KELOMPOK 6 :
ANDRE KURNIAWAN
RENAL RIFAL
SIXNALDI PUTRA
Penghasilan
(PPh)
adalah
pajak
atas
penghasilan
yang
diterima/diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam satu tahun pajak. Penghitungan besarnya
penghasilan dan PPh yang terhutang untuk satu tahun pajak secara prinsip hanya bias
dilakukan manakala tahun pajak yang bersangkutan telah berakhir dan WP sudah
melakukan tutup pembukuan. Dengan demikian, perhitungan besarnya penghasilan
dan besarnya PPh yang terhutang tersebut baru dapat diketahui pada saat WP
membuat SPT Tahunan PPh.
Akan tetapi dalam konteks perpajakan Indonesia, WP tidak diperkenankan
melakukan pembayaran seluruh jumlah PPh yang terhutang sekaligus hanya pada saat
menyampaikan atau melaporkan SPT Tahunan PPh kepada kantor pajak. WP dalam
hal ini diwajibkan untuk mengangsur atau mencicil pembayaran PPh-nya selama
tahun pajak berjalan, sebelum membuat dan melaporkan SPT Tahunan PPh.
Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT
Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kitamengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini
sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentusaja nanti akan ada perbedaan
dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih
tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekuranganbayar
akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan
lebihbayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan
pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang
menurut SPTTahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikurangi dengan kredit pajak
Pajak Penghasilan Pasal 21,22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak.Sebelum menghitung besarnya angsuran atau cicilan PPh
Pasal 25, dilakukan pengelompokkan jenis penghasilan terlebih dahulu.
Dalam kaitannya dengan PPh Pasal 25, pengelompokan jenis penghasilan
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Non Obyek (pasal 4 ayat 3)
b. Penghasilan Obyek Pajak (pasal 4 ayat 1)
Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari
utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital
gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta
penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Dalam perhitungan PPh pasal 25,
variabel penghasilan-penghasilan yang tidak teratur harus dihitung ulang dari
Legal standing of corporate entity: mencari bentuk usaha yang tepat, seperti
CV/Fa atau PT, dengan tujuan menghemat pajak.
2. Mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sehingga utang
pajak, baik PPh maupun pajak-pajak lainnya , dalam posisi sehemat mungkin sesuai
ketentuan Undang-Undang Pajak,
3. Mendeteksi cacat teoritis dari ketentuan Undang-Undang Pajak untuk menemukan
cara penghindaran pajak yang dapat menghemat pembayaran pajak.
Strategi mengurangi Beban Pajak Secara Legal
Pengurangan beban pajak yang maksimal dari penghasilan yang diperoleh
dalam satu tahun berjalan, dapat dilakukan dengan mengurai bentuk formula
penghitungan Pajak Penghasilan sebagai berikut:
1. Upayakan mendapatkan penghasilan yang bebas pajak
Banyak cara untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak atau
penghasilan yang telah dikenakan pajak secara final. Jadi, tidak perlu melaporkannya
dalam Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan (SPT) PPh akhir tahun. Misalnya, hasil
penjualan asset yang didepositokan akan terhindar dari pengenaan pajak penghasilan
di akhir tahun.
2. Ambil keuntungan dari kredit pajak selama tahun berjalan
Strategi perencanaan yang dilakukan dengan cara pengakuan kredit pajak yang
telah dibayar sendiri (angsuran tahun berjalan) atau yang dipotong (dipungut) pihak
III, dapat membuat pembebanan pajak menjadi efisien. Kredit pajak adalah pajak
yang dibayarkan dimuka kepada Negara dan pajak yag telah dipotong/dipungut pihak
lain dari penghasilan yang diterima. Pajak jenis ini dikenal sebagai withholding tax
atau pajak yang dibayarkan dimuka.
Sering kali, tanpa disadari, pajak yang dibayarkan di muka dapat menutupi
perhitungan pajak terutang, tetapi akibat ketidaktahuan atau keteledoran wajib pajak,
bukti pemotongan/pembayaran pajak tersebut tidak dapat dikreditkan. Salah satu
penyebabnya adalah bukti pemotongan dari penerima jasa tidak ada, cacat, atau hilang
sehingga merugikan wajib pajak sendiri.
3. Tunda (menangguhkan) pembayaran terutang tanpa dikenakan sanksi
administrasi (penalty) oleh kantor pajak
Menunda pembayaran pajak hingga batas akhir masa pembayaran seperti
fasilitas pinjaman kredit tanpa bunga dari pemerintah. Sebagaimana sudah diketahui,
pembayaran pajak terdiri atas pembayaran pembayaran masa/bulan dan pembayaran
akhir tahun. Setiap bulan, setoran masa yang wajib dibayarkan sendiri adalah
angsuran PPh Pasal 25, wajib dibayarkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
Sisa PPh PPh yang kurang bayar harus disetorkan paling lambat akhir bulan Maret
tahun berikutnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan paling lambat akhir bulan
April tahun berikutnya bagi Wajib Pajak Badan. Sesuai konsep nilai waktu dari uang
maka kesempatan melakukan penghematan dari penundaan pembayaran pajak hingga
last minute merupakan peluang yang sah menurut Undang-Undang.
4. Maksimalisasi pengurang pajak (tax deduction)
Semakin besar pengurang atau beban usaha, maka beban pajak terutang
semakin kecil. Komposisi biaya yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak
bergantung pada jenis dan sumber penghasilan yang diperoleh wajib pajak. Bagi
pekerja belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan yang semata-mata hanya
memperoleh penghasilan dari pemberi kerja maka maksimal pengurang pajak
dilakukan dengan menerapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Biaya
Jabatan setahun yang besarnya masing-masing Rp15.840.000,00 (Diri Sendiri Tidak
Kawin) dan Rp6.000.000,00 setahun. Bagi wajib pajak yang memiliki usaha atau
pekerjaan bebas maka jumlah biaya yang dapat mengurangi penghasilan neto sangat
fleksibel bergantung pada jenis usaha dan pelaksanaan kewajiban pembukluan serta
pencatatan akuntansi.
5. Usahakan untuk mendapat pengurangan lapisan tarif PPh Pasal 17
Pengurangan lapisan tarif pajak tertinggi dapat dicapai melalui penggeseran
penghasilan kena pajak (UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1)) menjadi penghasilan
yang dikenakan tarif final (UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2)), seperti saham,
deposito, dividen (khusus yang diterima perseorangan) real estate, dan penghasilan
yang bukan objek pajak (UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3)), seperti hibah dan
sambungan. Dalam hal ini, pengurangan pajak hanya relevan untuk penghasilan Wajib
Pajak Orang Pribadi, sedangkan sejak tahun pajak 2010, Wajib Pajak Badan
dikenakan single tariff sebesar 25%.
6. Usahakan untuk dapat menggeser beban pajak ke pihak lain (tax shifting to
others)
Jika penghasilan seseorang sudah terkena lapisan tarif pajak penghasilan yang
tertinggi, misalnya tarif 30%, beban pajak terutang dapat digeser ke pihak terkait yang
masih berada dalam lapisan pajak yang lebih rendah, seperti memberikan hibah
kepada anak. Namun, yang mendapat pembebasan pajak adalah si penerima hibah. Si
pemberi hibah tetap dalam kategori penghasilan yang dikenakan pajak pada saat
pertama kali memperolehnya.
7. Ambil keuntungan dari status Surat Pemberitahuan Masa / Tahunan (SPT)
dan pengecualian pajak (tax exemption)
Berbagai pengecualian dapat mengurangi beban pajak apabila kita jeli mengelola
penghasilan yang merupakan objek pajak dan bagian mana yang dapat menjadi
pengecualian pajak. Tentu tidak mudah untuk merealisasikan dan mengarahkan orang
awam tanpa rekomendasi perencana pajak yang handal. Yang perlu dipahami adalah
Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan ruang yang cukup lebar kepada
masyarakat untuk menghindar dari pajak. Contohnya, jika seseorang membentuk
usaha partnership, penghasilan yang dibagikan kepada tiap-tiap partner, menurut UU
PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3) huruf I, adalah penghasilan bersih yang telah
dikurangi pajak (bukan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan) sehingga
menjadi bebas pajak secara legal.
2. Foreign Exchange Revenue(Laba Selisih Kurs)
Wajib Pajak yang transaksinya menggunakan mata uang rupiah tetapi terdapat
transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut akan timbul keuntungan
atau kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs antara tanggal pengakuan
penghasilan atau biaya dengan tanggal diterima atau dibayarnya penghasilan atau
biaya tersebut.
Pada prinsipnya wajib pajak yang pembukuannya menggunakan mata uang
rupiah tetapi terdapat transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut
akan timbul keuntungan atau kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs
antara tanggal pengakuan penghasilan atau biaya dengan tanggal diterima atau
dibayarnya penghasilan atau biaya tersebut.
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l. Dimana di dalamnya
disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun termasuk keuntungan karena selisih kurs mata uang
asing. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh karena
fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di
Indonesia dan dikenakan tarif sesuai Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan dalam Undangundang PPh, yaitu bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing
diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di
Indonesia (PSAK Nomor 10). Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau
kerugian selisih kurs yang terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang
dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan
atau biaya. Sebaliknya, pada pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa keuntungan atau
kerugian selisih kurs yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak
yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, diakui sebagai penghasilan
atau biaya sepanjang penghasilan tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
3. Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP PPN
Keluaran dan DPP PPh yang Diotong/Dipungut
Rekonsiliasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN dengan
SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN ini penting dengan
tujuan untuk memastikan semua peredaran usaha telah di laporkan di dalam SPT
PPN; dan untuk memberikan penjelasan kepada fiskus jika terdapat perbedaan antara
jumlah peredaran usaha yang dilaporkan di SPT PPh dan SPT PPN. Pada umumnya
perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan menurut SPT
Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa timbul karena
dua kondisi, yaitu:
a. Karena karakteristik transaksi
b. Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya perbedaan.
selalu
menggunakan
kurs
transaksi.Kadangkala
Wajib
Pajak
Benchmarking yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu
konsep yang disebut Total Benchmarking.
Benchmarking (perbandingan) adalah suatu proses sistematik dalam
membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi terhadap kompetitor atau
pemimpin industri untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam mencapai
tingkat kinerja yang tinggi. Model benchmarking umumnya digunakan dalam dunia
bisnis.Namun oleh Direktorat Jenderal Pajak, model ini ini diadopsi dalam rangka
melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Wajib
Pajak. Dengan asumsi bahwa Wajib Pajak yang memiliki karakteristik yang sama
akan cenderung memilki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan
masing-masing Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan suatu benchmark yang
mewakili karakteristik Wajib Pajak yang bersangkutan. Benchmarking yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu konsep yang disebut Total
Benchmarking.
Karakteristik Total Benchmarking
Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang
penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan
petunjuk pemanfaatannya disebutkan bahwa Rasio Total Benchmarking memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Rasio total benchmarking disusun berdasarkan kelompok usaha;
2. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan ingkat laba
dan input-input perusahaan;
3. Ada keterkaitan antar rasio benchmark;
4. Fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
perpajakan.
Tujuan Total Benchmarking
Tujuan Total benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE11/PJ/2010
tentang
penetapan
Rasio
Total
Benchmarking
tahap
II
yang
1. Nilai
masing-masing
benchmarking
ditetapkan
untuk
masing-masing
harga yang digunakan adalah harga ekspor tertinggi dengan jumlah barang adalah
berat total.
Cara menghitung bea masuk dan pajak dalam rangka impor serta pungutan
ekspor/bea keluar sangat penting bagi importir dan eskportir atau pengguna jasa
kepabeanan yang lainnya. Bea masuk menurut undang-undang kepabeanan adalah
pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang di impor.
Bea masuk merupakan pajak tidak langsung dan dipungut kepada pemakai
akhir dari suatu produk, pada dasarnya bea masuk dibayar oleh para pemakai produk,
dibayar lebih dahulu oleh importir, yaitu saat barang akan dikeluarkan dari kawasan
pabean. Selanjutnya, importir akan menghitung bea masuk dan pajak yang dibayar
sebagai komponen harga jual barang di dalam daerah pabean. Atas pertimbangan
bahwa barang-barang yang dibongkar dan akan dimasukkan ke dalam daerah pabean
harus memenuhi kewajiban kepabeanannya kepada pengguna jasa kepabeanan, antara
lain importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha
pengurus jasa kepabeanan (PPJK), penyelenggara kawasan berikat, pengusaha
kawasan berikat, pengusaha entreport untuk tujuan pameran, pengusaha toko bebas
bea, dan importir tempat penimbunan barang.
Bea Masuk
Pengertian impor secara yuridis ialah pada saat barang memasuki daerah
pebean dan menetapkan saat barang tersebut terutang bea masuk serta merupakan
dasar yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan.
a. Perhitungan bea masuk
Keterangan:
BM: besarnya bea masuk yang harus dibayar
Harga CIF: nilai pabean harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayardengan cara
penyerahan barang yang telah dibayar semua biaya handling, asuransi, dan biaya
sarana pengangkut
NDPBM: kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara periodik atas dan
ditentukan untuk beberapa mata uang asing
Tarif: tarif yang ditetapkan sesuai dengan klasifikasi barang yang terdapat dalam
buku Tarif Bea Masuk Indonesia
b. Perhitungan pajak dalam rangka impor sebagai berikut.
Keterangan:
PPN: dipungut atas dasar bahwa setiap terjadi penyerahan barang atau jasa akan
dikenakan PPN sebesar 10%
PPh PS.22: pajak penghasilan ini dipungut atas importasi barang dari Departemen
Perdagangan
c. Perhitungan jika biaya freight tidak ada ialah sebagai berikut.
Biaya angkutan sarana pengangkut dapat diketahui dari B/L, AirWay Bill atau
Master Airway Bill atau dari daftar biaya pengangkutan asosiasi forwarder
internasional (IATA) dan asosiasi perusahaan penerbangan internasional,
tetapi biaya yang tertera dari daftar tersebut sebenarnya bukan merupakan
patokan
bagi
biaya
pengangkutan
yang
sebenarnya.
Dalam
sistem
Dalam hal di invoice diberikan catatan atau tulisan freight collect, berarti
bahwa biaya pengangkutan belum dibayar baik oleh pengirim maupun
penerima. Biaya ini akan dibayar di pelabuhan tujuan dengan bukti
pembayaran dari agen sarana pengangkut.
Asuransi dibuka di luar negeri jika incoterm (cara penyerahan barang) cost
insurance freight (CIF), tetapi jika terminology yang digunakan adalah free on
board (FOB), berarti polis asuransi belum ada atau tidak diterbitkan, sesuai
dengan peraturan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nomor 02 Tahun 2005
ditetapkan besar asuransi adalah 0,5% x bea masuk, asuransi dapat dibuka di
luar negeri atau di dalam negeri.
Contoh Kasus:
Perhitungan PPh Pasal 25
PT Abadi yang bergerak pada bidang manufaktur, pada bulan April 2013 melaporkan
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 dengan keterangan sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Neto) yang dilaporkan di Induk SPT
Tahunan PPh sebesar Rp. 500.000.000,00 dan untuk PPh yang terutang
diasumsikan tarif PPh Badan yang digunakan adalah 25%.
2. Namun Penghasilan Kena Pajak tersebut terdiri dari penghasilan neto dari
kegiatan usaha setelah ditambah dengan laba penjualan aktiva Rp.
10.000.000,00 dan laba selisih kurs Rp. 5.000.000,00.
3. Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang dilaporkan berjumlah Rp.
100.000.000,00
4. Kredit PPh Pasal 24 yang dilaporkan berjumlah Rp 10.000.000,00
Bagaimana pengelompokan jenis penghasilan yang ada untuk menghitung
besarnya PPh Pasal 25 yang harus disetorkan PT Abadi setiap bulannya di Tahun
2013?
Pembahasan:
Dalam kasus ini, PT Abadi merupakan perusahaan yang tidak bergerak di
bidang jual beli valuta asing (money changer), maka laba-rugi selisih kurs yang
terjadi termasuk penghasilan yang bersifat tidak teratur, dan begitu pula dengan laba
dari penjualan aktiva yang diperoleh. Namun, apabila dalam setiap transaksi yang
dilakukan PT Abadi menggunakan mata uang asing, maka laba rugi kurs yang terjadi
merupakan penghasilan teratur meski PT Abadi bukanmoney changer.
Maka, perhitungan PPh Pasal 25 PT Abadi adalah sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak
Rp 500.000.000,00
Laba Penjualan Aktiva(tidak teratur)
(Rp 10.000.000,00)
Laba Selisih Kurs (tidak teratur)
(Rp 5.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Teratur)
Rp 485.000.000,00
PPh Terutang (Tarif Pajak diasumsikan 25%)
Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23
Kredit PPh Pasal 24
PPh yang harus dibayar
PPh Pasal 25 setiap bulannya
Rp 121.250.000,00
(Rp 100.000.000,00)
(Rp 10.000.000,00)
Rp 11.250.000,00
Rp 937.500,00
REFERENSI
http://www.slideshare.net/puspa/tax-planning-peredaran-usaha
http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pphumum/202-menghitung-angsuran-pph-pasal-25
http://ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=10&q=&hlm=
http://tanyapajak1.wordpress.com/2013/11/26/pajak-penghasilan-final-atau-tidakfinal-pph/
http://www.nusahati.com/2013/10/sekilas-tentang-laba-atau-rugi-selisih-kurs/
http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/pajak-penghasilan-atas-selisihkurs.html
http://masalahpajak.blogspot.com/2007/08/perlakuan-atas-selisih-kurs.html
http://www.himappi.com/2013/11/rekonsiliasi-ppn.html
http://ar4pajak.blogspot.com/2012/01/benchmarking-ala-direktorat-jenderal.html
http://catatankecik.blogspot.com/2012/05/barang-ekspor-yang-dikenakan-beakeluar.html
http://keuanganlsm.com/menghitung-bea-masuk-pajak-dalam-rangka-impor-danpungutan-eksporbea-keluar/#sthash.VdUGJ0k