Anda di halaman 1dari 33

PEMERIKSAAN DAN TERAPI KUSTA

I.SINONIM
Kusta juga dikenal dengan nama lepra, Morbus Hansen, leprosy, Hansens disease, dan
Hanseniasis.
II.DEFINISI
Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada manusia
yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer (Fauci, 2008). Istilah
kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit
ini disebut Morbus Hansen.
III.ETIOLOGI
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak
membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai
mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan
basil cepat asam (Brooks, 453:2005). M. leprae merupakan agen causal pada lepra.
Berbentuk batang tahan asam, termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik,
biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya (Isselbacher).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,
bentuk pecah pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan
bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata,
dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya
terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular,
dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk
globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan
atau berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60
BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk

clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya
lebih dari 500 BTA.
IV.EPIDEMIOLOGI
4.1 Distribusi Menurut Geografi
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah
pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan
jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak
116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena
kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara
dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan
9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah
penderita sebanyak 22.175
4.2 Distribusi Menurut Faktor Manusia
a. Etnik atau Suku
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat
karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama
kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di
Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan
dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta
lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian
pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta
dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.
b. Faktor Sosial Ekonomi
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini
terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut
ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta

impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).

c. Distribusi Menurut Umur


Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya
penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur
pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data
prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan
resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi - umur tua
(3 minggu - > 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif
d. Distribusi Menurut Jenis Kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar
negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih
banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan
kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit
menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya
4.3 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta
a. Sumber Penularan
b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)
c. Cara Penularan
d. Cara Masuk ke Pejamu
e. Pejamu
V.PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh

molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan
sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi
To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan
C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan
proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit,
fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion
superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak
jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan
organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel
epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil.
IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk
menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel.
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan
melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang
paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen
asing masuk tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik
dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan
diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya
molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC
akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari
CCR7 ( reseptor kemokin satu satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae

mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated


lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya
kerentanan terhadap leprosy.
5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2
dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae
akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan
makrofag akan merangsang dia bekerja terus menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga
akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga
terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional.
5.2 Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe
reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler
yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana
terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya
terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah
lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi.
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.
Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi
pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan
mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.

VI.Gambaran Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya
kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf
tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi
dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu,
suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar
ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi

yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi
bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan,
dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung,
pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling

Sifat

Lepromatous

Borderline

Mid

Leprosy (LL)

Lepromatous (BL)

(BB)

Borderline

Lesi
Makula,
Bentuk

Infiltrat Makula,

Difus, Papul, Nodul

Plakat, Plakat,

Dome

Shaped

(Kubah),

Papul

Punched Out
Tidak
Jumlah

Distribusi

praktis

terhitung, Sukar
tidak

ada masih

dihitung, Dapat dihitung, kulit


ada

kulit sehat jelas ada

kulit sehat

sehat

Simetris

Hampir Simetris

Asimetris

Permukaan

Halus Berkilat

Halus Berkilat

Agak Kasar/berkilat

Batas

Tidak Jelas

Agak Jelas

Agak Jelas

Anastesia

Biasanya Tak Jelas

Tak Jelas

Lebih Jelas

BTA
Lesi Kulit

Banyak (ada globus) Banyak

Agak Banyak

Sekret Hidung

Banyak (ada globus) Biasanya Negatif

Negatif

Tes Lepromin

Negatif

Biasanya Negatif

Negatif

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya
berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi
biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan
keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung
jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing
ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari

telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan
tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah
anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada
N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang
bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus anestesi kulit wajah, kornea & konjungtiva mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama
akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh
karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan
adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse
sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik
dosis maupun lama pemberiannya. Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit,
demam yang tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small
satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat
dibedakan atas reaksi ringan dan berat.Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan
konstitusi, dan komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi
ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan
nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi

yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi
ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan
banyak basil M.leprae di endotel kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu
tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.
VII.Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan
alat alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi
masing masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk
melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan
sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang kadang dapat
membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk
menentukannya.
7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan
pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.

sedangkan

tipe

tuberkoloid

terlokalisasi

mengikuti tempat lesinya.

Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu


N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis,
N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea
lateralis,

N.

Tibialis

posterior.

Pada

pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan


saraf

bagian

pembesaran

kiri
atau

dan

kanan,

tidak,

adanya

pembesaran

reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan


yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau
tidak

Pada tipe lepromatous biasanya

kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh

Untuk mendapat kesan saraf

mana

yang mulai menebal atau sudah menebal dan


saraf mana yang masih normal, diperlukan
pengalaman yang banyak.

7.2 Tes Fungsi Saraf


a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
-. Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan
rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk
pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana
merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang
disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini
telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong
kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat.
Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya.
-. Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan
mana yang tajam dan mana yang tumpul.
-. Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya
400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke
tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang
dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut
pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah
tersebut terganggu.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

1. Tes dengan pensil tinta

Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke
daerah kulit normal.
1. Tes pilokarpin

Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin subkutan.
Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi
tetap kering.
c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
-. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari
kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien
mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.
-. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien
mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan
jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada
bagian telapaknya.
-. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan
tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
-. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi
pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai
kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
7.3 Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain
yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman,
pada cuping telinga didapati banyak M.leprae. perlu diingat bahwa setiap tempat
pengambilan harus dicatat, guna pengambilan di tempat yang sama pada pengamatan
pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.
A. Cara pengambilan bahan
Dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut diidentifikasi kemudian dijepit
antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan
mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Irisan
yang dibuat harus sampai di epidermis, melampaui sub epidermal clear zone agar
mencapai jaringan yang diharapkan banyyak mengandung sel virchow (sel lepra) yang
didalamnya menganndung basil M. Leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas,
difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan klasik, yaitu Zeihl Neelsen.
Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi Zeihl Neelsen dan cara-cara lain dengan
segala kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan keadaaan setempat.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blow, terbaik dilakukan pagi hari
yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat dan duh tubuh (discharge) terebut,
apakah cair, serosa, bening, mukoid, purulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat di buat
langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke laboratorium. Dengan kapas lidi
bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus pada hari yang sama. Pewanaan
tidak perlu pada hari yang sama.
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil
tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi,
selanjutnya dikerjakan seperti biasa. Sediaan dari mukosa higung jarang dilakukan karena
: Kemungkinan M. Atifik, M. leprae tidak pernah pernah positif kalu pada kulit negatif.

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh ( solid ), batang terputus (fragmented), dan butiran
( granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular adalah
basil mati. Secara teori penting untuk membedakan bentuk solid dan non solid, berarti
membedakan yang hidup dan yang mati, sebbab yang hidup itulah yang berbahaya,
karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan kepada orang lain. Dalam praktek
sukar sekali menentukan yang solid dan non solid, oleh karena dipengaruhi oleh banyak
faktor.
Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai menjadi sediaan, perlengkapan
laboratorium, siapa yang mengerjakan, yang melihat dan yang menginterpretasikan
sediaan,

akan

menentukan

mutu

hasil

bakterioskopik.

Meskipun

sudah

ada

ketentuan/patokan solid atau non solid, interpretasi yang melihat itulah yang dapat
menimbulkan perbedaan. Hal itu menyebabkan suatu institut terkenal dan termasuk tertua
didunia tidak berani membedakan antara solid dan non solid.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak
ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Pemeriiksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan.

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %
Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
10.000lapangan, mulai I.B 3+ harus dihitung IM-nya sebab dengan IB 3+ maksimum harus
dicari 100 lapangan.
Contoh perhitungan IB dan IM

Ada pendapat, bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-nya
tetapi tidak dinyatakan dalam %, tetapi dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil atau di
perbesar. Sebagai contoh, seumpamanya solid ada 4, nonsolid ada 44 maka imnya 4:48.
Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan pengamatan sediaan antar
laboratorium, nasional, maupun iternasional. Pada tingkat lanjut sediaan bakterioskopik
sebaiknya dilakukan oleh laboratorium dan tenaga yang sama pula, agar obyektifitas dapat
dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat dilakukan, tetapi untuk IM sangat sulit, bakan ada
yang berpendapat tidak mungkin.

7.4 Pemeriksaan Histopatologis


Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit didalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel kuffer dari hati, sel alveolar dari paru, selglia dari
otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan
fagositosis. Jika ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas seluler
(SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagositosis. Datangnya
histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Jika datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan
berubah menjadi epiteliod yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel
datia lagerhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan di kelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histosit tidak dapat menghancurkan M. Leeprae yang sudah
ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel virchow atau sel
lepra arau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasaan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan sel saraf yang lebih nyata,
tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis
yyang jaringannya tidak parologik. Didapati sel Virchou dengan banyak basil. Pada tipe
borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
7.5 Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap
M. Leprae, yaitu antibodi phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta
35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM) yang dihasilkan juga oleh kuman M. Tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologis ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada narakontak
serumah. Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh

seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Jenis antibodi yang terbentuk bermacam-macam,
karena terdapat berbagai jenis antigen, misalnya antigen golongan lipopolisakarida yang
berasal dari kapsul kuman, antigen protein yang berasal dari inti sel dan lain lain. Antibodi
yang terbentuk bersifat spesifik dan non-spesifik.
Macam macam pemeriksaan serologik kusta ialah :

Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)


Tekhnik ini dikembangkan oleh Izumi dkk. Dengan dasar reaksi antigen-antibodi yang
akan menyebabkan pengendapan (aglutinasi) partikel yang terikat akibat reaksi tersebut.
Karena mudah dilaksanakan dan cepat diketahui hasilnya (hanya diperlukan waktu
sekitar 2 jam), tekhnik ini banyak dipakai untuk skrining mencari kasus kusta subklinik
di daerah endemik kusta.

Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)


Uji ini merupakan uji laboratorik yang memerlukan peralatan khusus serta keterampilan
tinggi, sehingga dalam penyakit kusta hanya dilakukan untuk keperluan khusus, misalnya
untuk penelitian atau kasus tertentu. Keuntungan uji ELISA ini ialah sangat sensitif,
sehingga dapat mendeteksi antibodi dalam jumlah yang sangat sedikit.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen-antibodi yang terbentuk
dengan memberi label pada ikatan tersebut. Bila uji ini digunakan untuk memantau hasil
pengobatan penyakit kusta, penurunan antibodi spesifik bisa terlihat jelas dengan
memeriksa serum penderita secara berkala setiap 3 bulan sekali.

ML dipstick
Pemeriksaan serologik dengan menggunakan Micobacterium leprae dipstick (ML
dipstick) ditujukan untuk mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap M. leprae.
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis terutama untuk kusta
stadium awal, pemantauan hasil pengobatan dan deteksi adanya relaps serta
membedakannya dengan reaksi reversal.

7.7 Pemeriksaan reaksi rantai polimerase (Polimerase chain reaction/PCR)


Prinsip PCR ini adalah menggandakan suatu potongan rantai DNA tertentu dari DNA
kuman, sehingga jumlahnya berlipat ganda dan bisa dilihat sebagai pita protein pada
medan elektroforesa. Pemeriksaan PCR pada penyakit kusta sangat berguna dalam
mendeteksi adanya basil kusta di jaringan, apabila gejala klinis maupun histopatologis

tidak menyokong diagnosis kusta. Pemeriksaan ini jauh lebih sensitif dari pengecatan
Ziehl Neelsen maupun Wade Fite/ Fite Faraco untuk mendeteksi basil tahan asam (BTA).
7.7 Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap
M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu
( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini
seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
VIII.Diagnosis
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala
yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada
penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka
akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu,
dan rasa nyeri.
2.Penebalan saraf tepi

Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi


b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan
tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai
diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
IX.Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis
alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi
plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris,
neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung
sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih
yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa
dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest
maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan
katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak
melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon

transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah


DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk dari DOPA bersifat toksik
terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada
sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling
sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata,
mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau
simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu,
bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi
tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan
mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu
vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta
merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi
tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau
hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora
normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau
Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada
dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun
penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai
efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi
jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and
meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) .
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di
pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak
bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku
siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi
virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya
bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan transparan
disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak bercak eritema
yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada
akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan
dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari
berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif
tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala
kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan
jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi
ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis,
mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan
vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin
( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly
neuropathy dan demensia.
X.Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan
yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal yang lemih terhadap M.
leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. pada
1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan
klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan
rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri Terapi multiobat dan kombinasi
tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini
menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal
untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang
endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada
Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi
untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan
berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk
mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan
dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk
kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan
6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara endemik,
melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010.
Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan
pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan
obat.

a. DDS (diamino-difenil-sulfon)
Sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai monoterapi.
Pada tahun 1960 SHEPARD berhasil melakukan inopkulasi M. Leprae ke dalam kaki
mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya resistensi
terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul secara beruntun pembuktian adanya
resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian resistensi
tersebut beerubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapo kusta dari mono terapi ke
MDT.
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps
sensitif ( persisten), pada relaps sensitif secara klinis, bakterioskopik dan histopatologik
dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan
bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan
inokulasi pada mencit ternyata M. Leprae masih sensitif terhadap DDS. M.leprae yang
semula dirman, sleeping atau persisten, bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan
sebelumnya, basil dorman sukar untuk dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada
relaps persisten dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit, bahwa M. Lepra

resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan
DDS 100 mg sehari selama 3-6 bulam disertai pengamatan secara klinis, bakteriooskopik
dan histopatologik. Apabia fasilitas mengizinkan dapat ditentukan gradasi resistensinya
dari yang rendah, sedang, sampai tinggi. Inokulasi meencit di indonesia baru dapat
dilaksanakan pada tahu 1980 di bagian mikrobiologi FKUI jakarta.
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder, resistensi sekunder
terjadi karena :

Monoterapi DDS

Dosis terlalu rendah

Minum obat tidak teratur

Pengobatan terlalu lama setelah 4-24 tahun.

Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasiler, tetapi tidak pada pausi basiler, oleh
karena SIS pada penderita kusta pausi basiler tinggi dan pengobatanya singkat.
Resistensi primer terjadi bila orang ditulari oleh M. Leprae yang telah resisten, dan
manifestasinya dapat dalam berbagai tipe bergantung pada SIS penderita. Derajat
resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi.
Sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain :

Efek terapeutik obat

Efek samping obat

Harga obat

Kemungkinan penerapanya

Jika kombinasinya terlalu kompleks dan terlalu mahal, maka tidak dapat dilaksanakan dan
sebaliknya jika kombinasinya terlalu sederhana dan murah, maka mengndang resistensi baru.

Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat lain.
Dosis DDS ialah 1-2 mg /KgBB setiap hari.
Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, nneuropatia, perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.

b. Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS denga
dosis 10mg/Kg BB. Diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak
diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan
setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya
Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai
obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh
REES dkk., serta LEIKER dan KAMP. Resistensi pertama terhadap M. Leprae
dibuktikan 1976 oleh JACOBSON dan HASTINGS.
Efek

samping harus

diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,

gejala

gastrointestinal, flu-like sindrome dan erupsi kulit.


c. Klofazimin (lamprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan HOOGERZEIL. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti inflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL dengan dosis 200-300 mg/hari, namun awitan kerja baru timbul
setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada suatu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek sampingnya ialah wana kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera,
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat
warna dan dideposit terutama pada retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Obat ini
menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat

penderita. Efek samping terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
pernurunan berat badan.. perubahan warna tersebut akan mulai hilang setelah 3 bulan obat
dihentikan.
d. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/KgBB setiap hari, dan untuk indonesia obat ini tida atau jarang
dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat
minimalnya sukar ditentukan.
e. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan dari

flurokuinolon yang paling aktif terhadap

micobakterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh M. Leprae hidup sebesar 99,9 9%. Efek
sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainya. Berbagai gangguan
susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinai. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya membutuhkan
penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada
hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru jadi lebih efektif.
f. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek samping bekterisidalnya lebih tinggi


daripada klaritromisin. Tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100 mg.
Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran
cerna dan susunan saraf pusat. Termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak
dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

g. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolide dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
M. Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500
mg dapat membunuh 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan
diare yang terbukti sering ditemukan bila obat diberikan dengan dosisi 2000 mg
MDT dengan beberapa terapi alternatif telah ditatapkan pada Rapat Konsultasi Kusta
Nasional (RKKN) yang kiranya sesuai dan dapat diterapkan diindonesia. Kombinasi obat
ini diberikan 2-3 tahun dengan sarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis
masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama
perngobatan dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal
setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasiler ini hanya selama 23tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang
tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu seuumur
hidup.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negatif dan
klinis tidak tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau
disebut Release From Control (RFC).
MDT untuk pausi basiler ( I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS
100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 9 bulan. Berarti RFT setelah 6-9
bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan pemeriksaan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal
setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan
baru secara klinis dan bakterioskopis negatif, maka dinyatakan RFC.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1997). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi rersistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen Pengobatan Kusta tersebut
(WHO/DEPKES RI). PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin
Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat
diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM
belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi
tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Dewasa

Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin

600 mg

400 mg

100 mg

300 mg

200 mg

50 mg

(50-70 kg)
Anak
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.

Dewasa

Rifampicin

Dapson

600 mg/bulan

100 mg/hr diminum di


rumah

Diminum

di

petugas kesehatan

depan

Anak-anak

450 mg/bulan

50 mg/hari diminum di
rumah

(10-14 th)

Diminum

di

depan

petugas kesehatan
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment
yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe
PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampicin

Dewasa

600
diminum

Dapson

Lamprene

mg/bulan100 mg/hari diminum300 mg/bulan diminum di


di

depandi rumah

petugas kesehatan

depan petugas kesehatan


dilanjutkan dgn 50 mg/hari
diminum di rumah

Anak-anak

450
diminum

(10-14 th)

mg/bulan50 mg/hari diminum150 mg/bulan diminum di


di

depandi rumah

petugas

depan petugas kesehatan


dilanjutkan

dg

50

mg

selang sehari diminum di


rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot ,
claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan
Prinsip pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obatobat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis
3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml
secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.
XI.Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert
committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau
resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:

Lama Pengobatan

Jenis Obat

Dosis

6 Bulan

Klofazimin

50 mg/hari

Ofloksasin

400 mg/hari

Minosiklin

100 mg.hari

Diikuti dengan 18 bulan

Klofazimin

dengan 50 mg/hari

Ofloksasin atau
400 mg/hari

Minosiklin

100 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan


klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di
atas.
b.Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu
klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen
MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB,
obat ini harus dihentikan.
Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:

Rifampisin

Klofazimin

Dewasa

600 mg/bln

50 mg/hari dan 300 mg/bulan

Anak-anak

450 mg/bln

50 mg/hari dan 150 mg/bulan

XII.Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi
kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal.
Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada
pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah
vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder
merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
XIII.Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini
membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis,
physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan
gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai