Anda di halaman 1dari 2

KHALWAT SEBAGAI PROBLEM SOSIAL SYARIAT

Dalam rangka menjaga fitrah wanita, Islam menganjurkan agar wanita hendaknya lebih banyak

tinggal di rumah (QS. al-Ahzab [33]: 33). Anjuran ini sebagai langkah preventif Islam untuk

mencegah terjadinya banyak fitnah yang dapat timbul akibat berbaurnya antara dua jenis

kelamin, pria dan wanita, di luar rumah. Apalagi karena pria memang harus lebih banyak aktif di

luar rumah demi menunaikan tugas pokoknya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Demikian

tuntunan dasar kehidupan menurut Islam.

Namun, dalam kondisi tertentu, wanita kerap terpaksa harus keluar rumah. Baik itu karena
kondisi hajah (kebutuhan) atau dharurah (terpaksa). Hajah seperti keluar rumah untuk
silaturahim, belajar, atau karena keaktivan dalam kegiatan dakwah. Sedangkan dharurah adalah
seperti keluarnya wanita untuk keperluan berobat ke dokter atau wanita yang terpaksa mencari
nafkah karena desakan ekonomi yang menghimpit.

Islam sendiri, pada dasarnya, memberi kelonggaran kepada wanita Muslimah untuk
keluar rumah jika kondisinya memang menuntut untuk itu. Baik itu karena kebutuhan atau karena
terpaksa. Pembolehan ini berlaku sepanjang adab-adab keluar rumah tetap dijaga dan dipelihara.
Adab-adab yang dimaksud antara lain mencakup menghindari pemakaian parfum, tidak memakai
pakaian dengan warna yang mencolok sehingga mengundang perhatian, kain pakaian
hendaknya yang tebal dan longgar sehingga tidak menampakkan lekuk tubuh, menutup aurat,
tidak menyerupai pakaian pria, dll. Dengan demikian, kebutuhan si wanita, di satu sisi, tetap
dapat terpenuhi; dan di sisi lain, dampak negatif yang mungkin timbul dari keluarnya si wanita
dari rumah, sedemikian rupa, juga dapat dieliminir.

Di antara adab yang penting untuk diperhatikan dalam hubungan antara pria dan wanita,
khususnya bagi yang tidak memiliki hubungan mahram antara keduanya, adalah menghindari
khalwat.

Apakah khalwat itu? Khalwat (khalwah) dalam bahasa Arab berarti berdua di suatu tempat
dimana tidak ada orang lain. Maksud dari tidak adanya orang lain dalam hal ini mencakup: (1)
tidak ada orang lain sama sekali; atau (2) ada orang lain dan keberadaan keduanya kelihatan
tetapi pembicaraan antara keduanya tidak dapat didengar oleh orang itu. Inilah makna khalwat
secara bahasa. Menurut al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait), makna
bahasa sebagaimana dipaparkan di atas semakna dengan terminologi khalwat menurut ahli-ahli
fiqh Islam. Dengan kata lain tidak ada perbedaan untuk kata khalwat antara makna bahasa dan
makna istilah syar’i.

Lebih lanjut Syekh Abdullah al-Bassam menyebut dua bentuk khalwat. Pertama, mughallazhah
(berat), ialah berduanya seorang pria dan wanita di suatu tempat yang mana keduanya tidak
dilihat oleh orang lain. Kedua, mukhaffafah (ringan), yaitu berduanya seorang pria dan wanita di
tengah-tengah manusia sehingga keduanya kelihatan namun percakapan antara keduanya tidak
dapat didengar oleh orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang khalwat. Sabda beliau: “Janganlah sekali-kali
seorang pria berduaan dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah syetan.” (HR.
Ahmad dengan sanad yang shahih) Tidak bisa dipungkiri bahwa berduanya seorang pria dengan
wanita yang bukan mahramnya sangat potensial membuka peluang terjadinya fitnah. Kendati
boleh jadi keduanya tidak memiliki niat jahat. Oleh sebab itu, hadits di atas dengan tegas
melarang perbuatan tersebut.

Dengan merujuk kepada makna khalwat di atas maka banyak fenomena khalwat yang dapat
dikemukakan. Terutama khalwat yang umumnya kurang diperhatikan oleh masyarakat kita.
Contohnya adalah berduanya seorang pria dengan wanita di atas kendaraan. Walaupun pria
tersebut sedang mengemudikan mobil, misalnya. Keberadaan keduanya di atas mobil memang
kelihatan oleh orang lain. Tetapi pembicaraan antara keduanya tidak didengar oleh siapapun.

Termasuk dalam kategori perbuatan khlawat adalah “khalwat profesi”. Yaitu khalwat yang terjadi
karena “tuntutan” profesi. Konsultan, dokter, perawat, adalah sebagian contoh. Profesi-profesi ini
rentan untuk bisa berdua dengan klien atau pasiennya.

Tidak terkecuali pula, dalam konteks khalwat ini, yang kerap terjadi dalam sebagian masyarakat
adalah khalwat dalam pergaulan dengan kerabat dekat yang bukan mahram. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah kalian masuk ke (ruang)
wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan kerabat suami?”
Beliau menjawab: “Kerabat suami itu (laksana) maut.” (HR. Bukhari) Dalam hadits ini, Rasulullah
menyebut kerabat suami sebagai maut karena dapat menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak
dikehendaki. Apalagi jika mengingat kedudukan keluarga suami yang demikian dekat sehingga
jarang menimbulkan kecurigaan dan luput dari perhatian.

Sebagai solusi untuk keluar dari problem khalwat ini adalah dengan bersama dengan pria atau
wanita lain. Demikian menurut Imam Abu Hanifah. Lebih baik lagi jika pria atau wanita tersebut
adalah mahram. “Janganlah seorang lelaki berdua dengan seorang wanita,” Sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “kecuali dengan mahram.” (HR. Bukhari) Hadits ini bersama hadits-
hadits yang lain memberi makna bahwa kondisi khalwat dapat dihilangkan dengan kehadiran
salah satu lawan jenis lain. Dengan demikian, hilanglah kondisi khalwat yang dapat menimbulkan
fitnah. Tentu saja bila komunikasi atau berkumpulnya antara pria dan wanita tersebut dalam
perkara-perkara yang mubah dan dengan tetap menjaga batasan-batasan syariat yang ada.

Jika dikaitkan dengan maqashid al-syari’ah (tujuan syariat) yang salah satunya adalah hifzh al-
nasab (menjaga nasab/keturunan), tampak jelas relevansi dan hikmah tuntunan syariat untuk
menghindari khalwat. Keinginan Islam untuk menciptakan jalinan masyarakat yang harmonis,
bersih dari penyimpangan, dan berjalan di atas fitrah yang murni adalah sebagian hikmah di balik
larangan khalwat ini. Wallahu ta’ala a’lam bi al-shawab. (Oleh Ust.Ilham Jaya,Lc.Dikutip dari
Majalah Dakwah Kampus AL FIRDAUS)

Maraji’

- Abdullah ibn Abdurrahman al-Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram.

- Shalih ibn Fauzan al-Fauzan, Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtassh bi al-Mu’minat. Diterjemahkan
oleh Rahmat al-“Arifin Muhammad ibn Ma’ruf dengan Sentuhan Nilai Kefikihan untuk Wanita
Beriman.

- Ahmad ibn Abdurrazzaq al-Duwaisy (ed.), Fatawa al-Lajnah al-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyah
wa al-Ifta’.

- Asyraf ibn Abdulmaqshud (ed.), Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah.

Anda mungkin juga menyukai