Anda di halaman 1dari 7

Senin, 29 Oktober 2001

Surety Bond dan Kepastian Hukum Penjaminan di Indonesia


Surety bond merupakan suatu produk inovatif perusahaan asuransi sebagai upaya
pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak
atas kepercayaan yang diberikannya pada pihak lain dalam pelaksanaan kontrak yang telah
disepakati oleh mereka.
Ricardo Simanjuntak
Dibaca: 25921 Tanggapan: 2

Jaminan tertulis tersebut akan memberikan kewajiban untuk melakukan pembayaran oleh
pihak asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur)
sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur)
tersebut. Kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau
penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak
asuransi itu sendiri sebagai guarantor atau yang lebih dikenal dengan surety.
Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah, penawaran pengerjaannya
kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender. Umumnya, selalu mensyaratkan
adanya jaminan dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian dan
kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian
yang disepakati.
Begitu pula bila pihak pemberi kerja menyepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang
muka kepada kontraktor dalam memulai pekerjaaannya. Umumnya, pemberi kerja akan
berupaya semaksimal mungkin untuk memproteksi dirinya terhadap resiko kerugian bila
kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan
proyek tersebut seperti yang telah disepakati.
Contoh di atas, tidak saja melulu dilakukan dalam pekerjaan pemborongan yang sering
menggunakan bentuk-bentuk jaminan seperti tender bond, advance payment bond,
performance bond, maintenance bond, tapi juga sebagai jaminan kewajiban importir atas
pembayaran pungutan negara atas impor yang terutang (customs bond).
Dibandingkan dengan bank guarantee, penjaminan atapun garansi yang dikeluarkan oleh
lembaga perbankan, penggunaan surety bond tampaknya kalah populer dalam masyarakat
dunia usaha. Banyak pihak, terutama investor asing, yang belum menunjukkan keyakinan
terhadap kepastian penjaminan dengan menggunakan produk asuransi tersebut.
Bila dikaji lebih dalam, respons positif yang belum begitu kuat muncul dari kalangan pelaku
usaha terhadap penggunaan surety bond tidak selalu disebabkan karena belum gencarnya
sosialisasi ataupun pengiklanan produk penjaminan tersebut oleh kalangan asuransi di
masyarakat. Akan tetapi, lebih disebabkan oleh beberapa kasus ketidakpastian penyelesaian
klaim surety bond itu sendiri.
Dalam banyak kasus, pencairan surety bond tersebut sering sekali sangat bergantung
kepada pernyataan bersalah dari pihak yang dijamin (principal). Padahal belum tentu
pihak tersebut dapat secara gentlemen mengakui kesalahannya. Adanya beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi dalam pencairan surety bond tersebut membuat pasar
tidak begitu baik menyerap inovasi produk penjaminan yang diterbitkan asuransi tersebut.

Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, dari
awal-awal sebenarnya telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety
bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi
secara ketat. Dan malah pada awalnya, Kepres no. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT
Persero Asuransi Jasa Raharja.
Dalam perkembangannya, ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI
(KMK RI) No:761/KMK..013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi. Kemudian
berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. s.2272/DK/2001 tanggal 16 Mei 2001 yang
ditujukan ke Pertamina, ada 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety
bond.
Sementara untuk penerbitan surety bond sebagai penjaminan pembayaran kewajiban importir
terhadap bea impor yang terutang pada negara (custom bond), Menteri Keuangan,
berdasarkan KMKNno.108/KMK.01/1995, hanya memberikan ijin pada 15 perusahaan
asuransi. Artinya, tidak semua perusahaan asuransi yang diperbolehkan oleh KMK RI
No.761/KMK.013/1992 untuk menerbitkan surety bond, dapat menerbitkan surety bond
untuk garansi pembayaran bea impor yang terutang (customs bond).
Dasar hukum penerbitan surety bond
Sebenarnya, KMK RI no. 761/KMK.013/1992 sebagai dasar kewenangan dari perusahaanperusahan yang ditetapkan dapat menerbitkan surety bond dalam pekerjaan-pekerjaan
pemborongan ataupun perdagangan yang dibiayai oleh APBN dan KMK RI No.
108/KMK.01/1995 sebagai dasar wewenang penerbitan customs bond, tidak mengatur
ataupun memberikan penjelasan tentang prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga
penjaminan ataupun tata cara penerbitan penjaminan tersebut secara lengkap. Keputusan
Menteri tersebut lebih mengingatkan dalam konsideransnya agar prinsip-prinsip penerbitan
penjaminan tersebut disesuaikan dengan prinsip-prinsip usaha perasuransian berdasarkan UU
No. 2 tahun 1992.
Prinsip-prinsip penjaminan dalam surety bond itu sendiri sebenarnya telah lama dikenal
dalam KUH Perdata. Jaminan tertulis yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi tersebut
lebih dikenal dengan lembaga penjaminan/penanggungan perorangan (borgtocht) yang
diatur dari mulai Pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata.
Dari definisi penanggungan yang diterangkan oleh Pasal 1820 ditekankan bahwa penjaminan
merupakan persetujuan yang bersifat accesoir yang pelaksanaannya akan sangat bergantung
kepada perjanjian pokok yang mendasari terbitnya perjanjian jaminan tersebut. Artinya, bila
perjanjian pokok yang melatarbelakangi terbitnya surety bond tersebut batal, maka akan
mengakibatkan pula perjanjian surety bond sebagai perjanjian accesoir -nya batal (1821
KUH.Perdata)
Sifat accesoir tersebut sangat penting dipahami oleh perusahaan asuransi sebagai alasan
penerbitan surety bond. Artinya, surety bond tidak bisa diterbitkan begitu saja atau berdiri
sendiri sesuai dengan kebutuhan dari pihak yang membutuhkannya. Akan tetapi, harus
didasarkan oleh adanya perjanjian pokok yang sah dari kedua belah pihak berkontrak
(misalnya antara pemberi kerja (boheer) dengan kontraktor dalam perjanjian pemborongan)
yang membutuhkan diterbitkannya komitmen penanggungan resiko atas kemungkinan tidak

dilaksanakannya prestasi kontraktor seperti yang diperjanjikan para pihak yang berkontrak
dalam kontrak pemborongan tersebut.
Pada dasarnya, pihak pemberi kerja (obligee/kreditur) sangat menginginkan kepastian
hukum dari produk surety bond dalam hal kewajiban penanggungan kerugian harus
direalisasikan sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan oleh
kontraktor
(principal/debitur). Sebagai contoh, adanya hak-hak istimewa yang dimiliki oleh
penanggung, seperti yang diatur dalam KUH Perdata.
Misalnya, tentang hak agar pihak penerima jaminan (obligee) ataupun kreditur terlebih
dahulu melakukan penagihan terhadap debitur utama (principal) sebelum melakukan
penagihan terhadap penanggung dalam hal debitur tersebut wanprestasi. Selain itu, hak-hak
istimewa penanggung lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 1430, 1831,1833,
1834,1837,1838 dan 1850 KUH Perdata adalah pasal-pasal yang tidak diinginkan oleh
penerima jaminan untuk terus melekat pada perusahaan asuransi sebagai penanggung dalam
memenuhi kewajiban (contigency obligation) terhadap obligee/kreditur tersebut.
Dengan pengertian lain, pada saat prestasi kontraktor/principal yang dipertanggungkan
kepada obligee tersebut tidak terlaksana sesuai dengan apa yang disepakati dalam perjanjian
pokok, maka hanya dengan pembuktian bahwa principal tersebut telah wanprestasi,
perusahaan asuransi yang menerbitkan surety bond tersebut harus telah mencairkan ganti
rugi yang dijamin pembayarannya tersebut dengan segera. Halini tanpa terlebih dahulu
mengharuskan obligee mengejar pelunasan dari principal sebagai akibat telah
dikesampingkannya pasal-pasal yang mengatur hak istimewa penanggung tersebut.
Kemampuan ataupun kelayakan dari si penanggung juga akan memegang peranan dari
kualitas perjanjian penanggungan itu sendiri. Pasal 1827 dengan tegas mensyaratkan
kelayakan dari penanggung sebagai berikut: "Si berutang yang diwajibkan memberikan
seorang penanggung, harus memajukan seorang yang mempunyai kecakapan untuk
mengikatkan dirinya yang cukup mampu untuk memenuhi perikatannya, dan yang berdiam
diwilayah Indonesia."
Dalam hal si penanggung adalah perorangan pribadi ataupun perusahaan biasa, maka
performance dari calon penanggung tersebut akan sangat sulit untuk dipastikan. Seorang
kreditur ataupun penerima perjanjian penjaminan tersebut akan sangat bergantung pada
reputasi si penjamin ataupun bila adanya jaminan pihak lain terhadap penjamin tersebut. Hal
ini dimungkinkan oleh Pasal 1823 (2) KUH Perd. Dan dalam prakteknya, si penerima
penjaminan tersebut dapat saja meminta jaminan kebendaan dari si penanggung atas
kesediaannya menjadi penjamin pelaksanaan preastasi dari pihak debitur tersebut.
Dalam hal penerbitan surety bond, kecakapan dan kemampuan dari perusahaan asuransi
yang menerbitkan produk jasa penjaminan tersebut akan sangat menentukan kualitas ataupun
kepercayaan dari pihak penerima surety bond. Oleh karena itu, Menteri Keuangan sebagai
pengawas dan pembina dari industri perasuransian berdasarkan UU. No.2 tahun 1992, tidak
memberikan kewenangan pada semua perusahaan asuransi untuk dapat menerbitkan surety
bond.
Tampaknya, pemerintah hanya masih akan memberikan wewenang untuk dua puluh
perusahaan asuransi sampai saat ini. Dan malah, dalam menerbitkan costoms bond masih
hanya dapat dilakukan oleh lima belas perusahaan asuransi. Itu pun dengan tegas diatur

dalam Pasal 2 KMK RI no. 108/KMK.01/1995 tgl. 13 Maret 1995 bahwa wewenang untuk
menerbitkan customs bond yang diberikan kepada kelima belas perusahaan masih dapat
diubah atau ditinjau kembali berdasarkan penilaian batas tingkat solvabilitas dan kemampuan
pengelolaan teknis dalam penerbitan customs bond.
Akan tetapi, tidak berarti diberikannya hak untuk menerbitkan surety bond hanya pada
perusahaan asuransi yang telah terseleksi seperti yang ditegaskan oleh KMK tersebut
membuat permasalahaan surety bond telah habis. Terbukti keengganan banyak kontraktor,
kreditur ataupun investor, khususnya investor asing, terhadap kepastian penjaminan yang
ditawarkan oleh surety bond tersebut mengharuskan pihak perasuransian melihat ada
permasalahaan lain selain kualitas dan bonafiditas dari perusahaan asuransi tersebut.
Surety bond versus bank garansi
Banyaknya kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh kontraktor dengan dalam
mendapatkan jasa penjaminan surety bond dari perusahaan asuransi dibandingkan dengan
permohonan bank garansi melalui bank, seperti proses permohonan yang lebih cepat, surety
charge (semacam premi) yang lebih murah dibandingkan dengan provisi atas penerbitan bank
garansi, ternyata masih hanya mampu menarik perhatian dari para kontraktor ataupun debitur
yang membutuhkannya.
Sebaliknya, pihak kreditur, pemberi kerja, ataupun obligee masih lebih meyakini bank
garansi sebagai alat penjaminan yang dapat melindungi potensi kerugian yang mungkin
dialaminya apabila kontraktor wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak yang telah mereka
sepakati.
Permasalahan tersebut lebih disebabkan oleh sifat alamiah dari surety bond tersebut sebagai
produk yang ketentuan penerbitannya tidak bisa lepas dari prinsip-prinsip perasuransian,
yang dalam beberapa hal, memberikan kelemahan pada pelaksanaan pencairan klaim surety
bond tersebut dalam hal principal wanprestasi. Persayaratan pengajuan permohonan
penerbitan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang
diajukan untuk penerbitan bank guarantee oleh pihak bank yang penerbitannya harus sejalan
dengan prinsip-prinsip pelaksanaan perbankan yang prudensial.
Adanya ketentuan tentang pelaksanaan 5 C (Character, Capacity, Capability, Capital dan
Collateral) membuat ketergantungan pihak bank terhadap principal lebih kecil dalam hal
harus dilakukannya pencairan bank guarantee tersebut. Bank akan berani hanya melihat
pada alasan-alasan hukum telah terjadinya wanprestasi oleh pihak yang dijamin (principal)
tanpa harus takut hak subrogasinya akan mengalami persoalan bila tidak terlebih dahulu
mendapat pernyataan pengakuan wanprestasi dari principal. Hal ini dapat terjadi karena pada
umumnya Bank telah memegang jaminan yang cukup sebagai kontra garansi terhadap bank
guarantee yang diterbitkannya.
Angka 10 dari SE DIR BI no.23/5/UKU tanggal 28 Februari 1991 menegaskan bahwa dalam
pemberian bank guarantee bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian dan penelaahan
yang pada hakekatnya sama dengan penelaahan yang dilakukan dalam pemberian kredit. Halhal yang harus diteliti tersebut dijelaskan oleh angka 10 tersebut sebagai berikut:
1. Meneliti bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.

2. Meneliti sifat nilai transaksi yang akan dijamin, sehingga dapat diberikan garansi yang
sesuai.
3. Menilai jumlah garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. Menilai kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra garansi sesuai
dengan kemungkinan terjadinya resiko.
Poin 1 sampai dengan 2 dari angka 10 di atas secara prinsip sebenarnya telah dilakukan oleh
perusahaan asuransi sebelum mengabulkan permohonan penerbitan surety bond, walaupun
belum ada term of reference diterbitkan oleh Departemen Keuangan sebagai acuan dari
penilaian poin 1 dan 2 tersebut diatas. Sementara poin 3 sebagai salah satu syarat yang secara
ketat dipatuhi oleh perbankan sehubungan dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK) yang harus diperhitungkan akibat dari kewajiban membayar yang mungkin timbul
(contigent liabilities) tersebut, bagi perusahaan asuransi masih tetap dapat diatasi dengan
mekanisme reasuransi.
Artinya bila Undang-Undang Perbankan no 7 tahun 1992 yang kemudian diperbaiki dengan
UU No.10 tahun 1998, yang menjadi dasar dari Serat Edaran BI tersebut dengan tegas
menolak permohonan penerbitan bank garansi yang jumlah nilai penjaminannya
diperhitungkan akan melabihi BMPK dari bank tersebut, maka bank akan dengan tegas
menolak permohonan tersebut. Sementara bagi pihak asuransi, hal tersebut tidak menjadi
permasalahan dengan adanya pola reasuransi tersebut.
Hal yang mungkin belum dilakukan oleh pihak asuransi adalah pelaksanaan poin 4 dari
persyaratan yang diajukan bank di atas. Poin 4 tentang kontra garansi yang dalam angka 11
SE DIR BI tersebut dijelaskan sebagai berikut: "sehubungan dengan angka 10.4 di atas perlu
dijelaskan bahwa kontra garansi dapat berupa:
1. Kontra garansi dari bank luar negeri yang bonafid.
2. Setoran sebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan
3. Kontra garansi lainnya yaitu kontra garansi yang diperoleh dari pihak yang dijamin dengan
nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang mungkin diderita oleh bank apabila
garansi tersebut pada waktunya direalisir&
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dengan lembaga perasuransian terhadap
penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dengan lembaga asuransi tentang
jaminan (collateral ataupun kontra garansi) sebagai syarat dari penerbitan surat penjaminan
tersebut berbeda. Bank melihat penerbitan dari bank guarantee sebagai bagian dari aktifitas
pemberian kredit yang menimbulkan contigent liabilities, menerapkan syarat pemberian
kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank guarantee yang diberikannya.
Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak dapat melihat hal ini sebagai kredit atas
keterbatasan bidang usaha sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety dalam
hal terjadinya klaim pencairan surety bond dari pihak obligee.

Di sisi lain, upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan
mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity
agreement) hampir tidak memberikan perbedaan apa-apa. Karena walaupun indemnity
agreement tersebut tidak ditandatangani, hak subrogasi dari perusahaan asuransi untuk
mendapatkan penggantian dari debitur atas telah diselesaikannya kewajiban debitur
tersebut kepada obligee adalah merupakan hak yang timbul demi hukum (lihat pasal 1402
ayat 3 di atas). Artinya tanpa adanya indemnity agreement tersebut, perusahaan asuransi
tetap dapat melaksanakan hak subrogasinya.
Tentu saja upaya pengajuan hak subrogasi terhadap principal tidak selalu dapat
terlaksana dengan mulus. Karena, debitur sering dengan niat tidak baik hendak
melepaskan diri dari kewajibannya terhadap perusahaan asuransi tersebut. Sayangnya,
sikap dari perusahaan asuransi lebih cenderung pada posisi yang koperatif dengan
principal dan selalu menekankan pelaksanaan prestasi untuk pencairan klaim surety bond
berdasarkan adanya pernyataan ataupun statement wanprestasi dari principal, yang bagi
kalangan yang menerima jaminan/obligeee/kreditur keadaan ini melambangkan
ketidakpastian hukum dari surety bond itu sendiri.
Kelebihan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi terhadap produk jasa surety bond
melalui kemudahan-kemudahan aplikasi serta juga murahnya biaya penerbitannya, hanya
masih memberikan sisi-sisi positif pada applicant yang mungkin sangat kesulitan memenuhi
persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh bank dalam penerbitan bank guarantee.
Akan tetapi, muaranya tentu saja bagaimana surety bond tersebut memberikan kepastian atau
kepercayaan pada pihak yang menerima surety bond tersebut sebagai mekanisme
penjaminan. Ketidakpastian pencaiaran surety bond tersebutlah yang menjadi permasalahan
bagi para obligee untuk menerima surety bond sebagai alat penjaminan oleh perusahaan
asuransi.
Tentu saja hal ini harus mendapatkan kajian yang serius dari pihak asuransi agar surety
bond yang diterbitkannya dapat diterima oleh kalangan dunia usaha. Kalaupun misalnya
perusahaan asuransi tidak dapat meminta collateral sebagai jaminan dari principal atas
diterbitkannya surety bond tersebut, paling tidak harus ada upaya untuk mengurangi
ketergantungan prestasi asuransi tersebut terhadap sikap debitur/principal yang sering
sekali sangat sulit untuk mengakui kesalahahan yang dilakukannya.
Konkretnya, harus ada ketegasan dimasukkannya prinsip irrevocable (surety bond yang telah
diterbitkan tidak dapat ditarik kembali) dan prinsip unconditional (pembayaran tanpa syarat)
dalam hal telah terjadinya wanprestasi. Ini perlu dalam upaya menjamin posisi hukum
perusahaan asuransi penerbit dalam hal terjadinya klaim pencairan surety bond akibat dari
wanprestasi debitur. Contohnya: sebelum menerbitkan surety bond, pihak asuransi harus
terlebih dahulu menganalisa perjanjian pokok yang mendasari terbitnya penjaminan tersebut.
Dalam perjanjian pokok tersebut, harus sangat jelas diatur tentang syarat-syarat
terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak. Syarat-syarat ini secara tegas memberikan
hak bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan pemutusan kontrak dan bahkan
menuntut ganti rugi atas tidak dilaksanakannya perikatan-perikatan dalam kontrak utama
tersebut. Hak untuk pemutusan kontrak tersebut haruslah mengecualikan Pasal 1266 dan
Pasal 1267 KUH Perdata yang dengan pengecualian pasal tersebut, pemutusan kontrak
yang terjadi akibat dari terjadinya wanprestasi tidak harus dilakukan melalui pengadilan.

Penegasan hal-hal yang disebut dalam paragraf di atas akan memberikan posisi yang lebih
kuat bagi perusahaan asuransi pada dua sisi sekaligus. Pihak asuransi akan dengan cepat
dapat merespons klaim pencairan dari obligee. Sementara di sisi lain, hak hukum dari
perusahaan asuransi untuk meminta penggatian (subrogasi) terhadap principal/ debitur utama
menjadi lebih kuat.
Penerapan pada empat poin di atas secara tegas akan meningkatkan kepastian hukum dari
pihak asuransi untuk melakukan pencairan surety bond tersebut dalam hal telah terjadinya
wanprestasi tanpa takut hak subrogasinya mendapat tantangan dari principal. Empat poin itu
adalah pengesampingan hak istimewa penanggung seperti yang diatur dalam KUH perdata,
penegasan sifat irrecovable dan unconditional terhadap surety bond, penegasan tahap-tahap
ataupun alasan-alasan terjadinya wanprestasi dalam kontrak utama, dan pencantuman secara
tegas pengecualian pasal 1266 dan 1267 KUH perdata pada kontrak utama. Keadaan ini tentu
saja akan menaikkan reputasi dari surety bond di kalangan dunia usaha.
Konflik surety bond dan Pengadilan Niaga
Adanya potensi konflik yang disebabkan oleh permasalahan dalam pencairan surety bond
tidak saja akan memberikan efek kurangnya kepercayaan pelaku usaha terhadap produk
penjaminan yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi tersebut. Akan tetapi, juga potensi
perusahaan asuransi sebagai penerbit untuk diperkarakan di depan pengadilan.
Dengan hadirnya Pengadilan Niaga, umumnya obligee yang merasa telah mempunyai hak
untuk mengklaim pencairan dari surety bond tersebut akan mengambil tindakan hukum
dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi yang
menerbitkan penjaminan tersebut. Perkara serupa telah pernah diajukan kepada salah
satu perusahaan asuransi milik negara atas tidak dicairkannya surety bond yang
digunakan untuk menjamin promissory notes yang diterbitkan oleh principal.
Contoh di atas harus menjadi perhatian penting dunia asuransi. Karena potensi permohonan
pailit yang menurut UU no. 4 tahun 1998 dapat diajukan secara langsung pada perusahaan
asuransi, tidak selalu disebabkan oleh konflik antara penanggung dan tertanggung dalam
konteks perjanjian asuransi seperti yang diatur dalam Pasal 246 dan 247 KUH Dagang serta
UU. No. 2 tahun 1992.
Ricardo Simanjuntak, SH.LL.M. adalah pengamat hukum bisnis dam advokat di Firma
Hukum Gani Djemat & Partner

Anda mungkin juga menyukai