PENDAHULUAN
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat.
Sebagian besar orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat,
khususnya pada tangan dan kaki. Cara penularan dapat secara langsung dari
penderita kusta tipe multibasilar (MB). Namun, cara penularan pasti belum
diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Amirudin, et al., 2003).
M.leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia G.H. Armauer Hansen pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukurn 1-8, lebar 0,20,5, biasanya berkelompok atau tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
M.leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terdapat pada sel makrofag
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann pada jaringan
saraf. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping
itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya
sebagai fagositosis. Jadi, bila gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann,
kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya, aktivitas regenerasi saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Amirudin, et al., 2003).
Penyakit kusta memberi stigma yang sangat besar pada masyarakat, sehingga
pasien kusta tidak hanya menderita karena penyakitnya saja, bahkan dikucilkan
oleh masyarakat. Cacat tubuh dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan
peyakit dilakukan dengan segera. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai
hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak
menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan (M.O.Reagan, et al., 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Manifestasi penyakit kusta yang masih aktif berupa lesi kulit membesar, jumlah
bertambah, ulserasi, eritematosa, infiltrat atau nodus, sedangkan pada saraf berupa
nyeri, gangguan fungsi memburuk, dan bertambahnya jumlah saraf yang terkena.
Tanda sisa penyakit kusta pada kulit adalah atrofi, keriput, non-pigmentasi, dan
rambut hilang. Pada saraf akan mengalami mati rasa persisten, paralisis,
kontraktur, dan atrofi otot. Saraf tepi yang dapat diserang akan menujukan
berbagai kelainan, yaitu:
jari IV.
N. medianus : anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I,II,III, dan
sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus menyebabkan jari
2.1 Diagnosis
1. Bercak kulit yang mati rasa.
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, makula atau plak. Mati rasa pada
bercak bersifat total atau sebagian terhadap raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi.
Dapat disertai nyeri dan dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu : gangguan fungsi sensoris (mati rasa), motoris
(paresis/paralisis), otonom (kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut terganggu).
3. Ditemukan kuman tahan asam.
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit
bagian yang aktif, kadang dari biopsi kulit atau saraf (Amirudin, et al.,
2003).
2.2 Penilaian Klinis
Riwayat dan pemeriksaan fisik yang lengkap ditambah dengan pemeriksaan
laboratorium penting dalam mendiagnosis lepra. Beberapa komponen penilaian
klinis diantaranya (Hargrave, et al., 2010):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Riwayat.
Pemeriksaan kulit.
Palpasi saraf.
Penilaian gangguan fungsi saraf tes motoris volunter tes sensoris.
Pemeriksaan mata.
Penilaian deformitas, disabilitas dan psikologi.
Riwayat
Menanyakan adanya lesi, durasi lesi, nyeri saraf, mati rasa dan kesemutan,
kelemahan, ulkus dan luka, nyeri mata dan perburukan penglihatan. Penting untuk
menentukan kecacatan yang mendasari akibat penyakit yang telah diderita pada
konsultasi awal. Selain itu, menilai kemungkinan paparan kusta sebelumnya dan
kontak saat ini (Hargrave, et al., 2010) .
Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan dilakukkan pada seluruh permukaan kulit secara hati-hati. Lesi
dapat berupa makula, papula, plak, nodul, lesi seperti urtikaria, dan infiltrasi
halus. Warna lesi seperti tembaga pada kulit gelap atau warna merah muda pada
kulit terang. Perhatikan hilangnya sensasi, rambut, pigmentasi dan berkeringat
(Hargrave, et al., 2010).
Palpasi Saraf
Saraf yang sering terkena adalah nervus ulnaris, medianus, kutaneus radialis,
peronealis communis, dan tibialis posterior, suralis, saraf kranial V dan VII serta
nervus aurikularis magnus. Pasien dapat menunjukan deformitas ekstremitas,
ulserasi kronis, skar pada tangan dan kaki akibat trauma pada area hilangnya
sensasi. Pasien dapat menunjukan pula neuropati sendi karena trauma berulang
pada sendi tanpa sensasi proteksi (Hargrave, et al., 2010).
Bagian saraf yang terkena pada lepra adalah bagian paling superfisial dan pada
titik paling dingin. Berikut adalah metode palpasi saraf yang secara umum
dilakukan pada saraf yang terkena (Hargrave, et al., 2010).
Supraorbital
Ujung ibu jari di atas alis pasien, bila membesar saraf dapat
Auricularis
mayor
Ulnaris
rasakan
sepanjang
Kutaneus
radialis
Peronealis
pergelangan tangan
Pasien duduk relaks, cari kaput fibula, 2 cm ke arah distal lutut
komunis
Tibialis
posterior
malleolus medialis.
(Sumber : Hargrave, et al., 2010)
Penderita disentuh ringan dengan sehelai kapas pada satu titik. Penderita
diminta mengidentifikasi lokasi yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan
sebanyak 3 kali pada setiap lokasi.
2. Suhu
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu
berisi air panas (sebaiknya 40C) dan lainnya air dingin (sebaiknya
sekitar 20C). Penderita diminta menutup mata atau menoleh ke tempat
lain, lalu kedua tabung ditempelkan bergantian pada kulit. Apabila
penderita beberapa kali salah menyebutkan rasa pada kulit yang diperiksa
maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu pada lokasi tersebut
terganggu.
3. Pin-prick
Sensasi nyeri diperiksa dengan menggunakan tusuk gigi kayu yang telah
distandarisasi. Tusuk gigi diaplikasikan ujung tumpul dan tajam secara
acak, penderita diminta menyebutkan tajam dan tumpul.
4. Moving two point discrimination (M2PD)
Cara ini digunakan untuk mengevaluasi densitas reseptor raba dengan
menggunakan simple paper clip. Cara pemeriksaan dengan 1 atau 2 sisi
paper clip dipindahkan dari proksimal ke distal dengan tekanan minimal
pada lokasi pemeriksaan, penderita diminta menyebutkan apakah
merasakan 1 sisi atau 2 sisi.
5. Position sense test
Cara pemeriksaan position sense atau propriosepsi adalah dengan cara
falang tengah penderita difiksasi dengan ibujari dan telunjuk pemeriksa,
kemudian pemeriksa menggerakkan falang distal ke posisi atas, bawah,
atau netral. Penderita diminta merasakan apakah jarinya digerakkan ke
atas atau ke bawah (Nyoman, 2012).
ada celah.
Bagian mata yang tidak menutup rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat,
misalnya lagopthalmos +3mm mata kiri atau kanan (M.O.Reagan, et al.,
2012).
Pemeriksaan Mata
Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Otonom
Motorik
Anestesi
Kekeringan
Paralisis
Cedera
- memar
- nekrosis tekanan
- luka tusuk
- luka sayat, lepuh
- luka bakar
- dislokasi sendi
Disused
Kontraktur
Infeksi Sekunder
Ulserasi
Deformitas sendi
menetap
Selulitis
Sikatriks
Distorsi
Osteomyelitis
Deformitas &
Disabilitas
Kehilangan
Jaringan
Tekanan
abnormal
Ulserasi berulang
(Sumber : Wisnu & Hadilukito, 2003)
10
Impairment
Secondary Impairment
(deformitas anesthetic)
Ketidakmampuan
melakukan aktivitas tertentu
Disaability
Hambatan sosial
Handicaps
Debilitation
Destitution
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
11
sekunder
menyebabkan
dengan
kontraktur
segala
akibatnya.
sehingga
dapat
Kelumpuhan
menimbulkan
motorik
gangguan
12
dengan NFI yaitu silent neuropathy, reaksi tipe 1 dan tipe 2 (Hargrave, et al.,
2010).
2.8.1 Silent Neuropathy
NFI berhubungan dengan gejala neuritis (nyeri lokalisata dan nyeri pada saraf
tubuh, atau nyeri distal, hiperastesi dan kesemutan pada area sensoris yang
dipersarafi oleh saraf tertentu) atau muncul secara diam-diam tampa gejala (silent
neuropathy). Silent neuropathy merupakan kerusakan fungsi saraf tanpa nyeri
saraf (pain/tenderness), atau gejala reaksi lain. NFI terjadi tanpa gejala sebesar
86% bahkan lebih. Sehingga perlu dilakukan penilaian secara rutin fungsi sensoris
dan motoris melalui tes otot volunter dan tes sensoris (voluntary muscle testing
sensory testing / VMT-ST). Tes dilakukan pada pasien yang mengeluhkan maupun
yang tidak mengeluhkan gejala (Hargrave, et al., 2010).
2.8.2 Reaksi Lepra
Reaksi lepra merupakan respon imunologi yang menimbulkan inflamasi akut
atau subakut. Klasifikasi reaksi lepra meliputi reaksi tipe 1 (reversal) atau tipe 2
(erythema nodosum leprosum / ENL). Reaksi lebih sering terjadi pada lepra MB
daripada PB dan pada pasien yang terkena pertama kali dengan NFI.
13
merupakan komplikasi lepra yang serius. Reaksi dapat terjadi spontan atau
selama pengobatan. Muncul secara tiba-tiba sebagai lesi superficial atau
profunda, nyeri, nodul subkutan pada punggung, dorsum manus, bagian
ekstensor lengan dan paha yang biasanya berlangsung sekitar 3 hari.
Seluruh episode biasanya berlangsung 2 minggu meskipun dapat
memanjang atau berulang selama beberapa tahun. ENL dapat disertai
dengan gejala sistemik seperti demam tinggi pada malam hari, neuritis,
leukositosis, orchitis, nefritis, periostitis, dan iridosiklitis (Hargrave, et al.,
2010).
Tabel Perbandingan Reaksi Tipe 1 dan Tipe 2
Mata
14
Tidak
ada
anestesi
dan Tidak
ada
kelainan
pada
mata
kelainan anatomis
(termasuk visus)
Ada anestesi, tanpa kelainan Ada kelainan pada mata, tetapi tidak
anatomitis
Terdapat kelainan anatomis
(visus
6/60
dapat
15
16
Pemeriksaan Lepra
17
Merawat diri : tetes mata mengandung saline, jika mata kering dan
ketika
istirahat
tutup
mata
dengan
kain
basah
18
19
20
BAB III
SIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae
(M.leprae). Manifestasi penyakit ini terutama menyerang saraf perifer, sehingga
dapat menimbulkan kecacatan. Penyakit ini menimbulkan stigma di masyarakat,
sehingga pasien tidak hanya menderita karena penyakit, namun juga dikucilkan
masyarakat (M.O.Reagan, et al., 2012).
Kecacatan pada kusta dapat dicegah dengan deteksi gangguan fungsi saraf
secara berkala terutama pada silent neuropathy, yaitu suatu keadaan telah terjadi
gangguan saraf sensoris, motoris, tapi tanpa keluhan nyeri, parestesi maupun nyeri
tekan pada saraf. Pemeriksaan fungsi saraf yang dilakukan rutin meliputi
pemeriksaan fungsi saraf sensoris, motoris dan otonom. Deteksi dini kecacatan
akan
memudahkan
pengobatan
dan
menghindari
kecacatan
permanen
21
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, M., Hakim, Z., & Darwis, E. (2003). Diagnosis Penyakit Kusta.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hargrave, J., Wallace, T., & Lush, D. (2010). Guideline of the Control of Leprosy
in Northen Territory. Northen Territory: Centre for Disease Control.
M.O.Reagan, J.Keja, Adhyatma, Lapian, Andy, Teterissa, et al. (2012). Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI Direktorat Jendrl Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
Nyoman. (2012). Kecacatan pada Kusta. Jakarta: perdoski.org.
Wisnu, I. M., & Hadilukito, G. (2003). Pencegahan Cacat Kusta. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
22