Anda di halaman 1dari 10

PELATIHAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH

UNIVERSITAS MUHAMMADYAH PURWOKERTO


PURWOKERTO, 2426 OKTOBER 2002

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA


DALAM ARTIKEL JURNAL
OLEH
RAHAYU SURTIATI HIDAYAT

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM ARTIKEL JURNAL


Rahayu Surtiati Hidayat1

Bahasa Indonesia adalah hasil pemikiran gemilang para cendekiawan Indonesia 74 tahun yang
silam. Seandainya pada saat itu mereka tidak memutuskan untuk menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa persatuan yang dinamakan bahasa Indonesia, mungkin kita masih menggunakan
bahasa Belanda. Dengan kecepatan luar biasa bahasa Indonesia berkembangbandingkan dengan
bahasa Prancis yang memerlukan lebih dari tiga abad untuk memperoleh bentuk yang bakuuntuk
memenuhi berbagai fungsinya, termasuk menjadi bahasa ilmiah. Pertemuan pada hari ini sungguh
membahagiakan karena kita turut memeriahkan bulan bahasa dalam rangka memperingati Soempah
Pemoeda. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menawarkan tujuh pokok dalam membahas
segi kebahasaan dalam penyusunan artikel untuk jurnal ilmiah: "bahasa" artikel jurnal, bentuk
karangan, ragangan, paragraf yang padu, kalimat yang efektif, diksi dan peristilahan, ejaan dan
tanda baca.
"Bahasa" artikel jurnal
Artikel jurnal termasuk tulisan ilmiah atau tulisan akademik. Meskipun menggunakan bahasa
Indonesia, artikel jurnal memiliki kekhasan dibandingkan penggunaan bahasa Indonesia dalam
setting yang lain. Kekhasan itu dapat dilihat dari sudut pandang fungsi bahasa, ragam dan laras
bahasa.
Dari sudut pandang fungsi bahasa, artikel jurnal menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi2
atau berfungsi informatif. Artinya, penulisnya menggunakan bahasa dengan tujuan tertentu: untuk
menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh publik pembacanya. Ia ingin mempengaruhi orang
lain agar ia itu yakin akan pandangannya, atau lebih jauh lagi agar ia mau "membeli" hasil
pemikirannya. Oleh karena itu, penulis artikel jurnal selalu mempertimbangkan pendidikan,
kepakaran, dan sudut pandang pembacanya. Dengan demikian, selain memperhatikan jatah ruang
yang diberikan kepadanya, ia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam setting akademik:
(1) tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna, (2) secara tepat
1

Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Ratron: surti@uninet.net.id


Tiga fungsi bahasa yang lain adalah sebagai alat ekspresi diri, alat integrasi dan adaptasi, dan sebagai alat kendali
masyarakat.
2

mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan agar tidak menimbulkan
kerancuan, dan (3) singkat dan padat, berlandaskan ekonomi bahasa. Untuk memenuhi ketiga
kriteria bahasa ilmiah itu, penulis artikel jurnal akan memperhatikan ragam dan laras bahasanya.
Dari segi ragam, artikel jurnal menggunakan ragam tulis yang jelas berbeda dari ragam lisan.
Mengenai ragam ini, kita dapat membedakan media tulis yang dibedakan dari media lisan. Jika
pesan disampaikan melalui media tulis, penerima pesan tidak melihat pengirimnya, pembaca artikel
jurnal tidak melihat penulisnya. Ia hanya berhadapan dengan tulisan, ia hanya dapat memahami
pesan penulis dengan bantuan teks dan pengetahuannnya sendiri. Oleh karena itu, penulis artikel
jurnal harus mempertimbangkan situasi itu dan menggunakan bahasa yang lugas. Selain media,
bahasa Indonesia ragam tulis juga memiliki ciri khas: kalimat yang efektif, pilihan kata dan istilah
yang tepat, ejaan dan tanda baca yang baku.
Masih dari segi ragam, artikel jurnal menggunakan ragam standar3 yang menekankan situasi
pemakaian. Kita dapat membedakan ragam standar dari yang lain berdasarkan pokok yang sedang
dibahas, hubungan antara penulis dan pembaca, medium yang digunakan, posisi jurnal dalam
lingkungan akademik.
Terakhir, laras bahasa melihat kesesuaian antara bahasa dan penggunaannya. Maka, penulis
artikel jurnal menggunakan laras ilmiah bidang ilmu tertentu yang tidak sama dengan laras ilmiah
populer, laras iklan, laras komik, dan sebagainya.
Bentuk karangan
Penulis boleh memilih bentuk karangan tertentu untuk menyampaikan gagasannya. Seorang
sastrawan akan memilih narasi dan deskripsi, sedangkan pembuat produk akan menggunakan
eksposisi dan deskripsi. Bagaimana dengan penulis artikel jurnal? Seharuanya ia memilih bentuk
karangan yang disebut argumentasi (bahasan) di samping eksposisi (paparan). Makalah saya ini
berbentuk paparan, namun ketika saya membahas hasil penelitian saya mengenai kesantunan dalam
tulisan akademik untuk dimuat di jurnal ilmiah, saya akan menggunakan argumentasi untuk
meyakinkan pembaca bahwa temuan saya masuk akal dan penting.

Media massa menggunakan ragam semi standar, percakapan tidak resmi menggunakan ragam nonstandar.
3

Ragangan
Ragangan atau kerangka karangan merupakan ciri khas ragam ilmiah, termasuk artikel jurnal.
Tanpa ragangan yang ketat, artikel berisiko tidak membahas apa pun, atau paling tidak bahasannya
tidak jelas. Ragangan juga memudahkan penulis artikel karena ia mempunyai "cetak biru"
tulisannya: ia dapat memeriksa kembali kesatuan dan kepaduan gagasannya, ia dapat menambah
atau mengurangi isinya, menyeimbangkan ketebalan bagian-bagian artikel, Apalagi, jika jurnal
yang dituju telah menetapkan format artikel4, penulis memperoleh sebagian ragangan dan tinggal
menyusun ragangan halus.
Menyusun ragangan adalah memilah pokok bahasan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil
seperti ini.

TOPIK
Bahasan 1
-

subbahasan a (kalimat topik)

subbahasan b (kalimat topik)

subbahasan c (kalimat topik)


-dst.
Bahasan 2

subbahasan a (kalimat topik)

subbahasan b (kalimat topik)

subbahasan c (kalimat topik)


-dst.
Bahasan 3 dst

Ketika menganggap bahwa ragangannya memuaskan, penulis artikel jurnal dapat memikirkan isi
pendahuluan dan isi penutupnya. Setelah itu, ia mulai mengisi ragangannya dengan tulisan. Maka,
ia merumuskan gagasannya dalam kalimat uraian yang mengembangkan kalimat topik sehingga
membentuk berbagai paragraf.

Misalnya latar belakang, masalah penelitian, metode penelitian, hasil penelitian, simpulan penelitian.
4

Paragraf yang padu


Paragraf yang padu bercirikan kesatuan gagasan dan kepaduan uraian. Kesatuan gagasan
tercermin dalam kalimat topik yang lazimnya diletakkan di awal paragraf 5, sedangkan kepaduan
tampak dalam hubungan di antara kalimat uraian. Oleh karena itu, sebuah paragraf harus paling
sedikit dibentuk dari dua kalimat. Jika menulis dalam bahasa Indonesia, ada semacam ketentuan
untuk menulis paragraf yang berisi tidak lebih dari 150 kata, atau enam kalimat.
Paragraf ada bermacam jenisnya. Dari sudut pandang logika, dapat dibedakan paragraf induktif
dan paragraf deduktif. Pada paragraf induktif, kalimat topiknya merupakan hal khusus dan kalimat
penutupnya merupakan simpulan induktif. Sebaliknya, paragraf deduktif diawali dengan simpulan
deduktif yang diikuti dengan penjelasan sehingga membentuk argumen. Dari sudut pandang pola
susunan, paragraf dibedakan berdasarkan logika uraian: susunan sebab-akibat, susunan waktu,
susunan ruang, susunan ibarat, dsb.
Penting juga diperhatikan kata dan ungkapan penyambung kalimat-kalimat yang membentuk
paragraf. Tanpa perangkat itu, kepaduan paragraf menjadi longgar dan pembaca akan tersesat dalam
memahami uraian penulis. Paling tidak ada empat belas hubungan logis yang ditandai oleh
konjungsi tertentu.
1. Hubungan akibat menyatakan akibat. Hubungan ini dimarkahi dengan: akibatnya, walhasil,
alhasil, karena itu, oleh karena itu, oleh sebab itu, maka dari itu, sebagai akibatnya.
Contoh: Penjahat itu terkena peluru ketika mencoba melarikan diri. Akibatnya, darah
menyembur dari dadanya.
2. Hubungan konsekuensi. Hubungan yang menyatakan konsekuensi ini ditandai kata sambung
dengan demikian, maka.
Contoh: Penjahat itu terkena peluru ketika mencoba melarikan diri. Maka, polisi harus
menggotongnya ke pinggir jalan.
3. Hubungan sebab yang ditandai dengan kata sambung alasannya, sebabnya.
4. Hubungan tujuan yang ditandai dengan kata sambung untuk itu, untuk keperluan itu, untuk
tujuan itu.
5. Hubungan perlawanan/konsesif yang ditandai dengan kata sambung meskipun
demikian/begitu, walaupun demikian/begitu, kendati demikian/begitu, bagaimanapun, akan
tetapi dan namun. Perhatikan: Jangan gunakan namun demikian karena ungkapan ini tidak ada
artinya (bandingkan dengan tetapi demikian).
6. Hubungan pertentangan/kebalikan yang ditandai dengan kata sambung sebaliknya,
sementara itu.
7. Hubungan waktu dapat dibedakan atas:
5

Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa kalimat topik dapat diletakkan di awal, di tengah, atau di akhir
paragraf, namun ada semacam konvensi bahwa dalam tulisan ilmiah, kalimat topik diletakkan di awal paragraf untuk
memudahkan pembacaan.
5

hubungan keserempakan yang ditandai dengan kata sambung sementara itu, dalam pada
itu, pada saat itu, pada saat uang bersamaan, ketika itu.
- Hubungan anterioritas yang ditandai dengan kata sambung sebelumnya, sebelum itu.
- Hubungan posterioritas yang ditandai dengan kata sambung sesudahnya, sesudah itu,
setelah itu, kemudian.
8. Hubungan syarat yang ditandai dengan kata sambung jika demikian halnya, kalau begitu.
9. Hubungan urutan yang ditandai dengan kata sambung selanjutnya, demikian pula, Pertama,
Kedua, Ketiga, Terakhir, atau Pertama-tama, Kemudian, Akhirnya, .
10. Hubungan penambahan yang ditunjukkan dengan kata sambung selain itu, tambahan lagi,
lagi pula, di samping itu.
11. Hubungan keinklusifan dan keeksklusifan yang dinyatakan dengan kata sambung kecuali itu,
tanpa itu, Di satu pihak,; di pihak lain, ,
12. Hubungan penegasan yang ditandai oleh kata sambung malahan, bahkan, memang, apalagi,
terlebih lagi, dengan kata lain, singkatnya, singkat kata.
13. Hubungan penyimpulan yang ditandai oleh kata sambung jadi, kesimpulannya, demikianlah
maka.
14. Hubungan pembenaran yang dinyatakan dengan kata sambung sesungguhnya, bahwasanya,
sebenarnya.
Untuk memeriksa kepaduan paragraf, penulis artikel jurnal dapat mengurai paragraf dalam
bentuk diagram pohon (atau organigram?). Jika setiap kalimat terletak pada tingkat hierarki yang
jelas, paragraf dapat dipastikan padu. Paragraf yang bagus dibentuk dari beberapa kalimat uraian
yang memerinci kalimat topik. Namun, jangan lupa bahwa kalimat-kalimat yang membentuk
paragraf harus efektif atau bernas.
Kalimat yang efektif
Kalimat yang efektif dapat secara tepat mewakili gagasan atau perasaan penulis dan sanggup
menimbulkan gagasan yang sama tepatnya dalam pikiran pembaca. Oleh karena itu, dan serupa
dengan paragraf padu, kalimat yang efektif harus memiliki kesatuan dan kepaduan gagasan. Dalam
paragraf kesatuan gagasan dijamin oleh kalmiat topik, sedangkan dalam kalimat kesatuan itu
tampak pada subjeknya. Kepaduan kalimat tercermin dari hubungan di antara subjek dan predikat.
Kedua fungsi itu menandai sebuah kalimat lengkap, namun dalam menguraikan gagasannya,
penulis artikel jurnal dapat menambahkan berbagai kelengkapan dalam kalimatnya: objek,
pelengkap, dan keterangan.
Selain kesatuan dan kepaduan gagasan, efektivitas kalimat harus memenuhi syarat lain, yaitu
penalaran, kehematan atau ekonomi bahasa, penekanan yang baik, paralelisme, dan variasi. Dalam
kesempatan ini saya menekankan segi penalaran yang berkaitan erat dengan kepaduan. Untuk

menyusun kalimat yang bernalar, khususnya kalimat majemuk, setidaknya ada tiga hubungan logis
yang dapat dipilih..
1. Hubungan koordinatif adalah hubungan setara di antara bagian-bagian kalimat (proposisi).
Contoh: Museum itu kecil, tetapi memiliki koleksi yang sangat berharga.
2. Hubungan korelatif adalah hubungan saling kait di antara bagian-bagian kalimat. Contoh: Istana
itu tidak hanya menarik, tetapi juga merupakan warisan sejarah.
3. Hubungan subordinatif adalah hubungan kebergantungan di antara induk kalimat dan anak
kalimat. Contoh: Pertunjukan harus tetap berlangsung meskipun hanya sedikit penontonnya.
Hubungan koordinatif ditandai oleh kata sambung yang menunjuk hubungan logis tertentu:
- Hubungan penambahan: dan
- Hubungan pendampingan: serta
- Hubungan pemilihan: atau
- Hubungan perlawanan: tetapi, melainkan
- Hubungan pertentangan: padahal, sedangkan
Hubungan korelatif ditandai oleh kata sambung yang menunjuk hubungan logis tertentu:
- Hubungan penambahan: baik maupun; tidak hanya, tetapi juga; bukan hanya,
melainkan juga
- Hubungan perlawanan: tidak, tetapi; bukan melainkan
- Hubungan pemilihan: apakah atau; entah entah
- Hubungan akibat: demikian sehingga; sedemikian rupa sehingga
- Hubungan penegasan: jangankan, pun
Hubungan subordinatif ada tiga belas macam yang masing-masing ditandai oleh kata sambung
yang berbeda:
1. hubungan waktu:
a. awal: sejak, semenjak, sedari.
b. serempak: sewaktu, ketika, tatkala, sementara, begitu, seraya, selagi, selama, senyampang,
sambil, demi.
c. posterioritas: setelah, sesudah, sehabis, selesai, seusai.
d. anterioritas: sebelum.
e. akhir: hingga, sampai.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hubungan syarat: kalau, jikalau (lisan), jika, asal(kan), bila, manakala, dengan syarat.
Hubungan pengandaian: andaikata, seandainya, umpamanya, sekiranya.
Hubungan tujuan: untuk, supaya, agar, biar (lisan)
Hubungan perlawanan atau konsesif: biarpun, meski(pun), walau(pun), sekalipun,
sungguhpun, kendati(pun).
Hubungan pembandingan: seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti, sebagai, laksana,
ibarat, daripada, alih-alih.
Hubungan sebab: sebab, karena, oleh karena, oleh sebab.
Hubungan hasil atau akibat: sehingga, sampai(-sampai), maka(nya).
Hubungan alat: dengan, tanpa.
7

10. Hubungan cara: dengan, tanpa.


11. Hubungan pelengkap: bahwa, agar, untuk, apakah (dan kata tanya lain).
12. Hubungan keterangan: yang.
13. Hubungan perbandingan: sama dengan, lebih daripada, berbeda dari.
Jadi, kata sambung intrakalimat, yang menghubungkan bagian-bagian (klausa) kalimat, tidak sama
dengan kata sambung antarkalimat yang menghubungkan kalimat-kalimat di dalam paragraf atau
bahkan menghubungkan paragraf yang satu dengan yang lain.
Cara memeriksa kepaduan kalimat tidak berbeda dari penanganan paragraf. Kalimat pun dapat
diperiksa hierarki bagian-bagiannya dengan cara membuat diagram pohon. Selain itu, cermati juga
panjang kalimat karena dalam bahasa Indonesia kalimat yang mudah dipahami panjangnya tidak
lebih dari 25 kata. Jika kalimat berisi lebih dari 25 kata, sebaiknya penulis artikel jurnal
mempertimbangkan kemungkinan untuk memilahnya menjadi dua kalimat atau lebih. Terakhir,
selain jumlah kata, makna kata juga penting dipertimbangkan dalam tulisan ilmiah sehingga penulis
dapat memilih kata yang tepat.
Diksi dan peristilahan
Bicara diksi, bicara pilihan kata dan istilah dalam menulis artikel jurnal. Untuk menjamin
ketunggalan makna, penulis perlu menggunakan istilah yang sesuai dengan bidang ilmunya dan
yang lazim. Selain itu, cara menalar setiap bidang ilmu juga berbeda.
Mengenai pilihan kata (diksi), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kecocokan antara
kata-kata yang digunakan dengan kesempatan dan keadaan pembaca. Kedua, aspek sosial kata.
Dalam hal ini, penulis artikel jurnal harus banyak membaca tulisan dalam bidangnya untuk
membiasakan diri dengan jargon bidang yang bersnagkutan. Dan ketiga, kecocokan di antara katakata yang digunakan (kolokasi).
Mengenai peristilahan, dua hal perlu diperhatikan: tata istilah atau perangkat peraturan
pembentukan istilah dan kumpulan istilah yang dihasilkannya. Selain itu tata nama, yaitu perangkat
peraturan penamaan beberapa cabang ilmu beserta kumpulan nama yang dihasilkannya. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi kedua, ada bab khusus mengenai pedoman
penyusunan istilah. Selain itu, penulis artikel jurnal perlu menggunakan kamus istilah yang sesuai
dengan bidangnya untuk mengecek makna dan penggunaan istilah yang dipilihnya, serta ejaannya.

Ejaan dan tanda baca


Saya tidak akan berbicara banyak mengenai ejaan dan tanda baca karena telah tersedia acuan
mengenai keduanya (lihat KBBI edisi kedua, atau Pedoman Ejaan yang Disempurnakan, atau Sakri
1997). Penulis artikel jurnaldan penyunting jurnal tentu sajaperlu memperhatikan hal ini: tidak
terbawa arus salah kaprah walaupun setiap hari diterpa ejaan yang salah dalam media massa. Coba
cek dalam kamus ejaan kata-kata berikut ini: nasehat, hakekat, praktek, negoisasi, intruksi, milyar,
hektar, sistim, apotik. Selain itu, selalu mengecek ejaan kata dan istilah serapan dari bahasa asing.
Mengenai tanda baca, acuan juga ada dan jelas. Perlu dicatat bahwa tanda baca dapat disamakan
dengan rambu lalu lintas. Tanda baca memandu pembaca ketika mengarungi hutan huruf, kata, dan
kalimat. Berkat tanda baca, pembaca juga "mendengar intonasi" penulis.
Penutup
Saya akan menutup paparan hari ini dengan menjelaskan kiat yang selama ini saya gunakan
baik dalam menulis artikel jurnal maupun karya ilmiah lain. Pertama, sediakan waktu untuk
merenung dan mengumpulkan gagasan. Kedua, biasakan membuat ragangan. Ketiga, biasakan
menulis dengan cepat dan benar. Keempat, baca kembali dan kritik tulisan sendiri setelah
ditinggalkan beberapa hari. Kelima, sunting tulisan sehingga benar-benar padu. Keenam, revisi
tulisan dengan cermat. Dan ketujuh, koreksi kesalahan ejaan dan tanda baca dengan bantuan kamus.
Daftar Pustaka
Alwi, H., S. Dardjowidjojo, H. Lopoliwa. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. (ed. ke-3).
Jakarta: Balai Pustaka.
Booth, W. C., G. G. Colomb, J. M. Williams.1995. The Craft of Research. Chicago & London: The
University of Chicago Press.
Hayon, Y.P. 2000. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta: ISTN.
Keraf, G. 1984. Komposisi. (cet. Ke-7). Ende: Nusa Indah.
Sakri, A. 1997. Ejaan Bahasa Indonesia. (cet. ke-3). Bandung: Penerbit ITB.
Sabarti, A., Arsjad, M.G., Ridwan, S.H. 1999 (Cet. ke-12). Pembinaan Kemampuan Menulis
Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(ed. ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

10

Anda mungkin juga menyukai