Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Bakang
Tanatologi adalah bagian dari ilmu forensik yang mempelajari kematian
dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhinya.
Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting dalam ilmu
kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et
repertum).
Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah
meninggal dunia. Perubahan perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan
menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat (early) dan perubahan yang
terjadi secara lambat (late). Perubahan yang terjadi secara cepat antara lain henti
jantung, henti nafas, perubahan pada mata, suhu dan kulit. Sedangkan perubahan
yang terjadi secara lanjut antara lain kaku mayat, pembusukan, penyabunan dan
mummifikasi.
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah
seseorang benar benar sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian,
sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk
kepentingan donor atau transplantasi dan untuk membedakan perubahanperubahan yang terjadi post mortal dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada
waktu korban masih hidup.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari kematian dan perubahan yang
terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting dalam ilmu
kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et
repertum).
2.2 Jenis-Jenis Kematian
Jenis kematian ada 5 yaitu :
a. Mati klinis / somatis
- Terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga system penunjang
-

kehidupan yaitu sistem pernafasan, kardiovaskuler, dan persarafan


Ditandai dengan tidak adanya gerakan, refleks-refleks, EEG
mendatar selama 5 menit, serta tidak berfungsinya jantung dan

paru-paru.
Organ organ belum tentu mati, masih bisa dimanfaatkan untuk

transplantasi.
b. Mati suri (apparent death)
- keadaan yang mirip dengan kematian somatis, akan tetapi gangguan
yang terdapat pada ketiga sistem bersifat sementara.
Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,

tersengat aliran listrik dan tenggelam.


c. Mati seluler / molekuler
- Proses kematian organ/ jaringan setelah mati klinis.
- Waktu kematian tiap jaringan / organ berbeda. Otak merupakan
organ yang paling sensitif yaitu sekitar 3-5 menit. Jaringan otot
akan mengalami mati seluler setelah 4 jam dan kornea masih dapat
diambil dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang dinyatakan
-

mati somatis.
Penentuan mati seluler ini terutama penting dalam hal transplantasi

organ.
d. Mati cerebral
- Yaitu proses kematian yang ditandai dengan kerusakan kedua
hemisfer otak dan serebellum, sedangkan kedua system penunjang
2

lainnya yaitu pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi


dengan bantuan alat
e. Mati otak
- Bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intracranial yang
ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum
2.3 Manfaat Tanatologi
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :
a. Waktu kematian
b. Sebab kematian pasti
Contoh : keracunan CO akan terdapat kulit merah terang (terjadi
perubahan warna kulit)
c. Cara kematian (homocide, suicide, accident)
d. Transplantasi (donor organ)
Syarat:
- Ada izin dari korban/ keluarganya
- Sudah meninggal
2.4 Diagnosa Kematian
Untuk mendiagnosa perubahan cepat dari kematian digunakan beberapa
alat antara lain stetoskop, lampu senter, palu reflek, EEG, dan ECG.
Prinsipnya adalah mendeteksi traktus respiratorius dan denyut jantung.
Beberapa tes yang dapat digunakan adalah :
a. Tes kardiovaskuler.
1. Magnus test.
Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya
dengan mengikat/menutup ujung jari korban dengan karet, lalu
dilepaskan, maka tidak tampak adanya perubahan warna dari pucat
2.

menjadi merah.
Diaphonos test.
Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan

3.

tidak terlihat ada sirkulasi (warna merah terang).


Fluorescin test.
Caranya dengan menyuntikkan zat warna fluorescin maka zat warna
fluorescin akan terlokalisir di tempat suntikan karena tidak ada aliran

4.

darah.
Tes lilin.

Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi
vasodilatasi (hiperemi) sebagai reaksi terhadap rangsang panas
karena sirkulasi tidak ada.
5. EKG dan Stetoskop.
b. Tes pernafasan.
1. Kaca.
Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau
2.

mulut korban.
Bulu-bulu halus.
Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan

3.

di depan hidung korban.


Winslow test
Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu
nafasnya) dengan cara menempatkan cermin di dada korban dan
disinari dengan lampu senter. Bila bernafas maka sinar lampu senter
akan ikut bergerak dengan syarat pemeriksa tidak boleh bergerak.
Atau bisa menggunakan baskom berisi air yang akan bergerak bila
ada pergerakan di dada.

4.

Stetoskop.

c. Tes Saraf
1. Memeriksa reflex : reflex kornea
2. EEG
2.5 Perubahan-perubahan yang Terjadi Setelah Kematian
Ada 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat
(late).
Perubahan cepat (early) :
-

Tidak adanya gerakan.


Jantung tidak berdenyut (henti jantung).
Paru-paru tidak bergerak (henti nafas).
Kulit dingin dan turgornya menurun.
Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.
Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal

lividity).
Lebam mayat.

Perubahan lambat (late) ;


-

Kaku mayat (post mortal rigidity).


Pembusukan (decomposition).
4

Penyabunan (adipocera).
Mummifikasi.

a. Perubahan Mata
Perubahan mata setelah kematian dapat berupa :
-

Hilangnya refleks kornea, refleks konjungtiva, dan refleks cahaya.


Kornea menjadi pucat / opaque / keruh.
Kelopak mata biasanya tertutup setelah kematian karena kekakuan
primer dari otot tetapi kekakuan otot biasanya sukar untuk membuat mata
menutup menjadi lengkap sehingga akan tampak sklera, sel debris,
mukus dan debu dalam beberapa jam kematian, menjadi merah
kecoklatan dan kemudian menjadi hitam (Taches Noire De La
Sclerotique). Kecepatan kekeruhan dipengaruhi oleh :
Waktu kematian keadaan matanya menutup atau membuka (bila
menutup maka kekeruhan lambat terjadi, tapi bila membuka, maka

kekeruhan akan cepat terjadi akibat kontak dengan luar).


