Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH PENGELASAN GMAW TERHADAP KETAHANAN KOROSI BAJA SS400

Studi Kasus di PT. INKA Madiun


Adi Kurniawan Yusim, Dr.rer.nat.Triwikantoro
Jurusan Fisika
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email:adiplex@gmail.com
Abstrak
Telah dilakukan uji ketahanan korosi pada baja SS400 yang sebelumnya dikenai pengerjaan
pengelasan GMAW (Gas Metal Arc Welding) dengan variasi gas pelindung. Plat baja SS400 dengan
ketebalan 9 mm dilas menggunakan tipe butt joint (bentu k huruf V) dengan variasi gas pelindung yaitu
argon murni, argon 82%, dan karbondioksida murni. Gas pelindung dalam pengelasan GMAW ini
bertujuan untuk mengurangi proses oksidasi selama proses pengelasan sehingga ketahanan korosi logam
las tetap baik. Korosi adalah proses yang merugikan, maka diperlukan pemilihan komposisi gas pelindung
yang tepat supaya sambungan logam dalam proses pengelasan memiliki ketahanan korosi yang baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan korosi pada baja SS400 yan g telah dilakukan
pengelasan GMAW dengan variabel gas pelindung. Pengukuran laju korosi dilakukan dengan metode
kehilangan berat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa laju korosi paling tinggi dialami oleh baja SS400
dengan gas pelindung argon murni sebesar 3 ,5832 mpy, sedangkan untuk gas pelindung argon 82% dan
CO2 murni masing-masing 2,9545 mpy dan 2,2991 mpy. Nilai kekerasan untuk gas pelindung argon murni
277,1 HVN; argon 82% sebesar 223,2 HVN; dan CO 2 murni 200,7 HVN. Hasil ini menunjukkan
penggunaan gas pelindung yang berbeda menghasilkan ketahanan korosi dan nilai kekerasan yang
berbeda pula. Hasil ini dapat dijelaskan dengan perolehan foto mikro yang menunjukkan adanya fase ferit
dan perlit, serta distribusinya. Fase yang terbentuk pada pengelasan denga n gas pelindung argon murni
terdapat banyak fase perlit dibandingkan gas pelindung argon 82% dan karbondioksida murni. Fase perlit
memiliki sifat mudah bereaksi, energinya lebih tinggi sehingga mudah terkorosi, dan lebih keras karena
densitasnya besar. Pengamatan morfologi permukaan baja yang telah terkorosi dilakukan dengan SEM
(Scanning Electron Microscopy).
Kata kunci : korosi, pengelasan GMAW, baja SS400
Abstract
Corrosion resistance test has been performed previously on SS400 steel subjected GMAW wel ding
workmanship with a variety of shielding gas. SS400 steel plate with thickness of 9 mm using a type of butt
joint welded (V shape) with a variation of the shielding gas is pure argon, argon 82%, and pure carbon
dioxide. Shielding gas in GMAW welding pr ocess aims to reduce oxidation during the welding process so
that the corrosion resistance of welded metals is still good. Corrosion is a destructive process, it would
require the selection of appropriate shielding gas composition so that the joined metal in the process of
welding has good corrosion resistance. This study aimed to determine the corrosion resistance of SS400
steel GMAW welding was done with a variable shielding gas. Corrosion rate measurement used method for
weight loss. The results showed t hat the highest corrosion rate was suffered by SS400 steel with pure argon
shielding gas at 3,5832 mpy. While corrosion rate for 82% argon shielding gas and pure CO 2 respectively
2,9545 mpy and 2,2991 mpy. Hardness value for pure argon shielding gas 277,1 HVN; 82% argon at 223,2
HVN; and pure CO 2 200,7 HVN. These results indicate the use of different shielding gases produce
different corrosion resistance and hardness value. These results can be explained by the acquisition of
images that show the existence of micro-phase ferrite and pearlite, as well as their distribution. Phase that
appear at welding with pure argon shielding gas is a lot of perlite compared to 82% argon shielding gas
and pure carbon dioxide. Pearlite phase is easily react, higher energy so easily corroded, and harder
because of its density. Observation of corroded steel surface morphology has been done by SEM (Scanning
Electron Microscopy).
Key words: corrosion, GMAW welding, SS400 steel

1.

Pendahuluan
Kereta api adalah sarana transportasi darat
yang memiliki peran yang sangat strategis karena

menunjang sarana umum dan juga kepentingan


orang banyak (massal). Keberadaan PT. INKA

(Persero) yang menjadi satu -satunya penyedia


jasa pembuatan kereta api mendapatkan
perhatian besar dari pemerintah dalam hal ini
adalah Dinas Perhubungan. Kualitas dan
kelayakan hasil produksi kereta api menjadi
tanggungjawab sepenuhnya PT. INKA. Hasil
produksi kereta api ini sangat dipengaruhi oleh
proses produksi dan yang paling penting adalah
teknik pengelasan. Sebagian besar yang
dilakukan di PT. INKA adalah pengelasan
GMAW (Gas Metal Arc Welding ) dan
standarisasi material maupun alat yang dipakai
dari JIS (Japanese Industrial Standard ). Proses
pengelasan memang menjadi fokus utama dalam
penelitian ini, walaupun ti dak melakukan test
welder. Namun, kami ingin melihat kualitas hasil
pengelasan dengan variabel gas pelindung.
Material yang sering dipakai dalam proses
kontruksi di PT. INKA adalah baja karbon. Pada
penelitian ini memakai baja karbon rendah jenis
SS400. Baja karbon rendah memiliki kekuatan
sedang dengan keuletan yang baik dan sangat
sesuai untuk tujuan kontruksi, seperti jembatan,
gedung bertingkat, kapal laut, dan gerbong kereta
api. Biasanya material ini banyak dijumpai dalam
bentuk plat karena cenderung mudah dibentuk
dan untuk tujuan kontruksi kereta api itu sendiri.
Kadar karbon dalam baja karbon rendah tidak
lebih dari 0,3%. Jadi, kandungan karbon inilah
yang mempengaruhi sifat mekanik, fisik, dan
kimia (korosi) suatu baja.
Pengerjaan
panas
seperti
pro ses
pengelasan, pasti terjadi perubahan struktur
mikro pada material (logam induk maupun
daerah lasan). Pada penelitian ini akan dibahas
mengenai pengaruh proses pengelasan terhadap
laju korosi dengan variabel gas pelindung.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menganalisis sifat korosi hasil pengelasan
GMAW baja SS400 dengan gas pelindung argon
murni, argon 82%, dan CO 2 murni.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Pengelasan
Pengelasan adalah proses penyambungan
beberapa batang logam dalam keadaan cair
menggunakan energi panas (Wiryosumarto,
2000).
Dalam pengelasan GMAW (Gas Metal
Arc Welding), logam pengisi mengalami
pencairan akibat pemanasan dari busur listrik
yang timbul antara ujung elektroda dan
permukaan benda kerja. Busur listrik yang ada
dibangkitkan dari suatu mesin las. El ektroda ini
selama pengelasan akan mengalami pencairan
bersamasama dengan logam induk yang
menjadi HAZ dan weld metal. Sebagai pelindung
oksidasi dipakai gas pelindung yang berupa gas
mulia yaitu 97% argon untuk pelat tipis dan

100% helium untuk pelat teb al (Wisconsin Wire


Work Inc., 2003).
Pengelasan dengan menggunakan GMAW
memiliki beberapa kelebihan, antara lain
(Howard, 1989):
1. Konsentrasi busur yang tinggi, sehingga
memudahkan operasi pengelasan.
2. Karena menggunakan arus yang tinggi dan
kecepatannya juga tinggi, sehingga efisiensinya
baik.
3. Terak yang terbentuk cukup banyak.
4. Sifat mekanik sambungan las yang dihasilkan
lebih baik jika dibandingkan dengan cara
pengelasan yang lain.
Tujuan penggunaan gas pelindung dalam
proses GMAW adalah untuk melindungi logam
cair (HAZ) dan daerah las ( weld metal) terhadap
oksidasi dan kontaminasi lain. Logam yang
reaktif seperti titanium memerlukan perlindungan
di atasnya yang lebih luas di sekitar lasnya.
Semua gas yang dipakai untuk pelindung
dulunya adalah gas mulia (argon dan helium),
tetapi sekarang CO 2 dapat dipakai secara luas,
dan juga campuran antara oksigen dan CO 2
dengan gas mulia. Oleh karenanya, selain
sebutan MIG, dipakai juga GMAW.
2.2 Baja dan Paduannya
Baja paduan dihasilkan dengan biaya
lebih mahal dibandingkan baja karbon , karena
bertambahnya biaya untuk pengerjaan khusus
yang dilakukan dalam industri. Baja paduan
dapat didefinisikan sebagai suatu baja yang
dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran
seperti nikel (Ni), kromium (Cr), molibdenum
(Mo), vanadium (V), mangan (Mn), dan wolfram
yang berguna untuk memperoleh sifat -sifat baja
yang dikehendaki seperti sifat kuat, keras, dan
liat (Amanto, 1999).
Baja paduan diklasifikasikan menurut
kadar karbonnya dibagi menjadi (Amanto, 1999):
1. Baja paduan rendah (low-alloy steel), jika
elemen paduannya < 2,5 % wt, misalnya unsur
Cr, Mn, S, Si, P.
2. Baja paduan menengah ( medium-alloy steel),
jika elemen paduannya 2,5-10 % wt, misalnya
unsur Cr, Mn, S, Si, P.
3. Baja paduan tinggi (high-alloy steel), jika
elemen paduannya > 10 % wt, misalnya unsur
Cr, Mn, S, Si, P.
Baja karbon adalah paduan dari Fe, C,
dengan unsur tambahan Si, P, S, Cu dan Mn.
Sifat dari baja karbon dipengaruhi oleh kadar C.
Makin tinggi kadar C dalam suatu paduan maka
kekuatan dan kekerasannya akan meningkat,
tetapi keuletan dan mampu lasnya akan
berkurang. Berdasarkan kadar C yang terkandung
dalam paduan maka baja karbon terbagi menjadi
tiga macam, yaitu:

(a) Baja karbon rendah


Baja karbon rendah merupakan baja
dengan kadar C kurang dari 0,3%. Baja ini
memiliki sifat ulet, tangguh dan mampu mesin
yang baik. Baja karbon rendah banyak digunakan
dalam bidang konstruksi karena mudah dibentuk
dan sifat mampu las yang baik. Baja karbon
rendah tidak dapat dikeraskan kecuali dengan
cold rolling dan case hardening (pengerasan
permukaan dengan dilapisi). Pada proses
pengelasan, baja jenis ini memiliki kegagalan
yang rendah akibat retak. Retak akibat plat yang
terlalu tebal dapat dihindari dengan pemilihan
filler yang mengandung sedikit hidro gen dan
dilakukan pemanasan mula sebelum plat dilas.
(b) Baja karbon sedang
Baja jenis ini memiliki kandungan karbon
antara 0,3%-0,4%. Baja ini memiliki sifat
mampu keras dan mampu las yang jelek. Sifatnya
yang mudah menjadi keras ditambah dengan
adanya hidrogen difusi menyebabkan baja ini
sangat peka terhadap retak las. Terjadinya retak
dapat dihindari dengan pemanasan mula dengan
suhu yang sangat bergantung pada kadar C atau
harga ekivalen C. Untuk retak akibat hidrogen
difusi dapat diminimalisir dengan penggunaan
elektroda hidrogen rendah.
(c) Baja karbon tinggi
Baja karbon tinggi merupakan baja yang
mempunyai kadar C antara 0,45% -1,7%.
Pengelasan pada baja dengan kadar C lebih dari
0,65% harus dilakukan dengan teliti. Jika
kekuatan lasan diharuskan sam a dengan logam
induk maka diperlukan bahan filler yang khusus
dan perlu adanya pemanasan awal. Pada
pengelasan baja dengan kandungan C lebih dari
0,65% akan terjadi transformasi martensit pada
daerah HAZ. Untuk mengurangi struktur mikro
yang keras dan getas, maka proses pendinginan
harus berlangsung lama jika perlu dapat
dilakukan stress relieving untuk mengurangi
tegangan yang terjadi.
Diagram fase adalah diagram yang
menampilkan hubungan antara temperatur
dimana terjadi perubahan fase selama proses
pendinginan dan pemanasan yang lambat dengan
kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar
pemahaman untuk semua operasi perlakuan
panas. Fungsi diagram fase adalah memudahkan
memilih temperatur pemanasan yang sesuai
untuk setiap proses perlakuan panas, baik proses
anil, normalizing maupun proses pengerasan
(Surdia, 2000).
Macammacam fase yang ada pada baja
adalah (Beumer, 1980):
1. Ferit
Ferit adalah larutan padat C dan unsur paduan
lainnya pada Fe dengan struktur bcc (body center

cubic). Ferit terbentuk akibat proses pendinginan


yang lambat dari austenit. Ferit biasanya
ditunjukkan dengan warna terang pada gambar
struktur mikro, bersifat sangat lunak, ulet dan
memiliki kekerasan, serta konduktifitas yang
tinggi.
2. Sementit
Sementit adalah senyawa Fe dengan C yang
umum dikenal sebagai karbida besi (FeC) dengan
persentase C 6,67% yang bersifat keras. Pada
gambar struktur mikro biasanya ditunjukkan
dengan warna gelap.
3. Perlit
Perlit adalah campuran sementit dan ferit. perlit
yang terbentuk sedikit di bawah temperatur
eutektoid memiliki kekerasan yang lebih rendah
dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih
banyak. Pada gambar struktur mikro ditunjukkan
dengan pola warna gelap terang.
4. Bainit
Bainit merupakan fasa yang kurang stabil,
diperoleh dari austenit pada temperatur lebih
rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan
lebih tinggi dari transformasi ke martensit.
5. Martensit
Martensit merupakan larutan padat dari C yang
lewat jenuh pada Fe alfa sehingga kisi -kisi sel
satuanya terdistorsi.

Gambar 1. Diagram fase Fe-Fe3C

Baja SS400 merupakan baja karbon


rendah dengan sedikit kandungan Si. Beberapa
hasil penelitian menemukan bahwa kandungan Si
antara 0,06 dan 0,037% di dalam baja dapat
meningkatkan reaksi antara Fe dan Zn selama
proses galvanisasi. Akibatnya, pertumbuh an
lapisan intermetalik Fe-Zn pada baja yang
mengandung Si relatif cepat. Pertumbuhan
lapisan tertinggi terjadi pada kandungan Si
sekitar 0,07%. Reaksi tersebut akan menurun
dengan menurunnya kandungan Si hingga 0,2%
dan akan meningkat kembali pada kandung an Si
mendekati 0,37%.
Tabel 1. Komposisi kimia baja SS400 (%atom)
(Syahbuddin, 2003).
C
0,20

Si
0,09

Mn
0,53

P
0,01

S
0,04

Ni
0,03

Cr
0,03

Fe
Balance

2.3 Korosi
Korosi adalah penurunan mutu dari suatu
material sebagai akibat serangan destruktif oleh
lingkungan
melalui proses kimia atau
elektrokimia (Uhlig H, 1985). Proses korosi
merupakan reaksi elektrokimia yang terdiri dari
reaksi oksidasi dan reduksi. Logam yang
terkorosi mengalami oksidasi menjadi kationnya,
sedangkan reduksi terjadi pada komponen
lingkungan korosif dengan memanfaatkan
elektron yang dilepaskan pada reaksi oksidasi.
Proses korosi logam dalam lingkungan
asam dapat dituliskan dengan persamaan reaksi
berikut (Jones, 1992):
M

Mn+ + ne-

(c) Korosi sumuran


Korosi sumuran adalah korosi yang
terpusat pada suatu titik dengan kedalaman
tertentu. Biasanya korosi sumuran ini relatif kecil
dan biasanya seperti kotoran sehingga seperti
permukaan yang kasar saja. Korosi sumuran,
karena sulit dideteksi, merupakan korosi yang
sangat merugikan (Supomo, 2003).
3. Diagram/Skema Kerja
Adapun proses secara menyeluruh pada
penelitian ini ditunjukkan dengan Gambar 2:
Bahan:
Baja SS400

(1)

Korosi logam oleh suatu lingkungan


hanya akan terjadi bila potensi al reduksi
lingkungan lebih tinggi daripada potensial
oksidasi logam. Pada lingkungan korosif yang
menghasilkan ion OH-, produk korosi logam
dapat berupa senyawa M2On. Jika senyawa ini
merupakan film yang rapat dan melekat kuat di
permukaan logam, maka pro duk korosi tersebut
dapat berfungsi sebagai lapisan pasif yang
melindungi logam dari serangan korosi (Jones,
1992).
Korosi banyak jenisnya, sehingga suatu
material yang terkena korosi tidak berdiri sendiri
melainkan meliputi beberapa indikasi bentuk dan
penyebab korosi material tersebut. Adapun jenis jenis korosi, antara lain:
(a) Korosi logam tak sejenis
Korosi logam tak sejenis ( dissimilar
metals) adalah korosi akibat dua logam tak
sejenis yang tergandeng ( coupled) membentuk
sebuah sel korosi basah sederhana. Sebutan lain
yang juga sering digunakan adalah korosi
dwilogam atau korosi galvanik, karena korosi ini
pada dasarnya bersifat galvanik. Efek galvanik
juga menyebabkan korosi di lingkungan air .
(Trethewey, 1991).
Pada
proses
pengelasan
terjadi
penyambungan antara logam induk (base metal)
dan elektroda (logam pengisi). Komposisi
elektroda berbeda dengan komposisi paduan
pada logam induk. Hal inilah yang
memungkinkan terjadi adanya korosi logam tak
sejenis.
(b) Korosi batas butir
Korosi batas butir adalah korosi yang
menyerang daerah batas butir pada suatu
material. Batas butir merupakan daerah
pengendapan (precipitation). Menurut (Uhlig,
1985), batas butir mempunyai energi yang besar
dan lebih reaktif secara kimia. P ada proses
pengkorosian, batas butir akan tamp ak gelap. Hal
ini disebabkan batas butir terkena serangan lebih
para dibandingkan butir.

Preparasi

Sampel

Pengelasan GMAW

Pengujian struktur dan


morfologi: MO + SEM

Pengujian korosi
dengan weight loss

Struktur mikro dan morfologi

Laju korosi

Analisis Data
dan Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 2. Blok diagram sistem.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Pengaruh Gas Pelindung terhadap
Struktur Mikro Baja SS400 pada Proses
Pengelasan GMAW
Pengelasan GMAW dengan pemakaian
gas yang berbeda akan menghasilkan bentuk
permukaan las dan penetrasi yang berbeda pula.
Hal ini telah dibuktikan dar i hasil uji foto makro
(Gambar 3.) yang sudah dilakukan terhadap
sampel uji baja SS400 dengan 3 variasi gas
pelindung, yaitu gas argon murni, campuran gas
argon dan karbondioksida (Ar 82%), s erta gas
karbondioksida murni.
Berdasarkan Gambar 3. terlihat bahwa
penggunaan gas pelindung argon murni
menghasilkan bentuk permukaan las yang
cekung dan bentuk penetrasinya dalam.
Penambahan gas CO 2 ternyata menghasilkan
bentuk permukaan yang cekung pula , (namun
mendekati datar) dan penetrasinya dangkal.
Pelindung gas CO 2 murni menghasilkan bentuk

permukaan yang cukup datar dan penetrasinya


lebih dangkal daripada argon 82%. Hal ini
dimungkinkan energi panas yang dihasilkan
untuk ketiga jenis gas pelindung berbeda,
sehingga menghasilkan bentuk permukaan dan
penetrasi yang berbeda pula. Pada saat proses
pengelasan berlangsung penggunaan gas
pelindung argon menimbulkan efek panas yang
paling tinggi. Inilah yang menyebabkan hasil las
terjadi cacat pada bibir las (undercut). Tinjauan
fisis mengenai fenomena bentuk penetrasi dan
permukaan las yang berbeda ini bisa dijelaskan
dengan kapasitas (absorb) panas dari masingmasing gas pelindung. Gas argon memiliki
kapasitas panas yang lebih rendah dibandingkan
gas karbondioksida pada suhu pengelasan yang
sama. Kemampuan menyerap panas yang rendah
oleh gas argon inilah yang menyebabkan
lingkungan sekitar pengelasan menjadi sangat
panas dan terjadi undercut. Lingkungan yang
panas menjadikan kawat las meleleh lebih cepat
sehingga penetrasi (daya tembus) kawat las yang
meleleh menjadi lebih dalam. Kemampuan alir
(fluiditas) gas argon sangat tinggi karena ikatan
antar atomnya kecil sehingga memerlukan
campuran gas lain (karbondioksida) untuk
menstabilkan busur lasnya.
undercut

(
a
)

Gambar 3. Struktur makro baja SS400 setelah


pengelasan dengan variasi gas pelindung : (a) argon
murni, (b) karbondioksida + argon 82%, dan (c)
karbondioksida murni.

4.2 Pengaruh Gas Pelindung terhadap


Kekerasan Baja
SS400 pada Proses
Pengelasan GMAW
Nilai kekerasan baja SS400 yang dilas
dengan 3 variasi gas pelindung ditunjukkan pada
Gambar 4. Gambar 4. menunjukkan bahwa weld
metal memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi
dibandingkan dengan HAZ dan base metal. Hal
ini disebabkan karena ada nya tegangan sisa yang
banyak terdapat pada weld metal. Tegangan sisa
akan menghalangi gerak dislokasi sehingga nilai
kekerasannya
semakin
meningkat.
Nilai
kekerasan yang meningkat ini juga bisa
dijelaskan dari struktur mikro masing -masing

daerah. Jumlah dari fase ferit, perlit, dan


distribusinya sangat mempengaruhi nilai
kekerasan.
Diagram
Fe -C
menunjukkan
transformasi fase baja yang dilas (disambungkan)
dan elektroda yang melebur menjadi weld metal
adalah ferit dan perlit (ferit dan sementit). Kawat
elektroda yang mencair pada suhu las 1250 oC
akan membentuk austenit, namun akan
bertransformasi lagi menjadi ferit dan perlit pada
pendinginan normal menjadi suhu kamar.

Gambar 4. Nilai kekerasan pada tiap-tiap daerah


untuk gas pelindung bervariasi.

Berdasar Gambar 5. dan 6., terlihat bahwa


jumlah fase perlit weld metal lebih banyak
dibandingkan dengan HAZ. Fungsi fase ferit dan
perlit adalah sebagai penghalang gerak dislokasi
sehingga kekerasannya meningkat. Fase perlit
lebih keras dibandingkan deng an ferit karena fase
perlit adalah gabungan antara fase ferit dan
sementit (Fe3C). Jadi, dalam fase perlit terdapat
banyak sisipan (interstisi) atom C, sehingga
kekerasannya meningkat (faktor densitas).
Berdasar Gambar 4. juga menunjukkan bahwa
dengan penggunaan gas pelindung argon murni
menyebabkan kekerasan baja SS400 meningkat.
Gas argon pada saat terjadi pengelasan
menimbulkan efek quenching (pendinginan
cepat). Hal ini sesuai dengan Jominy test, bahwa
daerah yang mengalami pendinginan lebih awal
akan memperoleh nilai kekerasan yang paling
tinggi.
Gambar 5. menunjukkan struktur mikro
yang heterogen dari baja SS400 (daerah HAZ).
Berdasar metal handbook atlas microstructur ,
2001 warna butir yang berbeda menunjukkan
adanya fasa yang berbeda. Warna terang
menunjukkan fase ferit yang bersifat lunak dan
warna gelap adalah fasa perlit yang sifatnya
keras. Gambar 5.(a) menunjukkan struktur mikro
HAZ dengan pelindung gas argon murni,
memiliki jumlah perlit lebih banyak daripada
ferit dan distribusinya cukup merata . Hal inilah
yang menjadikan nilai kekerasan dengan
pelindung gas argon murni paling tinggi. Gambar
5.(b) menunjukkan struktur mikro HAZ dengan
pelindung gas argon 82%, terlihat jumlah fasa

ferit dan perlit yang seimbang serta distribu si


yang tidak merata. Gambar 5.(c) memperlihatkan
stuktur mikro HAZ dengan pelindung gas CO2
murni, terlihat fasa ferit lebih banyak
dibandingkan dengan perlit serta distribusi
fasanya tidak merata.
ferit

ferit

perlit

perlit

(a)

(b)

ferit
perlit

(c)
Gambar 5. Hasil uji struktur mikro baja SS400
daerah HAZ dengan perbesaran 500x: (a) argon
murni, (b) argon 82%, dan (c) karbondioksida murni.

ferit

ferit
perlit

perlit

(a)

(b)
ferit

perlit

(c)
Gambar 6. Hasil uji struktur mikro baja SS400 daerah
weld metal dengan pembesaran 500x: (a) argon murni,
(b) argon 82%, (c) karbondioksida murni.

4.3 Pengaruh Pengelasan GMAW terhadap


Laju Korosi Baja SS400
Pengelasan merupakan proses perlakuan
panas yang diikuti dengan proses normalizing
dan quenching untuk mendapatkan material yang
tersambungkan dalam sebuah kontruksi. Proses
pengelasan ini dilakukan pada suhu 1,250-1,350
o
C yang menyebabkan elektroda dan sebagian
base metal dalam
keadaan cair saat
penyambungan.
Menurut penelitian (Schijve, 2001), dalam
proses pengelasan, bagian yang dilas menerima
panas setempat dan selama proses berjalan
suhunya berubah terus sehingga distribusi suhu
tidak merata. Panas tersebut menyebabkan
bagian yang dilas terjadi pengembangan termal.
Pada bagian yang dingin tidak berubah sehingga
terbentuk penghalangan pengembangan dan

dapat mengakibatkan terjadinya per egangan.


Peregangan ini akan mengakibatkan terjadinya
perubahan bentuk tetap. Perubahan bentuk yang
terjadi regangan secara spontan, terjadi juga
tegangan yang sifatnya tetap disebut sebagai
tegangan sisa. Secara terminologi tegangan sisa
adalah distribusi sisa tegangan pada material
yang ditinggalkan sebagai akibat dari
ketidakhomogenan deformasi plastis. Munculnya
tegangan sisa tarik dalam pengelasan sangat
penting untuk diperhatikan karena adanya
tegangan sisa tarik ini akan mempengaruhi
munculnya korosi retak tegang (stress corrosion
cracking) dan ketahanan fatik.
Menurut penelitian (Gadang, 2005), jenis
korosi yang banyak terjadi pada baja karbon
rendah adalah korosi sumuran dan korosi merata.
Produk hasil korosi mengandung ion klorida.
Kerusakan lokal akibat pengerjaan mekanis pada
lapisan proteksi dan tidak adanya unsur krom
dapat mempercepat terjadinya korosi di
lingkungan industri. Awal kegagalan suatu
material baja lunak berupa korosi sumuran
merupakan jenis korosi menyerang logam secara
selektif yang menghasilkan penampakan lubang lubang di permukaan logam. Korosi ini
menyerang pada permukaan logam yang selaput
pasif oksida rusak akibat perlakuan mekanik.
Setelah beberapa waktu daerah korosi semakin
meluas
di
atas
permukaan
sehingga
menimbulkan jenis korosi seragam yang
merupakan jenis korosi yang menyerang material
logam yang dikarakterisasi oleh reaksi kimia atau
elektrokimia dengan luas daerah yang besar atau
menyeluruh sehingga logam akan menipis dan
berbentuk tidak beraturan karena produk korosi
yang banyak.
Pengujian korosi menggunakan NaCl
dikarenakan larutan ini mempunyai ion Cl termasuk dalam kategori ion -ion agresif yang
dapat menyebabkan logam terkorosi. Setelah
dilas sampel didinginkan pada udara bebas,
karena udara bebas mempunyai daya serap panas
yang buruk sehingga atom-atom terlarut dan
atom-atom pelarut mempunyai kesempatan untuk
menata diri kembali. Pada keadaan ini struktur
mikro bahan uji tidak sama dengan keadaan
panasnya.
Tabel 2. menunjukkan data laju korosi
baja SS400 yang dilas GMAW dengan variasi
gas pelindung yaitu argon murni, argon 82%
ditambah
18%
karbondioksida,
dan
karbondioksida murni. Sampel ini dikorosikan
dalam larutan NaCl 3,5% selama 42,5 jam.
Selanjutnya, sampel secara bergantian dihentikan
proses korosinya dengan menggunakan larutan
HCl 8%. Setelah itu, produk korosi dari sampel
dirontokkan dengan menggunakan larutan HCl
10% sehingga didapatkan berat yang berkurang

sesuai dengan metode yang dipakai adalah laju


korosi dengan kehilangan berat ( weight loss).
Tabel 2. Data laju korosi baja SS400 yang dilas
GMAW dengan variasi gas pelindung.
Sampel

m1
(mg)

m2
(mg)

Ar 100%

37465,9

Ar 82%
CO 2 100%

T
(jam)

A
(in2)

37459,1

Wloss
m1-m2
(mg)
6,8

42,5

3,7492

Laju
korosi
(mpy)
2,8956

40231

40223,8

7,2

42,5

4,0355

2,8484

52514,9

52509

5,9

42,5

4,567

2,0625

Berdasarkan Tabel 2., sampel yang dilas


GMAW menggunakan gas pelindung argon
murni memiliki laju korosi paling tinggi
dibandingkan dengan sampel menggunakan gas
pelindung argon 82% dan karbondioksida murni,
yaitu 2,8956 mpy. Laju korosi untuk sampel
dengan gas pelindung argon 82% dan
karbondioksida murni masing-masing adalah
2,8484 mpy dan 2,0625 mpy. Pemakaian gas
pelindung karbondioksida murni ketahanan
korosinya paling tinggi karena terdapat banyak
ferit pada hasil foto mikro. Berdasar penelitian
sebelumnya (Mangonon, 1993), fase ferit
berfungsi untuk memaksimalkan ketahanan
korosi pada lingkungan spesifik.
Nilai laju korosi juga bisa didapatkan
untuk sampel dengan daerah yang lebih spesifik
lagi yaitu daerah base metal, HAZ, dan weld
metal. Ketiga daerah ini memiliki ketahanan
korosi yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan
Gambar 7. yang menunjukkan grafik hubungan
laju korosi dengan daerah pengerjaan pengelasan.

(a)

(b)

(c)
Gambar 7. Grafik hubungan daerah kerja las dan
media pengkorosi terhadap laju korosi baja SS400 :
(a) base metal, (b) HAZ, dan (c) weld metal.

Berdasar Gambar 7. terlihat bahwa sampel


yang dimasukkan pada media korosi dalam hal
ini larutan NaCl dengan kadar paling besar
menyebabkan laju korosi paling besar pula.
Hal ini disebabkan karena larutan ini
mempunyai ion Cl - yang termasuk dalam

kategori ion-ion agresif yang dapat menyeba bkan


logam terkorosi. Gambar 7. (a) menunjukkan
kenaikan laju korosi seiring dengan penambahan
kadar NaCl pada base metal. HAZ memiliki
ketahanan korosi sedang, terlihat pada Gambar 7.
(b). Pada daerah ini laju korosi tertinggi oleh gas
pelindung argon murni. Hal ini disebabkan
karena secara mikro, kandungan perlit lebih
banyak dibandingkan dengan feritnya. Perlit
adalah fasa metastabil yang mudah terkorosi.
Weld metal memiliki ketahanan korosi yang
paling rendah. Gambar 7. (c) menunjukkan
bahwa laju korosi terendah dialami oleh gas
pelindung karbondiksida. Hal ini sesuai dengan
hasil uji mikroskop optik, fasa ferit pada sampel
ini lebih banyak dibandingkan dengan fasa
perlitnya. Menurut (Mangonon, 1993), ferit ini
akan memaksimalkan ketahanan korosi pada
lingkungan spesifik.
Hal lain yang menyebabkan laju korosi
pada weld metal lebih besar dibandingkan base
metal yaitu karena weld metal merupakan
material bentukan dari kawat elektroda memiliki
kandungan Cr yang lebih tinggi dibandingkan
pada base metal. Menurut penelitian (Davis,
1995), kromium (Cr) dalam baja mempunyai
afinitas (daya tarik-menarik) yang lebih besar
terhadap karbon dibandingkan besi. Ketika baja
karbon atau baja paduan rendah dilas dengan
logam pengisi yang memiliki kandungan
kromium tinggi, karbon akan berdifusi dari
logam dasar ke logam las pada temperatur di atas
450 oC dan akan meningkat lebih cepat pa da
temperatur 595 oC atau lebih. Atom C dan Cr
akan banyak mengendap pada weld metal
sehingga energinya semakin tinggi dan mudah
bereaksi, serta mudah terserang korosi. Base
metal merupakan material asli dari baja SS400.
Kandungan dan distribusi Cr inilah yang
mempengaruhi ketahanan korosi suatu baja.
Kandungan Cr yang semakin banyak pada baja,
semakin tinggi ketahanan korosinya. Untuk
daerah HAZ sendiri adalah daerah pengaruh
panas dari peleburan kawat las (elektroda) yang
memiliki ketahanan korosi lebih r endah
dibandingkan base metal. Hal ini disebabkan
karena lapisan pasif oksida baja SS400
mengalami kerusakan pada saat proses
pengelasan. Rusaknya lapisan oksida ini yang
menyebabkan ketahanan korosi suatu baja
semakin menurun.
Di dalam buku korosi (Trethewey, 1991),
bahan yang banyak mengandung tegangan sisa
akan mengakibatkan garis -garis dislokasi
mengalami peningkatan yang berakibat pada
peningkatan nilai kekerasan bahan. Pada weld
metal dan HAZ sangat dimungkinkan banyak
terdapat tegangan sisa. Berdasa rkan kajian teori
tentang korosi bahwa adanya garis -garis
dislokasi pada bahan menjadikan faktor pemicu

terbentuknya daerah anodik dan katodik.


Semakin banyak garis-garis dislokasi yang
terbentuk, maka akan semakin rentan bahan
tersebut terserang korosi. O leh karena itu nilai
laju korosi bahan awal lebih tinggi dibandingkan
bahan yang telah mengalami perlakuan panas.
Secara termodinamika daerah batas butir
mempunyai energi bebas aktivasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah butir artinya
daerah batas butir bersifat lebih anodik
dibandingkan daerah butir. Oleh karena itu,
paduan dengan ukuran butir yang lebih kecil
mempunyai daerah batas butir yang lebih
banyak, sehingga baja karbon SS400 pada
keadaan awal (sebelum proses pengelasan) ketika
berada dalam lingkungan yang korosif (NaCl)
akan lebih mudah melepas energi bebasnya
dengan kata lain lebih mudah terkorosi. Gambar
8. menunjukkan bahwa butir dan batas butir
hanya terlihat pada base metal. Menurut buku
korosi dan kontrol korosi (Uhlig, 1985), batas
butir mempunyai energi yang besar dan lebih
reaktif secara kimia. Pada proses pengkorosian,
batas butir akan tampak gelap. Hal ini
disebabkan batas butir terkena serangan lebih
parah dibandingkan butir. Pada HAZ dan weld
metal tidak terlihat butir ataupun batas butir. Hal
ini dimungkinkan pada saat pengelasan
menyebabkan struktur baja SS400 (HAZ)
terbentuk banyak endapan.
B
a
t
a
s
b
u
t
i
r

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh


Lukman (2009), proses korosi sumuran terjadi
ketika baja SS400 berada dalam larutan yang
mengandung ion klorida (contoh: NaCl), maka
baja ini akan bereaksi menghasilkan besi (II)
klorida (FeCl 2) atau besi (III) klorida (FeCl 3).
Dalam kondisi asam, akan diha silkan Fe 2O3.
Semakin banyak endapan Fe 2O3 pada permukaan
baja menunjukkan bahwa unsur Fe dalam baja
tersebut terlarut menjadi ion Fe sehingga
pembentukan senyawa Fe 2O3 menjadi bertambah.
Kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa baja
sedang terserang korosi jenis pitting corrosion.

Gambar 9. Analisis SEM daerah yang terkorosi pada


base metal permukaan baja SS400.

ferit
ferit

perlit
perlit

(b)

(a)

ferit

perlit

(c)
Gambar 8. Foto mikro yang menunjukkan butir dan
batas butir baja SS400 :
(a) base metal, (b) HAZ, dan (c) weld metal.

4.4 Analisa Mikrostruktur SS400 yang telah


Dikorosikan dengan SEM
Gambar 9. menunjukkan morfologi dari
permukaan baja SS400 di daerah base metal.
Berdasar Gambar 9. tersebut terlihat permukaan
base metal yang tidak rata. Ketidakmerataan
permukaan disebabkan oleh produk-produk
korosi yang masih menempel. Selain itu, terlihat
beberapa lubang yang menonjol pada permukaan
base metal. Lubang-lubang ini adalah produksi
dari pitting corrosion (korosi sumuran).

Gambar 10. Morfologi serangan korosi pada baja


karbon rendah: (a) Distribusi korosi, (b) Insert produk
korosi pengaruh unsur korosif air hujan, (c) Puncak
spektrum EDX, (d) Analisis globular daerah terkorosi
dengan EDX.

Analisis permukaan dan komposisi baja


karbon rendah yang terkorosi juga diperoleh dari
penelitian Lukman (2009) yang ditunjukkan pada
Gambar 10. Berdasar Gambar 10. digunakan
untuk membandingkan dengan hasil yang
diperoleh pada penelitian ini mengenai analisis
permukaan baja SS400 yang terkorosi.
Berdasarkan Gambar 10. tampak terjadi serangan
korosi lokal yang ditunjukkan dengan permukaan
sampel yang tidak rata dan terserang ion Cl-.
Morfologi serangan korosi pada HAZ dan
weld metal permukaan baja SS400 menggunakan
SEM ditunjukkan pada Gambar 11. Berdasar
Gambar 11. terlihat bahwa baja SS400
mengalami serangan korosi pada HAZ dan weld

6.

(a)

(b)

Gambar 11. Morfologi serangan korosi baja SS400


dalam larutan 3,5 NaCl: (a) HAZ dan (b) weld metal.

metal. Korosi paling parah dengan laju korosi


4,4248 mpy untuk daerah weld metal dimana
serangan korosi (gumpalan putih berupa
senyawa) hampir terjadi pada seluruh permu kaan
sampel. Jadi, semakin banyak gumpalan putih
menyebabkan ketahanan korosi baja SS400
semakin rendah. Selain itu, serangan korosi bisa
dilihat dari adanya bentuk semacam retakan yang
tampak pada permukaan sampel yang di SEM.
Retakan ini mengindikasikan adanya tegangan
sisa pada daerah tersebut. Semakin banyak
bentuk retakan maka ketahanan koro sinya
semakin rendah. Gambar 11. menunjukkan
bahwa weld metal memiliki gumpalan putih dan
bentuk retak yang paling banyak dibandingkan
dengan HAZ dan base metal.
5.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan secara
mendetail, baik sifat mekanik (nilai kekerasan
HVN) maupun perilaku korosinya serta
morfologi permukaan baja SS400, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pengelasan GMAW dengan
menggunakan gas pelindung yang
berbeda menghasilkan nilai kekerasan
HVN (Hardness Vickers Number) yang
berbeda. Penggunaan gas pelindung
argon murni menghasilkan nilai
kekerasan paling tinggi yaitu 277,1
HVN pada weld metal. Nilai kekerasan
penggunaan gas pelindun g argon 82%
dan CO 2 murni masing-masing 223,2
HVN dan 200,7 HVN.
2. Laju korosi paling tinggi dialami oleh
baja SS400 dengan gas pelindung argon
murni sebesar 3,5832 mpy. Sedangkan
penggunaan gas pelindung argon 82%
dan CO 2 masing-masing 2,9545 mpy
dan 2,2991 mpy.

Saran
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan perlu sekali penulis memberikan saran :
1. Penggunaan gas pelindung argon murni
pada pengelasan GMAW dengan
material baja SS400 sebaiknya dihindari
karena laju korosinya terlalu tinggi .
2. Perlu dilakukan uji XRD (X-Ray
Diffraction)
untuk
mengetahui
komposisi produk-produk korosi dan
fase yang terbentuk setelah proses
pengelasan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M.C.N., 2003, Pengaruh Arus
Pengelasan Pada Baja SS400 dengan
Uji Tak Merusak melalui Metode
Ultrasonik dan Radiografi, Tugas Akhir
Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya.
Amanto, Hari, dan Daryanto. 1999. Ilmu Bahan,
Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Amstead, B.H, 1993. Teknologi Mekanik.
Terjemahan Ir. Sriati Djaprie. Edisi k -7.
Jilid I. Jakarta : Erlangga.
Cary, B. Howard (1989). Modern Welding
Technology, second edition, Prentice Hall
International Inc. Engewood. New Jersy.
Donald, R. Askeland. 1984. The Science And
Engineering Of Material.
Hollingsworth, E.H., dan Hunsicker, H.Y., 2001,
Corrosion, volume 13, ASM Meta ls
Handbook, Ohio: ASM Internasional.
Jones, D.A. 1992. Principles and Prevention of
Corrosion.
United
State
of
America:Macmillan Publishing Company.
Lukman. 2009. Pengaruh Unsur Korosif pada
Air Hujan terhadap Perilaku Korosi
Baja Karbon Rendah. Tesis Jurusan
Fisika FMIPA ITS Surabaya.
Mangonon Pat L, 1993, The Principels of
Material Selection for Engineering
Design, Prentice Hall USA.
Metalography and Microstructures, American
Society for Metal. Volume 7.
Schijve J., 2001, Fatigue of Structures and
Mateials,
Faculty
of
Aerospace
Engineering University of Technology,
Netherlands.
Smallman, R.E. dan Bishop, R.J., 2000,
Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa
Material, Edisi Keenam, Erlangga,
Jakarta.
Sonawan
dan Suratman, 2004, Pengantar
untuk Memahami Proses Pengelasan
Logam, Alfabeta, Bandung.
Suhardi, AC., Teknologi Proses Pengelasan
dan Peralatannya, Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Industri Bahan dan
Barang Teknik, Jakarta.

Syahbuddin dan Abdul Rahmam, 2003.


Pertumbuhan Lapisan Intermetalik Fe Zn pada Permukaan Sambungan Las
Baja Struktur SS400 selama Galvanis
pada 460 oC, jurnal desain dan kontruksi
volume 2 no. 1.
Trethewey, KR. dan Chamberlain, J., 1991,
KOROSI untuk Mahasiswa dan
Rekayasawan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Uhlig, H.H, Revie, R.W, 1985, Corrosion And
Corrosion Control, Third Edition, John
Wiley And Sons, New York.
Vernon, John. 1984. Testing of Materials, Mc.
Milan, New York.
Wiryosumarto, Harsono, 2000, Teknologi
Pengelasan Logam, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Wisconsin Wire Work Inc., 2003, Welding
Dissimilar Metals with Wisconsin Wire
Works Copper-Base filler Metals, USA.

Anda mungkin juga menyukai