PENATALAKSANAAN
SEPSIS NEONATORUM
PANEL AHLI
Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang
dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya
Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Dharma, Sp.PK
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Retno Kadarsih, Sp.MK
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Risma Kaban, Sp. A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
TIM TEKNIS
Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K)
Ketua
dr. Ratna Rosita, MPHM
Anggota
dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS
Anggota
dr. N. Soebijanto, SpPD
Anggota
dr. Suginarti, M.Kes
Anggota
dr. Diar Wahyu Indriati, MARS
Anggota
dr. Syanti Ayu Anggraini
Anggota
dr. Melani Marissa
Anggota
dr. Titiek Resmisari
Anggota
dr. Aini Bachruddin Bachtiar
Anggota
BAB I
PENDAHULUAN
kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan
juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru,
hati, dan lain-lain.9
Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran
hidup) mendorong
melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar
rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara
umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10
1.2. Permasalahan
Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi.
Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.
Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka
kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibiotik
spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam
tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan
penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsis
neonatorum.
Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit
yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran
penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu,
pemeriksaan penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur
merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan
tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil
yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik
antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara.
Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan
sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran
klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi
penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola
resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit
menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi
nosokomial.8,11
Perkembangan
teknologi
kedokteran
yang
tersedia
saat
ini
telah
Interleukin,
PCR,
Procalcitonin,
C-Reactive
Protein,
dan
lain
risiko, keuntungan
dan kerugiannya.
Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu
diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum
sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di
Indonesia.
Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan
yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat
informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah
memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan
akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang
lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini
membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin
belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan
dikembangkan dikemudian hari. 12,13,14
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis
neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan
yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi
Indonesia.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidencebased medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan
sepsis neonatorum.
2. Tersusunnya
rekomendasi
pemerintah
dalam
menetapkan
kebijakan
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
Ib.
Tingkat rekomendasi
A.
B.
C.
BAB III
SEPSIS NEONATORUM
3.1. Definisi
Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi
sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam
sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi
sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses
berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik,
disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.16
3.2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).5
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat
proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan
pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia
coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara
berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang
Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per
1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21
Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara
maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan
penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh
mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis
berdasarkan awitan dan sumber infeksi.
20
Dini
Lambat
Awitan
<72 jam
>72 jam
Sumber infeksi
Jalan lahir
Lingkungan (nosokomial)
Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian
besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak
dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan
sekitar (SAL).9
3.3. Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,
kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.
Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu
berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan
perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab
utama dari sepsis neonatorum.23
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah
diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999
di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan
Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering
ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus
pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada
meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama
Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif
juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24
Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat
pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun
terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada
tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter
sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005
26
1975-1980
1985-1990
1995-2003
RSCM/FKUI
Salmonella sp
Pseudomonas sp
Acinetobacter sp
(Monintja, 1981;
Klebsiella sp
Klebsiella sp
Enterobacter sp
E. coli
Pseudomonas sp
Amir Aminullah
1993, I 2003)
Serratia sp
Amerika Serikat
Group B Strep.
Group B Strep.
E. coli
E. coli
Listeria sp
Group B Strep
Atlanta)
Listeria sp
Enterovirus
Listeria sp
(Shattuck 1992;
Strep. Pneumoniae
Schuchat 1997)
Inggris
Group B Strep.
Group B Strep
(Health PT 2003)
E. coli
Listeria sp
Listeria sp
E. coli
Enterovirus
Enterovirus
Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004
Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering
adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria
monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan
berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulasenegative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,
Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri anaerob. Kolonikoloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva,
dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang
invasif.4
Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar
waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari
survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000
terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien
BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan
21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus
bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram
positif (70,2%). Bakteri Gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%)
sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering
(47,9%) pada SAL (tabel 3).28
Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi hematogen pada
BBLR ( < 1500 Gram)
28
SAD
SAL
Organisme
Jumlah infeksi
Gram-positive bacteria
Mortalitas
(% of total)
(%)
31 (36.9)
26
Jumlah infeksi
Mortalitas
(% of total)
(%)
922 (70.2)
11.2
30 (2.3)
21.9
(total)
SGB
9 (10.7)
Viridans streptococcus
3 (3.6)
Other streptococci
4 (4.8)
Listeria monocytogenes
2 (2.4)
Coagulase-negative
9 (10.7)
629 (47.9)
9.1
1 (1.2)
103 (7.8)
17.2
Staphylococcus
Staphylococcus aureus
Enterococcus species
Other
Gram-negative bacteria
43 (3.3)
3 (3.6)
51 (60.7)
117 (8.9)
41
231 (17.6)
36.2
64 (4.9)
34.0
52 (4.0)
22.6
Pseudomonas
35 (2.7)
74.4
Enterobacter
33 (2.5)
26.8
Serratia
29 (2.2)
35.9
(total)
Escherichia coli
37 (44.0)
Haemophilus influenzae
7 (8.3)
Citrobacter
2 (2.4)
Bacteroides
2 (2.4)
Klebsiella
1 (1.2)
Other
2 (2.4)
18 (1.4)
10
Fungi (total)
2 (2.4)
160 (12.2)
31.8
2 (2.4)
76 (5.8)
43.9
Candida parapsilosis
54 (4.1)
15.9
Other
30 (2.3)
Candida albicans
NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447
16
FIRS/
SIRS
>37.5C)
leukosit
<4000x10 /L
atau
>34000x10 /L
CRP >10mg/dl
IL-6 atau IL-8 >70pg/ml
16 S rRNA gene PCR : Positif
Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai
SEPSIS
SEPSIS BERAT
SYOK
SEPTIK
11
SINDROM DISFUNGSI
MULTIORGAN
KEMATIAN
Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9
29
Suhu
Laju napas
Jumlah leukosit X
menit
per menit
10 /mm
>50
>34
>40
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah
satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
29
Sepsis
Sepsis berat
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7
hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
3.5. Patofisiologi
Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
12
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu: 5,31
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini
ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.
Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan
amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam
rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan
ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir
akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.
INFEKSI
PRANATAL
INFEKSI
INTRANATAL
Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan
Sumber : Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian
terlalu padat, dll.31
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
13
klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain
pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul
akibat beratnya penyakit.32
3.5.1 Respons inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.
Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang
memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab,
sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.33
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki
peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein
spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks
LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14
akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk
transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.32
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
(2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.
Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin
proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak
mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun
non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.16, 34
Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai
dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer
dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan
mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.33,35
14
33
Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang
meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral
dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan
sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon (IFN- ), interleukin 1-
(IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin
antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti
inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi
terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta
kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses
inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ
vital dapat berjalan dengan baik.36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi
fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder
(nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin),
dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan
15
endotel
akan
meningkatkan
jumlah
reseptor
trombin
pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera.
Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini
disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan
ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan
menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.33
3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator
inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung
akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik
secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi
kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin
dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga
mengaktivasi jalur intrinsik.33
Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan
membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis.
Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk
menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-. Selain itu,
trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi
kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.33
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang
terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi.
Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui
lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan
hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.
16
Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company
33
17
disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai
gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat
menyebabkan kematian.33
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular.
18
prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini yang
memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat mekanisme ini.33
33
3.6 DIAGNOSIS
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk
menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk
adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat
lainnya.8
3.6.1. Faktor Risiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi
dan lain-lain.
Faktor risiko ibu:
1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.27,42,43
2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi
perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.42,44,45
3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.27,42
4. Kehamilan multipel.42,44,46
5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.47
19
20
tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat
dilihat dalam tabel 7.6,52
Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak
lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan
kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan
gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat
(letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch
cry, bayi menjadi
(hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan
kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,
ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan
lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).53,54
Tabel 7. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus
Gejala klinis
25
Frekuensi
Aminullah ,
Shattuck,
Pong A,
1993
1992
2003
Gangguan minum
100%
35%
48%
100%
Gangguan nafas/dispnea
59%
27%
33%
Ikterus/hiperbilirubinemia
55%
Jittery/Iritabel
16%
62%
60%
Kejang
48%
19%
42%
23%
Hipertermia/hipotermia
34%
46%
60%
Serangan apnea
20%
15%
31%
Gangguan gastrointestinal
14%
12%
20%
Merintih
Kejang
21
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba
dingin)
Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah
Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini
gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 8). Penegakan
diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan
kategori tersebut.56
Tabel 8. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis
Kategori A
Kategori B
Tremor
Kejang
Tidak sadar
sepsis)
Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tandatanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:56
Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari
Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini);
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6), atau
tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);
22
Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda
atau lebih pada Kategori B;
Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.
Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak
menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis
neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.57
Crepitations
Lethargic or unconscious
Convulsions
Bulging fontanelle
Cyanosis
Reduced digital capillary refill
time
Pus draining from the ear
Redness around umbilicus
extending to the skin
23
3.6.3.
Pemeriksaan Penunjang
3.6.3.1
Laboratorium
lebih banyak
dibandingkan pada dewasa. Hasil kultur positif palsu dapat terjadi akibat
kontaminasi saat pengambilan sampel. Kultur bakteri aerob bermakna
untuk seluruh etiologi bakteri penyebab sepsis neonatorum; sedangkan
kultur bakteri anaerob diindikasikan untuk neonatus yang disertai dengan
abses, hemolisis masif dan pneumonia yang tidak membaik dengan
pengobatan.28
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum adalah 110%. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala
spesifik. Pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan diagnosis atau
24
B. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua
dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam
melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini
dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk
golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.5 Walaupun dilaporkan
terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk
identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan
fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan
penggunaan antibiotic pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri.61
Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai,
seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena
merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia.
Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair
dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec dan BacT
Alert dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan
kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,
25
62
Haematological tests
Total white blood cell count
Total neutrophil count
Immature neutrophil count
Immature/total neutrophil ratio
Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Dohle
bodies, intracellular bacteria
Platelet count
Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)
D-dimer
Fibrinogen
Thrombin-antithrombin III complex (TAT)
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteins
a1 Antitrypsin
C Reactive protein (CRP)
Fibronectin
Haptoglobin
Lactoferrin
Neopterin
Orosomucoid
Procalcitonin (PCT)
Components of the complement system
C3a-desArg
C3bBbP
sC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion molecules
Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10
Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75
Interferon c (IFNc)
E-selectin
L-selectin
Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)
26
Vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1)
Cell surface markers
Neutrophil
Lymphocyte
Monocyte
CD11b
CD3
HLA-DR
CD11c
CD19
CD13
CD25
CD15
CD26
CD33
CD45RO
CD64
CD69
CD66b
CD71
Others
Lactate
Micro-erythrocyte sedimentation
Superoxide anion (respiratory burst)
Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235
Hitung trombosit.
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis
neonatorum dapat terjadi
100.000/L), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width)
meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.5
terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,
jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis
sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita
hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta
intraventrikular.5
27
28
Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik
72
Sumber: http://neoreviews.aappublications.org
29
Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik
72
dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat
membedakan infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7
ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (01,5) ng/mL. Pengukuran
kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.
3.6.3.1.5 Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi
Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum
adalah dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b,
CD64, Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan.
Pemeriksaan petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan
beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan
petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada
30
31
diagnostik
molekular
menggunakan
teknik
PCR
juga
molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah
terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif
88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan
lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive
test untuk diagnostik cepat bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala
sepsis.
Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk
mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur.
Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas
98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat
terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah
Sakit Rujukan Propinsi.
32
3.6.3.2 Pencitraan
hampir
serupa
dengan
gambaran
pada
RDS
kronis.
Secara
progresivitas komplikasi.
serial,
USG
kepala
dapat
menunjukkan
77
Risiko mayor
1.
2.
3.
Korioamnionitis
4.
5.
Ketuban berbau
33
Risiko minor
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )
4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.
5. Usia gestasi < 37 minggu.
6. Kehamilan ganda.
7. Keputihan pada ibu.
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.
Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka
pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan
penunjang (septic work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan
dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebih
efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.76
Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan
memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan
diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjutnya
dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau
sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik. Sistem
skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan
diagnosis sepsis awitan lambat.77
Tabel 11. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal
77
Penemuan
Skor
Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem pernafasan,
gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit).
3
1
1
1
Sumber: Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6
2.
34
3.
4.
5.
mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga
dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan
spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.78
Skoring
sistem
berdasarkan
beberapa
faktor
laboratorium
ini
juga
dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil
pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring
system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.79
Tabel 12. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini
dan lambat
80
Penemuan
Skor
1
3
Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (5000/mm atau 25.000, 30.000, dan
badan Dohle.
3
Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7
Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum
awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar
jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor 3 maka
sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.79
Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana
karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan
darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah
mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang
menunjang sistem skoring tersebut.79
Saat
ini,
upaya
penegakan
diagnosis
sepsis
mengalami
beberapa
35
16
Variabel Klinik
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
9
Trombositopenia <100000 x 10 /L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
3.7. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu
dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan
pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan
komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan
antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman
penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.25 Antibiotik tersebut segera
diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif
(adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut belum
terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intravenous
36
merupakan
keadaan
kedaruratan
17,80
dan
setiap
keterlambatan
antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah
diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan
dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan
pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik
harus dihentikan.187
Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat
universal. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah
resistensi di kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan
resistensi daripada antibiotik spektrum sempit.19 Oleh karena itu, kebijakan dalam
pemberian antibiotik harus ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans
bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit neonatal
untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit.19,52
Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu,
mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotik.81 Pemakaian antibiotik
secara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa tempat.19,82
Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan
menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti
Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta
lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan
bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap
vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang
mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). 53,83
Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram
negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira
50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap
sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilintazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul
(kira-kira 20%).53
Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada
bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan
37
Data
terakhir pada bulan Juli 2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUIRSCM, menunjukkan bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat
tinggi terhadap antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua
(sefotaksim, seftriakson) serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotik lini ketiga
(imipenem, meropenem). Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter
sp. yang masih sensitif terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus
sp. masih sensitif terhadap amikasin.82
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens
sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan
insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten
terhadap ampisilin.80,85 Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,
seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif
memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena
itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan
untuk mencegah resistensi tersebut. 86
Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme
pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan
memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara
berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.53
Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan
intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus
berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.87
Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan
intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif
untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti
telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi
(kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi
justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.54,87
38
monocytogenes.18
Kombinasi
penisilin
atau
ampisilin
ditambah
akan
mempercepat
munculnya
mikroorganisme
yang
resisten
39
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik
lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati
dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan
aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).18
Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak
bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya
disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan
neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan
secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik.
3.7.2 Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ
atau lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada
keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian
inotropik, dan pemberian komponen darah.88,89,90 Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di
kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian
transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.
3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG)
Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti
merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini
dilakukan dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada
proses opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi
komplemen serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.5 Manfaat pemberian
IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat
kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi
prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak
memperlihatkan perbedaan.91 Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk.
melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi
kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.92
Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah
dilakukan dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT)
didapatkan penurunan angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga
40
terinfeksi.93 Namun, bila diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis,
angka tersebut menjadi tidak signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada
belum cukup kuat untuk menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus
Sepsis Neonatorum. Meta-analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan
angka mortalitas secara signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah
pemberian IVIG poliklonal.94
Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan
kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang
dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.95 Pemberian IVIG terbukti
aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.96
3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GMCSF)
Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan
masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien
sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GMCSF.97 Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka
mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.98 G-CSF
merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya
adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas
kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan
fungsi
tersebut,
G-CSF
digunakan
sebagai
terapi
adjuvant
pada
sepsis
41
42
108
Tidak dilakukan TT
7/8 (88)
0/8(0)
10/10 (100)
5/10(50)
13/19(68)
7/17(41)
37/74 (50)
60/132 (45)
23/34 (68)
4/14 (29)
Lemos, 1981
8/8 (100)
0/14 (0)
12/22 (55)
7/13 (54)
8/20 (40)
2/20 (10)
25/44 (57)
18/62
7/11 (64)
8/11 (73)
Total
150/250 (60)
111/311 (35.69)
Koagulasi
Diseminasi
Intravaskular/KID
(Disseminated
Intravascular
43
44
dapat dilakukan pada pasien dengan hasil seperti pada penelitian eksperimental,
diharapkan tata laksana pasien akan menjadi lebih optimal.25
3.7.2.8 Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum
Telaah pustaka dan meta-analisis mengenai pemakaian kortikosteroid untuk
sepsis sejak awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1990-an umumnya
menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan manfaat untuk pengobatan
sepsis dan syok septik. Kortikosteroid tersebut diberikan dalam dosis tinggi untuk
mengatasi inflamasi dengan pertimbangan mekanisme kerja kortikosteroid yang
sangat dominan sebagai antiinflamasi. Telaah saat ini menunjukkan bahwa hal
tersebut dapat menimbulkan rebound respons inflamasi sistemik dengan berbagai
bahaya yang menyertainya.112 Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara
konsisten bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg
equivalen hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan.113
Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan
untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid
dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki
status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respon terhadap
katekolamin dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan
hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.109,114 Sebuah meta-analisis memperkuat
hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.115
3.7.2.9 Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan
metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi
insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi
meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut
oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat
dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada
keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus
dipenuhi atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada
bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari
dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan
melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk
tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral
diberikan setelah bayi lebih stabil.116
45
Intrapartum
Amount of evidence
118
IV
IV
40%(25 .52%)
IV
IV
premature rupture of
membranes
Labour surveillance
(including partograph) for
58 .78%
early diagnosis of
complications
Postpartum
Resuscitation of newborn
IV
Amount of evidence
IV
6 .42%
Breastfeeding
55 .87%
Prevention and
IV
18 .42%
IV
27%(18 .35%)
baby
management of
hypothermia
46
pneumonia case
management
Sumber : Lancet Neonatal Survival Series 2005
kepatuhan
pegawai
berdasarkan
hasil
program
119
kontrol.
47
dan bayi. Antibiotik hanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 Gram
tanpa memandang ke dua faktor tersebut.52
Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian
antibiotik profilaksis diantaranya dari 5 RCT yang dianalisis tampak adanya
penurunan insidens terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative
staphylococcal (CoNS) pada neonatus yang mendapat profilaksis vankomisin.
Didapatkan hasil lebih baik dengan pemberian secara infus kontinyu. Namun, tidak
ada bukti bahwa pemberian profilaksis vankomisin dapat menurunkan angka
mortalitas ataupun mempengaruhi lama masa perawatan di NICU. Dari hasil analisis
yang sama juga tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran yang signifikan
akibat efek samping ototoksisitas dari vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti
cukup untuk menunjang hipotesis adanya peningkatan resistensi mikroba terhadap
vankomisin.120 Selain mengetahui berat bayi, perlu diketahui ada tidaknya riwayat
infeksi intrauterin dengan menanyakan apakah ibu demam selama proses persalinan
sampai tiga hari pasca persalinan atau ketuban pecah dini 18 jam atau lebih sebelum
bayi lahir. Setelah itu, antibiotik baru dapat diberikan.121
3.8.2.2. Kebersihan Tangan
Mencuci tangan adalah cara paling sederhana dan merupakan tindakan
utama yang penting dalam pengendalian infeksi nosokomial. Namun, kepatuhan
dalam pelaksanaannya sangat sulit oleh karena beberapa hal yaitu iritasi kulit,
sarana tempat dan peralatan cuci tangan yang kurang, pemakaian sarung tangan,
terlalu sibuk, dan juga tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan.122
Adapun hal-hal yang perlu diketahui dalam mencuci tangan adalah:
1. Mikroorganisme kulit
2. Tipe, tujuan dan metode mencuci tangan
3. Kepatuhan mencuci tangan
4. Jenis cairan dan lokasi tempat mencuci tangan
5. Kapan wajib mencuci tangan
6. Tujuh langkah mencuci tangan
7. Prosedur standar mencuci tangan rutin
Prosedur standar mencuci tangan rutin adalah sebagai berikut :
Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit
dengan larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan
bagian sisi jari.
48
Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik
Kepatuhan para tenaga medis dalam mencuci tangan sangat rendah, namun ada
alternatif untuk mengatasi hal tersebut, antara lain dengan menggosok tangan (handrubbing) dengan menggunakan cairan pembersih mengandung alkohol.123 Alternatif
ini cukup menjanjikan karena tidak sulit dikerjakan, sehingga tingkat kepatuhan para
tenaga medis bertambah dan dampak yang ditimbulkannya sama dengan mencuci
tangan
dengan
sabun
antiseptik.124,125,126 Hand-rubbing
dilakukan
sesudah
memegang satu bayi dan sebelum memegang bayi lain, sedangkan pada saat awal
masuk ke ruang perawqtan cuci tangan sebaiknya cuci tangan dengan sabun
antiseptik dan air mengalir. Dengan diberlakukannya kebijakan mengenai cuci
tangan, dapat meningkatkan kepatuhan para tenaga medis.127 Penelitian Chelly
Gunawan tentang efektifitas Etil Alkohol Gliserin 69% Hand Rub, dengan uji acak
buta, didapatkan hasil yang tidak ada perbedaan bermakna pemakaian bahan
tersebut dengan Alkohol Based Handrub yang digunakan di Eropa.128 Hand Rub
diletakkan disetiap tempat tidur bayi agar memudahkan tenaga medis menggunakan
dan mencegah penurunan kepatuhan dalam penggunaannya.
129
Sumber: Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2005
49
MEDIS
MEDIS
PARAMEDIS
PARAMEDIS
TPP
TPP
BENAR
SALAH
BENAR
SALAH
BENAR
SALAH
30
70
100
30
70
40
60
50
50
40
60
30
70
20
80
20
80
80
20
5
KRITERIA :
a.
b.
c.
d.
MEDIS
MEDIS
PARAMEDIS
PARAMEDIS
TPP
TPP
BENAR
SALAH
BENAR
SALAH
BENAR
SALAH
80
20
50
50
90
10
90
10
90
10
90
10
50
50
80
20
80
20
90
10
5
KRITERIA :
a.
b.
c.
d.
e.
50
Tabel 18. Sepsis, Sepsis dengan Selulitis dan Kematian Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Saat
KLB
SEBELUM INTERVENSI
BULAN
SEPSIS
KEMATIAN
DENGAN
SEPSIS DG
SELULITIS
SELULITIS
JANUARI
1(100%)
FEBRUARI
11
6(46%)
MARET
4(57%)
APRIL
1(25%)
47,4%
SESUDAH INTERVENSI
BULAN
SEPSIS
KEMATIAN
DENGAN
SEPSIS DG
SELULITIS
SELULITIS
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
protektif
terhadap
infeksi
dini
yang
umumnya
terjadi
di
mukosa
gastrointestinal.131
3.8.2.4. Pencegahan dengan menggunakan IVIG
Dalam suatu studi meta-analisis yang dilakukan terhadap 4933 bayi yang
mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis
51
133
Secara lebih rinci, lingkungan perawatan bayi harus memenuhi kriteria berikut :
Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak ada jendela
yang terbuka ke daerah luar.
Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada wastafel dengan kran yang
bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk
sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum masuk ruang bayi.
Menghindari terlalu banyak orang di ruang bayi.
Harus ada ruang atau daerah isolasi yang digunakan dengan benar.
52
Gaun penutup dan fasilitas untuk membuang benda sekali pakai harus
ada di dekat pintu masuk.
Lantai ruang bayi harus disapu setiap 8 jam untuk menghilangkan debu
dan dipel sekali sehari dan/atau jika terlihat kotor.
Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari jika terkontaminasi.
Inkubator harus dilap dengan air steril sekali sehari atau jika
terkontaminasi.
Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh
dengan larutan hipoklorida 10%.
Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap
inkubator.
Harus ada area yang khusus untuk melakukan desinfeksi inkubator.
Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga
inkubator.
Permukaan di ruang bayi harus dibersihkan dengan seksama sedikitnya
sekali seminggu.
Pemisahan limbah dibagi atas :
a. Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)
Dapat berupa dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester,
masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang
terkontaminasi dengan cairan tubuh.
b. Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam)
Dapat berupa kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,
kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi
cairan tubuh pasien.
c. Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)
Seperti jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas objek, lanset,
sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam.
Semua limbah cair (darah, cairan suction dan sekresi) dibuang di sanitary
sewer dan digelontor dengan air.
Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan
dan air.
3.8.2.6. Petugas
Jumlah petugas yang memadai diperlukan untuk memberikan asuhan kepada
bayi dengan waktu cuci tangan yang adekuat diantara kontak dari bayi ke bayi. The
American Academy Pediatrics (AAP) memberikan beberapa rekomendasi di bawah
53
133
Jumlah Perawat
Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:13417
3.9. Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:5,133,134
Meningitis
Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai
dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental
Kematian
3.10. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis
awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan
pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira
2 %).5,135
54
BAB IV
DISKUSI
77
Risiko mayor
6.
7.
8.
Korioamnionitis
9.
Selain itu, pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan
55
16
Variabel Klinik
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
9
Trombositopenia <100000 x 10 /L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
56
masing sangat bervariasi. Oleh karena itu, harus dipilih pemeriksaan penunjang
yang sesuai dengan kebutuhan di setiap sarana kesehatan.
Mengenai penatalaksanaan, ditemukan permasalahan dalam pemberian
antibiotik spektrum luas pada neonatus, mengingat toksisitasnya dan pola resistensi
dikemudian hari. Sehingga perlu sekali untuk memberikan batasan indikasi yang
jelas berdasarkan evidence based medicine mengenai pemberian antibiotik tersebut.
Spektrum mikroorganisme yang menyebabkan sepsis neonatorum sangat
bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Bahkan dapat pula berbeda dari rumah sakit satu dengan rumah sakit
lainnya di daerah yang sama. Di sebagian besar negara berkembang, bakteri
Gramnegatif tetap menjadi etiologi utama sepsis neonatorum, terutama pada SAD.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir, tampak telah
terjadi peningkatan multidrugs resistence. Hal tersebut diperkirakan diakibatkan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat, penjualan antibiotik secara bebas tanpa
resep
dokter,
kurangnya
peraturan/perundang-undangan
yang
mengatur
penggunaan antibiotik, sanitasi yang buruk dan tidak efektifnya kontrol terhadap
pelayanan persalinan. Di lain pihak, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang telah
resisten terhadap antibiotik akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan,
peningkatan mortalitas, serta semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan.
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus
menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:
Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB).
Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi
mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
57
Aktivitas
bakterisidal
serum
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
hanya
Usia saat awitan penyakit, karena mikro-organisme penyebab SAD dan SAL
berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.
kebijakan
antibiotik
lokal
dan
nasional
untuk
membatasi
58
dapat
diberikan
ampisilin
dan
gentamisin,
yang
dapat
menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB
sebesar 86%.119
Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain :
1. Pemantauan yang berkelanjutan
2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
3. Bentuk ruang perawatan
4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
8. Pemakaian antibiotik yang rasional
9. Program pendidikan
10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.120
59
Overview
Penunjang
Sensitivitas
Spesifisitas
Possitive
Negative
predictive value
predictive
Kelebihan
Kekurangan
value
Kultur darah
28,59,60
standar
emas
baku
Kultur urin
5,22,61
cara
pengambilan
spesimen
60
khusus,
yaitu:
kateterisasi steril/
aspirasi
suprapubik
dilakukan
pada
62
membedakan
Gramnegatif
positif
kuman
dapat digunakan
terdapat
atau
kesalahan
yang terbatas
baca
bermanfaat pada
awal pengobatan
dapat
Hitung trombosit
mendeteksi
dalam 2-3 hari
pertama
kehidupan.
mudah dilakukan
biaya murah
mudah dilakukan
pemeriksaan
biaya murah
tidak spesifik
61
IT ratio
menghitung
neutrofil
rasio
imatur
60-90%
dan
neutrofil total
D-dimer
64,65,66,67,68
hasil
pemecahan
tidak
cross-linked fibrin
CRP
72
untuk sepsis
hepatosit
60%
78,94%
48,77%
66,66%
biaya murah
tidak
99,7%
dan
direkomendasika
(serial pada
SAD)
indikator tunggal
jaringan
98,7%
dalam
(serial pada
sepsis
Merupakan protein
92,6% (SAD)
97,5% (SAD)
bereaksi
100% (SAL)
100% (SAL)
cepat
sebagai
mendiagnosis
SAL)
Procalcitonin
spesifik
lebih
biaya mahal
daripada
CRP
berat 13 kDa,
merupakan prohormon
dari kalsitonin yang
diproduksi oleh sel
parafolikuler kelenjar
tiroid, yg dalam
keadaan normal tidak
akan terdeteksi dalam
darah.
Interleukin
IL6, IL8
100%
dasikan sebagai
62
disintesis
oleh
sel
indikator tunggal
dalam
imunitas
mendiagnosis
sepsis
PCR
96%
94%
88,9%
99,8%
mampu
hanya
memberi-kan
dilakukan di RS
informasi
Rujukan/
kuman
jenis
secara
dapat
Pendidikan
cepat
dapat
mendeteksi
infeksi
jamur
invasif
63
BAB V
ANALISIS BIAYA
Penyusunan suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost,
indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan
Sepsis Neonatorum di rumah sakit, meliputi:
1. Komponen Diagnostik
Pemeriksaan kultur darah
Pemeriksaan kultur urin
Pemeriksaan kultur LCS
Pewarnaan Gram
Pemeriksaan Hematologi (darah perifer lengkap, IT ratio, D-dimer, Fibrinogen,
Thrombin-antithrombin III complex (TAT), PT, APTT, Analisis Gas Darah dan
elektrolit)
Pemeriksaan Acute phase proteins and other
Procalcitonin)
Chemokines, cytokines and adhesion
Interleukin 8)
Laktat
Gula darah
Pemeriksaan Radiografi Thorax
USG Abdomen
CT Scan
Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi
2. Komponen Terapi
Pemberian Antibiotik
Terapi Suportif (Intravenous immunoglobuline, transfusi tukar, pemberian fresh
frozen plasma, pemberian kortikosteroid pada kepsis neonatorum)
3. Jasa Tindakan Medik
Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian
Diagnosis Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk Rumah Sakit
Pemerintah sehingga diharapkan di masa depan akan ada kesamaan biaya untuk
suatu penyakit tertentu dengan kategori atau kriteria yang sama.
64
BIAYA PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM DI RS CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA DAN RS KARIADI SEMARANG.
RSUP Kariadi
NO
JENIS KEGIATAN
RSUPN CM
III
II / I / UTAMA
PRIVATE / VIP
KOMPONEN DIAGNOSTIK
- Pemeriksaan kultur darah
Rp
180.000
Rp 122.500
Rp
145.000
Rp
152.000
Rp
180.000
Rp 88.000
Rp
125.000
Rp
132.000
Rp
310.000
Rp 53.000
Rp
63.000
Rp
70.000
- Pewarnaan Gram
Rp
26.000
Rp 20.500
Rp
31.000
Rp
32.500
Rp
25.000
Rp 48.250
Rp
59.500
Rp
63.000
b. D-dimer
Rp
134.000
Rp 218.000
Rp
237.000
Rp
245.000
c. Fibrinogen
Rp
51.000
Rp 63.500
Rp
70.000
Rp
75.000
Rp
220.000
Rp. 138.500
Rp
167.000
Rp
175.000
e. PT
Rp
86.500
Rp 32.000
Rp
40.000
Rp
42.000
f. APTT
Rp
86.500
Rp 32.000
Rp
40.000
Rp
42.000
Rp
150.000
Rp 142.500
Rp
165.000
Rp
173.500
h. IT ratio
Rp
10.000
- Pemeriksaan Hematologi
65
Rp
30.000
b. Procalcitonin
Rp
500.000
Rp 27.000
Rp
42.000
Rp
49.000
224 USD
b. Interleukin 8
224 USD
- Laktat
Rp
225.000
Rp 67.000
Rp
73.500
Rp
75.000
Rp
65.000
Rp 75.000
Rp
90.000
Rp
107.000
- USG kepala
Rp
190.000
Rp 216.000
Rp
235.000
Rp
285.000
- USG Abdomen
Rp
210.000
Rp 216.000
Rp
235.000
Rp
285.000
a. Tanpa kontras
Rp
450.000
Rp 500.000
Rp
600.000
Rp
650.000
b. Dengan kontras
Rp
600.000
Rp 868.000
Rp 1.007.000
Rp
1.115.000
Rp
100.000
Rp 132.000
Rp
155.000
Rp
190.000
Rp
90.000
Rp 85.021
Rp
85.021
Rp
85.021
Rp
28.000
- CT Scan
KOMPONEN TERAPI
- Pemberian Antibiotik
a. Amoxiclav vial @ 1 gram
b. Garamycin vial
- 20 mg
66
- 60 mg
Rp
58.000
- 80 mg
Rp
70.000
Rp
18.500
Rp
363.000
Rp
750.000
b. Transfusi Tukar
c. Pemberian Fresh Frozen Plasma
Rp 32.604
Rp
32.604
Rp
32.604
Rp. 1.142.400
Rp. 343.902
Rp. 343.902
Rp. 343.902
Rp.
84.500
Rp.
Rp.
44.056
Rp.
Rp
500.000
Rp 134.000
Rp
134.000
Rp
Rp
25.000
- Terapi Suportif
44.056
44.056
67
= Rp. 360.000
= Rp. 360.000
= Rp. 26.000
= Rp. 25.000
= Rp. 30.000
pemeriksaan IT Rasio
= Rp. 10.000
= Rp. 360.000
= Rp. 360.000
= Rp. 26.000
= Rp. 50.000
= Rp. 60.000
2 x 30.000
2 x 10.000
= Rp. 20.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000
68
- 80 mg Rp. 70.000
= Rp. 65.000
= Rp. 100.000
= Rp. 190.000
= Rp. 360.000
= Rp. 360.000
= Rp. 26.000
= Rp. 50.000
= Rp. 60.000
2 x 30.000
2 x 10.000
= Rp. 20.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000
- 80 mg Rp. 70.000
= Rp. 65.000
= Rp. 100.000
= Rp. 190.000
= Rp. 310.000
Pemeriksaan PT
= Rp. 86.500
Pemeriksaan APTT
= Rp. 86.500
Terapi Suportif
= Rp. 750.000
Transfusi Tukar
= Rp. 1.141.560
69
= Rp. 223.000
KONDISI DI INDONESIA
Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan neonatal dengan angka
kematian yang masih cukup tinggi dengan biaya yang masih cukup mahal
Sistem rujukan neonatal sangat memegang peran penting dalam tinggi
rendah nya angka morbiditas dan mortalitas neonatal. Sistem ini belum
terwujud dan terlaksana dengan baik
Fasilitas Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan neonatal dan
pemeriksaan penunjang sangat berbeda di beberapa daerah atau Rumah
Sakit.
Penggunaan antibiotik secara rasional masih belum memuaskan.
Dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen yang penting dalam
menunjang tatalaksana sepsis neonatorum namun kadang justru menambah
infeksi nosokomial karena pemberian total parenteral nutrisi yang tidak tepat.
Salah satu hal yang dapat meninggikan angka infeksi dan sepsis neonatorum
adalah kemasan cairan dalam volume besar (500 cc) yang terlalu besar untuk
kebutuhan harian bagi bayi dengan infeksi atau sepsis neonatorum sehingga
sering dalam memenuhi kebutuhan cairan sering dilakukan penusukan botol
infus yang berulang kali yang menyebabkan infeksi.
70
BAB VI
REKOMENDASI
I.
Bahwa sepsis neonatorum masih merupakan masalah pada bayi baru lahir
dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek
promotif, kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B]
71
canggih,
selain
melakukan
pemeriksaan
penunjang
bakterisidal
serum
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
hanya
72
Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan
anemia.
ibu dengan
Stabilisasi suhu
gentamisin,
yang
dapat
menurunkan
angka
kejadian
sepsis
73
74
DAFTAR PUSTAKA
Darmstadt GL, Bhutta ZA, Cousens S, Adam T, Walker N, Bernis L. Evidencebased, cost-effective interventions: how many newborn babies can we safe?.
Lancet 2005; 365: 977-88. [Tingkat Pembuktian IV]
Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal
mortality, Report of a meeting, Baltimore, Maryland, 1999; 3(1):6-12.
Modul Sepsis
10
Departemen
Kesehatan
RI.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.
Magudumana MO, Ballot DE, Cooper PA, et al. Serial interleukin 6 measurement
in the early diagnosis of neonatal sepsis. J Trop Pediatr 2000; 46: 267-71.
12
75
13
Fisher CJ, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumour
necrosis factor: Fc fusion protein. N Engl J Med 1996; 334:1697702. [Tingkat
Pembuktian Ib]
14
15
Remington, Klein. Bacterial Sepsis and Meningitis. In: Infectious Diseases of the
Fetus and Newborn, Infant. 4th Edition. W. B. Saunders. 1995. h: 836-90.
16
17
Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn
infants. Available at: URL:
http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian
Ia]
18
Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33.
[Tingkat Pembuktian IV]
19
20
Mupanemunda
RH,
Watkinson
M.
Infection-Neonatal.
In:
Harvey
DR,
Mupanemunda
RH,
Watkinson
M.
Infection-Neonatal.
In:
Harvey
DR,
Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002;
31: 3-8.
23
Moodi N, Carr R. Promising stratagems for reducing the burden of neonatal sepsis.
Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 83:F150-F153.
24
76
25
26
Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat. Pidato
pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI, 28 Januari 2004.
27
Bellig
LL,
Ohning
BL.
Neonatal
sepsis.
Diunduh
dari:
http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm
28
D Kaufman et al. clinical microbiology of bacterial and fungal sepsis in vey-lowbirth-weight infants. Clin Microb Rev 2004, 641.
29
30
31
32
Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future.
Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. BMJ
2003;326:262-266.
33
Short MA. Linking The Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation and Suppressed
Fibrinolysis to Infants. Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73.
34
35
36
37
38
39
Mathay MA. Severe sepsis: a new treatment with both anticoagulant and antiinflammatory properties. N Engl J Med 2001; 44:759-61.
77
40
41
42
Gomella TL. Neonatal Sepsis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,
Zenk KE, penyunting. Neonatology management procedures on call problem
diseases drugs. Edisi ke-4. New York: Lange Medical Books/McGrawHill; 1999.
h.408-14.
43
Monintja HE. Infeksi sistemik pada neonatus. Dalam: Yu VY, Monintja HE,
penyunting. Beberapa Masalah Perawatan Intensif Neonatus. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h. 217-30.
44
Gotoff SP. Infections of the neonatal infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB
Saunders; 2000. h.538-52.
45
Mc Cracken GH. Bacterial and viral infections of the newborn. Dalam: Avery GB,
penyunting. Toronto: JB Lippincott Company; 1981. h.723-33.
46
Speck WT, Aronoff SC, Fanaroff AA. Neonatal infections. Dalam: Klaus MH,
Fanaroff AA, penyunting. Care of the high risk neonates. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders; 1986. h.262-85.
47
Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for neonatal
sepsis. Obst Gynecol 87:188-94. 1996.
48
Orlando Regional Health Care, Education & Development. Neonatal sepsis selflearning
packet
2002.
Diunduh
dari:
http://www.orhs.org/classes/nursing/sepsis02pdf.
49
50
Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri 2000;
2:96-102.
51
Mahieu LM, Muynck AO, Dooy JJ, Laroche SM, Acker KJ. Prediction of
nosocomial sepsis in neonates by means of a computer-weighted bedside scoring
system (NOSEP Score). Crit Care Med 2000;28:2026-33.
78
52
Pong A, Bradley JS. Bacterial meningitis and the newborn infant. Infect Dis Clin
North Am. 1999; 13:711-33.
53
Isaacs D. Neonatal sepsis: the antibiotic crisis. Indian J Pediatr 2005; 42: 9-13.
[Tingkat Pembuktian IV]
54
Tantalen JA, Len RJ, Santos AA, Snchez E. Multiple organ dysfunction
syndrome in children. Pedatr Crit Care Med 4(2), 2003. [Tingkat Pembuktian
IIIa]
55
56
57
58
59
60
61
62
Ng PC. Diagnostic markers of infection in neonates. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 2004; 89: F229-F235. doi: 10. 1136/adc.2002.023838.
63
Bauer KA, Weitz JI. Laboratory markers of coagulation and fibrinolysis. In: Colman
RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis: Basic
Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins
2001 p. 1113- 29.
64
79
65
66
67
Wells PS, Hirsh J, Anderson DR, et al. Accuracy of clinical assessment of deep
vein thrombosis. Lancet 1995; 345: 1326.
68
69
Kawamura
M,
Nishida
H.
The
usefulness of
serial
C-reactive
protein
71
72
http://neoreviews.aappublications.org/subjournals/neoreviews/html/content/vol6/issue11/images/large/zni0110523810003.jp
eg
73
Kruger M, Nauck MS, Sang S, Hentschel R, Wieland H, Berner R. Cord blood level
of interleukin-6 and interleukin-8 for the immediate diagnosis of early-onset
infection in premature infants. Biol Neonate 2001; 80: 118-123.
74
75
Yadav K, Wilson CG, Prasad PL, Menon PK. Polymerase chain reaction in rapid
diagnosis of neonatal sepsis. Indian pediatric 2005;
Pembuktian IIIa].
76
80
77
78
Philip AG, Hewitt JR. Early diagnosis of neonatal sepsis. Pediatrics 1980; 65:103641.
79
Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. Early diagnosis of neonatal sepsis.using a
hematologic scoring system. J Pediatr 1998; 112: 761-7.
80
81
Gould IM. A review of the role antibiotics policies in control of antibiotic resistance.
J Antimicrob Chemother 1999; 43: 459-65.
82
83
R Kee TK, Nachal N, Hong MS, Jazilah W, Zakaria SZS, Taib CHM. Rational
antibiotic utilization in selected pediatric condition. Sivatal S, penyunting. Diunduh
dari: http://www.acadmed.org.my/cpg/CPG-RAUP.nachal.pdf.
84
85
Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Intrapartum antibiotics prophylaxis
increases the incidence of Gramnegative neonatal sepsis. Infect Dis Obstet
Gynecol 1999; 7: 210-3.
86
87
Isaacs D. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 2000; 82: F1-2.
88
Perez MM, Weisman LE. Novel Approaches to the prevention and therapy of
neonatal bacterial sepsis. Clin Perinatol 1997; 24: 213-29.
89
Weiss MD.;. Burchfield DJ. Adjunct therapies to bacterial sepsis in the neonate.
NBIN 2004; 4(1):46-50.
90
81
91
92
Weisman LE, Stoll BJ, Kueser TJ, et al. Intravenous immune globulin therapy for
early onset sepsis in premature neonates. J Pediatr 1992; 121 : 431-43.
93
94
Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBV. Intravenous Imunoglobulin
for treating Sepsis and Septic Shock. The Cochrane Library 2000; issue 2.
95
96
Acunas BA, Peakman M, Liossis G, et al. Effect of fresh frozen plasma and
gammaglobulin on humoral immunity in neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 1994;70:F182-F187.
97
Mathur NB, Singh A, Sharma VK, et al. Evaluation of risk factors for fatal neonatal
sepsis. Indian Pediatr 1996;33:817-822.
98
99
Miura E, Procianoy RS, Bittar C, Miura CS, Melo C, Miura MS. Assessing the
efficacy of the recombinant human granulocyte colony-stimulating factor in the
treatment of early neonatal sepsis in premature neonates. Journal de Pediatria
2000; 76(3): 193-9. [Tingkat Pembuktian Ib]
100 Murray JC, McClain KL, Wearden ME, et al. Using granulocyte colony-stimulating
factor for neutropenia during neonatal sepsis. Arch Pediatr Adolesc Med
1994;148:764-766.
101 Bedford Russel AR, Emmerson AJ, Wilkinson N. A trial of recombinant human
granulocyte colony stimulating factor for the treatment of very low birthweight infant
with presumed sepsis and neutropenia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;
84: F172-6.
82
102 Jones LL, Schwartz AL, Wilson DB. Blood component therapy for the neonate.
Dalam: Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Neonatal-perinatal medicine: disease
of the fetus and infant. Edisi kelima. St.Louis: Mosby, Inc; 2002. h. 1239-47.
103 Pearson AH. The Rise and fall of exchange transfusion. Neo Rev 2003; 4: 16974e.
104 Olewnik AB. Exchange transfusion. Dalam: Spitzer AR, Penyunting Intensive Care
of The Fetus and Neonates. Edisi ke-2. St.Louis: Mosby,inc;1991.h.1192-4.
105 Murray NA, Roberts IAG. Neonatal transfusion practice. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2004; 89:F101-7.
106 Rohsiswatmo R. Indikasi transfusi tukar pada sepsis neonatorum. Dalam: Update
in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm
92-98. [Tingkat Pembuktian IV]
107 Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. Presentation at the Fifth
National Conference of Pediatric Infectious Diseases, Surat, Nov 29 to Dec 1,
2002 Available in : http//www. \Meta nalysis Prematurity and infection in newborns
-- Indian Academy of Pediatrics, Surat CME.htm
108 Haque K, Mohan P. Pentoxifylline for neonatal sepsis. Reviewed by Vogin GD.
Pediatr Infect Dis J. 2004; 23: 346-9. [Tingkat Pembuktian Ia]
109 Gitto E, Karbownik M, Reiter RJ, TanDX, Cuzzocrea S, Chiurazzi P, et al. Effects
of melatonin treatment in septic newborns. Pediatric Research 2001; 50: 756-60.
[Tingkat Pembuktian IIb]
110 Gerard C, Bruyns C, Marchant A, et al. Interleukin 10 reduces the release of tumor
necrosis factor and prevents lethality in experimental endotoxemia. J Exp
Med1993;177:54750.
111 Howard M, Muchamuel T, Andrade S, et al. Interleukin 10 protects mice from lethal
endotoxemia. J Exp Med 1993;177:12058.
112 Akib AAP. Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan sepsis. In: Update in
Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm
117-122. [Tingkat Pembuktian IV]
113 Keh D. Corticosteroid therapy in sepsis: where are we? Adv Sepsis 2006; 5(4):
138-40. [Tingkat Pembuktian IV]
114 Seri I, Tan R, Evans J, et al. Cardiovascular effects of hydrocortisone in preterm
infants with pressor-resistant hypotension. Pediatrics 2001;107:1070-1074.
83
115 Annane D, Sebille V, Charpentier C etal. Effect of treatment with low doses of
hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA
2002; 288: 862-71.
116 Hendarto A, Prawitasari T. Dukungan nutrisi pada sepsis neonatorum. In: Update
in Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm
111-6. [Tingkat Pembuktian IV]
117 Lancet Neonatal Survival Series, Series 2. Diunduh dari http://www.thelancet.com.
Maret. 2005.
118 Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial prevention of early-onset group b
streptococcal sepsis: estimates of risk reduction based on a critical literature
review. Pediatrics 1999; 103; 78. [Tingkat Pembuktian IIa]
119 Clark R. Power R, White R, bloom B, Sanchez P, Benjamin DK. Prevention and
treatment of nosocomial sepsis in the NICU. Journal of perinatology 2004; 24: 44653. [Tingkat Pembuktian Ia]
120 Craft AP, Finer NN, Barrington KJ. Vancomycin for Prophylaxis against sepsis in
preterm neonates: meta-analysis. The Cohcrane Lybrary, issue 1, 2000. [Tingkat
Pembuktian Ia]
121 Short MA. Guide to a systematic physical assessment in the infant with suspected
infection and/or sepsis. Adv Neonat Care 2004 ; 4(3):141-153.
122 Larson EL. APIC guideline for handwashing and hand antisepsis in healthcare
setting. AJIC AM J InfectControl 1995; 23: 251-69.
123 Furtado GHC, Santana SL, Coutinho AP, Perdiz LB, Wey SB, Medeiros EAS.
Compliance with handwashing at two intensive care units in Sao Paulo. Braz J
Infect Dis 2006; 10 (1).
124 Doebbeling BN, Stanley GL, Sheetz CT, Pfaller MA, Houston AK, Annis L, et al.
Comparative efficacy of alternative hand-washing agents in reducing nosocomial
infections in intensive care units. NEJM 1992 ; 327(2) :88-93.
125 Parienti JJ, Thibon P, Heller R, et al. Hand-rubbing with an aqueous alcoholic
solution vs traditional surgical hand-scrubbing and 30-day surgical site infection
rates: a randomized equivalence study. JAMA 2002 ; 288 : 722-7. [Tingkat
Pembuktian IIa]
126 Girou E, Loyeau S, Legrand P, et al. Efficacy of handrubbing with alcohol based
solution versus standard handwashing with alcohol based solution versus standard
84
handwashing with antiseptic soap: randomized clinical trial. BMJ 2002; 325 : 3625. [Tingkat Pembuktian IIa]
127 Sharek PJ, Benitz WE, Abel NA, Freeburn MJ, Mayer ML, Bergman DA. Effect of
an evidence-based hand washing policy on hand washing rates and false-positive
coagulase negative staphylococcus blood and cerebrospinal fluid culture rates in a
level iii nicu. Journal of Perinatology 2002 ; 22(2) : 137-43.
128 Gunawan C. Efficacy of ethyl alcohol glycerin 69% in neonatal ward Dr.Sutomo
Hospital. ISSN 0303-7932 . 2004 ; 40(3):121-31.
129 Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Update in neonatal infections. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Cetakan Pertama 2005.
130 Kaban RK. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. In: Update in
Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 4958. [Tingkat Pembuktian IV]
131 Lucia
85