Kelembapan udara (bila lembab maka kekeruhan lambat, bila kering /
angin kencang maka kekeruhan cepat terjadi).
Faktor faktor penyebab kematian lainnya seperti :
Apoplaxia (perdarahan karena hipertensi) akan tampak kornea

terang karena terjadi perdarahan retina.


Keracunan sianida dan CO maka kekeruhan akan cepat terjadi.
Kematian kurang dari 1 jam, otot otot mata masih hidup

sehingga bisa ditetesi atropin akan terjadi midriasis pupil.


Tekanan intraokuler tidak ada. Tekanan intraokuler menurun dengan

cepat setelah kematian tergantung dari tekanan darah arteri.


Bola mata menjadi lunak dan cenderung untuk masuk ke dalam fossa
orbital. Bila jantung berhenti berdetak, tekanan menurun sekitar setengah
sampai satu jam setelah kematian dan menjadi nol setelah 2 jam setelah

kematian.
Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah kalium

yang keluar berhubungan dengan waktu kematian).


Kedudukan pupil. Refleks cahaya menghilang segera saat nukleus batang
otak mengalami iskemik. Iris mengandung jaringan otot yang banyak
sehingga kehilangan tonus dengan cepat dan iris biasanya relaksasi.

Perubahan pembuluh darah retina melalui pemeriksaan ophtalmoskop


retina akan dapat menentukan satu tanda pasti kematian awal. Setelah
mati, aliran darah pembuluh darah retina menjadi segmen seiring dengan
tekanan darah yang hilang menyebabkan aliran darah terbagi menjadi

beberapa segmen.
b. Perubahan Kulit
Perubahan yang terjadi pada kulit setelah kematian dapat berupa :
-

Kulit menjadi pucat. Karena sirkulasi darah berhenti setelah kematian,


darah merembes keluar dari pembuluh darah kecil sehingga kulit tampak
pucat. Kulit menjadi pucat, bewarna putih abu dan kehilangan

elastisitasnya.
Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.
Sehingga bisa menetapkan apakah luka pada tubuh korban didapat
intravital atau post mortem, yaitu :
Luka pada intravital akan berbekas dengan ukuran lebih kecil
daripada ukuran senjata, dermis berwarna merah, antara epidermis

dan dermis masih ada perekatnya.


Luka post mortem membekas dengan ukuran lebih besar daripada
ukuran senjata, bahkan menganga, dermis pucat, epidermis lebih

mudah mengelupas.
Pada kasus tenggelam, kulit tangan keriput (washer woman hand).
Jika terjadi pada ujung jari saja maka kematian 4 jam yang lalu.
Jika terjadi pada telapak tangan dan seluruh jari maka kematian 24

jam yang lalu.


Jari tangan yang sudah terlepas digunakan untuk sidik jari.

c. Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis / Post Mortem Cooling)


Terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai tercapai keadaan
dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Berdasarkan penelitian,
kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk kurva sigmoid, dimana pada
jam jam penurunan suhu akan berlangsung lambat, demikian pula bila
suhu tubuh mayat telah mendekati suhu tubuh lingkungan.
Penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi
kematian

yang

mencurigakan,

kecuali

dimana

tampak

luar

mengindikasikan bahwa tubuh sudah didinginkan oleh suhu sekitarnya.


Penurunan suhu tubuh post mortem dapat minimal atau bahkan tidak ada
pada iklim yang sangat panas sekali, mayat mungkin dapat menghangat
setelah mati.
Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu mayat :
- Temperatur dari tubuh saat mati.
Dalam beberapa kasus, seperti kematian karena asfiksia, emboli lemak dan
air, heat stroke, beberapa infeksi, reaksi obat, perdarahan cerebral, atau
saat tubuh ditinggalkan berada di dekat api atau saat tubuh berada dalam
bak mandi hangat, maka temperatur akan meningkat. Sebaliknya penyakit
degenerasi seperti cholera, gagal jantung kongestif, paparan terhadap suhu
dingin, perdarahan banyak, maka temperatur akan menurun.
- Perbedaan temperatur tubuh dan lingkungan.
Pada daerah dingin, penurunan suhu paling sedikit 1,5 derajat Fahrenheit
per jam dan pada daerah tropis, penurunan suhu paling sedikit 0,75 derajat
Fahrenheit per jam. Selain itu, didalam air, kehilangan suhu melalui
konduksi dan konveksi. Pada kasus udara, kehilangan suhu dapat melalui
konduksi (saat bagian dari badan bersentuhan dengan tanah atau suatu
material), konveksi (evaporasi dari cairan tubuh) dan sebagian radiasi.
Flora normal atau belatung dapat meningkatkan temperatur tubuh.
- Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.
Tebalnya jaringan lemak dan jaringan otot serta ketebalan pakaian yang
menutupi tubuh mayat akan mempengaruhi kecepatan penurunan suhu.
Konduksi dan konveksi secara signifikan diturunkan oleh adanya pakaian.
Pakaian yang terbuat dari sutera, wol, atau serat sintetik berperan dalam
menurunkan suhu. Pakaian basah akan mempercepat pendinginan karena
terdapat uptake panas untuk evaporasi.
- Ukuran tubuh.
Anak anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami
pendinginan yang lebih cepat daripada orang dewasa yang berukuran lebih
besar. Jumlah dari lemak subkutan dan lemak preperitoneal berperan
dalam menentukan cepat lambatnya proses pendinginan. Tubuh seorang

yang kurus akan lebih cepat mendingin karena luas permukaan tubuhnya
yang kecil dan kurangnya lemak.
- Aliran udara dan kelembapan.
Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam
beberapa kondisi, udara hangat biasanya menyelimuti permukaan tubuh
dengan demikian akan memblok perubahan temperatur. Udara yang
lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding yang kering.
- Post mortem caloricity.
Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati
sebagai pengganti akibat pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses
glikogenolisis post mortem yang berlangsung pada kebanyakan tubuh
sesudah mati, dapat memproduksi kira kira 140 kalori yang akan
meningkatkan suhu tubuh temperatur 2 derajat celcius.
Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu
lingkungan sebesar 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai
berikut :
Saat Kematian = 98,6 o F Suhu Rektal
1,5
Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C
per jam 6 jam pertama, 1 o F jam 6 kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah
12 jam mencapai suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit).
Sedangkan untuk organ organ dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu
lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6 jam sudah mencapai suhu
lingkungan.
d. Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)
Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang
cukup jelas. Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem
lividity, post mortem staining, sugillations, vibices, dan lain lain. Kata
hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau
bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh
pembuluh darah kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah.

Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat kematian, darah


mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area
terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah
keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah.
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian
somatis atau segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan.
Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan secara berangsur
angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area
yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan
lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak
akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya,
pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia,
kehilangan darah akut, dan lain lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah.
Darah akan mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden death
dimana otopsi dilakukan antara 1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin akan
hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak adanya fibrinogen pada darah
post mortem akan menyebabkan tidak terjadinya koagulasi spontan.
Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya bertindak pada fibrin,
bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya
pada bekuan yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan
bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk oleh sel endotel dalam
pembuluh darah.
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian.
Dengan posisi berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian
posterior bergantung pada areanya seperti daerah lumbal, posterior abdomen,
bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari anggota tubuh atas, dan
permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah. Area area ini disebut juga
areas of contact flattening.
Dalam kasus gantung diri, lebam akan terjadi pada daerah tungkai bawah,
genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika penggantungan ini lama,

akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang cukup untuk


menyebabkan ruptur kapiler subkutan dan membentuk perdarahan petekiae
pada kulit. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa ditemukan pada wajah,
bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan tungkai bawah karena pada
saat tubuh mengambang, bagian perut lebih ringan karena akumulasi gas
yang cukup banyak kuat dibanding melawan kepala atau bahu yang lebih
berat. Ekstremitas badan akan menggantung secara pasif. Jika tubuh
mengalami perubahan posisi karena adanya perubahan aliran air, maka lebam
tidak akan terbentuk.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat.
Pertama tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada
pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi tubuh terendah
dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai
terkumpul pada bagian bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga
hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena
terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain
itu dikarenakan bertimbunnya sel sel darah dalam jumlah cukupbanyak
sehingga sulit berpindah lagi.
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada
tingkat oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna
lainnya dapat mencakup:
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.
- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium
chlorate, potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain lain.
- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.
- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan
berada didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak
pink muda kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari oxyhemoglobin
pada jaringan.
- Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena
kadar oksi hemoglobin (HbO2) yang tinggi.

10

Perbedaan antara lebam mayat dan memar


Saat pembusukan sudah terjadi, perbedaannya akan semakin sulit karena
terjadi hemolisis darah dan difusi pigmen ke dalam jaringan sekitarnya. Saat
pembusukan berlangsung, lebam akan menjadi gelap, berubah menjadi coklat
kemudian hijau sebelum hilang seiring hancurnya sel darah.

Lokasi
Permukaan
Batas
Warna

Lebam Mayat
Bagian tubuh terbawah
Tidak menimbul
Tegas
Kebiru biruan atau

Memar
Dimana saja
Bisa menimbul
Tidak tegas
Diawali dengan

merah keunguan, warna yang

lama

merah

kelamaan

spesifik pada kematian berubah

seiring

Penyebab

karena kasus keracunan


Distensi kapiler vena

bertambahnya waktu
Ekstravasasi darah dari

Efek penekanan

Bila

Bila dipotong

memucat
Akan terlihat darah yang Terlihat perdarahan pada

kapiler
akan Tidak ada efek penekanan

ditekan

terjebak antara pembuluh jaringan dengan adanya


darah,

tetesan

akan koagulasi atau darah cair

perlahan lahan
Mikroskopis

Enzimatik

yang

berasal

dari

pembuluh yang ruptur


Unsur darah ditemukan Unsur darah ditemukan
diantara pembuluh darah diluar

pembuluh

darah

dan

tampak

bukti

tidak

terdapat dan

peradangan
Tidak ada perubahan

peradangan
Perubahan

level

dari

enzim pada daerah yang


terlibat
waktu Memperkirakan

Kepentingan

Memperkirakan

cedera,

medicolegal

kematian dan posisi saat senjata yang digunakan


mati

11

e. Kaku Mayat (Rigor Mortis / Post Mortem Stiffening)


Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang
kadang kadang disertai dengan sedikit pemendekkan serabut otot, yang
terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi primer.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai
puncaknya setelah 10 12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama
24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan
urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot otot wajah, leher, lengan, dada,
perut, dan tungkai.
Kekakuan pertama ditemukan pada otot otot kecil, bukan karena itu terjadi
pertama kali disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas, seperti
contohnya tulang rahang yang lebih mudah diimobilisasi.
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk memecah ADP menjadi
ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur.
Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi,
aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor faktor yang
mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu
tubuh yang tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot otot kecil dan suhu
lingkungan yang tinggi. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa
persendian. Kaku mayat mulai tampak kira kira 2 jam setelah mati klinis,
dimulai dari bagian luar tubuh (otot otot kecil) ke arah dalam (sentripetal).
Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal.
Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku
mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum
terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat
terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :
- Fase pertama

12

Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh
yang mati akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan ATP
tersebut diresintesa dari cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat
yang cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan
yang kuat sebelum mati, seperti mati saat terjadi serangan epilepsi atau
spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.
- Fase kedua
Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk
saat konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan lengkap
jika berada dibawah 15%.
- Fase ketiga
Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.
- Fase keempat
Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi
lemas. Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses denaturasi
dari enzim pada otot.
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis
adalah dengan melakukan fleksi atau ekstensi pada persendian tersebut.
Rigor Mortis Pada Jaringan Tubuh
Kekakuan juga terjadi pada seluruh jaringan muskular dan organ sama seperti
terjadi pada otot skelet. Kekakuan dapat terjadi tidak sama pada tiap mata,
membuat letak pupil tidak sama, hal ini memastikan bahwa posisi post
mortem menjadi indikator yang tidak dapat dipercaya pada kondisi toksik
atau neurologis selama hidup.
Pada jantung, kekakuan menyebabkan kontraksi ventrikel, yang menyerupai
pembesaran ventrikel kiri, hal ini dapat dihindari dengan pengukuran berat
total, menilai ukuran normal jantung kiri, mengukur ketebalan ventrikel, dan
yang paling penting dengan pembedahan dan membandingkan berat kedua
ventrikel.
Kekakuan muskulus dartos pada skrotum dapat menghimpit testes dan
epididimis, dimana akan membuat kontraksi serabut otot vesikula seminalis
dan prostat menyebabkan terjadinya ekstrusi semen dari uretra eksterna pada
post mortem.

13

Kekakuan pada muskulus erector pili yang menempel pada folikel rambut
dapat mengakibatkan gambaran dengan elevasi dari folikel rambut (goose
flesh appearence).
Proses Biokimiawi yang Terjadi Pada Rigor Mortis
Szent Gyorgi (1947) menemukan bahwa substansi kontraktil essensial pada
otot adalah protein actin dan miosin. Energi ini didapat dengan membagi
kompleks fosfat dari ADP menjadi ATP (Erdos, 1943). Gugus fosfat yang
bebas akan membentuk reaksi fosforilasi yang mengubah glikogen menjadi
asam laktat. ADP dibentuk kembali dengan meresintesa ATP dengan
tambahan kreatin fosfat.
Sebagai tambahan untuk persediaan energi, ATP bertanggung jawab terhadap
kekenyalan otot. Asam laktat disaring kembali masuk kedalam peredaran
darah dan kembali ke hati untuk dikonversikan kembali menjadi glikogen.
Semua reaksi ini anaerob dan dapat berlanjut setelah kematian.
Saat hidup, terdapat konsentrasi ATP yang konstan pada jaringan otot,
terdapat keseimbangan antara penggunaan dan resintesis ATP. Saat mati,
bagaimanapun reaksi perubahan ADP menjadi ATP berhenti dan kadar
trifosfat berangsur angsur berkurang dengan akumulasi asam laktat.
Sesudah beberapa waktu, bergantung pada temperatur dan jumlah ATP yang
tersisa, aktin dan miosin berikatan, mengakibatkan otot menjadi kaku sebagai
akibat timbulnya kekakuan pada otot (Bate Smith and Bendall, 1947)
Resintesis ATP bergantung pada ketersediaan glikogen, dimana akan
dikurangi dengan adanya aktifitas berat sebelum mati. Secara normal, hal ini
muncul pada periode awal setelah kematian dimana tingkat ATP
dipertahankan atau bahkan meningkat sebagai hasil dari pembebasan fosfat
oleh proses glikogenolisis.
Kekakuan dimulai saat konsentrasi ATP turun menjadi 85% dari normal, dan
kekakuan otot akan maksimal saat kadar turun menjadi 15%.
Saat sudah sempurna, kekakuan dipatahkan dengan gerakan memaksa dari
anggota badan atau leher, lalu jika tidak kembali, maka hal ini memudahkan
dilakukannya pekerjaan dalam kamar mayat atau memasukkan ke dalam peti
mati. Namun jika kekakuan tetap terbentuk, maka kekakuan tersebut akan
berlanjut pada posisi yang baru sesuai gerakan terakhir.
14

Kadang, kekakuan dapat membantu memperlihatkan bahwa tubuh telah


dipindahkan antara saat mati dan saat ditemukan.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis
Sebagai suatu proses kimia, kecepatan dan durasi dari kekakuan dipengaruhi
oleh temperatur. Semakin tinggi suhu lingkungan, akan memperlambat proses
ini. Mayat yang terdapat pada daerah dingin / salju tidak akan mengalami
kekakuan bahkan sampai 1 minggu setelah kematian, namun saat mayat
tersebut dipindahkan ke tempat yang hangat, maka dengan cepat akan
mengalami

kekakuan.

Sebaliknya,

cuaca

panas

atau

tropis

dapat

mempercepat, sehingga kekakuan akan terjadi dalam beberapa jam atau


bahkan kurang. Kekakuan total terbentuk cepat, kemudian akan hilang
semenjak hari pertama terjadinya pembusukan.
Faktor lainnya adalah aktifitas fisik sebelum mati. Ketersediaan glikogen dan
ATP dalam otot adalah elemen terpenting dalam terbentuknya kekakuan.
Kerja otot mempengaruhi interaksi dari substansi tersebut dan dapat
mempercepat onset terjadinya kekakuan. Cadaveric spasme, merupakan
bentuk variasi dari kekakuan yang dipercepat.
Kondisi rata rata yang sering dialami pada rigor mortis :
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati
tidak sampai 3 jam.
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 8
jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 36
jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati
lebih dari 36 jam.
Bentuk - Bentuk dari Kekakuan yang Menyerupai Rigor Mortis
-

Heat Stiffening
Yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Protein
pada otot akan terkoagulasi pada temperatur diatas 149 derajat Fahrenheit
atau 65 derajat celcius. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi
rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati
15

terbakar. pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek


sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut membentuk
sikap petinju (pugilistic attitude). Heat stiffening ini tidak dapat
dipatahkan dengan menggerakan ke arah sikap ekstensi seperti halnya
pada rigor mortis, dan akan menetap sampai timbulnya pembusukan.
- Cold Stiffening
Penurunan temperatur pada mayat dibawah 3,5 derajat celcius atau 40
derajat Fahrenheit akan menghasilkan memadatnya lemak subkutan dan
otot. Saat tubuh dibawa untuk dihangatkan, akan timbul true rigor mortis.
Pada lingkungan bersuhu dingin ekstrim, cairan tubuh juga akan
membeku termasuk persendian, sehingga bila sendi ditekuk akan
terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Pada temperatur yang
ekstrim, otot akan mengalami kekakuan yang palsu. Pada udara yang
sangat dingin, saat panas tubuh hilang, otot dapat mengeras karena cairan
tubuh menjadi beku dan memadat, seperti pada daging yang disimpan
pada freezer.
Membedakan orang mati karena kedinginan dengan orang yang telah
mati sebelum kedinginan :

Bila orang mati di kutub kematian terjadi karena kedinginan.


Dingin membuat suhu tubuhnya menjadi kaku, belum terjadi rigor
mortis / kaku mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh

mayat akan lemas dan kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).
Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang
dingin tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara
dingin, tetapi setelah dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas.

Tidak akan terjadi rigor mortis.


- Cadaveric Spasm
Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang
berada ditengah aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian
menuntun pada kekakuan post mortem instan yang sedikit kurang dapat
dipahami. Hal ini harus diawali dengan aktifitas saraf motorik. Biasanya
terjadi hanya pada 1 daerah

otot, contohnya otot fleksor tangan,

dibanding seluruh tubuh. sesungguhnya merupakan kaku mayat yang

16

timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi


primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP
yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi
yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Perbedaan antara rigor mortis dengan cadaveric spasm
Onset

Otot yang

Rigor Mortis
Dikarenakan perubahan

Cadaveric Spasm
Keadaan lanjut dari

otot sesudah kematian

kontraksi otot sesudah

seluler, didahului dengan

mati, dimana otot dalam

primary flaccidity
Semua otot dalam tubuh

kondisi mati seketika


Otot tertentu, sesuai

terlibat
Intensity
Durasi

keadaan kontraksi saat


Moderate
12 24 jam

mati
Sangat kuat
Beberapa jam, sampai
digantikan posisinya oleh

rigor mortis
Rangsangan, ketakutan,

predisposisi
Mekanisme

Penurunan ATP dibawah

kelelahan
Tidak diketahui

pembentukan
Hubungan

level kritis
Mengetahui waktu

Mengetahui cara

medikolegal

kematian

kematian, bisa karena

Faktor

bunuh diri, kecelakaan,


atau pembunuhan
f. Pembusukan (Decomposition, Putrefaction)
Merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya
komponen tubuh organik kompleks menjadi sederhana. Pembusukan terjadi
akibat autolysis dan kerja bakteri.
Autolisis
Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang
diakibatkan oleh kerja enzim digestif yang dikeluarkan sel setelah kematian
dan dapat dihindari dengan membekukan jaringan. Perubahan autolisis awal
dapat diketahui pada organ parenkim dan kelenjar. Pelunakan dan ruptur perut
17

dan ujung akhir esofagus dapat terjadi karena adanya asam lambung pada
bayi baru lahir setelah kematian. Pada dewasa juga dapat terlihat.
Proses Pembusukan Bakteri.
Merupakan proses dominan pada proses pembusukan dengan adanya
mikroorganisme, baik aerobik maupun anaerobik. Bakteri pada umumnya
terdapat dalam tubuh, akan memasuki jaringan setelah kematian. Kebanyakan
bakteri terdapat pada usus, terutama Clostridium welchii. Bakteri lainnya
dapat ditemukan pada saluran nafas dan luka terbuka. Pada kasus kematian
akibat penyakit infeksi, pembusukan berlangsung lebih cepat. Karena darah
merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan bakteri maka organ
yang mendapat banyak suplai darah dan dekat dengan sumber bakteri akan
terdapat lebih banyak bakteri dan mengalami pembusukan terlebih dahulu.
Bakteri menghasilkan berbagai macam enzim yang berperan pada
karbohidrat, protein, dan lemak, dan hancurnya jaringan. Salah satu enzim
yang paling penting adalah lecithin yang dihasilkan oleh Clostridium welchii,
yang menghidrolisis lecithin yang terdapat pada seluruh membran sel
termasuk sel darah dan berperan pada pembentukan hemolisis pada darah
post mortem. Enzim ini juga berperan dalam hidrolisis post mortem dan
hidrogenasi lemak tubuh.
Aktifitas pembusukan berlangsung optimal pada suhu antara 70 sampai 100
derajat Fahrenheit dan berkurang pada suhu dibawah 70 derajat Fahrenheit.
Oleh sebab itu, penyebaran awal pembusukan ditentukan oleh dua faktor
yaitu sebab kematian dan lama waktu saat suhu tubuh berada dibawah 70
derajat Fahrenheit.
Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit dan
dinding perut depan, biasanya terletak pada sebelah kanan fossa iliaca,
dimana daerah tersebut merupakan daerah colon yang mengandung banyak
bakteri dan cairan. Warna ini terbentuk karena perubahan hemoglobin
menjadi sulpmethaemoglobin karena masuknya H2S dari usus ke jaringan.
Warna ini biasanya muncul antara 12 18 jam pada keadaan panas dan 1 2
hari pada keadaan dingin dan lebih tampak pada kulit cerah.

18

Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin
luar, menyebar ke dada, leher, wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini
disebabkan karena luasnya distribusi cairan atau darah pada berbagai organ
tubuh.
Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus, masuk ke
pembuluh darah. Darah didalam pembuluh akan dihemolisis sehingga akan
mewarna pembuluh darah dan jaringan penujang, memberikan gambaran
marbled appearence. Warna ini akan tetap ada sekitar 36 48 jam setelah
kematian dan tampak jelas pada vena superficial perut, bahu dan leher.
Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang
terdiri dari campuran gas tergantung dari waktu kematian dan lingkungan.
Gas ini akan terkumpul pada usus dalam 12 24 jam setelah kematian dan
mengakibatkan perut membengkak. Dari 24 48 jam setelah kematian, gas
terkumpul dalam jaringan, cavitas sehingga tampak mengubah bentuk dan
membengkak. Jaringan subkutan menjadi emphysematous, dada, skrotum,
dan penis, menjadi teregang. Mata dapat keluar dari kantungnya, lidah
terjulur diantara gigi dan bibir menjadi bengkak. Cairan berbusa atau mukus
berwarna kemerahan dapat keluar dari mulut dan hidung. Perut menjadi
sangat teregang dan isi perut dapat keluar dari mulut. Sphincter relaksasi dan
urine serta feses dapat keluar. Anus dan uterus prolaps setelah 2 3 hari.
Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh
tersebuh dapat mengandung cairan berwarna merah, keluar dari pembuluh
darah karena tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk lebih dahulu
dibawah permukaan, dimana jaringan mengandung banyak cairan karena
oedema hipostatik. Epidermis menjadi longgar menghasilkan kantong berisi
cairan bening atau merah muda disebut skin slippage yang terlihat pada hari 2
3.
Antara 3 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan
dihubungkan dengan perubahan pada jaringan lunak yang akan membuat
perut menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau keropos. Kulit
pada tangan dan kaki dapat menjadi glove and stocking. Rambut dan kuku
menjadi longgar dan mudah dicabut.

19

5 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak


menjadi masa semisolid berwarna hitam yang tebal yang dapat dipisahkan
dari tulang dan terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi lunak.
Pembusukan Organ Dalam
Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun
prosesnya lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan
banyak vascular maka akan membusuk lebih cepat. Warna merah kecoklatan
pada bagian dalam aorta dan pembuluh darah lain muncul pada perubahan
awal. Adanya hemolisis dan difusi darah akan mewarnai sekeliling jaringan
atau organ dan merubah warna organ tersebut menjadi hitam. Organ menjadi
lunak ,berminyak, empuk dan kemudian menjadi masa semiliquid.
Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam
Awal
Laring dan trakhea
Lambung dan usus
Limpa
Omentum dan mesenterium
Hati
Otak
Uterus gravid

Akhir
Paru paru
Jantung
Ginjal
Oesofagus dan diafragma
Kandung kencing
Pembuluh darah
Prostat dan uterus

Keadaan yang mempengaruhi onset dan lama pembusukan :


a. Faktor Eksogen
1. Temperatur atmosfer.
Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat
pembusukan. Pada umumnya, proses pembusukan berlangsung
optimal pada suhu 70 sampai 100 derajat Fahrenheit dan bila
temperatur dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses menjadi lebih
lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri terus berlangsung.
Tubuh yang sudah mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam
lemari pendingin, salju, dan sebagainya. Pada beberapa kondisi
(khususnya pada bulan musim hujan), warna hijau ditemukan pada
mayat setelah 6 12 jam post mortem.
2. Adanya udara dan cahaya.
Udara sangat mempengaruhi temperatur dan kelembapan yang
mengakibatkan seperti hal diatas. Secara tidak langsung, lalat dan
20

serangga biasanya menghindari bagian tubuh yang terekspos sinar,


cenderung meletakan telurnya pada kelopak mata, lubang hidung, dan
sebagainya.
3. Terbenam dalam air.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Air yang
diam atau mengalir, air laut atau air berpolusi, suhu air, kedalaman air
dan lainnya dapat mempengaruhi pembusukan.
Pembusukan berlangsung lebih lambat di air dibandingkan di udara.
Rumus Casper menyatakan bahwa waktu pembusukan di udara diberi
nilai 1, jika di air bernilai 2, dan pada mayat yang terkubur bernilai 8.
4. Mengapung diatas air.
Biasanya tergantung dari produksi dan akumulasi gas di jaringan dan
rongga tubuh. Gaya gravitasi cadaver lebih besar dari air maka tubuh
akan cenderung tenggelam sampai adanya cukup gas sehingga
membuat tubuh mengapung. Maka dari itu, pembentukan gas akan
membantu tubuh untuk naik ke permukaan air. Beberapa faktor seperti
umur, jenis kelamin, pakaian, kondisi tubuh, musim, keadaan air dapat
mempengaruhi waktu mengapung yang berperan dalam proses
pembusukan dan pembentukan gas.
Penampakan warna dekomposisi pada permukaan tubuh menjadi
kacau dimana tubuh yang terendam dalam air memiliki postur tertentu
yaitu kepala dan wajah terletak lebih rendah dari bagian tubuh lainnya
karena kepala lebih berat dan padat. Bagian batang tubuh berada
paling atas dan anggota gerak tergantung secara pasif pada posisi yang
lebih rendah. Posisi ini menyebabkan darah banyak menuju kepala
dan mempercepat pembusukan.
5. Terkubur dalam tanah.
Pada umumnya tubuh yang terkubur dalam tanah yang dalam akan
membusuk lebih lama daripada tubuh yang terkubur dalam tanah yang
dangkal. Pada tubuh yang terkubur pada tempat yang basah, daerah
rawa, tanah liat, maka pembusukan akan lebih cepat. Pembusukan
akan berlangsung lebih lama jika dikubur di tanah kering, tanah
kuburan pada dataran tinggi, atau kuburan yang dalam. Adanya zat

21

kimia disekitar tubuh, khususnya lemon, akan memperlambat


pembusukan.
Tubuh yang terkubur tanpa pakaian atau kafan pada tanah berpori
yang kaya bahan organik, akan menunjukkan pembusukan yang lebih
lama.
Waktu antara saat kematian dengan saat dikuburkan dan lingkungan
sekitar tubuh pada waktu ini akan mempengaruhi proses pembusukan.
Semakin lama tubuh berada di tanah sebelum dikuburkan, maka akan
mempercepat pembusukan khususnya bila tubuh diletakkan pada
udara yang hangat.
b. Faktor Endogen
1. Sebab kematian.
Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan
berlangsung lebih lama daripada orang yang meninggal karena sakit.
Kematian karena gas gangren, sumbatan usus, bakteriemia /
septikemia, aborsi akan menunjukkan proses pembusukan yang lebih
cepat. Racun yang dapat memperlambat pembusukan yaitu potassium
sianida, barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada
kasus strychnine, terjadi kejang yang lama dan berulang, proses
pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit
kelelahan otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan
kronis

oleh

logam

akan

memperlambat

pembusukan

karena

memperlambat efek jaringan. Alkoholik kronik umumnya akan


mempercepat pembusukan.
Jika tubuh terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan
pembusukan yang lambat, batang tubuh akan membusuk seperti biasa.
2. Kondisi tubuh.
Kelembapan pada tubuh akan menunjang pembusukan. Cairan pada
tubuh manusia kira kira dua per tiga dari berat badan. Maka dari itu
pada tubuh yang mengandung sedikit cairan seperti rambut, gigi,
tulang akan memperlambat pembusukan. Pada kasus dehidrasi akan
memperlambat pembusukan. Tubuh yang sangat kurus akan lebih
lambat membusuk dibandingkan dengan tubuh yang gemuk karena
jumlah cairan pada orang yang kurus lebih sedikit.
22

3. Pakaian pada tubuh.


Pada tubuh yang terpapar udara, pakaian dapat mempercepat
pembusukan dengan menjaga suhu tubuh tetap hangat. Pakaian yang
ketat dapat memperlambat pembusukan karena menekan bagian tubuh
sehingga darah sedikit yang terkumpul pada daerah yang tertekan.
4. Umur dan jenis kelamin.
Tubuh bayi yang baru lahir akan membusuk lebih lambat karena
masih steril. Jika bayi baru lahir tersebut mengalami trauma selama
atau setelah lahir atau sudah mendapat makanan setelah lahir, maka
akan membusuk lebih awal. Tubuh anak anak membusuk lebih cepat
daripada orang tua, dimana pada orang tua akan membusuk lebih lama
karena mengandung cairan lebih sedikit.
Jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh. Tubuh wanita memiliki lemak
yang lebih banyak yang akan mempertahankan panas lebih lama, yang
akan mempercepat proses pembusukan.
g. Penyabunan (Adipocera)
Dikenal juga sebagai grave wax. Adiposera berasal dari bahasa latin, adipo
untuk lemak dan cera untuk lilin) berwarna utih kelabu setelah meninggal
dikarenakan dekomposisi lemak yang dikarenakan hidrolisis dan hidrogenasi
dan lemak (sel lemak) yang terkumpul di jaringan subkutan yang
menyebabkan terbentuknya lechitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh
Clostridium welchii, yang berpengaruh terhadap jaringan lemak. Dengan
demikian akan terbentuk asam asam lemak bebas (asam palmitat, stearat,
oleat), ph tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat bakteri untuk
pembusukan dengan demikian proses pembusukan oleh bakteri akan terhenti.
Tubuh yang mengalami adiposera akan tampak berwarna putih kelabu,
perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju,
amoniak, manis, tengik, mudah mencair, larut dalam alkohol, panas, eter, dan
tidak mudah terbakar, bila terbakar mengeluarkan nyala kuning dan meleleh
pada suhu 200 derajat Fahrenheit.
Faktor faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah :
- Kelembapan.
- Lemak tubuh.

23

Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir.


Proses pertama penyabunan terlihat pada lemak subkutan yang berada pada
dagu, buah dada, bokong, dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut
mempunyai lemak lebih banyak. Namun proses saponifikasi dapat terjadi di
semua bagian tubuh yamg terdapat lemak. Otot menjadi dehidrasi dan
menjadi sangat tipis, berwarna keabu abuan. Organ organ dalam dan paru
paru konsistensinya menjadi seperti perkamen. Secara histologis,
makroskopis organ masih dapat dikenali. Walaupun secara mikroskopis sulit
untuk dikenali.
Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun seringnya
pembentukan penyabunan bervariasi dari dua minggu atau dua bulan
tergantung faktor faktor yang mendukung seperti temperatur, pembalseman,
kondisi penguburan, dan barang barang sekitar jenazah. Keuntungan adanya
adiposera ini :
-

Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang

sangat lama sekali sampai ratusan tahun.


Dapat pula untuk mengetahui sebab sebab kematian jangka waktu
dekat seperti kecelakaan, namun dapat juga digunakan untuk waktu yang

lama.
Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.
Tanda tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai
beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan.

Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari
asam lemak bebas namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat
meningkat sampai 20% dan setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi 70%
bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat dengan jelas berwarna
putih keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada awal saponifikasi, dimana
belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan menggunakan analisa
asam palmitat.
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain
tergantung dari letak tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu

24

tubuh dapat menjadi saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat menjadi
mumifikasi atau pembusukan.
h. Mumifikasi
Perubahan perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat
dihambat dan digantikan dengan mumifkasi. Mayat yang mengalami
mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai bercak
warna putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik terutama
pada tonjolan tulang, seperti pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul. Organ
dalam umumnya mengalami dekomposisi menjadi jaringan padat berwarna
coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami proses mumifikasi, maka
kondisinya tidak akan berubah, kecuali bila diserang oleh serangga.
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada seluruh bagian
tubuh. Pada umumnya mumifikasi terjadi pada sebagian tubuh, dan pada
bagian tubuh lain proses pembusukan terus berjalan. Menurut Knight,
mumifikasi dan adiposera kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak
membantu proses pengeringan mayat.
Mumi secara alami jarang terbentuk karena dibutuhkannya suatu kondisi yang
spesifik. Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan kelembapan yang
rendah, sirkulasi udara yang baik dan suhu yang hangat, namun dapat pula
terjadi di daerah dingin dengan kelembapan rendah. Ditempat yang bersuhu
panas, mumifikasi lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur
dangkal mayat dalam tanah berpasir. Faktor dalam tubuh mayat yang
mendukung terjadinya mumifikasi antara lain adalah dehidrasi premortal,
habitus yang kurus dan umur yang muda, dalam hal ini neonatus.
Mumifikasi sering terjadi pada bayi yang meninggal ketika baru lahir.
Permukaan tubuh yang lebih luas dibanding orang dewasa, sedikitnya bakteri
dalam tubuh dibanding orang dewasa membantu penundaan pembusukan
sampai terjadinya pengeringan jaringan tubuh. Pada orang dewasa secara
lengkap jarang terjadi, kecuali sengaja dibuat oleh manusia.
2.6 Yang dapat ditemukan pada waktu Otopsi

25

a. Larva lalat
Siklus :

- Telur (8 14 jam)
- Larva (9 12 hari)
- Kepompong ( >12 hari)
- Lalat dewasa
Syarat pemeriksaan :
Tidak boleh ada kepompong
Dicari larva lalat yang paling besar
Bila umur larva sudah ditentukan maka dapat ditentukan ,lama korban
telah meninggal.
Misalnya :
Didapatkan larva yang berumur 3 hari.
Saat kematian korban adalah : (3 hari + 1 hari) = 4 hari yang lalu

2. Proses pencernaan makanan dalam lambung.


Bila ditemukan :
Lambung tak berisi makanan , Rectum penuh dengan feces, Kandung seni
penuh Diperkirakan korban meninggal waktu masih pagi sebelum
bangun
Bila lambung ditemukan berisi makanan kasar artinya korban meninggal
dalam waktu 2 4 jam setelah makan terakhir.
Bila ditemukan lambung tak terisi makanan, duodenum dan ujung atas usus
halus berisi makanan yang telah tercerna, berarti korban meninggal dalam
waktu > 2 - 4 jam setelah makan terakhir.
2.7 Perkiraan saat kematian
Selain perubahan pada mayat tersebut diatas, beberapa perubahan lain dapat
digunakan untuk memperkirakan saat kematian.
1. Perubahan pada mata
-

Terjadi kekeruhan kornea, kekeruhan ini akan akan menetap sejak kirakira 6 jam pasca mati

Tekanan bola mata menurun,distorsi bola mata pada penekanan

Perubahan pada retina yang menunjukkan saat kematian hingga 15 jam


pasca mati

1. Perubahan dalam lambung


2. Perubahan rambut

26

Mengingat bahwa kecepatan pertumbuhan rambut rata-rata 0,4 mm/hari,


panjang jenggot dan kumis dapat digunakan untuk memperkirakan saat
kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai
kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia
mencukur
3. Pertumbuhan kuku
Kecepatan pertumbuhan kuku rata-rata 0,1 mm/hari, dapat digunakan
untuk memperkirakan saat kematian bila diketahui saat terakhir ia
memotong kuku.
4. Perubahan dalam cairan serebrospinal
5. Peningkatan kadar kalium dalam cairan vitreus
6. Perubahan komponen darah setelah kematian
7. Reaksi supravital

27

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tanatologi adalah bagian dari ilmu forensik yang mempelajari kematian dan
perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhinya.
Tanatologi diperlukan untuk menetapkan waktu kematian, sebab kematian
pasti, cara kematian (homocide, suicide, accident, dan untuk transplantasi
(donor organ). Setelah kematian terjadi beberapa perubahan pada tubuh
seseorang yang dibagi menjadi tanda tidak pasti kematian dan tanda pasti
kematian. Yang termasuk tanda tidak pasti kematian adalah berhentinya
pernapasan, terhentinya sirkulasi, kulit pucat, tonus otot menghilang dan
relaksasi, pembuluh darah retina mengalami segmentasi, dan pengeruhan
pada kornea. Sedangkan tanda pasti kematian adalah lebam mayat (livor
mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh (algor mortis),
pembusukan, adiposera atau lilin mayat, dan mumifikasi. Pemerikasaan tanda
kematian ini sangat penting dalam kedokteran forensik, antara lain kegunaan
pemeriksaan lebam mayat :
Dapat memperkirakan saat kematian.

28

Dapat memperkirakan posisi kematian.


Tanda pasti kematian seluler (mati yang terjadi adalah mati seluler).
Mengetahui adanya manipulasi (perubahan pada jenazah).
Dapat mengetahui penyebab kematian.
Kegunaan pemeriksaan kaku mayat :
Tanda pasti kematian.
Dapat memperkirakan waktu / saat kematian.
Dapat memperkirakan / melihat adanya tanda tanda manipulasi.
Dapat memperkirakan penyebab (walaupun sulit).
Dapat memperkirakan posisi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munim Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama.
Binarupa Aksara. Hal. 54-77
Saukko, P; Knight, B . 2004. The Pathophysiology of Death in Knights Forensic
Pathology. 3th edition. Hodder Arnold. Page 52-90
Shepherd, R. 2003. Changes After Death in Simpsons Forensic Medicine. 12 th
edition. Arnold. Page 37-48
Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in
Textbook of Forensic Medicine and Toxicology Principles and Practice. 4 th editon.
Elsivier. Page 101-133
Vass AA. Decomposition. Microbiology Today 2001 Nov (28):190-2. Available
from : http://www.socgenmicrobiol.org.uk/pubs/micro_today/pdf/110108.pdf.
Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: FKUI; 1997.
Apuranto Hariadi, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. BAgian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universita Airlangga, Surabaya. 2007

29

Idries, Abdul Munim. Saat Kematian dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa
Aksara, Jakarta. 1997
Budiyanto Arif, Wibisana Widiatmaka, Siswandi Sudiono, et al. Tanatologi dalam
Ilmu Kedokteran Forensik. FK UI, Jakarta. 1997
Sampurna Budi, Zulhasmar Samsu. Tanatologi dan Perkiraan Saat Kematian
dalam Peranan Ilmu Forensik dalamPenegakan Hukum, Sebuah Pengantar.
Jakarta. 2004.
Basbeth F, 2009.
FKUI Jakarta.

Dekomposisi Pasca Mati. Bagian Forensik & Medikolegal

30

Anda mungkin juga menyukai