Anda di halaman 1dari 7

Matahari Yang Terbit di Pantai Bama

Dadaku seperti terhimpit. Tangan gemetar meredam rasa gundah. Kaki pun seolah
berat untuk kubawa melangkah. Haruskah aku datangi tempat itu lagi? Siapkah aku untuk
berhadapan dengan kenangan di sana? Kenangan yang menyelinap di celah-celah pasir
putihnya. Kenangan yang datang bersama tenangnya ombak dan laut nan damai. Kenangan
hangat, sehangat mataharinya. Beranikah diriku untuk sejanak bermesra dengan masa lalu?
Di mana telah tertinggal perih hati karenanya? Kini, satu per satu kenangan tersebut mulai
berseliweran di kepala. Seperti pecahan-pecahan puzzle yang meminta disusun hingga
membentuk sebuah cerita. Namun, pada akhirnya aku tetap melangkah jua ke sana.
Bermula di watching tower Taman Nasional Baluran. Wanita itu tengah serius
mengambil gambar gunung, ikon taman nasional, yang megah menantang angkasa. Puncaknya
sedikit tertutup awan menambah keelokan. Tangan wanita itu memutar-mutar lensa panjang
kameranya, mencari gambar terbaik. Aku berdiri di belakang wanita itu.
Sedang memotret apa? Pertanyaan bodoh itu meluncur dari mulutku. Mungkin
wanita itu akan mengira aku sedang gugup.
Dia terkejut dengan suaraku. Terdiam sejenak dan memandangku lekat-lekat sebelum
menjawab. Tidakkah kau lihat?
Kuambil beberapa langkah mendekatinya hingga kami berdiri bersisian. Dia kembali
membidikkan kameranya. Di tengah-tengah keasyikannya itu, aku menimpali dengan obrolan
tentang: apakah itu adalah kunjungan pertamanya, dari mana asalnya, sudah berkunjung ke
mana saja, hingga tentang diriku yang sering datang berlibur ke Taman Nasional Baluran.
Kalau kau suka memotret burung-burung, kau bisa datangi birdwatching di hutan
bakau. ucapku.
Boleh juga. Kau bisa mengantarku?
Tentu saja. Dengan senang hati.
Dia tersenyum padaku mengulurkan tangannya. Seren.
Gilang. balasku sembari tersenyum.

Itu adalah pertama kali aku mengenalnya. Wanita dari Jakarta yang nekat berlibur
sendiri. Melihat dari penampilannya, sepertinya dia wanita dengan gaya berlibur yang
mewah. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya sampai berani melakukan hal itu. Tapi
menurutku, itu bukan sesuatu yang biasa. Jarang sekali aku bertemu dengan wanita yang
datang seorang diri ke tempat wisata alam liar.
Tak tahu kenapa, menyadari hal itu, aku merasakan sesuatu yang beda darinya. Aku
pikir wanita itu pun tak biasa. Bayangan dirinya yang sibuk memotret dan senyum di bibirnya
bermunculan dalam pikiran. Ketika membayangkan esok hari (dan hari-hari setelahnya) kami
akan menikmati liburan bersama, senyum pun tersimpul di bibirku. Ah, apa aku mulai jatuh
cinta padanya? Tidak, tidak. Segera kutepis perasaan seperti itu.
Sesuai janjiku di awal, kuajak dia ke beberapa tempat. Seperti bersafari di padang
sabana Bekol nan luas. Dan bila beruntung kita akan bertemu hewan-hewan liar penghuni
taman nasional.
Tak salah kalau tempat ini disebut Africa van Java. katanya.
Kemudian dia berlari-lari membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Gerakan kakinya
lincah. Sesekali dia memutar tubuh. Tak kusia-siakan pemandangan itu. Kubidikkan
kameraku ke arahnya. Kuamati hasilnya danaku dibuat takjub. Dengan berlatar Gunung
Baluran yang kehijauan, kontras dengan padang sabana kuning kerontang, Seren berdiri di
sana.
Semua berjalan seperti yang kuharapkan. Kami menikmati hari pertama setelah kami
kenal dengan tawa dan rasa bahagia. Bahkan sesekali terjadi hal yang tanpa sengaja membuat
kami terdiam. Saling memandang. Menciptakan perasaan aneh dalam diriku. Rasanya hatiku
seperti berdesir halus. Seperti angin yang laun berhembus. Oh, semoga itu bukanlah tandatanda bahwa aku mulai mencintainya.
Aku kagum padamu. ucapku pada Seren di tengah perjalanan pulang menuju
penginapan kami di Wisma Rusa.
Maksudmu?
Kau berani sekali datang ke mari tanpa seorang teman.
Dia diam sejenak lalu menjawab, Tidak ada yang perlu kaukagumi dari itu.

Perasaan di awal perkenalan, di mana aku merasa dia bukan wanita biasa, mulai
berubah menjelma rasa kagum. Aku pun tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Bagian hati
terkecilku turut berkata bahwa rasa kagum itu kelak akan mewujud rasa-rasa lain, sebab tak
mampu lagi kututup-tutupi rasa nyamanku saat berada di dekatnya.
Hari kedua kami berburu gambar-gambar nan elok burung-burung di hutan mangrove.
Sebenarnya, ada banyak jenis burung yang hidup di sana. Akan tetapi, kami hanya
menemukan beberapa jenis burung seperti Cekakak Sungai, Elang Brontok dan Rangkong.
Seren tak mau kehilangan momen itu. Dia, dengan lihai, mengambil gambar mereka yang
bertengger indah di batang-batang bakau.
Bagus, ya. Senyum terkembang di sudut bibirnya saat melihat hasil potretannya.
Rasa senang memburu gambar burung-burung membuat kami tak sadar bahwa
matahari hampir tenggelam. Sebelum pulang, Seren mengajakku menikmati senja yang telah
tampak di Pantai Bama. Aku menyetujui permintaannya itu. Matahari telah separuh tertelan
lautan. Sinarnya yang kejinggaan disapukan ke hamparan langit. Seren tiba-tiba berjalan
mendekati tepian pantai. Air laut menenggelamkan kakinya yang tanpa alas beberapa senti.
Seren! Kupanggil dia dan aku telah siap dengan bidikan kameraku ke arahnya. Dia
berbalik menoleh dan kudapatkan gambarnya. Siluet dirinya berlatar senja. Indah!
Hei, kau curang! Seren berlari ke arahku. Aku menghindar dari kejarannnya. Lalu
kami pun saling berkejaran seperti dua bocah yang bahagia bermain di tepian pantai.
Tangannya menggapai-gapai tubuhku. Namun, aku mampu mengelit. Akhirnya dia kesal
karena tak kunjung bisa menangkapku. Tawa pun tak bisa kutahan melihat sikapnya yang
demikian.
Seren terlihat kelelahan dan duduk di atas pasir. Aku turut menemaninya. Kupandangi
wajahnya dari samping. Bulu mata lentiknya nampak jelas mencuat. Hidungnya yang bangir
menambah elok objek pandanganku itu. Dia sedikit terkejut ketika aku meraih tangannya.
Namun tak nampak penolakan darinya.
Pantai ini tak terkenal dengan sunset-nya. ucapku.
Lalu?
Sunrise di sini sangat melegenda.

Kenapa begitu?
Kau tahu, kita berada di ujung timur pulau Jawa. Matahari di sini adalah yang
pertama kali menyapa pulau ini. Dan kau bisa menyaksikannya langsung tanpa terhalang
apapun.
Aku jadi ingin melihatnya, sahut Seren. Kedua matanya berbinar. Besok kita ke
sini, ya?
Jangan. Nanti saja di hari terakhirmu berlibur. Besok kita ke Bilik Sijile.
Matahari telah hilang dari pandangan. Langit juga mulai terlihat gelap. Bintang barat
mulai memperlihatkan diri. Air laut telah naik ke permukaan dan kaki-kaki kami pun tersapu
olehnya. Kami tetap duduk bersisian. Hanya saja kepala Seren telah rebah di bahuku. Entah
bagaimana mulanya hal itu terjadi. Tanganku merangkul tubuhnya seolah tak mau gigil angin
petang itu membuatnya kedinginan.
Dari sekian banyak tempat wisata, kenapa kau memilih tempat ini?
Seren terdiam sejenak. Sejujurnya, ini pertama kalinya aku datang ke wisata alam
liar. Aku terlalu bosan menikmati gaya liburanku. Aku ingin menikmati sesuatu yang baru.
Teman-temanku menyarankanku untuk ke sini.
Aku sudah menduga kalau kau punya gaya liburan yang mewah. ucapku. Seren
hanya tersenyum. Bagaimana kau bisa sampai ke sini? Kau tidak tersesat, kan?
Apa kau sudah cukup modern untuk menggunakan internet? Dia tergelak.
Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan, Aku masih belum tahu kenapa kau pergi
seorang diri.
Kau seperti wartawan. Banyak tanya. katanya kembali tergelak.
Aku tidak bertanya.
Aku tahu, tapi kalimatmu mengandung rasa keingintahuanmu.
Setelah mengucapkan itu dia terdiam. Entah mengapa, setiap kali aku menyinggung
masalah itu, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Namun aku membiarkannya, sebab
kurasa itu perihal pribadinya.

Gilang, Tiba-tiba tangannya erat menggengam tanganku.


Ya?
Menurutmu, bagaimana bila ada seseorang yang mencintaimu, tapi kau tidak
mencintainya?
Aku diam sejenak memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya. Tentu akan
kutinggalkan orang itu.
Kau akan menyakitinya, Gilang.
Bukankah jika kau tetap bersamanya, kau telah berpura-pura mencintainya?
Tak ada jawaban dari Seren. Namun terdengar isakan kecil darinya. Aku melepaskan
pelukanku. Kenapa kau menangis?
Bahu Seren berguncang. Isakannya mulai terdengar lebih keras. Aku mengangkat
wajahnya. Di kedua pipinya telah terbetuk sungai kembar. Tiba-tiba dia menabrak tubuhku
dan membenamkan diri dalam pelukanku.
Gilang, temani aku. Aku nyaman bersamamu. katanya sembari terisak.
Air laut pun makin pasang. Kami tak menyadari bahwa pakaian kami telah basah
karenanya. Langit telah berubah pekat. Tak ada suara apapun selain deburan ombak petang
itu. Kami kembali menuju penginapan. Sepanjang perjalanan di hutan tak ada cahaya apapun
selain sinar lampu mobil kami. Sejauh mata kami memandang semuanya terlihat hitam.
Sunyi.
Tiba-tiba dia membenamkan wajahnya ke lenganku setelah melihat cahaya bulat-bulat
kuning bergerak-gerak di kegelapan. Dia memekik ketakutan. Tangan kiriku langsung
merangkulnya. Tak usah takut. Itu mata rusa-rusa yang mencari makan. Ambil kameramu.
Jangan lewatkan pemandangan langka ini.
Hari-hari berikutnya kami lewati tanpa kehilangan bahagia. Kami pergi ke Bilik Sijile
berdua menggunakan perahu yang kami sewa dari nelayan setempat, melihat keindahan
bawah laut yang masih terpelihara dengan baik. Kami juga pergi memburu gambar hewanhewan liar seperti kawanan rusa, burung merak, langur, bahkan kami sempat bertemu ajag.

Selama kebersamaan kami itu muncul sesuatu dalam hatiku, yang bahkan aku sendiri tak
mampu mengerti. Entah jatuh cinta atau hanya sekadar rasa suka.
Jika kusebut itu rasa suka, tak mungkin sampai-sampai aku tak mau kehilangan
dirinya. Rasa suka tak pernah sejauh itu melangkah. Namun, jika kusebut itu cinta, bisakah
hal itu tumbuh dalam waktu yang singkat? Kutahu bahwa cinta butuh waktu, tak bisa sekadar
tumbuh dengan sekejap.
Tapi, aku tak perduli dengan hal itu. Aku hanya merasa perasaan nyaman itu perlahan
menciptakan rasa tak mau kehilangan dia dan ingin tetap bersamanya. Ke mana pun Seren
memintaku menemaninya, kupastikan aku selalu ada di sampingnya dan menggandeng
tangannya. Kuharap dia tahu perasaanku sebelum waktuku bersamanya berakhir. Kuharap
pula apa yang kurasakan tak akan beda dengan perasaannya.
Udara masih terasa dingin pagi itu. Orang-orang belum banyak yang terjaga. Suara
jangkrik ramai terdengar layaknya paduan suara. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru,
takut didahului naiknya matahari, gegas aku keluar menemui Seren di kamarnya. Kuketuk
pintunya perlahan. Sekali, tak ada jawaban. Dua kali, tetap tak ada. Ketiga kalinya sedikit
lebih keras. Namun, sama. Tetap tak ada jawaban. Seorang penjaga penginapan akhirnya
berkata bahwa Seren telah pergi semalam. Kudengarkan dengan seksama penuturan penjaga
itu. Darahku seketika terasa membeku. Tulang-tulang yang menyanggah tubuh seperti
melemas. Kaki pun rasanya tak mampu lagi menopang. Aku tercekat tak mampu menguca
apa-apa. Aku terduduk di depan pintu kamarnya. Kenyataan itu seperti mengiris pelan
perasaanku. Beberapa bulir airmata jatuh lembut di pipi.
Apakah laki-laki Jakarta yang menjemputmu semalam adalah yang kau maksud di
pantai itu, Seren? Tak bisakah kau berkata jujur padaku tentang semuanya? Mengapa kau
biarkan semua ini terjadi, jika pada akhirnya kau akan meninggalkanku dengan cara seperti
ini? Tidakkah terbaca sikap-sikapku bahwa aku mencintaimu, Seren?
Kini, aku telah berdiri di atas pasir Pantai Bama yang putih, menanti matahari
menampakkan diri. Bau lautnya masih sama seperti terakhir aku datang bersama Seren.
Ombaknya pun tetap ramah menyentuh mata kaki. Dingin menjalar ke seluruh tubuhku.
Benak pun terbang pada suasana hangat kala Seren berada dalam pelukanku petang itu. Aku
menghadap ke bawah di mana kakiku berpijak. Mungkinkah aku temukan jejak-jejak Seren

di sini untuk sekadar menghilangkan rasa rindu pada masa lalu? Tapi aku menyadari itu
tindakan bodoh. Tentulah ombak telah menghapusnya sejak lama.
Sinar jingga keungu-unguan mulai nampak di langit timur. Ujung matahari pun
muncul dari lautan sampai akhirnya bola api raksasa itu telah separuh nampak ke permukaan.
Cantik. Kuarahkan kameraku ke arahnya. Dan dapatlah gambar-gambar sunrise di Bama.
Sunrise yang kujanjikan pada Seren. Sunrise yang menggambarkan kehadirannya. Sunrise
yang membuat hidupku terang benderang, hangat dan indah, meski pada akhirnya dia
terbenam meninggalkanku. Namun, matahari yang tenggelam akan selalu kembali terbit. Jika
Seren tak akan pernah kembali, akan ada matahari-matahari lain yang datang.
Sedang memotret apa?
Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh dan seorang wanita berdiri di belakangku.
Kupandangi wajahnya. Tidakkah kau lihat? jawabku.
Dia melempar senyum. Melangkah mendekat dan berdiri bersisian denganku.
Tangannya terjulur ke arahku. Bunga.
Aku diam memandangnya sebelum kujulurkan juga tanganku. Gilang. balasku. Dia
kembali tersenyum padaku.
Aku pun membalas senyumannya.

Anda mungkin juga menyukai