Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit kronik yang


ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Karakteristik hambatan aliran udara
pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yag bervariasi pada
setiap individu.1
Menurut World

Health

Organization (WHO) tahun

1990

PPOK

menempati urutan keenam sebagai penyebab kematian di dunia, tahun 2002


PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab kematian di dunia, dan WHO
memprediksi tahun 2030 PPOK akan menempati urutan ketiga sebagai penyebab
kematian di dunia.2 Prevalensi dari PPOK meningkat, tahun 1994 kira-kira 16,2
juta laki-laki dan perempuan menderita PPOK di Amerika dan lebih dari 52 juta
individu di dunia.3
Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan tingkat sebesar 6,3%, dimana
Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan
Vietnam sebesar 6,7%. Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai
PPOK ini sendiri.1
Berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES) tahun 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat kelima sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari

10 penyebab kesakitan utama. SKRT DEPKES 1992 menunjukkan angka


kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat
keenam dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. 2 Dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di
Indonesia sebanyak 3,7%.4
Faktor resiko terjadinya PPOK adalah merokok, hiperresponsif saluran
napas, infeksi saluran napas pada masa kanak-kanak, polusi udara di dalam dan di
luar rumah, perokok pasif dan faktor genetik yaitu defisiensi enzim a1-antitripsin
(a1AT).5
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas
proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vaskular paru. Perubahan patologis
akibat inflamasi terjadi karena peningkatan sel inflamasi di berbagai bagian paru
yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan
perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran
napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun berhenti
merokok.1
Bronkodilator merupakan obat utama untuk penatalaksanaan PPOK.
Diberikan bila diperlukan atau rutin untuk mencegah atau mengurangi gejala dan
eksaserbasi.6

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, Tn.PA, umur 69 tahun, suku Minahasa, alamat Bahu
Lingkungan 1, pekerjaan pensiunan, datang ke Instalasi Gawat Darurat Medik
RSUP Prof. R. D. Kandou, kemudian dirawat di Anggrek 1 tanggal 29 Mei 2015
dengan keluhan sesak napas. Pada anamnesis didapatkan sesak napas sejak 3
tahun yang lalu, pada awalnya sesak hanya dialami setelah beraktifitas fisik, hari
ke hari sesak terjadi saat melakukan pekerjaan harian rutin, sesak dirasakan
semakin memberat pada pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk berlendir
warna kuning sejak tiga hari yang lalu. Pusing juga dialami penderita sejak kurang
lebih dua minggu, dirasakan hilang-timbul. Mual (-), muntah (-), demam (-). BAB
biasa & BAK biasa. Riwayat merokok (+), merokok lebih dari 30 tahun sebanyak
dua bungkus/hari, riwayat penyakit hati, ginjal, diabetes melitus, serta hipertensi
disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaran
kompos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 100 x/menit, respirasi 28
x/menit, suhu 37,0oc. Tinggi badan 165 cm, berat badan 55kg, Indeks Massa
Tubuh (IMT) 20,2 kg/m2. Kepala konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik
tidak ada, terdapat purse lips, JVP 5+0 mmH2O. Bentuk dada barel chest, bunyi
jantung reguler, bising tidak ada. Suara pernapasan vesikuler, ronkhi

/+,

wheezing +/+. Abdomen cembung lemas, bising usus normal, hati dan limpa tidak
teraba, nyeri tekan epigastrium tidak ada. Kulit turgor baik, tidak ikterik, tidak
tampak petechie dan spider nevi. Ekstermitas hangat, edema (-).
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Mei 2015 leukosit 5728/uL,
eritrosit 4,48 10^6/uL, hemoglobin 13,1 g/dL, hematokrit 39,3%, trombosit 242

10^3/uL, MCH 29, MCHC 33 g/dL, MCV 88 fL, ureum darah 24 mg/dL,
creatinin darah 1,1 mg/dL, GDS 161 mg/dL, chlorida darah 107,0 mEq/L, kalium
darah 3,70 mEq/L, Natrium darah 138 mEq/L. Hasil x-foto thorax PA terdapat
gambaran corakan vaskular kasar, perpotongan sela iga dengan diafragma
mendatar, gambaran costae mendatar, sela iga melebar.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
penderita didiagnosis dengan PPOK Eksaserbasi Akut + Infeksi sekunder.
Penderita ini diterapi dengan O2 2-4 L/menit, IVFD NaCl 0,9% 20gtt/menit,
nebulizer combivent pulmicort/8 jam, injeksi ceftriaxone 2x1gr (skin test),
Ambroxol 3x1 tablet, Paracetamol 3x500mg.
Pada tanggal 30 Mei 2015, keadaan penderita masih sesak. Tekanan darah
130/80 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 26x/menit, suhu 37,5 0C. Kepala
konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, JVP 5+0 mmH 2O. Bunyi
jantung reguler, bising tidak ada. Suara pernapasan vesikuler, ronkhi

/+,

wheezing +/+. Abdomen cembung lemas, bising usus normal, hati dan limpa tidak
teraba, nyeri tekan epigastrium tidak ada. Kulit turgor baik, tidak ikterik, tidak
tampak petechie dan spider nevi. Ekstermitas hangat, edema (-). Penderita
didiagnosis dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut + Infeksi
sekunder. Terapi pada penderita yaitu O2 2-4 L/menit, IVFD NaCl 0,9%
20gtt/menit, nebulizer combiven pulmicort/8jam, injeksi ceftriaxone 2x1gr,
Ambroxol 3x1 tablet, Paracetamol 3x500mg.
Pada tanggal 31 Mei 2015, keluhan pasien masih sesak tetapi hilangtimbul, batuk (+). Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 24
x/menit, suhu 37,20C. Kepala konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak

ada. Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5+0 mmH 2O. Bunyi jantung
reguler, bising tidak ada. Suara pernapasan veikuler ronkhi +/+, wheezing +/+.
Abdomen cembung, lemas, bising usus normal, hati dan limpa tidak teraba, nyeri
tekan epigastrium tidak ada. Kulit turgor baik, tidak ikterik, tidak tampak petechie
dan spider nevi. Ekstermitas hangat, edema (-). Penderita didiagnosis dengan
PPOK Eksaserbasi Akut + Susp.Pneumonia. Terapi pada penderita yaitu O 2 2-4
L/menit, IVFD NaCl 0,9% 20gtt/menit, nebulizer combivent pulmicort/8 jam,
injeksi ceftriaxone 2x1gr, ambroxol 3x1 tablet, paracetamol 3x500mg.
Pada tanggal 1 Juni 2015, keluhan pasien masih sesak tetapi hilang-timbul,
batuk (+). Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 24 x/menit,
suhu 37,20C. Kepala konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada.
Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5+0 mmH 2O. Bunyi jantung reguler,
bising tidak ada. Suara pernapasan veikuler ronkhi +/+, wheezing +/+. Abdomen
cembung, lemas, bising usus normal, hati dan limpa tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium tidak ada. Kulit turgor baik, tidak ikterik, tidak tampak petechie dan
spider nevi. Ekstermitas hangat, edema (-). Penderita didiagnosis dengan PPOK
Eksaserbasi Akut + Susp.Pneumonia. Terapi pada penderita yaitu O 2 2-4 L/menit,
IVFD NaCl 0,9% 20gtt/menit, nebulizer combivent pulmicort/8 jam, injeksi
ceftriaxone 2x1gr, ambroxol 3x1 tablet, paracetamol 3x500mg.
Pada tanggal 2 Juni 2015 keluhan sesak ketika pasien batuk (+). Tekanan
darah 130/80 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 22x/menit 37,2 0 C. Kepala
konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada. Pembesaran kelenjar getah
bening (-), JVP 5+0 mmH2O. Suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/-, wheezing +/
+, Abdomen cembung lemas, bising usus normal, hati dan limpa tidak teraba,

nyeri tekan epigastrium tidak ada. Kulit turgor baik, tidak ikterik, tidak tampak
petechie dan spider nevi. Ekstermitas hangat, edema (-). Penderita didiagnosis
dengan PPOK Eksaserbasi Akut + Infeksi sekunder. Terapi pada penderita yaitu
O2 2-4 L/menit, IVFD NaCl 0,9% 20gtt/menit, nebulizer combivent:Pulmicort/8
jam, injeksi ceftriaxone, ambroxol 3x1 tablet, paracetamol 3x500mg.
Pada tanggal 3 Juni 2015 pasien rencana pulang. Keluhan pasien batuk
minimal, sesak (-). Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36,80C. Kepala konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak
ada. Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5+0 mmH 2O. Suara pernapasan
vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, Abdomen cembung lemas, bising usus normal,
hati dan limpa tidak teraba, nyeri tekan epigastrium tidak ada. Kulit turgor baik,
tidak ikterik, tidak tampak petechie dan spider nevi. Ekstermitas hangat, edema
(-). Terapi pada penderita yaitu Cefixim 2x100mg tablet, Ambroxol 3x1 tablet,
Symbicort 1x1 puff.

PEMBAHASAN
Penyakit paru obstruksi kronik adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udarah di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel
atau reversibel parsial. Penyakit paru obstruksi kronik terdiri dari bronkitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik ialah kelainan saluran
napas yang ditandai oleh batuk kronik, sekurang-kurangnya dua tahun berturutturut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema ialah suatu kelainan anatomis
paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli.7
Etiologi

dan

faktor

resiko

terjadinya

PPOK

adalah

merokok,

hiperresponsif saluran napas, infeksi saluran napas pada masa kanak-kanak, polusi
udara di dalam dan di luar rumah, perokok pasif dan faktor genetik yaitu
defisiensi enzim a1AT.5 Pada kasus ini pasien tergolong dalam perokok aktif sejak
lebih dari 30 tahun, banyaknya 2 bungkus/hari.
Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok mempunyai risiko 4 kali
lebih besar daripada bukan perokok, dimana faal paru cepat menurun. Penderita
pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan
faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, insiden PPOK 1
kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering
batuk, berdahak,sering sesak, kelak pada masa tua timbul emfisema.8
Faktor resiko merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan
atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan

menyebebkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit


dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi,
terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen

asap

rokok

tersebut

juga

merangsang

terjadinya

peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif


merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibatnya hilangnya elastisitas
saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara
kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps.9
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas
proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vaskular paru. Perubahan patologis
akibat inflamasi terjadi karena peningkatan sel inflamasi di berbagai bagian paru
yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan
perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran
napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun berhenti
merokok.1
Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan eksaserbasi akut.
Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan

dengan gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan


yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi akut ini biasanya disebabkan oleh
infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara dan golongan sedatif.
Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui. Pasien yang
mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala khas seperti sesak napas
yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau
purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti
malaise, fagitue, dan gangguan susah tidur. Gejala respirasi yaitu berupa sesak
napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum,
batuk yang semakin sering dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik
ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan
status mental pasien. Disamping itu juga diperlukan pemeriksaan penunjang;
pemeriksan spirometri dan pemeriksaan lain seperti foto toraks, analisa gas darah,
tes reversibel bronkodilator, pemeriksaan a1AT.10
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain:
-

Radiologi (foto thoraks)


Spirometri
Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah

terjadihipoksia kronik)
Analisa gas darah
Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihhan antibiotik bila
terjadieksaserbasi).

Meskipun kadang-kadang hasil pmeriksaan radiologis masih normal pada PPOK


ringan tetapi pemriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dan
keluhan pasien. Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :

Paru hiperinflasi atau hiperlusen


Diafragma datar
Corakan bronkovaskular meningkat
Bulla
Jantung pendulum.

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis


ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik dan
berdahak dengan sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang
yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.11
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi
obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Pemberian
beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan
adenilsiklase, yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang
menyebabkan bronkodilatasi. Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis
melalui nervus vagus. Golongan agonis beta-2 yang dianggapselektif antara lain
adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Disamping
bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi
lendir.12
Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator
utama pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih
dominan disebabkan oleh komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan
golongan bronkodilator lain sepertiagonis beta-2 memberikan efek bronkodilatasi
yang lebih baik, sehingga dosis dapat di turunkan sehingga efek samping juga
menjadi sedikit.12

10

DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI, 2006. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan PPOK di Indonesia.


Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Hal 1-31.
2. Departemen Kesehatan RI (DEPKES RI). Pedoman Pengendalian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). DEPKES RI. Jakarta. 2008.
3. Juvelekian G, Stoller JK. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
In: Abelson A, Gordon S, Hobbs R, Hoogwerf BJ, Kothari S, Lang DM, et
al, editors. Current Clinical Medicine. 1st ed. China: Elsevier Inc; 2009.
p.1067-1073.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. LITBANG
DEPKES RI. Jakarta. 2013.
5. FishmanS, A.P, et al. 2008. FishmanS Pulmonary Disease and Disorder,
Volume 1& 2, edition 4th. New York: Mc Graw Hill, Pp: 707-727.
6. Wisbono, M. Hariadi, S. Buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK-UNAIR Surabaya. Hal; 49.
7. GOLD. 1012, Global Strategy for The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. [citied 2012
October 24].
8. Assagaf, Hood. Mukty, Abdul. Penyakit paru obstruktif menahun. Dalam :
Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Yogyakarta; UGM Press;2009.
9. Prince, S & Wilson, L. 2006. Patofisiologi, Edisi 6,. Jakarta: EGC. Hal :
784-791.
10. Supari, Siti Fadilah. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008; 3-51.
11. Alsagaff, H & Mukty, A 2008. DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT
PARU. Surabaya: Airlangga University Press, Hal: 231-253

11

12. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi. Jakarta; Bagian

pulmonologifakultas kedokteran universitas indonesia; 2008; 28-32.

12

Anda mungkin juga menyukai