PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah manusia, keluarga merupakan pusat, bahkan
ada yang menganggap sebagai satu-satunya lembaga yang menjaga
manusia dari kepunahan. Keluarga melakukan berbagai aktifitas dan
pemenuhan
adanya,
saling
berhubungan,
mendapatkan
kenyamanan,
diantaranya
bercerai.
Angka-angka
tersebut
dapat
bahwa
setiap
tahunnya
angka
perceraian
selalu
panik,
merasa
menyimpang,
kehilangan
orang
tua,
edukasional, dibandingkan remaja dari orang tua yang utuh. Kondisi ini
menimbulkan asumsi bahwa siswa yang memiliki orang tua yang
bercerai secara psikis kurang baik karena siswa kurang mendapat
perhatian kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya dan
mengakibatkan prestasi akademik yang buruk.
Bagi remaja mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang
sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa
akan ada perceraian dalam keluarganya. Keadaan psikologi mereka
akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga.
Mereka
akan
sangat
terpukul,
kehilangan
harapan,
cenderung
kondisi seperti ini dapat membawa remaja pada keadaan emosi yang
tidak stabil karena belum tercapainya kematangan kepribadian dan
pemahaman nilai sosial remaja sebagai manusia yang sedang
berkembang menuju tahap dewasa yang mengalami perubahan dan
pertumbuhan yang pesat. Perkembangan pada masa remaja pada
dasarnya meliputi aspek fisiologi, aspek psikologis dan aspek sosial
(Walgito, 1988).
Dampak perceraian terhadap perkembangan seorang anak,
khususnya remaja awal adalah ketika orang tua mereka bercerai, orang
tua akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak
mereka. Hal tersebut dikarenakan pihak orang tua biasanya akan
didahului dengan proses berpikir dan pertimbangan yang panjang,
sehingga terdapat persiapan mental dan fisik dari mereka.
Tidak demikian halnya dengan anak yang sudah beranjak remaja,
mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh
orang tua, tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah
secara tiba-tiba. Keputusan yang terkadang datang secara tiba-tiba ini,
akan membuat tekanan tersendiri pada diri anak, tak jarang mereka
memendam apa yang ingin meraka katakan dan rasakan, sehingga
keadaan rumah menjadi berubah. Komunikasi yang dibalut dengan
rasa
takut,
kecemasan,
namun
ada
keinginan
kuat
untuk
dilihat
saja
perkembangan
anak
akibat
perceraian
10
orang tua mereka telah bercerai, dan akibat dari proses perceraian
tersebut hingga keadaan yang berubah sekarang ini menimbulkan
kecemasan-kecemasan dan tekanan. Saat ini mereka sulit untuk bisa
berperilaku asertif. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat
menyatakan bahwa begitu besar dampak yang diterima anak akibat
percerain orang tua. Setidaknya kurang lebih dari 150.000 kasus
perceraian yang diterima oleh pihak KPAI terdapat 130.000 diantaranya
memberikan dampak pada sang anak dengan menurunnya tingkat
asertifitas. Hal ini terlihat ketika anak dihadapkan pada sidang
perceraian yang dilakukan pada orang tuanya, dan penulusuran
dilanjutkan dengan diadakannya mediasi kepada para anak-anak
korban perceraian.
Ketika seorang anak dalam hal ini adalah remaja, maka ia
membutuhkan pandangan keluarga untuk mengkontrol aktifitasnya, halhal yang ia anggap benar, yang ingin ia ketahui, atau ia sampaikan.
Remaja sebagi periode yang penting, peralihan, perubahan, yang
paling sering bermasalah, mencari identitas, menimbulkan ketakutan,
tidak realistik, diambang masa kedewasaan, bayangkan di masa seperti
ini mereka harus mengalami kesedihan atas perpisahan orang tua.
Meskipun remaja terlihat pasif, namun dalam dirinya mereka banyak
mengalami kekacauan. Stanley Hall, dalam buku karangan John W.
