A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau
gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran
pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini
berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas
yang berbahaya. Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan
bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut
PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai
oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik.
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh
pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar.1,2
B. Epidemiologi1
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi
C. Faktor Risiko1-3
Riwayat merokok
o Perokok aktif
o Perokok pasif
o Bekas perokok
b.
: 0 200
o Sedang
: 200 600
o Berat
: > 600
2) Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja baik di dalam
maupun luar ruangan, seperti bahan biomass untuk memasak dan memanaskan
atau bahan kimia dan partikel yang lama dan terus menerus.
3) Masalah pada paru yang terjadi saat masa gestasi atau saat anak anak
(BBLR, infeksi pernapasan) juga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya
PPOK.
4) Genetik diketahui berperan dalam terjadinya PPOK, yaitu defisiensi antitripsin
alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
D. Patogenesis dan Patofisiologi1,4
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.1 Hambatan
aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh
adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim
dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas
kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding
luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran
nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi,
yang meningkat sesuai berat sakit.4
Dalam keadaan normal radikal bebas dan anioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di
paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.4
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotatik neutrofil seperti Interleukin 8 dan leukotrien B4, Tumor Necrosis Factor
(TNF), Monocyte Chemotactic Peptide (MCP)-1, dan reactive oxygen species (ROS).
Faktor faktor ersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan meyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi.4
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan funsi
paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur
berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas
yang berlebihan oleh leukosit, polusi, dan asap rokok, 4
Inspeksi
o Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
o Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
o Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi
o Suara nafas vesikuler melemah atau normal
o Ekspirasi memanjang
o Bunyi jantung menjauh
o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
Spirometri
Pemeriksaan dilakukan ketika tidak dalam eksaserbasi akut. Terbagi menjadi 4
klasifikasi.
GOLD 1
Ringan
GOLD 2
GOLD 3
GOLD 4
Sedang
Berat
Sangat berat
Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Terlihat
gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar,
jantung menggantung ( tear drop appearance ), corakan bronkovaskuler meningkat.
E.3.2 Pemeriksaan khusus (tidak rutin)1
1) Faal paru
2) Uji latih kardiopulmoner
3) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik
6) Radiologi
CT - Scan resolusi tinggi untuk mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
CT - Scan ventilasi perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi untuk menilai fungsi jantung kanan
9) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
10) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
F. Diagnosis Banding1
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) adalah penyakit obstruksi saluran
napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang
minimal.
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain (bronkiektasis, destroyed lung )
Mengurangi gejala
Pasien
Karakteristik
Risiko rendah,
gejala sedikit
Risiko rendah,
gejala banyak
Risiko tinggi,
gejala sedikit
Risiko tinggi,
Klasifikasi
Eksaserbasi
Spirometri
per tahun
GOLD 1-2
CAT
mMRC
< 10
0-1
GOLD 1-2
10
GOLD 3-4
< 10
0-1
GOLD 3-4
2
10
gejala banyak
Tabel 3. Kombinasi penilaian pasien PPOK ( Sumber GOLD 2015 )
Pilihan alternatif
memungkinkan
teofilin
Kortikosteroid inhalasi +
2 agonis kerja lama
teofilin
dan atau
+ inhibitor fosfodiesterase-4
antikolinergik kerja
(PDE-4)
cepat
teofilin
Karbosistein
inhibitor PDE-4
Kortikoseroid inhalasi +
Antikonergik kerja lama +
2 agonis kerja lama
Kortikosteroid inhalasi +
PDE-4
dan atau
antikolinergik kerja
cepat
kerja lama
teofilin
sesak bertambah
Gejala dapat disertai batuk semakin sering, keterbatasan aktivitas, gagal napas acute on
chronic, hingga penurunan kesadaran. Eksaserbasi akut dapat diklasifikasikan berdasarkan 3
gejala kardinal di atas :
1) eksaserbasi berat : terdapat 3 gejala kardinal
2) ekaserbasi sedang : terdapat 2 dari 3 gejala kardinal
3) eksaserbasi ringan : terdapat 1 dari 3 gejala kardinal ditambah salah satu dari kriteria
tambahan, antara lain infeksi saluran napas > 5 hari, demam tanpa sebab lainnya,
peningkatan batuk, mengi, peningkatan laju pernapasan atau frekuensi nadi > 20%
nilai dasar.
Penyebab tersering adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus atau bakteri. Penyebab
lainnya dapat berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, asupan nutrisi buruk,
aspirasi, polusi udara, pneumothoraks atau penyebab sistemik (DM atau gangguan elektrolit).
Penatalaksanaan yang dilakukan, yaitu :
1. Penilaian awal ( derajat kesadaran )
2. Pemberian oksigen
3. Pemeriksaan penunjang : darah perifer lengkap, foto toraks, EKG, analisa gas darah.
Spirometri tidak direkomendasikan untuk dilakukan ketika akut.
4. Bronkodilator : 2 agonis kerja cepat dengan/tanpa antikolinergik kerja cepat
-
5. Kortikosteroid sistemik
Pemberian ini akan mempercepat waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru dan
hipoksemia arteri, menurunkan resiko relaps, kegagalan terapi dan durasi rawat inap.
Dianjurkan pemberian prednison 30-40 mg selama 10-14 hari. Diberikan per oral
untuk eksaserbasi ringan sedang atau IV untuk eksaserbasi berat. Pemberian
kortikosteroid sebaiknya < 2 minggu untuk mencegah efek samping.
6. Antibiotik
Antibiotik diindikasikan jika terdapat salah satu gejala kardinal atau pada pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanik. Pemilihan regimen antiobiotik bergantung dari data
prevalensi bakteri setempat. Dianjurkan untuk menggunakan antibiotik :
Setelah pemberian oksigen, terjadi hipoksemia atau PaO 2 < 50 mmHg atau PaCO2 >
50 mmHg, memerlukan ventilasi mekanis
Golongan obat
Jenis obat
Antikolinergik
Ipratropium bromida
Sediaan
Nebulizer : 0,25-0,5 mg
Oral : IDT : 20, 40 g
Lama kerja
6-8 jam
Salbutamol
IDT : 100-200 g
Nebulizer : 2,5-5 mg
Oral : 2-4 mg
4-6 jam
Fenoterol
IDT : 100-200 g
Nebulizer : 2,5-5 mg
Oral : 0,05 % (sirup)
4-6 jam
Terbutalin
IDT : 250-500 g
Nebulizer : 5-10 mg
Oral : 2,5-5 mg
4-6 jam
Formoterol
IDT : 4,5-12 g
12 jam
Salmeterol
Aminofilin
IDT : 50-100 g
Oral : 200 mg
Injeksi : 240 mg
12 jam
4-6 jam
Teofilin
Oral : 100-400 mg
Salbutamol + ipratropium
IDT : 75 + 15 g
Nebulizer : 2,5+0,5 g
4-8 jam
Fenoterol + ipratropium
IDT : 200 + 20 g
4-8 jam
Budesonid + formoterol
12 jam
Budesonid
IDT : 100,200,400 g
Nebulizer : 0,5 mg
Oral : -
Flutikason
Nebulizer : 0,5 mg
Oral : -
Beklometason
IDT : 100,200 g
Oral : -
Prednison
Oral : 5, 30mg
Metilprednisolon
IDT : 10-1000 g
Nebulizer : Oral : 4,8,16 mg
Injeksi : 125 mg
Agonis 2 kerja
singkat
Agonis 2 kerja
lama
Metilsantin
Kombinasi
Kortikosteroid
Kortikosteroid
sistemik
Daftar Pustaka :
1. Antariksa B. Sutoyo, dkk. PPOK Pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia revisi 2010. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2010
2. Decramer M. Vestbo, dkk. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2015
3. Tanto. Chris, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Media
Aesculaptus; 2014
4.
Khairani.Fathia, Fatur Nur Kholis, Dwi Ngestiningsih. Hubungan antara skor COPD
Assesment Test ( CAT ) dengan Rasio FEV1/FVC pada pasien penyakit paru
obstruktif Kronik ( PPOK ) Klinis, Studi kasus pada pasien di RSUP dr. Kariadi
Semarang. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Semarang : Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro ; 2013