Anda di halaman 1dari 80

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah manusia, keluarga merupakan pusat, bahkan
ada yang menganggap sebagai satu-satunya lembaga yang menjaga
manusia dari kepunahan. Keluarga melakukan berbagai aktifitas dan
pemenuhan

kebutuhan mendasar manusia, antara lain : proses

produksi, konsumsi, reproduksi, pengasuhan, hubungan sosial, agama,


kesenangan, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah unit kolektif,
keluarga merupakan tempat anggotanya berinteraksi, saling membantu,
mengasuh, membesarkan, dan berbagi untuk kepentingan bertahan
hidup dan berkembang. Keluarga membentuk identitas, misalnya
identitas gender, etnis, pekerjaan, pembagian kerja, ras, agama,
kewarganegaraan, dan orientasi seksual. Juga dalam keluargalah
umumnya berbagai identitas tersebut didefinisikan batasannya; mana
identitas yang boleh dan tidak boleh dimiliki.
Keluarga idealnya merupakan tempat dimana orang bisa diterima
apa

adanya,

saling

berhubungan,

mendapatkan

kenyamanan,

keamanan, memberikan harapan, dan mendapatkan peran-peran demi


kelangsungan institusi tersebut. Berbagai media dari mulai koran,
majalah, televisi dan film memberikan gambaran tentang bentuk
1

keluarga yang diinginkan, membentuk apa yang dianggap normal dan


tidak normal dalam sebuah keluarga. Citra ini bukan hanya dimiliki oleh
keluarga namun juga politisi, aktivis organisasi bisnis dan agama yang
memberikan layanan yang dianggap mendorong kelurga yang normal.
Namun keluarga juga tempat terjadinya banyak kesalahpahaman,
kesalahan persepsi, konflik kepentingan, pengalaman penindasan,
pelecehan, agresi dan kekerasan, serta penyiksaan. Dalam keluarga
manusia mengalami berbagai hal seperti tragedi dan penyelesaiannya,
resolusi yang menyenangkan mau pun ketidakadilan, cerita yang
menyakitkan, kegilaan, kerusakan, kekasaran, dan kematian.
Perubahan telah banyak terjadi dalam lima puluh tahun terkhir ini
yang mempengaruhi pandangan kita terhadap keluarga. Dengan
semakin aktifnya wanita di ranah publik, mendorong pria untuk bisa
lebih terlibat dalam tugas-tugas domestik, seperti tugas dalam
pengasuhan anak. Demikian pula, hubungan orang tua dengan anak
yang telah banyak berubah. Sekarang ini, orang tua diharapkan untuk
dapat lebih mengerti dan memahami anak tidak hanya memaksakan
kehendaknya sendiri sebagai orang tua. Hal ini tidak selalu berjalan
mulus, terutama bila hal ini dianggap tidak sesuai dengan norma umum
tempat keluarga itu sendiri berada. Konflik dapat terjadi baik dari dalam
keluarga sendiri maupun akibat tekanan eksternal (Fitri, 2013).

Salah satunya adalah perceraian yang terkadang dipandang


sebagai jalan keluar terbaik bagi permasalahan rumah tangga. Namun
demikian, kelanggengan perkawinan dalam keluarga yang bahagia dan
sejahtera tetap diharapkan sebagai bentuk kehidupan yang akan
dijalani oleh para penerus dari individu itu sendiri. Segala apa yang
terjadi dalam kehidupan keluarga setiap individu akan tersimpan dalam
memori dan teraktualkan ke dalam perilaku kesehariannya. Kehancuran
keluarga akan berdampak gangguan kepribadian dan gangguan secara
mental pada generasi berikutnya (Gottman & Silver, 2001)
Angka perceraian di Indonesia yang tercatat sah secara hukum
dari data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
ada 200.000 kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya dan
merupakan angka tertinggi se-Asia Pasifik. (Akbar, Perceraian Marak di
Negeri yang Pro Keluarga, Sindoweekly, http://www.sindoweeklymagz.com/artikel/16/i/21-27-juni-2012/highlight/31/perceraian-marak-dinegeri-prokeluarga.html Diakses tanggal 12 Februari 2015). Pada tahun
2009, Kementerian Agama RI mengungkapkan bahwa terdapat
2.162.268 pasangan yang menikah, sedangkan pasangan yang
bercerai sebanyak 10% (216.286). Pada tahun 2010, tercatat sebanyak
2.207.364 pasangan yang menikah, 12,9% dari angka tersebut
mengalami perceraian (285.184). Pada tahun 2011 pasangan yang

menikah sebanyak 2.319.821 dan yang bercerai menjadi 11,2%


(258.119). Pada tahun 2012 terdapat 2.291.265 pasangan yang
menikah, dan bercerai sebesar 16,3% (372.577). Pada tahun 2013
tercatat sebanyak 2.218.130 pasangan yang menikah, dan 14,6%
(324.527)

diantaranya

bercerai.

Angka-angka

tersebut

dapat

menghantarkan kita pada satu fenomena yang pasti bahwa rentannya


keluarga Indonesia terhadap ketidakharmonisan. Data tersebut juga
menunjukkan

bahwa

setiap

tahunnya

angka

perceraian

selalu

meningkat diatas 10%. Perselingkuhan disinyalir sebagai penyebab


utama perceraian di Indonesia, disusul dengan masalah lepasnya
tanggung jawab, dan ekonomi. Masih banyak penyebab perceraian di
belahan Indoneia yang lain, antara lain lemahnya dasar agama,
keikutsertaan pihak ketiga, perbedaan budaya, masalah seksual, dan
komunikasi yang buruk. Peristiwa perceraian tidak hanya menimbulkan
berbagai akibat terhadap pasangan yang bercerai, tetapi juga terhadap
anak khususnya remaja. Menurut hasil penelitian Heterington, peristiwa
perceraian akan menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa
cemas, perasaan yang tidak menentu, murung, lebih banyak melamun,
tertekan dan sering marah-marah. Sejak saat ini peran orangtua tidak
berperan efektif tidak lagi memperlihatkan tanggung jawab penuh
dalam mengasuh (dalam Dagun, 2002).

Anak merupakan korban yang paling berduka ketika orang tuanya


memutuskan untuk bercerai. Anak dapat merasa ketakutan karena
kehilangan sosok ayah atau ibu mereka, takut kehilangan kasih sayang
orang tua yang kini tidak tinggal serumah. Mungkin juga mereka
merasa bersalah dan menganggap diri mereka sebagai penyebabnya.
Prestasi anak disekolah akan menurun atau mereka jadi lebih sering
untuk menyendiri. Anak dapat merasa malu dan dipermalukan berkaitan
dengan situasi keluarga. Perasaan yang dialami anak akibat perceraian
saat usia remaja, yaitu :
1. Reaksi

panik,

merasa

menyimpang,

kehilangan

orang

tua,

perhatian, uang dan masa depan yang aman.


2. Keinginan kuat untuk mendamaikan orang tua, namun akan menjadi
masalah besar ketika mereka mencoba untuk mengutarakannya.
3. Merasa bersalah.
4. Merasa sedih, depresi, takut, dan tidak aman.
5. Merasa diabaikan dan ditolak.
6. Takut menghadapi masa depan.
7. Kesulitan dalam mengekspresikan marah pada orang tua.
8. Penurunan prestasi di sekolah.
9. Sering menangis, hilang nafsu makan, gangguan tidur.
10. Gangguan rutinitas dan pelupa
Perasaan seperti itu dapat membuat remaja melihat dirinya
sebagai orang yang berbeda, rendah diri, atau tidak memiliki cinta yang
berharga, terutama jika ia merasa bertanggung jawab terhadap
perpisahan yang terjadi pada keluarganya. Remaja dari orang tua yang
bercerai cenderung dinilai kurang baik secara sosial, maupun

edukasional, dibandingkan remaja dari orang tua yang utuh. Kondisi ini
menimbulkan asumsi bahwa siswa yang memiliki orang tua yang
bercerai secara psikis kurang baik karena siswa kurang mendapat
perhatian kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya dan
mengakibatkan prestasi akademik yang buruk.
Bagi remaja mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang
sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa
akan ada perceraian dalam keluarganya. Keadaan psikologi mereka
akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga.
Mereka

akan

sangat

terpukul,

kehilangan

harapan,

cenderung

menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya.


Masa remaja dimulai pada saat anak secara seksual menjadi
matang dan berakhir pada saat ia mencapai usia matang secara fisik
dan psikis. Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian yaitu
masa remaja awal dan masa remaja akhir (Hurlock, 1980). Selain itu
masa remaja sendiri merupakan periode perkembangan antara masa
kanakkanak dan dewasa. Hal ini ditandai dengan pubertas dan
timbulnya perubahan fisik, psikis dan sosial yang dialami oleh remaja,
sehingga dapat dimaklumi jika pada remaja timbul tindakantindakan
yang kurang pas seperti: ingin berbeda dengan tindakan orang tua,
mulai menyukai lawan jenis, merasa dirinya lebih dari yang lain. Adanya

kondisi seperti ini dapat membawa remaja pada keadaan emosi yang
tidak stabil karena belum tercapainya kematangan kepribadian dan
pemahaman nilai sosial remaja sebagai manusia yang sedang
berkembang menuju tahap dewasa yang mengalami perubahan dan
pertumbuhan yang pesat. Perkembangan pada masa remaja pada
dasarnya meliputi aspek fisiologi, aspek psikologis dan aspek sosial
(Walgito, 1988).
Dampak perceraian terhadap perkembangan seorang anak,
khususnya remaja awal adalah ketika orang tua mereka bercerai, orang
tua akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak
mereka. Hal tersebut dikarenakan pihak orang tua biasanya akan
didahului dengan proses berpikir dan pertimbangan yang panjang,
sehingga terdapat persiapan mental dan fisik dari mereka.
Tidak demikian halnya dengan anak yang sudah beranjak remaja,
mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh
orang tua, tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah
secara tiba-tiba. Keputusan yang terkadang datang secara tiba-tiba ini,
akan membuat tekanan tersendiri pada diri anak, tak jarang mereka
memendam apa yang ingin meraka katakan dan rasakan, sehingga
keadaan rumah menjadi berubah. Komunikasi yang dibalut dengan
rasa

takut,

kecemasan,

namun

ada

keinginan

kuat

untuk

menyampaikan pendapat. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin


hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Kadangkala, perceraian
adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani
kehidupan sesuai yang mereka inginkan, namun perceraian selalu
menimbulkan akibat buruk pada anak anak mereka, meskipun dalam
kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak
tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.
Biasanya

dilihat

saja

perkembangan

anak

akibat

perceraian

orangtuanya yaitu anak akan lebih menderita dan akan menimbulkan


trauma, sehingga anak juga akan bingung untuk memihak ayah atau
ibunya. Setelah perceraian beberapa hal akan membawa pengaruh
langsung bagi anakanak mereka, terlihat pula dalam menyesuaikan
diri dengan situasi baru ini yang diperlihatkan dengan cara dan
penyelesaian yang berbeda. Peranan lingkungan keluarga sangat
penting bagi seorang anak yang menginjak remaja, terlebih lagi pada
tahuntahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya
bercerai.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal, peneliti
mendapatkan beberapa informasi bahwa siswa-siswi kelas X dari orang
tua yang bercerai di SMKN 26 Jakarta cenderung mengalami
penurunan asertifitas. Setelah guru BK mengadakan survei pada siswasiswi kelas X dari orang tua yang bercerai, telah ditemukan bahwa

mereka lebih murung dan sulit untuk mengkomunikasikan apa yang


mereka rasakan, pikirkan, dan sebagian ada emosi yang terpendam
atau bahkan mereka suka menangis disaat yang tak terduga. Hal
tersebut juga dipicu dengan bentuk kekerasan, atau didikan dari orang
tua yang teralu otoriter terhadap anak, sehingga mereka merasa takut
jika ingin menyampaikan sesuatu. Terlebih saat puncak masalah terjadi,
orang tua betengkar di depan anak, tentu menjadi polemik tersendiri
untuk anak ingin menengahi, menyampaikan hal yang ia anggap benar
bagi keluarga dan masalah orang tuanya saat itu namun ada batasanbatasan yang dianggap berlebihan oleh orang tua saat emosi, sehingga
kebutuhan dan tujuan dari anak tidak terpenuhi dan ia akan mengalami
tekanan. Remaja-remaja ini berpikir akan lebih baik jika tidak
mengatakan daripada akan mendapatkan amarah, atau perlakukan
yang tidak diinginkan dari orang tuanya. Selain itu dampak dari
perceraian orang tua ini salah satunya adalah penurunan konsentrasi
belajar anak di sekolah, terlalu mudah sakit, tidak percaya diri, bahkan
sebagian kecilnya mengalami depresi. Para siswa kelas X ini mengakui
bahwa ada rasa takut terhadap sesuatu yang kini belum pasti,
dikarenakan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dimana apa yang
ingin mereka tunjukkan, katakan, pikirkan semuanya terpendam. Ada
juga beberapa bukti lain mengatakan bahwa mereka sangat tertekan.
DCM adalah salah satu buktinya, beberapa siswa mengatakan bahwa

10

orang tua mereka telah bercerai, dan akibat dari proses perceraian
tersebut hingga keadaan yang berubah sekarang ini menimbulkan
kecemasan-kecemasan dan tekanan. Saat ini mereka sulit untuk bisa
berperilaku asertif. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat
menyatakan bahwa begitu besar dampak yang diterima anak akibat
percerain orang tua. Setidaknya kurang lebih dari 150.000 kasus
perceraian yang diterima oleh pihak KPAI terdapat 130.000 diantaranya
memberikan dampak pada sang anak dengan menurunnya tingkat
asertifitas. Hal ini terlihat ketika anak dihadapkan pada sidang
perceraian yang dilakukan pada orang tuanya, dan penulusuran
dilanjutkan dengan diadakannya mediasi kepada para anak-anak
korban perceraian.
Ketika seorang anak dalam hal ini adalah remaja, maka ia
membutuhkan pandangan keluarga untuk mengkontrol aktifitasnya, halhal yang ia anggap benar, yang ingin ia ketahui, atau ia sampaikan.
Remaja sebagi periode yang penting, peralihan, perubahan, yang
paling sering bermasalah, mencari identitas, menimbulkan ketakutan,
tidak realistik, diambang masa kedewasaan, bayangkan di masa seperti
ini mereka harus mengalami kesedihan atas perpisahan orang tua.
Meskipun remaja terlihat pasif, namun dalam dirinya mereka banyak
mengalami kekacauan. Stanley Hall, dalam buku karangan John W.

11

Santrock (2003) dengan konsep strom and stress menjelaskan bahwa


remaja sebagai masa goncangan dan ditandai dengan konflik dan
perubahan.

Banyak hal yang mempengaruhi perubahan dari fase

perkembangan remaja, dimana saat ini segalanya dapat mereka


temukan, pelajari lewat internet, televisi ; film, berita, atau bahkan
bentuk mainan yang beragam, makanan juga misalnya dengan bentuk,
rasa dan cara penyajian yang berkembang membuat kualitasnya
semakin menurun. Nutrisi yang terkandung didalamnya juga semakin
berkurang. Hal tersebut tidak terpikirkan atau belum ada ketika orang
tua

mereka

masih

menjalani

peran

remaja,

sehingga

tugas

perkembangan, makna, dan keberfungsian, dan perkembangan mental


remaja

ikut

berubah.

Perkembangan

biologis

pada

remaja

memungkinkan terjadinya tingkah laku yang lebih komplex, misalnya


remaja saat ini sudah banyak diantara mereka berpacaran. Semuanya
seakan berkembang lebih cepat. Hall juga menyetujui bahwa semua
perkembangan dikendalikan oleh faktor fisiologis, ditentukan secara
genetik, dan lingkungan berperan sedikit pada masa bayi dan anakanak, namun ketika individu memasuki masa remaja

lingkungan

berperan besar, sehingga Hall percaya hereditas berinteraksi dengan


pengaruh

lingkungan,

terutama

keluarga

untuk

menentukan

perkembangan remaja. Pertengkarang yang terjadi menimbulkan


tekanan-tekanan

yang

berujung

pada

ketakutakan,

kecemasan,

12

kegamangan, sehingga cenderung anak akan menjadi pendiam, atau


tidak asertif. Hilangnya kontrol dari salah orang tuanya (ketika anak
tinggal dengan salah satu orang tua) maka akan menghilang pula
otoritas dari salah satunya, juga dapat kehilangin figur. Jika anak tidak
asertif maka yang terjadi adalah ketidak jelasan dari jati diri,
kegamangan akan penentuan hidup, tidak memilik pendirian, atau
dalam lingkungan sekolah dan lingkungan kerja dikemudian hari,
kemugkinan yang bisa terjadi ada beberapa hal. Pertama, ia akan
banyak memiliki teman, namun tidak mampu menyampaikan apa yang
ia anggap benar, apa yang iangin ia rasakan, dan apa yang ingin ia
lakukan. Ia akan mudah dipengaruhi, dirundung rasa cemas serta
ketakutan sepanjang waktu. Kedua, ia tidak memiliki teman, karena
mungkin ia akan dipandang bahwa ia terlalu mudah untuk dipengaruhi,
sehingga terlihat bodoh.
Penting bagi guru BK dan khususnya peneliti untuk dapat
membantu remaja-remaja tersebut dalam bentuk layanan profesional.
Dengan pendekatan behavioral yang di aplikasikan pada assertive
training dan dilakukan dengan role playing, peneliti merujuk pada
pendapat Corey, bahwa menurut Corey (2010) pendekatan behavioral
yang dengan cepat mencapai popularitas adalah assertive training yang
bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana

13

individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa


menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak dan
benar. Sehingga peneliti merasa bukan hanya sebagai penanggung
jawab profesi, namun untuk menolong para generasi agar dapat
bersikap tegas, memberikan pendapatnya, bertanggung jawab, dan
proaktif, memahami bahwa benar dan layak seorang individu membela
dirinya senidri, juga ikut serta dalam proses perkembangan serta
menyusun masa depan bersama atau tidak dengan orang tuanya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan

latarbelakang

yang

telah

dipaparkan,

dapat

diidentifikasi beberapa pertanyaan meliputi :


1. Bagaimana gambaran asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang
bercerai di SMKN 26 Jakarta?
2. Apakah terdapat pengaruh positive teknik role playing untuk
meningkatkan asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai
di SMKN 26 Jakarta?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latarbelakang dan identifikasi masalah, maka
peneliti membatasi masalah pada :
1. Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Analisis
Transaksional dengan teknik role playing
2. Subjek penelitian dibatasi pada siswa kelas X dari orang tua yang
bercerai di SMKN 26 Jakarta?

14

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan
masalah, maka fokus pada penelitian ini adalah Apakah terdapat
pengaruh teknik role playing untuk meningkatkan asertifitas siswa kelas
X dari orang tua yang bercerai di SMKN 26 Jakarta?
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa
a. Meningkatkan asertifitas siswa kelas X yang mengalami
perceraian pada orang tua.
b. Siswa dapat menggunakan teknik role playing pada situasi lain
yang mengakibatkan menurunnya kemampuan asertifitas.
c. Siswa dapat membantu guru BK untuk melaporkan jika terlihat
tanda-tanda yang sama dengan yang dialaminya dulu pada
siswa yang lain.
2. Bagi Peneliti
a. Mampu membuktikan

keefektifan

teknik

role

playing

untuk

meningkatkan asertifitas siswa.


b. Sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan teknik role
playing pada jenis konseling yang lain.
3. Bagi Guru BK
a. Dapat menggunakan teknik role playing

pada mahasiswa yang

mengalami penurunan kemampuan asertifitas.


b. Dapat mengembangkan teknik role playing pada jenis konseling yang
lain.
c. Dapat

lebih

waspada

terhadap

kemampuan asertifitas pada siswa.

ciri-ciri

terjadinya

penurunan

15

d. Sebagai perbandingan jika ditemukannya teknik-teknik baru yang


lebih efektif di masa depan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Asertif
a. Pengertian
Asertif adalah suatu pernyataan tentang perasaan, keinginan dan
kebutuhan pribadi kemudian menunjukkan kepada orang lain dengan
penuh percaya diri, namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak
serta perasaan orang lain. (Taumbmann, 1976)
Menurut Alberti dan Emmons (dalam Hapsari & Retnaningsih,
2007) Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan
apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain

16

namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan


pihak lain.
Asertif menurut Townend adalah tentang harga diri dan
menghormati orang lain, memiliki sifat positif pada diri sendiri, memiliki
kepercayaan

diri,

menerima

diri

sendiri

dan

mengembangkan

kesadaran diri, berperilaku secara langsung dan jujur yaitu dengan


memiliki harga diri yang positif menjadikan seseorang memiliki
keberanian untuk bertindak sesuai dengan yang dipikirkan dan
dirasakan, tanpa harga diri yang positif seseorang tidak akan bertindak
sesuai dengan yang mereka inginkan karena takut dengan penilaian
(dikritik) orang lain. (Anni Townend, 2007)
Menurut Rakos (dalam AYuni, 2010) seorang remaja yang asertif
akan mempunyai kemampuan untuk berkata tidak dan meminta
pertolongan, mengekspresikan perasaan-perasaan yang positif maupun
yang negatif secara wajar, berkomunikasi tentang hal-hal yang bersifat
umum. Jadi berperilaku asertif penting bagi remaja, terutama dalam hal
pengungkapan emosi negatifnya yaitu marah.
Ada tiga kategori yang dikelompokkan dalam perilaku asertif
menurut (Christoff & Kelly dalam Gunarsa, 1998) :
1) Asertif Penolakan. Ditandai oleh ucapan untuk memperhalus,
Seperti: maaf!.

17

2) Asertif Pujian. Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan


perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi,
memuji, dan bersyukur.
3) Asertif permintaan. Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang meminta
orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau
tujuan seseorang tercapai, tanpa tekanan atau paksaan.
Bedell dan Lennox memberikan pernyataan tentang perilaku
asertif dalam bukunya berjudul Handbook for Communication and
Problem Solving Skills- Training A Cognitive Behavioral Approcah
(1997), yaitu :
Assertiveness promotes interpersonal behavior that simultaneously
attemps to maximize the persons statisfaction of wants while
considering the wants of other people, thus promoting respect for self
and others.
Perilaku asertif akan mendukung tingkah laku interpersonal yang
secara simultan akan berusaha untuk memenuhi kepuasan individu
semaksimal
mungkin
dengan
secara
bersamaan
juga
mempertimbangkan keinginan orang lain, karena hal itu tidak hanya
memberikan penghargaan pada diri sendiri tapi juga kepada orang
lain.
Teori yang diungkapkan Bedell dan Lennox di atas telah
diadaptasi dari teori Wolpe. Perilaku asertif dinyatakan pertama kali
oleh Wolpe sebagai pengertian dari sebuah timbal balik untuk
mencegah kecemasan. Pernyataan tersebut disampaikan pada tahun
1958 di bukunya yang berjudul Treating Neurosis, dan sejak saat itu

18

dijadikan intervensi dalam behavioral therapy secara umum (Joseph


Wolpe, 1958)
Pernyataan Wolpe juga dikuatkan oleh Dorland dalam karyanya,
Dorlands Medical Dictionary yang mendefinisikan perilaku asertif
sebagai :
A form of behavior characterized by a confident declaration for
affirmation of a statement without need of proof; this affirmss the
persons right or point of view without either aggressively threatening
the rights of another (assuming a position of dominance) or
submissively permitting another to deny ones rights or point of view
Pengertian di atas berarti bahwa perilaku asertif merupakan suatu
bentuk perilaku yang ditandai dengan kepercayaan diri untuk
menyatakan

sesuatu secara tegas tanpa perlu bukti. Pengertian

tersebut menegaskan hak atau sudut pandang seseorang tanpa disertai


dengan ancaman atau perilaku agresif terhadap hak atau sudut
pandang orang lain.
b. Aspek-aspek Assertivitas:
Dalam bertingkah laku asertif, seseorang membutuhkan adanya
komunikasi dalam bentuk verbal maupun non verbal untuk memperjelas
maksud pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain, seperti yang
dikemukakan oleh (Bedell dan Lennox, 1997) berikut ini:
1) Aspek Verbal

19

Dua aspek verbal dalam asertivitas menurut Bedell dan Lennox


dijelaskan sebagai berikut :
a) Adanya kesepakatan. Tingkah laku verbal yang mencerminkan pilihan
untuk mempertimbangkan keinginan-keinginan orang lain yang
berusaha untuk menarik keinginan seseorang.
b) Adanya ekspresi langsung. Tingkah laku verbal yang mencakup
ekspresi langsung akan apa yang diinginkan dan perasaan yang
dihubungkan. Ekspresi langsung berari bahwa pernyataan yang jelas
dan tidak membingungkan tentang keinginan, harapan, dan perasaan,
2)

dapat terjadi kapanpun jika memungkinkan.


Aspek Non Verbal
Selain aspek verbal, Bedell dan Lennox juga menjelaskan bahwa
terdapat juga aspek non verbal dalam asertivitas, yaitu :
a) Kontak mata.
Kontak mata langsung dan terbelalak sangat diperlukan dalam
berkomunikasi sehingga pesan dapat tersampaikan dengan
baik.
b) Postur tubuh.
Postur tubuh berkomunikasi asertif yang baik ketika berdiri
maupun duduk yang tegak, menghadap lawan bicara, sedikit
mencondongkan badan, aktif, serta membentuk posisi tidak
seimbang (asimetris) akan menambah keasertifan dan pesan
dapat diterima dengan baik.
c) Gerak tubuh.

20

Mengaksentuasikan pesan dengan gerak tubuh yang baik juga


mampu menyatakan keterbukaan, kehangatan, serta kekuatan
pesan.
d) Jarak.
Dalam berkomunikasi yang asertif jarak juga mempunyai
pengaruh dalam menyampaikan pesan penerimaannya. Oleh
karena itu menjaga jarak yang tepat kira-kira 45-90 cm dari
lawan bicara merupakan hal yang penting dalam berkomunikasi
yang asertif.
e) Kesenyapan sesaat (latency).
Ketika seseorang sedang berkomunikasi yang asertif ia dapat
yakin dan pasti merespon pernyataan ataupun pertanyaan
lawan bicaranya serta mengetahui betul bagaimana dan kapan
untuk melakukan interupsi.
f) Suara.
Suara yang tegas, volume yang cukup tidak terlalu keras,
tertata rapi, serta kecepatan yang normal tidak terlalu cepat
atau lambat.
Teori

Branden

mengatakan

bahwa

perilaku

asertif

perlu

dikembangkan agar individu dapat berfungsi secara optimal dalam


keluarga, organisasi, komunitas (Ratna Hapsari, 2007).

21

c. Faktor - Faktor yang Memperngaruhi Asertifitas


Faktor faktor yang mempengaruhi perilaku asertif menurut
beberapa ahli seperti Greenfield, dkk (1993) adalah sebagai berikut :
1) Kepribadian
Allport (dalam Suryabrata, 1998) mengatakan bahwa
kepribadian ialah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai
sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Kepribadian yang
dimiliki seseorang jga mempengaruhi perilaku asertif dalam
berinteraksi dengan individu lain di lingkungan sosial.
2) Jenis Kelamin
Fukuyama dan Greenfield (1993) mengatakan bahwa pria lebih
asertif dibandingkan wanita. Perbedaan perilaku asertif ini
terlihat terutama jika berada dalam suatu kelompok.
3) Sikap Orang Tua
Bidulp (1992) mengatakan bahwa orang tua yang agresif
maupun pasif tidaka akan mengahsilkan anak yang asertif
dalam perkembangan kepribadian anak tersebut. Sebaliknya,
orang tua yang tegas atau asertif besar kemungkinan bahwa
anak-anaknya berprilaku asertif, sebab orang tua yang asertif
selalu terbuka, mantap dalam bertindak, penuh percaya diri,
dan tenang dalam mendidik anak-anak. Maslow (dalam Goble,
1987)

mengatakan

bahwa

cara

mengasuh

anak

yang

disarankan ialah pemberian kebebasan dengan batas-batas

22

yang fleksibel, artinya orang tua harus memikirkan sampai


dimana batas-batas dalam mengkontrol anak. Orang tua yang
ingin berhasil perlu mengetahui kapan mengatakan ya dan
tidak. Ada saatnya orang tua harus bersikap keras, tegas, dan
berani sehingga anak dapat mencontoh perilaku orang tuanya,
hal tersebut akan membentuk anak menjadi asertif. Selain itu
perilaku tidak asertif sering terjadi dikarenakan orang tua terlalu
menekankan

pada

anak

untuk

lebih

mengutamakan

kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri.


4) Pendidikan
Hadjam (1998) mengatakan bahwa lingkungan pendidikan
mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembentukan
perilaku, khususnya perilaku asertif. Pendidikan mempunyai
tujuan untuk menghasilkan individu yang mudah menerima dan
menyesuaikan

diri

terhadap

perubahan-perubahan,

lebih

mampu untuk mengungkapkan pendapatnya, memiliki rasa


tanggung jawab terhadap masa depan dan lebih berorientasi
terhadap pendapatnya.
5) Kebudayaan
Thoha (1993) mengatakan bahwa kebudayaan dan lingkungan
masyarakat tertentu merupakan salah satu faktor yang kuat
dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara individu berperilaku.
2. Hakikat Teknik Assertive Training

23

a. Pengertian
Latihan asertif merupakan latihan keterampilan-sosial yang
diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu
mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain
merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya
dengan benar dan cepat tersinggung (Lutfifauzan, 2010). Corey (1995)
menyatakan bahwa asumsi dasar dari pelatihan asertifitas adalah
bahwa

setiap

orang

mempunyai

hak

untuk

mengungkapkan

perasaannya, pendapat, apa yang diyakini serta sikapnya terhadap


orang lain dengan tetap menghormati dan menghargai hak-hak orang
tersebut.
Menurut Corey (2010) pendekatan behavioral yang dengan cepat
mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan
terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami
kesulitan

untuk

menerima

kenyataan

bahwa

menyatakan

atau

menegaskan diri adalah tindakan yang layak dan benar. Latihan asertif
akan membantu bagi orang-orang yang tidak mampu mengungkapkan
kemarahan atau perasaan tersinggung, memiliki kesulitan untuk
mengatakan tidak, merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaanperasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
b. Tujuan

24

1) Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam


suatu

cara

sehingga

memantulkan

kepekaan

kepada

perasaan dan hak-hak orang lain.


2) Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka
bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu
berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak.
3) Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri
dengan

cara

sedemikian

rupa

sehingga

terefleksi

kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang lain.


4) Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan
mengekspresikan dirinya dengan baik dalm berbagai situasi
sosial.
5) Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi
c. Manfaat
1) Melatih individu yang tidak dapat menyatakan kemarahan
dan kejengkelan.
2) Melatih individu yang mempunyai kesulitan untuk berkata
tidak

dan

yang

membiarkan

orang

lain

memanfaatkannya.
3) Melatih individu yang merasa bahwa dirinya tidak
memiliki hak untuk menyatakan pikiran, kepercayaan,
dan perasaan-perasaannya.
4) Melatih individu yang sulit mengungkapkan rasa kasih
dan respon-repon positif yang lain.
5) Meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri.
6) Membantu untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.
7) Meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan.

25

8) Dapat berhubungan

dengan

orang

lain,

dengan

intensitas konflik, kekhawatiran dan penolakan yang lebih


sedikit.
d. Prosedur
Prosedur dasar dalam pelatihan asertif menyerupai beberapa
pendekatan

perilaku

dalam

konseling.

Prosedur-prosedur

ini

mengutamakan tujuan-tujuan spesifik dan kehati-hatian, sebagaimana


diuraikan Osipow dalam A Survey of Counseling Methode (1984):
1) Menentukan kesulitan konseli dalam bersikap asertif.
Penggalian data terhadap konseli dimaksudkan agar konselor
mengerti dimana ketidakasertifan pada konselinya.
Contoh: konseli tidak bisa menolak ajakan temannya untuk
bermain voli setiap minggu pagi padahal ia lebih menyukai
berenang, hal itu karena konseli sungkan, khawatir temannya
marah atau sakit hati sehingga ia selalu menuruti ajakan
temannya.
2) Mengidentifikasi perilaku yang diinginkan oleh konseli dan
harapan-harapannya.
Diungkapkan
perilaku/sikap
sehubungan

dengan

yang

permasalahan

diinginkan
yang

konseli

dihadapi

dan

harapan-harapan yang diinginkannya.


3) Menentukan perilaku akhir yang diperlukan dan yang tidak
diperlukan.

26

Konselor dapat menentukan perilaku yang harus dimiliki konseli


untuk menyelesaikan masalahnya dan juga mengenali perilakuperilaku yang tidak diperlukan yang menjadi pendukung
ketidakasertifannya.
4) Membantu

klien

untuk

membedakan

perilaku

yang

dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan dalam rangka


menyelesaikan masalahnya.
Setelah konselor menentukan perilaku yang dibutuhkan dan
yang tidak dibutuhkan, kemudian ia menjelaskannya pada
konseli tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dihindari
dalam

rangka

menyelesaikan

permasalahannya

dan

memperkuat penjelasannya.
5) Mengungkapkan ide-ide yang tidak rasional, sikap-sikap dan
kesalahpahaman yang ada dipikiran konseli.
Konselor dapat mengungkap ide-ide konseli yang tidak rasional
yang

menjadi

kesalahpahaman

penyebab
yang

masalahnya,

mendukung

sikap-sikap

timbulnya

dan

masalah

tersebut.
6) Menentukan respon-respon asertif/sikap yang diperlukan
untuk menyelesaikan permasalahannya (melalui contohcontoh).
7) Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulangulangnya.

27

8) Konselor memandu konseli untuk mempraktikkan perilaku


asertif yang diperlukan, menurut contoh yang diberikan
konselor sebelumnya.
9) Melanjutkan latihan perilaku asertif
10)Memberikan tugas kepada konseli secara bertahap untuk
melancarkan perilaku asertif yang dimaksud.
Demi kelancaran dan kesuksesan latihan,

konselor

memberikan tugas kepada konseli untuk berlatih sendiri di


rumah ataupun di tempat-tempat lainnya.
11) Memberikan penguatan terhadap tingkah

laku

yang

diinginkan.
Penguatan dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa konseli harus
dapat bersikap tegas terhadap permintaan orang lain padanya,
sehingga orang lain tidak mengambil mafaat dari kita secara
bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah konseli dapat
menerapkan apa yang telah dilatihnya dalam situasi yang
nyata.
e. Karakteristik assertive (social skills) training, yaitu:
1) Cocok untuk individu yang memiliki kebiasaan respon;
cemas (anxiety-response) dalam hubungan interpersonal,
yang

tidak

adaptif,

sehingga

menghambat

untuk

mengekspresikan perasaan dan tindakan yang tegas dan


tepat.
2) Latihan asertif terdiri dari 3 komponen, yaitu : Role
Playing, Modeling, Social Reward & Coaching

28

3) Saat individu dalam situasi sosial dan interpersonal,


muncul kecemasan dalam diri individu, seperti:
a) Merasa tidak pantas dalam pergaulan social.
b) Takut untuk ditinggalkan.
c) Kesulitan mengekspresikan perasaan cinta dan
afeksinya terhadap orang-orang disekitarnya.
Teknik Assertive Training

sangat relevan digunakan pada

permasalahan yang menyangkut hubungan social. Misalnya dalam


lingkup

kelarga,

sekolah,

organisasi,

dan

sebagainya.

Dimana

seringkali terjadi kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan


sopan. Teknik ini memiliki asumsi bahwa:
1) Kecemasan

akan

menghambat

individu

untuk

mengekspresikan perasaan dan tindakan yang tegas dan


tepat dalam menjalin suatu hubungan social.
2) Tiap individu memiliki hak (tetapi bukan kewajiban) untuk
menyatakan perasaan, fikiran, kepercayaan, dan sikap
sesuai keinginannya.
f. Prinsip pokok dari Assertive Training, yaitu:
1) Prinsip larangan yang berbalasan,

seperti

yang

dikemukakan Wolpe (2002), memandang bahwa pelatihan


asertif sebagai suatu kejadian special dari larangan yang
berbalasan. Prinsip ini mengusulkan bahwa rangsangan
yang nyata akan menimbulkan suatu respon kecemasan
dan respon kecemasan tersebut tidak dapat dielakkan.

29

2) Im OK Youre OK, kita dengan bebas melupakan


perasaan apapun yan kita rasakan, dan kita sendirilah
yang bertanggung jawab terhadap perasaan kita. Kita
tidak akan membiarkan orang lain mengambil manfaat
dari kita dengan bebas, tetapi orang lain pun mempunyai
kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakan. Kita
tidak akan menyerang orang lain, bahkan akan menerima
kehadiran orang lain dengan sikap terbuka. Ini adalah
pengungkapan perasaan secara asertif. (Sawitri Supardi
dalam Kompas Cybermedia)
3. Hakikat Konseling Kelompok
a. Pengertian Bimbingan Konseling
Gladding berpendapat bahwa pengertian dari kelompok adalah
sebagai suatu pertemuan dua atau lebih individu secara tatap muka
menghadapi interaksi, saling bergantung, dengan kesadaran sendiri
untuk saling memiliki antar kelompok dan untuk mencapai tujuan yang
telah disepakati bersama (Charles L, 2004).
Layanan konseling kelompok menurut Gadza adalah salah satu
proses antar pribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan
perilaku yang disadari. Proses itu mengandung ciri-ciri terapeutik
seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi,
pada

kenyataan,

pembukaan

diri

mengenai

seluruh

perasaan

mendalam yang dialami, saling percaya, saling perhatian, dan saling


mendukung. Semua ciri terapeutik itu diciptakan

dan dibina dalam

30

suatu kelompok kecil dengan cara mengemukakan kesulitan dan


keprihatinan pribadi kepada sesama anggota kelompok dan kepada
konselor. Para konseli dapat memanfaatkan suasana komunikasi antar
pribadi dalam kelompok untuk meningkatkan pemahaman dan
penerimaan terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup,
serta untuk belajar dan atau menghilangkan suatu sikap dan perilaku
tertentu. (Winkel, 2006).
Merujuk dari pendapat Prayitno (1995), bahwa pendekatan
kelompok dalam

bimbingan

dan

konseling

dimaksudkan

untuk

memanfaatkan dinamika yang tercipta dengan diselenggarakannya


suatu kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan bimbingan dan
konseling. Konseling kelompok berguna untuk membantu peseta didik
yaitu, pertama konseling kelompok merupakan bentuk intervensi ynag
lebih efisien bila dibandingkan dengan konseling individual, karena
konselor dapat bertemu dengan banyak peserta didik sekaligus. Melalui
konseling kelompok setiap anggota kelompok dapat memperoleh
informasi dan berbagi pengalaman di dalam kelompok sehingga
kecenderungan lebih mudah untuk mencapai tujuan layanan konseling
kelompok. Kedua, bila dipandang dari presfektif perkembangan dan
pedagogik, sering kali cara yang terbaik bagi peserta didik dalam
belajar adalah dengan belajar dari satu sama lain (sesama peserta
didik).

Konseling

kelompok

memberikanforum

yang

tepat

bagi

31

pembelajaran dari peserta didik ke pesrta didik semacam ini.


Berhubungan dengan hal ini, kekuatan dari kelompok sebaya dapat
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang positif di bawah
kepemimpinan yang terampil dengan seorang konselor sekolah
profesional (Rusmana, 2009)
Rochman Natawidjaja (dalam Rusmana, 2009) membedakan
pengertian bimbingan kelompok dan konseling kelompok. Bimbingan
kelompok dimaksudkan untuk memberi informasi secara meluas pada
konseli agar mereka dapat membuat perencanaan dan pengambilan
keputusan yag kuat mengenai hal-hal yang terkait dengan masa
depannya. Dengan demikian, bimbingan lebih bersifat preventif
(pencegahan). Sedangkan konseling kelompok diartikan

sebagai

upaya bantuan kepada individu (beberapa individu) yang bertujuan


untuk memberikan kemudahan dalam berbagai aspek perkembangan
dan pertumbuhannya. Selain bersifat preventif, konseling kelompok
juga bersifat penyembuhan (remediation). Maka, dapat dikatakan
bahwa konseling kelompok merupakan suatu upaya pemberian
bantuan kepada individu (konseli) yang dilakukan dalam suasana
kelompok, bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta bertujuan
untuk memberikan kemudahan dalam berbagai aspek perkembangan
dan pertumbuhannya.
Peneliti merujuk berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas
bahwa konseling kelompok adalah suatu kegiatan konseling di dalam

32

situasi kelompok yang terdiri dari dua atau lebih individu yang bertujuan
untuk memberikan informasi secara luas kepada konseli dan membantu
konseli dalam permasalahannya dirinya serta mencapai tujuan
kelompok yang telah disepakati bersama.
b. Tujuan Konseling Kelompok
Tujuan utama dalam layanan konseling

kelompok adalah

membantu individu untuk melakukan pengentasan masalah. Corey


(2012) menyebutkan beberapa tujuan dari konseling kelompok, yaitu :
1) Masing-masing anggota kelompok memahami dirinya dengan
baik dan menemukan dirinya sendiri.
2) Para anggota dapat mengembangkan kemampuan komunikasi
yang baik.
3) Membantu setiap anggota kelompok untuk lebih peka terhadap
kebutuhan orang lain dan mampu menghayati perasaan orang
lain.
4) Para anggota memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya
sendiri dengan cara menghargai keberadaan orang lain.
5) Masing-masing
anggota
memiliki
kemampuan

untuk

menentukan tujuan yang ingin mereka capai.


6) Para anggota berani untuk melangkah maju dan menerima
resiko sebagai hal yang wajar.
7) Anggota kelompok lebih menyadari makna dari kehidupan
manusia sebagai kehidupan bersama, yang mengandung
penerimaan diri dan orang lain.
8) Masing-masing anggota kelompok menyadari bahwa hal-hal
yang memprihatinkan bagi dirinya dapat membuat orang lain
khwatir.

33

9) Para anggota kelompok belajar komunikasi dengan anggotaanggota lain secara lebih terbuka, dengan saling menghargai
dan menaruh perhatian.
c. Kelebihan dan Kekurangan Konseling Kelompok
Layanan bimbingan dan konseling memiliki beberapa kelebihan
dan kelemahan. Bagi peserta didik kelebihan konseling kelompok
adalah (Corey, 2012) :
1) Dapat memenuhi kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan untuk
menyesuaikan diri dengan temna-teman sebaya dan diterima oleh
mereka.
2) Mampu memenuhi kebutuhan untuk bertukar pemikiran dan berbagi
perasaan.
3) Dapat memenuhi kebutuhan diri agar lebih mandiri.
4) Individu dapat lebih mudah membicarakan persoalan yang dihadapi
dalam situasi kelompok dibandingkan dalam situasi konseling
individu.
5) Individu lebih rela mendengarkan pendapat dari rekan konseli atau
dari konselor yang memimpin kelompok.
6) Individu akan lebih terbuka terhadap tuntutan yang mengatur
tingkahlakunya agar memiliki hubungan sosial yang baik.
d. Pelaksanaan Konseling kelompok
1) Pembentukan dan Pengorganisasian Kelompok.
Pembentukan
diperhatkan

kelompok
dengan

merupakan

hati-hati.

hal

Seorang

yang

perlu

konselor

perlu

memikirkan jenis kelompok yang diinginkan dan siap untuk


menjadi pemimpin kelompok. Semakin jelas harapan, konselor

34

akan dapat merencanakan dan menjadi pengalaman yang


lebih bermakna bagi partisipan. Kurangnya perencanaan
menyebabkan berbagai problem yang muncul nantinya. Tahap
pertama dalam perencanaan kelompok adalah menjelaskan
alasan pembentukan kelompok tersebut secara detil. Banyak
ide-ide yang bagus tidak dapat berjalan dengan baik karena
tidak dikembangkan menjadi perencanaan yang jelas. Apabila
akan menciptakan sebuah kelompok diperlukan kejelasan
dalam tujuan dan metode. Ada beberapa pertanyaan yang
perlu dipersiapkan, seperti misalnya :

Kelompok yang akan dibentuk seperti apa? Akan memakan

waktu yang lama atau tidak ?


Untuk siapa kelompok dibentuk ?
Apakah kelompok terdiri dari anggota sukarela atau tidak ?
Apakah tujuan dari kelompok ini ?
Mengapa ada kebutuhan untuk kelompok ?
Apa kualifikasi untuk memimpin kelompok ini ?
Berapa jumlah anggota kelompok ?
Bagaimana anggota kelompok mempersiapkan diri untuk

mendapatkan pengalaman kelompok ?


Apa struktur yang akan dimiliki kelompok ? Apa teknik yang

akan digunakan ?
Apa topik yang akan dieksplorasi kelompok ini ?

Dalam pengajuan pembentukan kelompok, ada lima hal penting


yaitu :

35

Alasan pembentukan kelompok


Alasan pembentukan kelompok harus jelas sehingga akan
meyakinkan semua anggota kelompok.

Tujuan
Tujuan pembentukan kelompok hendaknya spesifik, terukur,
dan dapat dicapai dalam waktu tertentu. Cara mencapai tujuan
tersebut tersebut juga perlu dipikirkan.

Pertimbangan-pertimbangan praktis
Pertimbangan-pertimbangan praktis ini meliputi : apakah ada
batasan-batasan tertentu untuk menjadi anggota kelompok
(jumlah, usia, masalah dan sebagainya), waktu pertemuan,
frekuensi pertemuan an durasi pertemuan.

Prosedur
Dalam menggunakan

prosedur

pelaksanaan

konseling

kelompok, perlu ditetapkan apakah akan menggunakan


prosedur khusus atau prosedur yang sesuai dengan kondisi

kelompok.
Evaluasi
Dalam melakukan

evaluasi,

diarahkan

pada

penilaian

mengenai strategi yang telah digunakan. Dan hendaknya


evaluasi ini diupayakan supaya objektif, praktis dan relevan.
2) Menarik dan Memilih Anggota

36

Dalam

membentuk

kelompok

konseling,

beberapa

pertimbangan terkait dengan keanggotaan kelompok menjadi


hal yang penting. Apabila dalam sebuah populasi atau kelas,
perlu ada kejelasan apakah anggota kelompok konseling berisi
seluruh kelas atau perlu ada pemilihan. Menarik dan memilih
angggota kelompok juga bukan merupakan hal yang mudah.
Ada beberapa cara untuk dapat melakukan pemilihan anggota,
yaitu :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Presentasi kelas
Poster
Pengumuman
Iklan atau artikel di koran
Menghubungi guru
Mengirimkan surat kepada orang tua
Program pendampingan mahasiswa
Tim penelitian

Dalam menarik dan memilih anggota kelompok lebih baik kalau


bisa menemukan orang yang mempunyai kontak dengan seseorang
yang potensial menjadi calon anggota kelompok. Hal ini selain
memudahkan juga data-data calon anggota kelompok lebih akurat.
3) Langkah - Langkah Konseling Kelompok
Konseling kelompok dilaksanakan dengan mengikuti langkahlangkah :
a) Tahap awal kelompok
Proses utama selama tahap awal adalah orientasi dan
eksplorasi. Pada awalnya

tahap

ini

akan

diwarnai

keraguan dan kekhawatiran, namun juga harapan dari

37

peserta. Namun apabila konselor mampu memfasilitasi


kondisi

tersebut,

tahap

ini

akan

memunculkan

kepercayaan terhadap kelompok.


i) Langkah-langkah pada tahap awal kelompok adalah :
1. Menerima secara terbuka dan mengucapkan terima
2.
3.
4.
5.
6.
7.

kasih.
Berdoa.
Menjelaskan pengertian konseling kelompok.
Menjelaskan tujuan konseling kelompok.
Menjelaskan cara pelaksanaan konseling kelompok.
Menjelaskan asas-asas konseling kelompok.
Melaksanakan perkenalan dilanjutkan rangkaian

nama
b) Tahap Peralihan
Tujuan tahap ini adalah membangun iklim saling percaya
yang mendorong anggota menghadapi rasa takut yang
muncul pada tahap awal. Konselor perlu memahami
i)

karakterisik dan dinamika yang terjadi pada tahap transisi.


Langkah-langkah pada tahap peralihan :
1. Menjelaskan kembali kegiatan konseling kelompok.
2. Tanya jawab tentang kesiapan anggota untuk
kegiatan lebih lanjut.
3. Mengenali suasana
keseluruhan

atau

apabila

sebagian

anggota
belum

siap

secara
untuk

memasuki tahap berikutnya dan mengatasi suasana


tersebut.
4. Memberi contoh masalah pribadi yang dikemukakan
dan dibahas dalam kelompok
c) Tahap kegiatan

38

Pada tahap ini ada proses penggalian permasalahan yang


mendalam

dan

tindakan

yang

efektif.

Menjelaskan

masalah pribadi yang hendak dikemukakan oleh anggota


kelompok.
i) Langkah-langkah pada tahap kegiatan adalah :
1. Mempersilakan
anggota
kelompok

untuk

mengemukakan masalah pribadi masing-masing


secara bergantian.
2. Memillih /menetapkan masalah yang akan dibahas
terlebih dahulu.
3. Membahas masalah terpilih secara tuntas.
4. Menegaskan komitmen anggota yang masalahnya
telah dibahas ( apa yang akan dilakukan berkenaan
dengan adanya pembahasan demi terentaskan
masalahnya.
d) Tahap Pengakhiran
Pada tahap ini pelaksanaan konseling ditandai dengan
anggota kelompok mulai melakukan perubahan tingka laku
di dalam kelompok.
i) Langkah-langkah pada tahap pengakhiran adalah :
1. Menjelaskan bahwa kegiatan konseling kelompok
akan diakhiri.
2. Anggota kelompok mengemukakan kesan dan
3.
4.
5.
6.
7.

menilai kemajuan yang dicapai masing-masing.


Membahas kegiatan lanjutan.
Pesan serta tanggapan anggota kelompok.
Ucapan terima kasih.
Berdoa.
Perpisahan

39

4. Hakikat Role Playing


a. Pengertian
Corey menjelaskan bahwa role playing merupakan terminologi
yang umum. Hampir setiap pendekatan dan teknik menggunakan istilah
tersebut. Namun ada satu ahli yang berfokus dalam role playing yakni
Adam

Blatner.

Blatner

menspesifikasikan

psychodrama (Corey, 2011).

role

playing

sebagai

Role Playing merupakan turunan dari

sociodrama, sebuah metode untuk menjelajahi isu yang terlibat dalam


situasi sosial yang kompleks (Blatner, 2003). Role playing merupakan
model pembelajaran melalui pemeranan sebuah situasi dalam hidup
manusia dengan tanpa diadakan latihan untuk mencapai tujuan
bersama dalam rangka mencari penyelesaian dari suatu masalah yang
sering dihadapi siswa dalam kehidupan sehari hari dan dapat
digunakan untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang, sebagai
media pengajaran dan metode pelatihan ketrampilan tertentu.
Menurut Sastrowadoyo (dalam Sufiani, 2004) mengemukakan
bahwa manfaat utama Role Playing bagi siswa adalah:
1) Memupuk kerja sama yang baik dalam pergaulan siswa.
2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melahirkan
3)
4)
5)
6)
7)
8)

daya kreasi masing-masing.


Mengembangkan emosi sehat anak.
Menghilangkan sifat malu, gugup, dan lain-lain.
Mengembangkan apresiasi dan sikap yang baik.
Menghargai pendapat dan pikiran orang lain.
Menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri.
Mengurangi kejahatan dan kenakalan anak-anak.

40

Role Playing terstruktur adalah permainan peran dimana fasilitator


menentukan struktur dan menjelaskannya pada peserta permainan.
Peserta diberi instruksi mengenai hubungan antara pemain utama dan
peran-peran yang lain, dan informasi lain mengenai sifat, situasi, serta
hal-hal lain yang ada kaitannya. Selain itu dikemukakan pula mengenai
tujuan dan isu-isu yang akan dikonfrontasikan dalam permainan. Para
pemain masih mempunyai kebebasan untuk mencoba perilaku baru,
mencoba berbagai teknik, dan menentukan berbagai perilaku yang
dianggap penting. Tetapi pada dasarnya dalam permainan peran
terstruktur kelompok merespon pada situasi, isu-isu dan bahan-bahan
yang diberikan fasilitator.
b. Prinsip Pokok dalam Role Playing
Beberapa prinsip pokok dalam merencanakan Role Playing
terstruktur menurut Romlah (2006) adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan

tujuan

khusus

yang

berupa

perilaku

berdasarkan hasil pengamatan, wawancara, analisis data


yang ada, atau dengan menganalisis kebutuhan-kebutuhan
anggota kelompok secara umum.
b. Masalah-masalah dan tujuan-tujuan penting yang ada
hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapai harus
diidentifikasi sebelum permainan berlangsung.
c. Membuat petunjuk-petunjuk pada pemegang
pengamat, dan peserta yang lain.

peran,

41

d. Membuat format untuk diskusi mengenai masalah-masalah


pokok yang dihadapi kelompok.
Keberhasilan model pembelajaran melalui teknik bermain peran
bergantung pada kualitas permainan peran yang diikuti dengan analisis
terhadapnya. Disamping itu bergantung pula pada persepsi siswa
terhadap peran yang dimainkan terhadap situasi nyata.

c. Langkah Langkah Pelaksanaa Role Playing


Nursalim (2002) langkah-langkah teknik Role Playing dalam
konseling kelompok adalah:
1) Pembimbing membicarakan suatu hal yang menarik dan dapat
menggerakkan perasaan atau emosi individu, sehingga mereka dapat
mengadakan identifikasi dengan orang-orang atau tokoh-tokoh dalam
cerita. Masalah dalam cerita harus dipahami, sehingga secara mudah
tergugah untuk ikut berpartisipasi dalam masalah penyelesaian dan
pengentasannya.
2) Setelah pembimbing selesai dalam ceritanya, kemudian menentukan
individu yang akan berperan sebagai tokoh-tokoh tertentu.
3) Cerita yang didramakan, individu bukan hanya dihadapkan pada satu
persoalan saja, tetapi mereka dihadapkan pada bagaimana dia sendiri

42

memilih jalan keluar dari masalah tersebut sebagai akhir cerita, untuk
ini

perlu

dipersiapkan

terlebih

dahulu

penonton

yang

akan

memberikan penilaian terhadap jalannya cerita dalam drama, dan


sikap-sikap yang salah atau tidak seharusnya dilakukan.
4) Saat melakukan drama tidak adanya batasan waktu. Disini yang
penting bukan kepandaian berakting, tetapi yang diutamakan adalah
spontanitas dalam berperan, gerak dan mengucapkan kata-kata.
5) Setelah pementasan drama, diadakan diskusi-diskusi yang
membahas baik dan tidaknya pengentasan masalah tadi. Diskusi ini
dilakukan oleh individu pemegang peran, penonton dan pembimbing.
Dalam hal ini saran-saran pengatasan yang baik, wajar dan
seharusnya dilakukan perlu dikemukakan, sehingga individu akan
memperoleh suatu gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan
penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
6) Setelah diskusi dilakukan, diadakan pementasan drama kembali
dengan pemain dari individu yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar
dapat ditemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya.
5. Hakikat Perceraian
a. Pengertian
Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan
bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak.
Peristiwa ini menimbulkan anakanak tidak merasa mendapatkan
perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Perceraian juga

43

dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru


dengan lawan jenis. Perceraian adalah penyebab stres kedua paling
tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Seringkali perceraian
diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan
Rahe, 2005).
Brodkin mendefinisikan perceraian sebagai putusnya hubungan
dalam perkawinan. Benokraitis melihat perceraian adalah sebagi bentuk
legal dan formal dari putusnya hubungan pernikahan, sementara Cohen
menyatakan bahwa perceraian adalah pemutusan atau pembubaran
unit keluarga.
Perceraian sangat cepat merubah segalanya, meninggalkan jejak
yang sangat dalam dan mempengaruhi kehidupan. Perceraian adalah
kegagalan dari komitmen pasangan suami istri terhadap status
perkawinannya dan perannya dalam keluarga.

Perceraian adalah

peristiwa yang traumatis bagi semua pihak yang terlibat bagi pasangan
yang tak lagi dapat hidup bersama dan juga bagi anak-anak,
mertua/ipar, sahabat, serta teman Cole (2004). Sedangkan, menurut
Yusuf (2004), perceraian orang tua adalah keadaan keluarga yang tidak
harmonis, tidak stabil atau berantakan.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dikenal istilah perceraian,
namun bagi yang menganut agama Islam perceraian ini sering disebut

44

talak, kata talak ini didapati pada Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun
1975. Adapun yang dimaksud dengan perceraian atau talak ialah
pemutusan

hubungan

perkawinan

antara

suami

istri

dengan

mempergunakan kata-kata cerai (talak) atau yang sama maksudnya


dengan itu, (Said, 1994). Oleh karena itu perceraian atau talak dapat
dilakukan

oleh

suami

menggunakan

kata

baik

lisan

maupun

kata

yang

menjurus

secara

tulisan

kepada

dan

perceraian

sebagaimana diungkapkan oleh Nakamuru (1991), bahwa cerai/talak itu


ialah suatu bentuk pemutusan perkawinan yang dinyatakan secara
lisan atau tulisan, dengan bunyi Aku talak engkau atau aku ceraikan
engkau, juga dapat digunakan kata-kata lain yang sama artinya, suami
yang akan menceraikan istrinya itu dengan kata-kata yang jelas.
Definisi di atas menjelaskan bahwa perceraian merupakan putusnya
hubungan perkawinan yang sah, yang selama ini telah terbina.
Perceraian terkadang dianggap malapetaka karena perceraian dapat
memutuskan silaturahim antara suami istri dan keluarga masing-masing
dan

dapat

mengguncangkan

menggelisahkan

masyarakat.

kestabilan
Klasifikasi

jiwa

anak

perceraian

UndangUndang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:


a. Perkawinan antara suami dan istri dapat putus karena:
a) Kematian
b) Perceraian, dan

serta
dalam

45

c) Atas putusan pengadilan. Mengungkai (melepaskan) ikatan


perkawinan dan mengakhiri hubungan suami dan istri (Said, 1994).
b. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian yang
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
1. Cerai talak, yaitu bagi mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama
Islam. Maksud perceraiannya dapat diajukan
kepada pengadilan agama di tempat mereka
bertempat tinggal.
2. Cerai gugat, yaitu
melangsungkan

bagi

mereka

perkawinannya

yang

menurut

agamanya dan kepercayaanya selain agama


Islam

dan

bagi

seorang

istri

yang

melangsungkan perkawinannya menurut agama


Islam gugat perceraianya dapat diajukan pada
pengadilan negeri/agama di mana mereka
tinggal.
Perceraian dapat terjadi bila seseorang yang akan bercerai
mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk bercerai, bahkan antara
suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.
Adapun alasan-alasan perceraian menurut (Pasal 116) antara lain
adalah:

46

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,


penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sesuai dengan undang-undang, batalnya perkawinan serta
sahnya

perceraian

hanya

dapat

dibuktikan

dengan

keputusan

pengadilan agama untuk orang-orang Islam dan pengadilan negeri


untuk orang-orang non-Islam. Namun

sebagian masyarakat untuk

proses perceraian lebih memilih menggunakan hukum adat atau


memilih menggunakan proses perceraian dengan cara kekeluargaan.
Di mana dalam proses perceraian ini pihak adat menjadi saksi putusnya
perkawinan pasangan ini, begitu juga perceraian dengan cara
kekeluargaan akan dianggap sah apabila ada kesepakatan berpisah
dari suami dan istri yang diketahui oleh keluarga kedua belah pihak,
dengan alasan-alasan yang diterima. Walaupun proses ini sebenarnya

47

tidak diakui oleh negara. Perceraian baik secara resmi maupun secara
tidak resmi berdampak negatif bagi

pasangan

yang

bercerai,

lingkungan, dan yang paling terasa berat dampaknya terjadi pada anak.
Komnas Perlindungan Anak Indonesia Pusat menyebutkan, adapun
dampak perceraian itu sendiri dapat menyebabkan:
1) Anak memiliki amarah yang tinggi sehingga memungkinkan ia menjadi
frustasi dan

melampiaskanya. Kemarahan ini ditimbulkan karena

adanya sungkan, enggan untuk bisa berpendapat saat konflik terjadi,


atau ketika anak menyaksikan secara langsung kekerasan dalam
rumah

tangga.

Pelampiasannya

tersebutlah

berlawanan dengan peraturan-peraturan, seperti :

yang

terkadang

pemberontakan,

dan lain sebagainya.


2) Bila anak tinggal dengan ibu, anak akan kehilangan figur otoritas, figur
seorang ayah, ketika otoritas itu menghilang, anak seringkali tidak
patuh pada ibunya.
3) Anak kehilangan jati diri sosialnya atau identitas sosial. Status sebagai
anak cerai memberikan suatu perasaan berbeda dari anak-anak lain.
Dampak pada remaja pada masa ketidakharmonisan, belum
bercerai namun sudah mulai tidak harmonis, yaitu :
1) Remaja mulai menderita kecemasan yang tinggi dan ketakutan.
2) Remaja merasa terjepit di antara orang tuanya, karena dalam hal ini
remaja sulit sekali memilih ayah atau ibu.
3) Remaja sering kali mempunyai rasa bersalah.
4) Remaja tidak dapat membela, sehingga ada rasa yang terpendam,
seperti : marah, sedih, ingin menengahi, dll.

48

5) Kalau kedua orang tunya sedang bertengkar, itu memungkinkan


remaja bisa membenci salah satu orang tuanya.
b. Dampak Perceraian Pada Remaja
Apapun alasannya, perceraian membawa dampak yang buruk bagi
pihak-pihak yang mengalaminya terutama remaja. Remaja harus
dihadapkan pada situasi yang kompleks saat orang tua mereka
bercerai. Dampak emosional, psikologis, sosial, dan akademik dapat
mereka alami secara bersamaan, beberapa anaka mengalami dampak
minimal perceraian, namun beberapa lainnya mengalami dampak yang
sangat ekstrim dari perceraian.
Remaja yang sedang dalam masa peralihan, masa perceraian
orang tua sangatlah kompleks, mereka dihadapkan pada persoalan
yang sangat rumit karena perceraian tersebut, biasanya mereka dipaksa
untuk ikut dengan bapak atau ibu. Masalah lain yang muncul adalah
pola pengasuhan orangtua tunggal yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian anak.

Penelitian yang dilakukan Arman di Yogyakarta

dalam Zahro menemukan bahwa pengasuhan ibu tunggal


keluarga

bercerai

memang

berpengaruh

terhadap

pada

perkembangn

kepribadian anak remaja mereka. Kurangnya kehangatan dan perhatian


yang

diberikan

oleh

seorang

ibu

tunggal

kepada

anak

yang

menyebabkan remaja tidak memiliki rasa aman dalam dirinya.


Kesibukan ibu bekerja membuat remaja tidak memiliki seorang ibu yang
bisa diajak bercakap-cakap ataupun bertukar pendapat.

Dari sinilah

49

mulailah terjadi berbagai konflik pada diri anak terutama

secara

psikologis. Mereka menjadi depresi, cemas, putus asa, rendah diri,


ketakutan, sehingga seringkali ia menjadi tidak asertif. Semua hal
tersebut diakibatkan oleh hilangnya sosok orangtua yang ia cintai.
Mereka dituntut untuk mengahadapi semuanya sendiri, (Wayman,
2011).
Dalam rumah tangga yang tidak sehat, bermasalah, dan penuh
dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul 3 kategori remaja,
yaitu :
1) Remaja pemberontak yang menjadi masalah diluar. Remaja yang
menjadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali
karena :
a) Mempunyai kemarahan, kefrustasian dan ketidak mampuan
untuk melampiasknnya.
b) Selain itu, anak korban perceraian jadi mudah atau bahkan sulit
untuk melampiaskan

kemarahannya karena mereka terlalu

sering melihat orang tua bertengkar.


Kemarahan remaja dapat juga muncul lantaran ia harus hidup
dalam ketegangan namun ia tidak menyukainya. Remaja kehilangan
kehidupan yang tentram, hangat, dan bersahaja bersama keluarga.
Orang tua menjadi sosok yang menakutkan dan terkadang dibenci oleh
anak anaknya.

50

Seorang remaja pada usia 13-17 tahun akan mulai mengenali


dirinya, mulai mengetahui yang benar dan salah. Besar harapan bahwa
orang tua mampu memperkenalkan aturan dan buat penerapannya
semenarik mungkin. Sehingga anak tidak merasa terpaksa untuk
menjalankannya.
Lama waktu perceraian orang tua juga berdampak terhadap
kualitas hidup anak. Anak yang mengalami perceraian orang tua lebih
dari 1 tahun, akan mendapatkan kesejahteraan psikologis yang lebih
rendah daripada anak yang mengalami perceraian orang tua kurang
dari 1 tahun. Pada awal tahun perceraian, pada umumnya anak
mendapat kasih sayang dan perhatian orang tua yang lebih banyak.
Adapun setelah itu, kebanyakan orang tua sibuk dengan dunianya
sendiri sehingga anak merasa sendiri dan tidak mendapatkan
perhatian. Selain itu, anak yang mengalami perceraian orang tua lebih
dari 1 tahun akan memiliki suasana hati (mood) dan emosi yang tidak
stabil. Hal ini dapat terjadi karena beberapa dampak perceraian dalam
jangka pendek akan terakumulasi, sehingga satu tahun setelah
terjadinya perceraian, anak akan mendapatkan permasalahan yang
semakin kompleks dan menimbulkan emosi yang semakin hebat.

51

Sebuah artkel yang diterbitkan oleh North Carolina State


University, Amerika Serikat (2007), menyatakan bahwa dampak jangka
pendek dari perceraian cukup banyak, diantaranya adalah rasa marah,
sedih,

depresi,

bermusuh-musuhan,

impulsif,

agresivitas

yang

cenderung tinggi, stress, kurang disiplin, rendahnya asertifitas,


kesulitan menyesuaikan diri, konsep diri yang rendah, masalah
ekonomi, konflik interpersonal, dan motivasi berprestasi yang rendah.

B. Kerangka Berpikir
Setiap manusia dewasa memiliki tugas perkembangan, salah
satunya adalah menikah. Tak satupun manusia yang merencanakan
perceraian saat baru melangsungkan pernikahan. Namun, tidak bisa
dipungkiri kalau perceraian dapat terjadi saat sepasang suami istri tidak
dapat lagi menyatukan visi dalam membangun bahtera rumah tangga.
Saat perceraian terjadi, bukan hanya pasangan suami istri yang
menerima dampaknya. Bila mereka telah memiliki anak, anaklah yang
menjadi korban. Kebingungan anak atas perpisahan orang tuanya serta
rasa bersalah saat salah satu orang tua meninggalkannya dapat
berakibat buruk bagi perkembangan psikologis anak. Terlebih ketika
semasa ia hidup bersama orang tuanya ia mendapatkan tekanan, atau
didikan yang otoriter. Sebagian besar dampak perceraian pada anak

52

adalah

menurunnya

asertifitas.

Anak

tak

lagi

mampu

mengkomunikasikan apa yang ia rasakan, pikirkan, dan ingin lakukan.


Ia

pun

segan

untuk

menginisiasikan

percakapan,

mengajukan

pertanyaan dan pendapat, dan yang lebih buruk adalah anak akan
terus memendam hal tersebut bahkan emosinya yang dapat merusak
tidak hanya mental, namun kesehatan.
Beberapa hal yang akhirnya menjadi hambatan bagi seseorang
berperilaku asertif antara lain karena banyak orang yang tidak percaya
bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif, cemas dan takut
untuk berperilaku asertif, dan banyak yang kurang terampil dalam
mengekspresikan diri secara efektif. Hal ini diungkapkan oleh Alberti
dan Emmons, dalam bukunya Your Perfect Right. Terj. Ursula G. Budi
Tjahya (2002).
Assertiv Training yang di perdalam dengan menggunakan teknik
role playing memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar dan
memulai meningkatkan kemampuan asertifnya. Ia mulai dengan
mendefinisikan, atau menceritakan seluruh konflik yang sering atau
tengah ia hadapai dalam keluarga (dalam konteks perceraian pada
orang tua) , lalu ia akan mulai mendeskripsikan tekanan tekanan yang
ia terima sehingga ia tidak mampu mengkomunikasikan apa yang
seharusnya. Menggambarkan segala bentuk ketakutan, kecemasan,

53

kegamangan yang selama ini ia terima. Sehingga hal tersebut menjadi


kebiasaan dan terus membekas pada benak dan perilaku anak. Dalam
teknik ini setelah ia mencoba mencari jalan agar ia merasa nyaman,
aman, dan mampu menyelesaikan apa yang ingin ia uturakan dengan
cara membayangkan kejadian sesungguhnya, maka gambaran konflik
tersebut akan disusun dalam sebuah peran. Anak akan berperan
sebagai dirinya yang berusaha untuk mengkomunikasikan apapun yang
ia

rasakan,

pikirkan,

dan

hendak

dilakukan.

Mencoba

untuk

mengajukan pertanyaan dan pendapat, berani berkata tidak, dan


menunjukkan rasa tidak senang (emosi) nya. Sedangkan anggota
kelompok yang lain (dalam konseling kelompok) akan berperan sebagai
ego state yang biasa memiliki konflik dengan anak. Dengan demikian,
maka anak akan belajar menempatkan diri, dan mempersiapkan
keberaniannya

disaat-saat

yang

dibutuhkan

ketika

ia

hendak

mengutarakan, apa yang ia rasakan, pikirkan dan dilakukan di keadaan


yang sebenarnya.
Menurut Corey (2010), pendekatan behavioral yang dengan
cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan
terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami
kesulitan

untuk

menerima

kenyataan

bahwa

menyatakan

atau

menegaskan diri adalah tindakan yang layak dan benar. Latihan asertif

54

akan membantu bagi orang-orang yang tidak mampu mengungkapkan


kemarahan atau perasaan tersinggung; memiliki kesulitan untuk
mengatakan tidak; merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaanperasaan dan pikiran-pikiran sendiri. (Gerald Corey, 2010)
Dari penjelasan tersebut diatas dapat diketahui bahwa teknik
assertiv training yang diperdalam dengan teknik role play memberikan
manfaat yang positif terhadap peningkatan kemampuan asertifitas anak
yang mengalami perceraian pada orang tua.
Berikut Peneliti gambarkan skema kerangka berpikir dalam penelitian
ini :
Asertifitas siswa kelas x
dari
orangtua
yang
bercerai di SMKN 26

Asertifitas siswa kelas x


dari
orangtua
yang
bercerai di SMKN 26
JAKARTA (TINGGI)

Asertifitas siswa kelas x


dari
orangtua
yang
bercerai di SMKN 26
JAKARTA (MENINGKAT)

Asertifitas siswa kelas x


dari
orangtua
yang
bercerai di SMKN 26
JAKARTA

Pelatihan
C. Penelitian Terkait Asertifitas siswa kelas x
dari
orangtua
Asertifyang
1. Ratna Maharani
Hapsari
dan yang
Retnaningsih. Penelitian
bercerai di SMKN 26

(Assertive
Training)
Role
berjudul Perilaku Asertif dan Harga Diri Kayawan. Fakultas

Psikologi Universitas Gunadarma, Jurnal, 2003. Berdasarkan


analisis hasil penelitian, Ratna dan Retna menyatakan bahwa
perilaku asertif memberikan sumbangan yang

signifikan

55

terhadap harga diri pada karyawan. Sumbangan yang diberikan


perilaku asertif terhadap harga diri karyawan sebesar 34%.
2. Oryza Sativa Reswari Leosennapessy. Penelitian yang berjudul
Pengaruh Perilaku Asertif terhadap Stress Kerja Karyawan
pada PT. Indoturbine Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas
Islam Indonesia. Skripsi. 2011. Berdasarkan analisis hasil
penelitian,

Oryza

menyatakan

bahwa

hasil

penelitian

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh secara simultan yang


positif dan signifikan antara Perilaku Asertif (Kemampuan
Verbal dan kemampuan Non Verbal) terhadap stress kerja
karyawan PT. Indoturbine, Jakarta (F hitung = 13,840, p{0,05})
dengan demikian hipotesis terbukti kebenarannya. Dari analisis
uji t menunjukkan bahwa terdapat pengaruh parsial variabel
asertif
3. Penelitian Faiza Nabila dari Fakultas Ilmu Pendidikan Program
Studi

Psikologi

Pendidikan

dan

Bimbingan

IKIP

PGRI

Semarang dalam skripsinya yang berjudul Efektifitas Konseling


Kelompok

melalui

Teknik

Assertive

Training

dalam

meningkatkan Efikasi Diri Siswa Terhadap Perilaku Seksual


Beresiko Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Bantarkawung. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif dan
signifikan dari konseling kelompok melalui teknik assertive
training untuk meningkatkan efikai diri siswa terhadap perilaku

56

sesukal beresiko. Koefisien uji-t sebesar 9,557 dan koefisien


tersebut signifikan pada taraf 5%. Peningkatan rata-rata efikasi
diri siswa terhadap perilaku seksual beresiko siswa kelas XI
SMA Negeri 1 Bantarkawung sebelum treatment adalah
sebesar 86,20% dan sesudah treatment sebesar 114,40%.
4. Penelitian yang relevan mendukung penelitian ini adalah
penelitian yang dibuat oleh Ulpatusalicha dengan judul
Dampak

Perceraian

Orangtua

Terhadap

Perkembangan

Emosional Anak di Desa Pengauban Kec. Lelea Indramayu.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua anak
mengalami trauma, itu dikarenakan faktor dari individu dan latar
belakang orang tua yang mampu memberi penjelasan dan
harapan yang timbul dari anak-anak korban perceraian adalah :
berpikir bahwa kegagalan orang tuanya dapat dijadikan
pelajaran agar ia tidak seperti mereka dan ini juga menjadi
bekal mereka untuk menuju masa depan yang lebih baik.
5. Selain itu, penelitian yang relevan pula yaitu, jurnal Dampak
Perceraian

Orangtua

Terhadap

Psikologi

Anak

Dalam

Keluarga. Dalam jurnal tersebut menuliskan bahwa sejumlah


besar anak yang tumbuh dalam keluarga yang bercerai
memiliki perbedaan tersendiri dengan anak-anak yang tumbuh
dalam keluarga yang tidak bercerai. Kebanyakan anak pada
mulanya mengalami stress berat ketika orang tua mereka

57

bercerai. Tetapi perceraian dapat juga melepaskan anak dari


konflik perkawinan. Banyak anak yang mengalami perceraian
orang tua menjadi individu yang berkompeten.
D. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, judul, landasan
teoritis, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Terdapat pengaruh positif terhadap penerapan teknik role playing
untuk meningkatkan asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang
bercerai di SMKN 26 JAKARTA.

58

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh teknik role playing untuk meningkatkan asertifitas siswa kelas
X dari orang tua yang bercerai di SMKN 26 JAKARTA.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMKN 26 JAKARTA,
beralamatkan di Jalan Balai Pustaka I, Rt 07 / Rw 07, Kel.
Rawamangun, Kec. Pulogadung, Jakarta Timur.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester 8 tahun ajaran
2015/2016. Konseling Kelompok akan diadakan sebanyak 5 kali
pertemuan.
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian

Pengaruh

Teknik

Role

Playing

untuk

Meningkatkan asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai di


SMKN 26 JAKARTA digunakan metode penelitian eksperimental.
Sugiyono mengatakan bahwa metode penelitian eksperimen dapat
diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari

59

pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang


terkondisikan (Sugiono, 2008).
D. Desain Eksperimen
Jenis penelitian eksperimen yang dilakukan adalah

Quasi

Experimental Design dengan bentuk Nonequivalent Control Group


Design. Desain ini sama seperti pretest posttest control group design
hanya pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol
tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2014: 79). Satu kelompok yang
menerima

perlakuan

disebut

kelompok

eksperimen

sedangkan

kelompok lain dijadikan sebagai pembanding disebut kelompok kontrol.


Desain ini tidak perlu melibatkan sebuah perlakuan perbandingan pada
kelompok kontrol. Paradigma dalam penelitian jenis ini adalah :
Desain Quasi Eksperimen (Nonequivalent Control Group
Design)

O1 X

O2

Keterangan:
O1
= Pretest pada O
kelompok
eksperimen
(sebelum diberikan
O4
3
X
O2

perlakuan)
= Treatment (perlakuan yang diberikan)
= Posttest pada kelompok eksperimen (setelah diberikan

O3
O4

perlakuan)
= pretest pada kelompok kontrol
= posttest pada kelompok kontrol

Paradigma

tersebut

dimaknai

sebagai

berikut,

kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol akan diberikan pretest. Selanjutnya,

60

kelompok eksperimen diberikan perlakuan sedangkan kelompok kontrol


tidak diberikan perlakuan. Kemudian kedua kelompok diberikan posttest.
Hasil dapat diperoleh dengan paradigma (O 2-O1) (O4-O3).
E. Perlakuan
TAHAP
Pembukaa

KEGIATAN

WAKTU

Mengungkapkan pengertian dan

10 menit

tujuan kegiatan kelompok dalam


rangka KKp.

Menjelaskan

azas-azas

dan

kegiatan konseling kelompok

Saling

memperkenalkan

dan

mengungkapkan diri.

Permainan

penghangatan

pengakraban.
Peralihan

Menjelaskan kegiatan yang akan


ditempuh pada tahap berikutnya.

Menjelaskan

pengertian

asertifitas

Menawarkan sambil mengamati

5 menit

61

apakah para anggotakelompok


sudah siap menjalani kegiatan
pada tahap selanjutnya (tahap
ketiga).

Membahas suasana yang terjadi.

Meningkatkan

kemampuan

keikutsertaan anggota kelompok.

Jika perlu kembali ke beberapa


aspek

tahap

pertama

(tahap

pembentukan).
Inti

10 Menit

Konselor akan menawarkan pada


2 orang anggota kelompok yang
bersedia

untuk

menceritakan

masalah yang ia alami mengenai


ketidakmampuannya

dalam

berlaku asertif akibat perceraian


pada orang tuanya.

Lalu,

konselor

pendapat

akan

pada

meminta
anggota

kelompok lain mengenai masalah

5 menit

62

pertama dan kedua tersebut.


20 menit

Konselor

akan

memulai

memberikan

masukan

penyelesaian

masalah

untuk
dengan

menggunakan Assertive Training


yang akan diperdalam dengan
penggunaan Teknik Role Playing.
Setelah konselor dirasa cukup
berhasil

meyakinkan

anggota

untuk

bersedia

kelompok

menjalankan Assertive Training,


maka konselor akan melanjutkan
dengan

menjelaskan

prosedur

dari Assertive Training dan Role


Playing . Lalu meminta pada 2
anggota kelompok pertama (yang
mempunyai
menjadi

masalah)

dirinya

menjalankan

sendiri,

untuk
dan

kemampuan

asertifnya semaksimal mungkin


sembari

membayangkan

63

kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi dalam situasi konflik di
dalam keluarganya. Sedangkan
anggota

kelompok

yang

lain

dapat berperan sebagi ego state


yang bermasalah dengan konseli.
Dalam

keadaan

berlatih

ini

konseli

dengan

anggota

kelompok untuk bertingkah laku


sesuai dengan apa yang akan
diuji coba pada dunia nyata.
Penutup

Pemimpin

Kelompok

mengemukakan bahwa kegiatan


akan segara diakhiri.

Pemimpin Kelompok dan anggota


kelompok mengemukakan kesan
dan hasil-hasil kegiatan.

Membahas kegiatan lanjutan.

Mengemukakan

pesan

dan

10 Menit

64

harapan.
Penerapan teknik Assertive Training pada penelitian ini dilakukan
dengan format konseling kelompok. Dalam penerapannya peneliti
memilih role playing sebagai teknik inti, agar siswa dapat meningkatkan
asertifitasnya. Siswa yang sudah ditentukan akan dibagi menjadi 2
kelompok (kelompok eksperimen & kelompok kontrol), setiap kelompok
beranggotakan

8-10

siswa.

Siswa

membentuk

lingkaran,

dan

menempatkan posisi dengan nyaman. Setelah siswa merasa nyaman


dengan

posisinya,

peneliti

kemudian

mulai

memberi

panduan

pelaksanaan konseling kelompok. Untuk pelaksanaannya, setiap


kelompok akan dipandu oleh peneliti dan konseling kelompok ini
berlangsung selama kurang lebih 60 menit.
Role Playing adalah model pembelajaran melalui pemeranan
sebuah situasi dalam hidup manusia dengan tanpa diadakan latihan
untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka mencari penyelesaian
dari suatu masalah yang sering dihadapi siswa dalam kehidupan sehari
hari dan dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang,
sebagai media pengajaran dan metode pelatihan ketrampilan tertentu.
Langkah-langkah pelaksanaan teknik AssertiveTraining (Role
Playing) dengan format konseling kelompok selengkapnya adalah
sebagai berikut:

65

1) Tahap 1: Tahap Pembentukan


Kegiatan awal dari sebuah kelompok dapat dimulai dengan
mengumpulkan calon anggota kelompok dalam rangka konseling
kelompok yang di rencanakan meliputi:
a) Pengenalan dan pengungkapan tujuan
Tahap pengenalan dan pengungkapan tujuan merupakan
tahap pengenalan dan tahap pelibatan diri atau tahap
memasukkan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok.
Pada tahap ini, pada umumnya para anggota saling
memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan
ataupun harapan yang ingin dicapai, baik oleh masingmasing , sebagian maupun seluruh anggota kelompok.
b) Terbangunnya kebersamaan
Hasil tahap awal suatu kelompok (menjelang dimasukinya
tahap pembentukan) mungkin adalah suatu keadaan
dimana para anggota kelompok belum merasa adanya
keterkaitan kelompok. Dalam keadaan seperti ini peranan
pemimpin kelompok adalah merangsang dan melibatkan
orang-orang

baru

dalam

suasana

kelompok

yang

diinginkan. Selain itu, pemimpin kelompok juga perlu


membangkitkan

minat-minat

berkepentingan

para

dan

anggota

kebutuhan
mengikuti

serta

kegiatan

kelompok yang sedang mulai di gerakkan tersebut.


c) Keaktifan pemimpin kelompok

66

Peranan pemimpin kelompok dalam tahap pembentukan


hendaknya benar-benar aktif. Namun, bukan berarti
pemimpin kelompok berceramah dan mengajarkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh anggota kelompok.
2) Tahap II: Peralihan
Sebelum melangkah lebih jauh ke tahap kegiatan kelompok yang
sebenarnya,

pemimpin

kelompok

menjelaskan

apa

yang

akan

dilakukan anggota kelompok pada tahap selanjutnya dalam kegiatan


kelompok, yaitu kegiatan inti.
Pada tahap ini, tugas pemimpin kelompok adalah membantu para
anggota

untuk

menghadapi

halangan,

keenganan,

sikap

mempertahankan diri, dan ketidaksabaran yang timbul. Pemimpin


kelompok perlu memiliki kemampuan tinggi untuk dapat menghayati
keadaan-keadaan yang dirasakan oleh anggota kelompok.
Tahap kedua ini nerupakan jembatan antara tahap pertama dan
tahap ketiga. Tahap penjembatan ini dapat di tempuh dengan sangat
lancar dan mudah tetapi dapat pula ditempuh dengan cara yang sulit.
Pemimpin kelompok dengan dengan gaya kemimpinan yang khas,
membawa anggota kelompok melewati tahap ini dengan lancar. Jika
perlu, beberapa hal pokok yang telah diuraikan pada tahap pertama
seperti kegiatan kelompok, asas kerahasian, kesukarelaan, dan
keterbukaan, diulangi, ditegaskan dan dimantapkan kembali.
3) Tahap III : Tahap Inti
Tahap ketiga merupakan tahap inti pada kegiatan konseling
kelompok,

sehingga

terdiri

dari

banyak

aspek

dan

isi

yang

67

keseluruhannya membutuhkan perhatian yang saksama dari pemimpin


kelompok, dan memilik alokasi waktu yang paling banyak dibandingkan
tahap-tahap yang lainnya. Pada tahap ketiga, hubungan antara anggota
kelompok tumbuh dengan baik. Kegiatan yang dilalukan pada tahap ini
adalah siswa mulai melakukan relaksasi autogenik yang dipandu oleh
pemimpin kelompok, yang sebelumnya telah dijelaskan tujuannya pada
tahap pembentukan. Hingga pada waktu yang tepat, pemimpin
kelompok

meminta

dari

permasalahannya. Setelah 2

anggota

kelompok

menceritakan

siswa dirasa cukup menceritakan

masalahnya, maka pemimpin kelompok meminta siswa yang lain untuk


menanggapi. Pemimpin kelompok akan mulai memberikan arahan dan
masukan untuk kelompok dapat menyelesaikan masalah dengan teknik
role playing.
Langkah Langkah Pelaksanaa Role Playing menurut Nursalim
(2002) dalam konseling kelompok adalah:
a) Pembimbing membicarakan suatu hal yang menarik dan dapat
menggerakkan perasaan atau emosi individu, sehingga mereka dapat
mengadakan identifikasi dengan orang-orang atau tokoh-tokoh dalam
cerita. Masalah dalam cerita harus dipahami, sehingga secara mudah
tergugah untuk ikut berpartisipasi dalam masalah penyelesaian dan
pengentasannya.

68

b) Setelah pembimbing selesai dalam ceritanya, kemudian menentukan


individu yang akan berperan sebagai tokoh-tokoh tertentu.
c) Cerita yang didramakan, individu bukan hanya dihadapkan pada satu
persoalan saja, tetapi mereka dihadapkan pada bagaimana dia sendiri
memilih jalan keluar dari masalah tersebut sebagai akhir cerita, untuk
ini

perlu

dipersiapkan

terlebih

dahulu

penonton

yang

akan

memberikan penilaian terhadap jalannya cerita dalam drama, dan


sikap-sikap yang salah atau tidak seharusnya dilakukan.
d) Saat melakukan drama tidak adanya batasan waktu. Disini yang
penting bukan kepandaian berakting, tetapi yang diutamakan adalah
spontanitas dalam berperan, gerak dan mengucapkan kata-kata.
e) Setelah pementasan drama, diadakan diskusi-diskusi yang
membahas baik dan tidaknya pengentasan masalah tadi. Diskusi ini
dilakukan oleh individu pemegang peran, penonton dan pembimbing.
Dalam hal ini saran-saran pengatasan yang baik, wajar dan
seharusnya dilakukan perlu dikemukakan, sehingga individu akan
memperoleh suatu gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan
penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
Setelah diskusi dilakukan, diadakan pementasan
drama kembali dengan pemain dari individu yang
berbeda. Hal ini dimaksudkan agar dapat ditemukan cara
penyelesaian yang sebaik-baiknya.
4) Tahap IV : Pengakhiran
Suatu kegiatan kelompok tidak dilakukan terus menerus tanpa
berhenti. Setelah kegiatan kelompok sudah memuncak pada tahap

69

ketiga, kegiatan kelompok kemudian menurun dan selanjutnya


kelompok akan mengakhiri kegiatannya pada saat yang dianggap tepat.
Ketika kelompok memasuki tahap pengakhiran, kegiatan kelompok
hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang
apakah para anggota kelompok akan mampu menerapkan hal-hal yang
telah mereka pelajari pada kehidupan nyata mereka sehari-hari.
F. Populasi, Sample dan Teknik Sampling
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Arikunto (2010)
menjelaskan, bahwa apabila seseorang ingin meneliti seluruh elemen
yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya adalah
populasi. Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang memiliki kualitas
atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan ditarik kesimpulannya. Populasi adalah sekumpulan objek yang
akan diteliti, dimana dari sekumpulan objek tersebut diperoleh informasi
yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Populasi dari
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X dari orang tua yang bercerai
di SMKN 26 Jakarta yang memiliki asertifitas rendah.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi. Sampel dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X
dari orang tua yang bercerai di SMKN 26 Jakarta.

70

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini untuk


menentukan sampel adalah purposive sampling. Purposive sampling
adalah teknik menentukan sample dengan pertimbangan tertentu
sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Peneliti memutuskan untuk
memilih sampling ini karena peneliti tidak mengambil sample secara
acak melainkan sudah memiliki kriteria tertentu yaitu siswa dengan
tingkat asertifitas rendah.
G. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data non-tes,
yaitu berupa angket. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada
penelitian ini adalah angket untuk mengukur tingkat asertivitas siswa
kelas X dari orang tua yang bercerai di SMKN 26 Jakarta. Pilihan
jawaban untuk mengisi instrumen menggunakan skala Likert. Alasan
penggunaan skala Likert adalah bahwa skala

ini dapat digunakan

untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau


sekelompok tentang fenomena sosial, dalam hal ini asertifitas
(Sugiyono, 2008). Dalam penelitian, fenomena sosial ini selanjutnya
disebut sebagai variabel penelitian. Variabel penelitian ini adalah tingkat
asertivitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai di SMKN 26
Jakarta. Setiap pernyataan diberikan empat pilihan jawaban. Setiap
jawaban untuk pernyataan positif diberi skor 4-3-2-1, dan untuk
pernyataan negatif diberikan skor 1-2-3-4.

71

H. Instrumen Penelitian
1. Definisi Konseptual
a. Asertifitas
Berdasarkan pendapat para ahli bahwa perilaku asertif akan
mendukung tingkah laku interpersonal yang secara stimultan akan
berusaha untuk memenuhi kepuasan individu semaksimal mungkin
dengan secara bersamaan juga mempertimbangkan keinginan orang
lain, karena hal itu tidak hanya memberikan penghargaan pada diri
sendiri tapi juga kepada orang lain.
Mengacu pada pengertian asertif yang dikemukakan oleh
beberapa ahli bahwa, dapat dikatakan bahwa asertifitas adalah sebuh
kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan, rasakan, dan
ingin

dilakukan,

serta

mampu

mengatakan

tidak

tanpa

menghilangkan hak-hak anggota keluarga lainnya, demi kelangsungan


bersama (keluarga) dalam menyelesaikan konflik yang ada.
b. Teknik Role Playing
Role Playing adalah model pembelajaran melalui pemeranan
sebuah situasi dalam hidup manusia dengan tanpa diadakan latihan
untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka mencari penyelesaian
dari suatu masalah yang sering dihadapi siswa dalam kehidupan sehari
hari dan dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang,
sebagai media pengajaran dan metode pelatihan ketrampilan tertentu.
2. Definisi Operasional
a. Asertifitas

72

Definisi operasional dari variabel Asertifitas adalah skor yang


diperoleh melalui instrumen asertifitas berdasarkan aspek - aspek
asertif yang dikemukakan oleh Bedell & Lennox, sebagi berikut :
1) Kontak mata.
Kontak mata langsung dan terbelalak sangat diperlukan dalam
berkomunikasi sehingga pesan dapat tersampaikan dengan
baik.
2) Postur tubuh.
Postur tubuh berkomunikasi asertif yang baik ketika berdiri
maupun duduk yang tegak, menghadap lawan bicara, sedikit
mencondongkan badan, aktif, serta membentuk posisi tidak
seimbang (asimetris) akan menambah keasertifan dan pesan
dapat diterima dengan baik.
3) Gerak tubuh.
Mengaksentuasikan pesan dengan gerak tubuh yang baik
juga mampu menyatakan keterbukaan, kehangatan, serta
kekuatan pesan.
4) Jarak.
Dalam berkomunikasi yang asertif jarak juga mempunyai
pengaruh dalam menyampaikan pesan penerimaannya. Oleh
karena itu menjaga jarak yang tepat kira-kira 45-90 cm dari
lawan

bicara

merupakan

hal

yang

penting

dalam

berkomunikasi yang asertif.


5) Kesenyapan sesaat (latency).
Ketika seseorang sedang berkomunikasi yang asertif ia dapat
yakin dan pasti merespon pernyataan ataupun pertanyaan

73

lawan bicaranya serta mengetahui betul bagaimana dan


kapan untuk melakukan interupsi.
6) Suara.
Suara yang tegas, volume yang cukup tidak terlalu keras,
tertata rapi, serta kecepatan yang normal tidak terlalu cepat
atau lambat.
b. Teknik Role Playing
Melalui teknik Role playing siswa dari orang tua bercerai yang
memiliki

tingkat

asertif

rendah

akan

belajar

melakukan

pratik

berkomunikasi secara lugas, tegas, dapat menyampaikan apa yang


dirasakan,

pikirkan,

mampu

mengatakan

tidak,

mengajukan

pertanyaan dan pendapat yang dapat melatih dirinya dalam sebuah


drama agar mempunyai kemampuan asertif dalam kehidupan sehari
hari, terlebih ketika ia sedang berada pada konflik keluarga.
3. Instrumen Penelitian
a. Jenis Instrumen
Instrumen adalah suatu alat yang memenuhi persyaratan
akademis, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengukur
suatu obyek ukur atau mengumpulkan data mengenai suatu variable.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen yang digunakan
untuk mengukur tingkat asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang
bercerai di SMKN 26 Jakarta dari Benell & Lennox.
Instrumen tersebut akan diberikan dua kali, yaitu sebelum
perlakuan dan sesudah perlakuan. Instrumen yang diberikan sebelum
perlakuan digunakan untuk mengetahui tingkat asertifitas siswa kelas X

74

dari orang tua yang bercerai di SMKN 26 Jakarta. Sedangkan


instrumen

yang

diberikan

setelah

perlakuan

digunakan

untuk

mengetahui tingkat asertifitas setelah melakukan teknik role playing.


Hal tersebut akan memperlihatkan efektifitas berupa teknik role playing
terhadap tingkat asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai
di SMKN 26 Jakarta.
4. Skala Ukur
Skala ukur yang digunakan dalam instrument penelitian ini
adalah skala ukur Likert. Skala Likert adalah skala yang dapat
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang
atau sekelompok tentang fenomena sosial, dalam hal ini asertifitas
(Sugiyono, 2008). Setiap pernyataan diberikan empat pilihan jawaban.
Setiap jawaban untuk pernyataan positif diberi skor 4-3-2-1, dan untuk
pernyataan negatif diberikan skor 1-2-3-4. Jawaban setiap item
instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari
sangat positif sampai sangat negative, atau berupa kata lain seperti
selalu, sering, jarang (kadang-kadang), dan tidak pernah.
5. Teknik Penyekoran Instrumen
Instrumen harga diri memiliki empat pilihan jawaban yaitu selalu
(SL), sering (SR), jarang (JR), dan tidak pernah (TP). Rentangan nilai
yang dipakai dalam instrumen ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4
Teknik Penilaian Instrumen Asertifitas

75

Jawaban
Selalu
Sering
Jarang
Tidak Pernah

Pernyataan Positif
4
3
2
1

Pernyataan Negatif
1
2
3
4

6. Kisi-kisi
Variabel

Aspek

Indikator
Adanya Kompromi /
Kesepakatan

Verbal

Adanya ekspresi yang


dikemukakan secara
langsung
Sesuai dengan situasi
dan kondisi

Perilaku Asertif

Kontak Mata
Non Verbal

Sikap Tubuh
Jarak
Kesenyapan
Suara

7. Uji Coba Instrumen


a. Reliabilitas Instrumen

76

Untuk menguji reliabilitas dari butir-butir soal yang valid dapat


menggunakan rumus uji reliabilitas yakni alpha cronbach. Maka
digunaan rumus sebagai berikut (Arikunto, 2010):
k

r 11 =
1 2
k 1
1

( )(

Keterangan:
r 11 = reliabilitas yang dicari

2=

jumlah varians butir

21= varians total

= banyak butir pertanyaan

Nilai r yang diperoleh kemudian dikonsultasikan ke tabel


interpretasi dengan menggunaan klasifikasi Guilford, sebagai
berikut:
Kaidah Reliabilitas Guilford
Koefisien Reliabilitas

Interpretasi

0,00-0,20

Tidak Reliabel

0,20-0,40

Kurang Reliabel

77

0,40-0,70

Cukup Reliabel

0,70-0,90

Reliabel

0,90-1,00

Sangat Reliabel

I. Teknik Analisis Data


Data yang dihasilkan dalam penelitian ini berdistribusi tidak
normal, sehingga penelitian ini menggunakan statistika nonparametrik.
Statistik nonparametrik kebanyakan digunakan untuk menganalisis data
nominal, ordinal. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Mann Whitney U-Test dengan menggunakan bantuan aplikasi
Statistical Package for the Social Sciences (SPSS). Mann Whitney UTest digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel
independen bila datanya berbentuk ordinal (Sugiyono, 2014: 152). Tes
U Mann Whitney dapat dipakai untuk menguji apakah dua kelompok
independen telah ditarik dari populasi yang sama. Tes ini termasuk
dalam tes-tes paling kuat di antara tes-tes nonparametrik (Siegel: 1997:
145). Dalam penelitian ini, hasil pretest akan dibandingkan dengan hasil
posttest untuk mengukur pengaruh perlakuan dan menarik kesimpulan.
Hipotesis dalam penelitian ini diuji pada taraf signifikansi = 0.05
atau dengan tingkat kesalahan sebesar 5%. Kriteria uji hipotesis pada
penelitian ini adalah:
H0 ditolak
= nilai asymp. Sig < nilai signifikansi = 0.05
H0 diterima
= nilai asymp. Sig > nilai signifikansi = 0.05

78

J. Hipotesis Statistik
Hipotesis statistik yang diuji dalam penelitian ini yaitu:
H0
: 1 2
Tidak terdapat pengaruh teknik role playing terhadap tingkat
asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai di SMKN
26 Jakarta.

H1

1 < 2
Terdapat pengaruh teknik role playing terhadap tingkat
asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai di SMKN
26 Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

79

Anni Townend. (2007). Assertiveness and diversity. New York :


Palgrave Macmillan.
Corey, Gerald. (2007). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi.
Bandung: PT Refika Aditama.
Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Dorlands Medical Dictionary, (http://en.wikipedia.org/wiki/asertiveness)
Falentina, Febie Ola & Alma Yulianti. (2012). Asertivitas Terhadap
Pengungkapan Emosi Marah Pada Remaja. Jurnal Psikologi. Vol.
8 No 1
Fitri, Susi. (2013). Bimbingan dan Konseling Keluarga, Panduan Bagi
Konselor Sekolah dan Pendamping Remaja. Jakarta: FIP Press.
Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta:
Erlangga
Hartinah, S. (2009). Konsep Dasar Bimbingan Kelompok. Bandung: PT.
Refika Aditama.
http://irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/teknik-asertif-training.html
diunduh pada 07 Juni 2015.
http://lutfifauzan.wordpress.com/2010/01/12/makalah-konseptualassertive-training/ diunduh pada 07 Juni 2015.
http://macampenyakit.com/6-dampak-perceraian-orang-tua-terhadapkualitas-hidup-anak/#sthash.4TOgRbpu.dpuf diunduh pada 07
Juni 2015
http://misscounseling.blogspot.com/2011/03/tehnik-konseling-asertiftraining.html diunduh pada 07 Juni 2015.
http://www.dishidros.go.id/buletin/221-dampak-perceraian-bagiperkembangan-psikologis-anak.html

80

Jalaludin Rakhmat. (2004). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT.


Remaja Rosda Karya
Jeffrey R. Bedell dan Shelley S. Lennox. (1997). Handbook for
Communication and Problem Solving Skills- Training A Cognitive
Behavioral Approcah. USA: John Willey & Sons, Inc.
Joseph Wolpe, Psychotherapy by Reciprocal Inhibition (California:
Stanford
Univeristy
Press,
1958),
h.53-62,
(http://en.wikipedia.org/wiki/assertiveness)
Pujiastuti, Reny Diyah & Sri Lestari. (2008). Dinamika Psikologis
Terjadinya Perceraian Pada Perempuan Bercerai. Indigenous,
Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi. Vol. 10, No. 2 : 16-27.
Tarsidi, Iding. 2002. Makalah. Terapi Tingkah Laku (Behaviour
Therapies). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Wicaksono, Galih & Dr. Najlatun Naqiyah, S. Ag, M.Pd. (2013).
Penerapan Teknik Bermain Peran Dalam Bimibingan Kelompok
Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Interpersonal
Siswa Kelas X Multimedia SMK IKIP Surabaya. Journal
Mahasiswa Bimbingan Konseling. Vol. 1, No. 1 : 61-78.
Ratna Maharani Hapsari dan Retnaningsih, Sumbangan Perilaku
Asertif Terhadap Harga Diri Karyawan (Jurnal Psikologi No. 1. Vol.
1, Fakultas Psikologi Pendidikan Universitas Gunadarma, Jakarta,
2007) h.2
Robert Alberti dan Michael Emmons, Your Perfect Right, terj. Ursula G.
Budi Tjahya (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002), h.11
Singgih. D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011), h. 216
Sue bishop, Develop Your Assertiveness, Second Edition, (London:
Kogan Page, 2010), h. 1
Willis, Prof. Dr. H. Sofyan S. (2009). Konseling Keluarga (Family
Counseling). Bandung : Penerbit Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai