,281
87,87
8,47
96,598
55,571
0,001*
40,594-144,873
KGD
Hasil analisis tabel 5.8 dapat disimpulkan bahwa selisih mean rata-rata KGD
jam 06.00 sebelum dan setelah intervensi PMR kelompok intervensi adalah
51,53 mg/dl dengan standar deviasi 54,970 mg/dl. Selisih mean rata-rata
KGD jam 06.00 sebelum dan setelah intervensi pada kelompok kontrol adalah
12,73 mg/dl dengan standar deviasi 35,546 mg/dl. Hasil uji Mann-Whitney
diperoleh nilai p=0,014 (=0,05), artinya ada perbedaan yang signifikan
selisih mean KGD jam 06.00 antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di populasi,
maka perbedaan selisih mean KGD jam 06.00 antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol adalah antara 4,178 sampai dengan 73,422 mg/dl.
Selisih mean KGD jam 11.00 sebelum dan setelah intervensi PMR pada
kelompok intervensi adalah 85,33 mg/dl dengan standar deviasi 72,777
mg/dl, sedangkan selisih mean KGD jam 11.00 sebelum dan setelah
intervensi pada kelompok kontrol adalah 20,27 mg/dl dengan standar deviasi
47,131 mg/dl. Dari hasil uji t tidak berpasangan (pooled t test) diperoleh nilai
p= 0,025 (p<0,05), maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan
rata-rata selisih mean KGD jam 11.00 antara kelompok intervensi dengan
kelompok kontrol. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di
populasi, maka perbedaan selisih mean KGD jam 11.00 antara kelompok
Universitas Indonesia
64
intervensi dengan kelompok kontrol adalah antara 7,919 sampai dengan
107,281 mg/dl.
Selisih mean KGD jam 16.00 sebelum dan setelah intervensi PMR pada
kelompok intervensi adalah 87,87 mg/dl dengan standar deviasi 96,598
mg/dl, sedangkan rata-rata selisih mean KGD jam 16.00 sebelum dan setelah
intervensi pada kelompok kontrol adalah 8,47 mg/dl dengan standar deviasi
55,571 mg/dl. Dari hasil uji t tidak berpasangan (pooled t test) diperoleh nilai
p= 0,001 (p<0,05), maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan
rata-rata selisih mean KGD jam 16.00 antara kelompok intervensi dengan
kelompok kontrol. Diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di
populasi, maka perbedaan selisih mean KGD jam 16.00 antara kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol adalah antara 40,594 sampai dengan
144,873 mg/dl.
c. Hubungan faktor perancu dengan rata-rata kadar glukosa darah setelah
intervensi PMR
Tabel 5.9 Hasil Analisis Umur, Jenis Kelamin, Penyakit Penyerta, Dan Lama
Menderita DMT2 Dengan Selisih Kadar Glukosa Darah Jam 06.00, 11.00,
Dan 16.00 Di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
Variabel
Umur
- 45 tahun
- > 45 tahun
Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
Penyakit penyerta
- Tidak ada
- Ada
Lama menderita DMT2
- 8 tahun
- > 8 tahun
Intervensi
n
%
Kontrol
n
%
Total (%)
P value KGD
06.00 11.00 16.00
6
9
40,0
60,0
5
10
33,3
66,7
11 (36,7)
19 (63,3)
0,389
0,533
0,518
8
7
53,3
46,7
10
5
66,7
33,3
18 (60,0)
12 (40,0)
0,019
0,385
0,156
5
10
33,3
66,7
5
10
33,3
66,7
10 (33,3)
20 (66,7)
0,090
0,826
0,271
9
6
60,0
40,0
8
7
53,3
46,7
17 (56,7)
13 (43,3)
0,161
0,336
0,477
Hasil analisis tabel 5.9 dapat disimpulkan bahwa hasil uji Mann-Whitney
terhadap hubungan umur dengan selisih mean penurunan KGD jam 06.00
diperoleh nilai p=0,389, KGD jam 11.00 nilai p=0,533, dan KGD jam 16.00
nilai p=0,518 (=0,05), artinya tidak ada hubungan antara umur dengan
Universitas Indonesia
65
selisih mean penurunan KGD jam 06.00, 11.00, dan 16.00. Hasil uji MannWhitney terhadap hubungan jenis kelamin dengan selisih mean penurunan
KGD jam 06.00 diperoleh nilai p=0,019, KGD jam 11.00 nilai p=0,385, dan
KGD jam 16.00 nilai p=0,156 (p<0,05), artinya ada hubungan antara jenis
kelamin dengan selisih mean penurunan KGD jam 06.00, tetapi tidak ada
hubungan jenis kelamin dengan selisih penurunan KGD jam 11.00 dan 16.00.
Hasil uji Mann-Whitney terhadap hubungan penyakit penyerta dengan selisih
mean penurunan KGD jam 06.00 diperoleh nilai p=0,090, KGD jam 11.00
nilai p=0,826, KGD jam 16.00 nilai p=0,271 (p>0,05), artinya tidak ada
hubungan antara penyakit penyerta dengan selisih mean penurunan KGD jam
06.00, 11.00, dan 16.00. Sedangkan hasil uji Mann-Whitney terhadap
hubungan lama menderita DMT2 dengan selisih mean penurunan KGD jam
06.00 diperoleh nilai p=0,161, KGD jam 11.00 nilai p=0,336, KGD jam 16.00
nilai p=0,477 (p>0,05), artinya tidak ada hubungan antara lama menderita
DMT2 dengan selisih mean penurunan KGD jam 06.00, 11.00, dan 16.00.
Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan pembahasan yang meliputi interpretasi dan diskusi hasil
penelitian yang telah dijelaskan dalam bab 5 (hasil penelitian) dengan mengacu
pada teori-teori dan penelitian yang telah ada sebelumnya baik yang mendukung
maupun yang berlawanan dengan temuan-temuan yang baru. Pada bab ini juga
disajikan keterbatasan penelitian dan implikasi serta tindak lanjut hasil penelitian
ini yang dapat digunakan dalam pelayanan, pendidikan, maupun penelitian
keparawatan dalam upaya meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien DMT2.
6.1 Interpretasi dan diskusi hasil penelitian
a.
Universitas Indonesia
67
group, variabel karakteristik responden setara (homogen) antara kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol, dan variabel rata-rata kadar glukosa
darah sebelum intervensi setara antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol.
Mekanisme PMR dalam menurunkan KGD pada pasien DMT2 erat kaitannya
dengan stres yang dialami pasien baik fisik maupun psikologis. Selama stres,
hormon-hormon yang mengarah pada peningkatan KGD seperti epineprin,
kortisol, glukagon, ACTH, kortikosteroid, dan tiroid akan meningkat. Selain
itu peristiwa kehidupan yang penuh stres telah dikaitkan dengan perawatan
diri yang buruk pada penderita diabetes seperti pola makan, latihan, dan
penggunaan obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2008; Price & Wilson, 2006).
Stres fisik maupun emosional mengaktifkan sistem neuroendokrin dan sistem
saraf simpatis melalui hipotalamus-pituitari-adrenal (Price & Wilson, 2006;
Smeltzer, 2002; DiNardo, 2009). Relaksasi PMR merupakan salah satu
bentuk mind-body therapy (terapi pikiran dan otot-otot tubuh) dalam terapi
komplementer (Moyad & Hawks, 2009). Brown 1997 dalam Snyder &
Lindquist (2002) menyebutkan bahwa respon stres merupakan bagian dari
jalur umpan balik yang tertutup antara otot-otot dan pikiran. Penilaian
terhadap stressor mengakibatkan ketegangan otot yang mengirimkan stimulus
ke otak dan membuat jalur umpan balik. Relaksasi PMR akan menghambat
jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatis dan
memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat
sikap positif sehingga rangsangan stres terhadap hipotalamus berkurang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Ghazavi, et al (2007), bahwa
latihan PMR yang diberikan kepada pasien DM dapat menurunkan kadar
HbA1C. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah, pada penelitian tersebut
peneliti membandingkan PMR dengan terapi masase dan kelompok kontrol
pada pasien DMT1 (anak-anak) untuk mengukur HbA1C bukan KGD. 75
sampel dibagi dalam tiga kelompok, kelompok PMR dan kelompok terapi
masase diberikan intervensi setiap mau tidur malam oleh orang tua pasien
selama dua bulan. Hasilnya kelompok PMR dan kelompok terapi masase
Universitas Indonesia
68
menunjukkan penurunan HbA1C secara signifikan dibandingkan kelompok
kontrol (nilai p=0,026, p=0,036, =0,05).
Dari hasil penelitian Ghazavi, et al (2007) dan hasil penelitian ini jelas bahwa
PMR dapat menurunkan kadar glukosa darah pasien DM dengan
memunculkan kondisi rileks. Pada kondisi ini terjadi perubahan impuls saraf
pada jalur aferen ke otak dimana aktivasi manjadi inhibisi. Perubahan impuls
saraf ini menyebabkan perasaan tenang baik fisik maupun mental seperti
berkurangnya denyut jantung, menurunnya kecepatan metabolisme tubuh
dalam hal ini mencegah peningkatan KGD (Smeltzer & Bare, 2002).
Hipofisis anterior juga diinhibisi sehingga ACTH yang menyebabkan sekresi
kortisol menurun sehingga proses glukoneogenesis, katabolisme protein dan
lemak yang berperan meningkatkan KGD menurun (Sudoyo, et al, 2006).
Selisih rata-rata KGD jam 06.00 setelah dilakukan PMR berbeda secara
signifikan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (nilai
p=0,014, =0,05), selisih rata-rata KGD jam 11.00 dan jam 16.00 juga
berbeda secara signifikan antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol setelah dilakukan PMR dengan nilai p= 0,025 dan p=0,001(=0,05).
Namun bila dilihat secara individu penurunan KGD jam 06.00 responden
berkisar antara 3-187 mg/dl, KGD jam 11.00 antara -12-239mg/dl, dan KGD
jam 16.00 antara -100-243 mg/dl. Dari hasil analisis ini KGD jam 06.00
setelah intervensi PMR mengalami penurunan untuk semua responden,
namun KGD jam 11.00 ada 1 responden (responden nomor 10) dan KGD jam
16.00 ada 2 responden (responden nomor 14 dan 15) yang KGD-nya tidak
mengalami penurunan setelah intervensi PMR, bahkan cendrung naik.
KGD jam 11.00 dan 16.00 termasuk KGD post prandial, KGD ini
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya diit dan aktivitas. Tiga orang
responden yang KGD jam 11.00 dan 16,00-nya tidak mengalami penurunan
setelah intervensi PMR kemungkinan disebabkan oleh pengaruh makanan
karena dalam penelitian ini kontrol diit tidak dilakukan secara ketat dalam 24
jam. Selain itu, mungkin juga disebabkan oleh adanya infeksi yang diderita
responden yang menurut asumsi peneliti dapat meningkatkan KGD melalui
Universitas Indonesia
69
peningkatan metabolisme (hipermetabolisme). Kemungkinan lain adalah
ketidakmampuan responden melaksanakan PMR dengan benar. Meskipun
responden dapat melakukan semua prosedur atau langkah-langkah PMR,
namun bila yang bersangkutan tidak mampu memusatkan pikiran dalam
melaksanakan PMR juga kurang membawa hasil yang maksimal, karena
PMR merupakan salah satu bentuk mind-body therapy.
Individu mempunyai sifat yang multidimensi, respon individu dalam
mengatasi masalah berbeda-beda. Tampak pada penelitian ini dengan
perlakuan yang sama yaitu terapi PMR ternyata rentang penurunan KGD jam
06.00, 11.00, dan 16.00 setiap responden berbeda-beda. Responden dalam
penelitian ini melaporkan bahwa pada saat melakukan PMR ada dua sensasi
yang berbeda yaitu merasakan ketegangan otot ketika bagian otot-otot
tubuhnya diteganggkan dan merasakan sesuatu yang rileks, nyaman, enak,
dan santai ketika otot-otot tubuh yang sebelumnya ditegangkan tersebut
direlaksasikan. Namun ada beberapa responden yang melaporkan kurang bisa
merasakan sensasi dari latihan PMR yang dilakukannya karena mereka
kurang bisa berkonsentrasi dalam melakukan PMR tersebut, meskipun
dirinya bisa melakukan semua langkah atau prosedur PMR. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Richmond (2007), bahwa PMR merupakan salah satu
bentuk mind-body therapi, oleh karena itu saat melakukan PMR perhatian
diarahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot
dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi tegang.
Beberapa penelitian sebelumnya tentang PMR, telah menunjukkan manfaat
dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan terutama mengurangi ansietas
atau kecemasan, dan berkurangnya kecemasan ini mempengaruhi berbagai
gejala psikologis dan kondisi medis. Yildirim & Fadiloglu (2006) dari hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa PMR menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis. Penelitian yang
dilakukan oleh Sheu, et al, (2003) memperlihatkan bahwa PMR menurunkan
rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi di
Taiwan. Maryani (2008), menyebutkan PMR mengurangi kecemasan yang
Universitas Indonesia
70
berimplikasi pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani
kemoterapi. Haryati (2009), menyebutkan bahwa PMR meningkatkan status
fungsional pasien kanker dengan kemoterapi di RS. Dr Wahidin
Sudirohusodo. Selanjutnya relaksasi otot progresif efektif menurunkan
tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Kota Malang (Hamarno,
2010).
Jacobs (2001) menyatakan jika pada organ pankreas ada kerusakan pasokan
aliran darah, maka produksi hormon pankreas akan menurun yang berakibat
pada ketidakstabilan KGD. Dengan PMR upaya untuk mengatasi hal tersebut
diharapkan terjadi sehingga pankreas berfungsi dengan baik dan mampu
menghasilkan insulin secara normal. Lewis, et al (2003) mengemukakan
perlunya terapi komplementer dalam setting rumah sakit.
Penelitian ini sejalan dengan pernyataan Dunning (2003) bahwa terapi
komplementer memberikan manfaat pada pasien diabetes diantaranya
meningkatkan penerimaan kondisi DM saat ini, menurunkan stres,
kecemasan, dan depresi, mengembangkan strategi untuk mencegah stres
berkelanjutan, meningkatkan keterlibatan pasien dalam proses penyembuhan.
Keuntungan terapi komplementer secara spesifik bagi pasien diabetes juga
dikemukakan oleh Riyadi & Sukarmin (2008) yaitu menurunkan KGD,
meningkatkan kontrol metabolik, mencegah neuropati perifer, menurunkan
kadar katekolamin dan aktivitas otonom.
b. Hubungan variabel confounding dengan penurunan kadar glukosa darah
setelah intervensi PMR
1) Hubungan umur dengan penurunan kadar glukosa darah setelah
intervensi PMR
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa tidak ada hubungan antara umur
dengan penurunan kadar glukosa darah baik KGD jam 06.00, 11.00,
maupun jam 16.00 00 (nilai p=0,389, p=0,533, p=0,518; =0,05). Hasil
penelitian ini sejalan dengan pernyataan Golberg dan Coon (2006) bahwa
umur sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah,
Universitas Indonesia
71
sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan
gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. DMT2 biasanya terjadi
setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun
serta akan terus meningkat pada usia lanjut. Sekitar 6% individu berusia
45-64 tahun, dan 11% individu berusia di atas 65 tahun (Ignatavicius &
Walkman, 2006). Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi
glukosa mencapai 50-92% (Medicastore, 2007; Rochmah dalam Sudoyo,
2006).
Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari
tingkat sel berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ
yang mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang
mengalami perubahan adalah sel pankreas penghasil insulin, sel-sel
jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain
yang mempengaruhi kadar glukosa darah.
Perubahan anatomi, fisiologi, dan biokimia yang terjadi pada pasien
DMT2 ini, mempengaruhi sel pankreas dalam mengahsilkan insulin
sehingga produksi insulin berkurang, sementara hormon counter regulasi
yang mempengaruhi peningkatan KGD meningkat. Perubahan ini terjadi
karena proses menua atau degeneratif, dan prosesnya lebih cepat terjadi
pada pasien DMT2 karena dipicu oleh KGD yang tinggi dalam waktu
yang lama. WHO menyebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, maka kadar
glukosa darah akan naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa dan naik 5,6-13
mg/dl/tahun pada 2 jam setelah makan (Rochmah dalam Sudoyo, 2006).
72
pola penyakit diabetes di RSUD Koja tahun 2000-2004. Dalam penelitian
tersebut dilaporkan bahwa perempuan lebih banyak dibandingkan lakilaki.
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dengan penurunan kadar gula darah setelah intervensi PMR.
Asumsi peneliti adalah pasien DMT2 baik laki-laki maupun perempuan
lebih mempunyai kecendrungan untuk terjadi peningkatan KGD apabila
mempunyai berat badan yang lebih (obesitas), terjadi resistensi insulin,
dan DMT2 yang dideritanya sudah berlangsung lama tanpa kontrol
glukosa yang baik.
Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan penurunan kadar
glukosa darah setelah intervensi pada penelitian ini, menurut peneliti
dapat mengurangi bias dari hasil penelitian sehingga variabel jenis
kelamin sebenarnya bukan merupakan variabel perancu pada penelitian
ini.
3) Hubungan penyakit penyerta dengan penurunan kadar glukosa darah
setelah intervensi PMR
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden
dirawat dengan penyakit penyerta, yaitu 20 orang (66,7%), dan dari hasil
uji statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan antara penyakit penyerta
dengan penurunan kadar glukosa darah baik KGD jam 06.00, 11.00,
maupun jam 16.00 (p=0,090, p=0,826, p=0,271 =0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan tulisan Smeltzer dan Bare (2002),
bahwa separuh dari keseluruhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke
atas di rawat di rumah sakit setiap tahunnya, dan komplikasi DM
menyebabkan peningkatan angka rawat inap bagi pasien DMT2. Hal ini
terjadi karena DMT2 sering tidak menunjukkan gejala yang khas pada
awalnya, sehingga diagnosis baru ditegakkan ketika pasien berobat untuk
keluhan penyakit lain yang sebenarnya merupakan komplikasi dari
diabetes tersebut (Soegondo et al, 2009). Lebih lanjut Soegondo
Universitas Indonesia
73
mengatakan secara epidemiologis DMT2 sering kali tidak terdeteksi dan
dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum
diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus yang tidak terdeteksi ini.
Menurut Waspadji (2009) penyandang DM mempunyai risiko untuk
terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2
kali lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/ gangren, 7 kali lebih
mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan 25 kali lebih mudah
mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari pada pasien non DM
(Waspdji, 2009). Responden dalam penelitian ini beberapa diantara
menderita ulkus kaki, penyakit jantung, anemia, gangguan pencernaan,
dan gangguan penglihatan.
4) Hubungan lama menderita DMT2 dengan penurunan kadar glukosa darah
setelah intervensi PMR
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden, yaitu
17 orang (56,7%) menderita DMT2 kurang atau sama dengan 8 tahun,
dan dari uji statistik diketahui tidak ada hubungan antara lama menderita
DMT2 dengan penurunan KGD setelah intervensi. Hasil penelitian ini
sesuai dengan tulisan Waspadji (2009) yang mengatakan bahwa lamanya
pasien menderita DM dikaitkan dengan komplikasi kronik yang
menyertainya. Hal ini didasarkan pada hipotesis metabolik, yaitu
terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat kelainan
metabolik yang ditemui pada pasien DM (Waspdji, 2009). Semakin lama
pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin
tinggi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik.
Atas dasar hipotesis ini West lebih setuju menganggap kelainan vaskuler
sebagai manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit, karena
eratnya hubungan dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan
untuk mudahnya terjadi infeksi seperti tuberkulosis atau gangren diabetik
lebih sebagai komplikasi (Waspadji, 2009).
Universitas Indonesia
74
Dari analisis hubungan antara variabel confounding dengan penurunan
kadar glukosa darah setelah intervensi PMR diperoleh nilai p> 0,05,
berarti umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama menderita
DMT2 tidak mempengaruhi penurunan rata-rata kadar glukosa darah atau
dapat disimpulkan bahwa umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan
lama menderita DMT2 sebenarnya bukan merupakan variabel perancu
dalam penelitian ini.
6.2 Keterbatasan penelitian
Keterbatasan yang peneliti temukan selama melakukan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Peneliti tidak melakukan pemantauan lebih lanjut terhadap penyakit
penyerta yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi KGD pasien.
b. Pemantauan terhadap kepatuhan diit DM dilakukan dengan menanyakan
kepada pasien, tidak melalui observasi selama 24 jam.
75
Dengan demikian hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi
perawat untuk menjadikan PMR sebagai
keperawatan
PMR
mandiri
dan
memasukkan
dalam
protap
ini
bersifat
aplikatif
sehingga
perlu
direplikasi
dan
Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
a. PMR berpengaruh terhadap penurunan rata-rata kadar glukosa darah
pasien DMT2 baik kadar glukosa darah jam 06.00, jam 11.00, maupun
jam 16.00.
b. Tidak ada hubungan antara umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan
lama menderita DMT2 dengan rata-rata penurunan kadar glukosa darah
setelah intervensi PMR.
7.2 Saran
a. Bagi Pelayanan Keperawatan
Latihan PMR dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan mandiri
untuk membantu menurunkan kadar glukosa darah pasien DM.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan perawat dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan melalui seminar atau pelatihan terkait
teknik PMR dan melakukan evidence based practice. Bagi manajer
keperawatan diharapkan dapat mempertimbangkan untuk menjadikan
hasil penelitian ini sebagai dasar dalam menyusun rencana asuhan
keperawatan atau standar operasional prosedur.
b. Bagi Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber bagi perkembangan ilmu
pengetahuan keperawatan khususnya yang terkait dengan intervensi
keperawatan mandiri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sumber ilmu atau referensi baru bagi para pendidik dan mahasiswa
sehingga dapat menambah wawasan yang lebih luas dalam hal intervensi
keperawatan mandiri. Bagi pendidikan keperawatan diharapkan dapat
memasukkan materi terapi komplementer ke dalam kurikulum pendidikan
keperawatan pada mata ajar Kebutuhan Dasar Manusia dan Keperawatan
Medikal Bedah.
76
Universitas Indonesia
77
c. Bagi Penelitian selanjutnya
Penelitian ini bersifat aplikatif, diharapkan dapat direplikasi atau
dikembangkan lagi untuk memperkaya ilmu pengetahuan keperawatan
terutama
intervensi
keperawatan
mandiri
yang
berbasis
terapi
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sheu, S., Irvin, B. L., Lin, HS., dan Mar, CL. (2003). Effects of progressive
muscle relaxation on blood pressure and psychososial status for clients
with essential hypertension in taiwan. Holistic nursing practice. April 20,
2010. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12597674.
Smeltzer, S.C. dan bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah
Brunner & suddarth, (edisi 8). Jakarta : EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, K.H. (2008). Brunner &
Suddarths Textbook of medical-surgical nursing, (11th edition).
Philadelphia : Lippincott William & Wilkins.
Snyder, M. dan Lindquist, R. (2002). Complementary/ alternative therapies in
nursing, (4th ed). New York : Springer Publishing Company.
Soewondo, P. (2009). Pemantauan kendali diabetes melitus, dalam Soegondo, S.,
Soewondo, P., & Subekti, I. Ed. Penatalaksanaan diabetes melitus
terpadu (hlm 151-162). Jakarta : FKUI.
Soegondo, S. (2009). Prinsip penanganan diabetes, insulin dan obat oral
hipoglikemik oral, dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti. I. Ed.
Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 111-133). Jakarta : FKUI.
Subekti, I. (2009). Apa itu diabetes: patofisiologi, gejala dan tanda, (materi
penyuluhan 1) dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. Ed.
Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 273-278). Jakarta : FKUI.
Sukardji, K. (2009). Bagaimanakah perencanaan makan pada penyandang
diabetes, (materi penyuluhan 2) dalam Soegondo, S., Soewondo, P., &
Subekti, I. Ed. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 279-287).
Jakarta : FKUI.
Sumadji, D.W. (2006). Hipoglikemia iatrogenik, dalam dalam Sudoyo, A.W.,
Setyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. (4th ed) (hlm 1892-1895). Jakarta : Pusat Penerbit
Departemen Penyakit Dalam FK-UI.
Suyono, S. (2009). Kecendrungan peningkatan jumlah penyandang diabetes,
dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. Ed. Penatalaksanaan
diabetes melitus terpadu (hlm 3-10). Jakarta : FKUI.
_________. (2009). Patofisiologi diabetes melitus, dalam Soegondo, S.,
Soewondo, P., & Subekti, I. Ed. Penatalaksanaan diabetes melitus
terpadu (hlm 11-18). Jakarta : FKUI.
Tarigan, T.J.E. (2009). Rumor tentang insulin, mana yang benar, mana yang
salah? dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti. I. Ed.
Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 309-313). Jakarta : FKUI.
Universitas Indonesia
Tomey, AM., dan Alligood, MR., (2006). Nursing Theorists and Their Work, (6th
edition). Elsevier Mosby.
Waspadji, S. (2009). Diabetes melitus : Mekanisme dasar dan pengelolaannya
yang rasional, dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. Ed.
Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 31-45). Jakarta : FKUI.
__________. (2009). Diabetes melitus, penyulit kronik dan pencegahannya,
dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. Ed. Penatalaksanaan
diabetes melitus terpadu (hlm 175-185). Jakarta : FKUI.
Yildirim, Y.K., dan Fadiloglu, T. (2006). The effect of progressive muscle
relaxation training on anxity levels and quality of life in dialysis patients,
April 20, 2010. EDNA/ERCA Journal.
Universitas Indonesia
Lampiran 1
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
PENJELASAN PENELITIAN
Judul Penelitian
Peneliti
NPM
:
:
Universitas Indonesia
Lampiran 2
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Penelitian
Peneliti
Mashudi
NPM
0906594425
Peneliti telah memberikan penjelasan tentang penelitian yang akan dilaksanakan. Saya
mengerti bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Progressive
Muscle relaxation (relaksasi otot progresif) terhadap kadar glukosa darah pada pasien
Diabetes Melitus Tipe 2.
Saya juga mengerti bahwa partisipasi saya dalam penelitian ini bermanfaat bagi
pengembangan terapi relaksasi PMR dalam usaha menurunkan kadar glukosa darah. Saya
mengerti risiko yang mungkin terjadi selama penelitian ini sangat kecil. Saya mengerti
bahwa identitas dan catatan dalam penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya dan hanya
dipergunakan untuk keperluan penelitian.
Saya berhak untuk menghentikan keikutsertaan dalam penelitian ini kapan saja, serta
berhak mendapatkan jawaban yang jelas mengenai prosedur penelitian yang akan
dilakukan.
Secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya bersedia berpartisipasi
menjadi responden dalam penelitian ini.
Jambi,
Responden
Peneliti
...................................
Mashudi
April 2011
Universitas Indonesia
Lampiran 3
DATA RESPONDEN
1.
Nomor Responden
........................................
2.
........................................
3.
Umur
........................................
4.
Jenis kelamin
1. Laki-laki
2. Perempuan
5.
Penyakit penyerta
0. Tidak ada
1. Ada
6.
7.
....................................
8.
Lama menderita DM
....................................
Universitas Indonesia
Lampiran 4
Kelompok :
Kontrol
No.
Umur
JK
Penatalaksanaan
**Terapi Insulin/
OHO
Siang Sore
Pagi
Siang Sore
*Diet
Hari
Pagi
1
2
3
Keterangan :
*
Diberikan tanda () bila porsi diet yang disediakan habis dimakan pasien, dan tanda (x) bila diet yang
disediakan tidak habis dimakan pasien.
** Diberikan tanda () bila injeksi insulin diberikan atau OHO diminum pasien, dan tanda (x) bila injeksi
insulin tidak diberikan atau OHO tidak diminum pasien.
Hari
0
4
Keterangan :
*
Sebelum intervensi, yaitu diukur pada hari 0 pukul 06.00, 11.00, dan 16.00 WIB
** Setelah intervensi, yaitu diukur pada hari ke-4 pukul 06.00, 11.00, dan 16.00 WIB
Hari
1
2
3
PMR
PMR1
PMR2
PMR3
PMR4
PMR5
PMR6
Pukul
Pelaksanaan PMR
*Ya
**Tidak
Keterangan
11.00-12.00
16.00-17.00
11.00-12.00
16.00-17.00
11.00-12.00
16.00-17.00
Keterangan :
1.
Untuk kelompok intervensi format pelaksanaan PMR harus diisi
2.
Untuk kelompok kontrol format pelaksanaan PMR tidak perlu diisi
*
Diberikan tanda () bila pasien melaksanakan 15 langkah PMR sesuai panduan penelitian
** Diberikan tanda () bila pasien tidak melaksanakan 15 langkah PMR sesuai panduan penelitian.
Universitas Indonesia
Lampiran 5
PROSEDUR TETAP
PELAKSANAAN PENGUKURAN KADAR GLUKOSA DARAH
1.
2.
Cuci tangan
3.
4.
5.
6.
7.
Tusuk ujung jari telunjuk dengan lancing device dan lakukan masase
disekitar penusukan untuk menghasilkan jumlah darah yang mencukupi.
8.
9.
10.
11.
Buang kasa bekas, lancets bekas dan sensor bekas pada tempat sampah
medis
12.
Rapikan peralatan
13.
Cuci tangan
14.
Universitas Indonesia
Lampiran 6
LANGKAH-LANGKAH RELAKSASI
PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION (PMR)
Gerakan pertama
Gerakan kedua
Gerakan ketiga
Gerakan
pertama ditujukan
untuk
melatih otot tangan yang dilakukan dengan
cara menggenggam tangan kiri sambil
membuat suatu kepalan. Klien diminta
membuat kepalan ini semakin kuat
(gambar 1), sambil merasakan sensasi
ketegangan yang terjadi. Lepaskan kepalan
perlahan-lahan, sambil merasakan rileks
selama 8 detik. Lakukan gerakan 2 kali
sehingga klien dapat membedakan
perbedaan antara ketegangan otot dan
keadaan relaks yang dialami. Prosedur
serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
Gerakan kedua adalah gerakan untuk
melatih otot tangan bagian belakang.
Gerakan ini dilakukan dengan cara
menekuk kedua lengan ke belakang pada
pergelangan tangan sehingga otot-otot di
tangan bagian belakang dan lengan bawah
menegang, jari-jari menghadap ke langitlangit (gambar 2). Lakukan penegangan
8 detik, kemudian relaksasikan secara
perlahan-lahan dan rasakan perbedaan
antara ketegangan otot dan keadaan relaks
yang dialami. Lakukan gerakan ini 2 kali
Gerakan ketiga adalah untuk melatih otototot Biceps. Otot biceps adalah otot besar
yang terdapat di bagian atas pangkal
lengan (lihat gambar 3). Gerakan ini
diawali dengan menggenggam kedua
tangan
sehingga
menjadi
kepalan
kemudian membawa kedua kepalan ke
pundak sehingga otot-otot biceps akan
menjadi tegang. Lakukan penegangan otot
8 detik, kemudian relaksasikan secara
perlahan-lahan dan rasakan perbedaan
antara ketegangan otot dan keadaan rileks.
Lakukan gerakan ini 2 kali.
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Gerakan keempat
Gerakan kelima
Gerakan keenam
Gerakan
keempat ditujukan
untuk
melatih otot-otot bahu. Relaksasi untuk
mengendurkan bagian otot-otot bahu
dapat dilakukan dengan cara mengangkat
kedua bahu setinggi-tingginya seakanakan bahu akan dibawa hingga
menyentuh
kedua
telinga.
Fokus
perhatian gerakan ini adalah kontras
ketegangan yang terjadi di bahu,
punggung atas, dan leher. Rasakan
ketegangan otot-otot tersebut 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahanlahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks.
Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan
kelima
sampai
ke
delapan adalah gerakan-gerakan yang
ditujukan untuk melemaskan otot-otot di
wajah. Otot-otot wajah yang dilatih
adalah otot-otot dahi, mata, rahang, dan
mulut. Gerakan untuk dahi dapat
dilakukan dengan cara mengerutkan dahi
dan alis sampai ototototnya terasa dan
kulitnya keriput, mata dalam keadaan
tertutup. Rasakan ketegangan otot-otot
dahi selama 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini
2 kali.
(Lanjutan)
Otot-otot rahang
Gerakan ketujuh
Otot-otot mulut
Gerakan kedelapan
Gerakan kesembilan
Gerakan ketujuh
bertujuan untuk
mengendurkan ketegangan yang dialami
oleh otot-otot rahang dengan cara
mengatupkan rahang, diikuti dengan
menggigit gigi-gigi sehingga ketegangan di
sekitar
otot-otot
rahang.
Rasakan
ketegangan otot-otot tersebut 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahanlahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks.
Lakukan gerakan ini 2 kali.
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Gerakan kesepuluh bertujuan untuk
melatih otot leher bagian depan. Gerakan
ini dilakukan dengan cara membawa
kepala ke muka, kemudian klien diminta
untuk membenamkan dagu ke dadanya.
Sehingga dapat merasakan ketegangan di
daerah leher bagian muka. Rasakan
ketegangan otot-otot tersebut 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahanlahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks.
Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kesepuluh
Gerakan kesebelas
Gerakan keduabelas
Gerakan
kesebelas bertujuan
untuk
melatih otot-otot punggung. Gerakan ini
dapat dilakukan dengan cara mengangkat
tubuh dari sandaran kursi, kemudian
punggung dilengkungkan, lalu busungkan
dada sehingga tampak seperti pada
gambar. Kondisi tegang dipertahankan
selama 8 detik, kemudian rileks. Pada
saat rileks, letakkan tubuh kembali ke
kursi, sambil membiarkan otot-otot
menjadi lemas. Rasakan ketegangan otototot punggung selama 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2
kali.
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Gerakan ketiga belas bertujuan untuk
melatih otot-otot perut. Tarik kuat-kuat
perut ke dalam, kemudian tahan sampai
perut menjadi kencang dan keras. Rasakan
ketegangan otot-otot tersebut 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahanlahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks.
Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan ketigabelas
Universitas Indonesia
Lampiran 7
PETUNJUK PELAKSANAAN PENELITIAN
1.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011 di Instalasi Rawat Inap RSUD
Raden Mattaher Jambi.
2.
3.
4.
Memilih responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, pemberian penjelasan
penelitian, dan penandatanganan informed consent.
Kriteria inklusi :
a. Pasien DMT2 dengan/ tanpa penyakit penyerta yang dirawat inap, dengan kadar
glukosa darah 200 mg/dl pada saat masuk rumah sakit.
b. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent
c. Diberikan ijin oleh dokter untuk dilakukan latihan PMR
d. Belum pernah melakukan latihan PMR sebelumnya
e. Mendapat terapi insulin short action subkutan atau OHO kerja pendek
f. Bersedia mematuhi program pengobatan yang dijalankan (mematuhi diet rumah
sakit dan menjalankan terapi insulin/ OHO) di bawah observasi peneliti atau
asisten peneliti.
Kriteria eksklusi :
a. Pasien pulang sebelum mencapai 6 kali latihan PMR
b. Pasien menolak melanjutkan perlakuan sebelum mencapai 6 kali latihan PMR
c. Pasien mengalami stres/ kecemasan berat (dinilai menggunakan skala VAS
dengan rentang 0-100 seperti gambar di bawah ini)
10
20
3
90
50
80
40
70
60
0
00
Keterangan : Stres/ Cemas ringan (10-20), sedang (30-70), berat (70-100)
100
Mengisi lembar/ format data karakteristik responden dengan melihat rekam medis
dan wawancara langsung dengan pasien.
6.
(Lanjutan)
b. Pada hari ke-1 sampai ke-3 penelitian, responden akan melaksanakan PMR 2 kali
sehari selama 15 menit antara pukul 11.00-12.00 dan pukul 16.00-17.00 WIB.
Latihan PMR dilakukan satu persatu di kamar masing-masing responden dibawah
observasi peneliti atau asisten peneliti.
c. Pada hari ke-4 penelitian, responden akan menjalani pengukuran KGD (jam
06.00, 11.00, dan 16.00 WIB).
d. Selama penelitian berlangsung responden harus bersedia mengikuti program
pengobatan yang dijalankan (mematuhi diet rumah sakit, bersedia menjalankan
terapi insulin/ OHO).
Membuat kontrak dengan responden kelompok kontrol sebagai berikut :
a. Responden akan menjalani pengukuran KGD (jam 06.00, 11.00, dan 16.00 WIB)
pada hari pertama bertemu (Hari 0) sebelum perlakuan.
b. Pada hari ke-1 sampai ke-3 penelitian, responden harus bersedia mengikuti
program pengobatan yang dijalankan (mematuhi diet rumah sakit, bersedia
menjalankan terapi insulin/ OHO) di bawah observasi peneliti atau asisten
peneliti.
c. Pada hari ke-4 penelitian, responden akan menjalani pengukuran KGD (jam
06.00, 11.00, dan 16.00 WIB).
d. Setelah penelitian selesai, responden yang bersedia mengikuti latihan PMR akan
diberikan latihan PMR oleh peneliti sampai responden bisa melakukannya
sendiri.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Kelompok Kontrol
Hari 0
Hari ke-1
a. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
sarapan pagi.
b. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
c. Melakukan
observasi
terhadap
pelaksanaan PMR1, meliputi 15
a. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
sarapan pagi.
b. Melakukan
kepatuhan
program
observasi
responden
pengobatan
terhadap
menjalani
meliputi;
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Hari ke-2
Hari ke-3
a. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
sarapan pagi.
b. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
c. Melakukan
observasi
terhadap
pelaksanaan PMR3, meliputi 15
langkah PMR yang dilakukan sekitar
pukul 11.00-12.00 WIB.
d. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
e. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan siang.
f. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
g. Melakukan
observasi
terhadap
pelaksanaan PMR4, meliputi 15
langkah PMR yang dilakukan sekitar
pukul 16.00-17.00 WIB.
h. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
i. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan sore/ malam.
j. Mengingatkan kontrak hari ke-3
a. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
sarapan pagi.
a. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO,
sarapan pagi.
b. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
a. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
sarapan pagi.
b. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan siang.
c. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan sore/ malam.
d. Mengingatkan kontrak hari ke-3
b. Melakukan
observasi
terhadap
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
c. Melakukan
observasi
terhadap
pelaksanaan PMR5, meliputi 15
langkah PMR yang dilakukan sekitar
pukul 11.00-12.00 WIB.
d. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
e. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan siang.
f. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
g. Melakukan
observasi
terhadap
pelaksanaan PMR6, meliputi 15
langkah PMR yang dilakukan sekitar
pukul 17.00 WIB.
h. Melakukan observasi terhadap tanda
& gejala hipotensi dan hipoglikemia.
i. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan sore/ malam.
j. Mengingatkan kontrak hari ke-4
Hari ke-4
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan siang.
c. Melakukan
observasi
terhadap
kepatuhan
responden
menjalani
program
pengobatan
meliputi;
menjalankan terapi insulin/ OHO, dan
makan sore/ malam.
d. Mengingatkan kontrak hari ke-4
a. Melakukan
pengukuran
KGD a.
responden pukul 06.00, 11.00, dan
16.00 WIB.
b.
b. Melakukan terminasi
c.
Universitas Indonesia
Lampiran 8
Universitas Indonesia
Lampiran 9
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Universitas Indonesia
Lampiran 10
Universitas Indonesia
Lampiran 11
Nama
: Mashudi
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: PNS
Alamat Rumah
Alamat Institusi
Riwayat pendidikan
Riwayat pekerjaan
Universitas Indonesia