11
mereka
masih
menjalani
peran
remaja,
sehingga
tugas
ikut
berubah.
Perkembangan
biologis
pada
remaja
lingkungan
lingkungan,
terutama
keluarga
untuk
menentukan
yang
berujung
pada
ketakutakan,
kecemasan,
12
13
latarbelakang
yang
telah
dipaparkan,
dapat
14
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan
masalah, maka fokus pada penelitian ini adalah Apakah terdapat
pengaruh teknik role playing untuk meningkatkan asertifitas siswa kelas
X dari orang tua yang bercerai di SMKN 26 Jakarta?
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa
a. Meningkatkan asertifitas siswa kelas X yang mengalami
perceraian pada orang tua.
b. Siswa dapat menggunakan teknik role playing pada situasi lain
yang mengakibatkan menurunnya kemampuan asertifitas.
c. Siswa dapat membantu guru BK untuk melaporkan jika terlihat
tanda-tanda yang sama dengan yang dialaminya dulu pada
siswa yang lain.
2. Bagi Peneliti
a. Mampu membuktikan
keefektifan
teknik
role
playing
untuk
lebih
waspada
terhadap
ciri-ciri
terjadinya
penurunan
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Asertif
a. Pengertian
Asertif adalah suatu pernyataan tentang perasaan, keinginan dan
kebutuhan pribadi kemudian menunjukkan kepada orang lain dengan
penuh percaya diri, namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak
serta perasaan orang lain. (Taumbmann, 1976)
Menurut Alberti dan Emmons (dalam Hapsari & Retnaningsih,
2007) Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan
apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain
16
diri,
menerima
diri
sendiri
dan
mengembangkan
17
18
19
20
Branden
mengatakan
bahwa
perilaku
asertif
perlu
21
mengatakan
bahwa
cara
mengasuh
anak
yang
22
pada
anak
untuk
lebih
mengutamakan
diri
terhadap
perubahan-perubahan,
lebih
23
a. Pengertian
Latihan asertif merupakan latihan keterampilan-sosial yang
diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu
mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain
merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya
dengan benar dan cepat tersinggung (Lutfifauzan, 2010). Corey (1995)
menyatakan bahwa asumsi dasar dari pelatihan asertifitas adalah
bahwa
setiap
orang
mempunyai
hak
untuk
mengungkapkan
untuk
menerima
kenyataan
bahwa
menyatakan
atau
menegaskan diri adalah tindakan yang layak dan benar. Latihan asertif
akan membantu bagi orang-orang yang tidak mampu mengungkapkan
kemarahan atau perasaan tersinggung, memiliki kesulitan untuk
mengatakan tidak, merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaanperasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
b. Tujuan
24
cara
sehingga
memantulkan
kepekaan
kepada
cara
sedemikian
rupa
sehingga
terefleksi
dan
yang
membiarkan
orang
lain
memanfaatkannya.
3) Melatih individu yang merasa bahwa dirinya tidak
memiliki hak untuk menyatakan pikiran, kepercayaan,
dan perasaan-perasaannya.
4) Melatih individu yang sulit mengungkapkan rasa kasih
dan respon-repon positif yang lain.
5) Meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri.
6) Membantu untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.
7) Meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan.
25
8) Dapat berhubungan
dengan
orang
lain,
dengan
perilaku
dalam
konseling.
Prosedur-prosedur
ini
dengan
yang
permasalahan
diinginkan
yang
konseli
dihadapi
dan
26
klien
untuk
membedakan
perilaku
yang
rangka
menyelesaikan
permasalahannya
dan
memperkuat penjelasannya.
5) Mengungkapkan ide-ide yang tidak rasional, sikap-sikap dan
kesalahpahaman yang ada dipikiran konseli.
Konselor dapat mengungkap ide-ide konseli yang tidak rasional
yang
menjadi
kesalahpahaman
penyebab
yang
masalahnya,
mendukung
sikap-sikap
timbulnya
dan
masalah
tersebut.
6) Menentukan respon-respon asertif/sikap yang diperlukan
untuk menyelesaikan permasalahannya (melalui contohcontoh).
7) Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulangulangnya.
27
konselor
laku
yang
diinginkan.
Penguatan dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa konseli harus
dapat bersikap tegas terhadap permintaan orang lain padanya,
sehingga orang lain tidak mengambil mafaat dari kita secara
bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah konseli dapat
menerapkan apa yang telah dilatihnya dalam situasi yang
nyata.
e. Karakteristik assertive (social skills) training, yaitu:
1) Cocok untuk individu yang memiliki kebiasaan respon;
cemas (anxiety-response) dalam hubungan interpersonal,
yang
tidak
adaptif,
sehingga
menghambat
untuk
28
kelarga,
sekolah,
organisasi,
dan
sebagainya.
Dimana
akan
menghambat
individu
untuk
seperti
yang
29
kenyataan,
pembukaan
diri
mengenai
seluruh
perasaan
30
bimbingan
dan
konseling
dimaksudkan
untuk
Konseling
kelompok
memberikanforum
yang
tepat
bagi
31
sebagai
32
situasi kelompok yang terdiri dari dua atau lebih individu yang bertujuan
untuk memberikan informasi secara luas kepada konseli dan membantu
konseli dalam permasalahannya dirinya serta mencapai tujuan
kelompok yang telah disepakati bersama.
b. Tujuan Konseling Kelompok
Tujuan utama dalam layanan konseling
kelompok adalah
untuk
33
9) Para anggota kelompok belajar komunikasi dengan anggotaanggota lain secara lebih terbuka, dengan saling menghargai
dan menaruh perhatian.
c. Kelebihan dan Kekurangan Konseling Kelompok
Layanan bimbingan dan konseling memiliki beberapa kelebihan
dan kelemahan. Bagi peserta didik kelebihan konseling kelompok
adalah (Corey, 2012) :
1) Dapat memenuhi kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan untuk
menyesuaikan diri dengan temna-teman sebaya dan diterima oleh
mereka.
2) Mampu memenuhi kebutuhan untuk bertukar pemikiran dan berbagi
perasaan.
3) Dapat memenuhi kebutuhan diri agar lebih mandiri.
4) Individu dapat lebih mudah membicarakan persoalan yang dihadapi
dalam situasi kelompok dibandingkan dalam situasi konseling
individu.
5) Individu lebih rela mendengarkan pendapat dari rekan konseli atau
dari konselor yang memimpin kelompok.
6) Individu akan lebih terbuka terhadap tuntutan yang mengatur
tingkahlakunya agar memiliki hubungan sosial yang baik.
d. Pelaksanaan Konseling kelompok
1) Pembentukan dan Pengorganisasian Kelompok.
Pembentukan
diperhatkan
kelompok
dengan
merupakan
hati-hati.
hal
Seorang
yang
perlu
konselor
perlu
34
akan digunakan ?
Apa topik yang akan dieksplorasi kelompok ini ?
35
Tujuan
Tujuan pembentukan kelompok hendaknya spesifik, terukur,
dan dapat dicapai dalam waktu tertentu. Cara mencapai tujuan
tersebut tersebut juga perlu dipikirkan.
Pertimbangan-pertimbangan praktis
Pertimbangan-pertimbangan praktis ini meliputi : apakah ada
batasan-batasan tertentu untuk menjadi anggota kelompok
(jumlah, usia, masalah dan sebagainya), waktu pertemuan,
frekuensi pertemuan an durasi pertemuan.
Prosedur
Dalam menggunakan
prosedur
pelaksanaan
konseling
kelompok.
Evaluasi
Dalam melakukan
evaluasi,
diarahkan
pada
penilaian
36
Dalam
membentuk
kelompok
konseling,
beberapa
Presentasi kelas
Poster
Pengumuman
Iklan atau artikel di koran
Menghubungi guru
Mengirimkan surat kepada orang tua
Program pendampingan mahasiswa
Tim penelitian
tahap
ini
akan
diwarnai
37
tersebut,
tahap
ini
akan
memunculkan
kasih.
Berdoa.
Menjelaskan pengertian konseling kelompok.
Menjelaskan tujuan konseling kelompok.
Menjelaskan cara pelaksanaan konseling kelompok.
Menjelaskan asas-asas konseling kelompok.
Melaksanakan perkenalan dilanjutkan rangkaian
nama
b) Tahap Peralihan
Tujuan tahap ini adalah membangun iklim saling percaya
yang mendorong anggota menghadapi rasa takut yang
muncul pada tahap awal. Konselor perlu memahami
i)
atau
apabila
sebagian
anggota
belum
siap
secara
untuk
38
dan
tindakan
yang
efektif.
Menjelaskan
untuk
39
Blatner.
Blatner
menspesifikasikan
role
playing
sebagai
40
tujuan
khusus
yang
berupa
perilaku
peran,
41
42
memilih jalan keluar dari masalah tersebut sebagai akhir cerita, untuk
ini
perlu
dipersiapkan
terlebih
dahulu
penonton
yang
akan
43
Perceraian adalah
peristiwa yang traumatis bagi semua pihak yang terlibat bagi pasangan
yang tak lagi dapat hidup bersama dan juga bagi anak-anak,
mertua/ipar, sahabat, serta teman Cole (2004). Sedangkan, menurut
Yusuf (2004), perceraian orang tua adalah keadaan keluarga yang tidak
harmonis, tidak stabil atau berantakan.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dikenal istilah perceraian,
namun bagi yang menganut agama Islam perceraian ini sering disebut
44
talak, kata talak ini didapati pada Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun
1975. Adapun yang dimaksud dengan perceraian atau talak ialah
pemutusan
hubungan
perkawinan
antara
suami
istri
dengan
oleh
suami
menggunakan
kata
baik
lisan
maupun
kata
yang
menjurus
secara
tulisan
kepada
dan
perceraian
dapat
mengguncangkan
menggelisahkan
masyarakat.
kestabilan
Klasifikasi
jiwa
anak
perceraian
serta
dalam
45
bagi
mereka
perkawinannya
yang
menurut
dan
bagi
seorang
istri
yang
46
perceraian
hanya
dapat
dibuktikan
dengan
keputusan
47
tidak diakui oleh negara. Perceraian baik secara resmi maupun secara
tidak resmi berdampak negatif bagi
pasangan
yang
bercerai,
lingkungan, dan yang paling terasa berat dampaknya terjadi pada anak.
Komnas Perlindungan Anak Indonesia Pusat menyebutkan, adapun
dampak perceraian itu sendiri dapat menyebabkan:
1) Anak memiliki amarah yang tinggi sehingga memungkinkan ia menjadi
frustasi dan
tangga.
Pelampiasannya
tersebutlah
yang
terkadang
pemberontakan,
48
bercerai
memang
berpengaruh
terhadap
pada
perkembangn
diberikan
oleh
seorang
ibu
tunggal
kepada
anak
yang
Dari sinilah
49
secara
50
51
depresi,
bermusuh-musuhan,
impulsif,
agresivitas
yang
B. Kerangka Berpikir
Setiap manusia dewasa memiliki tugas perkembangan, salah
satunya adalah menikah. Tak satupun manusia yang merencanakan
perceraian saat baru melangsungkan pernikahan. Namun, tidak bisa
dipungkiri kalau perceraian dapat terjadi saat sepasang suami istri tidak
dapat lagi menyatukan visi dalam membangun bahtera rumah tangga.
Saat perceraian terjadi, bukan hanya pasangan suami istri yang
menerima dampaknya. Bila mereka telah memiliki anak, anaklah yang
menjadi korban. Kebingungan anak atas perpisahan orang tuanya serta
rasa bersalah saat salah satu orang tua meninggalkannya dapat
berakibat buruk bagi perkembangan psikologis anak. Terlebih ketika
semasa ia hidup bersama orang tuanya ia mendapatkan tekanan, atau
didikan yang otoriter. Sebagian besar dampak perceraian pada anak
52
adalah
menurunnya
asertifitas.
Anak
tak
lagi
mampu
pun
segan
untuk
menginisiasikan
percakapan,
mengajukan
pertanyaan dan pendapat, dan yang lebih buruk adalah anak akan
terus memendam hal tersebut bahkan emosinya yang dapat merusak
tidak hanya mental, namun kesehatan.
Beberapa hal yang akhirnya menjadi hambatan bagi seseorang
berperilaku asertif antara lain karena banyak orang yang tidak percaya
bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif, cemas dan takut
untuk berperilaku asertif, dan banyak yang kurang terampil dalam
mengekspresikan diri secara efektif. Hal ini diungkapkan oleh Alberti
dan Emmons, dalam bukunya Your Perfect Right. Terj. Ursula G. Budi
Tjahya (2002).
Assertiv Training yang di perdalam dengan menggunakan teknik
role playing memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar dan
memulai meningkatkan kemampuan asertifnya. Ia mulai dengan
mendefinisikan, atau menceritakan seluruh konflik yang sering atau
tengah ia hadapai dalam keluarga (dalam konteks perceraian pada
orang tua) , lalu ia akan mulai mendeskripsikan tekanan tekanan yang
ia terima sehingga ia tidak mampu mengkomunikasikan apa yang
seharusnya. Menggambarkan segala bentuk ketakutan, kecemasan,
53
rasakan,
pikirkan,
dan
hendak
dilakukan.
Mencoba
untuk
disaat-saat
yang
dibutuhkan
ketika
ia
hendak
untuk
menerima
kenyataan
bahwa
menyatakan
atau
menegaskan diri adalah tindakan yang layak dan benar. Latihan asertif
54
Pelatihan
C. Penelitian Terkait Asertifitas siswa kelas x
dari
orangtua
Asertifyang
1. Ratna Maharani
Hapsari
dan yang
Retnaningsih. Penelitian
bercerai di SMKN 26
(Assertive
Training)
Role
berjudul Perilaku Asertif dan Harga Diri Kayawan. Fakultas
signifikan
55
Oryza
menyatakan
bahwa
hasil
penelitian
Psikologi
Pendidikan
dan
Bimbingan
IKIP
PGRI
melalui
Teknik
Assertive
Training
dalam
56
Perceraian
Orangtua
Terhadap
Perkembangan
Orangtua
Terhadap
Psikologi
Anak
Dalam
57
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh teknik role playing untuk meningkatkan asertifitas siswa kelas
X dari orang tua yang bercerai di SMKN 26 JAKARTA.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMKN 26 JAKARTA,
beralamatkan di Jalan Balai Pustaka I, Rt 07 / Rw 07, Kel.
Rawamangun, Kec. Pulogadung, Jakarta Timur.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester 8 tahun ajaran
2015/2016. Konseling Kelompok akan diadakan sebanyak 5 kali
pertemuan.
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian
Pengaruh
Teknik
Role
Playing
untuk
59
Quasi
perlakuan
disebut
kelompok
eksperimen
sedangkan
O1 X
O2
Keterangan:
O1
= Pretest pada O
kelompok
eksperimen
(sebelum diberikan
O4
3
X
O2
perlakuan)
= Treatment (perlakuan yang diberikan)
= Posttest pada kelompok eksperimen (setelah diberikan
O3
O4
perlakuan)
= pretest pada kelompok kontrol
= posttest pada kelompok kontrol
Paradigma
tersebut
dimaknai
sebagai
berikut,
kelompok
60
KEGIATAN
WAKTU
10 menit
Menjelaskan
azas-azas
dan
Saling
memperkenalkan
dan
mengungkapkan diri.
Permainan
penghangatan
pengakraban.
Peralihan
Menjelaskan
pengertian
asertifitas
5 menit
61
Meningkatkan
kemampuan
tahap
pertama
(tahap
pembentukan).
