Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Sapi peranakan Fries Holland (PFH) merupakan salah satu jenissapi perah yang
dapat beradaptasi di Indonesia yang merupakan negara tropis. Indonesia merupakan
negara tropis yang memiliki dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Keadaan iklim
diindonesia yang tidak menentu membuat sapi perah PFH harus menyesuaikan
dengan kondisi iklim tersebut, sehingga berdampak pada fisiologi ternak
dan produktivitasnya. Sapi PFH dapat beradaptasi di negara tropis karena merupakan
hasil persilangan antara sapi asli Belanda dengan sapi lokal Indonesia. Produktivitas
sapi PFH sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain jenis ternak, fisiologi
lingkungan, fisiologi ternak dan bentuk ambing.Seleksi sapi perah sangat dibutuhkan
untuk mengetahui sapi yang dapat memproduksi susu dalam jumlah yang tinggi yaitu
melalui recording .
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh fisiologi lingkungan
terhadap fisiologi ternak, mengidentifikasi bagian-bagian ambing serta cara kerja dan
fungsinya, untuk membandingkan berat jenis susu murni dan susu olahan dan
mengetahui kualitas susu, untuk mengevaluasi recording di Fakultas Peternakan dan
Pertanian. Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat menerapkan ilmu
yang telah didapat saat memelihara sapi perah dengan memperhatikan recording dan
fisiologi lingkungan serta fisiologi ternak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fisiologi Lingkungan
2.1.1. Suhu
Suhu udara adalah sebuah ukuran dari intensitas panas yang biasanya
ditunjukkan dalam satuan derajat panas. Ada empat unsur iklim mikro yang dapat
mempengaruhi produktivitas ternak secara langsung yaitu: suhu, kelembaban udara,
radiasi dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur lainnya yaitu evaporasi dan curah
hujan mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung (Yani & Purwanto,
2006). Iklim makro merupakan faktor yang berpengaruh tidak langsung, yaitu
interaksi antara tanah dan tumbuh-tumbuhan.
Apabila sapi Perah ditempatkan pada lokasi yang memiliki Suhu kandang yang
terlalu panas dan kelembaban yang terlalu tinggi dapat berpengaruh 17 buruk pada
proses reproduksi khususnya pada saat pembuahan (Hardjopranjoto, 1995). Stress
panas dapat memperpendek lama birahi, dan penurunan intensitas birahi
menyebabkan waktu inseminasi buatan tidak tepat, serta ovulasi yang diperpendek
menyebabkan tumbuhnya kasus kawin berulang. Suhu lingkungan yang sesuai untuk
sapi perah adalah 13oC 25oC (Yani dan Purwanto, 2006). Suhu udara yang sesuai
untuk pemeliharaan sapi perah di daerah tropis berkisar antara 18 oC 21oC dan di

Indonesia lingkungan tersebut terapat di wilayah dengan ketinggian serendahrendahnya 500 m dpl (Utomo et al., 2009).
2.1.2. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah perbandingan temperature uapair yang ada didalam
udara. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui
kulit dan saluran pernafasan (Sientje, 2003). Kelembaban udara dapat mempengaruhi
kenyamanan dan produktivitas sapi perah.Kelembaban udara yang tinggi dengan
sedikit pergerakan udara akan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya stres
panas pada sapi perah (Gwatibaya et al., 2007). Pada kelembaban yang tinggi proses
penguapan dari tubuh sapi perah akan terhambat sehingga mengalami cekaman panas
dan dapat menurunkan produktivitas sapi perah. Kelembaban yang nyaman untuk
sapi perah adalah sebesar 55% (Yani dan Purwanto, 2006). Titik kelembaban terendah
yaitu pukul 14.00 WIB dan kemudian terjadi peningkatan pada pukul 16.00 WIB,
rendahnya kelembaban udara pada siang hari disebabkan tingginya radiasi matahari
dan suhu udara sehingga penguapan air semakin banyak (Utomo et al., 2009).
2.1.3. Radiasi Matahari
Radiasi matahari adalah pancaran gelombang radiasi baik secara langsung
maupun pantulan. Radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua sumber
utama

yaitu

Temperatur matahari yang tinggi

dan

Radiasi

termal dari

tanah, pohon, awan dan atmosfir (Sientje, 2003). Kondisi cekaman panas matahari

terhadap sapi FH dipengaaruhi oleh jenis warna kulit. Ternak dengan bulu pendek dan
berwarna terang dan juga memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap adalah
baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari (Yani dan
Purwanto, 2006). Faktor fisiologi lingkungan seperti radiasi matahari dapat
mempengaruhi produktivitas sapi perah (Utomo et al., 2009). Perubahan suhu dan
radiasi matahari menunjukkan peningkatan dan mencapai puncaknya pada pukul
12.00 dan menurun pada pukul 14.00 WIB.

2.1.4. Perkandangan
Kandang adalah tempat tinggal ternak sementara selama masa pemeliharaan.
Kandang yang baik harus memberikan kenyamanan pada ternaknya. Dengan
kenyamanan, akan membuat ternak dapat mencapai produksi yang optimal.
Pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu: terdapat
ventilasi, memberikan kenyamanan sapi perha dan mudah dibersihkan, memberi
kemudahan bagi pekerja kandang dalam menjalankan pekerjaannya (Siregar, 1990).
Sebaiknya kandang 20-30 cm lebih tinggi dari tanah sekitarnya, jauh dari keramaian
lalu lintas, manusia dan kendaraan (Soetardi, 1995).
Untuk kontruksi kandangnya, atap kandang bisa berupa genting atau asbes.
Ketinggian atap setinggi 5 meter agar sirkulasi udara berjalan dengan baik. Dinding
kandang berupa semen

setinggi 1,5 meter sedangkan bagian atasnya terbuka.

Fungsinya untuk mencegah terpaan angin langsung mengenai sapi. Sedangkan alas

berupa tanah yang dilapisi semen agar mudah dalam membersihkannya (Syarief dan
Harianto, 1990). Bahan yang digunakan untuk pembuatan atap antara lain asbes,
rumbai,genting dan seng. Keuntungan rumbai dan genting adalah kandang tidak
terlalu

panas

pada

siang

hari

dan

tidak

terlalu

dingin

pada malam hari. Atap genting dan rumbai memiliki kelemahan yaitu mudah rusak
akibat serangan angin yang besar,oleh karena itu perlu adanya pengikatan yang kuat
pada pembuatan atap. Tetapi bila menggunakan seng sebaiknya dicat putih pada
bagian luarnya dan hitam pada bagian luarnya agar siang hari tidak terlalu panas
(Williamson dan Payne, 1993). Kemiringan atap dari genting 30450, asbes 15 200,
welit (daun tebu dan sebagainya) 25 300 (Siregar, 1990). Tinggi atap dari genting
4,5 m untuk dataran rendah dan menengah, dan 4 m untuk dataran tinggi. Tinggi
plafon emperan berkisarantara 1,75 2,20 m dengan lebar emperan sekitar 1 m.
Lantai kandang dapat dibuat agak miring, dari bahan beton dengan perbandingan 1
bagian semen 2 bagian pasir dan 3 bagian kerikil, atau tanah biasa (Williamson dan
Payne, 1993).
2.2. Fisiologi Ternak
2.2.1. Suhu Rektal
Suhu rektal yaitu suhu yang digunakan sebagai ukuran suhu tubuh ternak
dengan suhu rektum digunakan sebagai media ukur paling optimal. Suhu rektal
digunakan sebagai parameter karena media yang digunakan (rektum) memiliki

kecenderungan penurunan suhu tubuh yang paling lambat. Produksi panas oleh
tubuh secara tidak langsung tergantung pada makanan yang diperoleh dan
banyaknya persediaan makanan pada saluran pencernaan (Dukes, 1995). Suhu
tubuh sapi pada pedet adalah 38.5 39.5 oC, dan pada sapi dewasa 38.0 39.5 oC
(Rosenberger, 1979). Suhu rektal sapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
lingkungan, jenis kelamin dan kondisi ternak (Akoso, 2008).

2.2.2. Frekuensi Denyut Nadi


Denyut nadi sapi normal sekitar 50-60 kali per menit. Hal ini berhubungan
dengan faktor bahwa semakin kecil ukuran hewan, laju metabolisme per unit berat
badannya semakin tinggi (Dukes, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan denyut nadi adalah umur, spesies, kelamin, kondisi ternak, aktivitas dan
suhu lingkungan (Akoso, 1996). Hewan yang sakit atau stress akan meningkat denyut
jantungnya untuk waktu tertentu. Semakin tinggi aktivitas yang dilakukan ternak,
semakin cepat denyut nadinya. Hewan yang memiliki tubuh lebih kecil, denyut
nadinya lebih besar dari pada hewan yang mempunyai ukuran tubuh besar (Frandson,
1996).
2.2.3. Frekuensi Pernafasan
Respirasi normal pada sapi dewasa adalah 15-35 kali per menit dan 20-40 kali
pada pedet (Jackson & Cockroft 2002). Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan,
suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi
kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984).
Naiknya frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi perah mengalami
stres panas karena pernafasan akan lebih cepat pada sapi yang ketakutan, lelah akibat
bekerja berat dan kondisi udara terlalu panas (Sugeng, 2002). Tipe pernafasan pada
sapi adalah kosto-abnominal yang didominasi oleh pernafasan abdominal. Kelainan
yang ditunjukkan dengan dominasi pernafasan kostal dikarenakan adanya gangguan
otot diafragma akibat paralisis, ruptur, abses, dan tekanan dari neoplasma, serta akibat
dari akumulasi gas ataupun cairan pada rongga perut dan peritoneum; penyakit paruparu seperti pneumonia dan edema paru-paru yang menyebabkan udara yang masuk
ke dalam paru-paru terhalangi; dan juga akibat peritonitis yang menyebabkan
pergerakan dinding diafragma dan abdominal menjadi sakit (Kelly 1984).
2.2.4. Frekuensi Defekasi
Defekasi merupakan salah satu usaha ternak untuk mengatur proses
keseimbangan tubuh dengan cara mengeluarkan fesses. Fesses merupakan salah satu
produk sisa proses pencernaan setelah pakan yang dikonsumsi mengalami degradasi
dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari
dalam tubuh (Blakely dan Bade, 1995). Umumnya seekor sapi mengeluarkan feses
sebanyak 6 sampai 8 kali dan mengeluarkan 8% dari berat badannya (Soetarno,
2003). Proses pembentukan feses pada sapi perah dimulai dari masuknya bahan
7

makanan melalui mulut sampai keluarnya feses dari anus memerlukan waktu 5 - 7
jam (Siregar, 1993). feses sapi yang telah laktasi jumlahnya lebih banyak dari pada
sapi dara hal ini dipengaruhi jumlah pakan yang dimakan, dan berat badan, data yang
diperoleh mendekati dari literatur jumlah fases pada sapi perah FH setiap harinya
12 kg untuk sapi belum laktasi dan 19 kg untuk laktasi (Subronto, 2001).

2.2.5. Frekuensi Urinasi


Urinasi adalah cairan sisa yang disekresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisasi. Frekuensi urinasi yang
normal pada sapi dalam kondisi normal berkisar antara 5 - 7 kali dalam sehari yaitu
sebanyak 6 - 12 liter (Soebronto, 1985). Pada ternak frekuensi urinasi dipengaruhi
oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan. Biasanya frekuensi urinasi akan berhenti
atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahatdan frekuensinya akan naik
ketika diwaktu makan (Embertson et al., 2009).
2.2.6. Konsumsi Air Minum
Faktor yang mempengaruhi konsumsi air bagi seekor sapi adalah umur, berat
badan, produksi susu, panas, kelembaban udara, serta jenis ransum pakan. Sapi
memproduksi susu 10 sampai 25 liter per hari, maka air yang diminum hampir 90
8

liter (Soetarno, 2003). Kondisi lingkungan yang tidak nyaman, pada suhu lingkungan
malam hari sekitar 240C dan siang hari 33,340 C, sapi dara mengkonsumsi air minum
sebanyak 10,58 12,76 % dari bobot badan ( Santoso dalam Yani dan Purwanto,
2006). Sedangkan untuk sapi laktasi mengkonsumsi air minum sebanyak 51 liter dan
sapi tidak laktasi (Subroto, 2001).
2.3. Anatomi Ambing
Ambing merupakan kelenjar kulit yang ditumbuhi bulu, kecuali pada puting,
empat saluran susu yang terpisah bersama menuju ambing. Ambing sapi dibagi
menjadi 4 kuartir dan pada setiap kuartir memiliki satu puting. Ambing pada kuartir
bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis, ligementum
suspensorium medialis berasal dari serat elastis (jaringan ikat) yang menutupi dinding
perut (Reece, 2013). Sedangkan kuartir ambing bagian depan dan kuartir bagian
belakang dipisahkan oleh membran. Ambing bagian depan menghasilkan 40%
produksi susu sedangkan ambing bagian belakang menghasilkan 60% produksi susu
setiap harinya. Cara kerja keluarnya air susu bermula dari air susu yang berasal dari
alveoli bergerak menuju sinus papilaris yang kemudian menuju ke saluran induk
yang disebut major duct. Setelah itu, susu kemudian ditampung sementara didalam
gland cistern menunggu waktu pemerahan. Ketika susu diperah, annular fold yang
berfungsi sebagai penahan susu didalam ambing, yang terletak dibawah gland cistern
membuka sehingga air susu dalam gland cistern mengalir menuju teat cistern.
Setelah sampai teat cistern, susu dikeluarkan melalu teat meatus. Teat cistern
9

melanjutkan melalui lubang sempit eksterior ambing tepatnya pada ujung puting
sehinggga teat meatus terbuka (Frandson et al., 2009).
2.4. Recording
Recording merupakan suatu pencatatan mengenai asal-usul ternak, bobot
badan

dan

umur

ternak, nama induk dan sebagian tentang perusahaan itu

sendiri (Santoso, 1997).Pencatatan yang diperlukan meliputi produksi susu, data


reproduksi, dan kesehatan ternak (Nurul et al., 2013). Tujuan utama dari pencatatan
adalah untuk memberitahukan suatu informasi yang detail kepada pemilik ternak
tentangindividu sapi secara lengkap dan menyeluruh (Chrisenta, 2012).
Untuk Metode identifikasi ternak hal- hal yang harus diperhatikan adalah, macam
alat dan jenis penandaan. Seperti yang diketahui, macammacam penandaan yang
sering digunakan pada masyarakat luas antara lain: Pemberian tanda pada telinga, ini
bisa menggunakan nomor atau nama kambing, Kalung dan Tatto. (Purwanto dan
Zeni, 2003). Untuk lebih memudahkan proses recording, maka dibautlah
penggolongan recording yaitu identifikasi ternak, dokumentasi, catatan khusus dan
sertifikat ternak.
2.5. Berat Jenis Susu
Susu memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada air yaitu 1,027 1,035
dengan rata-rata 1,031. Akan tetapi menutut codex susu, berat jenis susu adalah
1,028. Codex susu adalah suatu daftar satuan yang harus dipenuhi susu sebagai
10

bahan makanan. Daftar ini telah disepakati oleh para ahli gizi dan kesehatan sedunia,
walaupun di setiap negara atau daerah mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri
(Saleh, 2004). Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan berat jenis pada
susu yaitu butiran-butiran lemak (globula), laktosa, protein dan garam. Susu yang
telah bercampur dengan air maka berat jenisnya akan menurun. Kenaikan berat jenis
susu disebabkan karena adanya pelepasan CO2 dan N2 yang terdapat pada susu
tersebut (Julmiaty, 2002).

11

BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi
Ternak dan Recording dilaksanakan pada hari Jumat - Sabtu pada tanggal 3 4 April
2015 pukul 17.00 - 18.30 WIB di Kandang Sapi Perah Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1. Materi
Materi yang digunakan dalam praktikum Produksi Ternak Perah adalah sapi yang
berasal dari Peranakan Friesian Holstein (PFH) yang meliputi pengukuran fisiologis
lingkungan, pengukuran fisiologis ternak dan recording.
3.1.1. Fisiologi Lingkungan
Materi yang digunakan dalam praktikum fisiologi lingkungan yaitu hygrometer
untuk mengukur suhu dan kelembaban, black globe temperature untuk mengukur
radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang serta diktat dan alat tulis untuk
mencatat hasil praktikum yang didapat.
3.1.2. Fisiologi Ternak
Materi yang digunakan dalam praktikum fisiologi ternak yaitu thermometer
klinis yang digunakan untuk mengukur suhu rektal sapi, stopwatch yang digunakan
12

untuk menetapkan waktu dalam pengukuran nafas dan denyut nadi, jam tangan yang
digunakan untuk melihat waktu pada saat sapi urinasi dan defekasi, kran air dan cup
yang digunakan sebagai wadah minum sapi, sapi sebagai objek pengamatan dan
pengukuran, kamera untuk dokumentasi praktikum, rumput untuk makan sapi serta
diktat dan alat tulis untuk mencatat hasil praktikum.
3.1.3. Anatomi Ambing
Materi yang digunakan dalam praktikum anatomi ambing yaitu preparat
ambing yang telah diawetkan, kamera untuk dokumentasi serta diktat dan alat tulis
untuk mencatat hasil praktikum.
3.1.4. Recording
Materi yang digunakan dalam praktikum recording yaitu kamera untuk
dokumentasi data recording serta diktat dan alat tulis untuk mencatat hasil praktikum.
3.1.5. Berat Jenis Susu
Materi yang digunakan dalam praktikum pengukuran produksi dan berat jenis
susu yaitu gelas ukur sebagai tempat pengukuran susu, laktodensimeter untuk
mengukur suhu dan berat jenis susu, susu olahan dan susu murni sebanyak 500 ml
sebagai objek pengamatan, kamera untuk dokumentasi serta diktat dan alat tulis untuk
mencatat hasil praktikum.

13

3.2. Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum Produksi Ternak Perah meliputi
metode pengukuran fisiologi lingkungan, fisiologi ternak dan recording.
3.2.1. Fisiologi Lingkungan
Metode yang digunakan dalam pengukuran suhu udara dan kelembaban yaitu
dengan menggunakan hygrometer yang diletakkan di dalam kandang dan diluar
kandang, kemudian mencatat suhu dan kelembaban yang tertera pada hygrometer
tersebut dengan melihat jarum pada skala kecil yang digunakan untuk mengamati
suhu dengan satuan celcius dan jarum pada skala besar untuk mengamati kelembaban
ruangan dengan satuan persen. Pengukuran dilakukan setiap enam jam sekali selama
24 jam dimulai dari pukul 18.00. Pengukuran radiasi matahari dilakukan dengan
menggunakan black globe temperature dengan mengukur temperatur yang tertera
pada termometer bola hitam kemudian mencatat dan menghitungnya dengan rumus
radiasi matahari. Pengukuran ini juga dilakukan setiap enam jam sekali selama 24
jam dimulai dari pukul 18.00. Sedangkan metode yang digunakan dalam
perkandangan yaitu mengukur secara langsung kondisi kandang yang meliputi
panjang kandang, lebar kandang, tinggi atap, panjang palung, lebar palung,
kedalaman palung, panjang selokan, lebar selokan, kedalaman selokan, lebar flock,
panjang flock, tinggi flock dan kamar susu dengan menggunakan meteran kemudian
mencatat hasilnya dibuku diktat praktikum.

14

3.2.2. Fisiologi Ternak


Metode yang digunakan dalam mengukur suhu tubuh ternak yaitu dengan
menggunkan termometer klinis yang telah dinyalakan terlebih dahulu untuk
menormalkan suhu, kemudian memasukan ujung lancip dari termometer klinis
kedalam rektal sapi hingga berbunyi dan mulai perhitungan selama 1 menit kemudian
melihat angka yang tertera pada termometer. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali
agar mendapatkan hasil yang akurat dan mencatat rata-ratanya, pengukuran ini
dilakukan setiap 6 jam sekali dimulai dari pukul 18.00, kemudian mencatat hasilnya
pada buku praktikum. Pengukuran denyut nadi dilakukan dengan cara mencari denyut
nadi sapi pada pangkal ekor lalu tekan dengan tangan kemudian menghitung berapa
kali denyut nadi yang terasa setiap satu menit. Pengukuran dilakukan dua kali dan
mencatat rata-ratanya, pengukuran ini dilakukan setiap 6 jam sekali dimulai dari
pukul 18.00, kemudian mencatat hasilnya pada buku praktikum. Mengukur frekuensi
nafas dengan cara meletakkan tangan di depan hidung sapi, kemudian hitung berapa
frekuensi pernafasannya selama satu menit. Pengukuran dilakukan dua kali dan
mencatat rata-ratanya, pengukuran ini dilakukan setiap 6 jam sekali dimulai dari
pukul 18.00, kemudian mencatat hasilnya pada buku praktikum. Frekuensi urinasi
dan defekasi dilakukan dengan cara pengamatan pada sapi pada saat sapi
mengeluarkan urin untuk urinasi dan mengeluarkan feses untuk defekasi kemudian
mencatat waktunya di buku praktikum. Pengukuran konsumsi air minum dilakukan
dengan mengisi wadah minum apabila minum telah habis dengan cara memutar kran
15

air secara vertikal kemudian menekan tombol hitam yang terdapat pada wadah
minum sapi hingga air terisi penuh, kemudian mencatat waktu pengisian minum
dilakukan di buku praktikum.
3.2.3. Anatomi Ambing
Metode yang dilakukan dalam praktikum anatomi ambing yaitu mengamati
secara langsung awetan ambing, mendiskusikan untuk mengetahui bagian-bagian
ambing beserta fungsinya dan mempresentasikan hasil pengamatan.
3.2.4. Recording
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah dengan cara wawancara
kepada narasumber dan melihat kartu recording sesuai dengan nomor identitas sapi
perah, melihat catatan ternak yang ada di kartu recording dan membandingkan
dengan aspek recording yaitu identifikasi ternak, reproduksi sapi perah, penyakit dan
kesehatan, laktasi, kebuntingan dan partus sapi perah, serta mengevaluasi aspekaspek recording.
3.2.5. Berat Jenis Susu
Metode yang dilakukan dalam praktikum pengukuran berat jenis susu yaitu
memasukkan susu UHT dan susu segar ke dalam tabung ukur sebanyak 500 ml,
kemudian mencelupkan laktodensimeter perlahan-lahan kedalam tabung dan

16

mendiamkan sampai tenang. Setelah itu, membaca angka skalanya yang ditunjukkan
oleh susu dan menghitungnya dengan rumus berat jenis susu.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan hasil suhu rata-rata luar dan suhu ratarata dalam yang diperoleh pada saat praktikum yaitu 28o C dan 28,2o C (Tabel 1).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa suhu lingkungan menunjukkan keadaan suhu
diatas normal untuk pemeliharaan sapi perah. Menurut Akoso (2008) suhu
lingkungan yang sesuai untuk sapi perah adalah 13 o C 25o C atau 18o C 21o C

17

(wilayah dengan ketinggian 500 m dpl). Suhu udara yang terlalu tinggi dapat
mempengaruhi kenyamanan dan menurunkan produktivitas sapi perah. Yani dan
Purwanto (2006) juga menyatakan bahwa apabila sapi PFH ditempatkan pada lokasi
dengan suhu tinggi, maka sapi-sapi tersebut akan mengalami cekaman panas terus
menerus yang berakibat pada penurunan produktivitas. Selain itu, suhu lingkungan
juga berpengaruh terhadap aklimatisasi sapi dan pengambilan air untuk ternak.
Semakin tinggi suhu maka tingkat konsumsi air minum pada ternak juga akan
semakin tinggi. Konsumsi air minum yang tinggi akan mengurangi konsumsi pakan
dari ternak sehingga menyebabkan produktivitas dari sapi menjadi turun.
Rata-rata kelembaban di dalam dan di luar kandang yaitu sebesar 74,4% (Tabel
1). Kelembaban dalam maupun luar tersebut tergolong kelembaban dalam skala
tinggi. Kelembaban udara yang terlalu tinggi menyebabkan pelepasan panas pada
tubuh sapi melalui penguapan akan terhambat sehingga sapi dapat mengalami
cekaman panas dan produktivitasnya menurun. Yani dan Purwanto (2006)
menyatakan bahwa Kelembaban yang nyaman untuk sapi perah sebesar 55%-60%,
apabila kelembaban tersebut lebih tinggi, maka akan berpengaruh pada produktivitas
sapi karena terjadinya hambatan pada sapi dalam melakukan penguapan tubuh..
Akoso (2008) juga menambahkan bahwa kelembaban udara yang tinggi akan menjadi
salah satu faktor penyebab timbulnya stres panas pada sapi perah. Hubungan besaran
suhu dengan kelembaban biasa disebut dengan Temperature Humidity Index (THI).
Nilai THI yang ideal pada sapi yaitu kurang dari 72 apabila nilai THI melebihi 72,

18

maka sapi perah PFH akan mengalami stres ringan (72 THI 79), stres sedang (80
THI 89) dan stres berat ( 90 THI 97).
Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban dan Radiasi Matahari
Suhu
Kelembaban
Radiasi Matahari
Dalam
Luar
Dalam
Luar
---------C------------------%--------Kcal/m2/jam
1. 18.00
27
25
90
90
376,2
2. 24.00
26
24
88
88
376,2
3. 06.00
24
24
84
84
376,2
4. 12.00
34
39
40
36
464,3
5. 18.00
30
28
70
74
396,9
Rerata
28,2
28
74,4
74,4
397,96
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
No

Jam

Berdasarkan hasil praktikum rata-rata radiasi matahari pada kandang adalah


397,96 Kcal/ m2/ jam. Nilai radiasi matahari yang didapat belum menimbulkan
cekaman panas terhadap sapi perah sebab menurut Akoso (2008) sapi perah PFH
akan mengalami cekaman panas apabila radiasi matahari mencapai 480 kCal/ m 2/
jam. Dalam hasil praktikum ini, didapatkan nilai radiasi matahari yang tidak
tergolong tinggi namun suhu didalam kandang diatas standar normal. Hal ini
dikarenakan sumber panas tidak hanya berasal dari sinar matahari tetapi juga dari
metabolisme tubuh sapi PFH. Purwanto (1993) menyatakan perolehan dan
penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme
radiasi, konduksi dan konveksi. Saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak,
jalur utama pelepasan panas terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan
jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui
pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan (panting).

19

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kandang


Parameter

Ukuran

Panjang kandang (m)


12,036
Lebar kandang (m)
8,35
Tinggi atap (m)
4,07
Panjang palung (m)
8,42
Lebar palung (cm)
54,5
Kedalaman palung (cm)
65
Tinggi palung (cm)
78,5
Panjang selokan (cm)
8,42
Lebar selokan (cm)
26
Kedalaman selokan (cm)
6
Lebar flock (cm)
157,5
Panjang flock (cm)
202
Tinggi flock (cm)
129,5
Kamar susu (m2)
10,6
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didaptakan hasil bahwa Ukuran
flock pada kandang sapi perah tersebut terlalu sempit yaitu sebesar 157,5 untuk lebar
flock dan 202 cm untuk panjang flock. Ukuran flock pada kandang sapi perah
tersebut terlalu sempit, sehingga menyebabkan gerak sapi PFH terlalu minim dan
dapat menyebabkan timbulnya stress pada sapi dan akan berdampak pada produksi
susu yang akan menurun. Menurut Kaharudin (2010) ukuran flok kandang untuk
seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m untuk sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m
dan untuk anak sapi cukup 1,5 x 1 m per ekor. Kekurangan yang terdapat pada
perkandangan sapi perah Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
adalah faktor higenis khususnya pada sekitar lingkungan kandang dan juga tempat
pembuangan feses yang tidak dibuang jauh dari kandang sehingga hal tersebut dapat
mempengaruhi kesehatan ternak. Pembuangan feses yang terlalu dekat dengan
20

kandang dapat menyebabkan peningkatan suhu lingkungan karena amonia mudah


menguap dan bersifat menyerap panas. Menurut Hariono (1991) amonia mudah
menguap dan menyerap panas serta amonia menimbulkan udara di lingkungan
kandang kehilangan oksigen. Akibatnya produktivitas padi sapi akan menurun dan
sapi mengalami cekaman panas akibat suhu yang terlalu tinggi.
4.2. Fisiologi Ternak
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data fisiologi ternak pada sapi dengan
rata-rata suhu rektal sebesar 39,6 0C dan 38,9 0C. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
suhu tubuh ternak relatif tinggi pada siang dan sore hari, hal ini disebabkan karena
perubahan suhu rektal sejalan dengan perubahan suhu udara yang semakin meningkat
karena radiasi matahari yang menyebabkan sapi dapat menderita cekaman panas. Hal
ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa
cekaman panas akibat radiasi matahari, kecepatan angin, suhu dan kelembaban mikro
maupun makro dapat menganggu sapi itu sendiri. Suhu sapi menunjukkan suhu
normal rata-rata yaitu 38,50C-39,60C. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo et al.,
(2009) yang menyatakan bahwa suhu rektal sapi perah dalam kondisi normal adalah
38,50C.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadi dan Frekuensi Nafas
Waktu
Pengukuran

Suhu Tubuh Ternak


(oC)
1

Denyut Nadi
(kali/menit)
1

Frekuensi
Nafas
(kali/menit)
1
2

21

18.00
38,7
38,9
61
57
24.00
38,3
38,4
56
55
06.00
37,9
37,9
60
58
12.00
39,1
39,4
75
71
18.00
39,8
40,2
67
70
Rata-rata
39,6
38,9
64
62
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

56
44
26
80
86
58

55
53
23
82
88
60

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data denyut nadi ternak pada sapi pada
saat praktikum dengan rata-rata denyut nadi sebesar 64 dan 62 kali/menit. Hasil
tersebut sesuai dengan rata-rata denyut nadi normal yaitu sekitar 64 67 kali/menit.
Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo et al., (2009) yang menyatakan bahwa rata
rata denyut nadi normal pada sapi perah adalah sekitar 64 67 kali/menit. Faktor
yang mempengaruhi denyut nadi pada sapi perah antara lain suhu, sapi yang sakit
atau mengalami stress, kelembaban udara, dan cekaman panas. Hal ini sesuai dengan
pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa pengaruh suhu
lingkungan dan kelembaban udara dapat menyebabkan perubahan kecepatan denyut
nadi pada sapi perah.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh rata rata frekuensi nafas sebesar 58
kali/menit, dan 60 kali/menit. Hasil tersebut lebih tinggi dari rata rata kisaran
frekuensi nafas normal pada sapi perah yaitu sekitar 19 kali/menit. Terjadi kenaikan
frekuensi pernafasan dari yang terendah di pagi hari hingga bertambah frekuensinya
siang dan sore hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang
menyatakan bahwa perubahan frekuensi pernafasan mulai meningkat pukul 06.00 dan
mencapai puncaknya pukul 12.00 dan menurun mulai pukul 14.00 WIB. Menurut

22

pendapat Akoso (2008) bahwa frekuensi pernafasan setiap menit untuk jenis hewan
tidak sama. Hal ini bisa disebabkan karena pengaruh suhu lingkungan, aktivitas
ternak dan stress yang meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo et al. (2009)
yang menyatakan bahwa frekuensi nafas normal pada sapi perah adalah sekitar 10
30 kali/menit.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Konsumsi Air Minum
Pengisian ke-

Volume
Waktu Pengisian
----------- L ---------1
1,36
18:55
2
1,36
02:34
3
1,36
08:02
4
1,36
08:14
5
1,36
08:16
6
1,36
08:20
7
1,36
08:24
8
1,36
08:36
9
1,36
08:42
10
1,36
09:57
11
1,36
10:00
12
1,36
10:03
13
1,36
10:07
14
1,36
10:21
15
1,36
15:05
Total
20,4
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan hasil praktikum, sapi PFH mengkonsumi air minum sebanyak 20,4
liter selama 24 jam. Terlihat bahwa konsumsi air minum mengalami peningkatan
paada siang hari disebabkan karena suhu yang meningkat di siang hari. Hal ini sesuai
dengan pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa konsumsi air minum
meningkat akibat cekaman panas pada ternak sapi perah. Hal ini didukung juga oleh

23

Soetarno (2003) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi air
bagi seekor sapi adalah umur, berat badan, produksi susu, panas, kelembaban udara,
serta jenis ransum pakan.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi
No.
Waktu Urinasi
Waktu Defekasi
1.
23.52
18.32
2.
03.01
20.17
3.
05.43
05.30
4.
07.45
06.00
5.
10.13
10.08
6.
12.08
11.03
7.
12.37
11.07
8.
13.01
12.06
9.
15.12
12.10
10.
15.49
15.06
11.
16.17
17.22
12.
17.21
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan hasil praktikum menunjukkan bahwa frekuensi urinasi selama 24
jam adalah sebanyak 12 kali. Hal ini berarti frekuensi urinasi pada sapi berlangsung
normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al. (2011) yang menyatakan
bahwa frekuensi urinasi sapi perah sebanyak 3 sampai 19 kali dalam sehari. Frekuensi
urinasi akan meningkat pada saat pemberian pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Embertson et.al. (2009) yang menyatakan bahwa frekuensi urinasi akan berhenti atau
mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika
diwaktu makan.
Berdasarkan hasil praktikum menunjukkan bahwa frekuensi defekasi selama 24
jam adalah sebanyak 11 kali defekasi. Hal ini berarti frekuensi defekasi pada sapi

24

berlangsung normal . Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud (2011) yang
menyatakan bahwa frekuensi defekasi sapi perah sebanyak 3 sampai 18 kali dalam
sehari. Frekuensi defekasi akan meningkat pada pemberian pakan sapi PFH. Hal ini
sesuai dengan pendapat Vaughan et al. (2014) yang menyatakan bahwa frekuensi
defekasi akan meningkat diwaktu jam-jam pemerahan dan pemberian pakan.
4.3. Anatomi Ambing
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, Ambing terdiri atas dua bagian
yaitu bagian kuartir kanan dan bagian kuartir kiri yang dipisahkan oleh selaput
pemisah yang tebal dan terletak memanjang badan sapi dan membantu
melekatkannya ambing pada tempatnya yang dinamakan dengan lateral suspensory
lagemant. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo (1990) yang
menyatakan bahwa ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir dan masing-masing kuartir
memiliki 1 puting yang berfungsi sebagai katup untuk membebaskan susu dan
menyediakan untuk menyusui anak sapi. Menurut Prihadi (1997) Kuartir bagian
kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis, sedangkan kuartir
ambing bagian depan (cranial) dan kuartir bagian belakang (caudal) dipisahkan oleh
membran. Ambing bagian depan menghasilkan 40% sedangkan ambing bagian
belakang menghasilkan 60% dari total produksi susu setiap harinya.

25

Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior Ambing (kiri) dan Interior Ambing


(Kanan)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Keterangan:
1. Myoepithel cells

6. Annular fold

2. Alveoli

7. Teat meatus

3. Milk duct

8. Teat cistern

4. Major duct

9. Ligamentum suspensori medialis

5. Gland cistern

10. Ligamentum suspensori lateralis

Struktur ambing dibagi menjadi dua yaitu eksterior (struktur luar) dan interior
(struktur dalam). Struktur ekterior ambing berfungsi sebagai jaringan penunjang
ambing. Yang termasuk ekterior ambing yaitu kulit berfungsi sebagai pembungkus
seluruh ambing, ligamentum suspensorium lateralis yang terdiri dari jaringan ikat
fibrosa non elastis. Ligamentum suspensorium medialis berfungsi sebagai jaringan
penunjang utama yang menjaga besar kecilnya ambing waktu laktasi.

26

Proses keluarnya susu dimulai dari rangsangan (sentuhan, penglihatan, dan bau)
pemerah yang kemudian diteruskan melalui nervus inguinalis menuju ke corda
spinalis dan otak. Hipotalamus pada otak kemudian mensekresikan releasing factor
oxytocin (RFO) yang merangsang hipofisa pars posterior. Hipofisa pars posterior
sendiri berfungsi untuk mensekresikan oxytocin. Hormon oxytocin kemudia masuk
ke dalam vena jugularis menuju ke jantung yang kemudian diedarkan menuju
kelenjar ambing. Oxytocin menuju ke ambing bagian depan disalurkan melalui arteri
pedenda externa, sedangkan pada ambing bagian belakang disalurkan melalui arteri
pedenda interna. Oxytocin kemudian masuk ke ambing bagian depan melalui arteri
mammaria cranialis dan pada ambing bagian belakang melalui arteri mammaria
caudalis. Kemudian oxytocin merangsang myoephitel cells yang berada di sekeliling
alveoli untuk berkontraksi, sehingga air susu bercampur dan berjalan menuju ke sinus
papilaris kemudian ke major duct lalu ke gland cistern. Hal ini sesuai dengan
pendapat Lestari (2006) yang menyatakan bahwa sel-sel akan berkontraksi sebagai
respon dari hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitary yaitu oxytocin. Broom
dan Fraser (2007) menambahkan bahwa proses kerluarnya susu merupakan refleks
dan dibawah sadar akibat rangsangan terhadap puting, rangsangan penglihatan dan
rangsangan sensorik lainnya.
Rangsangan luar selain pencucian akan mengawali refleks pengeluaran susu.
Menurut Lestari (2006) keadaan lingkungan yang tidak menyenangkan saat
pemerahan akan menyebabkan sistem syaraf simpatetik membebaskan epineprin
syaraf-hormon dari medula adrenal ke dalam darah. Hormon adrenalin menghambat
27

terbebasnya oxytocin adalah dengan mengencangkan pembuluh-pembuluh darah


yang menuju ke ambing. Hal ini berdampak pada transportasi oxytoxin menuju
myoephitel cells terhambat sehingga myoephitel cells berkontraksi dan susu yang
dikeluarkan tidak optimal.
4.4. Berat Jenis Susu
Tabel 6. Berat Jenis Susu Segar dan Susu Olahan
Parameter
Susu murni
Susu olahan (UHT )
Jumlah susu (ml)
500
500
BJ Susu
1,017
1,0271
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan data diatas diketahui bahwa berat jenis susu murni sebesar 1,017
sedangkan susu olahan (UHT) sebesar 1,0271 (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas susu murni dan susu olahan (UHT) tergolong baik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sawitri et al. (2010) yang menyatakan bahwa berat jenis susu normal
menurut SNI 01-2782-1998 adalah 1,028 Berat jenis susu murni maupun olahan
(UHT) normal karena tidak terkontaminasi (tidak ada penambahan air). Penambahan
air dapat menyebabkan air susu menjadi encer, sehingga berat jenis susus turun. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sawitri et al. (2010) bahwa berat jenis sangat dipengaruhi
oleh total solid yang terkandung dalam susu. Ditambahkan oleh Susilowati et al.
(2013) bahwa berat jenis dipengaruhi oleh total solid dan merupakan salah satu aspek
yang perlu diperhatikan dalam penilaian susu. Air susu akan mengembang pada suhu
yang semakin tinggi, per satuan volume air susu pun mengembang pula menjadi

28

menjadi ringan. Dan sebaliknya, dengan pendinginan, air susu akan menjadi padat
sehingga per kesatuan volume akan menjadi lebih berat. Oleh karena itu, di Indonesia
berat jenis air susu itu ditetapkan pada temperatur 27,5 oC (suhu ideal).
4.5. Recording
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan data bahwa ternak sapi PFH betina no
sapi 4, dibeli saat peranakan sehingga identifikasi secara fisik kurang diketahui, tetapi
kondisi (kesehatan) ternak cukup baik. Laktasi pertama pada bulan oktober sampai
Sembilan bulan kedepan yaitu bulan juni. Untuk pengecekan kesehatan induk tidak
pernah divaksinasi melainkan pedet pernah divaksinasi satu kali. Partus ini lahir pada
tanggal 1 oktober 2014 dengan bejenis kelamin jantan dan bobotnya mencapai 32 kg.
Untuk pencatatan recording yang telah dilakukan meliputi produksi susu, data
reproduksi, dan kesehatan ternak agar dapat mengetahui suatu informasi yang detail
tentang individu sapi secara lengkap dan menyeluruh. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Nurul (2013) bahwa pencatatan recording yang diperlukan meliputi
produksi susu, data reproduksi, dan kesehatan ternak. Namun recording sapi yang
dilakukan di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro kurang
lengkap. Ketiadaan data produksi, kesehatan dan identitas ternak dapat menyebabkan
tidak mengetahui produksi yang telah dihasilkan, tidak dapat mengetahui riwayat
penyakit, terjadinya inbreeding serta rendahnya penanganan terhadap ternak. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hardjosubroto dalam Hakim et al. (2010) bahwa tidak

29

adanya recording yang baik dan jelas dapat mengakibatkan terjadinya inbreeding,
sehingga memunculkan cacat genetik.

BAB V
30

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


fisiologi lingkungan dapat mempengaruhi fisiologi ternak sapi perah terutama
frekuensi pernapasan dan frekuensi denyut nadinya. Anatomi ambing dipisahkan
menjadi empat kuartir bagian kiri dan kanan serta bagian depan belakang, dan
bagianya terdiri dari teat meatus, teat cistern, annular fold, gland cistern, major duct,
alveoli, Ligamentum suspensori medialis, Ligamentum suspensori lateralis. Ambing
berperan dalam produksi dan sintesis susu. Berat jenis susu segar lebih kecil daripada
susu olahan. Recording sapi PFH betina, belum pernah di inseminasi buatan dan
sudah melahirkan pedet jantan seberat 32 kg.

Saran

Sebaiknya pada saat membeli sapi PFH dilakukan pencatatan agar jelas
recording asal usul ternak, kapan waktu laktasi, penyakit yang diderita ternak dan
lainnya karena informasi itu sangat penting tetapi data yang diperoleh kurang
lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

31

Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.


Andrews A. H., R. W. Blowey, H. Boyd, R. G. Eddy , John Wiley and Sons. 2008.
Bovine Medicine: Diseases and Husbandry of Cattle. Blackwell Publishing
Company, Lowa.
Broom, D.M. dan A.F. Fraser. 2007. Domestic Animal Behaviour and Welfare.
California.
Campbell, Reece dan Mitchell. Biologi (Edisi ke 5 Jilid 3). 2004. Erlangga. Jakarta.
Catur, A. dan Ihsan, M.N. 2011. Penampilan reproduksi sapi perah Friesian Holstein
(Fh) pada berbagai paritas dan bulan laktasi di ketinggian tempat yang
berbeda. Jurnal Ternak Tropika. 11 (2) : 1-10.
Charles dan Hariono, 1991. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan
Penanganan Limbah Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan,
Departemen Pertanian. Jakarta.
Chrisenta, B. B. 2012. Kajian Penampilan Reproduksi Sapi Brahman cross Program
Aksi Perbibitan di Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Churng-Faung Lee. 2002. Feeding management and strategies for lactating dairy
cows under heat stress. International Training on Strategies for Reducing
Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRICOA) August 26th 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Embertson, M. N. M., P. H. Robinson, J. G. Fadel and F. M. Mitloehner. 2009. Effects
of shade and sprinklers on performance, behavior, physiology, and the
environment of heifers. J. Dairy Sci. 92:506517
Esmay, M. L. and J. E. Dixon. 1986. Environmental Control for Agricultural
Buildings. Texbook Ed. AVI Publishing Company, Inc. Wesport.
Frandson R. D., W. L. Wilke and A. D. Fails. 2009. Anatomy and Physiology of Farm
Animals. Wiley-Blackwell. Lowa.
Gwatibaya, S., E. Svotwa and D. Jambwa. 2007. Potential effects and management
options for heat stress in dairy cows in zimbabwe. Dairy Science. 6 (5): 2066
2074.
Habibah. 2004. Tampilan Produksi Susu dan Fisiologis Tubuh Akibat Perbedaan
Tinggi Tempat dan Bulan Laktasi pada Sapi Perah Friesian Holstein.
Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis)

32

Hakim, L., G. Ciptadi dan V. M. A. Nurgiatiningsih. 2010. Model recording data


performans sapi potong lokal di Indonesia. J. Ternak Tropika 11 (2): 6-17.
Huda, M.K. 2007. Tampilan SNF dan Berat Jenis Susu Sapi PFH yang Diberi
Ransum dengan Tingkat Konsumsi Berbeda. Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya, Malang. (Skripsi)
Ismantono. T, Sri Utami dan Haris Al Suratim. 2013. Pengaruh lama penyimpanan
dalam refrigerator terhadap berat jenis dan viskositas susu kambing
pateurisasi. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):69-78.
Lestari Tita D. 2006. Laktasi Pada Sapi Perah Sebagai Lanjutan Proses Reproduksi.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. (Skripsi)
Mardalena. 2008. Pengaruh waktu pemerahan dan tingkat laktasi terhadap kualitas
susu sapi perah Peranakan Fries Holstein. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan, XI (3).
Moran, J. 2005. Tropical Dairy Farming: Feeding Management for Small Holder
Dairy Farmers in the Humid Tropics. Landlinks Press, Californa.
Nelson, M. G. 2010. The Complete Guide to Small-scale Farming: Everything You
Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks, and
Other Small Animals. Atlantic Publishing Company. Florida.
Nurul, P., A. T. A. Sudewo dan S. A. Santosa. 2013. Penggunaan Taksiran Produksi
Susu dengan Test Interval Method (TIM) pada Evaluasi Mutu Genetik Sapi
Perah Di BBPTU Sapi Perah Baturraden. Fakultas Peternakan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Purwanto, B.P. 1993. Heat and Energy Balance in Dairy Cattle Under High
Environmental Temperatute. Hiroshima University. Hiroshima. (Tesis)
Purwanto, B.P., A.B. Santoso dan A. Murfi. 1995. Fisiologi Lingkungan. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Reece, O. W. 2013. Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals.
Wiley-Blackwell, Lowa.
Rizki. 1996. Penggunaan Beban Panas Akibat Radiasi Matahari pada Sapi Perah
Holstein Dara. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Robichaud, M.V., A. M. de Passill, D. Pellerin and J. Rushen. 2011. When and
where do dairy cows defecate and urinate. J. Dairy Sci. 94:48894896.

33

Santosa S.I., A. Setiadi dan R. Wulandari. 2013. Analisis potensi pengembangan


usaha peternakan sapi perah dengan menggunakan paradigma agribisnis di
Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Buletin Peternakan. 37 (2) : 125135.
Sawitri, M. E, A. Manab, M. Ch. Padag, T. E. Susilorini, U. Wisaptiningsih dan K.
Ghozi. Kajian kualitas susu pasteurisasi yang diproduksi U.D. Gading Mas
selama penyimpanan dalam refrigerator. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak, Vol : 5 (2) : 28-32.
Siregar, S. B 2003. Sapi Perah Jenis, Teknis Pemeliharaan dan Analisis Usaha.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, S.B. 2006. Pemeliharaan sapi perah laktasi di daerah dataran rendah.
Wartazoa Vo1. 5 (1). Hal: 4.

34

Anda mungkin juga menyukai