Anda di halaman 1dari 20

HASIL PENELITIAN

ALEK PISANG MANIH PADA MASYARAKAT NAGARI PANYAKALAN,


KECAMATAN KUBUNG, KABUPATEN SOLOK
Oleh:
Raphel Okfernando1
Abstract
Marriage in the Minangkabau ethnic society is a traditional ceremony that had
own traditions each implementation, as well as the marriage ceremony on the nagari
Panyakalan who also knows the tradition alek pisang manih and considered mandatory
to be implemented. Marriage ceremony is a sign that relations between addressing
certain existing social relations, where these relations is a form of structural models in
society.Tradition of alek pisang manih have certain procedures that have been
established by adat salingka nagari Panyakalan. Its Implementation is many involving
the actors and social groups from traditional leaders, they are; urang ampek jinih from
each tribe along with they acang-acang, datuek/niniek mamak from other tribes along
with urang sumando, and janang. In this tradition also held exchange tando as a form of
agreement of both parties. At execution of this tradition, the actors or social groups that
do not act carelessly, there are certain rules in it like seating position according to their
status and role in place execution and way of to converse, to strarting and also terminate
something. Based on the analysis of structuralism used in alek pisang manih, found that
actors or social groups which reside during the process execution of alek pisang manih
shows existence the relation which opposition in form of triadic, where there are two
elements to each other "opposite", but but remain to show balance because always
"involves" three elements are considered as neutral element or mediator called liminal.
As in the opposition party of siujuang with the opposition party of sipangka showing
adversative element such as sitting opposite them in the opposite direction, but by
presenting panangah interpreted not partial to any one element because they still have
relationship with each party. Opposition in form of triadic structure on the Minangkabau
people at Panyakalan village, transformative for many activities and other social
phenomena in the society system. Triadic structural forms have been made the balance
system and social structure minangkabau society in nagari Panyakalan, which actually
showed a lot of characteristics "conflict", but it still can be manipulated, because
"conflict" was always trying to provide a place for absorbers or neutralizing it still can
be happen the balance of social community itself. therefore If we looking for the
condition of the society at present time, there is issues that indicate the etnocentrism
conflict, racial, and many more ,who appear not seem too much budging to Minangkabau
society either on nagari Panyakalan or other region.
Keywords: marriage ceremony, tradition, alek pisang manih, structuralis

A. PENDAHULUAN
Orang Minangkabau merupakan salah
satu dari antara kelompok etnis utama
bangsa Indonesia menempati bagian tengah
pulau
Sumatera
sebagai
kampung
halamannya, yang sebagian besarnya

sekarang merupakan propinsi Sumatera


Barat.
Ciri khas yang masih melekat dari
masyarakat Minangkabau yaitu masih
dipertahankannya adat istiadat dan sistem
kekerabatan yang diwariskan turun temurun
sampai
sekarang.
Menurut
Radjab

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas, Padang. email; fernando.raphel@gmail.com

(1973:15), masyarakat suku bangsa


Minangkabau yang menganut sistem
kekerabatan
matrilineal
mempunyai
struktur masyarakatnya yang terbentuk
berdasarkan suku-suku. Sebagai sebuah
suku bangsa, masyarakat Minangkabau
dengan adat istiadatnya yang masih
melekat kuat mempunyai berbagai macam
upacara dalam kehidupan sosialnya, mulai
dari upacara kelahiran, upacara kematian,
upacara perkawinan atau pernikahan serta
upacara pengangkatan pemimpin adat dan
lain-lainnya
Nagari-nagari
yang
ada
di
Minangkabau akan menerapkan adat
salingka nagari yang telah disepakati
bersama di masyarakatnya tersebut. Dalam
konteks ini adat yang dimaksudkan adalah
aturan-aturan
dalam
kehidupan
bermasyarakat (umum) (Arifin et.al,
2007:99). Aturan-aturan tersebut bisa
terwujud
pada
tradisi-tradisi
yang
dijalankan masyarakat dalam bentuk
upacara adat seperti pada dalam
pelaksanaan upacara perkawinan menurut
adat istadat nagari setempat di wilayah
Minangkabau.
Nagari Panyakalan merupakan
salah satu nagari yang ada di wilayah
Minangkabau. Secara administratif nagari
Panyakalan ini terletak di wilayah
Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok,
Propinsi Sumatera Barat. Di dalam
masyarakat nagari Panyakalan itu tentunya
juga mempunyai beberapa macam tradisi
dalam melaksanakan berbagai bentuk
upacara menurut adat istiadatnya serta
memiliki
keunikan,
kekhasan,
dan
perbedaan tersendiri dari adat istiadat
masyarakat Minangkabau di nagari
lainnya. Beberapa tradisinya tersebut
terdapat di dalam prosesi upacara
perkawinan menurut adat istiadat atau yang
lebih sering disebut dengan istilah baralek2
oleh masyarakat Minangkabau pada
umumnya.
2

Baralek berasal dari kata alek yang berarti jamuan atau


pesta. Jadi baralek adalah berpesta yang dilakukan oleh
masyarakat Minangkabau.

Beberapa tradisi yang dilaksanakan


oleh masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan
dalam
prosesi
upacara
perkawinan menurut adat istiadatnya itu
antara lain:
1) Mangaku mamak atau mangaku
induek3, apabila laki-laki yang
berasal dari luar daerah nagari
Panyakalan4, ingin mengawini salah
satu perempuan dari anggota
masyarakat nagari Panyakalan,
maka laki-laki tersebut harus
masuk menjadi anggota salah satu
suku dari enam suku5 yang terdapat
di nagari Panyakalan melalui
pelaksanaan tradisi ini. Untuk
pelaksanaan tradisi mangaku induek
maka seluruh anggota keluarga inti
dari laki-laki (ibu, bapak, saudara
kandungnya) juga ikut masuk
menjadi anggota salah satu suku
yang ada di nagari Panyakalan.
2) Alek pisang manih (pesta pisang
manis) adalah suatu tradisi yang
hanya ada pada adat salingka
nagari Panyakalan dan wajib
dilakukan
dalam
pelaksanaan
upacara perkawinan jenis pesta
besar pada masyarakatnya. Di
dalam tradisi ini terjadi sejenis
musyawarah atau tanya jawab
3

Mangaku mamak artinya mengakui paman sedangkan


mangaku induek artinya mengakui ibu. Di nagari
Panyakalan untuk melaksanakan tradisi ini perlu dibayar
ampang parik yaitu suatu isian untuk melaksanakan
sebuah adat. Besaran yang perlu dibayar untuk ampang
parik ini adalah senilai harga satu emas.
4
Pengecualian untuk calon pengantin laki-laki yang
berasal dari nagari Gauang, Saok Laweh, Bukit Tandang
dan Taruang-Taruang, tradisi mangaku mamak atau
mangaku induek di nagari Panyakalan tidak akan
dilaksanakan, begitu juga sebaliknya untuk calon
pengantin laki-laki yang berasal dari nagari Panyakalan
yang mengawini perempuan dari keempat nagari terebut
maka tradisi mangaku mamak di sana juga tidak perlu
dilaksanakan. Mereka dapat turun langsung dari suku asli
mereka di nagari tersebut. Hal ini merupakan adat istiadat
tersendiri bagi keempat nagari tersebut, karena telah
menjadi ketentuan yang telah di tetapkan oleh nenek
moyang/pendahulu dari keempat daerah tersebut.
5
Suku yang ada di nagari Panyakalan adalah; Tanjuang,
Supanjang, Sungai Napa, Balai Mansiang, Kutianyie, dan
Melayu.

menggunakan bahasa petatah petitih


Minangkabau yang dilakukan oleh
para
pemuka
adat
nagari
Panyakalan serta beberapa tindakan
simbolis
selama
proses
pelaksanaanya.
3) Maanta marapulai (mengantarkan
mempelai/pengantin laki-laki) yaitu
tradisi yang wajib dilakukan
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan
yang
akan
melaksanakan upacara perkawinan
dengan jenis baralek gadang (pesta
besar), dimana pada intinya tradisi
ini bermaksud untuk menyerahkan
marapulai
(mempelai/pengantin
laki-laki) kepada pihak keluarga
anak daro (mempelai/pengantin
perempuan) secara sah dengan adat
istiadat nagari Panyakalan
Sehubungan
dengan
adanya
beberapa tradisi tersebut, peneliti lebih
tertarik memilih melakukan penelitian
tentang pelaksanaan tradisi alek pisang
manih dengan menggunakan analisis dari
teori strukturalisme untuk melihat sisi
struktural masyarakat Minangkabau di
nagari Panyakalan.
Tradisi alek pisang manih di nagari
Panyakalan dalam proses pelaksanaannya
banyak melibatkan beberapa aktor individu
dan kelompok sosial yang umumnya
berasal dari kalangan pemuka adat. Aktor
individu dan kelompok sosial yang
berperan sangat penting selama proses
pelaksanaan tradisi alek pisang manih
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Urang ampek jinih (dalam konsep
adat)6
dari
suku
pihak
6

Urang ampek jinih (orang yang empat jenis) adalah


sebutan untuk kesatuan empat orang yang memiliki tugas
dan fungsi yang berbeda dalam adat, namun akan saling
dukung-mendukung dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya (Arifin et.al, 2007:78). Sebagai kelompok adat,
maka yang dimaksud dengan urang ampek jinih adalah:
penghulu, malin, manti, dan dubalang (idem, hal 79).
Konsep kelompok urang ampek jinih juga ditemukan
dalam sistem pemerintah nagari. Dalam konteks
pemerintah nagari sekarang ini, urang ampek jinih adalah
salah satu unsur yang membentuk kepengurusan

2.
3.
4.

5.

mempelai/pengantin perempuan dan


suku pihak mempelai/pengantin
laki-laki.
Acang-acang7 dari kedua belah
pihak
suku
masing-masing
mempelai/pengantin.
Beberapa datuek/niniek mamak8 dari
suku lainnya yang ada di nagari
Panyakalan.
Beberapa urang sumando9 dari
pihak suku mempelai/pengantin
perempuan, termasuk ayah/bapak
(fa)
dari
mempelai/pengantin
perempuan (anak daro) itu sendiri.
Beberapa orang janang10 yang telah
ditunjuk dan nantinya bertugas
sebagai
orang
yang
akan
menghidangkan segala sajian ke
hadapan semua orang yang hadir
disana, serta yang nantinya juga
akan mengangkat dan membawakan
carano11 ke hadapan urang ampek

Kerapatan Adat Nagari (KAN), yaitu: niniak mamak,


cadiak pandai, alim ulama, dan bundo kanduang. (idem,
hal 83).
7
Acang-acang adalah orang yang nantinya akan
berkomunikasi atau bertanya jawab menggunakan bahasa
petatah-petitih Minangkabau pada tradisi alek pisang
manih. Orang yang menjadi acang-acang ini haruslah
mempunyai gala (gelar adat), dan diambil dari salah satu
kelompok urang ampek jinih. Biasanya diambil dari
kalangan cadiek pandai.
8
Konsep datuek/niniek mamak disini ditujukan untuk
urang ampek jinih dari suku-suku selain dari suku
masing-masing mempelai yang melakukan upacara
perkawinan dan beberapa orang yang mempunyai gala
(gelar adat) namun bukan dari golongan urang ampek
jinih dari suku-suku yang ada di nagari Panyakalan, serta
juga ditujukan untuk orang yang berasal dari kalangan
niniek mamak, alim ulama, dan cadiek pandai yang ada di
nagari Panyakalan.
9
Urang sumando menurut Davis kata sumando itu sendiri
berasal dari kata sando yang berarti berjanji. Jadi
sumando adalah seseorang yang berjanji dengan keluarga
isterinya. Ditengah masyarakatnya posisi seorang
sumando ini dianggap sebagai orang yang datang atau
tamu dalam keluarga isterinya, sebagai laki-laki
marginal (marginal man) atau mengikuti istilah LeviStrauss sebagaimana dikutip oleh Carol Davis sebagai
seorang laki-laki pinjaman (idem, hal 93).
10
Dalam budaya masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan, orang yang berhak menjadi janang ini adalah
anak pisang yang laki-laki (BrSo) dari pihak yang
mengadakan alek.
11
Carano adalah tempat daun sirih beserta
kelengkapannya (tembakau, gambir, buah pinang, dan
sekapur sirih). Carano ini juga digunakan sebagai

jinih dan para datuek niniek/mamak


yang hadir pada pelaksanaan tradisi
alek pisang manih.
Semua aktor individu atau kelompok
sosial tersebut mempunyai posisi dan
peranannya masing-masing yang saling
berkaitan dalam pelaksanaan tradisi alek
pisang manih, karena dalam adat istiadat
semua elemen masyarakat akan saling
mempengaruhi dalam pelaksanaan sebuah
upacara perkawinan sebagai suatu sistem
sosial yang berlaku di masyarakatnya.
Sebagai sebuah sistem sosial berbagai
bentuk posisi, peran, dan status sosial yang
mencerminkan sebuah tatanan struktur
masyarakat terdapat dalam pelaksanaan
tradisi alek pisang manih pada masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan ini.
Namun hal tersebut tidak hanya dapat
dilihat dari sisi luar yang empiris pada
pelaksanaan tradisi itu saja. Untuk dapat
menemukan dan memahaminya juga perlu
dilihat dari sisi dalam pada proses
pelaksanaan tradisi alek pisang manih itu
sediri, dimana makna yang terkandung
didalamnya mencerminkan relasi-relasi
dalam sebuah struktur pada masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan.
Hal tersebut sangat menarik untuk
diteliti lebih dalam dengan menggunakan
analisis ilmu antropologi yang melihat dari
sisi struktural masyarakatnya. Salah satu
teori yang dapat digunakan untuk
menganalisis struktur dalam sebuah
masyarakat suku bangsa adalah teori
struktralisme dari Claude Levi-Strauss.
Menurut Ihromi (1999:66), LeviStrauss memandang kebudayaan manusia
seperti hal itu dinyatakan dalam kesenian,
dalam upacara-upacara, dan pola kehidupan
sehari-hari sebagai perwakilan lahiriah
(surface representation) dari struktur
pikiran manusia yang mendasarinya.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka
pada dasarnya struktur masyarakat dapat
dilihat dan dikaji dengan cara yang
berbeda, sehingga menemukan berbagai
perantara pertukaran keris dan ikat pinggang (tando).

kaitannya dengan relasi-relasi sosial yang


terkandung dalam sebuah aktifitas dan
fenomena sosial dalam masyarakat sebagai
sistem sosial masyarakat tersebut. Dalam
konteks penelitian ini adalah memahami
relasi dan struktur sosial masyarakat yang
terdapat pada sebuah tradisi dalam upacara
perkawinan
menurut
adat
istiadat
masyarakat tersebut, yaitu tradisi alek
pisang
manih
pada
masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan,
sehingga perspektif teori strukturalisme
Levi-Strauss ini bisa dikembangkan dengan
objek analisis yang berbeda.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk
menjelaskan
dan
mendeskripsikan pelaksanaan tradisi
alek pisang manih yang terdapat
pada adat istiadat masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan.
2. Untuk
mempelajari
dan
menganalisis
relasi-relasi
dan
struktur-struktur
sosial
yang
terdapat pada pelaksanaan tradisi
alek pisang manih dalam upacara
perkawinan menurut adat istiadat
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan sesuai dengan analisis
teori strukturalisme dari LeviStrauss.
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kajian secara ilmiah
serta dapat memperkuat teori yang
berkaitan dengan objek penelitian yaitu
teori strukturalisme Levi-Strauss, serta
melahirkan sebuah karya tulis ilmiah yang
diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi untuk penelitianpenelitian selanjutnya khususnya penelitian
atau riset tetang strukturalisme Levi-Strauss
Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan informasi dan
menjadi salah satu wancana acuan serta
bahan pertimbangan bagi masyarakat
bersama pemerintah dalam pelestarian serta
inventarisasi tradisi dan budaya suku
4

bangsa Minangkabau yang kaya akan


budaya dan tradisi dalam adat istiadat
masyarakatnya. Khususnya tradisi alek
pisang
manih
pada
masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan,
sehingga keberadaanya tetap lestari dan
dapat
menjadi
inventaris
warisan
kebudayaan masyarakat Indonesia
B. KERANGKA PEMIKIRAN
Menurut Koentjaraningrat (1992:92),
tingkat-tingkat sepanjang hidup yang di
dalam kitab-kitab antropologi sering
disebut stages along the life-cycle itu
adalah misalnya masa bayi, masa
penyapihan, masa kanak-kanak, masa
remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah,
masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada
saat peralihan waktu, para individu beralih
dari satu tingkat hidup ke tingkat lainnya
biasanya diadakan pesta atau upacara yang
merayakan saat peralihan itu
Berbagai bentuk upacara tersaji dalam
adat istiadat masyarakat suku bangsa di
seluruh dunia, salah satunya dalam upacara
perkawinan atau pernikahan. Menurut
Suparlan (1985:98), perkawinan merupakan
suatu hubungan yang sah antara seorang
laki-laki dan wanita yang diakui oleh
masyarakat bersangkutan dan berdasarkan
atas peraturan yang berlaku.
Proses
perkawinan
itu
akan
membentuk
hubungan
sosial
antar
perorangan, keluarga, dan masyarakat.
Selain itu sebagai suatu relasi antar
kelompok, perkawinan juga merupakan
suatu bentuk proses komunikasi, Itulah
sebabnya mengapa Levi-Strauss dalam Paz
(1997:xxvii) dapat mengatakan bahwa
komunikasi dalam masyarakat manusia
berlangsung dengan perantara kata-kata,
barang dan wanita. Jadi perkawinan
bukanlah relasi antar tanda, tetapi
komunikasi atau relasi antar kelompok
melalui sistem tanda yang khusus12
12

Levi-Strauss sendiri telah membuktikan adanya relasi


atau komunikasi antar kelompok tersebut dalam karya

Tradisi alek pisang manih ini


merupakan salah satu bentuk tradisi dalam
upacara perkawinan menurut adat istiadat
pada sistem sosial budaya masyarakat
nagari Panyakalan sebagai bagian dari
kebudayaan suku bangsa Minangkabau.
Proses pelaksanaan tradisi alek pisang
manih sebagai sebuah sistem budaya pada
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan, tentunya banyak melibatkan
berbagai unsur-unsur dan kelompok
masyarakat. Mereka memiliki posisi dan
perannya masing-masing dengan tujuan
untuk melancarkan jalannya suatu upacara
perkawinan beserta tradisi-tradisi yang
terdapat di dalamnya serta untuk
memeriahkan upacara perkawinan tersebut.
Semua itu memperlihatkan bagaimana
bentuk persetujuan dari masyarakat.
Segala aktifitas kehidupan sosial dalam
masyarakat tersebut tidak bisa dilepaskan
dari hubungan-hubungan sosial sebagai
makhluk yang mempunyai kebudayaan.
Setiap masyarakat mengenal jaringan
sosial, baik karena turunan darah, akibat
perkawinan, maupun karena wasiat.
Jaringan sosial ini merupakan sebagian dari
struktur masyarakat, baik yang sederhana
maupun yang komplek (Budhisantoso.
1988:45). Jaringan sosial dimana interaksi
sosial berproses dan menjadi terorganisir
serta melalui mana posisi-posisi sosial dari
individu dan sub kelompok dapat
dibedakan oleh Ritzer (2003:19) disebut
sebagai struktur sosial.
Ahli lain mengkonseptualisasikan
struktur sosial secara berbeda. Misalnya
Evan-Pritchard mengemukakan bahwa
struktur
sosial
adalah
konfigurasi
kelompok-kelompok yang mantap; seturut
Talcott Parsons, ia adalah suatu sistem
harapan/ekspektasi normatif (normative
yang berjudul Les Structures Elementaries de la Parente
(1949) yang mengkaji pengaturan tukar-menukar wanita
antara kelompok kerabat. Hal itu diambilnya dari contoh
suku bangsa bangsa Indian di Amazon, suku bangsa
pribumi Australia, suku bangsa India timur dan Birma,
suku bangsa India Tengah dan Selatan, suku bangsa Gold
dan Gilyak di Asia Timur Laut, serta suku bangsa Cina
dan Tibet (Koentjaraningrat, 1987:220).

expectation):
Edmund
R.
Leach
mengatakanya sebagai seperangkat norma
atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss
berpendapat bahwa struktur sosial adalah
model (Kaplan & Manners, 2002:130).
Berangkat dari hal tersebut, dalam
mengkaji dan menganalisis suatu relasi dan
stuktur sosial yang terdapat pada suatu
masyarakat menggunakan dapat dikaji dan
dianalisis dengan menjadikan pelaksanaan
sebuah tradisi dalam berbagai upacara adat
seperti
upacara
perkawinan
pada
masyarakat tersebut sebagai objek analisis.
Salah satu teori yang dapat digunakan
untuk menganalisis struktur di dalam
masyarakat
tersebut
adalah
teori
strukturalisme Levi-Strauss. Strukturalisme
dari Levi-Strauss ini adalah sebuah
pendekatan baru terhadap ilmu-ilmu
manusia yang berupaya untuk menganalisis
bidang tertentu seperti mitos, perkawinan,
kekerabatan dan sebagainya, sebagai sistem
yang komplek dari bagian-bagian yang
saling terkait.
Strukturalisme
Levi-Strauss
juga
memiliki sejumlah asumsi dasar yang
berbeda dengan aliran pemikiran lain dalam
ilmu antropologi. Dasar-dasar dalam
strukturalisme Levi-Strauss ini merupakan
faktor utama yang sangat penting untuk
dipahami agar dapat menerapkan teori
tersebut dalam mengkaji sebuah fenomena
budaya. Asumsi dasar yang terdapat dalam
teori strukturalisme Levi-Strauss tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Ada anggapan bahwa sebagai
aktivitas sosial dan hasilnya, seperti:
dongeng, upacara-upacara, sistemsistem kekerabatan dan perkawinan,
pola tempat tinggal, pakaian dan
sebagainya, secara formal semuanya
dapat dikatakan sebagai bahasabahasa
atau
lebih
tepatnya
merupakan perangkat tanda dan
simbol yang menyampaikan pesanpesan tertentu. Oleh karena itu
terdapat ketertataan (order) serta
keterulangan (regularities) pada
berbagai fenomena tersebut.

2. Adanya anggapan bahwa semua


manusia dapat membuat struktur
atau menstrukturkan gejala-gejala
yang dihadapinya. Selanjutnya tugas
peneliti
yang
menggunakan
perspektif struktural pada awalnya
adalah mengungkapkan struktur
permukaan
terlebih
dahulu.
Selanjutnya adalah mengungkapkan
struktur dalam yang dianggap ada di
balik berbagai fenomena budaya.
3. Dalam menelah fenomena budaya
digunakan
relasi
sinkronis,
kemudian relasi diakronis. Oleh
karena itu dalam menjelaskan suatu
gejala, penganut strukturalisme
tidak mengacu pada sebab-sebab
karena
hubungan sebab-akibat
merupakan relasi diakronik, tetapi
mengacu pada hukum transformasi.
Hukum
transformasi
adalah
keterulangan-keterulangan
(regularities) yang tampak suatu
konfigurasi
struktural
berganti
menjadi konfigurasi struktural yang
lain. Dari pengamatan bekali-kali
akan menghasilkan kesimpulan
suatu struktur tertentu selalu beralih
rupa dengan cara tertentu. Di sini
diperoleh bukan hukum sebabakibat akan tetapi hukum-hukum
transformasi.
4. Relasi-relasi dari struktur dalam
dapat diperas atau disederhanakan
menjadi
oposisi
berpasangan
(binary opposition) yang paling
tidak punya dua pengertian.
5. Struktural ini dibedakan menjadi
dua macam: struktur lahir atau
struktur luar (surface structure) dan
struktur batin atau struktur dalam
(deep structure). Struktur luar
adalah relasi-relasi antar unsur yang
dapat kita buat atau bangun
berdasarkan atas ciri-ciri empiris
dari relasi-relasi tersebut, sedangkan
struktur dalam adalah susunan
tertentu
yang
kita
bangun
berdasarkan atas struktur lahir yang
6

telah berhasil kita buat, namun tidak


selalu tampak pada sisi empiris dari
fenomena yang kita pelajari.
Struktur dalam ini dapat disusun
dengan
menganalisis
dan
membandingkan beberapa struktur
luar yang berhasil ditemukan atau
dibangun. Struktur dalam inilah
yang lebih tepat disebut sebagai
model untuk memahami fenomena
yang diteliti. Karena melalui
struktur inilah penelitian kemudian
dapat
memahami
berbagai
fenomena
budaya
yang
dipelajarinya
(Ahimsa-Putra,
2001:61-62).

memunculkan daerah penyeimbang atau


dalam strukturalisme disebut dengan
liminal. Semua relasi-relasi unsur yang
terjadi pada pelaksanaan tradisi alek pisang
manih inilah yang akan menjadi pembentuk
struktur dalam (deep structure). Strukturstruktur yang telah ditemukan dikaji sesuai
analisis teori strukturalisme Levi-Strauss
berdasarkan data dan fakta yang diperoleh
dari pelaksanaan tradisi alek pisang manih
tersebut, sehingga dapat menjelaskan dan
menggambarkan fenomena, gejala dan
Aktifitas
sosial
dalam
masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan.

Pola dari pelaksanaan tradisi alek


pisang manih di masyarakat nagari
Panyakalan inilah yang akan dicoba
dianalisis berdasarkan asumsi dasar dari
teori strukturalisme Levi-Strauss yang telah
disebutkan diatas. Model (struktur) dan
pola tindakan formal dari aktor individu
dan kelompok sosial yang sering
diwujudkan dalam bentuk simbolik pada
pelaksanaan tradisi alek pisang manih
tersebut menjadi unit analisis dari
penelitian ini.
Penelitian tentang tradisi alek
pisang manih dengan menggunakan
analisis teori strukturalisme Levi-Strauss
pada dasarnya berangkat dari asumsi
prinsip dualisme dalam struktur masyarakat
Minangkabau, yang juga teraplikasi pada
pola pelaksanaan tradisi tersebut. Unsurunsur pembentuk dualisme ini dibangun
dari aktor individu dan kelompok sosial
yang ada dalam pelaksanaan tradisi itu dan
selanjutnya dicoba untuk memunculkan
hubungan atau relasi antar unsur-unsur
tersebut.
Relasi-relasi yang konkrit dalam
proses pelaksanaan tradisi alek pisang
manih inilah yang disebut dengan struktur
luar. Struktur luar atau relasi-relasi yang
terjadi pada unsur tersebut dibangun
dengan prinsip oposisi binari, dimana
hubungan/relasi dari oposisi ini akan

Lokasi penelitian ini berada di wilayah


nagari Panyakalan, yang terletak di
Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok
dengan ibu kota Kabupaten adalah Aro
Suka, Provinsi Sumatera Barat. Alasan
lokasi ini dipilih karena tradisi alek pisang
manih yang menjadi objek penelitian untuk
analisis teori strukturalisme Levi-Strauss ini
hanya terdapat dalam upacara perkawinan
menurut adat istiadat pada masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan saja,
dimana Tradisi ini juga masih terus
dilakukan sampai saat sekarang oleh
masyarakat Minangkabau disana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
naturalistik yang dimaksudkan untuk
memahami keadaan, fenomena dan gejala
sosial pada masyarakat sebagaimana adanya
tanpa melakukan manipulasi. Penelitian ini
bersifat deskriptif dengan tipe kualitatif
yang menggunakan metode etnografi,
dimana pusat perhatian dalam penelitian ini
adalah pelaksanaan tradisi alek pisang
manih sebagai salah satu bentuk bagian dari
adat istiadat dalam upacara perkawinan pada
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan.
Dalam pengambilan informan, peneliti
melakukan dengan teknik non probabilitas
sampling karena tidak semua individu
(anggota populasi) dapat dijadikan sumber
informasi. Teknik ini dilakukan dalam dua

C. METODOLOGI

bentuk yaitu teknik purposive sampling dan


teknik snowball sampling.
Peneliti
selanjutnya
membedakan
informan atas informan kunci dan informan
biasa. Adapun yang menjadi informan kunci
dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh
pemuka adat dan tokoh pemerintahan
nagari Panyakalan yang mempunyai
pengetahuan luas dan dalam tentang sistem
dan struktur pemerintahan dalam nagari
serta tentang pelaksanaan adat istiadat di
nagari Panyakalan, terutama mengenai
tradisi alek pisang manih. Informaninforman tersebut antara lain:
1. Satu
orang
dari
kalangan
datuek/niniek mamak dan empat
orang dari kalangan urang ampek
jinih (panghulu, manti, malin dan
dubalang) dari beberapa suku yang
ada di nagari Panyakalan. Informan
ini dipilih penliti melalui teknik
purposive dan snow ball sampling.
2. Satu orang wali nagari dan satu
orang stafnya. Informan ini dipilih
peneliti
dengan
menggunakan
teknik snow ball sampling
3. Dua orang dari unsur KAN
(Kerapatan Adat Nagari), yaitu satu
orang ketua KAN dan satu orang
cadiek pandai. Informan ini di
dapatkan peneliti melalui teknik
snow ball sampling.
Sedangkan untuk informan biasa diambil
dari individu yang pernah ikut dan terlibat
dalam
proses
pelaksanaan
upacara
perkawinan serta tradisi alek pisang manih.
Informan ini diambil dari dua orang
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan, serta dianggap cukup dan cocok
untuk diwawancarai.
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam, observasi
partisipasi terbatas, Dokumentasi, dan
penggunaan data sekunder dan studi
kepustakaan yang masih terkait dengan
penelitian alek pisang manih pada
masyarakat nagari Panyakalan, Kecamatan
Kubung, Kabupaten Solok.

Penganalisisan data-data yang telah


dikumpulkan, di lapangan yang menunjukan
proses pelaksanaan tradisi alek pisang
manih dalam upacara perkawinan menurut
adat istiadat masyarakat Minangkabau di
nagari Panyakalan, dideskripsikan secara
holistic (menyeluruh) yang selanjutnya
dianalisis menggunakan teori strukturalisme
Levi-Strauss. Untuk menjaga kesahihan
data, selama dan sesudah penelitian
dilakukan pengecekan, seperti teknik
reinterview pada setiap jawaban yang
diberikan oleh informan.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
Masalah perkawinan merupakan hal
yang sangat penting dalam ketentuan adat
istiadat masyarakat di ranah Minangkabau
termasuk di nagari Panyakalan, Kecamatan
Kubung,
Kabupaten
Solok.
Dalam
pelaksanaan upacara perkawinan tersebut
banyak melibatkan karib kerabat dan
masyarakat sekitarnya, baik dalam hal
aktifitas sebelum pesta perkawinan, saat
pesta perkawinan, dan setelah perkawinan.
Di
nagari
Panyakalan,
upacara
perkawinan tersebut dikenal dengan tiga
bentuk. Bentuk pertama adalah baralek
gadang (pesta besar), dimana pada jenis
upacara perkawinan ini segala bentuk tata
aturan pelaksanaan menurut adat istiadat di
nagari Panyakalan, temasuk tradisi-tradisi
yang ada akan dilaksanakan. Selain itu juga
dilakukan penyembelihan Sapi atau
Kambing pada jenis upacara perkawinan ini.
Bentuk kedua adalah baralek ketek (pesta
kecil), dimana dalam jenis upacara
perkawinan ini ketentuan adat istiadat tetap
dilakukan, namun ada kalanya waktu
pelaksanaannya
dipercepat
atau
dipersingkat, selain itu pada baralek ketek
ini hanya dilakukan penyembelihan ayam
saja. Bentuk terakhir adalah yang paling
sedarhana alek mandoa, dimana dalam
upacara perkawinan jenis ini hanya
melakukan acara makan jamuan kecilkecilan dan akad nikah saja. Pelaksanaannya
tidak melakukan aktifitas-aktifitas dan
8

ketentuan-ketentuan sesuai adat istiadat di


nagari Panyakalan. Hal ini pada dasarnya
terjadi karena faktor kekurang mampuan
masyarakat tersebut, terutama faktor
ekonomi yang menghambat masyarakat
untuk melakukan acara baralek menurut
cara dan ketentuan adat istiadat di nagari
Panyakalan. Berikut ini merupakan tahapantahapan yang dilalui oleh masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan dalam
menjalankan proses upacara perkawinan
atau baralek sesuai dengan ketentuan adat
salingka nagari yang berlaku disana:
a) Tahapan Sebelum Upacara
Perkawinan
Manikek Janjang, Manapiek
Bandue (Peminangan)
Acara peminangan dalam adat
istiadat di nagari Panyakalan yang
disebut dengan Manikek Janjang,
Manapiek Bandue adalah proses
penyampaian
kehendak
untuk
mendekatkan diri dalam perkawinan
dari kerabat matrilinial siperempuan
kepada kerabat matrilinial kerabat dari
silaki laki.
Acara pinangan ini dilakukan oleh
utusan dari keluarga/kerabat perempuan
yang dipimpin langsung oleh mamak
perempuan tersebut. Pihak perempuan
datang langsung kerumah pihak lakilaki
dengan
tujuan
untuk
memperkenalkan
diri
dan
menyampaikan
maksud
untuk
melakukan perkawinan antara kedua
anak kamanakan mereka tersebut, serta
untuk menyepakati perjodohan anak
kamanakan mereka masing-masing
dengan segala persyaratan yang akan
sama-sama
dirundingkan
dan
disepakati.

Baretuang (Perundingan)
Pada tahapan baretuang inilah yang
akan menjadi penentu apa, kapan,
dimana, bagaimana,
bentuk proses
upacara perkawinan untuk anak
kemenakan
tersebut.
Kedua
keluarga/kerabat awalnya baretuang
dengan keluarga besar masing-masing
yang juga melibatkan datuek/niniek
mamak, bundo kanduang, urang
sumando dan induek bako serta anak
pisang dari suku/kaum mereka masingmasing. Kemudian setelah adanya suatu
kata sepakat dari masing-masing pihak,
maka akan dilakukan acara baretuang
antara kedua belah pihak tersebut
dirumah keluarga laki-laki. Dalam hal
ini kerabat sesuku/sekaum perempuan
kembali mendatangi rumah keluarga
laki-laki untuk merundingkan upacara
perkawinan anak kamanakan mereka
yang kali ini dipimpin oleh kedua
datuek/niniek mamak suku masingmasing.
Baretuang kali ini dimaksudkan
untuk membentuk kata sepakat dalam
menentukan waktu upacara perkawinan
dan
pernikahan
yang
akan
dilangsungkan dan seperti apa alek
(pesta) yang akan dilaksanakan.
Mamanggie (Mengundang)
Mamanggie merupakan tradisi atau
kebiasaan masyarakat Minangkabau di
nagari
Panyakalan,
untuk
cara
menyampaikan
undangan
atau
memberikan pemberitahuan tentang
adanya suatu pesta adat istiadat pada
masyarakat, yang dilakukan dengan cara
memberitahu langsung secara lisan
dengan memberikan sirih dan rokok
kretek.
Managak Pondok (Mendirikan
Pondok)

Managak
pondok
(mendirikan
pondok)
merupakan
kebiasaan
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan sebelum melaksanakan
baralek. Managak pondok ini hanya
dilakukan oleh para keluarga/kerabat,
dari pihak yang akan melaksanakan
baralek di rumahnya
b) Tahapan Saat Upacara Perkawinan
Mangaku Mamak atau Mangaku
Induek (Mengakui Paman atau
Mengakui ibu)
Menurut upacara perkawinan dalam
adat salingka nagari Panyakalan,
khusus bagi calon suami untuk
perempuan yang berasal dari luar nagari
Panyakalan kecuali yang berasal dari
nagari Gauang, nagari Saok Laweh,
nagari Bukit Tandang dan nagari
Taruang-Taruang,
maka
perlu
dilaksanakan tradisi mangaku mamak
untuk calon marapulai atau bisa
melakukan tradisi mangaku induek
apabila anggota keluarga inti calon
marapulai akan menetap dan menjadi
warga nagari Panyakalan juga. Tetapi
apabila perkawinan tersebut antara
sesama warga nagari Panyakalan, maka
tradisi mangaku mamak atau mangaku
induek tidak akan terjadi. Mereka
langsung menjalankan acara yang wajib
di nagari Panyakalan yaitu alek pisang
manih.
Alek Pisang Manih (Pesta Pisang
Manis)
Tahapan selanjutnya yang wajib
dilakukan dalam acara baralek menurut
adat istiadat di nagari Panyakalan,
adalah acara alek pisang manih. Tradisi
ini telah menjadi suatu hal yang
dilaksanakan secara turun temurun bagi
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan.

Tradisi ini merupakan salah satu


bentuk alek untuk para datuek/niniek
mamak di nagari Panyakalan. Selama
alek berlangsung selain acara makan
berbagai macam buah pisang dan
kudapan manis lainnya yang di
hidangkan oleh pihak sipangka, juga
dilakukan berbalas petatah petitih
menggunakan bahasa adat Minangkabau
oleh para datuek/niniek mamak yang
hadir didalam acara tersebut, terutama
untuk kalangan urang ampek jinih dari
suku kedua mempelai melalui perantara
acang-acang. Selain itu acara timbang
tando (pertukaran tanda) atau batuka
karih jo cawek (menukar keris dan ikat
pinggang) juga dilaksanakan dalam
tradisi
ini.
Setelah
proses
pelaksanaannya selesai terselenggara,
maka
kedua
mempelai
dapat
melaksanakan acara akad nikah menurut
syariat agama islam, yang biasanya
dilakukan di mesjid atau mushalla.
Berdasarkan adat istiadat di nagari
Panyakalan, acara akad nikah ini harus
dilakukan setelah selesai acara alek
pisang manih. Namun dalam beberapa
kasus apabila wali hakim nikah (KUA)
kebetulan telah datang bersamaan
dengan acara alek pisang manih, karena
mempunyai jadwal yang padat, maka
akad nikah dapat dilakukan bersamaan
dengan acara alek pisang manih.
Basandiang (Duduk Bersanding di
Pelaminan)
Basandiang adalah duduknya kedua
pengantin dengan mengenakan pakaian
adat baralek Minangkabau di pelaminan
untuk disaksikan tamu-tamu yang hadir
pada pesta perjamuan. Acara ini
dipusatkan di rumah anak daro, jadi
segala
keperluan
dan
persiapan
dilakukan oleh pihak perempuan.
Bararak (Arak-arakkan)

10

Acara
arak-arakan
maksudnya
mengumumkan pada masyarakat bahwa
kedua mempelai sudah resmi menjadi
suami istri. Pelaksanaan bararak ini
hanya ada dalam apabila alek tersebut
merupakan alek gadang (pesta besar).
Acara bararak ini ditandai dengan
sejumlah orang yang ikut dalam arakarakan yang terdiri dari: 1). anak daro
dan marapulai, berpakaian lengkap
berjalan berdampingan, 2). Satu orang
saudara/kerabat anak daro yang
mempayungi kedua mempelai, (3) satu
orang kakak dan satu orang adik anak
daro dengan pakaian adat bewarna hitam
dengan sarung bewarna merah minimal
kemerah-merahan, 4) satu orang tuo
rarak13 yang membawa carano jo sirih
langkok dengan dijujuang (diletakkan
diatas kepala) yang berpakaian hitamhitam dan berjalan di depan, 5) sembilan
orang Ande (ibu-ibu atau pasumandan)
yang mengikuti anak daro dan
marapulai di belakang yang berpakaian
hitam-hitam, yang dua orang membawa
nasi sipuluik14, dan satu orang membawa
kue pengantin, serta enam orang lainnya
membawa makanan serta sambal.
Semuanya di bawa dengan baki dan di
jujung di atas kepala, semua ande
tersebut juga berpakaian adat bewarna
hitam-hitam.
Rombongan bararak ini diiringi juga
oleh bunyi-bunyian talempong dan
gendang yang dimainkan oleh beberapa
orang anak-anak nagari yang berusia
remaja, hingga sampai kerumah orang
tua marapulai. Setelah sampai dirumah
maka rombongan arak-arakan ini
diterima oleh bundo kanduang dari
pihak marapulai disana.
13

Tuo rarak ini adalah seorang kalangan bundo


kanduang dari kaum pihak pengantin perempuan
fungsi tuo rarak ini adalah sebagai pemimpin
rombongan bararak.
14
Nasi sipuluik nasi adalah nasi yang kedua terbuat
dari beras ketan. Pada acara bararak ini jenis nasi
sipuluik yang dibawakan adalah nasi sipuluik biasa
(yang bewarna putih) dan nasi sipuluik kuniang
(nasi sipuluik yang bewarna kuning).

Maanta Marapulai (Mengantarkan


Pengantin Perempuan)
Apabila dalam pelaksanaan baralek
di nagari Panyakalan merupakan jenis
alek
gadang
yang
melakukan
penyembelihan sapi atau kambing, maka
diharuskan melakukan tradisi maanta
marapulai (mengantarkan pengantin
laki-laki) yang juga sekaligus acara
bakaue (syukuran).
1. Prosesi Alek Pisang Manih pada
Upacara Perkawinan Menurut Adat
Istiadat Masyarakat Minangkabau di
Nagari Panyakalan
Tradisi alek pisang manih ini adalah
sebuah tradisi yang resmi dan telah
berlangsung secara turun temurun oleh
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan,
sehingganya
tradisi
ini
merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan
bagi
masyarakat
yang
mengadakan pesta perkawinan secara adat
istiadat
nagari
Panyakalan.
Tempat
pelaksanaan tradisi ini adalah di rumah anak
daro (pihak mempelai perempuan). Prosesi
pelaksanaan tradisi alek pisang manih ini
harus dilaksanakan pada waktu sebelum
memulai acara akad nikah.
Aktor pelaksana dalam tradisi alek
pisang manih ini adalah: datuek/niniek
mamak dari kedua pihak mempelai, para
datuek/niniek mamak dari suku lainnya yang
dipanggie (diundang), urang sumando dari
pihak perempuan, dan anak pisang dari
pihak perempuan yang nantinya akan
menjadi janang. Untuk marapulai atau anak
daro sendiri tidak dihadirkan atau dilibatkan
selama pelaksanaan tradisi ini.
Pelaksanaan tradisi alek pisang manih
itu sendiri juga identik dengan basa basi
dalam adat istiadat Minangkabau yang
menggunakan petatah petitih dalam bahasa
Minangkabau. Di nagari Panyakalan hal itu
disebut dengan kuak padang yaitu suatu cara
dalam berbalas tanya dan jawab atau
11

panitahan atau pasambahan (pidato


persembahan) dalam adat.
Segala perkataan yang menggunakan
bahasa petatah petitih Minangkabau akan
dijawab
sesuai
dengan
maksudnya
walaupun sekilas kata-kata yang dikeluarkan
oleh para datuek/niniek mamak terdengar
tidak sesuai jawaban dan pertanyaannya
namun arti dan maksud dari bahasa petatah
petitih tersebut selalu sesuai antara jawaban
dan pertanyaannya. Hal itulah yang menjadi
keunikan dari penggunaan bahasa petatah
petitih adat Minangkabau yang juga
teraplikasi selama pelaksanaan tradisi alek
pisang manih. Untuk mengetahui lebih
lengkap proses pelaksanaan tradisi alek
pisang manih di nagari Panyakalan, maka
berdasarkan pengamatan yang telibat
langsung dan wawancara langsung dengan
beberapa informan, peneliti menjabarkan
beberapa tahapan dalam prosesi tradisi alek
pisang manih sebagai berikut:
a) Tahapan Sebelum Pelaksanaan
Tradisi Alek Pisang Manih
Penyelengaraan tradisi alek pisang
manih ini sebelumnya telah diberi kabar
atau diberitahu oleh beberapa orang dari
kerabat sipangka atau suku kerabat anak
daro yang telah ditunjuk untuk mamangie
para datuek/niniek mamak yang ada di
nagari Panyakalan. Pihak suku marapulai
datang ke rumah perempuan dimana tempat
pelaksanaan tradisi ini akan dilaksanakan
tidaklah dengan tangan kosong, mereka
juga harus membawakan syarat-syarat
dari tradisi alek pisang manih ini. Syaratsyarat tersebut antara lain:
Bermacam-macam buah pisang
Nasi Sipuluik15
Buah Kubang16
15

Nasi Sipuluik merupakan sejenis beras ketan yang


berwarna agak keabu-abuan dan rasanya lebih manis dari
pada nasi putih biasa.
16
Makanan ini bukanlah sejenis buah-buahan, namun
nama dari suatau jenis makanan kudapan tradisional di
nagari Panyakalan yang terbuat dari parutan kelapa yang
telah dicampur dengan gula aren, sehingga parutan kelapa
tersebut terasa manis dan berwarna kecoklatan dan dibalut

Sepasang Tunas Kelapa

Syarat-syarat tersebut diserahkan ke


ibu-ibu (pasumandan) dari pihak anak daro
di dapur. Selain bahan makanan untuk pesta
dalam tradisi alek pisang manih, kelompok
dari pihak suku mempelai laki-laki juga
membawakan sebuah karih (keris) yang
dibawakan oleh panghulu suku pihak
mempelai laki-laki.
Pada saat kelompok dari pihak suku
marapulai telah datang dan masuk ke
rumah anak daro, mereka dapat duduk di
posisi mereka yang berlawanan arah
dengan kelompok urang ampek jinih dari
kelompok suku pihak anak daro yaitu di
bagian ujung rumah. Setelah semua orang
duduk di tempat masing-masing, maka
prosesi tradisi alek pisang manih dalam
adat salingka nagari Panyakalan dapat
segera dimulai.
b) Tahapan Saat Pelaksanaan Tradisi
Alek Pisang Manih
Tahapan pertama yang dilakukan pada
saat pelaksanaan tradisi alek pisang manih
adalah memulai pidato persembahan atau
penyambutan
kedatangan
para
datuek/niniek mamak dari pihak suku
marapulai. Kelompok suku pihak anak
daro disebut dengan pangka sedangkan
kelompok suku pihak mempelai marapulai
disebut dengan ujuang. Individu yang
melakukan
pidato
persembahan
menggunankan
bahasa
petatah-petitih
Minangkabau atau panitahan adalah
acang-acang dari kedua pihak.
Panitahan yang pertama mereka
lakukan
adalah
panitahan
untuk
menghidangkan
pisang
manih
(menghidangkan bermacam makanan buah
pisang yang telah dibawa oleh kelompok
suku
pihak
mempelai
marapulai
sebelumnya).
Para individu disana belum boleh
langsung memakan pisang manih yang
dengan tepung yang dibuat sebesar kelereng kemudian di
goreng.

12

telah dihidangkan janang tersebut, sebelum


kedua
acang-acang
mengeluarkan
panitahan yang bermaksud untuk memulai
makan. Setelah makan pisang manih
selesai, semua orang belum boleh
membasuh dulu tangannya, sebelum keluar
panitahan untuk menyudahi makan pisang
manih dan membasuh tangan dari acangacang. Setelah itu saling berbalas pidato
adat (kuak padang) mulai silih berganti
antara kedua acang-acang masing-masing
pihak tersebut dan kembali mengeluarkan
panitahan yang menyiaratkan janang untuk
menghidangkan nasi beserta sambal ke
hadapan semua orang di dalam rumah.
Setelah selesai janang membersihkannya
segala hidangan, maka panitahan kembali
silih berganti antara kedua acang-acang, isi
dari panitahan kali ini adalah bermaksud
membicarakan
segala
hal
yang
berhubungan
dengan
alek
tersebut
sekaligus melaksanakan timbang tando atau
di dalam adat istiadat di nagari Panyakalan
batuka karih jo cawek (Saling bertukat
keris dengan Ikat Pinggang).
Benda yang menjadi perantara timbang
tando dalam alek pisang manih di nagari
Panyakalan adalah keris (karih) dan ikat
pinggang (cawek). Pertukaran tando ini
dilangsungkan dengan perantara carano
yang berisi sirieh langkok yang dibawakan
oleh salah satu janang. Tando yang pertama
diberikan adalah tando dari sipangka
(pihak anak daro) yaitu cawek untuk segera
diberikan
kepada
siujuang
(pihak
marapulai). Setelah diterima dan cawek
diambil sementara oleh siujuang, maka
giliran karih yang dimiliki oleh siujuang
yang diletakan di atas carano yang
dibawakan oleh janang untuk diberikan
sementara kepada sipangka, pertukaran
tando ini tentunya melalui panitahan dalam
petatah petitih Minangkabau yang samasama diucapkan oleh kedua acang-acang
dari kedua belah pihak.
Sementara masing-masing tando dari
masing-masing pihak telah sepakat
ditukarkan dan masing-masing telah
memegang tando tersebut, maka dapatlah

kedua
mempelai
pergi
untuk
melangsungkan akad nikah dan alek pisang
manih secara simbolis dinyatakan telah
selesai dilaksanakan.
Tando ini nantinya akan dikembalikan
kepada masing-masing pihak setelah akad
nikah kedua mempelai telah selesai
dilaksanakan. Namun hal ini kembali
tergantung pada jenis alek dan perundingan
sebelumnya. Apabila jenis alek adalah alek
abih sahari (pesta habis sehari) maka tando
tersebut langsung di kembalikan saat itu
juga, tetapi apabila alek tersebut adalah
jenis alek gadang (pesta besar) maka tando
tersebut akan di kembalikan pada acara
pulang karih jo cawek (mengembalikan
keris dan ikat pinggang) saat pelaksanaan
tradisi maanta marapulai setelah acara
jamuan undangan atau basandiang.
Atribut dalam Pelaksanaan Alek Pisang
Manih
Sepasang Tunas Kelapa
Baju Adat yang Dipakai Urang
Ampek Jinih dan Acang-acang
Carano
Karih (Keris) dan Cawek (Ikat
Pinggang)
Bermacam-macam Buah Pisang
2. Analisis Teori Strukturalisme LeviStrauss pada Tradisi Alek Pisang
Manih
a) Dasar-dasar Kajian Teori
Strukturalisme Levi-Strauss pada
Tradisi Alek Pisang Manih
Dasar penerapan teori strukturalisme
levi-strauss sebagai alat analisis untuk
tradisi alek pisang manih pada masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan ini
adalah menggunakan prinsip asumsi dari
dualisme tersebut, karena bentuk prinsip
dualisme itu juga dapat terlihat dari pola
pelaksananan tradisi alek pisang manih
dalam upacara perkawinan berdasarkan
adat salingka nagari di Panyakalan.
Pembentuk
prinsip
dualisme
pada

13

pelaksanaan tradisi alek pisang manih di


nagari Panyakalan dibangun dari beberapa
aktor atau kelompok sosial yang ada selama
pelaksanaan tradisi alek pisang manih.
Untuk dapat menemukan relasi antar
struktur sekaligus strukturalnya dengan
cara pandang teori strukturalisme LeviStrauss, maka aktor atau kelompok sosial
yang menjadi unsur-unsur dari pelaksanaan
alek pisang manih tersebut disusun
berdasarkan pembagian tertentu.
Hubungan atau dalam strukturalisme
Levi-Strauss disebut dengan relasi yang
terjadi di antara unsur-unsur alek pisang
manih ini kemudian dibangun sendiri oleh
peneliti berdasarkan fakta-fakta dan data
yang terlihat pada tradisi alek pisang
manih. Relasi-relasi yang terjadi dalam
proses pelaksanaan tradisi alek pisang
manih inilah yang disebut dengan struktur
luar menurut prinsip dasar teori
strukturalisme Levi-Strauss.
Struktur luar atau relasi-relasi tersebut
dibangun dengan prinsip oposisi binari.
Menurut pandangan strukturalisme LeviStrauss, oposisi binari inilah yang memiliki
posisi penting untuk menjelaskan struktur
dari fenomena atau aktifitas sosial yang
diamati. Semua bentuk struktur beroposisi
yang terjadi pada pelaksanaan tradisi alek
pisang manih inilah yang akan menjadi
pembentuk deep structure (struktur dalam).
Selanjutnya struktur-struktur yang telah
ditemukan dikaji sesuai analisis teori
strukturalisme
Levi-Strauss
dalam
pemahaman peneliti berdasarkan data dan
fakta yang diperoleh, sehingga dapat
menjelaskan dan mengambarkan fenomena,
gejala, atau aktifitas sosial dalam
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan yang teraplikasi pada pola
pelaksanaan tradisi alek pisang manih
dalam upacara perkawinan menurut adat
salingka nagari Panyakalan.
b) Unsur-Unsur dalam Tradisi Alek
Pisang Manih
Urang Ampek Jinih

Urang Ampek Jinih (orang yang


empat jenis) adalah sebutan untuk
kesatuan empat orang yang memiliki
tugas dan fungsi yang berbeda dalam
adat, namun akan saling dukungmendukung dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya (Arifin, 2007:78). Sesuai
dengan aturan adat salingka nagari di
Panyakalan, maka yang disebut sebagai
kelompok urang ampek jinih pada
sistem dan struktur adat istiadat
masyarakat nagari Panyakalan adalah:
panghulu, manti, dubalang, dan malin.
Acang-acang
Acang-acang adalah orang atau
individu
yang
nantinya
akan
berkomunikasi atau bertanya jawab dan
melakukan
pidato
persembahan
(panitahan)
menggunakan
bahasa
petatah-petitih Minangkabau (kuak
padang) pada setiap alek termasuk saat
pelaksanaan tradisi alek pisang manih.
Individu yang berposisi sebagai
acang-acang biasanya diambil dari
kalangan cadiek pandai yang tentunya
mempunyai gelar (gala) dari suku
tersebut. Dalam prosesi alek, apabila
urang ampek jinih dari masing-masing
pihak ingin berbicara, memberi saran,
atau kritikan haruslah melalui acangacang (dengan berbisik-bisik), karena
hanya mereka berdualah yang boleh
berkomunikasi serta bertanya jawab
atau panitahan selama pelaksanaan
tradisi.
Urang Sumando
Urang sumando dalam adat
salingka nagari Panyakalan merupakan
seorang laki-laki pendatang yang tidak
boleh mengganggu persoalan di rumah
gadang istrinya tetapi juga dianggap
istimewa karena tidak menjadi orang
yang selalu disuruh-suruh melakukan
segala hal yang berhubungan dengan
kerabat istrinya dalam lingkungan adat
istiadat matrilineal. Dalam pelaksanaan
pesta (baralek) di nagari Panyakalan,
14

peran urang sumando dalam artian


formal
tidak
banyak
digunakan
perannya
dalam
penyelenggaraan
sebuah pesta di lingkungan kerabat
istrinya tersebut, namun tetap harus
dilibatkan pada setiap acara
Datuek/Niniek Mamak dari Suku
lainnya
Setiap pelaksanaan alek (pesta)
kehadiran semua kalangan masyarakat
terutama kalangan pemuka adat atau
niniek mamak sangat diharapkan. Hal
ini menandakan bahwa alek merupakan
sebuah pesta bagi semua orang dan
kalangan
dalam
nagari.
Pada
pelaksanaan
baralek
di
nagari
Panyakalan,
sangat
pentingnya
mengundang kalangan pemuka adat
termasuk dalam acara alek pisang
manih. Kehadiran mereka memberikan
kesan bahwa alek tersebut dapat
diterima oleh semua masyarakat di
dalam nagari
Janang
Menurut
budaya
masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan
janang merupakan individu yang
bertugas
menghidangkan,
mengantarkan,
dan
mengambil
makanan pada setiap jenis alek atau
upacara menurut adat istiadat. Menurut
aturan
adat
istiadat
masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan,
individu yang berhak menjadi seorang
janang pada berbagai alek (pesta)
terutama pada upacara perkawinan
adalah anak pisang (BrSo) dari pihak
yang mengadakan alek tersebut.
c) Relasi dan Struktur dalam Alek
Pisang Manih
Aktivitas
sosial
seperti
sistem
kekerabatan, upacara perkawinan dan lainlain secara formal menurut dasar dari teori
strukturalisme Levi-Strauss dapat dikatakan
sebagai sebuah bahasa-bahasa atau lebih

tepatnya merupakan sebuah relasi dari


seperangkat tanda dan simbol untuk
menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh
karena itu dalam upacara perkawinan
khususnya tradisi alek pisang manih pada
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan yang menjadi objek analisis
strukturalisme
pada
penelitian
ini,
diasumsikan
juga
terdapat
sebuah
ketertataan (order), serta keterulangan
(regularities) dari relasi-relasi tersebut.
Pada tradisi alek pisang manih yang
dianggap sebagai pestanya untuk para
niniek mamak di nagari Panyakalan banyak
memperlihatkan struktur-struktur tertentu
dari para aktor individu atau kelompok
sosial yang melaksanakananya. Contohnya
pada
posisi
duduk
masing-masing
kelompok atau individu di dalam rumah
saat menjalankan alek pisang manih yang
secara kasat mata seperti telah tertanam
pada setiap kelompok atau individu,
sebagai apa dan dimana posisi mereka
duduk dirumah yang menjalankan alek
secara otomatis telah dipahami oleh semua
aktor yang terlibat di dalamnya.
Urang ampek jinih dari pihak suku
anak daro, dalam alek pisang manih
berperan sebagai sipangka duduk dimana
posisi sipangka harus duduk yang
berlawanan dengan posisi duduk urang
ampek jinih dari pihak suku marapulai
yang berperan sebagai siujuang. Sedangkan
yang nantinya akan menempati bagian
tengah tepi kiri dan kanan rumah yang
berposisi sebagai panangah adalah para
urang sumando dan datuek/niniek mamak
suku lainnya. Dengan adanya keteraturan
posisi duduk dalam rumah tersebut maka
dalam pelaksanaan alek pisang manih, para
aktor
yang
berada
di
dalamnya
menunujukan bentuk yang beroposisi.
Oposisi tersebut dapat dibentuk dengan
bentuk struktur triadik.
Struktur triadik dari pelaksanaan alek
pisang manih tersebut, mempelihatkan
kepada kita bahwa terjadi oposisi antara
urang ampek jinih dari suku anak daro
dengan urang ampek jinih dari suku
15

marapulai. Sebagai perwakilan dua


keluarga atau kerabat yang berbeda, maka
mereka juga menunjukan oposisi binari.
Ciri-ciri oposisi dari mereka dapat juga
terlihat dari arah duduk di dalam rumah.
Arah duduk urang ampek jinih dari suku
anak daro adalah menghadap ke sisi dalam
rumah, sedangkan siujuang menghadap ke
arah luar rumah. Sedangkan posisi
panangah, yang di dalam alek pisang
manih diwakili oleh urang sumando dan
datuek/niniek mamak suku lainnya yang
dianggap bersifat independen.
Posisi mereka dalam pelaksanaan alek
pisang manih cendrung lebih sebagai wakil
kerabat suku dari kedua belah pihak (suku
marapulai dan suku anak daro yang
diwakili oleh urang ampek jinihnya). Di
dalam unsur urang sumando ini berisikan
para suami (SiHu) dari saudari sesuku
sianak daro (sipangka) dan unsur
datuek/niniek mamak dari suku lain bisa
jadi juga berisikan urang sumando dari
simarapulai. Selain itu juga tidak tertutup
kemungkinan unsur urang sumando disini
juga mempunyai suku yang sama dengan
para datuek/niniek mamak suku lainnya ini.
Karena dalam alek pisang manih ini yang
beroposisi adalah urang ampek jinih dari
suku anak daro (sipangka) dengan urang
ampek jinih simarapulai (siujuang) maka
kehadiran datuek/niniek mamak dan urang
sumando di dalam alek pisang manih dapat
menjadi penyeimbang dan penetralisir
(liminal) apabila nantinya dalam oposisi
tersebut terjadi ketidak harmonisan.
Oposisi binari dalam bentuk struktur
triadik ini sebenarnya juga bertransformasi
diantara masing-masing kelompok urang
ampek jinih yang menjalankan alek pisang
manih ini. Dimana posisi urutan duduk
pada masing-masing kelompok urang
ampek jinih tersebut juga membentuk
oposisi triadik. Pembentuk oposisi tersebut
adalah panghulu sebagi pemangku adat
dengan malin sebagai pemangku agama.
Sedangkan dengan manti dan dubalang
merupakan pendukung diantara oposisi
tersebut. Adanya oposisi elemen urang

ampek jinih tersebut kemungkinan konflik


juga dapat timbul, namun hal itu terkesan
dihindarkan dengan menghadirkan pihak
penetral yaitu acang-acang yang dianggap
sebagai liminal dari oposisi panghulu dan
malin.
Acang-acang tersebut bukanlah dari
kalangan urang ampek jinih (dalam konsep
adat), melainkan dari salah satu kalangan
tungku tigo sajarangan, yaitu cadiek
pandai. Dimana dalam adat istiadat
Minangkabau,
cadiek
pandai
ini
merupakan kalangan yang dianggap dan
diinterpretasikan
memiliki
ilmu
pengetahuan luas, serta mengacu kepada
seseorang yang memiliki pendidikan tinggi.
Adanya unsur acang-acang yang
diambil dari kalangan tungku tigo
sajarangan
dapat
dinterpretasikan
mempunyai aspek pendidikan luas,
berperan sebagai penegah antara oposisi
kelompok panghulu (panghulu dan malin)
yang dinterpretasikan mempunyai aspek
adat dengan kelompok malin (malin dan
dubalang)
yang
dinterpretasikan
mempunyai aspek agama, membuat
terciptanya keseimbangan oposisi dari
relasi-relasi tersebut.
Relasi yang kembali timbul pada acara
timbang tando ini dapat di lihat dari pola
hubungan
acang-acang
melakukan
penyerahaan tando masing-masing. Tando
tidak serta merta langsung diserahkan atau
ditukar begitu, namun harus melewati
beberapa panitahan antara kedua acangacang atas perintah dari urang ampek jinih
masing-masing.
Posisi acang-acang yang tepat berada
ditengah-tengah antara panghulu, manti,
dengan
malin,
dubalang
membuat
kesepakatan di antara mereka dilakukan
sengan cara berbisik-bisik. Setelah diminta
pendapat oleh masing-masing acang-acang
mereka, tando diberikan masing-masing
urang ampek jinih kepada acang-acang
untuk kemudian ditukarkan melalui
perantara janang.
Tando yang di pertukarkan oleh para
aktor dalam alek pisang manih tersebut
16

juga
telah
menunujukan
ciri-ciri
oposisinya. Dari sisi fisiknya dapat kita
lihat bentuk dasar yang berbeda antara
karih (keris) dengan cawek (ikat pinggang),
yang dapat diinterpretasikan sebagai sebuah
perlambangan dari dua hal yang saling
berlawanan (oposisi). Namun dalam oposisi
tando tersebut, tetap kembali memunculkan
unsur penegah (liminal) yang saling
berhubungan diantara kedua benda
tersebut. Benda yang menjadi liminal
antara oposisi karih dan cawek ini adalah
carano, yang menjadi perantara pertukaran
keduanya. Walaupun fungsi benda-benda
tersebut lebih diinterpretasikan kepada hal
yang berbentuk simbolik, namun juga
memperlihatkan ciri-ciri oposisinya sendiri.
Ciri-ciri oposisi yang terbentuk dari
tando tersebut dapat kita lihat dari bentuk
dasar masing-masing benda. Dimana
bentuk karih (keris) yang lurus dan
mempunyai batas gangang yang melintang,
dengan bentuk gangang yang berbelok,
sangat berlawanan dengan bentuk benda
yang menjadi lawan pertukarannya yaitu
cawek (ikat pinggang). Bentuk dasar fisik
dari cawek ini lebih terlihat seperti bulat
atau
melingkar.
Hal
itu
dapat
diinterpretasikan menjadi dua hal yang
saling berlawanan antara lurus dengan
melingkar yang menjadi masing-masing
ciri tando tersebut. Namun oposisi ini
mempelihatkan keseimbangannya dengan
menghadirkan unsur netral yang masih
mempunyai relasi dari kedua oposisi.
Benda yang dijadikan penyeimbang dari
oposisi tersebut adalah carano. Jika dilihat
dari bentuk dasar dari carano sendiri
menunjukan ada keterkaitanya dengan
bentuk dasar dari antara kedua benda yang
beroposisi (keris dan ikat pinggang).
Dimana bentuk dasar carano ini
diinterpretasi sebagai gabungan bentuk
lurus melingkar, yang akhirnya menjadi
bagian bentuk keris yang lurus sekaligus
menjadi bagian dari ikat pinggang yang
melingkar.

Bagan Bentuk Oposisi dari Bentuk Dasar


Tando

Pola
dari
keseluruhan
urutan
pelaksanaan tradisi alek pisang manih
dalam rangkaian upacara perkawinan
menurut
adat
istiadat
masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan, telah
tergambarkan sebelumnya. Bentuk relasirelasi antar unsur yang dianggap sebagai
struktur luar dari pelaksanaan tradisi alek
pisang manih, itu. Pengambaran struktur
luar tersebut disusun atas relasi-relasi dari
struktur yang beroposisi seperti pada
penempatan posisi duduk para aktor atau
kelompok sosial di dalam rumah pada saat
menjalankan alek dan struktur dari relasi
yang terjadi pada saat acara timbang tando
(tuka karih jo cawek) dalam tradisi alek
pisang manih.
Melihat pada kasus pola pelaksanaan
alek pisang manih pada masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan,
struktur-struktur yang telah dibangun pada
inti dapat diinterpretasikan sebagai bentuk
transformasi dari dua pihak oposisi yang
mempelihatkan sifat dualisme dari adat
istiadat masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan,
yang
selalu
dapat
menghadirkan pihak ketiga sebagai
penengah di antara dua oposisi yang
berseberangan tersebut. Keberadaan pihak
ketiga ini diasumsikan menjadi perekat
oposisi kedua pihak kelompok tersebut
sehingga seandainya terjadi suatu konflik

17

atau ketidakharmonisan diantara keduanya,


pada akhirnya fungsi atau peran pihak
ketiga yang dimunculkan dapat meredam
konflik atau mengharmoniskan hubungan
atau relasi sosial masyarakat Minangkabau
di nagari Panyakalan.
C. KESIMPULAN
Struktur pada masyarakat Minangkabau
di nagari Panyakalan yang ditemukan
dalam pola pelaksanaan tradisi alek pisang
manih, memperlihatkan bentuk ciri-ciri
masyarakat yang dualisme dimana terdapat
2 aktor atau kelompok sosial yang saling
bertentangan dalam sistem dan struktur
sosial masyarakatnya. Hal itu dapat
dibuktikan dalam bentuk relasi-relasi
oposisi pada berbagai aktifitas atau
kebiasaan dalam penyelenggaraan alek
pisang manih pada masyarakat nagari
Panyakalan. Walaupun bentuk oposisi
tersebut terdapat pada struktur masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan, namun
potensi konflik yang ditimbulkan tidaklah
mencuat atau muncul ke permukaan
masyarakatnya. Hal ini terjadi karena setiap
oposisi yang ada selalu melibatkan orang
ketiga yang dianggap sebagai penegah
dari oposisi ini dimana mereka nantinya

dapat meredam konflik atau ketidak


harmonisan yang bisa saja terjadi. Dengan
adanya dua elemen sosial (aktor dan
kelompok
sosial)
yang
saling
berseberangan dan elemen penegah dalam
struktur masyarakat Minangkabau di
nagari Panyakalan, dapat membuktikan
pada kita bahwa dualisme (genap) yang
terdapat dalam sistem dan struktur
masyarakat Minangkabau berbentuk triadik
yang menurut Levi-Strauss berjumlah
ganjil.
Pada kasus di masyarakat Minangkabau,
dimana dapat disimpulkan bahwa dengan
ciri-ciri sistem dan struktur sosial yang
dianutnya (seperti sifat dualisme dalam
bentuk struktur triadik), telah berhasil
mengatasi atau meminimalisir berbagai
bentuk masalah antar kelompok sosial
seperti Konflik Etnosentrisme, SARA, dan
lain-lain. Kasus-kasus seperti itu agaknya
relatif tidak terlalu begeming pada
masyarakat Minangkabau, padahal ciri-ciri
yang akan dapat menimbulkan sumbersumber konfik dari dalam masyarakat
Minangkabau banyak telihat dari dalam
sistem dan struktur masyarakatnya, namun
sebaliknya konflik yang dirasa akan
muncul selalu bisa diredam dengan baik
oleh bentuk struktur masyarakatnya
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Printika.
-----------------------------------. 1997. Claude Levi-Strauss: Butir-Butir Pemikiran
Antropologi, dalam Levi Strauss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LKiS.
Arifin, Zainal et.al. 2007. Permusuhan dalam Persahabatan (Budaya Politik Masyarakat
Minangkabau). Padang: Lembaga Kajian Sosial Budaya.
Budhisantoso. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: Pustaka Grafika Kita.

18

Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa Raya.


Goode, W. J. 1991. Sosiologi Keluarga (terj.). Jakarta: Bumi Aksara.
Ihromi, T. O. 1999. Pokok-Pokok Antropologi Budaya (terj.). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya (terj.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia.
---------------------. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
---------------------. 2009. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: Grafiti Press.
Radjab, Muhammad. 1973. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang: Center for
Minangkabau Studies Press.
Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Beparadigma Ganda (terj.). Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Jurnal dan Makalah Ilmiah


Arifin, Zainal. 2005. Dualisme Minangkabau (Dalam Kajian Strukturalisme Levi-Strauss)
dalam Jurnal Antropologi Tahun VI, No.9, hal. 81-94.
Sasongko, Ibnu. 2003. Pengembangan Konsep Strukturalisme, dari Struktur Bahasa ke
Struktur Ruang Permukiman: Kasus Pemukiman Sasak di Desa Puyung dalam Jurnal
Bahasa dan Seni Tahun 31, No. 2, hal. 153-172.
Suharjanto, Gatot. 2011. Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur
Vernakular: Studi Kasus Bangunan Minangkabau dan Bangunan Bali dalam Jurnal
ComTech, Vol. 2, No. 2, hal. 592-602.

Internet
http://journal.unnes.ac.id/ Mistaram. Upacara Tebus Kembar Mayang dalam Perkawinan
Masyarakat Pesisiran: Suatu Interpretasi Simbolik. (Akses tanggal 5 Februari 2013).
http://mozaikminang.files.wordpress.com/ Alam Minangkabau. (Akses tanggal 10 Juni 2013).
http://www.bappedakabsolok.com/index.php/download/category/4-buku-bunga-rampai-satuabad-kabupaten-solok. Bunga Rampai Satu Abad Kabupaten Solok. (Akses tanggal 10
Juni 2013).

19

http://www.kunci.or.id/teks/04biner.html. Nuraini Juliastuti. Oposisi Biner. (Akses tanggal 6


Februari 2013).

20

Anda mungkin juga menyukai