Anda di halaman 1dari 19

BAB III

STUDI PUSTAKA
A. Definisi
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot, dan atau nyeri sendi disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue adalah DBD yang ditandai oleh
renjatan/syok.3
B. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di
seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat
kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999.
Gambar 1. Epidemiologi infeksi dengue di kawasan Asia Tenggara

Dikutip dari : WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of


Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember
2012: 6-7

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus


Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
virus dengue yaitu 1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) Pejamu:
terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan : curah hujan,
suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
C. Etiologi
Etiologi penyakit demam berdarah dangue adalah virus dangue
termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe,
yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di
Indonesia. Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relative labil
terhadap suhu dan faktor kimiawai lain serta masa viremia yang pendek. Virus
DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid,
ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2 protein yaitu
selubung protein E dan protein membrane M.
Jika seseorang ternfeksi dengan satu serotipe akan mendapatkan
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya 2-3 bulan
kekebalan untuk serotipe lain. Apabila terinfeksi dengan serotipe lain atau
beberapa serotipe akan mengakibatkan DHF / DSS.3
D. Patofisiologi / patogenesis3
Hipotesis infeksi heterolog sekunder ( the secondary heterologous
Infection hyphotesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini
masih dianut sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan
hipotesis ini seseorang akan menderita DHF apabila mendapatkan infeksi

berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam jangka waktu
tertentu, yang berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun. Hipotesis lain yang
menentangnya adalah hipotesis virulensi virus, menurut hipotesis ini
perbedaan virulensi serotipe virus dengue adalah penyebab terjadinya DHF.
Kelemahan hipotesis pertama adalah ketika dilaporkan adanya kasus
DSS pada seorang anak wanita berusia 3 tahun di jakarta yang mengalami
infeksi primer. Kelemahan hipotesis kedua adalah tidak adanya bukti
eksperimental, baik percobaan binatang maupun kultur jaringan yang dapat
membuktikan perbedaan virulensi keempat serotiope virus dengue tersebut.
Hipotesis teori infeksi sekunder menyatakan secara tidak langsung bahwa
penderita yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita
DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam
sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator inflamasi seperti TNF , IL-1,PAF, IL-6 dan
histamine

menyebabkanpeningkatan

permeabilitas

vaskuler

dan

mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma, protein dan elektrolit. Keadaan


ini dapat berkembang menjadi hipovolemia dan syok.
E. Klasifikasi
Dalam kriteria WHO tahun 1997 klasifikasi dengue dibagi menjadi 3
besar yaitu demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue dan demam
berdarah dengue dimana demam berdarah dengue di bagi lagi menjadi 4
derajat menurut keparahan penyakitnya, derajat 3 dan 4 merupakan dengue
shock syndrom.

Tabel 1. Derajat penyakit (WHO,1997)

Dikutip dari : World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997

F. Manifestasi Klinik
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatis. Pada umumnya pasien
mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2-3
hari. pada fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi memiliki risiko
untuk terjadi syok jika tidak mendapatkan terapi yang adekuat.3

Secara garis besar infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase


1. Fase febris
Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi, dalam fase demam akut biasanya
sekitar 2-7 hari dengan diikuti wajah kemerahan, eritema pada kulit, pegal
pada seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri retro orbital, fotofobia, ruam

makulopapular yang timbul pada 1-2 hari dan kemudian menghilang tanpa
bekas, serta nyeri kepala. Pada beberapa pasien terdapat nyeritenggorokan,
faringitis, injeksi konjungtiva. Diikuti dengan anoreksia mual serta muntah
yang umumnya selalu diderita pasien. Pada fase ini bila didapatkan tes
torniquet (+) meningkatkan kemungkinan infeksi dengue.
2. Fase kritis
Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya hari ke
3-7 penyakit, akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler bersamaan
dengan peningkaya kadar hematokrit, hal ini merupakan tanda awal dari fase
kritis, periode kebocoran plasma biasanya berlangsung 24-48 jam yang
ditandai dengan peningkatan hematokrit, diikuti dengan leukopenia, dapat
pula terjadi efusi pleura dap asites. Syok terjadi ketika terjadi kehilangan
banyak plasma, nantinya dapat menyebabkan asidosis metabolik, DIC.
3. Fase penyembuhan
Apabila pasien bertahan dalam 24-48 jam di dalam fase kritis, akan terjadi
perbaikan bertahap dari cairan ekstravaskular.
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue.


Geneva: WHO, 2012

G. Pendekatan Diagnostik1
Pendekatan diagnosis pada pasien dengan febris kurang dari 6 hari,
dapat mendiagnosis infeksi dengue, berupa :
a. Isolasi virus;
b. Deteksi asam nukleus virus dengan menggunakan RT-PCR ;
c. Deteksi antigen virus.
Sedangkan apabila datang dengan febris > 6hari pilihan metode
diagnosis dengan imunoserologi, yaitu :
a. Hemaglutinasi Inhibisi ( HI);
b. Fiksasi komplemen ( CF);
c. Neutralization Test (NT);
d. MAC-ELISA;
e. Indirect IgG ELISA.
Tabel 3. Pemilihan metode diagnostik infeksi dengue

Dikutip dari : WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue.


Geneva: WHO, 2012

H. Diagnosis Banding1
Beberapa panyakit infeksi maupun non-infeksi memiliki gejala
mirip demam dengue maupun severe dengue.
a. Influenza
b. Cikungunya
c. Infeksi primer HIV
d. SARS
e. Malaria
f. Demam tiroid
g. Hepatitis
h. Leptospirosis
I. Penatalaksanaan1
Penatalaksanaan Dengue menurut WHO 2012, membagi pasien menjadi 3
kriteria :
1. Kriteria A
Pasien dapat dipulangkan, dengan catatan mendapatkan cairan yang
adekuat dan BAK minimal 1x/6 jam, dan tidak ada tanda-tanda dari
warning sign. Pasien diharuskan bed rest, pasien yang datang pada
demam >3 hari diharuskan setiap hari ke sarana kesehatan untuk
diperiksa darah lengkap dan monitoring adanya gejala-gejala dari
warning sign, hal ini dilakukan sampai fase kritis terlewati. Berikan
pasien paracetamol untuk demamnya, dengan dosis 10 mg/kgbb/x,
kompres air hangat apibila demam tidak turun, dilarang memberikan
aspirin, ibuprufen atau NSAID lainnya maupun injeksi intramuskular, hal
ini dapat menyebabkan gastritis atau perdarahan. Apabila tidak ada
perbaikan maupun timbul gejala tambahan seperti nyeri perut, muntahmuntah, ekstremitas dingin, sesak napas, tidak BAK dalam 6 jam,
maupun perdarahan segera ke fasilitas kesehatan terdekat. Indikasi rawat
inap pada pasien dengan manifestasi demam bila tidak mendapatkan

rehidrasi oral yang Ida adekuat, adanya anak kecil dirumah, serta pasien
dengan co-morbid.
2. Kriteria B
Pasien yang diharuskan untuk rawat inap untuk observasi lebih lanjut.
Dalam kriteria ini pasien dengan warning sign, pasien risiko tinggi,
pasien yang menunjukan gejala komplikasi, pasien yang tinggal sendiri,
serta pasien yang tempat tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan. Terapi
yang diberikan
Cek hematokrit sebelum diberikan cairan infus. Cairan infus yang
digunakan hanya yang bersifat isotonik seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat
atau cairan Hartmanns. Mulai dengan 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam
pertama, kemudian kurangi menjadi 3-5ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam
selanjutnya, kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kgbb/jam atau
maintenan cairan sesuai manifestasi klinis yang didapat. Periksa kembali
hematrokit, jika tidak ada perbaikan atau terjadi peningkatan sedikit,
ulangi pemberian cairan 2-3 ml/kgbb/jam selama 2-4 jam. Jika tanda vital
menurun dan terjadi peningkatan hematrokrit yang cepat, segera naikan
cairan 5-10ml/kgbb/jam selam 1-2 jam. Apabila perfusi jaringan dan
urine output baik ( 0,5ml/kg/jam) berikan cairan maintenance untuk 2448 jam. Monitor vital sign, balance cairan, hematrokit sebelum dan
sesudah pemberian cairan infus, atau setiap 6-12 jam sekali. Cek GDS,
profil ginjal, profil liver, profil koagulasi sesuai indikasi.
3. Kriteria C
Pasien dengan dengue berat, pasien dalam kriteria ini harus mendapat
pengobatan segera karena berada dalam fase kritis, berupa

Kebocoran plasma yang berat, mulai masuk ke dalam keadaan syok


dengan adanya ARDS

Perdarahan hebat

Multi organ failure

Pasien harus segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang memiliki


fasilitas transfusi darah. Segera ganti cairan isotonik dengan cairan kristaloid,
pada keadaan hipotensi syok boleh diberikan cairan koloid. Transfusi darah hanya
diberikan apabila adanya perdarahan hebat.
Penatalaksanaan syok
Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Syok pada infeksi Dengue

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue.


Geneva: WHO, 2012
Tujuan dari resusitasi cairan meliputi:

Meningkatkan sirkulasi pusat dan perifer - yaitu penurunan takikardia,


meningkatkan TD dan denyut nadi, ekstremitas hangat dan merah muda,
waktu pengisian kapiler <2 detik

Meningkatkan perfusi end-organ yaitu mencapai tingkat kesadaran stabil


dan output urine 0,5 ml / kg / jam atau penurunan asidosis metabolik.

Kapan harus menghentikan infus


Observasi tanda-tanda berhentinya kebocoran plasma yang dilihat dari :

TD, nadi dan perfusi perifer stabil

hematokrit menurun dengan denyut nadi yang baik

apyrexia (tanpa menggunakan antipiretik) selama lebih dari 24-48 jam;

gejala usus / gejala yang berhubungan dengan abdomen teratasi

peningkatan produksi urine.


Melanjutkan terapi cairan intravena melewati 48 jam dari fase kritis akan

menyebabkan pasien berisiko edema paru dan komplikasi lain seperti


tromboflebitis.
J. Penatalaksanaan dengue pada kelompok risiko
a) Dengue pada lansia
Sebuah penelitian surveilans menunjukan bahwa manifestasi klinis dari
dengue pada lansia mirip dengan dewasa muda, namun gejala yang lebih
sering timbul adalah perdarahan saluran cerna dan mikrohematuri. Insiden
demam, atralgia serta ruam lebih rendah pada orang tua. Gagal ginjal akut,
perdarahan gastrointestinal, efusi pleura, serta CHF dan edema pulmonal
lebih sering terjadi pada orang tua. kadar hemoglobin juga lebih rendah
dibandingkan dewasa.
b) Dengue dengan co-morbid
Pasien dengan penyakit diabetes melitus, hipertensi dan renal insufisiensi
berhubungan erat dengan angka kejadian severe dengue. Pada pasien
hipertensi terkadang tidak menunjukan adanya hipotensi jika mengalami
syok sehingga yang perlu diperhatikan adalah angka MAP, Jika terjadi
penurunan MAP 40% dari baseline perlu dicurigai adanya tanda-tanda
syok, jika pasien mengalami takikardia dapat diberikan - bloker,
sedangkan bila pasien mengalami takikardia perlu ditanyakan riwayat

pemberian Ca chanel bloker, karena efek sampingnya bera takitardia,


jangan salah mengangap sebagai satu respons dari keadaan syok
hipovelemik, harus diawasi secara ketat pemberian antihipertensi terutama
bila terdapat kebocoran plasma, juga perlu monitoring urine output. Pasien
dengan DM, infeksi dengue dapat mencetuskan KAD atau hiperglikemik
hiperosmolar, dimana manifestasi KAD mirip dengan warning sign pada
demam dengue yang berat, sehingga dapat terjadi kesalahan diagnostik,
pemberian ADO harus dihentikan terutama obat golongan metformin,
karena dapat memperburuk asidosis laktat dan syok dengue sehingga perlu
dipertimbangkan pemakain Short-acting insulin, monitor gula darah setiap
1-2 jam sampai mencapai target gula darah < 150 mg/dl kemudian
dilanjutkan setiap 4jam. Pasien yang memiliki penyakit CKD tetap
dilakukan terapi cairan yang adekuat sekaligus menstabilkan hemodinamik
setelah itu perlu dilakukan dialisis segera untuk mencegah terjadinya
asidosis metabolik dan elektrolit imbalance. Pada pasien yang memiliki
riwayat anemia hemolitik perlu dilakukan transfusi PRC atau whole blood.
K.

