Anda di halaman 1dari 77

BAB 36.

ANESTHESIA PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT


ENDOKRIN
Konsep kunci
Kemampuan jantung dapat terbatas pada neuropati otonomik diabetikum
untuk mengkompensasi perubahan volume intravaskuler dan pada pasienpasien yang memiliki predisposisi ketidakstabilan kardiovaskuler (eg,
hipotensi post-induksi) dan kadang terjadi kematian jantung.
Pasien-pasien diabetes harus dilakukan evaluasi pre-operatif secara rutin
pada sendi temporomandibular dan mobilitas vertebra servikal untuk
membantu mengantisipasi kesulitan intubasi yang dapat terjadi pada kirakira 30% orang dengan diabetes tipe I.
Tidak boleh menggunakan sulfonilurea dan metformin 24-48 jam sebelum
pembedahan karena waktu paruh mereka. Sulfonilurea dan metformin
dapat dimulai postoperatif ketika pasien memperoleh obat2 per os.
Metformin dimulai lagi jika fungsi hepar dan ginjal telah adekuat.
Pada pasien2 hipertiroid dapat terjadi hipovolemi kronik dan vasodilatasi
dan cenderung terjadi hipotensi eksagregasi selama induksi anestesi.
Pasien2 hipotiroid lebih rentan terhadap efek hipotensif agen2 anestetik
karena

adanya

keterbatasan

kardiak

output,

penumpulan

refleks

baroreseptor, dan penurunan volume intravaskuler.


Pasien2 dengan Cushing's syndrome cenderung menjadi volume overload
dan alkalosis metabolik hipokalemia karena aktifitas mineralo-kortikoid
glukokortikoid.
Kunci pengelolaan anestetik pada pasien2 dengan defisiensi glukortikoid
adalah meyakinkan terapi penggantian seroid yang adekuat selama periode
postoperatif.
Pada pasien2 dengan paeokromositoma sebaiknya menghindari obat2 atau
tekhnik anestesi dapat menstimulasi sistem saraf simpatis (eg, efedrin,
ketamin, hipoventilasi), menimbulkan efek aritmia katekolamin (eg,
1

halotan), menghambat sistem saraf parasimpatis (eg, pankuronium), atau


yang mengeluarkan histamin (eg, atrakurium, sulfat morfin) yang
mempresipitasi hipertensi.
Anestesia pada pasien2 dengan Penyakit Endokrin: Perkenalan
Perhatian yang teliti harus dilakukan pada jalan napas pasien2 obesitas
karena sering sulit mengintubasi akibat dari keterbatasan mobilitas sendi
temporomandibular dan atlantooksipital, sempitnya jalan napas atas, dan
pendeknya jarak antara mandibula dan sternal akibat blok lemak.
Kunci pengelolaan anestetik pada pasien2 dengan sindroma karsinoid
adalah menghindari tekhnik atau obat2 anestetik yang dapat menyebabkan
pelepasan sustansi vasoaktif tumor.
Anestetik pasien2 dengan penyakit2 kardiovaskuler : Perkenalan
Rendahnya

produksi

atau

berlebihnya

produksi

hormon2

dapat

mempunyai konsekuensi fisiologik dan farmakologik yang dramatik.


Kemudian, tidak terkejut bahwa endokrinopati berefek pada menejemen
anestetik. Sifat ini melaporkan fisiologi normal dan disfungsi dari 4 organ
target endokrin: pankreas, tiroid, paratiroid, dan kelenjar adrenal.
Memperhatikan obesitas dan sindroma karsinoid.

Pankreas
Fisiologi
Orang dewasa normalnya mensekresikan sekitar 50 U insulin tiap
harinya dari sel-sel pulau langerhans pankreas. Kecepatan sekresi insulin
utamanya ditentukan oleh level glukosa darah. Insulin, hormon anabolik
paling penting, memiliki banyak efek metabolik, termasuk meningkatnya
pemasukan glukosa dan potassium ke sel adiposa dan dan sel otot;
meningkatnya sintesis glikogen, protein dan asam lemak; dan menurunnya
glikogenolisis, glukoneogenesis, ketogenesis, lipolisis, dan katabolisme
protein. Secara umum, insulin menstimulasi anabolisme, dimana kekurangan
2

insulin dikaitkan dengan katabolisme dan keseimbangan nitrogen negatif


(Tabel 36-1).

DIABETES MELLITUS
Manifestasi Klinis
Diabetes mellitus dicirikan dengan dengan gangguan metabolisme
karbohidrat dikarenakan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif atau
kemampuan insulin dalam bereaksi yang terganggu, yang memacu
hiperglikemia dan glikosuria. Diagnosisnya berdasarkan peningkatan glukosa
plasma puasa (>140 mg/dL) atau gula darah (126 mg/dL). Nilai yang kadangkadang dilaporkan perihal gula darah, yang lebih rendah 12-15% dari glukosa
plasma. Bahkan ketika menguji whole blood, pengukur glukosa yang lebih
baru menghitung dan menampilkan glukosa plasma. Akhir-akhir ini diabetes
telah di klasifikasi ulang menjadi empat tipe (Tabel 36-2); diabetes tipe I
(insulin-dependent) dan tipe II (noninsulin-dependent) merupakan yang paling
awam dan diketahui dengan baik. Ketosidosis diabetik (DKA) dihubungkan
dengan diabetes mellitus tipe I, namun terdapat beberapa individu dengan
DKA yang fenotipenya tampak memiliki tipe diabetes melitus II. Lebih jauh
lagi, individu dengan diagnosis awal diabetes mellitus tipe II kemudian dapat
berkembang

menjadi tipe I. Komplikasi jangka panjang dari diabetes

mencakup hipertensi, penyakit jantung koroner, infark myokard, gagal jantung


kongestif, disfungsi diastolik, penyakit vaskuler perifer dan serbral, neuropati
perifer dan otonom, dan gagal ginjal. Terdapat tiga komplikasi akut yang
mengancam nyawa : DKA, koma hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia.
Tabel 36-2. Diagnosis dan klasifikasi DM
Diagnosis (berdasarkan level gula darah)
Puasa

126 mg/dL (7,0 mmol/L)

Tes Toleransi Glukosa

200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Klasifikasi
Tipe I Defisiensi insulin absolut sekunder karena diperantarai immun
atau idiopatik
II Onset sekunder pada usia dewasa akibat resistensi / defisiensi
3

relatif
III Diabetes mellitus tipe spesifik sekunder akibat defek genetik
IV Gestasional

Penurunan aktivitas insulin menyebabkan katabolisme asam lemak


bebas menjadi badan keton (acetoacetate dan -hydroxy-butyrate), beberapa
diantaranya adalah asam lemah (lihat Bab 30). Akumulasi asam organik ini
menghasilkan asidosis metabolik gap anion-DKA. DKA dapat dibedakan
dengan mudah dari asidosis laktat, asidosis laktat teridentifikasi dengan
peningkatan keton plasma (walaupun mereka dapat muncul secara bersamaan
dan ketosis karena kelaparan dapat muncul dengan asidosis laktat).
Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan melalui riwayat konsumsi alkohol
berat (pesta minuman keras) pada pasien nondiabetik dengan level glukosa
darah meningkat perlahan atau sedikit-sedikit. Pasien seperti ini juga mungkin
mengalami kenaikan -hydroxy-butyrate yang tidak proporsional bila
dibandingkan dengan acetoacetat.
Infeksi merupakan penyebab tersering dari DKA, yang mana pada
beberapa pasien , umumnya remaja, merupakan manifestasi pertama dari DM
tipe I. Manifestasi klinis dari DKA mencakup takipneu (usaha untuk
mengkompensasi asidosis metabolik), nyeri abdomen yang meniru abdomen
akut, mual dan muntah, dan perubahan sensorik. Pengobatan DKA tergantung
pada pengkoreksian pertama dari hipovolemia substansial, hiperglikemia dan
defisit potasium seluruh tubuh yang sering terjadi, dengan infus kontinyu
cairan isotonik dan potassium, dan infus insulin.
Hasil akhir yang dituju dari penurunan gula darah pada ketoasidosis
seharusnya 75-100 mg/dL/jam atau 10%/jam. Terapi dapat dimulai dengan
infus intravena 0,1 U/kg/jam atau nilai gula darah minus 60 kali 0,1 U/jam.
Pasien-pasien ini seringnya cukup resisten terhadap terapi insulin, dan
kecepatannya perlu untuk ditingkatkan jika level glukosa tidak turun. Ketika
glukosa berpindah secara intrasel, begitu pula dengan potassium. Walaupun
hal ini dapat memicu sampai level kritis dari hipokalemia bila tidak dikoreksi,
penggantian yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan hiperkalemia yang
4

mengancam nyawa. Potasium, gula darah, dan keton serum seharusnya


dimonitor paling tidak setiap 2 jam dan jam-jam pilihan tertentu.
Beberapa liter saline normal (1-2 L, pada jam pertama, diikuti dengan
kecepatan 200-500 mL/jam) biasanya dibutuhkan untuk mengoreksi dehidrasi.
Larutan ringer laktat sebaiknya dihindari karena hepar mengubah laktat
menjadi bikarbonat; oleh karena perfusi jaringan yang jelek, ekspansi volume
dengan saline normal merupakan cara yang paling aman. Ketika glukosa
plasma mencapai 250 mg/dL, sebuah infus D5W ditambahkan pada infus
insulin untuk menurunkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia dan untuk
menyediakan sumber glukosa dan insulin yang kontinyu untuk normalisasi
akhir dari metabolisme intraseluler. Pasien-pasien ini dapat membutuhkan
sebuah tabung nasogastrik (nasogastric tube) untuk dekompresi lambung dan
kateterisasi kandung kemih untuk memonitor keluaran urin.
Koreksi terhadap asidosis berat (pH < 7,1) dengan bikarbonat jarang
dibutuhkan, selama asidosis membaik dengan ekspansi volume dan dengan
normalisasi hiperglikemia.
Ketoasidosis bukanlah bagian dari koma hiperosmolar non ketotik
karena insulin yang cukup tersedia untuk mencegah pembentukan badan
keton. Bahkan sebuah diuresis hiperglikemik menghasilkan dehidrasi dan
hiperosmolalitas. Dehidrasi berat pada akhirnya dapat menimbulkan gagal
ginjal, asidosis laktat, dan predisposisi untuk membentuk trombosis
intravaskuler. Hiperosmolalitas, sering melebihi 360 mOsm/L, mempengaruhi
keseimbangan cairan serebral, menyebabkan perubahan status mental dan
kejang. Hiperglikemi berat menyebabkan factitious hiponatremia: setiap
peningkatan 100 mg/dL glukosa plasma menurunkan konsentrasi sodium
plasma sebesar 1,6 mEq/L. Pengobatan meliputi resusitasi cairan dengan
saline normal, insulin dalam dosis yang relatif sedikit, dan suplementasi
potassium. Hipoglikemia pada pasien diabetes menghasilkan insulin yang
berlebihan akibat asupan karbohidrat. Lebih jauh lagi, beberapa pasien
diabetes tidak mampu melawan hipoglikemia dengan mensekresi glukagon
atau epinephrine (kegagalan pengaturan perlawanan). Ketergantungan otak
kepada glukosa sebagai sumber energi membuatnya sebagai organ paling
rentan terhadap hipoglikemi. Jika hipoglikemia tidak diatasi, perubahan status
5

mental akan berubah dari kesadaran penuh atau kebibgubgan (confusion)


menjadi kejang dan koma permanen. Manifestasi sistemik hipoglikemia
menyebabkan

keluarnya

cathecolamine

dan

menyebabkan

terjadinya

diaphoresis, takikardi, dan kegugupan. Sebagian besar gejala dan tanda dari
hipoglikemi akan tertutupi oleh anestesia umum. Walaupun level glukosa
plasma normal didefinisikan sakit dan tergantung pada usia dan jenis kelamin,
hipoglikemia secara umum dipertimbangkan pada level yang lebih rendah dari
50 mg/dL. Penatalaksanaan terhadap hipoglikemia dengan pemberian glukosa
50% intravena (setiap mililiter dari glukosa 50% akan meningkatkan gula
darah pada seorang pasien dengan berat badan 70 kg kira-kira sebesar 2
mg/dL).

PERTIMBANGAN ANESTETIK
A. Preoperatif
Level Hemoglobin A1C dapat membantu mengidentifikasi pasienpasien yang berada pada resiko terbesar terhadap terjadinya hiperglikemia
perioperatif dan oleh karenanya meningkatkan komplikasi dan keluaran yang
buruk. Morbiditas perioperatif pada pasien diabetes dihubungkan dengan
kerusakan organ preoperatif, walaupun sepertiga sampai setengah pasienpasien dengan DM tipe II mungkin ridak menyadari bahwa mereka
mengidapnya. Sistem pulmoner, kardiovaskuler, dan ginjalmembutuhkan
pemeriksaan yang lebih teliti. Radiograf thoraks preoperatif pada pasien
diabetes kelihatannya dilakukan untuk melihat adanya pembesaran jantung,
kongesti vaskuler pulmoner, atau efusi pleura. Diabetes juga mengalami
peningkatan segmen ST dan segmen gelombang T yang abnormal pada
elektrokardiogram preoperatifnya (ECG). Iskemi miokard dapat dibuktikan
pada ECG walaupun riwayat penyakitnya negatif (silent myocardial ischeia
dan infarction). Pasien diabetes dengan hipertensi memiliki 50% kemungkinan
neuropatiotonom yang menyertai diabetes (Tabel 36-3). Disfungsi refleks
sistem saraf otonom dapat meningkat pada usia tua, diabetes lebih dari 10
tahun, penyakit arteri koroner, dan blokade -adrenergik. Neuropati otonomik
diabetik dapat membatasi kemampuan jantung untuk mengkompensasi
6

perubahan

volume

intravaskuler

dan

dapat

memacu

ketidakstabilan

kardiovaskuler pada pasien dan bahkan kematian jantung mendadak,


insidensinya

dapat

meningkat

oleh

penggunaan

ACE-inhibitor

atau

angiotensin reseptor blocker yang menyertai. Lebih jauh lagi , disfungsi


otonom memberi kontribusi untuk pengosongan lambung yang terlambat
(gastroparesis). Premedikasi dengan antasid dan metoclopramid harus sangat
berhati-hati pada pasien diabetik yang obese dengan tanda-tandadisfungsi
jantung otonom. Namun, disfungsi otonom dapat mempengaruhi traktus
gastrointestinal tanpa adanya tanda keterlibatan jantung.
Disfungsi ginjal bermanifestasi pertama melalui proteinuria dan
kemudian oleh peningkatan kreatinin serum. Melalui kriteria-kriteria ini,
sebagian besar pasien diabetik tipe I mengalami gagal ginjal pada usia 30
tahun. Karena tingginya angka kejadian infeksi akibat sistem immun yang
compromised, perhatian yang ketat pada teknik aseptik harus menyertai
pemasangan semua kateter intravena dan monitor yang invasif.
Hiperglikemia kronis dapat memacu glikosilasi protein jaringan dan
sindroma keterbatasan gerak sendi. Pasien diabetes sebaiknya dievaluasi
preoperatif secara rutin untuk mobilitas sendi temporomandibula dan vertebra
cervicalis yang adekuat untuk membantu mengantisipasi intubasi yang sulit,
yang muncul pada kira-kira 30% orang dengan diabetes tipe I.

B. Intraoperatif
Tujuan primer dari manajemen gula darah intraoperatif adalah untuk
mencegah hipoglikemia. Walaupun usaha untuk mempertahankan euglikemia
sering terlupa, kehilangan kendali terhadap gula darah (>180 mg/dL) juga
membawa resiko. Hiperglikemia telah dihubungkan dengan hiperosmolaritas,
infeksi, dan penyembuhan luka yang buruk. Lebih penting lagi, dapat
memperburuk keadaan neurologis yang mengikuti episode iskemia serebral
dan membahayakan hasil pembedahan jantung atau setelah infark miokard
akut. Jika hiperglikemia tidak ditangani secara agresif pada pasien diabetik
tipe I, pengendalian metabolik dapat terganggu, terutama yang berhubungan
dengan

pembedahan

mayor

atau

sepsis.

Pengendalian

yang

ketat
7

menguntungkan pasien yang menjalani cardiopulmonary bypass dengan


memperbaiki

kotraktilitas

jantung

dan

penyapihannya,

dan

dengan

menurunkan komplikasi infeksius dan neurologis. Pengendalian ketat pada


pasien diabetik yang hamil telah ditunjukkan untuk memperbaiki keluaran
fetus. Meskipun demikian, sebagaimana diterangkan di awal, ketergantungan
otak terhadap glukosa sebagai pemasok energi membuat sangat pentingnya
menghindari hipoglikemia.
Terdapat beberapa regimen manajemen perioperatif untuk pasien
diabetes. Yang paling umum, pasien menerima sebuah fraksi -biasanya
separuh- dari dosis insulin pagi totaldalam bentuk insulin intermediate acting
(Tabel 36-4). Untuk menurunkan resiko hipoglikemia, insulin diberikan
setelah akses intravena telah dibuat dan level glukosa darah pagi dicek.
Sebagai contoh, seorang pasien yang secara normal menggunakan 30 U
insulin NPH (Neutral protamine Hagedorn; intermediate acting) dan 10 U
insulin reguler atau Lispro (short-acting) atau analog insulin setiap pagi dan
yang gula darahnya paling sedikit 150 mg/dL akan menerima NPH 15 U
(separuh dari 30, separuh dari dosis pagi normal) secara subkutan atau
intramuskuler sebelum pembedahan disertai dengan infus larutan dekstrosa
5% (1,5 mL/kg/jam). Absorbsi insulin subkutan atau intra-muskuler
tergantung padaaliran darah jaringan, dan menjadi tidak dapat ditentukan
selama pembedahan. Dedikasi jakur intravena dengan gauge yang keciluntuk
infus dekstrosa mencegah gangguan dengan cairan atau obat intraoperatif lain.
Dekstrosa suplemental dapat diberikan jika pasien hipoglikemia (<100
mg/dL). Sedangkan, hiperglikemia intraoperatif (>150-180 mg/dL) diobati
dengan insulin reguler intravena menurut sliding scale. Satu unit insulin
reguler yang diberikan pada pasien dewasa biasanya merendahkan glukosa
plasma kira-kira 25-30 mg/dL. Harus ditekankan bahwa dosis-dosis ini adalah
perkiraan dan jangan digunakan pada pasien dalam status katabolisme (misal,
sepsis, hiperthermia).
Tabel 36-4. Dua teknik umum untuk manajemen insulin perioperatif pada DM
Pemberian Bolus
Preoperatif

Infus Kontinyu

D5W (1,5 mL/kh/jam) D5W (1 mL/kg/jam) dari Insulin


insulin NPH1 (separuh
8

dosis pagi biasanya)

Reguler:
Unit
per
Plasma150

Intraoperatif

Insulin reguler
sliding scale)

Postoperatif

Sama seperti intraoperatif

jam

=Glukosa

(dengan Sama seperti preoperatif


Sama seperti preoperatif

NPH, Neutral protamine Hagedorn

Sebuah metoda alternatif adalah pemberian insulin reguler dalam


infus kontinyu. Keuntungan dari teknik ini adalah pengendalian pengiriman
insulin yang lebih tepat dari pada yang bisa didapat dari injeksi Insulin NPH
secara subkutan atau intramuskuler, terutama pada kondisi yang dikaitkan
dengan perfusi kulit dan otot yang buruk. 250 unit insulin reguler dapat
ditambahkan pada 250 mL saline normal dan infus dimulai pada 0,1 U/kg/jam.

Karena gula darah berfluktuasi, insulin reguler dapat disesuaikan menurut


rumus berikut :
Unit per jam =Glukosa Plasma150
Target utama dari mempertahankan gula darah intraoperatif adalah
120-150 mg/dL, walau beberapa memiliki target yang lebih tinggi dari 120
mg/dL. Pengendalian yang lebih ketat diusahakan dengan teknik intravena
kontinyu yang mungkin lebih dapat dipilih pada DM tipe I. Penambahan 20
mEq KCL ke tiap liter cairan mungkin bijaksana, karena insulin menyebabkan
potassium masuk ke intraseluler. Efek dari absorpsi insulin melalui
penabungan intravena dapat diminimalkan dengan pengurasan jalur sebelum
infus dimulai. Beberapa ahli anestesi juga disarankan meletakkan infus insulin
dalam gelas kaca untuk meminimalisir absorpsi oleh kantong plastik intravena.
Karena kebutuhan insulin individu dapat berbeda-beda secara dramatis, rumus
apapun sebaiknya dipertibangkan hanya sebagai garis petunjuk.
Jika pasien menggunakan agen hipoglikemik oral preoperatif selain
insulin, obat tersebut dapat digunakan sampai hari pembedahan, tapi
9

sulfonilurea dan metformin tidak boleh digunakan 24-48 jam sebelum operasi
karena mereka memiliki waktu paruh yang panjang. Dapat diberikan
postoperatif ketika pasien mendapat obat peroral. Metformin diulang kembali
jika fungsi ginjal dan hepar tetap adekuat. Karena durasi aksi yang panjang,
sebuah infus glukosa dimulai dan gula darah dimonitor walaupun insulin
interrmediate telah diberikan. Efek obat hipoglikemi oral dengan durasi
pendek dapat diperpanjang pada keadaan gagal ginjal. Banyak pasien yang
membutuhkan

beberapa insulin eksogen selama periode intraoperatif dan

postoperatif. Hal ini karena tekanan akibat pembedahan menyebabkan


peningkatan hormon yang berlawanan (misal, hormon cathecolamin,
glikokortikoid, pertumbuhan) dan mediator inflamasi seperti tumor necrosis
factor dan interleukin. Masing-masing dari mereka berkontribusi untuk
menekan hiperglikemia, yang meningkatkan kebutuhan akan insulin.
Bagaimanapun, beberapa DM tipe II akan menolerir prosedur pembedahan
minor singkat tanpa insulin eksogen.
Kunci dari regimen manajemen apapun adalah untuk mengawasi
level glukosa plasma secara sering dan menghargai variasi antar pasien. Pasien
dengan DM berbeda dalam kemampuannya untuk menghasilkan insulin
endogen. Pasien dengan DM tipe I yang rapuh mungkin membutuhkan
glukosa mereka terukur tiap jamnya, sementara setiap 2 atau 3 jam cukup
untuk banyak pasien dengan diabetes tipe II. Demikian juga, kebutuhan insulin
berbeda-beda dengan tekanan dari prosedur bedah. Pasien yang menerima
insulin di pagi hari tapi tidak akan menjalani pembedahan sampai sore
cenderung mengalami hipoglikemia bila tanpa infus dekstrosa. Jika jalur
arterial tidak tersedia, menggambar spesimen darah multiple dan mengirimnya
ke laboratorium akan menghabisan waktu dan mahal. Dan traumatis terhadap
vena-vena pasien. Portable spectophotometer mampu menentukan konsentrasi
glukosa pada setetes darah yang diambil dari finger stick dalam waktu
semenit.

Peralatan

ini

mengukur

konversi

warna

dari

strip

yang

diimpregnasikan dengan glucose oxidase yang telah dikenai dengan darah


pasien dalam periode yang spesifik. Keakuratannya tergantung, pada jumlah
tertentu, pada pelaksanaan pengukurannya. Pengawasan gula urine tidak
cukup akurat untuk manajemen intraoperatif.
10

Pasien yang menggunakan insulin NPH atau protamine zinc


mengalami peningkatan resiko terjadinya reaksi alergi terhadap protamine
sulfattermasuk syok anafilaktik dan kematian. Sayangnya, operasi yang
membutuhkan heparin dan pembalikan berikutnya dengan protamine (misal,
cardiopulmonary bypass) lebih umum pada pasien diabetik. Pasien-pasien ini
seharusnya menerima uji protamine dosis kecil sekitar 1-5 mg selama 5-10
menit tepat sebelum dosis pembalikan sepenuhnya.

C. Postoperatif
Pengawasan yang dekat dari gula darah pasien diabetes harus
dilanjutkan sampai postoperatif, satu alasan untuk ini adalah variasi individual
pada onset dan durasi kerja preparat insulin (Tabel 36-5). Sebagai contoh,
onset kerja insulin reguler bisa kurang dari 1 jam, namun durasinya dapt lebih
dari 6 jam. Insulin NPH secara khas memiliki onset kerja dalam waktu 2 jam,
namun aksinya berakhir lebih dari 24 jam. Alasan lain untuk pengawasan
dekat adalah progresi stress hiperglikemia pada periode pemulihan. Jika cairan
intravena dalam volume besar yang mengandung laktat diberikan secara
intraoperatif, gula darah akan cenderung meningkat 24-48 jam saat
postoperatif karena hepar mengubah laktat menjadi glukosa. Pasien diabetik
yang sudah keluar dapat memerlukan opname semalam jika mual dan muntah
yang menetap dari gastroparesis mencegah asaupan per oral.

TIROID
Fisiologi
Iodine dari makanan diabsorbsi oleh traktus gastrointestinal, diubah
menjadi ion iodine, dan secara aktif dikirim ke kelenjar tiroid. Sekali masuk,
iodida dioksidasi kembali menjadi iodine, yang mana terikat pada asam amino
11

tirosin. Hasil akhirnya adalah 2 hormon-triiodotironin (T 3) dan tiroksin (T4)


yang terikat pada protein dan disimpan dalam tiroid. Walaupun kelenjar
melepas T4 lebih banyak dari T3, T3 lebih poten dan memiliki ikatan protein
yang lebih sedikit. Sebagian besar T3 dibentuk di perifer dari deiodinasi parsial
dari T4. Mekanisme umpan balik yang rumit mengendalikan sintesis hormon
tiroid dan melibatkan hipothalamus (thyrotropin-releasing hormone), pituitari
anterior

(thyroid-stimulating

hormone,

atau

TSH),

dan

autoregulasi

(konsentrasi iodin tiroid).


Hormon tiroid meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lemak dan
merupakan faktor penting dalam menentukan pertumbuhan dan kecepatan
metabolik. Peningkatan kecepatan metabolik disertai dengan peningkatan
konsumsi oksigen dan produksi CO 2, secara tidak langsung meningkatkan
minute ventilation. Denyut jantung dan kontraktilitasnya juga meningkat,
barangkali dari pengaruh fisiologi reseptor adrenergik dan pengaruh protein
internal lainnya, sebagai lawan terhadap peningkatan level cathecholamine.

HIPERTIROID
Manifestasi Klinis
Level hormon tiroid yang berlebihan dapat disebabkan oleh penyakit
Graves, goiter multinoduler toksik, tiroiditis, tumor pituiteri yang mensekresi
thyroid-stimulating-hormone, adenoma tiroid fungsional, atau overdosis
hormon pengganti tiroid (kecelakaan atau disengaja). Manifestasi klinis dari
kelebihan hormon tiroid termasuk penurunan berat badan, intoleransi panas,
kelemahan otot, diare, refleks hiperaktif, dan gugup. Tremor halus,
eksoftalmos, atau goiter(gondok) mungkin diperhatikan, terutama ketika
penyebabnya adalah penyakit Graves. gejala kardiak memiliki batasan dari
sinus takikardi sampai atrial fibrilasi dan gagal jantung kongestif. Diagnosis
hipertiroidisme dikonfirmasi oleh tes fungsi tiroid yang abnormal, yang
mungkin melibatkan peningkatan T4 serum, T3 serum, dan T4 bebas (tak
terikat) total.
Penatalaksanaan medis hipertiroidisme bersandar pada obat-obatan
yang menghambat sintesis hormon (misal, propylthiouracil, methimazole),
12

mencegah lepasnya hormon (misal, potassium, sodium iodide), atau menutupi


gejala overaktivitas adrenergik (misal, propanolol). Meskipun antagonis adrenergik tidak mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid, mereka menurunkan
konversi periferal dari T4 menjadi T3. Iodine radioaktif menghancurkan fungsi
sel tiroid namun tidak direkomendasikan bagi pasien yang hamil dan dapat
mengakibatnak hipotiroidismus. Tiroidektomi subtotal sekarang kurang sering
digunakan sebagai alternatif dari terapi medis. Secara khas, dipesan oleh
pasien dengan goiter multinoduler toksik yang besar atau adenoma toksik
seoliter. Penyakit Graves biasanya diatasi dengan obat-obat tiroid atau
radioiodine.

PERTIMBANGAN ANESTETIK
A. Preoperatif
Semua prosedur pembedahan elektif, termasuk tiroidektomi subtotal,
seharusnya ditunda sampai pasien eutiroid secara klinis maupun secar kimiawi
dengan pengobatan medis. Hari-hari induksi thyroid steal dengan pemberian
medikasi secara diam-diam telah menjadi masa lalu. Penilaian preoperatif
harus mencakup tes fungsi tiroid normal, dan denyut jantung istirahat kurang
dari 85 kali/menit telah direkomendasikan. Benzodiazepin adalah pilihan yang
baik untuk sedasi preoperatif. Medikasi antitiroid dan antagonis -adrenergik
dilanjutkan sampai pagi hari akan operasi. Pemberian propylthiouracyl dan
methimazole sangat penting karena waktu paruhnya relatif pendek. Jika
pembedahan emergensi harus dilakukan, sirkulasi hiperdinamik dapat
dikendalikan dengan titrasi infus esmolol.

B. Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan suhu tubuh harus sangat diperhatikan pada
pasien yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi dengan
baik, karena eksoftalmos pada Graves disease meningkatkan resiko abrasi
atau ulserasi kornea. Kepala meja operasi dapat dinaikkan 15-20 o untuk

13

membantu drainase vena dan mengurangi kehilangan darah, walaupun


melakukannya meningkatkan resiko emboli udara pada vena.
Ketamin, pancuronium, agonis adrenergik dengan kerja tak langsung
dan obat-obat lain yang menstimulasi sistem saraf simpatis sangat dihindari
karena memiliki kemungkinan untuk terjadinya peningkatan denyut jantung
dan tekanan darah yang berlebihan. Thiopental dapat menjadi agen induksi
terpilih karena memiliki aktivitas antitiroid pada dosis tinggi. Pasien
hipertiroid dapat mengalami hipovolemik dan vasodilatasi kronis dan
cenderung mengalami respons hipotensif selama induksi anestesia. Kedalaman
anesthetik yang adekuat harus dicapai, namun, sebelum laringoskopi atau
stimulasi pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi, dan arritmia
ventrikuler.
Neuromuscular blocking agents (NMBAs) seharusnya diberikan
secara hati-hati. Karena tirotoksikosis dikaitkan dengan peningkatan insidensi
miopati dan miasthenia gravis. Hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan
anesthetikmisal, tidak adak perubahan pada konsentrasi alveolar minimum
(MAC).

C. Postoperatif
Ancaman paling serius terhadap pasien hipertiroid pada periode
postoperatif adalah badai tiroid, yang diciri-cirikan dengan hiperpireksia,
takikardi, gangguan kesadaran (misal, agitasi, delirium, koma), dan hipotensi.
Onsetnya biasanya 6-24 jam setelah pembedahan namun dapat muncul
intraoperatif, meniru hipertermia maligna. Tidak seperti hipertermia maligna,
badai tiroid tidakdikaitkan dengan kekakuan otot, peningkatan creatin kinase,
atau asidosis metabolik (laktat) dan respiratorik yang dapat dinilai. Pengobatan
termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol atau propanolol intravena
(dinaikkan sekitar 0,5 mg sampai denyut jantung <100 kali/menit),
propylthiouracyl (250-500 mg setiap 6 jam per oral atau melalui nasogastric
tube) diikuti dengan sodium iodida (1 g intravena setelah 12 jam) dan koreksi
adanya penyebab (misal, infeksi). Cortisol (100-200 mg tiap 8 jam)
direkomendasikan untuk mencegah komplikasi yang berdampingan dengan
14

supresi kelenjar adrenal. Badai tiroid adalah kegawatan yang memerlukan


manajemen dan pengawasan yang agresif (lihat pembahasan kasus, Bab 48).
Tiroidektomi

subtotal

dikaitkan dengan

beberapa

komplikasi

pembedahan yang potensial. Kelumpuhan nervus laringeus reccurent


menghasilkan keserakan (unilateral) atau aphonia dan stridor (bilateral).
Fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan laringoskopi segera mengikuti
ekstubasi dalam, namun, hal ini jarang diperlukan. Kegagalan satu atau kedua
pita untuk bergerak membutuhkan intubasi dan eksplorasi dari luka.
Pembentukan hematoma dapat menyebabkan kompromi saluran napas dari
trakea yang kolaps pada pasien dengan trakeomalasia. Disseksi melalui
jaringan lunak yang mudah ditekan dari leher dapat menyebabkan intubasi
menjadi susah. Penanganan segera termasuk pembukaan luka di leher dan
evakuasi clot, kemudian menilai kembali kebutuhan untuk reintubasi.
Hipoparatiroidisme dari terambilnya kelenjar paratiroid secara tidak
sengaja dapat mengakibatkan hipokalsemia akut dalam waktu 12-72 jam.
Pneumothoraks yang tidak disengaja juga dapat menjadi komplikasi dari
eksplorasi leher.

HIPOTIROID
Manifestasi Klinis
Hipotiroid dapat disebabkan oleh penyakit autoimmun (misal,
tiroiditis Hashimoto), tiroidektomi, idodine radioaktif, pengobatan anti tiroid,
defisiensi iodine, atau kegagalan aksis hipothalamus-pituitari (hipotiroid
sekunder). Hipotiroid selama perkembangan neonatus dapat menyebabkan
kretinisme, sebuah kondisi yang ditandai dengan retardasi mental dan fisik.
Manifestasi pada orang dewasa biasanya tidak terlihat dan termasuk
penambahan berat badan, intoleransi dingin, kelemahan otot, lethargi,
konstipasi, refleks yang hipoaktif, ekspresi wajah yang tampak bodoh, dan
depresi. Hipotiroid subklinis umumnya muncul pada pasien yang lebih tua
dengan penyakit yang parah. Denyut jantung, kontraktilitas miokard, stroke
volume, dan cardiac output menurun, dan akstremitasnya dingin dan berbintikbintik karena vasokonstriksi perifer. Efusi pleura, abdomen, dan perikardium
15

sering terjadi. Diagnosis hipotiroid dapat dikonfirmasi dari level T4 bebas yang
rendah. Hipotiroid primer dibedakan dari yang sekunder melalui peningkatan
TSH. Pengobatan hipotiroid terdiri dari terapi pengganti per oral dengan
preparat hormon tiroid, yang memerlukan beberapa hari untuk memproduksi
efek fisiologis dan beberapa minggu untuk membangkitkan perbaikan klinis
yang jelas.
Koma mixedema dihasilkan dari hipotiroid ekstrim dan diciri-cirikan
dengan gangguan mental, hipoventilasi, hipotermia, hiponatremia (dari sekresi
hormon antidiuretik hormon yang berlebihan), dan gagal jantung kongestif.
Lebih umum pada pasien yang tua dan dapat dipacu oleh infeksi, pembedahan,
atau trauma. Koma mixedema merupakan penyakit yang mengancam nyawa
yang telah diatasi dengan sukses dengan hormon tiroid intravena. Loading
dose T3 atau T4 (misal, 300-500 mg levothyroxine sodium pada pasien tanpa
penyakit jantung) diikuti dengan infus (misal 50 mg levothyroxine per hari).
ECG harus dimonitor selama terapi untuk mendeteksi iskemi miokard atau
arritmia. Pengganti steroid (misal hidrokortison, 100 mg intravena setiap 8
jam) diberikan secara rutin dalam mengatasi supresi kelenjar adrenal.
Nbeberapa pasien membutuhkan dukungan ventilasi dan pemanasan eksternal.

PERTIMBANGAN ANESTETIK
A. Preoperatif
Pasien dengan hipotiroid parah yang tidak terkoreksi (T 4 < 1 mg/dL)
atau koma mixedema seharusnya tidak menjalani pembedahan elektif dan
seharusnya terutama diatasi dengan hormon tiroid pada pembedahan
emergensi. Walaupun idealnya status eutiroid, hipotiroid ringan atau sedang
tampaknya tidak menjadi kontraindikasi absolut terhadap pembedahan. Dalam
kenyataannya, pasien hipotiroid dengan penyakit arteri koroner simptomatis
mendapat manfaat dari penundaan terapi tiroid sampai setelah operasi bypass
arteri koroner.
Pasien hipotiroid biasanya tidak membutuhkan banyak sedasi
preoperatif dan sangat rentan terhadap depresi napas terinduksi obat. Sebagai
tambahannya, mereka gagal untuk merespon hipoksia dengan peningkatan
16

minute ventilation. Pertimbangan untuk premedikasi pasien ini dengan


antagonis histamin H2 dan metoclopramide harus dilakukan karena waktu
pengosongan lambung mereka menurun. Pasien yang telah dinilai eutiroid
dapat menerima pengobatan tiroid dalam dosis biasa pada pagi hari operasi;
harus diingat, bagaimanapun, preparat yang paling sering dipakai memiliki
waktu paruh yang panjang (t1/2 T4 sekitar 8 hari).

B. Intraoperatif
Pasien hipotiroid lebih rentan terhadap efek hipotensif dari agen
anesthetik karena mereka mengurangi cardiac output, menumpulkan refleks
baroreseptor, dan menurunkan volume intravaskuler. Untuk alasan ini, ketamin
sering direkomendasikan untuk induksi anestesia. Kemungkinan insuffisiensi
adrenal primer atau gagal jantung kongestif yang menyertai harus
dipertimbangkan untuk berjaga-jaga terhadap hipotensi refrakter. Penurunan
cardiac output dapat mempercepat kecepatan induksi dengan anestetik
inhalasi, namun hipotiroid secara signifikan tidak menurunkan MAC. Masalah
lain yang potensial adalah hipoglikemia, anemia, hiponatremia, kesulitan
intubasi karena lidah yang besar, dan hipotermia dari kecepatan metabolik
dasar yang rendah.

C. Postoperatif
Pemulihan dari anestesia umum dapat tertunda pada pasien hipotiroid
oleh hipotermia, depresi pernapasan, atau biotransformasi obat yang
melambat.

Pasien-pasien

ini

sering

membutuhkan

vntilasi

mekanik

diperpanjang. Pasien-pasien seharusnya tetap diintubasi sampai terbangun dan


normotermik. Karena hipotiroid meningkatkan kerentanan terhadap depresi
napas, nonopioid seperti ketorolac akan menjadi pilihan yang baik untuk
meringankan nyeri postoperatif.
KELENJAR PARATIROID
Fisiologi

17

Hormon paratiroid adalah pengatur utama dari homeostasis calcium.


Ia meningkatkan calcium serum dengan meningkatkan resorpsi tulang,
membatasi ekskresi ginjal, dan secara tidak langsung menggalakkan absorpsi
gastrointestinal melalui efeknya terhadap metabolisme vitamin D. Hormon
paratiroid menurunkan fosfat serum melalui peningkatan ekskresi ginjal. Efek
hormon paratiroid pada level serum calcium dilawan pada hewan yang lebih
rendah oleh calcitonin, hormon yang diekskresi oleh sel C parafolikuler pada
tiroid, namun efek merendahkan calcium secara fisiologis untuk calcitonin
belum didemonstrasikan pada manusia (Tabel 36-6). Dari total calcium tubuh,
99% pada rangka. Dari calcium darah, 40 terikat pada protein dan 60%
terionisasi atau kompleks ion organik. Calcium terionisasi yang tidak terikat
secara fisiologis merupakan yang lebih penting dari dua yang lain.

HIPERPARATIROID
Manifestasi Klinis
Penyebab hiperparatiroid primer termasuk adenoma, karsinoma, dan
hiperplasia kelenjar paratiroid. Hiperparatiroid sekunder merupakan respos
adaptif terhadap hipokalsemia yang dihasilkan penyakit seperti gagal ginjal
atau sindroma malabsorbsi intestinal. Hiperparatiroid ektopik disebabkan oleh
produksi hormon paratiroid oleh tumor di luar kelenjar paratiroid yang jarang.
Peptida yang berhubungan dengan hormon paratiroid dapat menyebabkan
hiperkalsemia ketika disekresi oleh karsinoma (misal, hepatoma, karsinoma
bronkogenik) dan yang paling umum menyebabkan hiperkalsemia akibat
keganasan.
Sebagian besar manifestasi klinis dari hiperparatiroid disebabkan oleh
hiperkalsemia (Tabel 36-7). Penyebab hiperkalsemia (selain hiperparatiroid)
termasuk metastasis tulang, intoksikasi vitamin D, sindroma susu-alkali,
sarkoidosis, dan immobilisasi yang lama. Terapi hiperparatiroid tergantung
dari penyebabnya, namun pengangkatan secara pembedahan dari keempat
kelenjar

biasanya

pengangkatan

dibuthkan

adenoma

pada

tunggal

hiperplasia

mengobati

paratiroid.

banyak

pasien

Namun,
dengan

hiperparatiroid primer sporadik.


18

Pertimbangan Anesthetik
Evaluasi preoperatif seharusnya termasuk penilaian terhadap status
volume untuk mencegak hipotensi selama induksi. Hidrasi dengan saline
normal dan diuresis dengan furosemide biasanya menurunkan kalsium serum
sampai ke level yang dapat diterima (< 14 mg/dL, 7 mEq/L, atau 3,5 mmol/L).
Secara jarang, terapi yang lebih agresif dengan bisphosphonate pamidronate
intravena (Aredia) atau etidronate (Didronel) mungkin diperlukan. Plicamycin
(Mithramycin), glukokortikoid, calcitonin, atau dialisis mungkin perlu ketika
bisphosphonate

tidak

cukup

atau

dikontraindikasikan.

Hipoventilasi

seharusnya dihindari, karena asidosis meningkatkan kalsium yang teriodinasi.


Level calcium yang meningkat dapat menyebabkan arritmia. Respon terhadap
NMBA dapat terpengaruh pada pasien dengan kelemahan otot yang telah ada
sebelumnya disebabkan oleh efek calcium pada neuromuscular junction.
Osteoporosis diperburuk oleh hiperparatiroid memicu kompresi vertebra
selama laringoskopi dan fraktur tulang selama pengangkutan. Komplikasi
postoperatif dari paratiroidektomi sama dengan yang dideskripsikan diatas
untuk tiroidektomi subtotal.

HIPOPARATIROID
Manifestasi Klinis
Hipoparatiroid biasanya disebabkan oleh defisiensi hormon paratiroid
akibat paratiroidektomi. Manifestasi klinis dari hipoparatiroid merupakan hasil
dari hipokalsemia (Tabel 36-8), yang juga disebabkan oleh gagal ginjal,
hipomagnesemia, defisiensi vitamin D, dan pankreatitis akut (lihat Bab 28).
Hipoalbuminemia menurunkan calcium serum total (setetes 1g/dL albumin
serum menyebabkan penurunan calcium serum total sebesar 0,8 mg/dL),
namun calcium yang terionisasi, kesatuan yang aktif, tidak terpengaruh.
Iritabilitas neuromuskuler secara klinis dapat dikonfirmasi oleh kemunculan
tanda Chvostek (kedutan otot wajah yang nyeri ynag mengikuti pengetukan
saraf wajah) atau tanda Trousseau (spasme carpopedal yang mengikuti inflasi
tourniquet di atas tekanan darah sistolik selama 3 menit). Tanda-tanda ini
19

muncul pada orang yang nonhipokalsemia. Pengobatan hipokalsemia


simptomatis terdiri dari pemberian calcium chlorida intravena.

Pertimbangan Anesthetik
Calcium serum seharusnya dinormalkan pada pasien dengan
manifestasi kardiak dari hipokalsemia. Anesthetik yang menekan miokard
seharusnya dihindari pada pasien-pasien ini. Alkalosis dari hiperventilasi atau
terapi sodium bikarbonat akan menurunkan calciun terionisasi lebih jauh lagi.
Walaupun produk darah yang mengandung sitrat biasanya tidak menurunkan
calcium serum secara signifikan, seharusnya tidak diberikan secara cepat pada
pasien dengan hipokalsemia sebelumnya. Pertimbangan lain termasuk
menghindari penggunaan larutan albumin 5% (yang mungkin akan mengikat
dan merendahkan calcium terionisasi) dan memeriksa kemungkinan
koagulopati atau sensitivitas terhadap NMBA nondepolarisasi.

KELENJAR ADRENAL
Fisiologi
Kelenjar adrenal dibagi menjadi 2 kelompok. Korteks adrenal
mensekresi

androgen,

mineralokortikoid

(seperti

aldosteron),

dan

glukokortikoid (misal, kortisol). Medulla adrenal mensekresi cathecholamine


(misal, epinefrin, norepinefrin, dopamin). Androgen adrenal memiliki
hubungan yang tidak signifikan untuk manajemen anesthetik dan tidak akan
dipertimbangkan lebih jauh.
Aldosteron secara primer terlibat dengan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Sekresi aldosteron menyebabkan sodium direabsorbsi pada tubulus
distal ginjal dalam pertukaran dengan ion potassium dan hidrogen. Efeknya
adalah ekspansi volume cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh retensi
cairan, penurunan potassium plasma dan alkalosis metabolik. Sekresi
aldosteron distimulasi oleh sistem renin-angiotensin (secara spesifik,
angiotensin

II),

hormon

adrenokortikotropik

pituitari

(ACTH)

dan

20

hiperkalemia.

Hipovolemia,

hipotensi,

gagal

jantung

kongestif,

dan

pembedahan menghasilkan kenaikan konsentrasi aldosteron.


Glukokortikoid penting untuk kehidupan dan memiliki efek fisiologis
yang banyak. Aksi metabolik termasuk pemacuan glukoneogenesis dan
inhibisi penggunaan glukosa di perifer. Efek antiinsulin ini cenderung
meningkatkan glukosa darah dan memperburuk pengendalian diabetik.
Glukokortikoid dibutuhkan untuk vaskuler dan otot halus bronkial yang
responsif terhadap cathecolamine. Karena hormon ini secara struktural
berhubungan dengan aldosteron, mereka cenderung meningkatkan retensi
sodium dan eksresi potassium (sebuah efek mineralokortikoid). ACTH dari
pituitari anterior adalah pengatyr utama sekresi glukokortikoid. Sekresi ACTH
dan glukokortikoid menunjukkan ritme diurnal, distimulasi oleh stress, dan
dihambat oleh glukokortikoid yang bersirkulasi. Produksi endogenous dari
cortisol, glukokortikoid yang paling penting, rata-rata 20 mg/hari.
Struktur, biosintesis, efek fisiologis, dan metabolisme cathecholamin
didiskusikan pada Bab 12. 80% sekresi cathecholamine adrenal pada manusia
berada dalam bentuk epinephrine. Pelepasan cathecholamine utamanya diatur
oleh serat preganglion kolinergik dari sistem saraf simpatis yang menginervasi
medulla adrenal. Rangsangan termasuk hipotensi, hipotermia, hipoglikemia,
hiperkapnea, hipoksemia, nyeri dan ketakutan.

KELEBIHAN MINERALOKORTIKOID
Manifestasi Klinis
Hipersekresi intrinsik aldosteron oleh korteks adrenal (aldosteronisme
primer dan pasien dengan sindroma Conn) dapat disebabkan oleh adenoma
unilateral (aldosteronoma), hiperplasia bilateral, atau karsinoma kelenjar
adrenal. Beberapa penyakit yang menstimulasi sekresi aldosteron dengan
mempengaruhi sistem renin angiotensin . sebagai contoh, gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis dengan asites, sindroma nefrotik, dan beberapa
bentuk hipertensi (misal, stenosis arteri renalis) dapat menyebabkan
21

aldosteronisme sekunder. Walaupun kedua aldosteronisme primer maupun


sekunder diciri-cirikan dengan peningkatan level aldosteron, hanya yang
skunder yang dikaitkan dengan peningkatan aktivitas renin. Manifestasi klinis
dari kelebihan mineralokortikoid termasuk peningkatan tekanan darah,
hipervolemia, hipokalemia, kelemahan otot, dan alkalosis metabolik.
Hipokalemia yang lama dapat memacu defek konsentrasi ginjal dan poliuri.
Alkalosis akan merendahkan level calciun terionisasi dan menyebabkan tetani.
Sodium serum seringnya normal.

Pertimbangan Anesthetik
Gangguan cairan dan elektrolit dapat dikoreksi secara preoperatif
dengan potassium dan spironolactone suplemental. Antagonis aldosteron ini
adalah diuretik potassium-sparing dengan properti antihipertensif. Volume
intravaskuler dapat dinilai secara preoperatif dengan menguji hipotensi
orthostatik atau mengukur tekanan pengisian jantung. Koreksi potassium
plasma, bagaimanapun, tidak menjamin potassium tubuh toatal normal.

DEFISIENSI MINERALOKORTIKOID
Manifestasi Klinis & Pertimbangan Anesthetik
Atrofi atau destruksi kedua kelenjar adrenal menghasilkan kombinasi
defisiensi mineralokortikoid dan glukokortikoid. Meskipun demikian,
adrenalektomi

unilateral,

diabetes,

atau

terapi

heparin

adakalanya

menyebabkan hipoaldosteronisme. Pasien-pasien ini hiperkalemik, asidotik,


dan biasanya hipotensif (kebalikan kelebihan mineralokortikoid). Persiapan
preoperatif termasuk penanganan dengan mineralokortikoid eksogen (misal,
fludrocortisone).

22

KELEBIHAN GLUKOKORTIKOID
Manifestasi Klinis
Kelebihan glukokortikoid dapat dikarenakan pemberian hormon
steroid eksogen, hiperfungsi intrinsik dari korteks adrenal (misal, adenoma
adrenokortikal), produksi ACTH oleh tumor nonpituitari (sindroma ACTH
ektopik), atau hipersekresi oleh adenoma pituitari (penyakit Cushing). Dengan
mengabaikan penyebabnya, kelebihan kortikosteroid menyebabkan sindroma
Cushing, diciri-cirikan dengan berkurangnya massa otot dan kelemahan otot,
osteoporosis, obesitas sentral, striae abdominal, intoleransi glukosa, hipertensi
dan perubahan status mental.

Pertimbangan anesthetik
Pasien dengan sindroma Cushing cenderung kelebihan cairan dan
mengalami alkalosis metabolik hipokalemik yang dihasilkan dari aktivitas
mineralokortikoid dari glukokortikoid. Abnormalitas ini seharusnya dikoreksi
secara preoperatif dengan potassium suplemental dan spironolactone. Pasien
dengan

osteoporosis

berada

pada

resiko

terjadinya

fraktur

selama

memposisikan pasien, dimana kelemahan preoperatif mengindikasikan


peningkatan sensitivitas terhadap NMBA. Jika penyebab sindroma Cushing
adalah glukokorttkoid eksogen, kelenjar adrenal pasien mungkin tidak dapat
merespon strass perioperatif, dan steroid suplemental diindikasikan. Demikian
juga

pasien

yang

menjalani

adrenalektomi

membutuhkan

pengganti

glukokortikoid intraoperatif (hydrocortisone succinate intravena, 100 mg tiap


8 jam). Komplikasi lain dari adrenalektomi termasuk kehilangan darah yang
signifikan selama reseksi tumor yang bervaskularisasi tinggi dan penetrasi
pleura yang tidak disengaja, menyebabkan pneumothoraks.

DEFISIENSI GLUKOKORTIKOID
Manifestasi Klinis
Insuffisiensi adrenal primer (penyakit Addison) disebabkan oleh
destruksi

kelenjar

adrenal,

yang

menghasilkan

kombinasi

defisiensi
23

mineralokortikoid dan glukokortikoid. Manifestasi klinis disebabkan oleh


defisiensi aldosterone (hiponatremia, hipovolemia, hipotensi, hiperkalemia
dan asidosis metabolik) dan defisiensi cortisol (kelemahan, fatigue,
hipoglikemia, hipotensi dan kehilangan berat badan). Etomidate menekan
fungsi adrenal dengan menghambat enzim yang penting untuk menghasilkan
hormon corticosetroid (lihat Bab 8); terapi etomidate jangka panjang dapat
memacu defisiensi glucocorticoid yang signifikan.
Insufisiensi adrenal sekunder adalah hasil dari sekresi ACTH yang
inadekuat oleh pituitari. Penyebab tersering dari insuffisiensi adrenal sekunder
adalah iatrogenik, hasil dari pemberian glukokortikoid eksogen. Karena
sekresi mineralokortikoid biasanya adekuat

pada penyakit ini, gangguan

cairan dan elektrolit biasanya tidak muncul. Insuffisiensi adrenal akut (krisis
Addisonian), bagaimanapun, dapat dipacu pada pasien yang tergantung pada
steroid yang tidak menerima dosis yang ditingkatkan selama periode stress
(misal, infeksi, trauma, pembedahan). Fitur klinis dari kegawatdaruratan medis
ini termasuk sirkulasi yang kolaps, demam, hipoglikemia, dan depresi mental.

Pertimbangan Anesthetik
Kunci manajemen pasien dengan defisiensi glukokortikoid adalah
untuk meyakinkan terapi pengganti steroid adekuat selama periode
perioperatif. Karena resiko suplementasi mungkin rendah, semua pasien yang
telah menerima secara potensial steroid dengan dosis supressif (misal,
kesetaraan harian 5 mg prednison) melalui berbagai rute pemberian obat
(topikal, inhalasi, atau oral) untuk periode lebih dari 2 minggu kapanpun
selama 12 bulan sebelumnya mungkin tidak dapat merespon stress
pembedahan secara wajar.
Yang menggambarkan cakupan steroid adekuat masih kontroversial.
Walaupun orang dewasa normalnya mensekresi 20 mg cortisol per hari, dapat
meningkat lebih dari 300 mg di bawah kondisi stress maksimal. Oleh
karenanya, ada yang merekomendasikan untuk pemberian hydrocortisone
phosphat 100 mg tiap 8 jam di sore hari sebelum atau pada pagi hari saat
operasinya. Regimen dosis rendah alternatif (25 mg hydrocortisone pada saat
24

induksi diikuti dengan infus 100 mg selama 24 jam berikutnya) mencapai


level cortisol plasma sama sampai lebih tinggi dari yang dilaporkan pada
pasien yang sehat menjalani pembedahan elektif yang sama. Regimen kedua
ini mungkin utamanya cocok untuk pasien diabetes, yang pemberian
glukokortikoidnya sering diganggu dengan pengendalian gula darah.

KELEBIHAN CATHECHOLAMINE
Manifestasi Klinis
Pheochromocytoma adalah tumor yang mensekresi chatecholamine
yang mengandung sel dari krista neuralis embrional (jaringan epinephrine) dan
merupakan 0,1% dari semua kasus hipertensi. Walaupun tumor biasanya jinak
dan berlokasi pada kelenjar adrenal tunggal, 10-15% bersifat ganas, dan 1015%

lainnya

bilateral

atau

ekstraadrenal.

Manifestasi

utama

dari

pheochromocytoma adalah nyeri kepala paroksismal, hipertensi, berkeringat,


dan palpitasi. Hipertensi dan takikardia intraoperatif yang tidak diharapkan
adakalanya menjadi indikasi pertama dari pheochromocytoma yang tidak
terdiagnosis. Patofisiologi, diagnosis dan pngobatan tumor ini membutuhkan
pemahaman metabolisme cathecholamin dan farmakologi agonis dan
antagonis adrenergik. Pembahasan kasus pada bab 12 memeriksa aspek-aspek
dari manajemen pheochromocytoma.
Pertimbangan Anesthetik
Penilaian preoperatif seharusnya fokus pada keadekuatan
blokade adrenergik dan penggantian volume. Secara spesifik, tekanan
darah arterial istirahat, tekanan darah orthostatik, dan denyut jantung, ektopi
ventrikuler, dan bukti elektrocardiografi dari iskemi harus dievaluasi.
Penurunan massa sel darah merah dan volume plasma berkontribusi
pada hipovolemia kronis yang parah terlihat pada pasien ini. Walaupun
hematokrit biasanya meningkat atau normal, tergantung pada dua faktor ini,
namun tidak dapat dipercaya untuk menilai status volume. Blokade adrenergik preoperatif dengan phenoxybenzamin membantu mengkoreksi
defisit volume, sebagai tambahan untuk mengkoreksi hipertensi dan
25

hiperglikemia. Setetes hematocrit seharusnya menyertai ekspansi volume


sirkulasi; hal ini sering membuka anemia yang mendasari.
Variasi tekanan darah yang berpotensi mengancam nyawautamanya
selama induksi dan manipulasi tumormengindikasikan kebutuhan akan
pengawasan tekanan arterial secara langsung. Pergeseran volume cairan
intraoperatif yang bear menggarisbawahi pentingnya akses intravena yang
baik dan pengawasan urin. Pasien muda dengan jantung yang sehat mungkin
membutuhkan pengawasan tekanan vena sentral saja, walaupun pasien dengan
bukti cardiomiopati cathecholamine mungkin mendapat manfaat dari
penggunaan kateter arteri pulmonalis.
Intubasi seharusnya tidak diusahakan sampai level anesthesia yang
dalam telah tercapai. Hipertensi intraoperatif dapat ditangani secara efektif
dengan phentolamine, nitroprusside, atau nicardipin. Nitroprusside disukai
oleh beberapa ahli anestesi karena onset kerjanya lebih cepat, durasi kerjanya
lebih pendek, dan meningkatkan familiaritas dengan obat. Phentolamine
secara spesifik mengeblok reseptor adrenergik dan mencegah efek
cathecholamine yang bersirkulasi berlebihan. Nicardipin digunakan lebih
sering secara preoperatif dan intraoperatif. Obat-obat atau teknik anesthetik
yang menstimulasi sistem saraf simpatis (misal, ephedrine, ketamine,
hipoventilasi), mempotensiasi efek arritmik dari cathecholamine (misal,
halothane), menghambat sistem saraf parasimpatis (misal pancuronium), atau
membebaskan

histamine

(misal

atracurium,

morphine

sulfat)

dapat

menyebabkan hipertensi dan paling baik dihindari.


Setelah ligasi dan reseksi tumor, masalah primer yang sering terjadi
adalah hipotensi akibat hipovolemia, blokade adrenergik persisten, dan
toleransi utama terhadap level cathecholamine endogen yang tinggi yang
secara tiba-tiba terhenti. Resusitasi cairan seharusnya termasuk pertimbangan
perdarahan selama pembedahan dan kehilangan cairan pada lingkungan
ketiga. Penilaian volume intravaskuler termasuk keluaran urine, tekanan vena
sentral, tekanan darah arterial, dan jika tersedia, tekanan oklusi kapiler
pulmonal. Infus agonis adrenergik, seperti phenylephrine atau norepinephrine,
adakalanya memerlukan bukti. Hipertensi postoperatif dapat mengindikasikan
keberadaan tumor tersembunyi atau kelebihan cairan.
26

OBESITAS
Berat badan berlebih (overweight) dan obesitas diklasifikasikan
melalui indeks massa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT
24 kg/m2, obesitas bila IMT pasti 30, dan obesitas ekstrim (istilah lama
obesitas morbid) dengan IMT 40. Resiko kesehatan meningkat seiring
dengan derajat obesitas. Lelaki dengan ukuran pinggang 40 inch dan wanita
dengan ukuran pinggang 35 inch resiko kesehatannya meningkat. Untuk
pasien dengan tinggi 1,8 m dan berat badan 70 kg, IMTnya seperti rumus di
bawah ini:
IMT = BB (kg)TB (m2)=701,82=703,24=21,6 kg/m2
Manifestasi Klinis
Obesitas dikaitkan dengan banyak penyakit, termasuk DM tipe II,
hipertensi, penyakit arteri koroner, dan cholelithiasis. (Trias obesitas,
hipertensi dan DM tipe II dikenal sebagai sindroma metabolik). Bahkan
dengan ketiadaan penyakit penyerta yang jelas, obesitas ekstrim memiliki
konsekuensi fisiologis yang sangat berat. Kebutuhan oksigen, produksi CO 2,
dan ventilasi alveolar meningkat karena kecepatan metabolik proporsional
dengan berat badan. Jaringan adiposa yang berlebihan menutupi thoraks
menurunkan pemenuhan dinding dada walau pemenuhan paru-paru tetap
normal. Peningkatan massa abdominal memaksa diafragma ke atas,
menghasilkan volume paru seperti pada penyakit paru restriktif. Pengurangan
volume paru ditonjolkan dengan posisi terlentang atau Trendelenbrug.
Utamanya, kapasitas residual fungsional dapat jatuh di bawah kapasitas
menutup. Jika hal ini muncul, beberapa alveoli menutup selama ventilasi
volume tidal normal, menyebabkan ketidakcocokan ventilasi/perfusi.
Mengingat pasien obes sering ditemukan hipoksik, hanya beberapa
yang hiperkapnik, yang seharusnya menjadi peringatan akan adanya
komplikasi yang akan datang. Sindroma obesitas-hipoventilasi (nama lama,
sindroma Pickwickian) adalah komplikasi dari obesitas yang ekstrim dengan
ciri-ciri hiperkapnea, policythemia terinduksi sianosis, gagal jantung kanan,
dan

ketidaksadaran.

Pasien-pasien

ini

nampaknya

memiliki

kendali
27

pernapasan yang tumpul dan sering menderita mengorok yang keras, dan
obstruksi saluran napas atas selama tidur (Obstructive Sleep Apneu Syndrome
[OSAS]). Pasien sering melaporkan mulut yang kering dan penimbulan yang
pendek dan teman tidurnya menggambarkan di sela-selanya terdapat apnea.
Manajemen saluran napas yang sulit selama induksi dan obstruksi saluran
napas atas selama pemulihan harus diantisipasi.
Utamanya pasien rentan selama periode postoperatif jika opioid atau
sedatif lain diberikan, dan jika mereka diletakkan terlentang, membuat saluran
napas atasnya makin mudah mengalami obstruksi. Untuk pasien yang
diketahui/dicurigai OSAS, percobaan continous positive airway pressure
(CPAP) postoperatif seharusnya dipertimbangkan sampai ahli anestesi yakin
bahwa pasien dapat melindungi saluran napasnya dan mempertahankan
ventilasi spontan tanpa bukti adanya obstruksi.
Jantung juga mengalami peningkatan beban kerja, karena cardiac
output dan volume darah meningkat akibat penyimpanan lemak tambahan
yang banyak. Elevasi cardiac output (0,1 L/menit/kg jaringan lemak) didapat
melalui peningkatan stroke volumesebagaimana dilawankan dengan denyut
jantungdan secara frekuen menghasilkan hipertensi arterial dan hipertrofi
ventrikel kiri. Elevasi aliran darah pulmonal dan vasokonstriksi arteri
pulmonalis dari hipoksia persisten dapat memacu hipertensi pulmonal dan cor
pulmonale.
Obesitas juga dikaitkan dengan patofisiologi gastrointestinal,
termasuk hernia hiatal, refluks gastroesofageal, pengosongan lambung yang
buruk, dan cairan lambung yang hiperasidik, seiring dengan peningkatan
resiko kanker lambung. Infiltrasi lemak ke hepar juga muncul dan dikaitkan
dengan tes hepar yang abnormal, namun perluasan infiltrasi tidak berhubungan
dengan derajat abnormalitas tes hepar.

PERTIMBANGAN ANESTHETIK
A. Preoperatif

28

Untuk alasan-alasan yang dipaparkan di atas, pasien obes mengalami


peningkatan resiko berkembangnya pneumonia aspirasi. Awal pengobatan
rutin dengan antagonis H2 dan metoclopramid seharusnya dipertimbangkan.
Premedikasi dengan obat depresan pernapasan harus dihindari pada pasien
dengan bukti hipoksia, hiperkapnea, atau obstructive sleep apnea preoperatif.
Injeksi intramuskuler sering tidak reliabel karena ketebalan jaringan adiposa.
Evaluasi preoperatif pada pasien dengan obese ekstrim yang
menjalani

pembedahan

mayor

harus

menjalani

penilaian

cadangan

kardiopulmoner dengan radiografi dada. Tanda fisik klasik terhadap gagal


jantung (misal, edema sakral) mungkin sulit untuk diidentifikasi. Tekanan
darah harus dinilai dengan ukuran cuff yang benar. Letak akses intravena dan
intraarterial seharusnya dicek dengan antisipasi kesulitan teknis. Penunjuk
yang tidak jelas, pemosisian yang susah, dan lapisan jaringan adiposa yang
luas membuat anesthesia regional yang sukar dilakukan dengan peralatan dan
teknik yang standar. Perhatian utama seharusnya pada saluran napas pasien
obese karena mereka seringnya sulit diintubasi sebagai hasil dari mobilitas
sendi temporomandibuler dan atlantooccipital yang terbatas, saluran napas
atas yang menyempit, jarak antara mandibula dan bantalan lemak sternal yang
memendek.

B. Intraoperatif
Karena resiko aspirasi, pasien obese biasanya diintubasi semuanya
tidak hanya untuk anesthesia umum. Lebih jauh lagi, ventilasi terkendali
dengan volume tidal yang besar sering menyediakan oksigenasi yang lebih
baik dari pada napas spontan yang dangkal. Jika intubasi tampaknya sulit,
menjaga pasien terjaga dan mengintubasi dengan bronkoskopi serat optik
sangat direkomendasikan. Suara napas mungkin sulit untuk dinilai,;
konfirmasi intubasi trakheal membutuhkan deteksi CO2 end-tidal. Bahkan
ventilasi terkendali membutuhkan konsentrasi oksigen yang diinspirasi cukup
tinggi

untuk

mencegah

hpoksia,

utamanya

pada

posisi

lithotomy,

Trendelenburg, atau prone. Bungkusan laparotomi abdomen subdiafragmatika


dapat menyebabkan penurunan fungsi paru dan mengurangi tekanan darah
29

arterial dengan mengganggu venous return. Tambahan tekanan akhir ekspirasi


positif memperburuk hipertensi pulmoner pada beberapa pasien dengan
obesitas yang ekstrim.
Anesthetik volatile mungkin dimetabolisme lebih ekstensif pada
pasien obes. Hal ini dalah perhatian utama berkenaan dengan defluorinasi
halothane. Peningkatan metabolisme dan predisposisi hipoksia dapat
menjelaskan peningkatan insidensi hepatitis halothane pada pasien obes.
Anesthetik volatile mendistribusikan simpanan lemak secara perlahan yang
meningkatkan cadangan lemak memiliki efek klinis yang kecil pada waktu
terbangun, bahkan selama prosedur operasi yang lama.
Secara teoritis, penyimpanan lemak yang lebih besar menyediakan
peningkatan volume distribusi obat yang larut lemak (misal, benzodiazepin,
opioid). Hal ini, menyebabkan dibutuhkannya loading dose yang lebig besar
untuk menghasilkan konsentrasi plasma yang sama. Hal ini rasional untuk
mendasarkan dosis beberapa obat pada berat badan sebenarnya dari pasien
obes. Dengan alasan yang sama, dosis pemeliharaan seharusnya diberikan
lebih jarang karena klirensnya diperkirakan akan lebih lambat dengan volume
distribusi yang lebih besar. Kebalikannya, obat yang larut air (misal, NMBA)
memiliki volume distribusi yang lebih terbatas, yang seharusnya tidak
dipengaruhi oleh simpanan lemak. Pemberian dosis obat-obat ini seharusnya
didasarkan pada berat badan ideal untuk menghindari overdosis. Pada
kenyataannya, praktek klinis tidak selalu memvalidasi perkiraan ini.
Kesulitan teknik dikaitkan dengan anesthesia regional telah
disebutkan. Walaupun kebutuhan dosis untuk anesthesia spinal atau epidural
sulit untuk diprediksi, pasien obes biasanya membutuhkan 20-25% anesthetik
lokal kareana lemak epidural dan distensi vena epidural. Blokade level tinggi
dapat dengan mudah menghasilkan pernafasan yang compromise. Anesthesia
epidural yang kontinyu memiliki keuntungan dalam menyediakan penghilang
nyeri dan menurunkan komplikasi pernapasan pada periode postoperatif.

30

C. Postoperatif
Kegagalan pernapasan merupakan masalah postoperatif mayor dari
pasien dengan obese yang ekstrim. Resiko hipoksia postoperatif adalah
meningkatnya hipoksia preoperatif dan dengan pembedahan yang melibatkan
thorak atau abdomen atas (utamanya insisi vertikal). Ekstubasi seharusnya
ditunda sampai efek NMBA dibalikkan secara komplit dan pasien benar-benar
terbangun. Pasien yang obes seharusnya tetap terintubasi sampai tidak ada
keraguan bahwa saluran napas dan volume tidal yang adekuat akan
dipertahankan. Ini tidak berarti bahwa semua pasien obes memerlukan
ventilator lebih dari semalam di ICU. jika pasien diekstubasi di kamar operasi,
oksigen suplemental seharusnya disediakan selama transportasi ke ruang
pemulihan. Posisi duduk 45o termodifikasi akan menurunkan beban diafragma
dan memperbaiki ventilasi dan oksigenasi. Resiko hipoksia meluas selama
beberapa hari sampai periode postoperatif, dan menyediakan oksigen
suplemental

seharusnya

dipertimbangkan

secara

rutin.

Komplikasi

postoperatif umum lainnya pada pasien obes adalah infeksi luka, deep venous
thrombosis, dan emboli paru.

SINDROMA KARSINOID
Merupakan kumpulan gejala dan tanda yang kompleks disebabkan
oleh sekresi substansi vasoaktif (misal serotonin), kallikrein, histamin) dari
tumor enteroepinephrine (tumor karsinoid). Karena sebagian besar tumor ini
berlokasi di traktus gastrointestinal, produk metaboliknya dikeluarkan ke
sirkulasi porta dan dihancurkan oleh hepar sebelum mereka dapat
menyebabkan efek sistemik. Namun, produk tumor nonintestinal (misal,
pulmoner, ovarian) atau metastase hepar melalui sirkulai porta dan oleh
karenanya dapat menyebabkan manifestasi klinis bervariasi.

Manifestasi Klinis
31

Manifestasi klinis tersering pada sindroma karsinoid adalah kulit


kemerahan, bronkospasme, diare yang profuse, dramatic swings pada tekanan
darah arterial (baiasanya hipotensi), dan arritmia supraventrikuler (Tabel 369). Sindroma karsinoid dikaitkan dengan penyakit jantung kanan yang
disebabkan

oleh

pembentukan

plak

pada katup

dan

miokard.

Metabolisme serotonin di paru menunjukkan pencegahan keterlibatan jantung


sebelah kiri. Diagnosis sindroma karsinoid dikonfirmasi dengan deteksi
metabolit serotonin di urin (5-hydroxyindoleacetic acid) atau dengan
peningkatan level chromogranin plasma. Pengobatan bervariasi tergantung
pada lokasi tumor, namun bisa termasuk reseksi pembedahan, pengobatn
simptomatis, atau antagonis serotonin dan histamin spesifik. Somatostatin,
penghambat peptida, mengurangi dilpeaskannya produk tumor yang vasoaktif.

Pertimbangan Anesthetik
Kunci manajemen anesthetik pasien dengan sindroma karsinoid
adalah menghindari teknik atau agen anestesi yang dapat menyebabkan tumor
melepaskan substansi vasoaktif. Sebagai contohnya, hipotensi yang dapat
menyebabkan pelepasan hormon, seharusnya diatasi dengan ekspansi volume.
Pemberian cathecholamine telah dikaitkan dengan aktivasi kallikrein.
Anesthesi regional dapat membatasi stress perioperatif dan pelepasan agen
vasoaktif yang mengikutinya. Secara jelas, obat pelepas histamin (misal,
morfin dan atracurium) harus dihindari. Manipulasi pembedahan tumor dapat
menyebabkan pelepasan hormon yang masif. Monitoring harus termasuk jalur
arterial dan katerer vena sentral atau arteri pulmonalis karena ketidakstabilan
hemodinamik dan penyakit jantung intrinsik yang disebabkan oleh sindroma
karsinoid. Gangguan pada metabolisme karbohidrat menyebabkan hipoglikemi
atau hiperglikemi yang tidak terduga. Konsultasi pada ahli endokrinologi
dapat membantu menjelaskan peran antihistamin, obat anti serotonin (misal,
methylgliserid), octreotide (analog somatostatin dengan durasi kerja panjang),
atau obat anti kallikrein (misal, kortikosteroid) pada pasien yang spesifik.

Diskusi kasus : Neoplasia endokrin multiple


32

Didapat sebuah nodule tiroid pada pemeriksaan fisik pada seorang wanita usia
36 tahun yang mengeluh diare dan sakit kepala. Workup tumor menunjukan
hipekalsemia dan peningkatan level kalsitonin, yang mengarah pada diagnosis
kanker tiroid tipe medulari. Selama induksi anestesia umum pada tiroidektomi
total, tekanan darah pasien ini meningkat 240/140 mmHg dan Heart rate-nya
mendekati 140x/menit, dengan frekuensi kontraksi ventrikuler yang prematur.
Operasi dibatalkan, garis arterial diletakkan, dan pasien diobati dengan
pentolamin, propanolol, lidokain, dan natrium nitropusid intavena
Apa penyebab yang mungkin dari krisis hipertensi pasien ini selama induksi
anestesia umum?
Neopalsia endokrin multiple (MEN) adalah dicirikan dengan pembentukan
tumor pada beberapa organ endokrin. MEN tipe I terdiri dari pankreas
(gastinoma, insulinoma), Kelenjar pituitari (kromofob), dan tumor paratiriod.
MEN tipe II terdiri dari carsinoma tiroid medulare, paeokromositoma, dan
hiperparatiroidisme (tipe Iia) atau neoroma mukosal multipel (tipe Iib atau tipe
III). Episode hipertensi pada kasus ini munkin berhubungan dengan sebuah
paeokromositoma yang tidak terdiagnosa sebelumnya. Paeokromositoma pada
MEN sering terdiri dari tumor multipel kecil.Pasien2 ini biasanya dewasa
muda dengan adanya riwayat keluarga dengn MEN. Jika direncanakan
pembedahan multipel, reseksi paeokromositoma biasanya akan dijadwalkan
pertama.
Apakah kalsitonin dan mengapa dihubungkan dengan kanker medulare?
Kalsitoni adalah sebuah polipeptida yang dibentuk oleh sel2 parafolikel ( sel C
) pada kelenjar tiroid. Kalsitonin disekresi dalam merespon peningkatan ion
kalsium dalam plasma dan cenderung untuk menurunkan level kalsium dengan
mempengaruhi ginjal dan fungsi tulang. Kemudian, bekerja sebagai ntagonis
hormon paratiroid (lihat tabel 36-6)
Mengapa pada pasien ini hiperkalsemi jika Kalsitonin menurunkan kalsium
serum?
Kelebihan atau kekurangan kalsitonin mempunyai efek sedikit pada manusia
dibanding dengan efek gangguan paratiroid. Hiperkalssemia pada pasien ini
33

mungkin dihubungkan dengan adanya hiperparatiroidisme primer (MEN tipe


II) secara bersamaan.
Apakah diare dan sakit kepala konsisten dengan diagnosis pada pasien ini?
Riwayat sakit kepala memberi kesan kemungkinan paeokromositoma, dimana
diare mungkin berhubungan dengan kalsitonin atau 1 dari peptida lain yang
sering diproduksi oleh karsinoma tiroid medulare (eg, ACTH, somatostatin,
endorfin).
Follow-up apa yang dibutuhkan pasien ini?
Karena perubahan hemodinamik yang mengancam nyawa dikaitkan dengan
paeokromositoma, keseluruhan ini harus dikontrol secara medis sebelum
pembedahan dipikirkan (lihat diskusi kasus, bab 12). Karena sidroma MEN
adalah genetik, anggota keluarga harus di screening untuk tanda awal
paeokromositoma, kanker tiroid, dan hiperpartiroidisme.

34

BAB 37
ANESTESIA UNTUK PASIEN-PASIEN DENGAN
PENYAKIT NEUROMUSKULER
Konsep kunci
Kelemahan yang berhubungan dengan miastenia gravis adalah dikaitkan
dengan kerusakan autoimun atau inaktifasi reseptor asetilkolin postsinaps

pada

sambungan

neuromuskular,

yang

mengakibatkan

pengurangan jumlah reseptor dan kehilangan lipatan pada membran postsinaptik.


Pasien2 miatenia gravis dengan keterlibatan otot2 pernapasan atau otot
mata meningkatkan resiko aspirasi paru2.
Banyak pasien2 dengan miastenia gravis (bagus) sensitif terhadap
nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBAs).
Pasien2 miastenia gravis

paling beresiko untuk mengalami gagal

pernapasan post-operatif. Durasi miastenia gravis selama 6 tahun, dengan


penyakit paru (konkomitan), tekanan inspirasi puncak < -25 cm H2O (ie,
-20 cm H2O), kapasitas vital paru < 4 mL/kg, dan dibutuhkan dosis
piridostigmin > 750 mg/d untuk ventilasi post-operatif diikuti
timektokmi.
Pasien2 dengan sindroma miastenik sangat sensitif terhadap depolarizing
dan nondepolarizing NMBAs.
Degenerasi otot2 pernafasan pada pasien2 dengan muskular distrofi
diinterfer dengan mekanisme batuk efektif dan terdapat retensi sekresi
dan infeksi paru2 yang frekuen.
35

Degenerasi dari otot2 jantung pada pasien2 dengan distrofi muskular juga
umum, tetapi dilatasi atau cardiomiopati hipertrofi hanya pada 10%
pasien.
Suksinilkolin telah digunakan secara aman pada beberapa pasian dengan
Duchenne's and Becker's muscular dystrophies tetapi sebaiknya dihindari
karena respon2 yang tidak terduga dan resiko menginduksi hiperkalemia
berat atau memacu hipertermi maligna.
Pada pasien2 dengan paralisis periodik, menajemen anestetik langsung
diarahkan untuk mencegan serangan. Monitoring Ekg yang teliti, penting
untuk mendeteksi serangan dan aritmia selama anestesia.
Pada pasien2 dengan paralis periodik, respon terhadap NMBA tidak dapat
diduga. Peningkatan sensitivitas terhadap nondepolarizing NMBAs secara
teliti jitu dapat ditemukan pada pasien2 dengan paralis periodik
hipokalemi.
Anestesia pasien2 dengan penyakit neuromuskular:
Perkenalan
Meskipun gangguan2 neuromuskular tidak umum, pasien2 ada pada ruang
operasi dengan bebarapa secara tetap pada pusat2 kesehatan tersier untuk studi
diagnostik, untuk pengobatan komplikasi, atau untuk manajemen operasi dair
gangguan2 tany tak berhubungan. Pengurangan kekuatan otot dan peningkatan
sensitivitas terhapat neuromuscular blocking agents (NMBAs) menjadikan
pasien2 ini predisposisi terjadinya kegagalan parnapasan postoperatif. Sebuah
pemahaman dasar dari gangguan2 mayor dan interaksi potensial mereka
terhadap obat2 anestetik penting untuk mencegah kesakitan postoperatif.
Miastenia Gravis
Miasthenia gravis dikarakteristikkan sebagai kelemahan dan kelelahan otot2
skeletal dan diklasifikasikan menurut adanya kelemahan otot2 okular dan nonokular atau hanya otot2 okular (Tabel 37-1). Prevalensi waktu hidup orang
dengan miastenia gravis dimanapun adalah antara 5-40 per 100.000 orang.
Kejadiannya adalah 4-11 per juta dan tertinggi pada wanita selama dekade
ke3, pada laki2 khas terjadi pada dekade ke6 dan 7. Kelemahan yang
36

dihubungkan dengan miastenia gravis Kelemahan yang berhubungan dengan


miastenia gravis adalah dikaitkan dengan kerusakan autoimun atau inaktifasi
reseptor asetilkolin post-sinaps pada sambungan neuromuskular, yang
mengakibatkan pengurangan jumlah reseptor dan kehilangan lipatan pada
membran post-sinaptik. Ditemukan antibodi (IgG) melawan reseptor
asetilkolin nikotinik pada sambungan neuromuskular pada 85-90% pasien
dengan miastenia gravis umum dan sampai 50-70% pada pasien2 dengan
miastenia okular. 10-15% pasien2 dengan miastenia gravis berkembang
sebuah timoma, dimana 65% memiliki hiperplasia timus. Gangguan autoimun
lain (eg hipotiroidisme, hipertiroidisme dan artritis reumatoid juga terdapat
pada 10% pasien.

Table 371. Classification of Myasthenia.


Kelas I Kelemahan otot okular
Kelas II Kelemahan ringan otot non-okular1
Kelas III Kelemahan sedang otot non-okular2
Kelas IV Kelemahan berat otot non-ocular
Kelas V Intubasi trakea2 atau takeostomi untuk melindungi jalan napas dengan
atau tanpa ventilasi mekanik
1

Kelemahan otot mata seberapapun beratnya

Kecuali pada periode periopperatif

Penyakit ini ditandai dengan aksasebasi dan remisi. Remisi dapat sebagian
atau lengkap. Kelemahan dapat asimetris, satu kelompok otot atau seluruhnya.
Otot2 okular paling sering terkena, mengkibatkan ptosis fluktuasi dan
diplopia. Dengan keterlibatan kelemahan otot mata, laring dan faring dapat
mengakibatkan disartria, kesulitan mengunyah dan menelan, masalah
pembersihan sekret, atau aspirasi paru2. Beratnya penyakit biasanya
dihubungkan dengan kelemahan otot proksimal (terutama pada otot dan
pundak) dan keterlibatan otot2 pernafasan. Kekuatan otot membaik dengan
istirahat tapi memburuk secara cepat dengan kerja berat. Infeksi, stres,

37

pembedahan, dan kehamilan dapat berefek tak terduga pada penyakit tetapi
sering mengalami eksaserbasi.
Obat2 antikolinesterase paling umum digunakan untuk mengobati kelemahan
otot.

Obat2

neuromuskular

ini

meningkatkan
melalui

jumlah

penghambatan

asetilkolin

pada

sambungan

asetilkolinesterase

end-

plate.Piridostigmin merupakan agen yang paling sering digunakan, diberikan


secara oral, efektif selama 2-4 jam. Pemberian yang berlebihan dari
antikolinesterase akan memacu krisis kolinergik, yang dikarakteristikan
dengan peningkatan kelemahan, efek muskarinik yang berlebihan, yaitu
salivasi, diare, miosis, bradikardi. Uji edroponium membantu membedakan
kolinergik dengan krisis miastenia. Peningkatan kelemahan dengan pemberian
endroponium 10mg intravena mengindikasikan krisis kolinergik, dimana
penigkatan kekuatan otot mengimplikasikan krisis miastenia. Jika uji ini sama
atau manifestasi pasien secara jelas adalah hiperaktifitas kolinergik, semua
obat2 antikolinergik harus dilanjutkan dan pasien harus dimonitor (pada
kabanyakan kasus pada Intensive care unit). Antikoliesterase sering hanya
digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis ringan. Penyakit
sedang sampai berat diobati dengan kombinasi obat antikolinesterase dan
terapi imunomodulasi. Kortikosteroid biasanya dicobakan pertama, diikuti
dengan

azatriopin

dan

siklosporin.

