Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat.
Sebagian besar orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat,
khususnya pada tangan dan kaki. Cara penularan dapat secara langsung dari
penderita kusta tipe multibasilar (MB). Namun, cara penularan pasti belum
diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Amirudin, et al., 2003).
M.leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia G.H. Armauer Hansen pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukurn 1-8, lebar 0,20,5, biasanya berkelompok atau tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
M.leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terdapat pada sel makrofag
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann pada jaringan
saraf. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping
itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya
sebagai fagositosis. Jadi, bila gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann,
kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya, aktivitas regenerasi saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Amirudin, et al., 2003).
Penyakit kusta memberi stigma yang sangat besar pada masyarakat, sehingga
pasien kusta tidak hanya menderita karena penyakitnya saja, bahkan dikucilkan
oleh masyarakat. Cacat tubuh dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan
peyakit dilakukan dengan segera. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai
hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak
menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan (M.O.Reagan, et al., 2012).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Manifestasi penyakit kusta yang masih aktif berupa lesi kulit membesar, jumlah
bertambah, ulserasi, eritematosa, infiltrat atau nodus, sedangkan pada saraf berupa
nyeri, gangguan fungsi memburuk, dan bertambahnya jumlah saraf yang terkena.
Tanda sisa penyakit kusta pada kulit adalah atrofi, keriput, non-pigmentasi, dan
rambut hilang. Pada saraf akan mengalami mati rasa persisten, paralisis,
kontraktur, dan atrofi otot. Saraf tepi yang dapat diserang akan menujukan
berbagai kelainan, yaitu:

N. fasialis : lagoftalmus, mulut mencong.


N. trigeminus : anestesi kornea.
N. aurikularis magnus.
N. radialis : tangan lunglai (drop wrist)
N. ulnaris : anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian

jari IV.
N. medianus : anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I,II,III, dan
sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus menyebabkan jari

kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw toes).


N.peroneus komunis : kaki semper (drop foot).
N.tibialis posterior : mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)
(Amirudin, et al., 2003).

2.1 Diagnosis
1. Bercak kulit yang mati rasa.
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, makula atau plak. Mati rasa pada
bercak bersifat total atau sebagian terhadap raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi.
Dapat disertai nyeri dan dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu : gangguan fungsi sensoris (mati rasa), motoris
(paresis/paralisis), otonom (kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut terganggu).
3. Ditemukan kuman tahan asam.

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit
bagian yang aktif, kadang dari biopsi kulit atau saraf (Amirudin, et al.,
2003).
2.2 Penilaian Klinis
Riwayat dan pemeriksaan fisik yang lengkap ditambah dengan pemeriksaan
laboratorium penting dalam mendiagnosis lepra. Beberapa komponen penilaian
klinis diantaranya (Hargrave, et al., 2010):
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Riwayat.
Pemeriksaan kulit.
Palpasi saraf.
Penilaian gangguan fungsi saraf tes motoris volunter tes sensoris.
Pemeriksaan mata.
Penilaian deformitas, disabilitas dan psikologi.

Riwayat
Menanyakan adanya lesi, durasi lesi, nyeri saraf, mati rasa dan kesemutan,
kelemahan, ulkus dan luka, nyeri mata dan perburukan penglihatan. Penting untuk
menentukan kecacatan yang mendasari akibat penyakit yang telah diderita pada
konsultasi awal. Selain itu, menilai kemungkinan paparan kusta sebelumnya dan
kontak saat ini (Hargrave, et al., 2010) .
Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan dilakukkan pada seluruh permukaan kulit secara hati-hati. Lesi
dapat berupa makula, papula, plak, nodul, lesi seperti urtikaria, dan infiltrasi
halus. Warna lesi seperti tembaga pada kulit gelap atau warna merah muda pada
kulit terang. Perhatikan hilangnya sensasi, rambut, pigmentasi dan berkeringat
(Hargrave, et al., 2010).

Palpasi Saraf

Saraf yang sering terkena adalah nervus ulnaris, medianus, kutaneus radialis,
peronealis communis, dan tibialis posterior, suralis, saraf kranial V dan VII serta
nervus aurikularis magnus. Pasien dapat menunjukan deformitas ekstremitas,
ulserasi kronis, skar pada tangan dan kaki akibat trauma pada area hilangnya
sensasi. Pasien dapat menunjukan pula neuropati sendi karena trauma berulang
pada sendi tanpa sensasi proteksi (Hargrave, et al., 2010).
Bagian saraf yang terkena pada lepra adalah bagian paling superfisial dan pada
titik paling dingin. Berikut adalah metode palpasi saraf yang secara umum
dilakukan pada saraf yang terkena (Hargrave, et al., 2010).
Supraorbital

Ujung ibu jari di atas alis pasien, bila membesar saraf dapat

Auricularis

dirasakan 1 cm dari ujung dalam alis.


Putar kepala pada satu sisi dan

mayor
Ulnaris

m.sternomastoideus sisi berlawanan.


Lengan pasien fleksi 90o, meraba n.ulnaris dalam sulkus nervi

rasakan

sepanjang

ulnaris (lekukan antara tonjolan tulang siku dan epicondilus


Medianus

medialis, telusuri ke atas sambil melihat reaksi pasien


Rasakan pada pergelangan tangan sampai telapak tangan pada

Kutaneus

sisi medial terhadap tendon m.fleksor karpi radialis.


Putar pada sisi ekstensor pada radius dekat dengan lipatan

radialis
Peronealis

pergelangan tangan
Pasien duduk relaks, cari kaput fibula, 2 cm ke arah distal lutut

komunis

dan 1 cm ke posterior, saraf dapat dirasakan membelok di

Tibialis

sekeliling collum fibula


Palpasi 2cm ke arah distal dan 2 cm posterior pada titik di dalam

posterior

malleolus medialis.
(Sumber : Hargrave, et al., 2010)

Pemeriksaan Fungsi Sensoris


1. Kapas

Penderita disentuh ringan dengan sehelai kapas pada satu titik. Penderita
diminta mengidentifikasi lokasi yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan
sebanyak 3 kali pada setiap lokasi.
2. Suhu
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu
berisi air panas (sebaiknya 40C) dan lainnya air dingin (sebaiknya
sekitar 20C). Penderita diminta menutup mata atau menoleh ke tempat
lain, lalu kedua tabung ditempelkan bergantian pada kulit. Apabila
penderita beberapa kali salah menyebutkan rasa pada kulit yang diperiksa
maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu pada lokasi tersebut
terganggu.
3. Pin-prick
Sensasi nyeri diperiksa dengan menggunakan tusuk gigi kayu yang telah
distandarisasi. Tusuk gigi diaplikasikan ujung tumpul dan tajam secara
acak, penderita diminta menyebutkan tajam dan tumpul.
4. Moving two point discrimination (M2PD)
Cara ini digunakan untuk mengevaluasi densitas reseptor raba dengan
menggunakan simple paper clip. Cara pemeriksaan dengan 1 atau 2 sisi
paper clip dipindahkan dari proksimal ke distal dengan tekanan minimal
pada lokasi pemeriksaan, penderita diminta menyebutkan apakah
merasakan 1 sisi atau 2 sisi.
5. Position sense test
Cara pemeriksaan position sense atau propriosepsi adalah dengan cara
falang tengah penderita difiksasi dengan ibujari dan telunjuk pemeriksa,
kemudian pemeriksa menggerakkan falang distal ke posisi atas, bawah,
atau netral. Penderita diminta merasakan apakah jarinya digerakkan ke
atas atau ke bawah (Nyoman, 2012).

Fungsi Motoris N.facialis

Pasien diminta memejamkan mata.


5

Dilihat dari depan/samping apakah mata tertutup dengan sempurna/tidak

ada celah.
Bagian mata yang tidak menutup rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat,
misalnya lagopthalmos +3mm mata kiri atau kanan (M.O.Reagan, et al.,
2012).

Pemeriksaan Motoris N.ulnaris

(Sumber :Amirudin, et al., 2003).


Pemeriksaan Motoris N.medianus

(Sumber :Amirudin, et al., 2003).


Pemeriksaan Motoris N.radialis

(Sumber :Amirudin, et al., 2003).


Pemeriksaan Motoris N.peroneus communis

(Sumber :Amirudin, et al., 2003).

Pemeriksaan Mata

(Sumber : Hargrave, et al., 2010)


Penilaian Deformitas, Disabilitas, dan Psikologi
Deformitas dapat disebabkan oleh infeksi, kambuh atau reaksi imun tipe 1 dan
2, selain itu dapat menyebabkan kerusakan saraf yang ireversibel. Hal ini akan
berdampak terhadap psikologi dan kesejahteraan sosial pasien, sehingga
menimbulkan ansietas dan depresi (Hargrave, et al., 2010)
2.3 Tahap Kecacatan Kusta

Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
Tahap I

terjadi kelainan pada saraf, berupa penebalan saraf, nyeri,


tanpa gangguan fungsi gerak, namun telah terjadi gangguan
sensorik.

Tahap II

terjadi kerusakan pada saraf, timbul paralisis tidak lengkap


atau paralisis awal pada otot kelopak mata, otot jari tangan,
dan otot kaki. Pada stadium ini masih dapat terjadi pemulihan
kekakuan otot. Bila berlanjut, dapat terjadi luka (di mata,
tangan dan kaki) dan kekakuan sendi.

Tahap III

terjadi penghancuran saraf. Kelumpuhan menetap. Pada


stadium ini dapat terjadi infeksi yang progresif dengan
kerusakan tulang dan hilang penglihatan (Wisnu & Hadilukito,
2003).

2.4 Tingkat Kerusakan Saraf


1. Stage of involvement, pada tingkat ini saraf menjadi lebih tebal dari normal
(penebalan saraf) dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada
saraf perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi saraf, misalnya
anestesi atau kelemahan otot.
2. Stage of damage, pada stadium ini saraf telah rusak dan fungsi saraf tersebut
telah terganggu. Kerusakan fungsi saraf, misalnya kehilangan fungsi saraf
otonom, sensoris, dan kelemahan otot menunjukan bahwa saraf tersebut
telah mengalami kerusakan atau telah mengalami paralisis. Diagnosis stage
of damage ditegakkan, bila saraf telah mengalami paralisis yang tidak
lengkap atau saraf batang tubuh telah mengalami paralsis lengkap tidak
lebih dari 6-9 bulan. Penting sekali untuk mengenali tingkat damage ini
karena pengobatan pada tingkat ini kerusakan saraf yang permanen dapat
dihindari.
3. Stage of destruction, pada tingkat ini saraf telah rusak secara lengkap.
Diagnosis stage of destruction ditegakkan, bila kerusakan atau paralisis
saraf secara lengkap lebih dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan
pengobatan, fungsi saraf tidak dapat diperbaiki (Hargrave, et al., 2010).
9

2.5 Patogenesis Kecacatan


Sensorik

Otonom

Motorik

Anestesi

Kekeringan

Paralisis

Cedera
- memar
- nekrosis tekanan
- luka tusuk
- luka sayat, lepuh
- luka bakar
- dislokasi sendi

Misused of hand & feet


Fisura

Disused

Kontraktur

Infeksi Sekunder

Ulserasi

Deformitas sendi
menetap

Selulitis

Sikatriks

Distorsi

Osteomyelitis

Deformitas &
Disabilitas

Kehilangan
Jaringan

Tekanan
abnormal

Ulserasi berulang
(Sumber : Wisnu & Hadilukito, 2003)

2.6 Batasan Istilah Cacat Kusta


Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat kusta adalah:

10

1. Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang


bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia,
madarosism, claw hand, ulkus dan abnormalitas jari.
2. Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment)
untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi
manusia. Disability ini merupakan gangguan objektivitas impairment, yaitu
gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam aktivitas
sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri.
3. Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau
disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yahng
bergantungn pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Handicap ini
merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya.
4. Deformity : kelainan struktur anatomis.
5. Dehabilitation : keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan status
sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan temantemannya.
6. Destitution : dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari
seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter) (Wisnu &
Hadilukito, 2003).
Bagan Kecacatan akibat kusta (Wisnu & Hadilukito, 2003).
Kusta

Impairment
Secondary Impairment
(deformitas anesthetic)

2.7 Jenis Cacat Kusta

Ketidakmampuan
melakukan aktivitas tertentu

Disaability

Hambatan sosial

Handicaps

Debilitation

Destitution

Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:

11

1. Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung


oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan
terhadap M.leprae. Termasuk cacat primer adalah:
a. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya anestesi, fungsi saraf
motorik (claw hand, wrist drop, foot drop, claw toes, lagofthalmos) dan
cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering,
elastisits kulit berkurang, serta gangguan refleks vasodilatasi.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat (fasies leonina, blefaroptosis, ektropion).
Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau madarosis,
kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit kering
dan tidak elastis.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta terjadi pada
tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata
(Wisnu & Hadilukito, 2003).
2. Kelompok cacat sekunder
Cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya
kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkann
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami
infeksi

sekunder

menyebabkan

dengan

kontraktur

segala

akibatnya.

sehingga

dapat

Kelumpuhan

menimbulkan

motorik
gangguan

menggenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Demikian


pula akibat lagoftalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah
timbul keratitis. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan kulit kering dan
elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi
infeksi sekunder (Wisnu & Hadilukito, 2003).
2.8 Kerusakan Fungsi Saraf dan Reaksi Lepra
Kerusakan fungsi saraf / nerve function impairment (NFI) merupakan
hilangnya fungsi motoris, sensoris, atau sistem saraf perifer otonom yang
terdeteksi secara klinis. NFI menyebabkan deformitas dan disabilitas yang
membuat lepra menjadi penyakit yang ditakuti. Proses utama yang berhubungan

12

dengan NFI yaitu silent neuropathy, reaksi tipe 1 dan tipe 2 (Hargrave, et al.,
2010).
2.8.1 Silent Neuropathy
NFI berhubungan dengan gejala neuritis (nyeri lokalisata dan nyeri pada saraf
tubuh, atau nyeri distal, hiperastesi dan kesemutan pada area sensoris yang
dipersarafi oleh saraf tertentu) atau muncul secara diam-diam tampa gejala (silent
neuropathy). Silent neuropathy merupakan kerusakan fungsi saraf tanpa nyeri
saraf (pain/tenderness), atau gejala reaksi lain. NFI terjadi tanpa gejala sebesar
86% bahkan lebih. Sehingga perlu dilakukan penilaian secara rutin fungsi sensoris
dan motoris melalui tes otot volunter dan tes sensoris (voluntary muscle testing
sensory testing / VMT-ST). Tes dilakukan pada pasien yang mengeluhkan maupun
yang tidak mengeluhkan gejala (Hargrave, et al., 2010).
2.8.2 Reaksi Lepra
Reaksi lepra merupakan respon imunologi yang menimbulkan inflamasi akut
atau subakut. Klasifikasi reaksi lepra meliputi reaksi tipe 1 (reversal) atau tipe 2
(erythema nodosum leprosum / ENL). Reaksi lebih sering terjadi pada lepra MB
daripada PB dan pada pasien yang terkena pertama kali dengan NFI.

Reaksi tipe 1 (reversal / upgrading), merupakan hipersensitivitas tipe


lambat terhadap antigen M.leprae. Reaksi ini terjadi pada kasus borderline
lepromatous (BL), borderline (BB) atau borderline tuberculoid (BT).
Karakteristik reaksi tipe 1 adalah neuritis akut dan / atau lesi kulit
terinflamasi secara akut. Terdapat pula nyeri saraf dengan hilangnya fungsi
sensoris dan motoris. Sebelum lesi muncul, pada kulit tampak kemerahan
dan bengkak. Bila reaksi hebat dapat disertai dengan demam, malaise, dan
edema perifer. Onsetnya muncul spontan atau setelah mulai pengobatan

(Hargrave, et al., 2010).


Reaksi tipe 2 (erythema nodosum leprosum / ENL), reaksi kompleks imun
sebagai respon terhadap perkembangan ketidakseimbangan sistem imun
humoral. Reaksi ini terjadi 15 % pada pasien MB (LL dan BL) dan

13

merupakan komplikasi lepra yang serius. Reaksi dapat terjadi spontan atau
selama pengobatan. Muncul secara tiba-tiba sebagai lesi superficial atau
profunda, nyeri, nodul subkutan pada punggung, dorsum manus, bagian
ekstensor lengan dan paha yang biasanya berlangsung sekitar 3 hari.
Seluruh episode biasanya berlangsung 2 minggu meskipun dapat
memanjang atau berulang selama beberapa tahun. ENL dapat disertai
dengan gejala sistemik seperti demam tinggi pada malam hari, neuritis,
leukositosis, orchitis, nefritis, periostitis, dan iridosiklitis (Hargrave, et al.,
2010).
Tabel Perbandingan Reaksi Tipe 1 dan Tipe 2

(Sumber: Hargrave, et al., 2010)

2.9 Derajat Kecacatan Kusta


Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalah kegiatan sehari-hari
adalah mata, tangan, dan kaki, maka WHO (1988) membagi cacat kusta menjadi
tiga tingkat kecacatan, yaitu:
Tingkat

Tangan dan Kaki

Mata
14

Tidak

ada

anestesi

dan Tidak

ada

kelainan

pada

mata

kelainan anatomis
(termasuk visus)
Ada anestesi, tanpa kelainan Ada kelainan pada mata, tetapi tidak

anatomitis
Terdapat kelainan anatomis

terlihat, visus sedikit berkurang.


Ada lagoftalmus dan visus sangat
terganggu

(visus

6/60

dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter)


Kelainan pada mata termasuk anestesi kornea, lagofthalmus, dan iridosiklitis.
Tiap mata harus diperiksa dan diklasifikasi tingkat cacatnya secara terpisah.
(Sumber: Hargrave, et al., 2010)
2.10 Deteksi Neuropati
1. Nerve condution studies (NCS), disebut juga dengan nerve conduction
velocity (NCV) adalah tes untuk mengukut kecepatan konduksi dan impuls
elektrik saraf. NCS dapat menunjukan kerusakan saraf.
2. Voluntary muscle test-sensory test (VMT-ST), sebaiknya dilakukan untuk
deteksi NFI sebagai dasar diagnosis, setiap bulan selama MDT, dan setiap
pertemuan setelah selesai pengobatan untuk menentukan lamanya follow
up (Hargrave, et al., 2010).

15

Metode Voluntary muscle test-sensory test (VMT-ST)

(Sumber: Hargrave, et al., 2010)

16

Pemeriksaan Lepra

(Sumber: Hargrave, et al., 2010)


2.11 Upaya Pencegahan Cacat
Upaya upaya pencegahan cacat dapat dilakukan baik di rumah,
puskesmas maupun unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau
rumah sakit rujukan. Prinsip pencegahan cacat dan betambah beratnya cacat
pada dasarnya adalah 3M, yaitu memeriksa, melindungi dan merawat diri
(M.O.Reagan, et al., 2012).
a. Mata
Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat (lagoftalmus).
Memeriksa : sering bercermin untuk melihat mata merah atau benda
asing masuk ke dalam mata.
Melindungi : melindungi mata dari debu dan anin yang dapat melukai
mata/mengeringkan mata, dengan cara memakai kacamata
atau menghindari tugas-tugas di mana ada debu, misalnya
mencangkul tanah kering, menuai padi, menggiling padi,
bakar sampah, dsb.

17

Merawat diri : tetes mata mengandung saline, jika mata kering dan
ketika

istirahat

tutup

mata

dengan

kain

basah

(M.O.Reagan, et al., 2012).


b. Tangan
- Untuk tangan yang mati rasa.
Memeriksa : sering memeriksa tangan dengan teliti apakah ada luka
atau lecet yang sekecil apapun.
Melindungi : lindungi tangan dari benda yang panas, kasar atau tajam,
dengan memakai kaos tangan tebal atau alas kain dan
mencegah luka dengan membagi tugas rumah tangga agar
Merawat

orang lain mengerjakan bagian yang berbahaya.


: jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawatlah
dan istirahatkan bagian tangan tersebut sampai sembuh
(M.O.Reagan, et al., 2012).

- Untuk kulit tangan yang kering


Memeriksa : selalu periksa kemungkinan adanya kekeringan, retak,
dan kulit pecah-pecah yang tidak terasa.
Melindungi : melindungi kulit tangan dari benda-benda yang mudah
Merawat

menimbulkan luka seperti benda tajam dan panas.


: merendam selama 20 menit setiap hari dalam air,
menggosok bagian kulit yang tebal kemudian langsung
mengolesi dengan minyak kelapa atau minyak lain untuk
menjaga kelembaban kulit.

- Untuk jari tangan yang bengkok


Memeriksa : tangan secara rutin untuk luka yang mingkin terjadi
akibat penggunaan tangan dengan jari yang bengkok.
Melindungi : menggunakan alat bantu untuk aktivitas sehari-hari yang
Merawat

dimodifikasi untuk digunakan oleh jari bengkok.


: sesering mungkin menggunakan tangan lain untuk
meluruskan sendi-sendi dan mencegah kekakuan lebih
berat dengan cara :
1. Menaruh tangan di atas paha, lurus kan dan
bengkakkan jari berulang.

18

2. Pegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakan sendi


agar tidak kaku.
3. Jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan
melakukan gerakan jari abduksi dan adduksi berulang.
Ikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan
rapatkan jari berulang kali (jari ke-2 sampai 5)
(M.O.Reagan, et al., 2012).
c. Kaki
- Untuk kaki semper.
Memeriksa : ada luka atau tidak.
Melindungi : selalu memakai sepatu supaya jari-jari tidak terserat dan
luka, angkat lutut lebih tinggi waktu berjalan, gunakan tali
karet antara lutut dan sepatu agar mengangkat kaki bagian
Merawat

depan waktu berjalan.


: duduk dengan kaki lurus ke depan. Gunakan kain panjang
atau sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki dan
tarik ke arah tubuh.

- Untuk kulit kaki yang tebal dan kering.


Memeriksa : adakah bagian kaki yang kering mengalami retak dan luka.
Melindungi dan merawat: mencegah kulit kering dengan cara
1. Merendam kaki selama 20 menit setiap hari dengan air biasa.
2. Menggosok bagian yang tebal dengan batu gosok.
3. Kemudian langsung mengolesi (tanpa mengeringkan) dengan
minyak kepala untuk menjaga kelembaban kulit.

- Untuk kaki yang mati rasa


Memeriksa : sering berhenti dan memeriksakan kaki dengan teliti
apakah ada luka atau memar atau lecet yang kecil sekalipun.
Melindungi : lindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki, membagi
tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian
yang berbahaya bagi kaki yang mati rasa, dan memilih alas
kaki yang tepat. Alas kaki yang cocok adalah:
- Empuk di dalam.

19

- Keras di bagian bawah supaya benda tajam tidak dapat


tembus.
- Tidak mudah terlepas.
- Tidak perlu sepatu khusus, tetapi hati-hati bila memilih
sepatu/sandal.
Merawat

: merawat luka, memar, lecet dan istirahatkan bagian kaki


tersebut sampai sembuh ( jangan sekali-kali diinjakkan)
(M.O.Reagan, et al., 2012).

d. Untuk luka borok/ulkus


Perawatan yang tepat adalah bersihkan luka dengan sabun kemudian
rendam kaki dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pinggiran luka
yang menebal dengan batu apung. Setelah dikeluarkan dari air beri
minyak pada kaki yang tidak luka, balut, lalu istirahatkan bagian kaki
tersebut (jangan injakkan ketika berjalan, gunakan alat bantu untuk
berjalan seperti tongkat) (M.O.Reagan, et al., 2012).

20

BAB III
SIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae
(M.leprae). Manifestasi penyakit ini terutama menyerang saraf perifer, sehingga
dapat menimbulkan kecacatan. Penyakit ini menimbulkan stigma di masyarakat,
sehingga pasien tidak hanya menderita karena penyakit, namun juga dikucilkan
masyarakat (M.O.Reagan, et al., 2012).
Kecacatan pada kusta dapat dicegah dengan deteksi gangguan fungsi saraf
secara berkala terutama pada silent neuropathy, yaitu suatu keadaan telah terjadi
gangguan saraf sensoris, motoris, tapi tanpa keluhan nyeri, parestesi maupun nyeri
tekan pada saraf. Pemeriksaan fungsi saraf yang dilakukan rutin meliputi
pemeriksaan fungsi saraf sensoris, motoris dan otonom. Deteksi dini kecacatan
akan

memudahkan

pengobatan

dan

menghindari

kecacatan

permanen

(M.O.Reagan, et al., 2012).

21

DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, M., Hakim, Z., & Darwis, E. (2003). Diagnosis Penyakit Kusta.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hargrave, J., Wallace, T., & Lush, D. (2010). Guideline of the Control of Leprosy
in Northen Territory. Northen Territory: Centre for Disease Control.
M.O.Reagan, J.Keja, Adhyatma, Lapian, Andy, Teterissa, et al. (2012). Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI Direktorat Jendrl Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
Nyoman. (2012). Kecacatan pada Kusta. Jakarta: perdoski.org.
Wisnu, I. M., & Hadilukito, G. (2003). Pencegahan Cacat Kusta. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai