Anda di halaman 1dari 3

BANJIR JAKARTA

Amphibi identik dengan kemampuan untuk hidup di dua alam yaitu darat
dan air. Makhluk jenis ini, selain memiliki paru-paru juga memiliki insang dan
selaput pada kaki dan tangannya sehingga memudahkan untuk bergerak di dalam
air seperti misalnya kodok, buaya dan bebek. Tentunya habitat yang dibutuhkan
oleh makhluk ini tersedia di alam, jika keseimbangan ekosistem terganggu maka
habitat ini akan terganggu pula yang berujung kepunahan makhluk tersebut.
Mari kita melihat mulai dari Ekosistem menuju habitat dan makhluk yang
mengisinya dalam konteks Jakarta. Jakarta dengan kompleksitas masyarakat dan
lingkungannya telah melahirkan suatu ekosistem baru yang sangat berbeda
dengan hukum alam. Lingkungan Jakarta ditumbuhi dengan hutan beton sebagai
pengganti pohon, lapangan parkir sebagai ganti daerah resapan, rel, jalan dan
jalan tol sebagai ganti dari tumbuhan merambat dan sebagainya. Namun spesiesspesies bentukan yang bernama gedung, lapangan parkir dan jaring transportasi
tidak memiliki ketangguhan sebagaimana pohon dalam menghadapi fenomena
alam seperti hujan dan banjir. "Spesies" beton tersebut tidak dapat menyambut
temannya "air" yang datang dalam bentuk hujan dan banjir, sehingga sang
"teman" (air) mencari sahabat sejatinya yaitu tanah yang rendah dimanapun ia
berada untuk bersua dan bersenda gurau sebagaimana layaknya sahabat.
Fenomena banjir terjadi setiap tahun di Jakarta khususnya DAS Ciliwung
yang sangat parah dampaknya bila terjadi curah hujan di daerah Bogor. Pemda
DKI Jakarta secara berlanjut telah berupaya dalam mengeliminir dampak banjir
tersebut dengan melakukan pengerukan dasar sungai, pembersihan Situ,
pembuatan tanggul dan menggalakan pemberdayaan masyarakat untuk tidak
membuang sampah sembarangan dan pembersihan saluran air di lingkungan
masing-masing. Demikian pula dengan relokasi masyarakat di sekitar aliran
sungai dan situ bahkan rawa diupayakan agar lokasi tersebut steril untuk
dilakukan pembenahan aliran air guna mencegah banjir.
Kontradiksi antara Pemerintah dan Masyarakat
Upaya yang dilakukan oleh Pemda DKI ternyata tidak semudah membalik
telapak tangan. Masyarakat yang sudah tahunan tinggal dilokasi rawan banjir
tersebut sudah masuk dalam 'zona aman' masing-masing sehingga sudah
terbiasa dengan habitat amphibi tersebut. Sudah terbiasa hidup dengan dua alam
kering dan basah akibat genangan banjir. Anak-anak sudah terbiasa bermain ceria
di tengah banjir, yang lainnya sudah terbiasa untuk mencari peluang rejeki
ditengah banjir dan hujan yang lumayan memberikan 'rejeki nomplok' mulai dari
ojek payung, bantuan dorong mobil, sewa perahu, sewa gerobak dorong dan lain
sebagainya.
Bhakan kerap terjadi demonstrasi penolakan antara masyarakat yang
setuju untuk direlokasi dan yang sudah merasa nyaman di zona yang ada.
Pertentangan antar elemen masyarakat ini dapat dilihat sebagai kesinisan dan
minirnya asumsi terhadap upaya yang dilakukan pemerintah. Selain itu ditambah

pula adanya penyimpangan oleh oknum yang dilakukan atas nama rakyat dengan
mempersulit cara mendapatkan rusunawa maupun rusunami. Kondisi saling
curiga dan tidak percaya ini sebaiknya disingkirkan. Hal ini dapat dilakukan
dengan bersama-sama memulai memindahkan dan mengurusi persoalan banjir
yang terjadi dengan setulus hati dan bersinergi.
Ruang Terbuka Hijau dan Pembangunan
Pembangunan yang dimaksud disini adalah yang berkaitan dengan
konstruksi. Pembangunan apartemen, pabrik, gudang, mall, gedung pencakar
langit dan sarana pendukungnya sangat tidak seimbang dengan komponen
ekosistem lainnya. Sebagai contoh apartemen yang dibuat selayaknya berfasilitas
ramah lingkungan dan humanis sehingga selain mengurai kekumuhan juga
memberikan resapan air. Namun kenyataannya harga apartemen yang ramah
lingkungan dan humanis itu demikian tinggi harganya sehingga hanya mampu
dibeli atau disewa oleh masyarakat tertentu yang beraktivitas rutin di Jakarta .
Umumnya kelompok masyarakat ini berdomisili asli di luar Jakarta dan menetap di
Jakarta dalam kurun waktu tertentu namun rutin dilakukan (intensitasnya tinggi).
Walaupun tidak dipungkiri ada juga yang menetap lama dan asli warga Jakarta
yang tinggal di apartemen. Bila setiap penghuni membawa pembantu, sopir dan
pelayan pribadi maka akan menambah populasi Jakarta dan tempat tinggal yang
dibutuhkan semakin meningkat pula. Pelayan ini belum tentu tinggal selamanya
dengan majikannya sehingga akhirnya berusaha mencari tempat tinggal di sekitar
tempat bosnya sekalipun kumuh dan tidak layak. Guna memenuhi kebutuhan
sehari-hari pelayan majikan ini tidak mungkin berperilaku seperti sang juragan.
Maka lambat laun mulai tumbuh warung, pedagang asongan, pedagang keliling
dan sebagainya. Bahkan tidak jarang juga sang juragan menjadi pembeli.
Dinamika ini berlanjut terus hari ke hari sehingga menambah semrawutnya
Jakarta. Daerah yang dulunya taman dan resapan hujan telah berganti menjadi
gedung-gedung pencakar langit. Rakyat kecil pun akhirnya memanfaatkan ruang
terbuka hijau sebagai tempat tinggalnya. Ketidakseimbangan ekosistem ini
berlanjut dan semakin parah sehingga tidak dapat dihindari lagi bahwa banjir
sudah menjadi sahabat bagi masyarakat aliran sungai dan daerah kumuh di
Jakarta.
Solusi
Pembangunan
memang
keharusan
dalam
menuju
tercapainya
kesejahteraan rakyat. Namun demikian keseimbangan alam harus tetap terjaga
kelestariannya. Pembangunan dilakukan berbanding lurus dengan ruang terbuka
hijau dan resapan yang perlu dibuat sehingga dapat mengurangi dampak dari
"kemarahan alam" akibat tidak bertemunya air dengan sahabatnya yang disebut
dengan tanah. Persahabatan dua unsur alam ini sangat kental dan abadi sehingga
manusia sangat menerima dampak negatifnya bila persahabatannya terganggu.
Demikian pula daerah yang berada disekitar Jakarta seperti Bogor,
Sukabumi dan lain-lain yang tentunya secara administratif berada diluar

kewenangan Pemda DKI untuk membatasi pembangunan hotel dan perumahan di


daerah puncak. Walaupun pada kenyataannya yang memiliki hotel dan rumah di
daerah tersebut berasal dari Jakarta dan kota lainnya. Developer yang
membangun juga sebagian besar berasal dari Jakarta (dalam tulisan ini bukan
persaingan antar developer yang menjadi persoalan namun pada kepedulian
terhadap dampak lingkungan jangka panjang).
Kerjasama dan kepedulian terhadap lingkungan adalah tanggung jawab
bersama antara masyarakat (rakyat, kontraktor, pekerja, dll) dan pemerintahan
(eksekutif, yudikatif dan legislatif) sebagai pelayan publik. Karena air yang datang
tidak pernah membedakan siapa yang dihadapinya baik berupa pejabat atau
rakyat, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, gedung dan konstruksi beton dan
lain-lain. Air akan menghantam siapa saja yang mencoba menghalangi
pertemuannya dengan sahabat sejatinya tanah atau laut atau daerah rendah. Jika
kita tidak peduli maka banjir akan terpaksa menjadi sahabat sehingga kita
mungkin lebih tepat disebut manusia dengan embel-embel amphibi
dibelakangnya atau manusia amphibi.
Penulis:
S.Hidayat, M.Sc.
Mahasiswa Pascasarjana Unpad

081282821309
safrilhidayat95@yahoo.com
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai