Anda di halaman 1dari 47

ANATOMI KULIT

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ
terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang
dewasa sekitar 2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit
bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit
tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas.
Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan
bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam
yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan
jaringan ikat.
EPIDERMIS
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis
gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis
berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki.
Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap
4-6 minggu.
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam):
1. Stratum Korneum Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
2. Stratum Lusidum Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya
ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula
keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans.
4. Stratum Spinosum Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril,
dianggap filamenfilamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan
kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus
mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak
tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi.
Terdapat sel Langerhans.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum) Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan
bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan.

Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak,
usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.
Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan
dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
DERMIS Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap
sebagai True Skin. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada
telapak kaki sekitar 3 mm.
Dermis terdiri dari dua lapisan :
Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya usia.
Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia
meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling
bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi
kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput. Dermis mempunyai
banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu
folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak
tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical
strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi
SUBKUTIS Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar
dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh
dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori,
kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.
VASKULARISASI KULIT
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak antara lapisan papiler dan
retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang kecil
meninggalkan pleksus ini memperdarahi papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri
asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat
nutrient dari dermis melalui membran epidermis

FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah
memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi,
mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi
kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan
sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah
satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada
daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan
cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami
proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru dan mukosa bukal.
Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila
temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi
temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat
meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit
akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas.

PENGERTIAN
Morbus Hansen yang disebut juga Lepra adalah infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan mikroorganisme yang
menyerang kulit dan saraf. Mycobacterium leprae, penyebab dari lepra ditemukan
oleh G.H Armauer Hansen di Norway pada tahun 1873. Meskipun tidak fatal, lepra
merupakan salah satu penyebab paling sering neuropati perifer di seluruh dunia.
Bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian organ lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penularan lepra secara
pasti belum diketahui. Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena
berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi (kontak langsung antarkulit
yang lama dan erat), dan bisa juga melalui inhalasi. Sekitar 95% orang yang pernah
terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem kekebalannya
berhasil melawan infeksi.
Penyakit yang terjadi bisa ringan (lepra tuberkuloid) atau berat (lepra
lepromatosa). Infeksi dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia
20 -30 tahun. Bentuk lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria dibanding
wanita. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan
karena merupakan bakteri obligat intraselular, sehingga diagnosis yang tepat dalam
waktu

pendek masih

belum memungkinkan. Tapi

dapat dibuat diagnosis

berdasarkan gejala- gejala klinis yang spesifik pada pasien. Pengobatan pada
pasien lepra meliputi terapi dengan satu obat atau dengan kombinasi (multi drug
terapi). Obat yang dipakai untuk penyakit lepra adalah DDS (diaminodifenil),
Rifampisin, Klofazimin, Protionamide, dan Etionamide
ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, dan belum dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram
positif dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, yang mempunyai komponen antigenik
kompleks yang terdiri dari lipid, karohidrat dan protein, sehingga kuman ini tahan
asam dan alkohol.. Mikroorganisme ini merupakan mikroorganisme yang kuat yang
dapat bertahan hidup di lingkungan selama 10 hari.

Kuman ini mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann,


replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response,
yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di
perineurium,

dapat

ditemukan

iskemia,

fibrosis,

dan

kematian

akson. 3

Mycobacterium leprae bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C. Tumbuh


dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung,
cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan
tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1

Gambar 1. Mycobacterium

leprae

(http://www.who.int/lep/microbiology/en/index.html)
EPIDEMIOLOGI
Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah
tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin
rendah sosial ekonomi rendah makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Pada tahun 1991 World Heath
Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan
masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi
dibawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di indonesia dikenal dengan Eliminasi Kusta
tahun 2000 (EKT 2000). 2
Peyakit ini masih teteap menjadi endemik di Negara seperti Afrika dan Negaranegara Asia Tenggara.Variasi geografi pada tahun 2009 menunjukkan dari 141
negara yang melaporkan, hanya 7 negara yang terdeteksi 85 % kasusnya dalah
kasus baru. Contohnya pada tahun 2009 di India terdapat 94 % kasus lepra baru
dari 79 % populasi saat itu. Pada tahun 2005 2007 di Brasil 17 % dari populasi
berkontribusi pada 53 % kasus baru. Untuk Indonesia sendiri pada tahun 2007, 14
dari 33 provinsi terdapat 83 % kasus baru. Sedangkan China pada tahun 2009, 3
dari 31 provinsi mempunyai 54, 5 % kasus baru.

2.4 KLASIFIKASI & GAMBARAN KLINIS


Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
IL
TT
BT
BB
BL
LLs
LLp

: Indeterminate leprosy
: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
: Borderline tuberculoid
: Mid borderline
: Borderline lepromatous
bentuk yang labil
: Lepromatous subpolar
: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LLp adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara BT dan LLs disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT lebih banyak tuberkuloidnya,
sedang BL dan LLs lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LLp. 7 Indeterminate
leprosy tidak termasuk dalam spektrum.2

Tabel Klasifikasi Ridley-Jopling


Sumber : Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according
to immunity: a five-group system. Int J Leprosy 1966; 54 : 255-73

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar
(PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks biposi (IB),
ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LLp, BL, dan BB pada klasifikasi RidleyJoping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe
TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.2 Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun
1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan
BTA negatif pada pemeriksaan

kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut

klasifikasi Ridley-Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe


BB, BL, LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati
dengan rejimen MDT-MB.2,14

Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO (Kosasih, 2010)


Lesi kulit (makula yang
datar, papul yang
meninggi, infiltrat, plak
eritem, nodus)
Kerusakan saraf

PB (Pausibasilar)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris

MB (Multibasilar)
>5 lesi
Distribusi lebih simetris

Hilangnya sensasi kurang


jelas
Banyak cabang saraf

BTA
Tipe

Hilangnya sensasi yang


jelas
Hanya satu cabang
saraf

Negatif
o Indeterminate (I),
o Tuberkuloid (T),
o Borderline tuberkuloid
(BT)

Positif
Lepromatosa (LL),
Borderline
lepromatous (BL),
o Mid borderline (BB)
o
o

Zona spectrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah: 2


Klasifikasi
Ridley&Joplin
g
Madrid
WHO
Puskesmas

TT

Zona spectrum kusta


BT
BB
BL

Tuberkuloid
Pausibasilar (PB)
PB

LL

Borderline
Lepromatosa
Multibasilar (MB)
MB

Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya


perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer
dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala
klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang

bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi


otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal
yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90%
pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal,
hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin.
Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki,
sehingga dapat terjadi komplikasi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal
tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin,
yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut. 2 Perubahan
saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) Pembesaran saraf tepi yang asimetris pada
daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi
kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati,
kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) Kerusakan sensorik dengan
pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas
dan dingin, serta nyeri dan raba). 4
1 Indeterminate Leprosy (IL)
IL merupakan bentuk lepra yang sering sekali tidak didagnosis sebagai lepra.
Gambaran klinis berupa dua atau tiga patch yang datar dan hipopigmentasi.
Gejala saraf perifer ringan atau bahkan tidak ada. Karakteristik khas yang biasa
didapatkan pada biopsi kulit lepra tidak didapatkan pada IL. 9 Biasanya muncul
pada wajah, bagian ekstensor dari ekstremitas, pantat atau dada.

Gambar 2. Indeterminate Leprosy

Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology


2 Tuberculoid Leprosy (TT)
TT merupakan bentuk lepra yang paling ringan. Imunitas host biasanya masih
baik, dapat sembuh spontan dan masih mampu melokalisir sehingga didapatkan
gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu
atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik,
dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya
teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang
adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi
menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat
satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris. 9

Gambar 3. Tuberculoid Leprosy


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology
3 Lepromatous Leprosy (LL)
Manifestasi klinis awal yang muncul biasanya di kulit (karena gejala saraf
biasanya masih asimptomatik pada awal penyakit), namun biasanya tidak terlalu
diperhatikan oleh pasien, mereka lebih sering mengeluhkan keluhan seperti
keluhan hidung tersumbat disertai adanya sekret dan epistaksis. Untuk daerah
kulit sendiri jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris,
permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada
stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Lesi pada mukosa oral
berupa papul pada bibir dan nodul pada palatum, uvula, lidah dan gusi. Mukosa
nasal juga menjadi hiperemis dan ulserasi sehingga gampang terjadi epistaksis.
Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies
leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.9

Gambar 4. Lepromatous Leprosy


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology

Gambar 5. Fasies Leonine


Sumber : Gawkrodger DJ. Tropical Infections & Infestations.
Dermatology Illustrated Colour Text

Gambar 6. Hidung pelana dan infiltrasi pada lidah


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology

Gambar 7. Nodul pada septum nasi dan perdarahan


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology

Gambar 8. Multiple dermatofibroma-like pada LL


Sumber : Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine

4 Borderline Leprosy (BT, BB, BL)


Pada tipe borderline, merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri
dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang
khas pada tipe ini. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
Pada BT lesi biasanya lebih sedikit dan lebih kering, kerontokan rambut,
anhidrosis, dan jumlah bacil yang ditemukan dalam smear dan biopsy lebih
sedikit. Dibandingkan dengan BL dimana tingkatannya mendekati LL sehingga
lesi kulitnya juga lebih mengarah pada tipe LL. Borderline leprosy adalah tipe
yang paling sering terjadi dan karena tipe ini bersifat tidak stabil maka sewaktuwaktu dapat mengalami down-grades menjadi LL (apalagi bila tidak diobati), atau
mengalami upgrades menjadi TT.4

Gambar 9. Borderline Tuberculoid (BT)


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology

Gambar 10. Borderline Leprosy (BL)


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology

Gambar 11. Borderline (BB)


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology
Deformitas

dapat

terjadi

pada

kusta.

Pada

kusta

sesuai

dengan

patofisiologinya ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai
akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius

atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat
kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena
kerusakan saraf.4,7,9
Gejala kerusakan saraf pada N.ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan
otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N. Medianus adalah
anestesi pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak
mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur,
dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N. Radialis adalah
anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist
drop) dan tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea
lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N. Tibialis posterior
adalah anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps
arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
lagoftallmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N. Trigeminus adalah
anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta
dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu
mata (madarosis), juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang menyebabkan paralisis orbikularis okuli
sebagian

atau

seluruhnya,

mengakibatkan

lagoftalmus

yang

selanjutnya

menyebabkan kerusakan bagian-bagian mat alainnya. Secara sendirian atau


bersama-sama menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit
yang teriri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat
menyebabkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul
ginekomastia akibat ganggguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltasi
granuloma pada tubulus semineferus testis.2,9

Tabel 2. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB


Karakteristik

Tuberkuloid (TT)

Bentuk

Makula atau makula

Borderline Tuberkuloid
(BT)
Lesi
Makula dibatasi infiltrat;

Indeterminate (I)
Hanya infiltrat

Jumlah
Distribusi
Permukaan

dibatasi infiltrat
Satu atau beberapa
Terlokasi dan asimetris
Kering,skuama

infiltrat saja
Satu dengan lesi satelit
Asimetris
Kering,skuama

Anestesia

Jelas

Jelas

Batas

Jelas

Jelas

Pada lesi kulit

Negatif

Tes Lepromin

Positif kuat (3+)

BTA
Negatif, atau 1+
Positif lemah

Satu atau beberapa


Bervariasi
Halus agak berkilat
Tidak ada sampai tidak
jelas
Dapat jelas atau tidak
jelas
Biasanya negatif
Dapat positif lemah atau
negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB


Karakteristik

Lepromatosa (LL)

Borderline Lepromatosa (BL)

Mid-borderline (BB)

Lesi
Bentuk
Jumlah

Makula, infiltrat difus,


papul, nodus
Banyak, distribusi luas,

Makula, plak, papul


Banyak, tapi kulit sehat

Distribusi

praktis kulit sehat


Simetris

masih ada
Cenderung simetris

Permukaan

Halus berkilat

Halus berkilat

Anestesia
Batas

Tidak jelas
Tidak jelas

Tidak jelas
Agak jelas

Plak, lesi bentuk kubah,


lesi punched out
Beberapa,kulit sehat (+)
Asimetris
Sedikit berkilap,
beberapa lesi kering
Lebih jelas
Agak jelas

BTA
Pada lesi kulit
Sekret hidung
Tes Lepromin

Banyak
Banyak
Negatif

Banyak
Biasanya tidak ada
Negatif

Agak banyak
Tidak ada
Biasanya negatif

(www.ncbi.nlm.nih.gov, 2001)
PATOGENESIS
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh
respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena
itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Meskipun

cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.1
Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama
kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah
satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang
diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap akan melalui
beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%
individu yang terinfeksi oleh M. leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal
hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka
barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel
imunokompeten oleh stimulasi antigen M. leprae.5
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.
Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor)
yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal
kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua
signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan
Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. 6
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari
penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag
akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag

akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan
penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari


eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel
B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel
mast.6
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2.
Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih
tinggi dibandingkan dengan Th1.6
Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS)
penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid,
sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Makrofag dalam
jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama lain
sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman
masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan
mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan
karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel.
Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae
yang sudah ada di dalamanya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagi alat pengangkut
penyebarluasan.5,6
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan kulit
yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan plak.
Kelainan saraf dapat simetris. 5,6,7

Gambar 1. Imunitas terhadap bakteri


Sumber : Playfair JHL, Chain BM. Immunity to bacteria. Immunology
at a Glance
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif
dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak
segera diatasi akan terjadi reaksi berlebahan dan masa epiteloid akan menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf
perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan
saraf biasanya asimetris. 7
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae sehingga
menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat. Pengikatan M.
leprae ke sel Schwann menyebabkan demielinisasi dan hilangnya konduktansi

aksonal. M. leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin


2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4 +. CD4+ akan mengaktifkan
Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal
memakan M. leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus menerus
untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak
mengenai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yag
rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. 7
DIAGNOSIS
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan
inspeksi, palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana,
yaitu jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin,
pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat
hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan
The great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan
penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah:
dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika,
psoriasis,

neurofibromatous, granuloma

anulare,

xantomatosis,

skleroderma,

leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark (Kosasih, 2002).
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat
banyak mebantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan
mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap
rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung
reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari
tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah
lesi (Siregar, 2003).
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan
perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa

kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi
dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung
oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak
dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan
saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:
1 N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
2 N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu
jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3 N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4 N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5 N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis
6 N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)
7 N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
PEMERIKSAAN PENUNJANG,
1 Hitung sel darah lengkap
2 Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3 HIV status, terutama nonresponder
4 Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5 Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bakterioskopik

Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSEN. Pertama tama harus ditentukan lesi di
kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4
lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat
tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 2
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solid x 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B
1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 2
Pemeriksaan Serologik

Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh


M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR. 2
Tes Lepromin
Tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.
leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4
minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan
eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis 3.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0
Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulsera
DIAGNOSIS BANDING
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, ptiriasis versikolor,
ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi papul, granuloma annulare, lichen planus.
Pada lesi plak, tinea korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada lesi nodul, acne
vulgaris, neurofibromatosis. Pada lesi saraf, amyloidosis, diabetes, trachoma 3.
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat
pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di
dalamnya.
Reaksi reversal atau reaksi upgrading / type 1
Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (LLs, BL, BB, BT) sehingga
disebut juga sebagai reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam terjadi
hal ini adalah SIS. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae
berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan
pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh
karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Tipe lepra yang
termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti

naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula.
Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai
peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis
reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah
aktif atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi
menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat,
lesi infiltrat menjadi makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya
gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian
pengobatan kortikosteroid. 4,10,12

Gambar 12. Reaksi tipe 1


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology

Eritema nodosum leprosum (E.N.L.) / type 2


ENL timbul terutama pada tipe LL dan BL. Secara imunopatologis, ENL
termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi
antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun. Hal

ini terjadi karena pada tipe lepromatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe
tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan karena banyak
basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan
bereaksi dengan antibodi, mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut
terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
2,12

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menyebabkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis,
dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat.2,4,10
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa
(TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL
setelah terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini
menunjukkan eratnya hubungan antara TNF-a dengan patogenesis ENL. 7
Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan
memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi
TNF-a dan PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95%
apabila dibandingkan dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.

Gambar 13. ENL


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology

Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di
Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan
prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrate difus, berwarna
merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa,
disertai purpura, dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. 2
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler. Walaupun
tidak ditemukan infiltrate PMN seperti pada ENL, namun dengan imunofuorosensi
tampak deposit immunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.
Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua
penderita. 2

Gambar 14. Fenomena Lucio


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rooks Textbook of Dermatology
PENATALAKSANAAN

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan


insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita .4
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif
dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis
folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash,
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo. 4
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari
NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri
lambung.4
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan
cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita
kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan
oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat
pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman
kusta dalam jaringan.3,4
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali

saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas.


Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di
Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn
pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel 2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM)
menurut WHO/DEPKES RI

Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin

Dewasa (50-70 kg)

600 mg

400 mg

100 mg

Anak (5-14 th)

300 mg

200 mg

50 mg

PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama


(6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment)
yaitu berhenti minum obat.
Tabel 2.4 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB) 2,3
Rifampicin

Dapson

600 mg/bulan
Dewasa

Diminum di depan petugas


kesehatan
450 mg/bulan

Anak-anak (10-14 th)


Diminum di depan petugas
kesehatan

100 mg/hr diminum di


rumah

50 mg/hari diminum di
rumah

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan
tipe MB selama 5 tahun.
Tabel 2.5 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3
Rifampicin

Dapson

Lamprene

300 mg/bulan
600 mg/bulan
Dewasa

Diminum di depan
petugas kesehatan

100 mg/hari
Diminum di rumah

Diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
150 mg/bulan Diminum

Anak-anak
(10-14 th)

450 mg/bulan

di depan petugas

Diminum di depan

50 mg/hari

kesehatan Dilanjutkan

petugas kesehatan

Diminum di rumah

dg 50 mg selang sehari
diminum di rumah

Obat Kusta Baru

Pada penatalaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul


yaitu adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan
terutama pada kusta MB.11 Pada penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih
menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR)
yang timbul justru setelah selesai MDT.3,11 Maka diperlukan obat-obat baru yang
memenuhi syarat antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak
antagonis terhadap obat yang sudah ada, aman, dan akseptabilitas penderita baik,
dapat diberikan per oral, dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obatobat yang sudah terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin, dan
klaritromisin. 3
a. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M.


leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Efek sampingnya adalah mual,
diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan SSP termasuk
insomnia, nyeri kepala, dizziness. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan
menyusui harus hati-hati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin
dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif.
b. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada


klarirotmisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg.
Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang dapat
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan SSP termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak
dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
c. Klaritromisin

Merupakan

kelompok

antibiotic

makrolid

dan

mempunyai

aktivitas

bakterisidal terhadap M. leprae. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500
mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam
56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.
Pengobatan Pada Situasi Khusus
a. Penderita yang tidak dapat makan rifampisin

Situasi ini mungkin disebabkan karena alergi, hepatitis kronis atau resisten
terhadap obat ini.
Tabel 5. Regimen untuk penderita yang tidak dapat makan rifampisin
Lama pengobatan
6 bulan

Diikuti dengan 18 bulan

Jenis obat
Klofazimin

Dosis
50 mg/hari

Ofloksasin

400 mg/hari

Minosiklin
100 mg/hari
Klofazimin dengan 50 mg/hari
ofloksasin

atau 400 mg/hari

minosiklin

100 /hari

b. Penderita yang menolak klofazimin

Situasi ini disebabkan pasien yang khawatir akan pewarnaan kulit. Pengibatan
diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari
selama 12 bulan.
Pengobatan Kusta selama Kehamilan dan Menyusui
Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT harus
tetap diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama
kehamilan dan menyusui, bagi ibu dan bayinya, sehingga tidak perlu mengubah
dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam jumlah kecil tetapi tidak ada laporan efek
samping obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin. Obat dosis
tunggal bagi bercak tunggal ditunggu pemakaiannya sampai bayinya lahir. 3
Pengobatan Reaksi Kusta
Prinsip penanganan reaksi kusta: 3
1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis
atau kontraktur.
2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan.
3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.

4. Mengatasi rasa nyeri.

Pengobatan ENL:
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisone, Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone
15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih, Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Obat lain dianggap
sebagai pilihan utama adalah thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena
mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan kepada ibu hamil atau masa
subur. Di Indonesia sudah tidak diproduksi lagi. 3
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai antireaksi ENL tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg
sehari. Keuntungan klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak diinginkan adalah
kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama pada pemberian dosis tinggi. 3

Pengobatan reaksi reversal:


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengab berat
ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg sehari lalu diturunkan
secara perlahan. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik
dan sedative kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal
kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah dipakai. 3

MONITORING DAN EVALUASI PENGOBATAN

Adapun hal lain yang juga penting adalah dilakukan monitoring dan evaluasi
pengobatan pada penderita, berupa:

1, 4,8

1 Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat


2 Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus
dilakukan pelacakan
3 RFT

dapat

dinyatakan

setelah

dosis

dipenuhi

tanpa

diperlukan

pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form


monitoring penderita
4 Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
a. Tipe PB selama 2 tahun
b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
5 Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister)
dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
laboratorium
6 Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
7 Defaulter
Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka
dinyatakan sebagai Defaulter PB
Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka
dinyatakan sebagai Defaulter MB.
Tindakan bagi penderita defaulter :
a. Dikeluarkan dari monitoring dan register
b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang,
pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat
8 Relaps/ Kambuh
Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka
untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang
memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika
ternyata pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks
Bakteriologi 2 atau lebih disbanding saat diagnosis maka penderita
dinyatakan Relaps. Rujuan dalam kasus relaps memungkinkan karena kasus
relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil relaps telah dikonfirmasikan
maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan pada saat itu

9 Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah,


salah diagnosis, ganti klasifikasi, default
10 Pada

keadaan

khusus

dapat

diberikan

sekaligus

beberapa

blister

disertai dengan pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan


indikasi untuk kembali ke pelayanan kesehatan

Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang
baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medic secara
terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah
rekonstruksi dan bedah septic, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya,
serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu
rehabilitasi sosial agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat,
kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah.
Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan kesatuan kegiatan yang dikenal
sebagai rehabilitasi paripurna.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan.
Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan
mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. 3

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah:


a Pemeliharaan kulit harian

Cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan


sedikit sabun (jangan detergen).

Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin.

Kalau kulit sudah lembut, gosok kaki dengan karet busa agar
kulit kering terlepas.

Kulit digosok dengan minyak.

Secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot,


nyeri, luka, dan lain-lain).

b Proteksi tangan dan kaki


1 Tangan:

Pakai sarung tangan waktu bekerja.

Stop merokok.

Jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung.

Lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut.


2 Kaki

Selalu pakai alas kaki.

Batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan.

Meninggikan kaki bila berbaring.


c

Latihan fisioterapi
Tujuannya adalah : cegah kontraktur, peningkatan fungsi gerak,
peningkatan kekuatan otot, peningkatan daya tahan (endurance). 3

1 Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari


menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain.
Pertahankan 10 detik, lakukan 5-10 kali per hari untuk mencegah
kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah kontraktur.

Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh


arah gerak.
2 Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri.
3 Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang
dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati
tembok, sementara kaki tetap berpijak.
4 Program

latihan

dapat

ditungkatkan

secara

umum

untuk

mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya


tahan.

I KOMPLIKASI
Lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi
kronik

sekunder

dapat

menyebabkan

hilangnya

jari

jemari

ataupun

ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. fenomena lucio yang
ditandai dengan artritis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltrative
dan non noduler. kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
dan

menyebabkan

meningkatnya

mortalitas.

amyloidosis

sekunder

merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama pada ENL


kronik.4,15

II PROGNOSIS
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta
kualitas hidup pasien menurun.2,4,7
III

KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
Mycobacterium leprae, yang bersifat intraselular obligats. Insidensi puncak

pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun. Kusta terdapat dimana-mana,
terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta
masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Berdasarkan Ridley aand
Jopling kusta dibagai menjadi TT, BT, BB, BL ,LL, dan menurut WHO dibagi
menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan berdasarkan
pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Penatalaksanaan kusta
dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan untuk
mencegah kemungkinan timbul resistensi. Dengan pelaksanaan MDT, kusta
sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksi dini dan pengobatan
penyakit, reaksi, dan kekambuhan merupakan kunci untuk mencegah
kecacatan dan memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang relatif
normal.

Gambar 2.6 Regimen MDT

DAFTAR PUSTAKA

1 Bhat RM, Prakash C. Leprosy : An Overview of Pathophysiology. India :


Hindawi Publishing Corporation. Published July 25 th , 2012.

2 Kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In : Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.73-88.
3 Al-Qubati YA, de Oliveira MLW, Caldas MDP, et al. WHO Expert Committee
on Leprosy. Geneva : World Health Organization; 2012.p. 1-3, 17-28.
4 Lockwood DNJ. Leprosy. In : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rooks Textbook of Dermatology. 8 th ed. UK : Wiley-Blackwell; 2010.
p. 32.1 32. 20.
5 Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology. 2 nd ed. Philadelphia : Elsevier ;
2004.p.21-33.
6 Playfair JHL, Chain BM. Immunology at a Glance. 10 th ed. UK : WileyBlackwell; 2013.p.10-1, 66-7.
7 Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology In
General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p. 225362.
8 WHO,

editor.

Diagnosis

of

Leprosy.

Available

at

http://www.who.int/lep/diagnosis/en/. Accessed on June 10th, 2014.


9 Vital RT, Illaramendi X, Nascimento O, et al. Progression of Leprosy
Neuropathy. Brazil : Departement of Neurology. Published January 6 th , 2012.
10 Nascimento O, de Freitas MRG, Escada T. Leprosy Late-onset Neuropathy :
an Uncommon Presentation of leprosy. Brazil : Department on Neurology.
Published January 1st, 2012.
11 Girao RJS, Soares NLR, Pinheiro JV, et al. Leprosy Treatment Dropout : a
Systematic Review. Brazil : International Archives of Medicine. Published
August 30th, 2013.
12 Cardoso FDM, De Freitas MRG, Escada TM, et al. Late Onset Neuropathy in
Leprosy Patients Released from Treatment : not all due to reactions ? Brazil :
Neuromuscular Disease Service. Published May 31st , 2013.
13

CDC, editor. Hansens Disease : Risk of Exsposure. Available at :


http://www.cdc.gov/leprosy/exposure/index.html. Accessed on June 11th, 2014.

14 Doerr S, Davis CP, editor. Leprosy Symptoms and Signs. Available at :


http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page3_em.htm. Accessed on June
11th, 2014.

Donohue

M,

Krucik

G,

editor.

Leprosy.

Available

at

http://www.healthline.com/health/leprosy#Overview1. Accessed on June 11th, 2014.

LAMPIRAN

Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung

Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah

Gambar 2.5 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy1

Foto Reaksi Tipe 1

Reaksi Kusta Tipe 2

Sebelum reaksi

Ketika reaksi

Gambar 4 : Contoh contoh reaksi ENL

Gambar 5 : Fenomena Lucio

Foto
TT

BT

LL

BL

BB

Gambar 2. Tipe Kusta

Anda mungkin juga menyukai