Anda di halaman 1dari 14

PROJECT BASED LEARNING (PJBL) FP

THYPOID

DISUSUN OLEH :
PSIK KELAS 1 2013 KELOMPOK 2
Lala Aisyana
135070200111003
Dewi Pujiastuti
135070200111004
Angga Dwi Saputra 135070200111005
Minchatul Fitri
135070200111006
Esthi Dwi Yuliawati 135070200111007
Anjang Feronika P 135070200111008
Aulia Dian Trissilowati
135070200111010
Arinda Rizky F
135070200111011
Raudatus Sholehah 135070200111012
Cicilia Gorreti P
135070200111013
Cici Sutaningdiah 135070201111015
Kenny Maharani
135070201111016
Anunggal Lulus W 135070201111017
Fiddiyah Galuh A 135070201111018

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2016
Definisi Thypoid

Demam Typhoid atau Typhoid fever atau thypus abdominalis adalah


penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhii yang merupakan
bakteri gram negatif berbentuk batang yang masuk melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi( Tapan, 2004). Demam tipoid adalah suatu
penyakit infeksi oleh bakteri salmonella typhii dan bersifat endemik yang

termasuk dalam penyakit menular ( Cahyono, 2010)


Demam typhoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh

Salmonella typhii( Elsevier, 2013)


Demam typhoid atau typus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang
lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan

kesadaran ( Price A. Sylvia & Lorraine M. Wilson, 1995)


Thypoid Fever atau demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan
penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran( T.H Rampengan dan I.R Laurentz, 1995).
Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman

yang terkontaminasi.
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella Thypi yang masih dijumpai secara luas diberbagai negara
berkembang yang terutama terletak didaerah tropis dan subtropis. Penyakit
ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah ( Simanjuntak,
C,H, 2009)

Klasifikasi Thypoid
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan
gejala klinis:
1. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada

anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa


terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25%
penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan
punggung.
2. Demam tifoid dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi
komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari
melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.
Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses
(WHO, 2003).
Etiologi Thypoid
Menurut Ngastiyah (2005) Penyebab utama dari penyakit ini adalah
kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, dan C. Kuman ini banyak
terdapat di kotoran, tinja manusia, dan makanan atau minuman yang terkena
kuman yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini
adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat
beterbangan di udara, bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan
kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higienis.
Salmonella typhi merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu:
a. Antigen O (antigen somatik yang tidak menyebar terdiri dari zat komplek
lipopolisakarida),
b. Antigen Vi (virulen)

yang

meliputi

tubuh

kuman

dan

melindungi

O antigen terhadap fagositosis


c. Antigen H (flagella).
Ketiga jenis antigen tersebut dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukkan tiga macam antibody yang biasa disebut aglutinin (Arif Mansjoer,
2000).
Epidemiologi Thypoid

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,


secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas
sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang
rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A.,
2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003
terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian
mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens
rate penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000
penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun
2003 insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk
per tahun. Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk,
di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk
(Crump, 2004). Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000
penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun
dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 1.500.000 penderita. Angka
kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%.
Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat
erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di
negara yang bersangkutan (Nainggolan R., 2009).
Faktor risiko thypoid
Bassil Salmonela menular melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh
komponen feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kehidupan manusia
yang sangat berperan pada penularan adalah :
1 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak.
2 Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan
pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diataranya: makanan

yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur dan buah
buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang
tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat air minum yang tidak
dimasak dan sebagainya.
3 Sanitasi lingkungan yang kumuh dimana pengelola air limbah, kotoran dan
4
5
6
7

sampah tidak memenuhi syaratsyarat kesehatan.


Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid. (SK Menkes,2006)

Pathophysiology Thypoid
Manifestasi klinis Thypoid
Penyakit ini bias menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui
makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaanya itu
usus halus. Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati
dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri
saat diraba. Gejala klinis demam tifoid pada anak dapat bervariasi dari yang
ringan hingga yang berat. Biasanya gejala pada orang dewasa akan lebih
ringan disbanding pada anak-anak. Kuman yang masuk kedalam tubuh anak
tidak segera menimbulkan gejala. Biasanya memerlukan masa tunas sekitar
7-14 hari. Masa tunas ini lebih cepat bila kuman tersebut masuk melalui
makanan, disbanding melalui minuman.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran
klinis yang ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis
besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain :
1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun
menjelang malamnya demam tinggi.
2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya
anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asamasam atau pedas.
3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembangbiak di
hati dan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan

lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan,


akhirnya makanan tak bias masuk secara sempurna dan biasanya keluar
lagi lewat mulut.
4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna
menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare,
namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air
besar).
5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa
lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa
sakit di perut.
6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman
dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang
parah seringkali terjadi gangguan kesadaran. (Djokowidodo 2006).
Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Suryadi (2006) pemeriksaan pada klien dengan typhoid adalah
pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit
pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadangkadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi
sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam
typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa
faktor:
a.

Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang


lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat
demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap Salmonella thypii terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia
sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella thypii terdapat
dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien
yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh Salmonella thypii,
klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a.
Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman).
b.
Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
c.Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.
5. Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan yang dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi penyakit


demam tifoid lebih dini adalah mendeteksi antigen spesifik dari kuman
Salmonella (lipopolisakarida O9) melalui pemeriksaan IgM Anti Salmonella
(Tubex TF). Pemeriksaan ini lebih spesifik, lebih sensitif, dan lebih praktis
untuk deteksi dini infeksi akibat kuman Salmonella thypii. Keunggulan
pemeriksaan Tubox TF antara lain bisa mendeteksi secara dini infeksi akut
akibat Salmonella thypii, karena antibody IgM muncul pada hari ke 3
terjadinya demam. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan
ini mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella (lebih
dari 95%). Keunggulan lain hanya dibutuhkan sampel darah sedikit, dan
hasil dapat diperoleh lebih cepat,
Pemeriksaan Penunjang menurut Doenges (1999):
a. Contoh feses (pemeriksaan digunakan dalam diagnosa awal dan selama
kemajuan penyakit). Terutama yang mengandung mukosa, darah, pus, dan
organisme.
b. Protoksigmoitoskopi: Memperlihatkan ulkus, edema, hyperemia, dan
inflamasi (akibat infeksi sekunder mukosa dan submukosa). Area yang
menurun fungsinya dan perdarahan karena nekrosis dan ulkus terjadi pada
85%bagian pada pasien ini.
c. Sitologi dan biopsy rectal: Membedakan antara proses infeksi dan
karsinoma (terjadi 10-20 kali lebih sering dari pada populasi umum ).
Perubhan neoplastik dapat dideteksi, juga karakter infiltrate inflamasi yang
disebut abses lapisan bawah.
d. Enema barium: Dapat dilakukan

setelah

pemeriksaan

visualisasi

dilakukan,meskipun jarang dilakukan selama akut, tahap kambuh, karena


dapat membuat kondisi eksaserbasi.
e. Kolonoskopi: Mengidentifikasi adesi,

perubahan

lumen

dinding

(menyempit/tak teratur), menunjukan obstruksi usus.


f. Darah lengkap: dapat menunjukan anemia hiperkronik (penyakit aktif umum
terjadi sehubungan dengan kehilangan darah dan kekurangan besi),
leukositosis dapat terjadi, khusnya pada kasus berat atau komplikasi dan
pada pasien dengan terapi steroid.
g. Kadar besi serum : rendah karena kehilangan darah.

h. Masa protrombin : Memanjang pada kasus berat karena gangguan faktor


VII dan X disebabkan oleh kekurangan vitamin K.
i. Trombositosis : Dapat terjadi karena proses penyakit inflamasi.
j. Elektrolit : Penurunan kalium dan magnesium umum pada penyakit berat.
k. Kadar bilirubin : Penurunan karena kehilangan protein plasma/gangguan
fungsi hati.
l. Alkali fosfatase

Meningkat,

juga

dengan

kolesterol

serum

dan

hipoproteinemia, menunjukan gangguan funsi hati (misalkan Serosis)


m. Sumsum tulang : Menurun secara umum pada tipe berat/setelah proses
inflamasi panjang
Penatalaksanaan Thypoid
Menurut Mansjoer ( 2008 ), Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih
menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet
dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian
antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid
yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
1. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk
mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan
tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang
a. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
b. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala
meteorismus,

dan

diet

bubur

saring

pada

penderita

dengan

meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan


saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar
c.

meningkatkan keadaan umum danmempercepat proses penyembuhan.


Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan

d.

diare.
Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual
muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat
dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.

e. Pemberian Antimikroba
Obat obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan
tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah
chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara
oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman
salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis
protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek
samping

penggunaan

klorampenikol

adalah

terjadi

agranulositosis.

Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan


yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali
menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama
dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun
pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB
selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara
oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg
SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif
obat obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan
lebih efektif dibandingkan obat obatan lini pertama sebelumnya
(klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole).
Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik,
sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis
dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi

dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini
mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan
keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat
golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier
pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu
seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita
hamil,

kloramfenikol

tidak

dianjurkan

pada

trimester

ke-3

karena

menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey


syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester
pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
Komplikasi Thypoid
Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian,
yaitu :
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama didaerah kuadran kanan bawah yang kemudian
menyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi Kardiovaskuler
Kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis.

b. Komplikasi Darah
Anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi, intravaskuler diseminata,
c.
d.
e.
f.
g.

dan sindrom uremia hemolitik.


Komplikasi Paru
Pneumoni, empiema, dan pleuritis.
Komplikasi Hepar dan Kandung Kemih
Hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi Ginjal
Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
Komplikasi Tulang
Osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
Komplikasi Neuropsikiatrik
Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan
sindrom katatonia.

Pencegahan Thypoid
Pencegahan yang akan dilakukan ditujukan pada orang sehat untuk
mempertahankan kesehatan dan mencegah orang tersebut menderita penyakit
demam typhoid. Menurut Widoyono (2008) terdapat beberapa pencegahan
demam typoid yang dapat dilakukan diantaranya adalah
1. Pemberian imunisasi atau pemberian vaksin. Imunisasi yang diberikan
berupa vaksin yang terbuat dai stain Salmonella typhi yang dilemahkan.
Indikasi pemberian vaksin adalah ditujukan saat berkunjung ke daerah
endemik terjadinya typhoid, orang yang terpapar dengan penderita karier
typhoid, dan petugas laboratorium. Menurut Cahyono (2010) terdapat tiga
jenis vaksin typhoid di Indonesia yaitu:
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Betrna yang tersedia dalam kapsul dan
diminum selang sehari dalam 1 minggu 1 jam sebelum makan. Vaksin
tersebut dapat memproteksi tubuh selama 5 tahun dengan kontra
indikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, dan obat antibiotik.
b. Vaksin parental sel utuh; Typa Bio Farma yang memiliki dua jenis
vaksin yaitu K vaccine dan L vaccine. Kedua vaksin tersebut
mempunyai efek samping berupa demam, nyeri kepala, lesu, dan
adanya edem pada area inj. Kontraindikasi pada demam dan
kehamilan.

c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux yang diberikan


sacara im setiap 3 tahun dengan kontraindikasi pada hipersensitiv, ibu
hamil, ibu menyusui, demam, dan anak umur 2 tahun.
2. Pendidikan kesehatan yang melibatkan instansi setempat mengenai higiene
perorangan

dan

linkungan,

dengan

bertujuan

untuk

meningkatkan

kesehatan yaitu:
a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan, serta
sesudahBAB (Buang AirBesar).
b. Tidak BAK dan BAB disembarang tempat.
c. Membiasakan membuang sampah pada tempatnya.
d. Mencuci buah, sayur, dan ikan hingga bersih sebelum di masak atau
dimakan langsung.
e. Mengkonsumsi makan sehat (makanan yang dimasak sendiri dengan
cermat dan bersih. dalam pengolahan dan penyajian makanan sejak
awal pengolahan, pendinginan, hingga disajikan).
f. Memperbaiki sanitasi dengan baik untuk mencegah kontaminasi
makanan dan air oleh kuman atau bakteri salmonella.
g. Memasak daging dan telur sampai matang agar tidak ada kuman yang
dapat menginfeksi.
h. Menutup hidangan makanan agar terhindar dari lalat dan kontaminasi
bakteri yang lainnya.

Daftar pustaka
Brunner and Sudart. 2002. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.
Jakarta: EGC.
Cahyono, J.B. Suharjo, R.A. Lusi, dkk. 2010. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah
Penyakit Infeksi. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).

Darmowandowo W. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak:


Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI
Doengoes, Marylin E. 1999. Rencana asuhan keperawatan Edisi III. Jakarta:
EGC.
Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC
Markel E.K, Vaye M. 1981. Medikal Parasitologi. Citra Aditya Bakti
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Rampengan. 2008. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta. EGC.
Surat

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

364/MENKES/SK/V/2006
Suryadi, R. Y. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Semarang: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai