A. PENDAHULUAN
Orang Minangkabau merupakan salah
satu dari antara kelompok etnis utama
bangsa Indonesia menempati bagian tengah
pulau
Sumatera
sebagai
kampung
halamannya, yang sebagian besarnya
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas, Padang. email; fernando.raphel@gmail.com
2.
3.
4.
5.
expectation):
Edmund
R.
Leach
mengatakanya sebagai seperangkat norma
atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss
berpendapat bahwa struktur sosial adalah
model (Kaplan & Manners, 2002:130).
Berangkat dari hal tersebut, dalam
mengkaji dan menganalisis suatu relasi dan
stuktur sosial yang terdapat pada suatu
masyarakat menggunakan dapat dikaji dan
dianalisis dengan menjadikan pelaksanaan
sebuah tradisi dalam berbagai upacara adat
seperti
upacara
perkawinan
pada
masyarakat tersebut sebagai objek analisis.
Salah satu teori yang dapat digunakan
untuk menganalisis struktur di dalam
masyarakat
tersebut
adalah
teori
strukturalisme Levi-Strauss. Strukturalisme
dari Levi-Strauss ini adalah sebuah
pendekatan baru terhadap ilmu-ilmu
manusia yang berupaya untuk menganalisis
bidang tertentu seperti mitos, perkawinan,
kekerabatan dan sebagainya, sebagai sistem
yang komplek dari bagian-bagian yang
saling terkait.
Strukturalisme
Levi-Strauss
juga
memiliki sejumlah asumsi dasar yang
berbeda dengan aliran pemikiran lain dalam
ilmu antropologi. Dasar-dasar dalam
strukturalisme Levi-Strauss ini merupakan
faktor utama yang sangat penting untuk
dipahami agar dapat menerapkan teori
tersebut dalam mengkaji sebuah fenomena
budaya. Asumsi dasar yang terdapat dalam
teori strukturalisme Levi-Strauss tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Ada anggapan bahwa sebagai
aktivitas sosial dan hasilnya, seperti:
dongeng, upacara-upacara, sistemsistem kekerabatan dan perkawinan,
pola tempat tinggal, pakaian dan
sebagainya, secara formal semuanya
dapat dikatakan sebagai bahasabahasa
atau
lebih
tepatnya
merupakan perangkat tanda dan
simbol yang menyampaikan pesanpesan tertentu. Oleh karena itu
terdapat ketertataan (order) serta
keterulangan (regularities) pada
berbagai fenomena tersebut.
C. METODOLOGI
Baretuang (Perundingan)
Pada tahapan baretuang inilah yang
akan menjadi penentu apa, kapan,
dimana, bagaimana,
bentuk proses
upacara perkawinan untuk anak
kemenakan
tersebut.
Kedua
keluarga/kerabat awalnya baretuang
dengan keluarga besar masing-masing
yang juga melibatkan datuek/niniek
mamak, bundo kanduang, urang
sumando dan induek bako serta anak
pisang dari suku/kaum mereka masingmasing. Kemudian setelah adanya suatu
kata sepakat dari masing-masing pihak,
maka akan dilakukan acara baretuang
antara kedua belah pihak tersebut
dirumah keluarga laki-laki. Dalam hal
ini kerabat sesuku/sekaum perempuan
kembali mendatangi rumah keluarga
laki-laki untuk merundingkan upacara
perkawinan anak kamanakan mereka
yang kali ini dipimpin oleh kedua
datuek/niniek mamak suku masingmasing.
Baretuang kali ini dimaksudkan
untuk membentuk kata sepakat dalam
menentukan waktu upacara perkawinan
dan
pernikahan
yang
akan
dilangsungkan dan seperti apa alek
(pesta) yang akan dilaksanakan.
Mamanggie (Mengundang)
Mamanggie merupakan tradisi atau
kebiasaan masyarakat Minangkabau di
nagari
Panyakalan,
untuk
cara
menyampaikan
undangan
atau
memberikan pemberitahuan tentang
adanya suatu pesta adat istiadat pada
masyarakat, yang dilakukan dengan cara
memberitahu langsung secara lisan
dengan memberikan sirih dan rokok
kretek.
Managak Pondok (Mendirikan
Pondok)
Managak
pondok
(mendirikan
pondok)
merupakan
kebiasaan
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan sebelum melaksanakan
baralek. Managak pondok ini hanya
dilakukan oleh para keluarga/kerabat,
dari pihak yang akan melaksanakan
baralek di rumahnya
b) Tahapan Saat Upacara Perkawinan
Mangaku Mamak atau Mangaku
Induek (Mengakui Paman atau
Mengakui ibu)
Menurut upacara perkawinan dalam
adat salingka nagari Panyakalan,
khusus bagi calon suami untuk
perempuan yang berasal dari luar nagari
Panyakalan kecuali yang berasal dari
nagari Gauang, nagari Saok Laweh,
nagari Bukit Tandang dan nagari
Taruang-Taruang,
maka
perlu
dilaksanakan tradisi mangaku mamak
untuk calon marapulai atau bisa
melakukan tradisi mangaku induek
apabila anggota keluarga inti calon
marapulai akan menetap dan menjadi
warga nagari Panyakalan juga. Tetapi
apabila perkawinan tersebut antara
sesama warga nagari Panyakalan, maka
tradisi mangaku mamak atau mangaku
induek tidak akan terjadi. Mereka
langsung menjalankan acara yang wajib
di nagari Panyakalan yaitu alek pisang
manih.
Alek Pisang Manih (Pesta Pisang
Manis)
Tahapan selanjutnya yang wajib
dilakukan dalam acara baralek menurut
adat istiadat di nagari Panyakalan,
adalah acara alek pisang manih. Tradisi
ini telah menjadi suatu hal yang
dilaksanakan secara turun temurun bagi
masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan.
10
Acara
arak-arakan
maksudnya
mengumumkan pada masyarakat bahwa
kedua mempelai sudah resmi menjadi
suami istri. Pelaksanaan bararak ini
hanya ada dalam apabila alek tersebut
merupakan alek gadang (pesta besar).
Acara bararak ini ditandai dengan
sejumlah orang yang ikut dalam arakarakan yang terdiri dari: 1). anak daro
dan marapulai, berpakaian lengkap
berjalan berdampingan, 2). Satu orang
saudara/kerabat anak daro yang
mempayungi kedua mempelai, (3) satu
orang kakak dan satu orang adik anak
daro dengan pakaian adat bewarna hitam
dengan sarung bewarna merah minimal
kemerah-merahan, 4) satu orang tuo
rarak13 yang membawa carano jo sirih
langkok dengan dijujuang (diletakkan
diatas kepala) yang berpakaian hitamhitam dan berjalan di depan, 5) sembilan
orang Ande (ibu-ibu atau pasumandan)
yang mengikuti anak daro dan
marapulai di belakang yang berpakaian
hitam-hitam, yang dua orang membawa
nasi sipuluik14, dan satu orang membawa
kue pengantin, serta enam orang lainnya
membawa makanan serta sambal.
Semuanya di bawa dengan baki dan di
jujung di atas kepala, semua ande
tersebut juga berpakaian adat bewarna
hitam-hitam.
Rombongan bararak ini diiringi juga
oleh bunyi-bunyian talempong dan
gendang yang dimainkan oleh beberapa
orang anak-anak nagari yang berusia
remaja, hingga sampai kerumah orang
tua marapulai. Setelah sampai dirumah
maka rombongan arak-arakan ini
diterima oleh bundo kanduang dari
pihak marapulai disana.
13
12
kedua
mempelai
pergi
untuk
melangsungkan akad nikah dan alek pisang
manih secara simbolis dinyatakan telah
selesai dilaksanakan.
Tando ini nantinya akan dikembalikan
kepada masing-masing pihak setelah akad
nikah kedua mempelai telah selesai
dilaksanakan. Namun hal ini kembali
tergantung pada jenis alek dan perundingan
sebelumnya. Apabila jenis alek adalah alek
abih sahari (pesta habis sehari) maka tando
tersebut langsung di kembalikan saat itu
juga, tetapi apabila alek tersebut adalah
jenis alek gadang (pesta besar) maka tando
tersebut akan di kembalikan pada acara
pulang karih jo cawek (mengembalikan
keris dan ikat pinggang) saat pelaksanaan
tradisi maanta marapulai setelah acara
jamuan undangan atau basandiang.
Atribut dalam Pelaksanaan Alek Pisang
Manih
Sepasang Tunas Kelapa
Baju Adat yang Dipakai Urang
Ampek Jinih dan Acang-acang
Carano
Karih (Keris) dan Cawek (Ikat
Pinggang)
Bermacam-macam Buah Pisang
2. Analisis Teori Strukturalisme LeviStrauss pada Tradisi Alek Pisang
Manih
a) Dasar-dasar Kajian Teori
Strukturalisme Levi-Strauss pada
Tradisi Alek Pisang Manih
Dasar penerapan teori strukturalisme
levi-strauss sebagai alat analisis untuk
tradisi alek pisang manih pada masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan ini
adalah menggunakan prinsip asumsi dari
dualisme tersebut, karena bentuk prinsip
dualisme itu juga dapat terlihat dari pola
pelaksananan tradisi alek pisang manih
dalam upacara perkawinan berdasarkan
adat salingka nagari di Panyakalan.
Pembentuk
prinsip
dualisme
pada
13
juga
telah
menunujukan
ciri-ciri
oposisinya. Dari sisi fisiknya dapat kita
lihat bentuk dasar yang berbeda antara
karih (keris) dengan cawek (ikat pinggang),
yang dapat diinterpretasikan sebagai sebuah
perlambangan dari dua hal yang saling
berlawanan (oposisi). Namun dalam oposisi
tando tersebut, tetap kembali memunculkan
unsur penegah (liminal) yang saling
berhubungan diantara kedua benda
tersebut. Benda yang menjadi liminal
antara oposisi karih dan cawek ini adalah
carano, yang menjadi perantara pertukaran
keduanya. Walaupun fungsi benda-benda
tersebut lebih diinterpretasikan kepada hal
yang berbentuk simbolik, namun juga
memperlihatkan ciri-ciri oposisinya sendiri.
Ciri-ciri oposisi yang terbentuk dari
tando tersebut dapat kita lihat dari bentuk
dasar masing-masing benda. Dimana
bentuk karih (keris) yang lurus dan
mempunyai batas gangang yang melintang,
dengan bentuk gangang yang berbelok,
sangat berlawanan dengan bentuk benda
yang menjadi lawan pertukarannya yaitu
cawek (ikat pinggang). Bentuk dasar fisik
dari cawek ini lebih terlihat seperti bulat
atau
melingkar.
Hal
itu
dapat
diinterpretasikan menjadi dua hal yang
saling berlawanan antara lurus dengan
melingkar yang menjadi masing-masing
ciri tando tersebut. Namun oposisi ini
mempelihatkan keseimbangannya dengan
menghadirkan unsur netral yang masih
mempunyai relasi dari kedua oposisi.
Benda yang dijadikan penyeimbang dari
oposisi tersebut adalah carano. Jika dilihat
dari bentuk dasar dari carano sendiri
menunjukan ada keterkaitanya dengan
bentuk dasar dari antara kedua benda yang
beroposisi (keris dan ikat pinggang).
Dimana bentuk dasar carano ini
diinterpretasi sebagai gabungan bentuk
lurus melingkar, yang akhirnya menjadi
bagian bentuk keris yang lurus sekaligus
menjadi bagian dari ikat pinggang yang
melingkar.
Pola
dari
keseluruhan
urutan
pelaksanaan tradisi alek pisang manih
dalam rangkaian upacara perkawinan
menurut
adat
istiadat
masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan, telah
tergambarkan sebelumnya. Bentuk relasirelasi antar unsur yang dianggap sebagai
struktur luar dari pelaksanaan tradisi alek
pisang manih, itu. Pengambaran struktur
luar tersebut disusun atas relasi-relasi dari
struktur yang beroposisi seperti pada
penempatan posisi duduk para aktor atau
kelompok sosial di dalam rumah pada saat
menjalankan alek dan struktur dari relasi
yang terjadi pada saat acara timbang tando
(tuka karih jo cawek) dalam tradisi alek
pisang manih.
Melihat pada kasus pola pelaksanaan
alek pisang manih pada masyarakat
Minangkabau di nagari Panyakalan,
struktur-struktur yang telah dibangun pada
inti dapat diinterpretasikan sebagai bentuk
transformasi dari dua pihak oposisi yang
mempelihatkan sifat dualisme dari adat
istiadat masyarakat Minangkabau di nagari
Panyakalan,
yang
selalu
dapat
menghadirkan pihak ketiga sebagai
penengah di antara dua oposisi yang
berseberangan tersebut. Keberadaan pihak
ketiga ini diasumsikan menjadi perekat
oposisi kedua pihak kelompok tersebut
sehingga seandainya terjadi suatu konflik
17
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Printika.
-----------------------------------. 1997. Claude Levi-Strauss: Butir-Butir Pemikiran
Antropologi, dalam Levi Strauss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LKiS.
Arifin, Zainal et.al. 2007. Permusuhan dalam Persahabatan (Budaya Politik Masyarakat
Minangkabau). Padang: Lembaga Kajian Sosial Budaya.
Budhisantoso. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: Pustaka Grafika Kita.
18
Internet
http://journal.unnes.ac.id/ Mistaram. Upacara Tebus Kembar Mayang dalam Perkawinan
Masyarakat Pesisiran: Suatu Interpretasi Simbolik. (Akses tanggal 5 Februari 2013).
http://mozaikminang.files.wordpress.com/ Alam Minangkabau. (Akses tanggal 10 Juni 2013).
http://www.bappedakabsolok.com/index.php/download/category/4-buku-bunga-rampai-satuabad-kabupaten-solok. Bunga Rampai Satu Abad Kabupaten Solok. (Akses tanggal 10
Juni 2013).
19
20