PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan. Kadar abu suatu
bahan erat kaitannya dengan kandungan mineral bahan tersebut. Berbagai mineral
didalam bahan ada didalam abu pada saat bahan dibakar.
Mineral adalah suatu zat ( fasa ) padat yang terdiri dari unsur atau
persenyawaan kimia yang dibentuk secara alamiah oleh proses-proses anorganik,
mempunyai sifat-sifat kimia dan fisika tertentu dan mempunyai penempatan atomatom secara beraturan di dalamnya, atau dikenal sebagai struktur kristal.
Selain itu kata mineral juga mempunyai banyak arti, hal ini tergantung darimana kita
meninjaunya.
Mineral dalam arti farmasi lain dengan pengertian di bidang geologi. Istilah
mineral dalam arti geologi adalah zat atau benda yang terbentuk oleh proses alam,
biasanya bersifat padat serta tersusun dari komposisi kimia tertentu dan mempunyai
sifat-sifat fisik yang tertentu pula. Mineral terbentuk dari atom-atom serta molekulmolekul dari berbagai unsur kimia, dimana atom-atom tersebut tersusun dalam suatu
pola yang teratur. Keteraturan dari rangkaian atom ini akan menjadikan mineral
mempunyai sifat dalam yang teratur. Mineral pada umumnya merupakan zat
anorganik. (Murwanto, Helmy, dkk. 1992) (Putra Pamungkas, 2010)
Maka pengertian yang jelas dari batas mineral oleh beberapa ahli geologi
perlu diketahui walaupun dari kenyataannya tidak ada satupun persesuaian umum
untuk definisinya. Sebagian besar mineral mineral ini terdapat dalam keadaan padat,
akan tetapi dapat juga berada dalam keadaan setengah padat, gas, ataupun cair.
Mineral mineral padat itu biasanya terdapat dalam bentuk bentuk kristal, yang agak
setangkup, dan yang pada banyak sisinya dibatasi oleh bidang bidang datar. Bidang
bidang geometric ini memberi bangunan yang tersendiri sifatnya pada mineral yang
bersangkutan. Minyak bumi misalnya adalah mineral dalam bentuk cair, sedangkan
gas bumi adalah mineral dalam bentuk gas.
Sebagian dari mineral dapat juga dilihat dalam bentuk amorf, artinya tidak
mempunyai susunan dan bangunan kristal sendiri. Pengenalan atau determinasi
mineral mineral dapat didasarkan atas bebagai sifat dari mineral mineral tersebut.
1.2
Sebagai salah satu tuntutan untuk menyelesaikan tugas wajib mata kuliah
Analisis Hasil Pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Beberapa contoh kadar abu dalam beberapa bahan dapat dilihat pada
table 1.1.
Table 1.1. kadar abu beberapa bahan
Macam Bahan
Milk
% Abu
0,5 1,0
1,5
Buah-buahan segar
0,2 0,8
3,5
Biji kacang-kacangan
1,5 2,5
Daging segar
12
12
Gula, madu
0,5
Sayur-sayuran
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang
terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organic
dan garam anorganik. Yang termasuk dalam garam organic misalnya garam-garam
asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain adalah
dalam bentuk garam posfat, karbonat, khlorida, sulfat dan
nitrat. (Slamet
Sudarmadji,1989.)
dalam bentuk aslinya adlah sangat sulit, oleh karena itu biasanya
Bahan yang banyak mengandung Mg adalah kacang-kacangan, serealia, sayursayuran, buah-buahan, dan daging.
g) Belerang (S)
Banyak terdapat dalam bahan yang kaya akan protein seperti susu, daging,
kacang-kacangan dan telur.
h) Kobalt (Co)
Bahan yang kaya mineral Co adalah sayur-sayuran dan buah-buahan.
i) Zink (Zn)
Bahan makanan hasil laut (seafood) merupakan bahan yang banyak mengandung
unsur Zn. (Slamet Sudarmadji,1989.)
2.3.
menjadi duatahapan yaitu; pertama penentuan kadar abu (total larut dan tidak larut),
keda penentuan individu komponen.
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan yaitu antara
lain:
a. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan.
Misalnya pada proses penggilingan gandum diharapkan dapat dipisahkanantara
bagian endosperm dengan kulit/bekatul dan lembaganya. Apabila masih banyak
bekatul atau lembaga terikut dalam endosperm maka tepung gandum yang
dihasilkan akan mempunyai kadar abu yang relative tinggi. Hal ini karena pada
bagian bekatul kandungan mineralnya dapat mencapai 20 kali lebih banyak
daripada dalam endosperm.
b. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan.
Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah
yang digunakan untuk membuat jelly atau marmalade. Kandungan abu juga dapat
dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintetis.
c. Penentuan abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan.
Adanya kadar abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan
adanya pasir atau kotoran yang lain. (Slamet Sudarmadji,1989.)
Penentuan kadar abu total dapat dikerjakan dengan pengabuan secara kering
atau cara langsung dan dapat pula secara basah atau cara tidak langsung. Prinsip
penentuan kadar abu didalam bahan pangan adalah dengan menimbang berat sisa
mineral hasil pembakaran bahan organic pada suhu sekitar 550oC. penentuan kadar
abu dapat dilakukan secara langsung dan secara tidak langsung. (Legowo M, dan
Nurwanto, 2004)
2.3.1. Penentuan kadar abu secara langsung.
Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasikan semua zat organic pada
suhu tinggi, yaitu sekitar 500 600oC selama beberapa (2-8) jam dan kemudian
melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut.
Sampel yang akan diabukan ditimbang sejumlah tertentu tergantung macam
bahannya. Beberapa contoh bahan dan jumlah berat yang diperlukan dapat dilihat
pada table berikut:
Table 1.2. Berat bahan untuk pengabuan
Macam Bahan
35
5 10
10
25
Anggur
50
250oC
450oC
650oC
700oC
750oC 8
Potassium khlorida
16 jam
-
8 jam
1,36
jam
8,92
Potassium sulfat
1,11
0,33
0,00
0,00
Potassium karbonat
1,53
0,07
1,01
2,45
Kalsium khlorida
1,92
0,93
14,31
Mencair
Kalsium sulfat
1,37
0,40
0,00
0,00
Kalsium karbonat
0,22
42,82*) -
Kalsium oksida
3,03
0,55
0,00
0,00
Magnesium sulfat
31,87
32,61
0,33
Magnesium khlorida
74,72
78,28
0,30
0,00
Sumber: Joslyn, 1970. Dalam buku: Analisa bahan makanan dan pertanian, Slamet Sudarmadji,1989.
*) sebagai kalsium oksida.
menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu maka
krus yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle harus lebih dahulu dimasukkan
kedalam oven bersuhu 105oC agar suhunya turun, kemudian dimasukkan kedalam
eksikator sampai dingin. (Slamet Sudarmadji,1989.)
Eksikator yyang digunakan harus dilengkapi dengan zat penyerap air misalnya
silica gel atau kapur aktif atau kalsium khlorida, sodium hidroksida. Agar eksikator
dapat dengan mudah bergeser tutupnya, maka permukaan gelas diolesi dengan
vaselin. (Slamet Sudarmadji,1989.)
Pengabuan sering memerlukan waktu cukup lama, untuk mempercepat
pengabuan dapat ditempuhberbagai cara, antara lain sebagai berikut:
1. Mencampur bahan dengan pasir kwarsa murni sebelum pengabuan. Hal ini
dimaksudkan untuk memperbesar luas permukaan dan mempertinggi porositas
sampel sehingga kontak antara oksigen dengan sampel selama proses pengabuan
akan diperbesar. Dengan demikian oksidasi zat-zat organic akan berjalan dengan
lebih cepat sehingga waktu pengabuan dapat dipercepat. Pasir yang digunakan
harus betul-betul bebas dari zat organic dan bebas abu.
2. Menambahkan campuaran gliserol-alkohol kedalam sampel sebelum diabukan.
3. Menambahkan hydrogen peroksida pada sampel sebelum pengabuan akan dapat
mempercepat proses pengabuan karena peroksida dapat membantu proses
oksidasi bahan. (Slamet Sudarmadji,1989.)
2.3.2. Penentuan kadar abu secara tidak langsung (cara basah).
Penentuan kadar abu dengan cara basah dilakukan dengan cara melarutkan
sampel kedalam cairan yang ditambahkan oksidator. Setelah itu baru dilakukan
pembakaran sampel. Cara pengabuan ini disebut pengabuan cara basah dan
keuntungannya adalah suhu pembakaran tidak terlalu tinggi. (Legowo M, dan
Nurwanto, 2004).
AAS kandungan
beberapa jenis mineral didalam bahan pangan dapat ditentukan. (Legowo M, dan
Nurwanto, 2004).
Pengabuan cara basah prinsipnya adalah memberikan reagen kimia tertentu
kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Berbagai bahan kimia yang sering
digunakan untuk pengabuan basah ini dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Asam sulfat sering ditambahkan kedalam sampel untuk membantu mempercepat
terjadinya reaksi oksidasi.
Indicator merah metal. Indicator ini dibuat dengan cara melarutkan 0,5 gram
merah metal dalam 100ml alcohol 95%.
KMnO4 0,1 dan 0,01 N. larutan KMnO4 dibuat pada saat akan digunakan.
(Legowo M, dan Nurwanto, 2004)
b) Prosedur
-
Kemudian ditambah beberapa tetes asam asetat sampai terbentuk warna merah
muda (pH 5,0).
Larutan dididihkan dan didiamkan sekitar 4 jam atau 1 malam pada suhu
kamar.
Larutan disaring dengan kertas whatman No. 42 dan dibilas dengan aquadest
hingga filtrate bebas oksalat.
Endapan dibilas dan dipindahkan dengan asam sulfat encer panas dan
dimasukkan kedalam gelas piala.
Larutan dalam keadaan agak panas (70-80oC) dititrasi dengan larutan KMnO4
0,01 N sampai berwrna merah jambu.
Ca (mg/100 g sampel) =
3.1.
KKK
3.2.
KKK
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Iman. 2011. Mineral untuk Nutrisi Tubuh. Diunduh dari http://doktermedis.blogspot.com/2009/06/mineral-untuk-nutrisi-tubuh.html. (diakses
25 Nov. 2012).
Sudarmadji, S., B. haryono dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Penerbit Liberty Yogyakarta Bekerjasama dengan Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Lehninger AL, and M Thenawidjaya. 1982. Principles of Biochemistry. 3 rd ed. Worth
Publisher, Inc. London.
11
Linder MC, dan HN Munro. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI Press.
Jakarta. Supriyadi A. 2009. Biologi Kimia. Primagama. Yogyakarta.
Muchtadi D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. CV Alfabeta. Bandung.
Mohsin
Y.
2006.
Natrium.
Diunduh
dari
try.org/tabel_periodik/natrium/ (diakses 25 Nov. 2012)
http://www.chem-is-
Legowo M, dan Nurwanto, 2004. Diktat Kuliah Analisis Pangan. Undip Press.
Semarang.
12