Inti
10 Menit
untuk
menceritakan
dalam
Lalu,
konselor
pendapat
akan
pada
meminta
anggota
5 menit
62
Konselor
akan
memulai
memberikan
masukan
penyelesaian
masalah
untuk
dengan
meyakinkan
anggota
untuk
bersedia
kelompok
menjelaskan
prosedur
masalah)
dirinya
menjalankan
sendiri,
untuk
dan
kemampuan
membayangkan
63
kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi dalam situasi konflik di
dalam keluarganya. Sedangkan
anggota
kelompok
yang
lain
keadaan
berlatih
ini
konseli
dengan
anggota
Pemimpin
Kelompok
Mengemukakan
pesan
dan
10 Menit
64
harapan.
Penerapan teknik Assertive Training pada penelitian ini dilakukan
dengan format konseling kelompok. Dalam penerapannya peneliti
memilih role playing sebagai teknik inti, agar siswa dapat meningkatkan
asertifitasnya. Siswa yang sudah ditentukan akan dibagi menjadi 2
kelompok (kelompok eksperimen & kelompok kontrol), setiap kelompok
beranggotakan
8-10
siswa.
Siswa
membentuk
lingkaran,
dan
posisinya,
peneliti
kemudian
mulai
memberi
panduan
65
baru
dalam
suasana
kelompok
yang
minat-minat
berkepentingan
para
dan
anggota
kebutuhan
mengikuti
serta
kegiatan
66
pemimpin
kelompok
menjelaskan
apa
yang
akan
untuk
menghadapi
halangan,
keenganan,
sikap
sehingga
terdiri
dari
banyak
aspek
dan
isi
yang
67
meminta
dari
permasalahannya. Setelah 2
anggota
kelompok
menceritakan
68
perlu
dipersiapkan
terlebih
dahulu
penonton
yang
akan
69
70
71
H. Instrumen Penelitian
1. Definisi Konseptual
a. Asertifitas
Berdasarkan pendapat para ahli bahwa perilaku asertif akan
mendukung tingkah laku interpersonal yang secara stimultan akan
berusaha untuk memenuhi kepuasan individu semaksimal mungkin
dengan secara bersamaan juga mempertimbangkan keinginan orang
lain, karena hal itu tidak hanya memberikan penghargaan pada diri
sendiri tapi juga kepada orang lain.
Mengacu pada pengertian asertif yang dikemukakan oleh
beberapa ahli bahwa, dapat dikatakan bahwa asertifitas adalah sebuh
kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan, rasakan, dan
ingin
dilakukan,
serta
mampu
mengatakan
tidak
tanpa
72
bicara
merupakan
hal
yang
penting
dalam
73
tingkat
asertif
rendah
akan
belajar
melakukan
pratik
pikirkan,
mampu
mengatakan
tidak,
mengajukan
74
yang
diberikan
setelah
perlakuan
digunakan
untuk
75
Jawaban
Selalu
Sering
Jarang
Tidak Pernah
Pernyataan Positif
4
3
2
1
Pernyataan Negatif
1
2
3
4
6. Kisi-kisi
Variabel
Aspek
Indikator
Adanya Kompromi /
Kesepakatan
Verbal
Perilaku Asertif
Kontak Mata
Non Verbal
Sikap Tubuh
Jarak
Kesenyapan
Suara
76
r 11 =
1 2
k 1
1
( )(
Keterangan:
r 11 = reliabilitas yang dicari
2=
Interpretasi
0,00-0,20
Tidak Reliabel
0,20-0,40
Kurang Reliabel
77
0,40-0,70
Cukup Reliabel
0,70-0,90
Reliabel
0,90-1,00
Sangat Reliabel
78
J. Hipotesis Statistik
Hipotesis statistik yang diuji dalam penelitian ini yaitu:
H0
: 1 2
Tidak terdapat pengaruh teknik role playing terhadap tingkat
asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai di SMKN
26 Jakarta.
H1
1 < 2
Terdapat pengaruh teknik role playing terhadap tingkat
asertifitas siswa kelas X dari orang tua yang bercerai di SMKN
26 Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
79
80