Kriteria pemulangan pasien3

Bebas demam dalam 48 jam

Peningkatan keadaan umum dan hemodinamik stabil

Peningkatan trombosit

Nilai hematokrit yang stabil tanpa pemberian cairan infus

Tidak ada distres respirasi

L. Komplikasi3
Penyebab komplikasi pada infeksi dengue adalah :
a) Kesalahan diagnosis pada primary Care sebagai pengobatan lini pertama
b) Ketidaktepatan monitoring dan misinterpretasi tanda-tanda vital

c) Kesalahan dalam monitoring terapi carang dan urine yang keluar


d) Keterlambatan dalam pengenalan tanda-tanda syok sehingga jatuh dalam
keadaan syok atau memperpanjang syok yang sudah terjadi
e) Keterlambatan dalam mengenal adanya perdarahan hebat
f) Terlalu sedikit atau terlalu banyak terapi cairan infus
g) Ketidakpedulian dalam tehnik aseptic dalam menangani pasien
Komplikasi dari infeksi dengue berupa :
1) Asidosis metabolik
2) Imbalance elektrolit
3) Efusi pleura dan asites
4) Edema pulmonal
5) ARDS
6) Ko-infeksi dan infeksi nasokomial
7) Sindrom hemofagositik

M. Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya
penanganan diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi penderita.
Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila
dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada
syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50%. Tanda- tanda prognosis yang baik
pada DSS adalah pengeluaran urine yang cukup serta kembalinya nafsu
makan.

TONSILOFARINGITIS AKUT
1

Definisi
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa

faring atau dapat juga tonsilopalatina.Faringitis akut biasanya


merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu tonsilofaringitis
akut atau bagian dari influenza (rinofaringitis) (Departemen
Kesehatan, 2007). Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang
disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri
tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
kelenjar getah bening leher dan malaise (Vincent, 2004).
2

Etiologi
Faringitis

merupakan

peradangan

dinding

faring

yang

disebabkan oleh virus (4060%), bakteri (540%), alergi, trauma,


iritan, danlain-lain (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013).Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.Virus
yaitu

Rhinovirus,

Adenovirus,

Coxsackievirus, Epstein Barr virus,


yaitu, Streptococcus
Corynebacterium
gonorrhoeae.Jamur

Parainfluenza,

Herpes

virus.Bakteri

hemolyticus group

A, Chlamydia,

diphtheriae, Hemophilus
yaitu Candida jarang

influenzae, Neisseria
terjadi

kecuali

pada

penderita imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS,


Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus
atau yang memperberat (Departemen Kesehatan, 2007).
3

Faktor Resiko
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang

dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus


influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol
yang berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal di lingkungan
kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore, 2013).

Klasifikasi
1.

Klasifikasi Faringitis

a. Faringitis Akut
Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein
Barr

Virus

(EBV),

Virus

influenza, Coxsachievirus,

Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala

dan

tanda

biasanya

terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit


menelan.
Pada

pemeriksaan

tampak

faring

dan

tonsil

hiperemis.Virus influenza, Coxsachievirus dan Cytomegalovirus


tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan
lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupamaculopapular
rash. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis
terutama pada anak. Epstein bar virus menyebabkan faringitis
yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
retroservikal

dan

hepatosplenomegali.

Faringitis

yang

disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,


nyerimenelan, mual dan demam.Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher
dan pasien tampak lemah.
Faringitis bakterial
Infeksi Streptococcus

hemolyticus group

merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%)


dan pada anak (30%). Gejala dan tanda biasanya penderita
mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang- kadang
disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.

Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri


apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri
Streptococcus hemolyticus group A dapat diperkirakan dengan
menggunakan Centor criteria, yaitu :
Demam
Anterior Cervical lymphadenopathy
Eksudat tonsil
Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01
maka

pasien

tidak

mengalami

faringitis

akibat

infeksi Streptococcus hemolyticus group A, bila skor 13


maka

pasien

memiliki

kemungkian

40%

terinfeksi

Streptococcus hemolyticus group A dan bila skor empat pasien


memiliki

kemungkinan

50%

terinfeksi

Streptococcus hemolyticus group A (Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, 2014).
Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
Gejala dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan
nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring
dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini
dilakukan dalam agar sabouroud dextrosa.
Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
5

Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus

dapat secara langsung menginvasi mukosa faring dan akan


menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi
lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid
superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada

awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian


cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan
melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atauabuabu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak
bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior
atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi meradang dan
membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan

Coronavirus dapat

menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal


(Bailey, 2006; Adam, 2009).
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi
lokal dan pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M
protein dari Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur
yang sama dengan sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan
demam reumatik dan kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat
menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen- antibodi (Bailey,
2006; Adam, 2009).
6

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada

mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis


menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia, demam,
suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu: Faringitis viral
(umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan
beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai
rinorea dan mual. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah,
kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan

akhirnya

batuk

yang

berdahak.

Faringitis

atrofi:

umumnya

tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.


Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak
berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik. Bila dicurigai
faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan
seksual (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
7

Pemeriksaan Penunjang
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan

(kultur apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas


9095% dari diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu
penyebab faringitis yang diandalkan (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2005). Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang
dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang
disebabkan

oleh

bakteri

HemolyticStreptococcus (GABHS).
HemolyticStreptococcus (GABHS)

Group
Group
rapid

A BetaA Beta-

antigen detection

testmerupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena


infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika pasien memiliki
risiko sedang atau jika seorang dokter memberikan terapi antibiotik
dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh positif
maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat namun apabila
hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian
dilakukan follow-up. Rapid

antigen detection

test tidak

sensitif

terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri patogen


lainnya (Kazzi et al., 2006).
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok
dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen
diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria
standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase
sensitifitas mencapai 9099%. Kultur tenggorok sangat penting bagi
penderita yang lebih dari sepuluh hari (Vincent, 2004).
8

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan


penyebabnya.Mengatasi

gejala

secepat

mungkin,

membatasi

penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi.


Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu:
Istirahat cukup, minum air putih yang cukup, berkumur dengan air
yang hangat, pemberian farmakoterapi: anti virus metisoprinol
(isoprenosine) diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60100
mg/kgBB dibagi dalam 46 kali pemberian/hari pada orang dewasa
dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 46 kali pemberian/hari.
Faringitis

akibat

bakteri

penyebabnyaStreptococcus group

terutama
diberikan

bila
antibiotik

diduga
yaitu

penicillin G benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau


amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari
dan pada dewasa 3x500 mg selama 610 hari atau eritromisin 4x500
mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid
telah menunjukkan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5
mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.
Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga,Ceftriakson 2
gr IV/IM single dose.Pada faringitis kronik hiperplastik, jika
diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
Penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati.Faringitis kronik
atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi. Parasetamol diberikan
3 kali sehari jika demam di bawah 1 tahun : 60 mg/kali (1/8 tablet), 1 3 tahun : 60 - 120 mg/kali (1/4 tablet), 3 - 6 tahun : 120 - 170 mg/kali
(1/3 tablet), 6 - 12 tahun : 170 - 300 mg/kali (1/2 tablet).

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO,


2012.
2. World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997
3. Suhendro, et al. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed
5, jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2006: 1732-1735
4. World

Health

Organization, Regional Office

for South-East Asia.

Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and


dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi:
WHO-SEARO, 2011. SEARO Technical Publication Series No. 60
5. Srikiatkhachorn Anon et al. DengueHow Best do Classify It. Clinical
Infectious Disease, 2011, 53(6):563567
6. Member of The Technical Working Group On The 2012 PPS. Revised
Guidelines on Fluid Management of DF/DHF
7. WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management
And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7

Anda mungkin juga menyukai