Beberapa

pengobatan

alternatif

imunomodulasi dapat dicobakan termasuk siklofosfamid, mikofenolate,


mofetil dan imunoglobulin intravena. Plasmaparesis kebalikan untuk pasien2
dengan disfagia atau gagal nafas atau untuk pasien2 dengan kekuatan otot
normal preoperatif yang akan menjalani prosedur bedah. 85% pasien dibawah
umur 55 tahun menunjukan perbaikan klinis setelah timektomi kadang tanpa
tumor memgalami perbaikan setelah beberapa tahun.
Pertimbangan Anestetik
Pasien2 dengan miastenia dapat menjalani timektomi atau pembedahan yang
tak berhubungan atau proseur2 obstetrik. Pada semua kasus, pasien harus
diberi kontrol medik medis yang terbaik sebelum operasi. Pasien miastenik
dengan kelemahan pernafasan dan orofaringeal harus diobati secara agrasif
pre-operatif dengan imunogobulin iv atau plasmafaresis. Jika kekuatan otot
normal, insidensi dari komlikasi pernafsan postoperatif harus mirip dengan
38

pasien nonmiastenia dibawah prosedur operasi yang sama. Pasien2 yang


dijadwalkan timektomi sering mengalami perburukan kekuatan otot, yang
harus dilakukan prosedur elektif lainyang dapt dikotrol baik atau remisi.
Penting dilakukan koreksi medikasi antikolinesterase, imunosupresan, atau
terapi steroid. Manajemen terapi antikolinesterase pada periode perioperatif
masih kontroversi tetapi harus diindividualkan. Masalah potensial dalam
melanjutkan terapi yaitu perubahan kebutuhan pasien sebelum operasi,
peningkatan vagal refleks, dan adanya kemungkinan disrupting usus besar.
Terlebih lagi, karena agen2 ini juga menghambat kolinesterase plasma, mereka
dapat meperpanjang durasi ester-jenis anestesi lokal dan suksinilkolin.
Kebalikannya, pasien2 dengan penyakit umum lanjut mungkin dapat
memburuk secara signifikan ketika diberi agen2 antikolinesterase.
Pengobatan ini harus dimulai lagi ketika pasien mendapat intake oral.
Kemudian yang penting, penghambat2 kolinesterase dapat juga diberikan
secara parenteral pada 1/30 dosis oral.
Evalusai preoperatif harus fokus pada penyakitnya saat ini, kelompok otot
yang dipengaruhi, terapi obat, kesakitan co-exist. Pasien2 yang mempunya
miastenia gravis dengan keterlibatan otot nafas dan mata meningkatkan resiko
terjadinya aspirasi paru2. Premedikasi dengan metoklopramid atau H2 bloker
dapat menurunkan resiko, penelitian yang mendukung kehilangan kelompok
pasien2 ini. Karena beberpa pasien dengan miastenia gravis sering sangat
sensitif terhadap depresan nafas, premedikasi dengan opiod, benzodiazepin,
dan obat2 serupa biasanya dihilangkan.
Dengan pengecualian NMBAs, standar obat2 anestetik dapat digunakan pada
pasien2 dengan miastenia gravis. Depresi nafas, bagaimanapun dapat dijumpai
mengikuti dosis sedang barbiturat atao opioid. Propofol lebih disukai karena
kerjanya pendek. Agen2 volatile 9mudah menguap)- berdasar anestetik adalah
yang palng menguntungkan secara umum. Anestesia dalam dengan hanya
agen2 volatil pada pasien2 dengan miastenia gravis memberi relaksasi yang
cukup untuk intubasi trakea sebaik prosedur2 bedah. Bebrapa klinisi secara
rutin mencoba untuk menegah menggunakan NMBAs. Respo terhadap
suksinilkolin tak dapat diduga. Pasien dapat bermanifes resistensi relatif,
prolong efek, atau respons yang ta biasa (fase II blok, lihat bab 9). Dosis
39

suksinilkolin dapat ditingkatkan sampai 2mg/kg unntuk melawan resistensi,


namun prolong efek harus diantisipasi. Banyak pasien2 dengan miastenia
gravis sensitif terhadap nondepolarizing NMBAs. Kadang dosis defasikulating
pada beberapa pasien mengakibatkan paralisis komplete. Jika diperlukan
NMBAs, dapat dipilih nondepolarizing agent (cisatracurium or mivacurium)
kerja pendek dalam dosis kecil. Blokade neuromuskular harus dimonitor
dengan sebuah stimulator saraf.
Pasien2 dengan miastenia gravis memiliki resiko paling besar untuk
mengalami gagal nafas postoperatif. Durasi miastenia gravis selama 6 tahun,
dengan penyakit paru (konkomitan), tekanan inspirasi puncak < -25 cm H2O
(ie, -20 cm H2O), kapasitas vital paru < 4 mL/kg, dan dibutuhkan dosis
piridostigmin > 750 mg/d untuk ventilasi post-operatif diikuti timektokmi.
Wanita dengan miastenia gravis dapat mengalami penigkatan kelemahan pada
trimester akhir kehamilan dan periode awal postpartum. Umumnya dipilih
epidural anestesi untuk pasien2 ini untuk

menghindari masalah potensial

dengan depresi nafas dan NMBAs selama anestesi umum. Derajat kelebihan
tinggi dari blokade motor, bagaimanapun juga dapat mangkibatkan
hipoventilasi. Bayi2 dengan miastenia gravis dapa menunjukan miastenia
transien selam 1-3 minggu, terinduksi oleh antibodi2 reseptor asetilkolin yang
ditransfer transplasental, kadang2 perlu dikontrol dengan ventilasi mekanik.
LambertEaton Myasthenic Syndrome
LambertEaton myasthenic syndrome (LEMS) adalah sebuah sindroma
paraneoplastik yang dicirikan dengan kelemahan otot2 proksimal khususnya
dimulai dari ekstremitas bawah, namun dapat menyebar ke lengan/paha atas,
mata, dan otot2 nafas. Mulut kering, impotensi pada pria, dan manifestasi lain
dari disfungsi atonomik juga sangat umum. LEMS biasanya dihubungkan
karsinoma sel kecil paru2. Sindroma paraneoplastik juga dapat terlihat pada
kejadian keganasan lain atau sebagai sebuah penyakit autoimun idiopatik.
Ganguan ini terjadi akibat defek presinaps dari transmisi neuromuskular.
Antibodi terhadap voltasi-gerbang channel kalsium pada saraf terminal
ditandai pengurangan lepasan quantal asetilkolin pada motor end-plate. Sel2

40

karsinoma sel kecil mengeluarkan voltage-gated calcium channels, sebagai


pemicu respons autoimun pada pasien2 dengan paraneoplastik sindrom LEMS
Kebalikan dari miastenia gravis, kelemahan otot membaik dengan usaha
berulang2 dan kurang membaik dengan obat2 antikolinesterase. Guanidine
hydrochloride and 3,4-diaminopyridine (DAP), yang meningkatkan pelepasan
asetilkolin, sering menghasilkan perbaikan yang signifikan pada LEMS.
Penggunaan guanidin hidroklorid terbatas karena hepatotoksik. Di USA DAP
hanya tersedia pada sebuah penggunaan dasar tetapi pada negara lain tersedia
luas. Banyak pasien2 dengan LEMS membaik dengan imunosupresi dan
plasmaparesis.
Pasien2

dengan

sindroma

miastenik

sangat

sensitif

baik

terhadap

depolaarizing maupun nondepolarizing NMBAs.Respo terhadap obat lain


yang digunakan dalamanestesi biasanya normal. Agen2 volatil sering cukup
untuk memberi relaksasi otot baik untuk intubasi maupun prosedur2
bedah.NMBAs harus diberikan hanya dalam dosis kecil dan dengan
monitoring neuromuskular yang teliti. Pengelolaan defek2 atonomik
didiskusikan pada Bab 27.
DISTROFI OTOT
Pertimbangan preoperative
Distrofi otot adalah beraneka ragam kelompok dari kelainan herediter yang
ditandai oleh regenerasi dan nekrosis serat otot, yang membawa ke kelemahan
yang progressive dan degenerasi otot.

Kasus yang jarang kiranya terjadi

karena mutasi. dystroglycan ( - DG) dysglycosylation adalah patofisiologi


yang paling umum untuk distrofi otot konginental dan salah satunya
merupakan distrofi otot limb-girdle.
Dunchennes Muscular Dystrophy
Dunchennes muscular dystrophy merupakan bentuk distrofi otot yang paling
sering dan yang paling bahaya. Bentuk utama yang lain termasuk Beckers,
myotonic facioscapulohumeral, dan limb-girdle dystrophies. Penyakit resesive
X-linked, Dunchennes muscular dystrophy lebih banyak terkena pada laki41

laki. Terdapat angka kejadian rata-rata satu dari tiga kasus per 10.000
kelahiran laki-laki hidup dan biasanya tampak pada antara usia 3 dan 5 tahun.
Individu yang terkena akan memproduksi dystrophin yang abnormal, protein
yang ditemukan pada sarkolema dari serat otot. Pasien mempunyai
karakteristik

perkembangan

kelemahan

otot

proksimal

yang

akan

bermanifestasi gangguan keseimbangan. Infiltrasi jaringan lemak biasanya


menyebabkan pembesaran (pseudohipertrofi) otot, terutama otot betis.
Kelemahan yang progressive dan contracture akhirnya menghasilkkan
kifoscoliosis. Pada umur 12 tahun, kebanyakan pasien terbatasi pada kursi
roda. Pada beberapa pasien perjalanan penyakit dapat ditunda sampai 2-3
tahun dengan penggunaan glucokortikoid. Pemburukan intelektual sering
terjadi tetapi umumnya tidak progresif. Level plasma creatin kinase (CK)
adalah

10-100

kali

normal

pada

permulaan

penyakit

dan

sedikit

menggambarkan kenaikkan abnormal pada permeabilitas dari membrane sel


otot. Karier/pembawa perempuan kerap kali juga memiliki level CK plasma
yang tinggi, derajat variable dari kelemahan otot, dan jarang, keterlibatan
jantung. Konsentrasi myoglobin plasma dapat juga meningkat. Diagnosis
dapat dipastikan dengan biopsy otot. Deleksi atau duplikasi pada gen distrofin
dapat dideteksi oleh analisis southern blot atau metode polymerase chain
reactions pada 65% pasien dengan duchennes atau beckers muscular
dystrophy.
6). Degenerasi dari otot pernapasan pada pasien dengan distrofi otot
mengganggu mekanisme batuk yang efektive dan membawa pada retensi dari
sekresi dan infeksi paru yang berulang. Kombinasi dari kyposcoliosis dan
muscle wasting menyebabkan restrictive ventilatory defect yang parah.
7) Hipertensi pulmonal sering bersamaan dengan perjalanan penyakit.
Degenerasi dari otot jantung pada pasien dengan distrofi otot juga sering
terjadi, tetapi menjadi dilatasi atau hipertrofi hanya pada 10% pasien. Sekuder
mitral regurgitasi sampai disfungsi otot papillary dapat juga dijumpai pada
lebih dari 25% pasien. Ketidaknormalan electrocardiographic (ECG) termasuk
pemanjangan interval P-R, abnormal segmen QRS dan ST, dan penonjolan
gelombang R melebihi precordium kanan dengan gelombang Q yang dalam
42

melebihi precordium kiri. Aritmia atrium juga sering dijumpai. Kematian


biasanya dikarenakan infeksi paru yang berulang, gagal napas atau gagal
jantung pada umur 15-25 tahun.

Beckers Muscular dystrophy


Backers muscular dystrophy, merupakan penyakit yang jarang (1:30.000
kelahiran laki-laki), juga merupakan penyakit distrofi otot X-linked resessive.
Penyakit ini juga berhubungan pada deleksi atau mutasi point pada gen
distrofi, yang membawa pada defek di produksi dystrofin. Manifestasinya
hampir mirip seperti Duchennes muscular dystrophy kecuali bahwa penyakit
ini biasanya muncul pada umur yang lebih tua (remaja) dan perjalannya lebih
lambat. Retardasi mental lebih jarang terjadi. Pasien sering mencapai decade
empat atau lima, walaupun beberapa dapat bertahan hidup sampai decade 80.
kematian biasanya karena komplikasi pernapasan. Cardiomyopati dapat
muncul pada beberapa kasus dan dapat mendahului perburukan perlemahan
skeletal.
Myotonic dystrophy
Myotonic dystrophy (MD) adalah gangguan multi sistem yang merupakan
penyebab terbanyak dari myotonia- perlambatan relaksasi setelah kontraksi
otot sebagai respon pada stimulus percussive dan listrik. Penyakit ini
disalurkan pada trend autosomal dominant dan memiliki angka kejadian
1:8000. Bentuk yang paling sering berlokasi pada kromosom 19, lokus q12,3;
code gen untuk protein kinase serine/threonine. Penggulangan trinucleotide
secara tidak normal diyakini membawa ke penyakit ini. Manifestasi MD
terjadi pada dekade dua sampai tiga dari kehidupan; bagaimanapun, kondisi
ini dapat muncul pada pasien dari infant sampai akhir hidup. myotonia adalah
manifestasi utama yang muncul pertama pada penyakit ini, tetapi selama
perjalanan penyakit, kelemahan otot dan atrofi menjadi lebih esensial.
kelemahan otot dan atrofi biasanya menyerang otot kranial (orbicularis oculi
dan oris, masseter, dan sternocleidomastoid) dan hasilnya adalah penampakan
43

wajah yang khas. tidak seperti kebanyakan miopati lainnya, otot-otot distal
lebih ikut terlibat daripada otot-otot proksimal. Level CK plasma normal atau
meningkat sedikit.
Banyak sistem organ yang terlibat dalam penyakit ini sebaga buktinya
seperti presenile katarak, premature frontal baldness; hipersomnolen dengan
sleep apnea; dan disfungsi endocrine yang membawa pada penyakit
pangkreas, adrenal, thyroid, dan insufficiency gonad. Peranan sistem
pernapasan juga membawa untuk penurunan kapasitas vital. hipoventilasi
alveolar disebabkan oleh baik pulmonal atau disfungsi sentral nervus sistem.
Hipoksemia kronik dapat membawa pada cor pulmonale. Hipomotility
gastrointestinal dapat membuat pasien menjadi aspirasi pulmonary. Atonia
uterin dapat memperpanjang masa persalinan dan meningkatkan angka
kejadian dari retensio plasenta. Manifestasi jantung, dimana sering muncul
sebelum gejala klinik lain muncul, terdiri dari aritmia atrial, perbedaan derajat
blok jantung dan berkurangnya frekuensi, penurunan dari fungsi ventrikel.
Miotonia biasanya dideskripsikan pasien sebagai kaku dimana
dibutuhkan usaha untuk melanjutkan aktivitas, juga disebut fenomena warmup. Pasien terkadang melaporkan bahwa udara yang dingin memperparah
kekakuannya, walaupun penelitian elektrofisiological telah menunjukkan
perbaikan pada miotonia dengan pendinginan. Terapi antimiotonik dapat
digunakan dengan obat yang menstabilkan membran. Phenntoin, quinine sulfat
dan procainamide semua telah digunakkan pada usaha

menstabilkan

membran. Phenintoin tidak menunjukkan pada perburukan konduksi jantung


abnormal, sedangkan quinin dan procainamide dapat memperpanjang interval
P-R. Mexiletine dan tocainide seharusnya tidak digunakan pada pasien dengan
MD. Pacemaker jantung seharusnya diletakkan pada pasien dengan defek
konduksi yang signifikan, walaupun jika mereka tampa gejala.

Facioscapulohumeral Dysrophy

44

Fasioscapulohumeral distrophy adalah varian autosomal dominan dengan ratarata angka kejadian 1-3:100.000, disebabkan oleh deleksi DNA pada
kromosom 4q35. penyakit ini mengenai baik laki-laki dan perempuan,
walaupun perempuan dengan defek pada gen ini bersifat tan pa gejala. Pasien
dengan penyakit ini biasanya muncul pada dekade dua sampai tiga dari
kehidupan dengan kelemahan yang terutama pada otot-otot wajah dan
perasaan terikat pada bahu. otot-otot pada ekstremitas bawah biasanya jarang
terkena, dan otot-otot pernapasan biasanya tidak terpengaruh. Perjalanan
penyakit ini progresivitasnya pelan dan memiliki arah yang berbeda. Level CK
plasma biasanya normal atau sedikit meningkat. Pengaruh ke jantung jarang,
tetapi paralisis atrium telah dilaporkan pada sedikit pasien. selanjutnya hasil
dari kehilangan semua aktivitas listrik atrium dan ketidakmampuan memacu
jantung melalui atrium; melalui ventikel masih mampu. lamanya masa hidup
mempengaruhi hampir seluruh pasien secara minimal.

Limb-Girdle Dystrophy
Limb-girdle distrophy adalah percampuran keberadaan yang beraneka macam
dari beberapa penyakit neuromuscular yang berbeda, yang mana didefinisikan
sebagai genetik molekular. Sindrom limb-girdle termasuk Severe Childhood
Autosomal Ressesive Muscular Dystrophy (SCARMD, kromosom 13), distrofi
otot autosomal resesive (kromosom 15), dan ketidaklengkapan yang lain yang
didefinisikan sebagai sindrom autosomal resesive seperti Erb's (tipe
scapulohumeral) dan Leyden-Mobius (tipe pelvifemoral). Hampir semua
pasien tanpak pada masa kanak-kanak sampai dekade dua sampai tiga dari
kehidupan dengan kelemahan otot yang dapat meliputi rasa terikat pada bahu,
rasa terikat pada pinggang, atau keduanya. Penyakit ini seringnya berkembang
sangat pelan. level CK plasma biasanya meningkat. Pengaruh pada jantung,
sama seperti yang terjadi pada Dunhenne's muscular distrophy, dapat muncul
sebagai artitmia yang sering atau gagal jantung kongestif tetapi hal ini jarang
dijumpai. komplikasi pernapasan, seperti hipoventilasi dan infeksi saluran
napas yang berulang, dapat muncul lebih awal pada penyakit ini tetapi lebih
sering terjadi setelah penyakit ini berjalan lama (>30 tahun).
45

Pendekatan Anestesi
A. Dunchenne's dan Becker's Muscular Distrophy
Penanganan anestesi pada pasien dengan penyakit ini sangat rumit tidak hanya
karena kelemahan otot tetapi juga karena manifestasi jantung dan pulmonal.
Jika terjadi hubungan dengan hipetermi maligna

telah diketahui tapi hal

tersebut belum tebukti. Premedikasi preoperasi dengan sedasi atau opiod


baiknya dihindari, karena dapat meningkatkan resiko terjadinya aspirasi dari
kelemahan otot pernapasan atau hipomotilitas gaster. Posisi saat operasi juga
sangat rumit jika pasien memiliki kyphoscoliosis atau kontraktur fleksi dari
ekstremitas atau lehernya. Succinylcholin dapat digunakan secara aman pada
beberapa pasien dengan Duchenne's dan Becker's muscular distrophy tetapi
lebih baik dihindari karena dapat terjadi respon yang tidak dapat diprediksi
dan resikonya terasuk hiperkalemia yang parah atau hipertermi maligna.
walaupun beberapa pasien menunjukkan respon yang normal pada NMBA
non depolarisasi, tetapi pasien lainnya dapat menjadi sangat sensitive. Depresi
sirkulasi dan pernapasan dapat terjadi dengan anestesi volatil pada pasien
dengan penyakit yang lebih lanjut. Anestesi regional dan lokal dengan alasan
tertentu dapat digunakan pada pasien ini. Komplikasi pernapasan dapat diatasi
untuk morbiditas perioperative. pasien dengan kapasitas vital kurang dari 30%
diprediksi dapat muncul resiko yang lebih besar dan post operasi sering
tergantung pada ventilasi mekanik sementara waktu.
B. Myotonic Dystrophy
Pasien dengan MD mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi
jantung dan pernapasan selama operasi. Operasi dengan anestesi general
seharusnya dihindari, walaupun, terkadang tidak terlalu dibutuhkan.
Pengetahuan dari diagnosis pasien tentang MD merupakan hal yang vital
untuk perawatan pasien; walaupun, pasien dengan penyakit ini tidak secara
sukarela memberitahukan informasi tentang penyakitnya, dan beberapa pasien
dapat merupakan pasien dengan gejala yang ringan atau tidak terdiagnosa.
46

Diagnosa dari MD telah dibuat pada beberapa pasien hanya setelah terjadi
prolong apne setelah mendapat anestesi general. Kebanyakan masalah pada
saat perioperasi datang pada pasien MD dengan kelemahan yang parah dan
pada kasus ini baik ahli bedah maupun ahli anestesi tidak tahu diagnosisnya.
Pasien dengan MD mempunyai respon yang berubah-ubah pada
sejumlah obat-obat anestesi. Terkadang mereka sangat sensitive bahkan pada
sejumlah dosis kecil opioid, sedative dan agen inhalasi dan intra vena, semua
hal diatas dapat menyebabkan apneu yang tiba-tiba dan memanjang.
Premedikasi dapat dihindari jika dimungkinkan. Succinylcholine merupakan
kontraindikasi relative karena obat ini dapat menyebabkan kontraksi miotonik
yang hebat; trismus dapat menghalangi pembukaan mulut untuk intubasi.
Kontraksi miotonik dari respirasi, dinding dada, atau otot laring dapat
menyebabkan kesulitan atau ketidakmungkinan ventilasi. Obat-obat lainnya
dapat merangsang motor end plate, seperti decometonium, neostigmin, dan
phsostigmine, dapat memperburuk miotonia. Anestesi regional dapat
digunakan tetapi tidak selalu dapat menghindari kontraksi miotonik. Kesulitan
miotonia jarang muncul, tetapi dapat dikurangi dengan pemberian injeksi
procain pada otot atau dengan memberikan 300-600 mg quinin hydrochloride
secara intravena.
Respon dari nondepolarrisasi NMBA dilaporkan normal; walaupun,
mereka tidak sacara yakin dapat mencegah atau meredakan kontraksi
miotonik.

Sebagai

kebalikannya

nondepolarisasi

NMBA

dapat

menyebabkan/memacu kontraksi miotonik, penggunaan agen nondepolarisasi


yang short-acting (cisatracurium atau mivacurium) dianjurkan. Menggigil
setelah operasi umumnya dikaitkan dengan agen volatil, terutama ketika
dikaitkan dengan penurunan suhu tubuh, dapat memacu kontraksi miotonik
pada saat di ruang pemulihan. Dosis kecil dari meperidine seringnya dapat
mencegah menggigil yang seperti ini dan mungkin bahkan kontraksi
miotoniknya.
induksi dari anestesi tanpa komplikasi telah dilaporkan untuk sejumla
agen termasuk thiopental, agen inhalasi, dan propofol (dengan atau tanpa
ketamine). blok neuromuskular, jika diperlukan, seharusnya dilakukan dengan
47

NMBA yang short acting. Nitrous oxide dan agen inhalasi dapat digunakan
untuk maintenance/menjaga anestesi. jika dimungkinkan antikolinesterase
harus dihindari. Tidak terdapat hubungan penggunaan tipe anestesi dan
komplikasi-komplikasi yang timbul post operasi.
komplikasi utama postoperasi adalah masalah pulmonal: hipoventilasi
yang memanjang, atelektasis dan pneumonia. Pulmonal hygine dengan terapi
fisik, pendorong spirometri dan pemantauan post operasi yang baik sangat
dianjurkan. Pencegahan aspirasi juga dapat dianjurkan. Pasien yang menjalani
operasi abdomen bagian atas atau mereka dengan kelemahan bagian proksimal
yang berat lebih sering merasakan tipe komplikasi ini. Kelainan konduksi
jantung selama operasi jarang muncul tetapi tetap memerlukan pemantauan
jantung.
Terdapatnya hubungan antara MD dan hipertermi maligna telah
diketahui tetapi belum benar-benar terpaparkan. tidak demikian rupanya, oleh
karena itu, bahwa pasien dengan MD merupakan resiko tinggi mendapat
hipertermi maligna. Menariknya, kedua penyakit ini terpeta pada kromosom
19, sekalipun dengan lokasi yang berbeda.
C. Bentuk-Bentuk lain dari distrofi otot
Pasien dengan distrofi otot fasioscapulohumeral dan limb-girdle umumnya
mempunyai respon yang normal paada agen anestesi. Namun demikian,
karena perbedan yang besar dan adanya tumpang tindih antara bentuk yang
bervariasi dari distrofi otot, Non depolarisasi NMBA seharusnya digunakan
secara berkesinambungan, dan succinilcholin seharusnya dihindari.
MYOTONIA
Myotonia konginental dan Paramyotonia konginental
Myotonia konginental adalah gangguan yang bermanifestasi pada awal
kehidupan dengan miotonia yang menyeluruh. Penyakit ini disebabkan oleh
mutasi dari gen pada kromosom 7q35 yang dikode pada chanel klorida dari
permukaan membran serat otot skletal. Baik autosomal dominan (Thomsen's)
48

dan resesive (Becker's) bentuknya nyata. Penyakit ini mengenai otot skeletal
dan tidak memproduksi kelemahan, kelemahan yang minimal atau kelemahan
yang tidak progresive. Banyak pasien, faktanya, mempunyai perkembangan
susunan otot yang sangat baik karena adanya kontraksi otot yang hampir
konstan. Miotonia biasanya lebih menyebabkan masalah pada pasien dengan
miotonia dari pada mereka yang dengan MD. Terapi antimiotonik termasuk
phenintoin, mexiletine, quinin sulfat, atau procainamide. Obat-obat lain yang
telah digunakan termasuk tocainide,dentrolene, prednisone, acatazolamide dan
taurin. Tidak ada pengaruh pada jantung pada miotonia konginental dan
kehidupan yang normal dapat diharapkan.
Paramiotonia konginental adalah kelainana autosomal dominant yang
sangat jarang yang terletak pada kromosom 17q. Mutasi pada subunit dari
chanel yodium yang dihubungkan dengan penyakit ini. Gejala dari
paramiotonia konginental termasuk menggigil yang sementara (miotonia), dan
terkadang munculnya kelemahan setelah paparan dengan udara yang dingin.
Menggigil memburuk dengan aktivitas, bertentangan dengan miotonia yang
sebenarnya, disebut paramiotonia. Kontraksi serum potasium dapat
meningkat menyebabkan

serangan yang hampir mirip degan

paralisis

periodik hiperkalemia (lihat dibawah). Obat-obatan yang yang telah digunakan


untuk memblok respon dingin termasuk mexoletine dan rocainide.
penanganan anestesi dari pasien dengan miotonia konginental dan
paramiotonia sangat merumitkan oleh karena respon yang tidak normal dari
sucinilcholin, masalah yang muncul selama operasi adalah kontraksi miotonik,
dan kebutuhan untuk menghindari hipotermi. NMBA dapat scara absurd
menyebabkan spasme otot sacara menyeluruh, termasuk trismus, membawa
kesulitan dengan intubasi dan venilasi.
Infiltrasi dari otot pada saat operasi penggunaan dengan anestesi lokal
dilusi dapat membuat berkurangnya kontraksi miotonik refrakter. Tidak ada
pasien dengan tipe dari miotonia ini telah dilaporkan dengan tes in vitro
positive untuk hipertemi maligna. Otot pada pasien ini walaupun mengalami
kontraksi miotonik yang panjang ketika terpapar NMBA depolarisasi.
49

Kontraksi otot yang berlebihan selama anestesi, konsekuensinya, seperti


miotonia yang lebih keras dan bukan hipertermi maligna.
PARALISIS PERIODIC
Kelompok kelainan ini di tandai oleh serangan yang mendadak dari kelemahan
otot yang sementara atau paralisis. Gejala biasanya dimulai pada masa kanakkanak. Serangan umumnya dalam beberapa jam dan biasanya pada otot
pernapasan. Serangan dari kelemahan mengenai rangsangan serat otot karena
depolarisasi sebagian dari potensial istirahat/resting potential. Depolarisasi
menghindari aksi potensial dan sebagai hasilnya menyebabkan kelemahan.
kelainan ini diklasifikasikan menjadi channelopathi genetik primer dan
bentuk bawaan sekunder. Tipe genetik atau keturunan menjadi mutasi
keturunan yang dominan pada gerbang ion chanel sodium, kalsium, atau
potasium. Klasifikasi ini didasarkan pada perbedaan secara klinik, tetapi hal
ini belum menunjukkan pada hubungan ion chanel yang spesifik. Defek yang
berbeda pada chanel yang sama dapat menyebabkan gambaran klinik yang
berbeda, walaupun mutasi pada chanel yang berbeda dapat memberikan
gambaran klini yang sama. Dimana, klasifikasi secara klinik digunakan
sebagai pnduan pada prognosis dan terapi.
Terdapat kelainan keturunan yang dominan dimana terdapat defek
pada gerbang voltage, chanel kalsium. Hal ini biasanya dikaitkan dengan level
potasium serum yang rendah selama kelemahan. Defek keturunan yang
dominan pada chanel sodium, dimana juga dihasilkan pada paralisis periodik,
khususnya dihubungkan dengan level potasium serum yang meningkat selama
episode kelemahan. Kedua defek tersebut menghasilakan membran otot yang
tidak terstimulasi baik stimulasi secara langsung atau tidak langsung baik
peningkatan konduksi potasium atau penurunan konduksi potasium. Keduanya
berhubungan dengan cairan dan pergantian elektrolit. Kedua kelainan
merupakan kelainan keturunan sebagai ikatan autosomal dominan, tetapi
keduanya memiliki jumlah allela yang berbeda hasil dari pebedaan presentasi
pada keluarga yang berbeda Paramiotonia dengan sensitivitasnya pada dingin
merupakan salah satu contoh dari channelopathies sodium.
50

Bentuk primer dari kelainan ini memiliki sejumlah kondisi klinik yans
sama. penyakit ditandai oleh episode sporadik dari kelemahan. Kekuatan otot
dan konsentrasi serum potasium biasanya normal diantara serangan. Kelainan
ini juga ditandai oleh perburukan yang dipacu oleh hipotermi. kelemahan
biasanya kurang dari 1 jam tetapi dapat terjadi 2 hari, dan frekuensi serangan
dapat membawa pada kelemahan jangka panjang yang progresive pada
beberapa pasien. Episode dapat meningkat oleh istirahat setelah latihan tetapi
dapat dikurangi oleh latihan otot yang berkesinambungan.
1. Gerbang Voltage Channelopahi Calsium
Bentuk hipokalemi sering muncul pada masa kanak-kanak sampai dewasa
muda. Selama perjalananya, terkadang terdapat kenaikkan dari frekuensi
serangan, walaupun penyakt ini dapat mereda pada kehidupan yang lebih
lanjut.
Variasi hipokalemi adalah hal paling umum dan dapat menurun,
muncul sporadik, atau dikaitkan dengan hipertiroid. Lebih dari 10% dari lakilaki latin atau asia hipertiroid memiliki episode dari paralisis periodik
hipokalemi. Episode biasanya ditandai oleh kelemahan atau paralisis dari otot
ekstremitas yang bertahan 3-4 jam, tetapi dapat juga bertahan seharian.
Episode paling sering pada pagi hari dan dapat dipacu oleh usaha fisik yang
hebat atau konsumsi tinggi karbohidrat. Usaha fisik yang tidak terlalu keras
terkadang dapat mencegah atau menunda paralisis. Menariknya, anestesi lokal
dengan antipholigistik dapat memacu episode ini. Selama serangan, level
potasium normal sampai menurun sedikit, tergantung dengan level
phosphorus. Ginjal menahan sodium, potasium, klorida dan air, dimana
dihubungkan dengan kenaikkan volume cairan intraceluler dan pnurunan
cairan ekstraceluler. hal ini dapat dihubungkan dengan oliuria, obstipasi dan
diaforesis. Kemungkinan dapa terjadi perubahan pada ECG dengan level
potasium yang rendah (lihat bagian 28). Sebagai catatan, rusaknya otot secara
permanen dapat berkembang sebagai peningkatan frekuensi serangan.
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan riwayat keluarga, riwayat
pasien dan catatan dari perubahan potasium miotonia pada elektromiografi.
51

Serangan akut khasnya diatasi dengan 2-10 gr potasium oral tanpa glukosa,
dengan aktivita fisik sedang dapat dianjurkan. Potasium intravena tidak
direkomendasikan lagi karena dapat membawa pada hiperkalemia. Kelainan
ini dapat dihndari dengan penggunaan dosis kecil acetazolamide. Solutio
glukosa harus dihindari, sebagai penangkapan glukosa oleh cel, dihubungkan
dengan perubahan pada potasium serum, dapat mengeksaserbasi hipokalemi
dan kelemahan.
Bentuk sekunder dari kelainan yang sama dihubungkan dengan
tyrotoksikosis. Hal ini menggambarkan bentuk primer tetapi lebh banyak
ditemukan pada laki-lai daripada perempuan, rata-rata pada asia dan pada
dewasa muda. Sekali kondisi tiroid diatasi, episodenya biasanya berakhir.
Gangguan ini dapat berkembang dimana saja 10-25% dari hipertiroid laki-laki
asia. Akibat metabolik dan perubahan cairan dan elektrolit terlihat pada bentuk
primer juga terlihat pada pada periodik paralisis hipokalemi sekunder. Terapi
meliputi

penanganan

dari

hipertiroid,

menghindari

konsumsi

tinggi

karbohidrat dan rendah potasium, dan potasium klorida pada serangan akut.
Paralisis hipokalemi sekunder dapat juga berkembang jika terdapat
tanda kehilangan potasium melalu ginjal atau melalui traktus gastrointestinal.
Hal ini berhubungan dengan kelemahan, dimana terjadinya secara episodik.
Level potasium sangat rendah dibandingkan bentuk-bentuk yang lain. Terdapat
banyak penyebab dari kondisi ini. Terapi penyakit utamanya dengan
penggantian potasium sambil menangani asidosis atau alkalosis sangat penting
dalam mencegah serangan.
Seseorang yang mengkonsumsi sejumlah besar garam barium, karena
garam barium memblok chanel potasium, dapat juga berkembang menjadi
paralisis periodik hipokalemi. Kondisi ini diatasi dengan penghentian garam
barium dan mengkonsumsi potasium oral.
2. Sodium Chnnelapathy
Pasien dengan paralisis periodik tipe ini adalah cenderung lebih pendek (1-2
jam) tetapi serangannya lebih sering. Ini merupakan hiperkalemi membran
52

otot chanelopathy sodium. Walaupun penyakit ini dominant, terdapat mutasi


yang beragam dari allelic. Paralisis ini dicetuskan oleh ketidaknormalan
aktivasi dari chanel sodium oleh kenaikkan yang tidak begitu besar pada
potasium. Sodium dan aliran air menuju cel dengan depolarisasi yang
diperpanjang. Terdapat hemokonsentrasi yang berhubungan dengan kenaikkan
pada level potasium serum.
Presentasi klinis biasanya hadir selama usai kanak-kanak dengan
episode pagi hari, dimana kenaikkan frekuensi sering terjadi. Episode menjadi
lebih sering dan memburuk dengan istirahat setelah latihan yang berat.
walaupun, latihan sedang mencegah paralisis pada otot yang sama. Frekuensi
dari serangan menurun setelah pada kehidupan yang lebih lanjut. Hipotermia,
kehamilan, pemberian glukokortikoid, dan potasium akan memperburuk
kondisinya. Selama serangan, level potasium biasanya meningkat sampai
diatas 6 mEq/L tetapi menjadi normal diantara serangan. Oleh karena
pergantian dari sodium dan air menuju cel, dapat juga dihubungkan dengan
hiponatremi dan hemokonsentrasi. Pergantian elektrolit lain telah dicatat.
Hiponatremi dapat memacu kelemahan atau membuat kelemahan itu menjadi
semakin buruk.
Paralisis periodik normokalemi memiliki gambaran paralisis periodik
hiperkalemi dan sering memiliki genotype yang sama. Perbedaannya pada
kekurangan keuntungan dari glukosa, karena level potasium normal selama
episode. Walaupun level potasium normal, pasien ini masih dapat berkembang
menjadi miopathy yang persisten.
Level potasium yang tinggi antara episode kelemahan menunjukkan
bentuk sekunder dari penyakit ini. Pada kondisi ini, diagnosis dibuat
berdasarkan penilaian yang teliti dari riwayat keluarga, dokumentasi klinik
dari kenaikan level potasium antara serangan dan elektromiogram yang
menunjukkan miotonia berhubungan dengan latihan yang keras yang diikuti
istirahat. Pada kondisi ini, terapinya dengan sering konsumsi tinggi
karbohidrat, penjagaan diet rendah potasium jika dimungkinkan, dan
menghindari latihan yang berat dan dingin. Acetazolamide dapat membantu
53

mencegah serangan. Menariknya, paramiotonia konginental adalah variasi


allelic dari mutasi chanel sodium.
Terdapat kelainan hiperkalemi sekunder yang terlihat pada manusia
(laki-laki lebih sering daripada wanita) dengan level potasium melebihi 7
mEq/L. Terdapat kelemahan diantara serangan. Terdapat banyak penyebab
beragam obat, tetapi seringnya diantara semua kelainan hiperkalemi adalah
kelemahan dengan istirahat setelah latihan. Target pengobatan adalah penyakit
utamanya dan pembatasan potasium.
3. Potassium channelopathy
(Andersen's Syndrome)
Andersen's syndrome didefinisikan, kelainan keturunan yang dominan pada
kelompok pasien dengan paralisis periodik dan aritmia venrikular yang
tergantung pada serum potasium. Interval yang luas dari bentuk dari aritmia
jantung dapat muncul, dan kemungkinan dapat menimbulkan gambaan
dismorfik, terutama pada wajah dan kepala.
Pendekatan Anestesi
9) Pada pasien dengan paralisis periodik, penanganan anestesi secara lansung
ditujukan untuk mencgah serangan. Monitoring ECG yang teliti sangat
diperlukan unuk mendeteksi

serangan dan

aritmia selama anestesi

berlangsung. Frekuensi penilaian intraoperasi dari konsentrasi potasium


plasma sangat dianjurkan ketika dimungkinkan. Cairan intravena yang
mengandung glukosa seharusnya tidak digunakan pada pasien dengan paralisis
hipokalemi, dimana larutan semacam itu dapat memberikan kentungan pada
pasien dengan hiperkalemi dan normokalemi (lihat diatas). Fungsi
neuromuskular harus dimonitor secara teliti selama anestesi general.
10) Pada pasien dengan paralisis periodik, respon terhadap NMBA susah
untuk diprediksi. Kenaikkan sensitivitas pada NMBA nondepolarisasi rata-rata
memiliki kemungkinan untuk tidak terprediksi pada pasien dengan paralisis
periodik hipokalemi. Suksinilcholin merupakan kontra indikasi pada paralisis
54

hiperkalemi dan kemungkinan derivat yang berbeda juga kontraindikasi


dikarenakan resiko hiperkalemi. Karena menggigil dan hipotermi dapat
memicu serangan, penjagaan suhu saat operasi sangatlah penting (lihat
baggian 6).
Diskusi kasus
Anestesi pada biopsi otot
Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dengan kelemahan otot proksimal
yang progresive diduga mengidap miopati primer dan dijadwalkan untuk
biopsi pada otot quadriceps.
Kelainan potensial apa yang harus diwaspadai ahli anestesi?
Diagnosis miopati dapat sangat sulit ditegakkan dan diagnosis bandingnya
dapat termasuk salah satu dari beberapa kelainan keturunan, inflamasi,
endokrin, metabolik, atau toxic disorders. Biopsi otot sangat dibutuhkan untuk
kepentingan

klinik,

laboratorium,

konduksi

saraf,

dan

gambaran

elektromiografi dan dapat membantu menegakkan diagnosis. Walaupun


penyebab miopati pada kasus ini belum diketahui, klinisi harus selalu waspada
problem potensial yang dapat berhubungan dengan miopati primer.
Gangguan otot pernapasan harus selalu dicurigai pada pasien dengan
kelemahan otot. Kemampuan pulmonal dapat dinilai secara klinik dengan
menggunakan pertanyaan yang menuju pada dispneu dan level aktivitas. Tes
fungsi pulmonal diindikasikan jika terdapat dispneu yang signifikan pada
usaha fisik. Kenaikkan resiko aspirasi pulmonal diketahui dari riwayat disfagi,
regurgitasi, infeksi paru yang berulang, atau distensi abdomen. Kelainan
jantung dapat bermanifestasi sebagai aritmia, prolaps katub mitral, atau
cardiomiopati. Lead A-12 elektrokardiogram juga dapat membantu untuk
mengeluarkan konduksi yang tidak normal. Rontgen dada dapat mengevaluasi
usaha inspirasi, parenkim pulmo, dan ukuran jantung; distensi gaster sekunder
ke otot polos atau disfungsi autonom juga dapat terlihat. Evaluasi laboraturium
sebelum operasi dapat mengeluarkan hasil penyebab metabolik dengan
penilaian serum sodium, potasium, magnesium, kalsium, dan konsentrasi
55

fosfat. Demikian juga dengan gangguan tiroid, adrenal dan pituitary juga dapat
dikeluarkan. Penilaian CK plasma tidak banyak membantu, tetapi dengan level
yang sangat tinggi (10 kali normal) secara umum menunjukkan polimiositis
distrofi otot.
Tehnik anestesi apa yang seharusnya digunakan?
Pemilihan anestesi seharusnya didasarkan pada baik pasiennya dan
permintaan operasinya. Kebanyakan biopsi otot dapat menggunakan lokal
rendah atau anestesi regional dengan suplemen sedasi intravena, menggunakan
dosis kecil dari midazolam. Karena kebanyakan prosedur terlihat pada basis
luar pasien, anestesi spinal dan regional sering dihindari. Blok nervus femoral
dapat mendapatkan anestesi yang sangat baik untuk biopsi dari otot
quadriceps; injeksi yang terpisah mungkin dibutuhkan untuk saraf cutaneus
femoris lateralis pada anestesi sisi anterolateral. Anestesi general digunakan
pada pasien yang tidak kooperatif atau pada ketika anestesi lokal tidak
adekuat. Ahli anestesi harus selalu menyiapkan rencana untuk anestesi
general.
Agen apa yang dapat digunakan secara aman pada anestesi general?
Beberapa prinsip yang didiskusikan pada bagian 36 seharusnya
diterapkan. Tujuan utamanya termasuk mencegah aspirasi pulmonal,
menghindari respirasi yang berlebihan atau depresi sirkulasi, menghindari
NMBA jika dimungkinkan, dan mungkin menghindari agen yang diketahui
memacu hipertemia malignant. Respon normal pada anestesi general
sebelumnya pada pas ien atau keluarga pasien mungkin dapat digunakkan tapi
tidak menjadikan garansi untuk respon yang sama. Anestesi general dapat
dipengaruhi dan dijaga dengan kombinasi dari barbiturat (tiopental atau
methohexital), benzodiazepin (midazolam), propofol, atau opioid (fentanil)
dan nitrous oxide. Pasien dengan resiko aspirasi yang meningkat sebaiknya
diintubasi (lihat atas). Ketika NMBA dibutuhkan, agent non depolarisasi short
acting (cisatracuium atau mivacurium) dapat digunakkan. Succinylcholine
secara umun seharusnya dihindari karena resiko yang tidak biasa yang tidak

56

diketahui (kontraksi miotonik, durasi yang memanjang atau blok fase II),
menimbulkan hiperkalemi yang parah atau memacu hipertemi malignant.

BAB 38
ANESTESI PADA OPERASI MATA
KONSEP KUNCI
Banyak faktor yang secara normal meningkatkan tekanan intraocular akan
cenderung menurunkan volume intraocular dengan menyebabkan
drainase dari aqueous atau ekstrusi dari vitreous melalui luka. Akhirnya
57

menyebabkan komplikasi yang serius yang dapat menyebabkan


penglihatan yang buruk secara permanen.
Succinylcholine meningkatkan tekanan intraocular dengan 5-10 mm hg
selama 5-10 menit setelah pemberian, pada dasarnya melalui prolong
contracture dari otot ekstraocular.
Traksi pada otot ekstraocular atau tekanan pada bola mata dapat
menyebabkan perbadaan yang luas dari disritmia jantung rentangnya dari
bradikardi dan ektopi ventrikular sampai sinus arrest atau fibrilasi
ventrikel.
Komplikasi meliputi expansi intraocular dari gelembung gas dapat
dihindari dengan penghentian nitreus oxide paling tidak 15 menit sebelum
pemberian injeksi udara atau sulfur hexafluoride.
Obat yang digunakan topikal diabsorbsi pada tingkat sedang antara
absorbsi diikuti injeksi intravena dan subutan
Echothiophorate adalah cholinesterase inhibitor irreversibel yang
digunakan pada terapi gloukoma. Penggunaan topikal membawa pada
absorbsi sistemik dan reduksi pada aktivitas cholinesterase plasma.
Karena succinylcholine dan mivacurium dimetabolisme oleh enzim ini,
echohiophate akan memperpanjang durasi dari aksi succinylcholine dan
mivacurium.
Kunci untuk induksi anestesi pada pasien dengan luka pada mata terbuka
adalah dengan mengontrol tekanan dengan induksi halus. Terutama, batuk
selama intubasi harus dihindari dengan pemberian level dalam dari
anestesi dan propound paralisis
Sindrome apneu retribulbar kemungkinan terjadi pada injeksi dari lokal
anestesi

kedalam

nervus

optic,

dengan

penyebaran

ke

cairan

cerebrospinal.

58

Berdasarkan tehnik yang diperkenankan untuk sedasi intravena, venilasi


dan oksigenasi harus sangat diperhatikan, dan peralatan untuk
mendukung ventilasi tekanan positive harus segera disiapkan.
Operasi mata memberikan beberapa tantangan yang unik bagi ahli anestesi,
termasuk regulasi dari tekanan intraocular, pencegahan dari reflek
oculocardiak, penanganan dari konsekuensi, mengontrol dari ekspansi gas
intraocular, dan kebutuhan untuk bersepakat dengan efek sistemik yang
mungkin timbul akibat obat-obat mata. Pemahaman dari mekanisme dan
penanganan dari masalah-masalah potential dapat memberi keuntungan hasil
operasi. Bab ini juga memberikan tehnik spesifik dari anestesi general dan
regional pada operasi mata.
DINAMIKA TEKANAN INTRAOCULAR
Fisiologi tekanan intraocular
Mata dapat dinyatakan seperti lubang bulat dengan dengan dinding yang kaku.
Jika isi dari lubang meningkat, tekanan intraocular (normal 12-20 mmHg)
pasti meningkat. Sebagai contoh, gloukoma disebabkan oleh sumbatan pada
aliran humor aqueous. Sama halnya, tekanan intraocular akan meningkat jika
volume darah antara globe meningkat. Kenaikkan pada tekanan vena akan
meningkatkan tekanan intraocular dengan cara penurunan drainage aqueous
dan kenaikkan volume darah choroidal. Perubahan yang ekstrem pada tekanan
darah arteri dan ventilasi juga dapat mempengaruhi tekanan intraocular (tabel
38-1). Setiap tindakan anestesi yang merubah parameter ini akan memberi
efek pada tekanan intraocular (contoh, laringoskopi, intubasi, sumbatan jalan
napas, batuk, posisi trendelenburg).
Tabel 38-1. Efek dari jantung dan pernapasan pada tekanan intraocular (IOP)
variabel

efek pada IOP

tekanan vena central


meningkat
menurun

tekanan darah arteri


meningkat
menurun

59

PaCo2
meningkat (hipoventilasi)
menurun (hiperventilasi)

PaO2
meningkat
menurun

= menurun (ringan, sedang, berat); = meningkat (ringan, sedang, berat);


0=tidak ada efek.
Langkah lain, penurunan ukuran dari bola mata tanpa perubahan
proposional pada volume dari isinya akan meningkatkan tekanan intraocular.
Tekanan pada mata berdasar masker yang ketat, posisi terlentang yang tidak
nyaman, atau perdarahn retrobubar dapat membawa pada kenaikan tekanan
mata.
Tekanan intraocular dapat menjaga bentuk dan alat-alat optik dari
mata. Perubahan sementara pada tekanan biasanya masih dapat ditoleransi
pada mata normal. Pada faktanya, kedipan akan menaikkan tekana intraocular
5 mmHg dan pada mata juling 26 mmHG. Walauun episode singkat dari
kenaikkan tekanan intraocular pada pasien dengan tekanan arteri opthalmic
rendah (contoh hipertensi deliberate, arteriosklerotik pada arteri retina),
walaupun, dapat membahayakan perfusi retina dan menyebabkan iskemia
retina.
Ketika bola mata terbuka selama prosedur operasi (tabel 38-2) atau
setelah perforasi akibat trauma, tekanan intraocular

mendekati tekanan

atmosfir.
1) Banyak faktor yang secara normal dapat meningkatkan tekanan intraocular
akan membawa pada penurunan volume intraocular dengan menyebabkan
drainage dari aqueous atau ekstruksi dari vitreous melalui luka. Hasil akhirnya
komplikasi serius yang dapat menyebabkan penglihatan yang buruk yang
permanen.
Efek obat anestesi pada tekanan intraocular

60

Kebanyakan obat anestesi memiliki efek yang rendah atau bahkan tidak
memiliki efek pada tekanan intraocular (tabel 38-3). Anestesi inhalasi
menurunkan tekanan intraocular pada perbandingan sampai anestesi dalam.
Penurunan ini mempunyai banyak penyebab: penurunan tekanan darah
mengurangi volume choroid, relaksasi dari ekstraocular menurunkan tekanan
dinding, dan konstriksi pupil memberi fasilitas untuk aliran aqueous. Anestesi
intravena juga menurunkan tekanan intraocular. Kemungkinan yang dapat
diterima adalah ketamin, dimana biasanya meningkatkan tekanan darah arteri
dan tidak merelaksasi otot ekstraocular.

Tabel 38-3. efek dari agen anestesi pada tekanan intraocular (IOP)
obat

efek pada IOP

a) anestesi inhalasi
b) agen volatil
c) nitrous oxide

d)
e)
f)
g)
h)

anestesi intra vena


barbiturat
benzodiazepin
ketamin
opioid

61

i) muscle relaksan
j) depolarisasi (succinylcholine)
k) nondepolarisasi

0/

= menurun (ringan, sedang); = meningkat (ringan, sedang); 0/ tidak


ada perubahan atau menurun ringan
Obat anestesi anticholinergic yang diberikan topikal memberi hasil
dilatasi pupil (midriasis), dimana dapat mempercepat gloukoma sudut tertutup.
Dosis premedikasi dari atropin yang diberikan sistemik tidak ada
hubungannya dengan hipertensi intraocular, bahkan, pada pasien dengan
glaukoma.

Struktur ammonium quentamary yang sangat besar dari

glycopyrrolate dapat menyediakan bahkan batas aman yang lebih besar


dengan mencegah glycopyrrolate melewati sistem nervus sentral.
2) Succinylcholine meningkatkan tekanan intraocular 5-10 mm Hg selama 510 menit setelah pemberian, prinsipnya melalui kontraktur yang diperpanjang
dari otot ekstraocular. Tidak seperti otot skletal lainnya, otot ekstraocular
mengandung sel dengan banyak neuromuscular junctions. Penggulangan
depolarisasi dari sel oleh succinylcholine menyebabkan kontraktur yang
memanjang. Menghasilkan kenaikkan pada tekanan intraocular dapat
menimbulkan beberapa efek. Hal ini akan mengakibatkan penilaian palsu dari
tekanan intraocular selama penilaian di bawah kondisi anestesi pada pasien
glaukoma, secara potensial membawa pada operasi yang tidak dibutuhkan.
Lebih jauh, kenaikkan tekanan intraocular dapat menyebabkan ekstrusi dari isi
ocular melalui operasi terbuka atau luka trauma. Efek terakhir dari contraktur
yang diperpanjang dari otot ekstraoculer terlihat sebagai ketidaknormalan
kecepatan tes durasi selama 20 menit. Manuver ini mengevaluasi penyebab
dari ketidakseimbangan otot ekstraocular dan dapat mempengaruhi tipe dari
operasi strabismus. Kongesti dari pembuluh darah khoroid juga memberikan
kontribusi

pada

kenaikkan

tekanan

intraocular.

Muscle

relaksan

nondepolarisasi tidak meningkatkan tekanan intraocular.


REFLEKS OCULOCARDIAC

62

3) Traksi pada otot ekstraocular atau tekanan pada bola mata dapat
mendatangkan variasi yang luas dari rentang disritmia jantung dari bradikardi
dan ectopy ventrikular sampai sinus arrest atau fibrilasi ventrikular. Reflek ini,
dikenal pada tahun 1908, terdiri dari afferent nervus trigerminal (VI) dan jalur
efferent vagus. Reflek oculocardiac paling sering pada pasien anak-anak yang
menjalani operasi strabismus. Meskipun demikian, reflek ini dapat timbul
pada semua golongan umur dan pada variasi dari prosedur ocular, termasuk
ekstraksi katarak, enukleasi, dan memperbaiki robekan retina. Pada saat pasien
bangun, reflek oculocardiac dapat dihubungkan dengan somnolen dan nause.
Pengobatan anticholinergic sering membantu pada pencegahan reflek
oculocardiac. Atropin intravena atau glycopyrolate segera sebelum operasi
lebih efektif daripada premedikasi intramuskular. Hal ini seharusnya selalu
diingat bahwa pengobatan anticholinergic dapat menjadi bahaya pada pasien
yang sudah tua, yang sering mengalami penyakit arteri koroner. Blok
retrobulbar atau anestesi inhalasi dalam dapat juga bernilai, tetapi prosedur ini
mempunyai resiko. Blok retrobulbar, pada faktanya, mendatangkan reflek
oculocardiac.

Kebutuhan

dari

profilaksis

yang

berkelanjutan

masih

kontroversi.
Penanganan dari reflek oculocardiac ketika reflek ini muncul terdiri
dari prosedur dibawah ini: (1) segera memberitahu ahli bedah dan penghentian
sementara dari tindakan operasi sampai denyut jantung meningkat; (2)
konfirmasi ventilasi yang adekuat oksigenasi dan anestesi dalam; (3) berikan
atropin intravena (10 g/Kg) jika kekacauan konduksi berlangsung; dan (4)
pada episode recalcitrant/perlawanan, infiltrasi dari otot rectus dengan anestesi
lokal. Reflek yang muncul terkadang menjadi lelah sendiri dengan
pengulangan traksi pada otot ekstraocular.
EKSPANSI GAS INTRAOCULAR
Gelembung gas dapat diinjeksikan oleh ahli mata ke dalam ruangan posterior
selama operasi vitreous. Injeksi udara intravitreal dapat membawa kepada
pendataran retina ang terpisah dan penyembuhannya mengikti anatominya.
Gelembung udara di absorbsi selama 5 hari dengan cara difusi gradual melalui
63

perbatasan antara jaringan ke dalam aliran darah. Jika pasien bernafas


menggunakan nitrous oxide, gelembungg akan meningkat ukurannya. Hal ini
disebabkan nitrous oxide 35 kali lebih soluble/larut daripada nitrogen di darah
(lihat bab 7). Hal ini juga yang menyeringkan difusi kedalam gelembung
udara menjadi lebih cepat daripada nitrogen (komponen utama dalam udara)
yang dibsorbsi oleh aliran darah. Jika gelembung mengekspansi setelah mata
tertutup, maka tekanan intraocular akan meningkat.
Sulfur hexafluoride (SF6) adalah gas lemah yang sedikit larut pada
darah dibandingkan nitrogen- dan sangat sedikit larut daripada ntreous oxide.
SF6 memiliki durasi aksi yang lebih panjang (diatas 10 hari) dibandingkan
dengan gelembung udara dan dapat menyediakan keuntungan bagi ahli mata.
Ukuran gelembung bertambah 2 kali lipat selama 24 jam setelah injeksi karena
nitrogen dari pernapasan memasuki gelembung lebih cepat daripada difusi
sulfur hexafluoide kedalam aliran darah. Walaupun begitu, setidaknya volume
yang tinggi dari sulfur hexafluoride murni telah terinjeksi, ekspansi
gelembung yang pelan biasanya tidak meningkatkan tekanan intraocular. Jika
pasien bernapas nitreous oxide, walaupun, ukuran gelembung akan meningkat
secara cepat dan dapat membawa pada hipertensi intraocular. 70% konsentrasi
nitreous oxide saat inspirasi seluruhnya akan menjadi tiga kali ukuranya dari 1
ml gelembung dan dapat menjadi double tekanannya pada mata tertutup dalam
30 menit. Beberapa saat setelah pemutusan nitrous oxide akan membawa pada
resorbsi dari gelembung, dimana akan menjadi percampuran dari nitreous
oxide dan sulfur hexaflouride. Hasinya akan jatuh pada tekanan intraocular
dapat memau akan mempengaruhi pada retina.
4) Komplikasinya termasuk ekspansi intraocular dari gelembung gas dapat
dihindari dengan pemutusan nitreous oxide paling tidak 15 menit sebelum
injeksi dari udara atau sulfur hexaflouride. Tidak salah lagi, sejumlah waktu
yang diperlukan untuk mengeliminasi nitreous oxide dari darah akan
tergantung beberapa faktor, termasuk fresh gas flow rate dan keadekuatan dari
ventilasi alveolar. Kedalaman anestesi seharusnya dijaga oleh agen anestesi
pengganti. Nitreous oxide seharusnya dihindari sampai gelembung diabsorbsi
(5 hari setelah injeksi udara dan 10 hari setelah injeksi sufur hexaflouride).
64

EFEK SISTEMIK DARI OBAT-OBAT OPHTHALMIC


Obat tetes mata yang digunakan topikal diabsorbsi oleh pembuluh darah pada
kantong konjungtiva dan mukosa duktus nasolakrimalis (lihat diskusi kasus,
bab 11). Satu tetes (biasanya 1/20 ml) dari 10% phenylephrine mengandung 5
mg. Dibandingkan dengan dosis intravena dari phenylephrine (0,05-0,1 mg)
digunakan untuk menterapi pasien dewasa dengan hipotensi.
5) Obat yang digunakan topikal diabsorbsi dengan tingkatan sedang antara
injeksi intravena dan injeksi subcutan ( dosis toksis injeksi subcutan dari
phenylephrine adalah 10 mg). Anak-anak dan orang tua adalah mereka dengan
rata-rata resiko dari efek toksis penggunaan obat-obat topikal dan seharusnya
menerima paling tidak 2,5% solution phenylephrine (lihat tabel 38-4).
Hasilnya, para pasien lebih siap untuk menerima operasi mata.
6) Echothophate adalah inhibitor cholinesterase irreversibel yang digunakan
pada terapi glauloma. Aplikasi topikal akan membawa pada sistemik absobsi
dan reduksi pada aktivitas plasma cholinesterase. Karena succinylcholine dan
mivacurium

di metabolisme

oleh

enzim

ini,

Echothophate

akan

memperpanjang aksi durasi dari succinylcholine dan mivacurrium. Paralisis


biasanya tidak terjadi pada 20 atau 30 menit, dan apnea postoperasi jarang
terjadi (lihat bab 9). Inhibitor dari aktivitas cholinesterase habis dalam 3-7
minggu setelah penghentian dari tetes

Echothophate. Efek samping

muskarinik seperti bradikardi selama induksi dapat dicegah dengan obat


anticholinergik intravena (seperti atropin, glycopyrrolate).
Tetes mata epinefrin dapat menyebabkan hipertensi, takhikardi dan
disritmia ventrikular; efek disritmogenik menjadi potential oleh halothan.
Instilasi langsung dari epinefrin kedalam ruang anterior dari mata tidak
dihubungkan dengan toksisitas kardiovaskular.
Timolol, merupakan antagonis adrenergik nonselektif, mengurangi
tekanan intraocular oleh penurunan produksi dari humor aqueus. Tetes mata
timolol yang digunakan topikal, biasanya digunakan untuk menterapi

65

glaukoma, memiliki kasus yang jarang yang dihubungkan dengan bradikardi


yang resisten atropin, hipotensi dan bronkospasme selama anestesi general.
ANESTESI GENERAL UNTUK OPERASI OPHTHALMIC
Pilihan antara anestesi general dan anestesi okal seharusnya dibicarakan
bersama pasien, ahi anestesi dan ahli bedahnya. Beberapa pasien menolak
untuk memilih anestesi lokal karena mrasa takut dan karena terbangun saat
prosedur operasi atau rasa sakit yang berkumpul selama sebelum tehnik
regional. Walaupun tidak terdapat bukti yang pasti bahwa ada satu bentuk
anestesi yang lebih aman, anestesi lokal terlihat lebih membuat stres. Anestesi
general diindikasikan pada anak-anak dan pasien yang tidak kooperative,
walaupun pergerakan kepala yang kecilpun dapat mendatangkan bahaya
selama mikrosurgery. anestesi general-lokal- tehnik kedalaman sedasi dengan
menjaga jalan napas diragukan-seharusnya dihindari karena akan memperkuat
resiko kombinasi baik anestesi lokal dan general.
PREMEDIKASI
Pasien yang menjalani operasi mata dapat menjadi gelisah, rata-rata jika
mereka telah menjalani banyak prosedur yang memungkinkan untuk menjadi
kebutaan yang permanen. Pasien anak-anak sering dihubungkan dengan
penyakit konginental (seperti sindrom rubella, sindrom Goldehar's, sindrom
down). Pasien dewasa biasanya orang tua, dengan banyak penyakit sistemik
(seperti hipertensi, diabetes mellitus penyakit arteri koroner). Faktor-faktor
semua ini harus diperhatikan keteka premedikasi.
INDUKSI
Pemilihan tehnik induksi untuk operasi mata biasanya lebih tergantung
problem kesehatan lain pasien daripada penyakit mata pasien atau tipe
operasinya. Satu pengecualian adalah pada pasien dengan ruptur bola mata.
Kunci untuk anestesi induksi pada pasien yang menjalani operasi dengan mata
terbuka adalah mengontrol tekanan intraocular dengan induksi halus.
Terutama, batuk selama intubasi harus dihindari dengan pemberian anestesi
level dalam dan profilaksis yang dalam. Respon tekanan intraocular pada
66

laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat ditekan dengan pemberian


lidokain intravena (1,5 mg/kg) atau opioid (seperti remifentanil 0,5-1 g/Kg
atau alfentanil 20 g/Kg ). Muscle relaksan nondepolarisasi digunakan
sebagai alternative dari succinylcholine karena akhirnya akan mempengaruhi
tekanan intraocular. Kebanyakan pasien dengan luka pada bola mata memiliki
rangkaian tehnik induksi yang cepat. (lihat diskusi kaus dibawah).
MONITORING DAN MAINTENANCE
Operasi mata mengharuskan posisi ahli anestesi jauh dari jalan napas pasien,
membuat monitoring yang lebih ketat pada denyut oximetry dan capnograph
sangat penting untuk semua prosedur ophtalmological.

Pengerutan dari

endotrakheal tube, pemutusan koneksi sirkuit pernapasan, dan ekstubasi tidak


logis mungkin lebih disukai. Pengerutan atau obstruksi dapat diminimalkan
dengan menggunakan sudut kanan endotrakeal tube (lihat gambar 39-1).
Kemungkinan terjadi aritmia dikarenakan oleh reflek aculocardiak meningkat
secara konstan harus diperiksa secara cermat elektrokardiograf dan
memastikan irama pulsasinya dapat didengar. Berbeda dari kebanyakan tipe
operasi pada anak-anak, pada infant temperatur badan sering meningkat
selama operasi mata karena berbeda dari kepala sampai kaki dan
ketidaksignifikan paparan permukaan tubuh. Analisis CO2 end-tidal
membantu memisahkan dari hipertermi maligna.
Rasa nyeri dan stress diprovokasi oleh operasi mata lebih rendah
daripada selama prosedur intraabdominal mayor. Level yang lebih tinggi dari
anestesi akan memberikan rasa nyaman jika konsekuensi dari pergerakan
pasien tidak menjadi bencana. Kekurangan pada stimulasi kardiovaskular
tidak dapat dipisahkan pada kebanyakan prosedur mata dikombinasi dengan
kebutuhan dari kedalaman anestesi adekuat dapat dihasilkan pada individu
yang lebih tua. Masalah ini biasanya dihindari dengan menjamin hidrasi
intravena yang adekuat, pemberian dosis kecil efedrin (2-5 mg), atau
menentukan paralisis intraoperative dengan muscle relaksan nondepolarisasi.
Akhirnya mengikuti maintenance dari dari level yang lebih tinggi dari
anestesi.
67

Muntah karena stimulasi vagal adalah masalah yang mum pada


postoperasi, terutama mengikuti operasi strabismus. Efek valsava dan
kenaikkan pada tekanan vena sentral yang mengikuti muntah dapat merugikan
hasil operasi dan meningkatkan resiko aspirasi. Pemberian metoclorpamide
intravena (10 mg pada dewasa) atau antagonis 5-HT3 (seperti ondasentron 4
mg pada dewasa) intraoperasi menurunkan insiden nause dan vomitus setelah
operasi (PONV). Deksametason (4 mg pada dewasa) seharusnya diperhatikan
pada pasien dengan riwayat kuat dari PONV.
EKSTUBASI DAN KEGAWATAN
Walaupun penggunaan bahan modern dan tehnik operasi tertutup menurunkan
resiko dari dehisensi luka postoperasi, kegawatan ringan dari anestesi general
masih tetap diinginkan. Batuk pada saat endotrakal tube dapat dicegah dengan
ekstubasi pasien selama level yang kedalamannya sedang saat anestesi. Saat
akhir dari prosedur operasi, relaksasi otot telah dilakukan dan respirasi
spontan dimulai. Agen anestesi dapat dilanjutkan selama mensuction jalan
napas. Nitreous oxide ketika diputus, dan lidocain intravena (1,5 mg/kg)
diberikan pada reflek sementara batuk kasar. Proses ekstubasi 1-2 menit
setelah lidokain dan selama respirasi spotan dari oksigen 100%. Pengontrolan
jalan napas yang sesuai adalah hal penting sampai pasien pasien batuk dan
terdapat reflek menelan. Jelasnya, tehnik ini tidak dapat digunakan pada
pasien dengan resiko aspirasi yang tinggi (lihat diskusi kasus di bawah).
Nyeri postoperasi yang berat tidak biasa mengikuti operasi mata.
Prosedur buckling sklera, enukleasi dan perbaikan ruptur bola mata adalah
operasi yang paling nyeri. Dosis kecil dari narcotik intravena (15-25 mg atau
meferidin untuk dewasa) biaasanya cukup. Nyeri yang parah bisa menjadi
pertanda hipertensi intraocular, abrasi kornea atau komplikasi operasi lainnya.
ANESTESI REGIONAL UNTUK OPERASI OPHTHALMIC
Anestesi regional pada operasi mata biasanya digunakan blok retrobulbar atau
blok peribulbar, blok nervus facial dan sedasi intravena. Waluapun sedikit
invasive daripada anestesi general dengan intubasi endotrakheal dan sedikit
68

dihubungkan dengan nausea postperasi, anestesi lokal tetap tidak bebas


komplikasi. Sbagai tambahan, blok tidak menyediakan akinesia atau analgesia
yang adequat dari mata, atau pasien tidak dapat berbaring secara sempurna
sepanjang operasi. Untuk alasan ini, dibutuhkan Peralatan dan personel untuk
menterapi komplikasi dari anestesi lokal dan untuk menyokong anestesi
general harus benar-benar tersedia. Pada sewaktu-waktu, term-local standby
mendefinisikan aturan anestesi pada kasus ini. Bagian ini sekarang telah
digantikan oleh onitor anesthesia care, sebagai ahli anestesi seharusnya
memonitoring pasien secara terus menerus selama operasi dan idak hanya di
standby.
BLOK RETROBULBAR
Pada tehnik ini, anestesi lokal diinjeksikan di belakang mata kedalam otot
ekstraocular yang membentuk kerucut (gambar 38-1). Penetrasi jarum blunttipped 25-gauge pada kelopak mata bawah pada perbatasan sepertiga lateral
dan medial dari pusat (biasanya 0,5 cm kantus medial sampai lateral ). Pasien
diinstruksikan untuk menatap arah supranasal dimana jarum mencapai 3,5 cm
ke arah apek conus otot. Setelah aspirasi pengeluaran injeksi intravaskular, 2-3
ml dari anestesi lokal diinjeksikan dan jarum dikeluarkan. Pilihan anestesi
lokal sangat bervariasi, tetapi lidokain 2% dan buvicain 0,75% paling sering.
Penambahan efinefrin (1:200.000 atau 1:400.000) dapat mengurangi
perdarahan dan pemanjangan anestesi. Hyaluronidase, merupakan hydrolyzer
dari polisakarda jaringan konektive., seringnya ditambahkan (3-7 U/mL) untuk
menambahan penyebaran retrobulbar dari anetesi lokal. Blok retrobulbar yang
sukses akan diikuti oleh anestesi, akinesia,dan pengakhiran dai reflek
oculochepalik (Blok mata tidak bergerak selama penolehan kepala).
Komplikasi dari injeksi retrobulbar dari anestesi lokal termasuk
perdarahan retrobulbar, perforasi bola mata (terutama mata dengan panjang
axis lebih dari 26 mm), atrofi nervus opticus, farnk convulsion, reflek
oculocardiac, acute neurogenic pulmonary edema, blok nervus trigeminal, dan
respiratory arrest. Injeksi yang kuat/dipaksa pada anestesi lokal kedalam arteri
ophtalmic menyebabkan aliran balik kedalam otak dan dapat berakibat pada
kejang seketika.
69

8) Sindroma apnea postretrobulbar kemungkinan akibat injeksi dari anestesi


lokal ke dalam selubung nervus opticus, dengan penyebaran kedalam cairan
serebrospinal. Sentral nervus sistem terpapar oleh konsentrasi tinggi dari
anestesi lokal, membawa pada ketakutan dan ketidaksadaran. Apnea muncul
antara 20 menit dan menghilang antara 1 jam. Sementara itu, terapi yang
mendukung, dengan ventilasi tekanan positive untuk mencegah hipoksia,
bradikardi dan cardiac arrest. Ventilasi yang adekuat harus selalu dimonitor
pada pasien yang menerima anestesi retrobulbar.
Injeksi retrobulbar biasanya tidak diberikan pada pasien dengan
kelainan perdarahan (karena resiko dari perdarahan retrobulbar), myopia yang
ekstrem (panjang bola mata meningkatan resiko perforasi), atau pada trauma
mata tertutup (tekanan dari injeksi cairan dibelakang mata dapat menyebabkan
ekstrusi dari isi intraocular melalui luka).

BLOKADE PERIBULBAR
Berbeda dengan blokade retrobulbar, pada blokade peribulbar jarum tidak
menembus conus yang dibentuk oleh otot ekstraokuler. Kedua teknik sama
baiknya dalam menimbulkan akinesia pada kedua mata. Keuntungan teknik
peribulbar meliputi lebih sedikit risiko penetrasi pada mata, saraf optik dan
arteri, serta lebih sedikit rasa sakit saat injeksi. Kerugiannya meliputi onset
yang lebih lambat dan adanya lebih banyak kemungkinan terjadi ekimosis.
Blokade ini dilakukan dengan pasien dalam keadaan terlentang dan
melihat lurus ke depan. Setelah dilakukan anestesia topikal pada konjungtiva.
Diberikan satu atau dua injeksi transkonjungtiva. Saat kelopak mata
mengalami retraksi, diberikan injeksi inferotemporal pada pertengahan antara
kantus lateral dan limbus lateral. Jarum dimasukkan di bawah bola mata
sejajar dengan lantai orbita dan saat melewati garis equator mata akan
diarahkan sedikit ke medial (20o) dan sefal (10o). Lalu diinjeksikan lima
mililiter zat anestesi. Untuk memastikan te;ah terjadi akinesia, dapat diberikan
tambahan 5 mL lagi melalui konjungtiva pada sisi nasal, medial dari karunkula
70

dan diarahkan langsung ke belakang sejajar dengan dinding medial orbita dan
mengarah sedikit ke sefal (20o).
Blok Sub-Tenon
Fascia Tenon membungkus bola mata dan otot ekstraokuler. Anestesia lokal
yang diinjeksikan dibawahnya akan berdifusi ke ruang retrobulbar. Digunakan
jarum tumpul khusus ukuran 25-mm atau kanula lengkung ukuran 19 untuk
melakukan blok sub-Tenon. Setelah dilakukan anestesia topikal, konjungtiva
akan diangkat bersama dengan fascia Tenon pada kuadran infero nasal
menggunakan forseps. Lalu dibuat robekan kecil dengan gunting Westcott
ujung-tumpul, yang kemudian diselipkan dibawah untuk membuka jalan pada
fascia Tenon yang mengikuti kontur bola mata dan melalui equator. Sementara
mata masih difiksasi dengan forseps kanula dimasukkan dan diinjeksikan 3-4
mL anestesia lokal. Komplikasi dari blok sub-Tenon secara signifikan lebih
sedikit dari teknik retrobulbar atau peribulbar, tetapi pernah ditemukan adanya
laporan perforasi bola mata, perdarahan, selulitis, kehilangan pengelihatan
permanen, dan penyebaran anestesia lokal ke cairan serebrospinal walaupun
sangat jarang.
BLOK NERVUS FASCIALIS
Blok nervus fascialis mencegah terjadinya penutupan kelopak mata selama
operasi dan memungkinkan diletakkannya spekulum kelopak mata. Ada
beberapa teknik blokade nervus fascialis: van Lint, Atkinson, dan OBrien.
Komplikasi utama dari berbagai teknik blok ini adalah perdarahan subkutan.
Prosedur lain, teknik Nabath, memblok nervus fascialis saat dia keluar dari
foramen stilomastoideus dibawah kanalis auditorius eksternus, di dekat nervus
vagus dan nervus glosofaringeus. Blok ini tidak direkomendasikan karena
telah dihubungkan dengan adanya paralisis plica vokalis, laringospasme,
disfagi, dan distres respirasi.
ANESTESIA TOPIKAL
Selama beberapa tahun terakhir, teknik anestesi lokal yang lebih kurang
traumatik telah dikembangkan untuk operasi bagian anterior mata (misal
71

katarak) dan glaukoma. Semakin meningkat kecenderungan untuk sama-sekali


menghilangkan penggunaan anestesi injeksi. Setelah pemberian tetes anestesi
topikal, propacaine 0.5% (juga dikenal sebagai proksimetakain klorhidrat),
diulangi pada interval 5-menit dan diberikan lima kali, dioleskan gel anestesi
(lidokain klorhidrat fitambahan dengan metilselulose 2%) dengan kapas pada
kantung konjungtiva superior dan inferior. Tetrakain oftalmik 0.5% juga dapat
digunakan. Penggunaan anestesia topikal tidak sesuai untuk operasi bagian
posterior mata (misal perbaikan ablasio retina dengan teknik kait) dan bekerja
paling baik untuk dokter bedah dengan teknik operasi cepat namun lembut
yang tidak memerlukan dilakukan akinesia pada mata.
SEDASI INTRAVENA
Ada beberapa teknik sedasi intravena yang dapat digunakan untuk operasi
mata. Jenis obat yang digunakan tidak begitu penting dibandingkan dosis
penggunaan. Sedasi dalam harus dihindari karena meningkatkan risiko apnea
dan pergerakan pasien yang tidak disadari saat operasi. Namun, blok
retrobulbar dan nervus fascialis dapat kurang nyaman bagi pasien. Sebagai
penengah, beberapa spesialis anestesi memberikan propofol dosis kecil (30100 mg perlahan) atau barbiturat kerja cepat (misal 10-20 mg methohexital
atau 25-75 tiopental) untuk menyebabkan keadaan tidak sadar secara singkat
saat dilakukan blok tegional. Selain itu, dapat diberikan sedikit bolus opioid
(remifentanil 0.1-0.5 g/kg atau alfentanil 375-500 g) untuk memberikan
sebuah periode singkat analgesia dalam. Beberapa spesialis anestesi lain
meyakini bahwa risiko henti napas dan aspirasi tidak dapat diterima,
membatasi dosis untuk menyebabkan relaksasi dan amnesia seminimal
mungkin. Midazolam (1-2 mg) dengan atau tanpa fentanil (12.5-25 g) atau
sufentanil (2.5-5 g) juga umum diberikan. Dosis bervariasi tergantung pada
pasiennya dan harus dinaikkan secara bertahap dan perlahan. Selain itu,
penggunaan lebih dari satu tipe obat secara bersamaan (benzodiazepin,
hipnotik, dan opioid) memperkuat efek bahan lainnya; dosis harus
disesuaikan. Sebaiknya diberikan antiemetik bila pasien diberi terapi opioid.
Tanpa melihat apa teknik yang digunakna, ventilasi dan oksigenasi harus terus

72

diawasi secara ketat, dan peralatan untuk memberikan ventilasi tekanan positif
harus siap sedia.
DISKUSI KASUS: PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN MATA
TERBUKA DAN GASTER PENUH
Seorang anak 12 tahun datang ke unit gawat darurat setelah ditembak
di mata menggunakan senjata dengan peluru bulat. Pemeriksaan umum oleh
spesialis mata menunjukkan ada isi bola mata keluar melalui luka. Anak ini
dijadwalkan untuk menjalani operasi darurat untuk perbaikan ruptur bola
mata.
Apa yang harus ditekankan pada evaluasi preoperasi pasien ini?
Selain melakukan anamnesis rutin dan melakukan pemeriksaan fisik,
waktu asupan oral terakhir sebelum atau setelah cedera harus dilakukan
seakurat mungkin. Pasien harus dianggap memiliki lambung penuh bila cedera
terjadi dalam 8 jam setelah makan terakhir, bahkan bila pasien tidak makan
selama beberapa jam setelah cedera: pengosongan lambung diperlambat oleh
rasa nyeri dan kegelisahan yang terjadi setelah trauma.
Apa pentingnya lambung yang penuh pada pasien dengan cedera bola mata
terbuka?
Menangani pasien yang mengalami cedera tembus bola mata
memberikan tantangan tersendiri pada spesialis anestesi karena perlunya
mengembangkan rencana anestesi yang konsisten setidaknya dengan dua
tujuan yang saling bertentangan. Satu tujuan yang pasti adalah untuk
mencegah kerusakan lebih jauh pada mata dengan menghindari peningkatan
tekanan intraokuler. Tujuan kedua yang juga penting adalah untuk mencegah
aspirasi paru pada pasien dengan lambung penuh.
Banyak strategi yang umum digunakan untuk mencapai dua tujuan ini
saling bertentangan satu sama lain, tetapi, meskipun anestesi regional (misal
blok retrobulber) meminimalisir risiko pneumonia aspirasi, teknik ini relatif
dikontraindikasikan pada pasien dengan cedera tembus bola mata karena
menginjeksikan anestesi lokal dibelakang bola mata akan meningkatkan
73

tekanan bola mata dan dapat menyebabkan keluarnya isi intraokuler.


Sehingga, beberapa pasien ini memerlukan anestesi umumwalaupun
terdapat risiko pneumonia aspirasi.
Apa persiapan preoperatif yang harus dipertimbangkan pada pasien ini?
Tujuan persiapan preoperasi adalah untuk meminimalisir risiko
pneumonia aspirasi dengan mengurangi volume dan keasaman lambung.
Aspirasi pada pasien dengan cedera mata dicegah dengan pemilihan bahan
farmakologis dan teknik anestesi yang tepat. Evakuasi isi lambung dengan
pipa nasogastrik dapat menyebabkan batuk, muntah, dan respon lain yang
dapat meningkatkan tekanan intraokuler secara dramatis.
Metoklopramid meningkatkan tonus esofagus bawah, mempercepat
pengosongan

lambung,

menurunkan

volume

cairan

lambung,

dan

menunjukkan adanya efek antiemetik. Obat ini harus diberikan secara


intravena (10 mg) sesegera mungkin dan diulangi tiap 2-4 jam sampai operasi
dimulai.
Ranitidin (50 mg intravena), cimetidin (300 mg intravena), dan
famotidin (20 mg intravena) merupakan antagonis reseptor histamin H 2 yang
menginhibisi sekresi asam lambung. Karena obat ini tidak memiliki efek pada
pH atau sekresi gaster yang terdapat di lambung sebelum pemberiannya,
berbagai obat ini memiliki peran yang terbatas pada pasien yang akan
menjalani operasi darurat.
Berbeda dengan antagonis reseptor H2, antasida memiliki efek
langsung. Sayangnya obat ini menyebabkan peningkatan volume dalam
lambung. Antasida nonpartikel (preparat sodium sitrat, potasium sitrat, dan
asam sitrat) kehilangan efektifitasnya dalam waktu 30-60 menit dan harus
diberikan sesaat sebelum induksi (15-30 mL oral).
Bahan induksi mana yang direkomendasikan pada pasien dengan cedera
tembus bola mata?
Bahan induksi yang ideal untuk pasien dengan lambung penuh adalah
memberikan onset kerja yang cepat untuk meminimalkan risiko regurgitasi.
74

Ketamin, tiopental, propofol, dan etomidat memiliki onset kerja yang sama
cepat (setara dengan waktu sirkulasi otak).
Selain itu, bahan induksi ideal tidak akan meningkatkan risiko ekspulsi
okuler dengan meningkatkan tekanan intraokuler. (faktanya, sebagian besar
bahan induksi intravena menurunkan tekanan intraokuler.) walaupun
penelitian efek ketamin pada tekanan inraokuler telah menunjukkan hasil yang
berbeda-beda, ketamin tidak direkomendasikan pada cedera tembus bola mata
karena banyaknya kejadian blefarospasme dan nistagmus.
Walaupun etomidat dapat terbukti bermanfaat pada beberapa pasien
dengan penyakit jantung, obat ini dikaitkan dengan adanya kejadian
mioklonus berkisar dari 10% sampai 60%. Sebuah episode mioklonus berat
dapat turut berperan dalam terjadinya ablasio retina total dan prolaps vitreus
pada seorang pasien dengan cedera tembus bola mata dan terbatasnya
cadangan kardiovaskuler.
Propofol dan tiopental memiliki onset kerja yang cepat dan
menurunkan tekanan intraokuler; namun, tidak satupun dapat mencegah
respon hipertensif pada laringoskopi dan intubasi atau mencegah peningkatan
tekanan intraokuler yang terjadi bersama dengan penggunaan laringoskopi dan
intubasi. Pemberian fentanil (1-3 g/kg), remifentanil (0.5-1 g/kg), alfentanil
(20 g/kg), esmolol (0.5-1 g/kg), atau lidokain (1.5 mg/kg) sebelumnya akan
memperkuat respon dengan berbagai derajat keberhasilan.
Bagaimana perbedaan pilihan pelumpuh otot pada pasien ini dengan
pasien lain yang memiliki risiko aspirasi?
Pilihan pelumpuh otot pada pasien dengan cedera tembus bola mata
telah menyebabkan kontroversi pada lebih dari tiga dekade. Suksinilkolin pasti
meningkatkan tekanan intraokuler. Walaupun terdapat penelitian dengan hasil
berbeda, mungkin akan lebih baik untuk menyimpulkan bahwa peningkatan
tekanan intraokuler ini tidak dapat dicegah oleh pre-terapi menggunakan
bahan nondepolarisasi, dosis aman suksinilkolin atau lidokain secara konsisten
dan pasti. Berbagai temuan yang berbeda oleh berbagai peneliti yang

75

menggunakan bahan yang berbeda mungkin disebabkan oleh perbedaan dosis


dan waktu pemberian obat preterapi.
Beberapa spesialis anestesi berpendapat bahwa peningkatan yang
relatif sedikit dan bersifat sementara pada tekanan intraokuler adalah harga
yang harus dibayar untuk memperoleh dua keuntungan yang ditawarkan oleh
suksinilkolin: onset kerja yang cepat yang menurunkan risiko aspirasi, dan
relaksasi otot yang dalam yang menurunkan kemungkinan terjadinya respon
valsava selama dilakukan intubasi. Selain itu, peneliti yang mendukung
pemberian suksinilkolin biasanya menunjukkan sedikitnya laporan kasus yang
menunjukkan adanya cedera mata lebih lanjut saat digunakan suksinilkolin.
Pelumpuh otot non depolarisasi tidak meningkatkan

tekanan

intraokuler. Namun sampai diproduksinya rocuronium, bahan nondepolarisasi


tidak memberikan onset kerja yang cukup cepat. Tanpa meluhat bahan
pelumpuh otot yang dipilih, intubasi sebaiknya tidak dilakukan sampai
tercapai tingkat paralisis tertentu yang pasti akan mencegah terjadinya batuk
saat pemasangan pipa endotrakeal.
Bagaimana strategi induksi dapat bervariasi pada pasien anak tanpa jalur
intravena?
Anak yang histeris dengan cedera tembus bola mata dan lambung yang
penuh memberikan tantangan tersendiri pada bidang anestesi tanpa adanya
solusi yang sempurna. Sekali lagi, dilema ini terjadi karena kebutuhan untuk
menghindari peningkatan tekanna intraokuler tetapi secara bersamaan
meminimalkan risiko aspirasi. Sebagai contoh, berterian dan menangis dapat
menyebabkan peningkatan tekanna intraokuler yang hebat. Namun, usaha
untuk melakukan sedasi pada anak dengan supositoria rektal atau injeksi
intramuskuler sering memperburuk kepanikan mereka dan memperberat
cedera mata. Walaupun pemberian sedasi preoperasi dapat meningkatkan
risiko aspirasi karena lumpuhnya reflek saluran napas, hal ini sering perlu
dilakukan untuk dapat membuat jalur intravena untuk induksi cepat. Sebuah
strategi yang ideal adalah dengan memberikan sejumlah sedasi yang cukup
tanpa menyebabkan rasa sakit untuk memungkinkan dilakukannya pembuatan
76

jalur intravena sementara tetap mempertahankan tingkat kesadaran yang


adekuat untuk melindungi reflek saluran napas. Walaupun solusi ini sekarang
masih sulit dicapai, diperkenalkannya berbagai obat baru dan sistem
pemberian obat yang inovatif, seperti permen loli yang mengandung opioid,
dapat menjadi alternatif. Saat ini, strategi yang paling bijaksana adalah
melakukan semua yang mungkin dilakukan untuk menghindari aspirasi
bahkan dengan risiko terjadinya kerusakan mata lebih lanjut.
Apakah ada pertimbangan khusus selama melakukan ekstubasi dan
pengeluaran?
Pasien dengan risiko aspirasi selama induksi juga memiliki risiko
selama ekstubasi dan pengeluaran. Sehingga, ekstubasi harus ditunda sampai
pasien bangun dan reflek saluran napasnya sudah baik (misal adanya menelan
spontan dan batuk melalui pipa endotrakeal). Ekstubasi dalam dapat
meningkatkan risiko muntah dan aspirasi. Pemberian pengobatan antiemetik
intraoperasi dan suction melalui pipa nasogastrik dapat megurangi kejadian
emesis saat pengeluaran, tetapi tidak menjamin adanya lambung yang kosong.

77

Anda mungkin juga menyukai