Anda di halaman 1dari 29

Perundang-Undangan Sosial FHUI

Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.

(Al Humami, 2005)

Bila membaca ulang UUD 1945, akan tertangkap spirit


amat kuat bahwa para founding father sejatinya ingin
membangun Indonesia menjadi negara kesejahteraan
modern (modern welfare state).
Simak kata-kata pada pembukaan UUD 45 : konstitusi,
...membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia...untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial....

Pemikiran para pendiri bangsa tentang


negara kesejahteraan lahir karena mereka
mengenyam pendidikan Eropa, menjalin
pergaulan intelektual dan bersentuhan
dengan gagasan para pemikir sosial
ekonomi, yang menganut ide modern
welfare state.
Ide negara kesejahteraan modern, menjadi
mainstream di Belanda, Inggris, Perancis,
Jerman, dan negara-negara Skandinavia
seperti Swedia, Finlandia, atau Norwegia.

Soekarno mengusung propaganda antineoimperialisme dan neokolonialisme,


membangkitkan semangat perjuangan politik
dan membangun ekonomi berdikari. Sjahrir
menjadi pemimpin Partai Sosialis Indonesia
menawarkan gagasan sosialisme ekonomi.
Mohammad Hatta memelopori gerakan
ekonomi rakyat melalui koperasi dan pasar
sosial.
Ketiga tokoh itu, meski akhirnya menempuh
jalan politik berbeda, memiliki gagasan sama
dalam membangun negara kesejahteraan

Secara sederhana, negara kesejahteraan


didefinisikan sebagai :
is a state which provides all individuals a
fair distribution of the basic resources
necessary to maintain a good standard of
living (Richard Quinney, The Prophetic
Meaning of Modern Welfare State, 1999).

(Deacon, 2002 : 4)
A society in which the government accepts
responsibility for ensuring that all citizens
receive a minimum income, and have
access to the highest possible provision in
the fields of health care, housing,
education, and personal social services.

Tujuan pokok negara kesejahteraan, antara


lain,
(i) mengontrol dan mendayagunakan
sumber daya sosial ekonomi untuk
kepentingan publik;
(ii) menjamin distribusi kekayaan secara adil
dan merata;
(iii) mengurangi kemiskinan;
(iv) menyediakan asuransi sosial
(pendidikan, kesehatan) bagi masyarakat
miskin;
(v) menyediakan subsidi untuk layanan
sosial dasar bagi disadvantaged people;
(vi) memberi proteksi sosial bagi tiap warga.

Debat tentang negara kesejahteraan terfokus pada


dua konsep: social welfare dan economic
development, yang oleh James Midgley disebut
antithetical notions.
Pembangunan ekonomi berkenaan dengan
pertumbuhan, akumulasi modal, dan keuntungan
ekonomi; sedangkan social welfare berhubungan
dengan altruisme, hak-hak sosial, dan redistribusi
aset. Yang pertama adalah jalan menciptakan
kekayaan, meningkatkan kualitas dan standar hidup.
Yang kedua, mekanisme redistribusi kekayaan untuk
membiayai layanan sosial bagi masyarakat miskin dan
tertindas (Midgley, Growth, Redistribution, and
Welfare: Toward Social Investment, 2003).

Melalui intervensi kebijakan yang tepat, merujuk pada


social welfare to work, pembangunan sosial dapat
diarahkan untuk (i) menciptakan lapangan kerja, (ii)
mengembangkan modal manusia, (iii) memobilisasi
modal sosial, (iv) mengakumulasi aset produktif, dan
(v) merintis serta mengembangkan usaha kecil dan
menengah.

Semua itu akan meningkatkan pendapatan,


berdampak pada peningkatan kualitas dan standar
hidup, menstimulasi pertumbuhan. Dengan demikian,
social development bisa berarti economic
development, dan perwujudan negara kesejahteraan
tak semata-mata dalam bentuk kebijakan dan
program sosial seperti (i) social safety net, (ii) social
security, (iii) social insurance, atau (iv) social subsidy.

Muncul pertanyaan, apakah pemberian subsidi


kepada orang miskin sebagai kompensasi
kenaikan harga BBM bisa disebut penjelmaan
negara kesejahteraan? Mungkin programprogram sosial seperti Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), pengobatan gratis di rumah sakit
kelas III, dan cash transfer, yang sedang
berlangsung baru disebut quasi welfare state.
Sebab, kebijakan dan program sosial itu bersifat
superfisial, tidak dilandasi filosofi negara
kesejahteraan yang kuat. Bahkan programprogram itu lebih sebagai siasat politik guna
meredam gejolak sosial.

(i)
(ii)
(iii)
(iv)

Selama ini Indonesia belum pernah membangun


kelembagaan publik dan menyiapkan perangkat
sistem yang mendukung program sosial secara
permanen dan berkelanjutan.
Indonesia pernah mengembangkan :
Inpres Desa Tertinggal,
Proyek Padat Karya,
Program Pengembangan Kecamatan, dan
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan, yang
disebut pemberdayaan masyarakat miskin.
Sebagian program itu terhenti dan yang
berlangsung pun tak ada jaminan
keberlanjutannya.

(Sulastomo)
Benarkah Indonesia negara kesejahteraan
(welfare state)? Cita-cita negara
kesejahteraan ada di Pembukaan dan
Batang Tubuh UUD 1945. Bagaimana
pelaksanaannya?
Meski Indonesia merupakan negara
kesejahteraan, rakyat belum sejahtera,
terlihat dari banyaknya jumlah orang
miskin.
Pilar negara kesejahteraan diletakkan Otto
von Bismarck pada 1880-an.Tujuannya
untuk memberi "rasa aman" (security)
sejak lahir sampai mati.

"Rasa aman" ini merupakan proteksi sosial


terhadap risiko ekonomi yang tidak terduga ,
misalnya karena sakit, kecelakaan, atau risiko
menurunnya pendapatan karena memasuki usia
pensiun. Inilah pilar negara kesejahteraan yang
(ternyata) menjadi elemen penting dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ide itu lalu
berkembang di seluruh dunia dengan modifikasi.

Dari aspek jaminan sosial tidak jauh berbeda.


Manusia memerlukan jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemutusan
hubungan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun, dan jaminan kematian.

Sedangkan dari aspek pembiayaan, selain


mekanisme asuransi juga dikenal tabungan wajib
(provident fund) atau pajak (social security tax)
seperti di AS.
Jelas, program ini melibatkan seluruh peserta
untuk ikut membayar iuran, meski mekanisme
pengumpulan dan pembebanan iuran berbedabeda. Meski demikian, iuran itu selalu menjadi
beban antara pemberi/penerima kerja/masyarakat
bahkan negara, sebagai pemberi kerja pegawai
negeri/tentara, atau sebagai subsidi bagi
masyarakat tidak mampu. Dapat dipahami jika
program jaminan sosial merupakan instrumen
mobilisasi dana masyarakat yang mampu
membentuk tabungan nasional yang besar.

Seharusnya Indonesia telah menerapkan negara


kesejahteraan sejak awal kemerdekaan. Kenyataannya
tertinggal dibanding negara lain. Program jaminan
kesehatan baru dimulai tahun 1968 melalui program Askes.
Untuk tenaga kerja swasta dimulai tahun 1976 melalui
Jamsostek. Malaysia memulai program Jamsostek sejak
1959, dikenal sebagai EPF (Employee Provident Fund).
Keterlambatan ini berdampak pada ketertinggalan Indonesia
membentuk tabungan nasional. Akibatnya, tabungan
nasional Malaysia atau Singapura lebih besar dibanding
Indonesia. Hal ini dibuktikan saat krisis melanda Asia tahun
1997/1998, Indonesia paling sulit untuk bangkit lagi.
Selain tertinggal, legislasi program jaminan sosial di
Indonesia juga belum komprehensif, tidak ada interelasi
antara berbagai program, tidak berdasar konsep yang
konsisten, sehingga perkembangannya amat lamban,
sementara manfaat (benefit-package) yang diterima amat
minim sehingga program Jamsostek (misalnya) tidak
populer.

(Sugeng Bahagijo)
Istilah welfare state (negara kesejahteraan) muncul pertama
kali tahun 1940-an oleh Uskup Agung York, Inggris, sebagai
antitesis atas program warfare state (negara perang) Nazi
Hitler di Jerman yang sedang memperluas wilayahnya.
Negara kesejahteraan atau rezim kesejahteraan (welfare
regime) lebih dari sekadar kebijakan sosial.

Tidak semua kebijakan sosial dapat digolongkan welfare


state, misalnya, program jaring pengaman sosial (JPS) tahun
1997 yang hanya bersifat minimal dan sementara saja.
Bagaimana asal-usulnya? Sebelum Perang Dunia I, cikal
bakal welfare regimes dimulai oleh tokoh-tokoh karismatis
dan otoritarian, seperti Bismark (Jerman), Von Tappe
(Austria), dan Napoleon III (Perancis), dengan melansir
jaminan-jaminan sosial untuk pegawai pemerintah dan
kelompok pekerja industri.

Di Inggris sistem welfare diawali sekali


dengan lahirnya UU Penanggulangan
Kemiskinan (Poor Law- 1598). Dalam
periode kedua, sesudah Perang Dunia II,
1945-1990, welfare state merupakan
kreasi dan produk demokrasi multipartai
atau kebijakan (koalisi) partai politik yang
memerintah untuk menciptakan warga
negara dan angkatan kerja yang terdidik
dan sehat dan mengurangi kesenjangan
sosial ekonomi.

Menurut Esping Andersen, negara


kesejahteraan dibangun atas dasar nilainilai sosial, seperti (i) kewarganegaraan
sosial, (ii) de- mokrasi penuh, (iii) sistem
hubungan industrial modern, serta (iv) hak
atas pendidikan dan perluasan pendidikan
massal yang modern. Produksi dan
penyediaan kesejahteraan warga negara
tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada
pasar.

(Briggs, 2000 : 18)


A state in which organized power is
deliberately used (through politics and
administration) in an effort to modify the
play of market forces in at least three
directions :
1. By guaranteeing individuals and
families a minimum income irrespective of
the market value of their work of their
property.

2.

3.

By narrowing the extent of insecurity by


enabling individuals and families to meet
certain social contingencies (for example
: sickness, old age, and unemployment)
which lead otherwise to individual and
family crises.
By ensuring that all citizens without
distinction of status or class are offered
the best standards available in relation to
a certain agreed range of social services

Dua tujuan pertama mengarah pada


pandangan negara pelayanan sosial
(Social service state), yaitu negara dimana
sumber daya komunal digunakan untuk
menanggulangi kemiskinan dan
membantu orang yang sedang berada
dalam kesulitan.

Tujuan ketiga melampaui cakupan dari


negara pelayanan sosial karena
memfokuskan dan memasukkan gagasan
pelayanan sosial yang optimum yang
dapat diterima masyarakat (dari minimum
menjadi optimum).

1.

2.

3.

Intervensi yang dilakukan oleh


negara (dalam hal ini pemerintah) dalam
menjamin kesejahteraan warganya;
Kesejahteraan harus dikembangkan
berdasarkan kebutuhan dasar
masyarakat.
Kesejahteraan adalah hak dari setiap
warga negara.

Titmuss

Apakah bentuk layanan negara kepada


masyarakat bersifat universal
(universalism social services) ataukah
bentuk layanan sosial yang bersifat
selektif (selectivist social services).

Mencakup seluruh warganegara atau


hanya bagi mereka yang lolos seleksi
(eligible) dalam mendapatkan layanan
sosial.


1.
2.
3.

Paradigma kesejahteraan sosial :


Residual
Institusional
Developmental

Adalah pandangan tentang sistem


kesejahteraan sosial yang dikembangkan
hanyalah sistem terakhir (last resort) untuk
membantu anggota masyarakat. Ini adalah
sistem yang minimalis (Dolgoff dan
Feldstein, 2000) dan baru difungsikan ketika
sistem-sistem lain (pasar, keluarga, dll)
gagal memenuhi kebutuhan individu.
> REAKTIF

(Hardiker, 1991) dikembangkan berdasarkan


teori tentang masyarakat dan negara yang
didasarkan pada nilai-nilai konsensus, tetapi
konformitas dicapai melalui proses integrasi
sosial, bukan sekedar menonjolkan pada
aspek pilihan individual saja. Paradigma ini
melihat bahwa pemerintah harus
bekerjasama dengan pihak swasta dan
organisasi nirlaba dalam meningkatkan
kualitas layanan.
> REAKTIF DAN PROAKTIF

(Dolgoff & Feldstein)


Konsepsi tentang sistem kesejahteraan
sosial yang mendasarkan pada nilai-nilai
keadilan sosial, juga pada nilai kesetaraan
dan keadilan sosial. Peran pemerintah
menjadi lebih proaktif dan merupakan
antitesis dari perspektif residual yang
bersifat reaktif.

RESIDUAL

INSTITUSIONAL

DEVELOPMENTAL

Berdasarkan
nilai filantropi
dan amal

Berdasarkan
hak-hak
kesejahteraan

Berdasarkan
nilai tentang
keadilan sosial

Kebebasan diri
dan
individualisme

humanitarianis
me

Kesetaraan
(equality),
kerjasama dan
saling berbagi

Melihat akar masalah sosial bukan sekedar


pada ketidaksetaraan distribusi kekuasaan
dan sumber daya masyarakat, seperti pada
paradigma developmental, namun model ini
mencoba melihat masalah ke akar yang lebih
mendalam terutama dalam kaitan dengan
aspek struktural dai suatu masalah, seperti
terkait dengan kelas sosial, ras, usia, dll
Fokus pada pendekatan konflik dan
memandang positif pada praktek opresif
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai