Anda di halaman 1dari 60

PROPOSAL PENELITIAN

GAMBARAN INSOMNIA PADA LANSIA


DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA NIRWANA PURI SAMARINDA
PERIODE MARET-APRIL 2016

MAULINDA PERMATASARI
1210015026

PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitin
Manfaat Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Lansia
2.1.1. Definisi
2.1.2. Demografi
2.1.3. Gambaran Kesehatan
2.2. Tidur
2.2.1. Fisiologi
2.2.2. Kebutuhan Tidur
2.2.3. Pengaturan Tidur
2.3. Insomnia
2.3.1. Definisi
2.3.2. Epidemiologi
2.3.3. Klasifikasi dan Penyebab
2.3.4. Patofisiologi
2.3.5. Faktor Risiko
2.3.6. Manifestasi Klinis
2.3.7. Diagnosis
2.3.8. Diagnosis Banding

ii

2.3.9. Penatalaksanaan
2.3.10. Prognosis
BAB 3 KERANGKA KONSEP
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.4. Cara Pengumpulan Data
4.5. Instrumen Penelitian
4.6. Variabel Penelitian
4.7. Definisi Operasional
4.8. Pengolahan dan Penyajian Data
4.9. Analisis Data
4.10. Jadwal Kegiatan
4.11. Alur Penelitian
DAFTAR PUSTAKA

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.Jumlah Penduduk Lansia


Tabel 2.2. Persentase Penduduk Lansia di Kalimantan Timur
Tabel 2.3. Persentase Penduduk Samarinda Berdasarkan Kelompok Usia
Tabel 2.4. Kebutuhan Tidur yang Disarankan Berdasarkan Usia
Tabel 2.5. Jenis-Jenis Insomnia
Tabel 2.6. Kriteria Diagnostik Insomnia
Tabel 2.7. Komponen dari Cognitive-behavioral Therapy untuk pasien insomnia
Tabel 2.8. Obat-obatan yang digunakan pada insomnia

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1994 dan 2014


Gambar 2.2. Piramida Penduduk Samarinda Tahun 2014
Gambar 2.3. Persentase Penduduk Lansia Indonesia yang Mengalami Keluhan
Kesehatan selama Sebulan Terakhir Tahun 2012
Gambar 2.4. Prevalensi insomnia pada studi populasi lansia di India Utara

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informasi Penelitian
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 3 Kuesioner

vi

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara global jumlah lansia terus mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang berpengaruh pada
angka usia harapan hidup. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa
melaporkan bahwa pada tahun 2000-2005 angka usia harapan hidup di dunia adalah
66,4 tahun, dan pada tahun 2011 angka usia harapan hidup meningkat menjadi 69,65
tahun (KEMENKES RI, 2013). Pada tahun 2015, jumlah lansia di dunia mencapai
901 juta jiwa. Jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan target SDGs
(Sustainable Development Goals) pada tahun 2030 untuk mencapai 1,4 milyar jiwa
penduduk lansia berusia 60 tahun atau lebih di dunia (United Nations, 2015).
Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak
di dunia (KEMENKES RI, 2015). Pada tahun 2014 jumlah lansia di Indonesia
mencapai 20,24 juta jiwa atau sekitar 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia (Badan
Pusat Statistik, 2015). Hasil Sensus Penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan angka usia harapan hidup yaitu tiga dekade sebelumnya dari 60
tahun menjadi 70,07 tahun pada tahun 2013. Untuk Kaltim sendiri angka usia harapan
hidup pada tahun 2013 berada di peringkat ke 5 nasional dan berada di atas rata-rata
angka usia harapan hidup Indonesia yaitu 71,78 tahun (KEMENKES RI, 2015).
Salah satu
Tenggara

komitmen

adalah

nasional yang disepakati oleh negara-negara Asia

menjadikan

kesehatan

lansia

menjadi

prioritas

nasional

(KEMENKES RI, 2015). Salah satu gangguan tidur terbanyak yang dikeluhkan oleh
lansia yaitu insomnia (Chiu & Tsoh, 2011). Berdasarkan penelitian National Institute
on Aging di Amerika Serikat menemukan 42% dari 9000 lansia yang berusia 65 tahun
dilaporkan mengalami kesulitan untuk memulai tidur dan mempertahankan tidur
(Foley D. , et al., 1995).

Penelitian di Thailand melaporkan bahwa 50% kasus insomnia terjadi pada usia
diatas 60 tahun (Sukying, Bhokakul, & Udomsubpayakul, 2003). Penelitian pada
lansia yang dilakukan di lima kota di Provinsi Shandong, China, melaporkan bahwa
pada tahun 1997, sekitar 32,9% dari 1.679 lansia mengeluhkan gejala insomnia
sedikitnya 3 kali per minggu dalam satu bulan terakhir, 22,3% diantaranya
mengalami kesulitan memulai tidur, 23,1% mengalami kesulitan mempertahankan
tidur, dan 5,2 % mengeluhkan terbangun dini hari (Liu & Liu, 2005) .
Di Indonesia, data kasus insomnia belum terdata secara baik sehingga tidak ada
data pasti jumlah penderita insomnia. Namun diperkirakan, pada tahun 1997 terdapat
sekitar 21% lansia Indonesia mengalami masalah gangguan tidur (Wahyuni, Tjekyan,
& Darmayanti, 2009). Penelitian yang dilakukan di Panti Werda Dharma Bakti KM.7
Palembang pada tahun 2007 diperoleh bahwa 55% dari 40 responden lansia
mengalami kualitas tidur yang buruk. Hal ini juga serupa dengan penelitian pada
lansia yang berada di Balai Rehabilitasi Sosial MANDIRI Semarang yaitu sebanyak
49 responden dari 75 responden yang berusia 60-74 tahun memiliki kualitas tidur
yang buruk (Khasanah & Hidayati, 2012). Penelitian lain yang di lakukan pada lansia
di Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya Denpasar, Bali tahun 2014 melaporkan
bahwa 6 dari 15 responden mengalami insomnia (Dewi & Ardani, 2014).
Setelah usia 45 tahun rasio perempuan dibanding laki-laki yang mengalami
insomnia sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Survei menunjukkan sekitar 3% dari
populasi memiliki gejala insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis umum
maupun kejiwaan (American Academy of Sleep Medicine, 2008). Survei
epidemiologik menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti sosial sekitar 15%75% merasa tidak puas pada kualitas tidur (Prayitno, 2002).
Beberapa studi penelitian pada populasi umum melaporkan beberapa faktor risiko
insomnia pada lansia, misalnya terdapat hubungan antara tidur siang dan kesulitan
tidur pada malam hari, dimana durasi tidur siang tampaknya menjadi faktor kunci
(Ancoli-Israel & Martin, 2006). Kafein yang dikonsumsi sebelum tidur atau

sepanjang hari juga dapat memperpanjang latensi onset tidur, mengurangi waktu tidur
total, mengubah tahapan tidur normal, dan menurunkan kualitas tidur (Torres, 2009).
Padahal insomnia dapat menyebabkan masalah interpersonal, sosial, dan
pekerjaan. Penurunan perhatian dan konsentrasi menyebabkan peningkatan angka
kecelakaan. Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan sekitar 80 juta lansia
mengalami kecelakaan dengan biaya pengobatan dan perawatan sekitar 100 juta dolar
per tahun (Galimi, 2010).
Oleh karena itu, mengingat bahwa jumlah lansia semakin meningkat dan salah
satu prioritas nasional adalah kesehatan lansia, serta dampak negatif yang
ditimbulkan oleh insomnia, maka peneliti tertarik untuk meneliti kejadian insomnia
dan faktor risiko insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri
Samarinda Periode Maret-April 2016.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana angka kejadian insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Nirwana Puri Samarinda periode Maret-April 2016?
2. Bagaimana gambaran faktor risiko yaitu usia, jenis kelamin, kondisi medis umum,
dukungan sosial, kebiasaan tidur siang, dan konsumsi kafein pada lansia yang
mengalami insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
periode Februari-Maret 2016?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Umum
1. Mengetahui angka kejadian insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana
Puri Samarinda.
2. Mengetahui gambaran faktor risiko terjadinya insomnia di Panti Sosial Tresna
Werdha Nirwana Puri Samarinda.

1.3.2 Khusus
1. Mengetahui gambaran usia pada lansia yang mengalami insomnia di Panti
Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
2. Mengetahui gambaran jenis kelamin pada lansia yang mengalami insomnia di
Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
3. Mengetahui gambaran kondisi medis umum pada lansia yang mengalami
insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
4. Mengetahui gambaran dukungan sosial pada lansia yang mengalami insomnia
di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
5. Mengetahui gambaran kebiasaan tidur siang pada lansia yang mengalami
insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
6. Mengetahui gambaran konsumsi kafein pada lansia yang mengalami insomnia
di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
1. Menambah pengetahuan masyarakat mengenai pengaruh faktor risiko usia,
jenis kelamin, kondisi medis umum, dukungan sosial, kebiasaan tidur siang dan
konsumsi kafein terhadap terjadinya insomnia.
2. Sebagai sumber informasi kepada responden mengenai insomnia agar
responden dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidupnya.
1.4.2 Manfaat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
1. Menambah khazanah pengetahuan kedokteran di bidang Ilmu Psikogeriatri.
2. Meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan berkaitan dengan
insomnia.
3. Sebagai bahan acuan untuk penelitian berikutnya.

1.4.3 Manfaat bagi Tempat Penelitian


1. Sebagai sumber informasi mengenai gambaran insomnia pada lansia yang
tinggal di tempat penelitian agar pihak tempat penelitian dapat menentukan
langkah selanjutnya untuk menangani kejadian tersebut.
1.4.4 Manfaat bagi Peneliti
1. Meningkatkan pengalaman dan keterampilan peneliti dalam menganalisa
permasalahan yang ada dalam masyarakat.
2. Sebagai tempat mengaplikasikan ilmu yang diterima selama masa perkuliahan,
khususnya di bidang psikogeriatri.
3. Sebagai pemenuhan tugas dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia
2.1.1. Definisi
Lanjut usia atau yang sering dikenal dengan sebutan lansia adalah masa
transisi kehidupan terakhir pada manusia. Menurut UU No.4 Tahun 1965, lansia
adalah individu yang mencapai usia 55 tahun (Sutarti, 2014). Sedangkan menurut UU
No.13 Tahun 1998 menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahum ke atas (KEMENKES RI, 2014).
WHO (1999) menggolongkan orang tua berdasarkan usia kronologis yaitu
middle age (45-59 tahun), elderly (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90 tahun), dan
very old (diatas 90 tahun) (Sutarti, 2014). Sedangkan, KEMENKES RI (2014)
membagi lansia menjadi pra lansia (45-59 tahun), lansia (60-69 tahun), dan lansia
risti (>70 tahun). Sedangkan Badan Pusat Statistik (2014) membagi lansia menjadi
lansia muda (60-69 tahun), lansia madya (70-79 tahun), dan lansia tua (80 tahun ke
atas).

2.1.2. Demografi
Peningkatan jumlah penduduk lansia yang berusia 60 tahun atau lebih
merupakan fenomena global. Dari Tabel 2.1. diketahui bahwa hampir setiap wilayah
di dunia mengalami peningkatan jumlah lansia dari tahun 2013 hingga tahun 2015.
Peningkatan ini akan terus meningkat seiring dengan target SDGs pada tahun 2030
untuk mencapai 1,4 milyar jiwa penduduk lansia berusia 60 tahun atau lebih di dunia
(United Nations, 2015).

Tabel 2.1.Jumlah Penduduk Lansia (United Nations, 2013, 2015; Badan Pusat Statistik, 2014,
2015)

Wilayah

Tahun
2013

2015

Dunia

840.628.000 jiwa

900.906.000 jiwa

Asia

468.549.000 jiwa

507.954.000 jiwa

ASEAN

54.625.000 jiwa

59.008.000 jiwa

Indonesia

20.040.000 jiwa

21.194.000 jiwa

Gambar 2.1. Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1994 dan 2014 (Badan Pusat Statistik,
2015)

Pada Gambar 2.1. dapat terlihat bahwa pada tahun 2014 , ujung piramida
penduduk Indonesia yaitu kelompok usia 60 tahun ke atas semakin melebar yag
berarti terjadi peningkatan penduduk lansia. Proporsi lansia di Indonesia mencapai
8,03% dari keseluruhan penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk lansia,
peningkatan angka usia harapan hidup dari tahun ke tahun, dan proporsi lansia diatas
7% menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan struktur
penduduk menuju tua (ageing population).
Namun demikian, belum semua provinsi di Indonesia berstruktur penduduk
tua walaupun jumlah lansia setiap provinsi mengalami peningkatan (Badan Pusat
Statistik, 2015). Hal ini dikarenakan proporsi lansia di beberapa provinsi masih

dibawah 7%. Tabel 2.2. memperlihatkan bahwa persentase penduduk lansia di


Kalimantan Timur mengalami peningkatan dari 4,03% pada tahun 2011 menjadi
4,66% pada tahun 2013. Persentase ini masih menetap pada tahun 2014. Masingmasing persentase kategori usia lansia mengalami naik turun setiap tahunnya.
Diperkirakan persentase ini akan terus bertambah ditahun-tahun berikutnya (Badan
Pusat Statistik, 2012, 2013, 2014, 2015).
Tabel 2.2. Persentase Penduduk Lansia di Kalimantan Timur (Badan Pusat Statistik, 2012,

2013, 2014, 2015)


Usia

Tahun
2011

2012

2013

2014

60-69 tahun

2,84 %

2,80 %

3,24 %

3,20 %

70-79 tahun

0,85 %

1,00 %

1,06 %

1,11 %

80+ tahun

0,34 %

0,26 %

0,36 %

0,34 %

Total

4,03 %

4,06 %

4,66 %

4,66 %

Gambar 2.2. Piramida Penduduk Samarinda Tahun 2014 (Badan Pusat Statistik Kota
Samarinda, 2015)

Gambar 2.2. menunjukkan bahwa penduduk Kota Samarinda didominasi oleh


penduduk dewasa muda. Persentase penduduk terkecil adalah usia 75 tahun keatas
sekitar 0,65% (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015). Walaupun persentase

lansia masih cukup rendah di Samarinda, tetapi seperti yang terlihat pada Tabel 2.3.
bahwa terjadi peningkatan persentase penduduk lansia dari tahun 2012 hingga tahun
2014 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015).
Tabel 2.3. Persentase Penduduk Samarinda Berdasarkan Kelompok Usia (Badan Pusat
Statistik Kota Samarinda, 2015)

Usia

Tahun
2012

2013

2014

0-14 tahun

28,4 %

27,29 %

27,30 %

14- 64 tahun

69,4 %

70,28%

70,26 %

65+ tahun

2,20 %

2,43 %

2,44 %

2.1.3. Gambaran Kesehatan Lansia


Secara biologis, lansia mengalami penurunan fungsi fisiologis tubuh yang
mengarah pada kemunduran kesehatan fisik maupun psikis yang dapat berpengaruh
pada aktivitas sehari-hari. Penurunan fungsi fisiologis ini menyebabkan lansia rawan
terkena penyakit tidak menular maupun penyakit menular. Faktor yang juga
memengaruhi kondisi lansia adalah pola hidup yang dijalani sejak kecil. Pola hidup
yang kurang sehat akan mempermudah timbulnya penyakit (KEMESNKES RI,
2013).

Gambar 2.3. Persentase Penduduk Lansia Indonesia yang Mengalami Keluhan Kesehatan
selama Sebulan Terakhir Tahun 2012 (KEMENKES RI, 2013)

Gambar 2.3. memperlihatkan separuh lebih (52,12%) lansia mengalami


keluhan kesehatan selama satu bulan terakhir pada tahun 2012. Persentase lansia
perempuan yang mengalami keluhan kesehatan lebih tinggi yaitu 53,74%
dibandingkan lansia laki-laki sekitar 50,22% (KEMENKES RI, 2013).

2.2 Tidur
2.2.1

Fisiologi
Tidur adalah keadaan organisme yang teratur, berulang dan bersifat reversibel

yang ditandai oleh peningkatan ambang respons terhadap stimuli eksternal dan
organisme tersebut relatif tidak bergerak (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Tidur
merupakan keadaan bawah sadar seseorang tetapi masih dapat dibangunkan dengan
pemberian rangsangan dari luar, dan memiliki pengalaman kesadaran dunia internal
misalnya mimpi (Guyton & Hall, 2012; Sherwood, 2012).
Seseorang yang tidur akan mengalami dua jenis tidur yaitu tidur dengan
gerakan mata tidak cepat atau tidur gelombang lambat (Non Rapid Eye Movement;
NREM) yang terdiri dari 4 stadium, dan tidur dengan gerakan mata cepat atau tidur
paradoksikal (Rapid Eye Movement; REM) (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015;
Sherwood, 2012). Kedua jenis tidur ini akan secara siklik bergantian satu sama lain
(Guyton & Hall, 2012).
Sebagian besar fungsi fisiologis menurun pada keadaan tidur NREM, seperti
denyut jantung, respirasi, dan tekanan darah cenderung rendah dibanding saat terjaga
bahkan aliran darah ke berbagai jaringan menurun (National Sleep Foundation,
2006). Pada tahap ini tidur relatif tenang, namun gerakan tubuh yang episodik dan
involunter juga dapat ditemukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Tidur NREM
sering disebut tidur tanpa mimpi (Guyton & Hall, 2012). Tidur NREM lebih mudah
dibangunkan dibandingkan tidur REM (Sherwood, 2012).
Tidur REM ditandai oleh peningkatan aktivitas otak dan fungsi fisiologi tubuh
seperti peningkatan denyut jantung dan pernapasan yang ireguler, serta tekanan darah
yang berfluktuatif dibandingkan saat tidur NREM (National Sleep Foundation, 2006).

10

Guyton & Hall (2012) menyebutkan bahwa tidur REM terjadi peningkatan
metabolisme otak sekitar 20% , tonus otot tubuh sangat menurun, dan terjadi
hambatan yang kuat pada otot-otot perifer namun masih terdapat gerakan otot yang
tak teratur terutama pergerakan mata yang cepat. Tidur REM sulit dibangunkan tetapi
cenderung bangun sendiri (Sherwood, 2012).
Hingga kini fungsi tidur masih belum jelas, namun sebagian besar peneliti
menyimpulkan bahwa tidur berfungsi restoratif, fungsi homeostatik, termoregulasi
dan cadangan energi (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Guyton & Hall (2012)
menyebutkan bahwa

memulihkan keseimbangan antara pusat-pusat

neuron

merupakan nilai utama dari tidur.


2.2.2

Kebutuhan Tidur
Kebutuhan tidur seseorang berbeda dalam tiap tahap kehidupannya. Pada

Tabel.2.4., National Heart, Lung, and Blood Institute (2012) membagi kebutuhan
tidur anak menjadi dua kategori yaitu anak usia prasekolah sekitar 11 sampai 12 jam
per hari, sedangkan anak usia sekolah setidaknya dibutuhkan waktu tidur sekitar 10
jam per hari.
Tabel 2.4. Kebutuhan Tidur yang Disarankan Berdasarkan Usia (National Heart, Lung,
and Blood Institute, 2012)

Usia

Kebutuhan Tidur yang Disarankan

Bayi

16-18 jam per hari

Usia Prasekolah (3-5 tahun)

11-12 jam per hari

Usia Sekolah (5-12 tahun)

Sedikitnya 10 jam per hari

Remaja (12-18 tahun)

9-10 jam per hari

Dewasa

7-8 jam per hari

2.2.3

Pengaturan Tidur

11

Sebagian besar siklus tidur-bangun dikendalikan oleh sistem aktivasi retikular


(ascending reticular activating system/ARAS). Pada saat terjaga, neuron-neuron
ARAS memproyeksikan sinyal ke daerah otak yang lebih tinggi. Sedangkan saat tidur
NREM, terjadi hambatan sinyal terjaga dari hipotalamus dan batang otak menuju
daerah otak yang lebih tinggi. Pengendalian transisi tidur REM dan tidur NREM
diatur oleh pusat REM-on (sublaterodorsal region dan precoeruleus area) dan REMoff (ventrolateral periaqueductal grey matter dan daerah lateral tegmentum pontin)
yang bekerja saling menghambat seperti saklar listrik (Riemann, et al., 2015).
Banyak penelitian yang mendukung peranan serotonin dalam pengendalian
tidur.

Inhibisi sintesis serotonin atau destruksi nukleus rafe dorsalis (badan sel

serotonergik otak) di batang otak menyebabkan penurunan tidur (Sadock, Sadock, &
Ruiz, 2015). Konsumsi L-tryptophan (prekursor asam amino pada pembentukan dan
pelepasan serotonin) sekitar 1 sampai 15 gram dapat mempercepat seseorang untuk
jatuh tertidur dan menurunkan terjaga malam (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Hal
ini juga didukung oleh percobaan pada hewan coba yang diberi obat penghambat
serotonin menyebabkan hewan tersebut tidak dapat tidur dalam beberapa hari
berikutnya (Guyton & Hall, 2012). Oleh karena itu, serotonin dianggap merupakan
neurotransmitter yang berperan dalam tidur (Guyton & Hall, 2012).
Neurotransmitter lain yang ikut terlibat dalam tidur adalah norepinefrin,
asetilkolin, dan dopamin. Konsumsi obat-obatan yang merangsang neuron-neuron
penyekresi norepinefrin menyebabkan penurunan tidur REM dan meningkatkan
keadaan terjaga penuh. Selain itu, konsumsi obat-obatan yang memicu peningkatan
dopamin menyebabkan seseorang terjaga penuh. Sedangkan, pada hewan coba yang
dilakukan penyuntikkan agonis kolinergik muskarinik ke neuron pontin formasi
retikularis menyebabkan perubahan keadaan terjaga menjadi tidur REM (Sadock,
Sadock, & Ruiz, 2015).
Pada penelitian hewan coba, substansi transmiter lain yang mungkin berkaitan
dengan tidur yaitu muramil peptida merupakan suatu substansi dengan berat molekul

12

rendah yang menumpuk di cairan serebropinal dan urin pada hewan yang terjaga
selama beberapa hari. Bila substansi ini disuntikkan ke ventrikel ketiga otak hewan
lain dapat menyebabkan hewan tersebut tertidur dalam beberapa jam (Guyton & Hall,
2012). Dua senyawa lain yang berperan dalam siklus tidur-bangun yaitu melatonin
dan adenosin (Riemann, et al., 2015). Siklus gelap terang memengaruhi sekresi
melantonin yaitu pada saat cahaya masuk ke retina, maka neuron fotoreseptor nukleus
suprakiasmatik akan teraktivasi. Nukleus suprakiasmatik di hipotalamus akan
merangsang kelenjar pineal untuk mensekresikan melatonin yang menimbulkan rasa
lelah (Galimi, 2010). Neuropeptida lain yaitu adenosin telah teridentifikasi sebagai
promotor tidur dan memengaruhi jumlah waktu terjaga seseorang (Riemann, et al.,
2015).
2.3 Insomnia
2.3.1

Definisi
Insomnia adalah keadaan sulit untuk jatuh tertidur, sulit mempertahankan

tidur, dan bangun tidur yang terlalu dini (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Menurut
National Sleep Foundation (2006), insomnia merupakan suatu gangguan tidur yang
ditandai oleh kesulitan untuk tidur atau tetap tidur dalam waktu yang wajar, maupun
keadaan bangun tidur yang tidak segar atau kualitas tidur yang buruk.
Menurut The International Classification of Sleep Disorders-3 (ICSD-3),
insomnia adalah kesulitan berulang dalam inisiasi tidur, durasi tidur, konsolidasi, atau
kualitas tidur yang sebenarnya memiliki kesempatan adekuat untuk tidur, dan
menimbulkan beberapa gejala di siang hari (Spriggs, 2014).
Pendapat lain menyatakan bahwa insomnia setidaknya terdiri dari satu gejala
tidur dan satu gejala bangun. Gejala tidur meliputi sulit memulai tidur, sulit
mempertahankan tidur, bangun terlalu dini, dan bangun tidur yang tidak segar.
Sedangkan gejala bangun meliputi rasa kantuk, lelah, gangguan kognitif, gangguan
mood, gangguan pekerjaan atau gangguan sosial (Lichstein, Taylor, McCrae, &
Ruiter, 2011).
2.3.2

Epidemiologi

13

Menurut American Academy of Sleep Medicine (2008), sekitar 30% orang


dewasa memiliki gejala insomnia, 10% orang dewasa mengalami insomnia yang
cukup parah hingga mempengaruhi rutinitas harian, dan 10% orang dewasa
mengalami insomnia kronik. Sekitar 15%-25% dari kasus insomnia kronik
merupakan insomnia primer (American Psychiatric Association, 2000).
Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V)
tertulis bahwa prevalensi insomnia pada populasi dunia menunjukkan bahwa sekitar
sepertiga dari orang dewasa melaporkan gejala insomnia, 10%-15% insomnia
berkaitan dengan gangguan jam harian, dan 6%-10% memiliki gejala yang memenuhi
kriteria insomnia (American Psychiatric Association, 2013).
Peningkatan prevalensi insomnia berhubungan dengan bertambahnya usia,
yaitu hampir 50% pada individu yang berusia 65 tahun atau lebih tua (Ohayon, 2002).
Berdasarkan penelitian National Institute on Aging di Amerika Serikat menemukan
42% dari 9000 lansia yang berusia 65 tahun dilaporkan mengalami kesulitan untuk
memulai tidur dan mempertahankan tidur (Foley D. , et al., 1995).
Penelitian pada lansia yang dilakukan di lima kota di Provinsi Shandong,
China, melaporkan bahwa

pada tahun 1997, sekitar 32,9 % dari 1.679 lansia

mengeluhkan gejala insomnia sedikitnya 3 kali per minggu dalam satu bulan terakhir,
22,3 % diantaranya mengalami kesulitan memulai tidur, 23,1% mengalami kesulitan
mempertahankan tidur, dan 5,2 % mengeluhkan terbangun dini hari (Liu & Liu,
2005). Salah satu penelitian di Malaysia pada 2075 responden dewasa di pelayanan
kesehatan primer, didapatkan 60% responden memiliki setidaknya satu gejala
insomnia, dengan 38,9% kasus merupakan insomnia derajat 1, 30,7% kasus insomnia
derajat 2, dan 28,6% kasus insomnia derajat 3. Di antara semua responden hanya
6,3% dan di antara mereka dengan insomnia hanya 14,2% yang mendiskusikan
gangguan tidur tersebut kepada dokter (Zailinawati, Mazza, & Teng, 2012).
Penelitian di Thailand melaporkan bahwa 50% kasus insomnia terjadi pada
usia diatas 60 tahun (Sukying, Bhokakul, & Udomsubpayakul, 2003). Insomnia dapat
terjadi pada lansia yang sebelumnya tidak pernah mengalami insomnia dengan angka
kejadian sekitar 5 % (Foley, et al., 1999).

14

Di Indonesia, data kasus insomnia belum terdata secara baik sehingga tidak
ada data pasti jumlah penderita insomnia. Pada tahun 1997, sekitar 21% lansia
Indonesia mengalami masalah gangguan tidur (Wahyuni, Tjekyan, & Darmayanti,
2009). Penelitian yang dilakukan di Panti Werda Dharma Bakti KM.7 Palembang
pada tahun 2007 diperoleh bahwa 55% dari 40 responden lansia mengalami kualitas
tidur yang buruk. Hal ini juga serupa dengan penelitian pada lansia yang berada di
Balai Rehabilitasi Sosial MANDIRI Semarang yaitu sebanyak 49 responden dari 75
responden yang berusia 60-74 tahun memiliki kualitas tidur yang buruk (Khasanah &
Hidayati, 2012). Penelitian lain yang di lakukan pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werda Wana Seraya Denpasar, Bali tahun 2014 melaporkan bahwa 6 dari 15
responden mengalami insomnia (Dewi & Ardani, 2014).
Insomnia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 1,4:1 (American Psychiatric Association, 2013). Perbedaan ini akan
semakin terlihat jelas setelah usia 45 tahun yaitu rasio perempuan dibanding laki-laki
sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Meskipun prevalensi insomnia lebih tinggi pada
perempuan, studi polisomnografik menduga bahwa kontinuitas tidur dan tidur
gelombang lambat pada perempuan dewasa lebih baik daripada laki-laki dewasa
(American Psychiatric Association, 2013).
Survei menunjukkan sekitar 3 % dari populasi memiliki gejala insomnia yang
disebabkan oleh kondisi medis atau kejiwaan (American Academy of Sleep
Medicine, 2008). Hal ini juga dinyatakan dalam DSM-V bahwa sekitar 40%-50% dari
kasus insomnia merupakan komorbid dengan gangguan mental lainnya (American
Psychiatric Association, 2013).

15

Gambar 2.4. Prevalensi insomnia pada studi populasi lansia di India Utara (Gambhir,
Chakrabarti, Sharma, & Saran, 2014)

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gambhir, Chakrabarti, Sharma, & Saran
(2014) melaporkan bahwa 32% dari 504 lansia yang diteliti mengalami gangguan
tidur. Gambar 2.4. menjelaskan hasil penelitian tersebut bahwa persentase terbanyak
adalah early insomnia, diikuti oleh late insomnia, middle insomnia, dan
hipersomnolen.
2.3.3

Klasifikasi dan Penyebab


Insomnia terbagi menjadi dua jenis, yaitu insomnia primer dan insomnia

sekunder. Insomnia primer adalah insomnia yang terjadi tidak berkaitan dengan
adanya gangguan medik atau gangguan mental lainnya (American Academy of Sleep
Medicine, 2008). Sedangkan, insomnia sekunder terjadi karena adanya gangguan
medik atau gangguan mental lainnya maupun lingkungan (American Academy of
Sleep Medicine, 2008). Insomnia primer maupun sekunder terdiri dari beberapa jenis
insomnia seperti yang terlihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Jenis-Jenis Insomnia (Compton, 2014)

16

Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dapat dikategorikan menjadi initial


insomnia, middle insomnia, dan late terminal insomnia. Initial insomnia adalah
kesulitan seseorang untuk memulai tidur setelah lebih dari 20-30 menit berada di
tempat tidur. Middle insomnia adalah kesulitan seseorang mempertahankan tidurnya
setelah onset tidur dimulai, dan keadaan terjaga ini berlangsung lebih dari 20-30
menit. Sedangkan late insomnia adalah keadaan seseorang yang terbangun terlalu dini
sebelum jadwal seharusnya untuk bangun

disertai ketidakmampuan untuk tidur

kembali setelahnya. Kesulitan mempertahankan tidur merupakan gejala tunggal


paling sering dari insomnia, diikuti dengan kesulitan untuk memulai tidur, sedangkan
kombinasi gejala tersebut tersebut merupakan presentasi yang paling umum secara
keseluruhan (American Psychiatric Association, 2013).

2.3.4

Patofisiologi
Secara khusus, pasien insomnia mengalami penghambatan saat peralihan dari

keadaan terjaga ke keadaan tidur pada beberapa daerah otak yaitu ascending reticular
activating system, hypothalamus, thalamus, amygdala, hippocampus, insula, dan

17

anterior cingulate dan pre frontal cortices. Penemuan ini menunjukkan bahwa
aktivitas yang berlebihan dari arousal, regulasi emosi, dan sistem kognitif terlibat
dalam patofisiologi insomnia (Riemann, et al., 2015)
Penelitian lain dengan pendekatan cross-sectional case-control telah
melakukan penyelidikan terhadap hypothalamic-pituitary-adrenal axis (dengan
kortisol sebagai stress response hormone yang utama) dan aktivitas saraf otonom
sebagai pemicu terjadinya peningkatan arousal. Sebagian besar hasil penelitian
menunjukkan aktivitas yang berlebihan pada sistem ini terjadi pada kasus insomnia
(Riemann, et al., 2015).
Hyperarousal pada insomnia menyebabkan berbagai manifestasi yaitu
meningkatnya metabolisme tubuh selama tidur NREM tahap 2, peningkatan kortisol,
peningkatan konsumsi glukosa otak selama tidur-bangun, dan peningkatan tekanan
darah dan frekuensi tinggi EEG selama tidur (Bonnet & Arand, 2012). Salah satu
penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien insomnia tidur 25
menit lebih sedikit daripada individu petidur baik (Riemann, et al., 2015).
Beberapa penelitian cross-sectional menggunakan MRI menunjukkan
terjadinya pengurangan grey matter pada lobus frontalis dan pengurangan integritas
white matter tracts di kapsula interna anterior pada pasien insomnia. Studi lainnya
menunjukkan bahwa volume hipokampus berkurang pada pasien insomnia . Beberapa
penelitian selanjutnya juga melaporkan bahwa pada pasien insomnia mengalami
peningkatan volume anterior cingulate gyrus dan penurunan volume kelenjar pineal.
Secara keseluruhan dari penelitian-penelitian tersebut masih belum direplikasikan
pada penelitian lainnya, sehingga menghasilkan temuan yang tidak konsisten
(Riemann, et al., 2015).

2.3.5
2.3.5.1.

Faktor Risiko
Usia
Usia merupakan salah satu faktor paling berperan dalam timbulnya

insomnia (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Pola tidur-bangun berubah pada tiap

18

tahap kehidupan manusia (Amir, 2007). Hampir semua studi epidemiologi


melaporkan terjadinya peningkatan prevalensi insomnia seiring bertambahnya usia.
Kejadian insomnia tinggi pada usia dewasa pertengahan dan lansia (American
Academy of Insomnia Medicine, 2008). Peningkatan kejadian insomnia pada lansia
berhubungan dengan perubahan sistem regulasi dan fisiologis tubuh yang berperan
dalam arsitektur tidur dan irama sirkadian (Chiu & Tsoh, 2011)
Penurunan

fungsi

nukleus

suprakiasmatikus

berkaitan

dengan

bertambahnya usia (Endeshaw & Bliwise, 2006). Penurunan fungsi ini diduga akibat
berkurangnya jumlah sel atau aktivitas neuron nukleus suprakiasmatikus. Pada lansia
yang mengalami penurunan fungsi nukleus suprakiasmatikus akan menyebabkan
terjadinya gangguan irama sirkadian (Chiu & Tsoh, 2011). Gejala yang timbul akibat
gangguan irama sirkadian adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada
rangsangan tidur. Hal ini menyebabkan pasien tidur dan bangun pada waktu yang
tidak tepat, sehingga meningkatkan risiko insomnia dan peningkatan frekuensi tidur
(Galimi, 2010). Penurunan fungsi nukleus suprakiasmatikus juga diduga disebabkan
oleh penurunan paparan cahaya, aktivitas fisik dan sosial saat memasuki usia lanjut
(Endeshaw & Bliwise, 2006).
Walaupun terjadi peningkatan insomnia seiring bertambahnya usia, tetapi
pertambahan usia tidak menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia pada lansia
(Endeshaw & Bliwise, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Tsou (2013)
melaporkan bahwa penuaan berhubungan dengan penurunan risiko insomnia pada
lansia di Taiwan Utara. Tsou berpendapat bahwa penelitiannya sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Foley (1999) yang meneliti 6800 lansia menyatakan
bahwa penuaan tidak bertanggung jawab atas insiden insomnia. Berdasarkan survei
National Sleep Foundation tahun 2003 bahwa penuaan tidak berhubungan dengan
kesulitan tidur (Foley, Ancoli-Israel, Britz, & Walsh, 2004). Penelitian lain juga
menyatakan bahwa usia tidak berkontribusi dalam terjadinya insomnia pada lansia
yang sehat (Ohayon, Zulley, Guilleminault, Smime, & Priest, 2001).

19

2.3.5.2.

Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga memiliki efek yang kuat terhadap prevalensi insomnia

(Riemann, et al., 2015). Insomnia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 1,4:1 (American Psychiatric Association, 2013).
Perbedaan ini akan semakin terlihat jelas setelah usia 45 tahun yaitu rasio perempuan
dibanding laki-laki sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Meskipun prevalensi
insomnia lebih tinggi pada perempuan, studi polisomnografik menduga bahwa
kontinuitas tidur dan tidur gelombang lambat pada perempuan dewasa lebih baik
daripada laki-laki dewasa (American Psychiatric Association, 2013).
Onset pertama insomnia pada perempuan sering dikaitkan dengan
kelahiran anak baru ataupun dengan menopause (American Psychiatric Association,
2013). Pada fase premenopause terjadi peningkatan keterjagaan, terutama pada saat
kedua hormon reproduksi yaitu estrogen dan progesteron mengalami penurunan.
Estrogen berperan dalam metabolisme norepinefrin, serotonin (5 HT), dan asetilkolin
yang masing-masing substansi tersebut berperan dalam siklus tidur-bangun. Estrogen
terbukti menurunkan latensi tidur, mengurangi jumlah terbangun setelah onset tidur,
dan meningkatkan waktu tidur total. Estrogen juga berperan dalam pengaturan suhu
di dalam tubuh. Efek yang ditimbulkan saat kadar estrogen rendah adalah hot flashes
yang berkaitan dengan peningkatan keterjagaan pada saat menopause. Estrogen
mungkin memiliki dampak secara langsung pada mood melalui reseptor sistem saraf
pusat sebagai antidepresan (Eichling & Sahni, 2005).
Pemberian progesteron secara intravena memberikan efek sedatif,
merangsang reseptor benzodiazepin yang pada gilirannya merangsang tidur NREM.
Penurunan progesteron saat menopause menyebabkan kesulitan tidur dan
meningkatkan keterjagaan (Eichling & Sahni, 2005).
2.3.5.3.

Kondisi Medis Umum


Kondisi medis seseorang berhubungan dengan masalah tidur dan

prevalensi insomnia (Sivertsen, Krokstad, Overland, & Mykletun, 2009). Hubungan


kondisi medis dengan insomnia terjadi secara dua arah, yaitu penyakit fisik

20

menyebabkan insomnia, ataupun sebaliknya insomnia menyebabkan penyakit fisik


(Tsou, 2013). Sebagai contoh, individu yang menderita insomnia primer dapat
memunculkan gejala lelah atau lesu, yang kemudian mengarah pada peningkatan
masalah psiko-fisiologi yang berkaitan dengan stres seperti tension headaches,
peningkatan ketegangan otot, gangguan lambung, dan sebagainya (American
Psychiatric Association, 2000).
Insomnia juga bisa disebabkan oleh penyakit fisik yang disebut sebagai
insomnia sekunder yang telah dijelaskan pada bagian klasifikasi sebelumnya. Taylor,
et al. (2007) melaporkan bahwa individu dengan masalah kesehatan kronik
meningkatkan risiko terjadinya insomnia. Ohayon (2002) menyatakan bahwa banyak
penderita insomnia melaporkan menderita penyakit fisik yaitu artritis, penyakit
jantung, stroke, gangguan pernapasan, dan nyeri tulang belakang serta penyakit
kronik lainnya.
Survei menunjukkan sekitar 3% dari populasi memiliki gejala insomnia
yang disebabkan oleh kondisi medis umum maupun kejiwaan (American Academy of
Sleep Medicine, 2008). Penelitian pada lansia yang memiliki penyakit fisik lebih
mudah menderita insomnia dibandingkan lansia yang sehat (Foley, Ancoli-Israel,
Britz, & Walsh, 2004).
2.3.5.4.

Dukungan Sosial
Umumnya lansia ingin menikmati hari tuanya di lingkungan keluarga

namun tak jarang pula lansia harus terpisah dengan keluarga mereka oleh sebab
apapun. Keterpisahan ini dapat menimbulkan masalah psikologis pada lansia. Hal ini
juga dapat terjadi pada kondisi dimana lansia harus tinggal di panti sosial oleh sebab
keluarga tak mampu mengurus, maupun masalah ekonomi. Mishra (2004)
melaporkan bahwa lansia yang tinggal di suatu institusi merasa tidak puas, dan
kesepian karena terpisah dari keluarga dan komunitas luas. Rasa kesepian ini juga
berkaitan dengan kurangnya dukungan sosial yang mereka terima. Rasa kesepian
memiliki hubungan dengan kualitas tidur yang buruk. Sering berhubungan dengan

21

keluarga atau kerabat dapat mengurangi rasa kesepian, sehingga mengurangi


kemungkinan gangguan tidur (Ailshire & Burgard, 2012).
Menurut Sarafino yang dikutip oleh Hayati (2010), dukungan sosial
mengacu pada rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan
orang lain kepada individu. Dukungan sosial bisa berupa instrumental, informasional,
penghargaan, emosi, dan integrasi sosial. Dukungan sosial bisa datang dari berbagai
pihak, namun dukungan sosial yang utama berasal dari mereka yang memiliki
kedekatan emosional seperti keluarga dan kerabat terdekat (Hayati, 2010).
Survei epidemiologik menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti
sosial sekitar 15%-75% merasa tidak puas pada kualitas tidur (Prayitno, 2002).
Beberapa penelitian terbaru menyoroti pentingnya hubungan keluarga atau kerabat
dekat dengan durasi dan kualitas tidur. Namun, belum ada kerangka konsep yang
tepat untuk menjelaskan mekanisme hubungan tersebut. Hubungan keluarga atau
kerabat dekat memberikan perawatan emosional dan kenyamanan yang menurunkan
risiko stres pada lansia sehingga dapat membatasi efek dari stress yaitu menurunnya
kualitas tidur. Selain itu, penelitian yang lain menunjukkan bahwa lansia yang
mendapatkan dukungan sosial yang baik memiliki tidur yang lebih baik pula (Ailshire
& Burgard, 2012).
Dukungan sosial dapat dinilai dengan bantuan kuesioner yaitu Social
Support Questionnaire (SSQ). Kuesioner ini telah diadaptasi ke dalam Bahasa
Indonesia dan telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner ini terdiri dari 27
pertanyaan dalam 2 bentuk pertanyaan yakni social questionnaires number (SSQN)
dan social questionnaire satisfaction (SSQS). Penilaian pada komponen SSQN
bergantung tempat yang diisi, tiap tempat yang diisi mendapat skor 1, sedangkan
tidak terisi mendapat skor 0. Seluruh jawaban SSQN dijumlahkan lalu dibagi 27.
Sedangkan, komponen SSQS responden diminta untuk menggambarkan kepuasan
yang diterimanya pada komponen SSQN. Pilihan jawaban berupa skala likert yaitu
sangat puas, cukup puas, agak puas, agak tidak puas, cukup tidak puas, dan sangat

22

tidak puas. Seluruh jawaban SSQS dijumlahkan lalu dibagi 27. Nilai akhir didapatkan
dari hasil penjumlahan skor akhir SSQN dan SSQS, dengan nilai tertinggi 15.
Semakin tinggi nilai akhir maka semakin baik dukungan sosial yang didapatkan
seseorang (Sarason, Levine, Basham, & et al., 1983).
2.3.5.5.

Kebiasaan Sebelum Tidur (Sleep Hygiene)

1. Tidur Siang
Pengaruh tidur siang terhadap tidur malam hari masih kontroversial. Beberapa
studi penelitian pada populasi umum melaporkan adanya hubungan antara tidur siang
dan kesulitan tidur pada malam hari, dimana durasi tidur siang tampaknya menjadi
faktor kunci.

Durasi tidur yang lama di duga menyebabkan seseorang sering

terbangun malam hari. Tidur siang yang terlalu sore diduga akan memengaruhi pola
tidur malam dan membuat sulit tertidur (Ancoli-Israel & Martin, 2006).
Tidur siang menjelang sore dalam waktu satu jam memiliki dampak negatif pada
tidur malam hari yaitu terjadi penurunan waktu tidur total, efisiensi tidur, dan
terbangun malam hari. Lansia yang tidur pada sore hari atau menjelang malam akan
mengalami terbangun malam hari (Ancoli-Israel & Martin, 2006). Tidur siang lebih
dari 20 menit dapat menimbulkan sleep inertia yaitu perasaan pening dan disorientasi
yang berlangsung beberapa menit hingga setengah jam (National Sleep Foundation,
Napping).
Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa tidur siang tidak selalu
berdampak negatif pada arsitektur tidur di malam hari (Ancoli-Israel & Martin,
2006). Tidur singkat kurang dari 20 menit dilaporkan memiliki efek positif pada
kewaspadaan, memperbaiki mood, meningkatkan kinerja, dan mengurangi kecelakaan
(National Sleep Foundation, 2006). Brooks & Lack (2006) melaporkan bahwa tidur
siang selama 10 menit paling efektif untuk mendapatkan manfaat seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
2. Konsumsi Kafein

23

Pada manusia, kafein merupakan stimulan pada sistem saraf pusat yang memiliki
efek sementara untuk menangkal rasa kantuk dan memulihkan kewaspadaan. Kafein
merupakan zat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi dunia diperkirakan sekitar
120.000 ton/ tahun (Torres, 2009). Kopi dan teh merupakan jenis minuman berkafein
yang paling sering dikonsumsi (Youngberg, Karpov, Begley, Pollock, & Buysee,
2011). Kafein bekerja dengan cara berikatan sementara pada reseptor adenosin
mencegah ikatan adenosin (zat sedatif alami yang membuat rasa kantuk) dengan
reseptornya di otak (Schardt, 2012). Selain itu, kafein juga meningkatkan produksi
adrenalin (Belenky, 2001).
Pada umumnya orang\ tidak menyadari seberapa banyak kafein dapat
memengaruhi tidur mereka (Schardt, 2012). Efek kafein terhadap tidur ditentukan
oleh berbagai faktor yaitu dosis, waktu konsumsi kafein, dan perbedaan individu
dalam sensitivitas maupun toleransi terhadap kafein. Kafein yang dikonsumsi dalam
dosis lebih besar lebih mudah menimbulkan gangguan tidur. Kafein yang dikonsumsi
sebelum tidur atau sepanjang hari dapat memperpanjang latensi onset tidur,
mengurangi waktu tidur total, mengubah tahapan tidur normal, dan menurunkan
kualitas tidur (Torres, 2009). Rutin mengonsumsi kafein akan membuat seseorang
toleransi sehingga diperlukan kafein yang lebih banyak untuk menghasilkan efek
yang diingankan. Hal ini menjadi lingkaran setan bagi orang tersebut, karena efek
kafein terhadap tidur juga akan semakin meningkat sehingga gangguan tidur lebih
mudah muncul (Schardt, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh National Sleep Foundation (2005) melaporkan
bahwa orang yang mengonsumsi empat atau lebih cangkir minuman berkafein dalam
sehari, lebih mudah mengalami setidaknya satu gejala insomnia. Konsumsi kopi
sebanyak tiga cangkir (250 mg kafein) per hari dianggap cukup, jika lebih dari itu
dianggap asupan kafein berlebihan. Efek kafein dapat dirasakan setelah 15 menit
dikonsumsi. Di dalam tubuh, kafein dapat bertahan beberapa jam dan dibutuhkan
waktu sekitar 6 jam untuk mengeliminasi kafein dari tubuh (Belenky, 2001).
Penelitian terdahulu oleh Landolt, Werth, Borbely, & Dijk (1995) melaporkan bahwa

24

konsumsi kafein sebanyak 200 mg pada pagi hari atau sekitar 16 jam sebelum tidur
memberikan efek minimal pada parameter tidur.
2.3.6

Manifestasi Klinis
Insomnia dapat menimbulkan manifestasi klinis gangguan tidur malam hari

dan gangguan di siang hari (American Psychiatric Association, 2013). Pada malam
hari, penderita insomnia akan mengalami kesulitan untuk memulai tidur,
mempertahankan tidur, atau terbangun terlalu dini yang selanjutnya tidak bisa tidur
kembali maupun bangun tidur yang tidak segar (Lichstein, Taylor, McCrae, & Ruiter,
2011). Hal ini biasanya menyebabkan gangguan pada siang hari berupa rasa kantuk,
kelelahan, gangguan perhatian, konsentrasi, memori, mood, perubahan perilaku,
gangguan pekerjaan atau akademik, gangguan hubungan sosial, dan berefek negatif
dalam hubungan keluarga (Winkelman, 2015). Insomnia juga dapat menyebabkan
seseorang mengalami kecemasan tentang tidur

bahkan hingga depresi karena

individu tersebut berusaha keras untuk tertidur bahkan (Sadock, Sadock, & Ruiz,
2015). Selain itu, gejala lainnya berupa sakit kepala, gangguan gastrointestinal,
ketegangan otot dan gejala lainnya (American Psychiatric Association, 2013;
American Academy of Sleep Medicine, 2008).
2.3.7

Diagnosis
Anamnesis lengkap dan mendalam merupakan syarat utama dalam

menegakkan diagnosis insomnia (Mai & Buysee, 2008). Seluruh keluhan pasien
harus digali seperti riwayat kondisi medis, riwayat penggunaan obat-obatan,
konsumsi kafein, alkohol, sleep hygiene, riwayat gangguan psikiatri lainnya, riwayat
pekerjaan, lingkungan, keluarga, dan dan sosial. Hal penting lainnya yang harus
digali adalah riwayat tidur-bangun pasien yaitu onset, durasi, frekuensi, dan gangguan
tidur yang pernah dan/atau sedang terjadi (Nichols, Alper, & Milkin, 2007).
Diagnosis insomnia dapat ditegakkan bila hasil anamnesis telah memenuhi kriteria
tertentu, seperti yang termuat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Kriteria Diagnostik Insomnia (American Psychiatric Association, 2013)

25

Selain anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental dan


pemeriksaan tambahan mungkin dapat dilakukan bila hasil anamnesis masih
diragukan atau setelah pengobatan masih menunjukkan keluhan. Pemeriksaan fisik
dilakukan secara menyeluruh untuk menilai kondisi medis pasien secara langsung
seperti obesitas, gangguan pernapasan, jantung, maupun neurologis. Pemeriksaan
status mental dilakukan untuk mengevaluasi mood, afek, tingkat kewaspadaan, dan
kemampuan untuk memperhatikan (Mai & Buysee, 2008). Pemeriksaan tambahan
yang dapat dilakukan yaitu polisomnografi (PSG). Pemeriksaan tambahan lainnya
yang mungkin bisa dilakukan adalah neuroimaging untuk melihat adanya lesi
struktural (Nichols, Alper, & Milkin, 2007).
Penggunaan instrumen dapat membantu proses anamnesis dalam menegakkan
diagnosis maupun diagnosis banding insomnia seperti kuesioner, buku log tidur,
checklist, tes skrining psikologis, dan interview teman tidur (Mai & Buysee, 2008).
Salah satu kuesioner yang dapat digunakan adalah Insomnia Severity Index (ISI).
Kuesioner ini pertama kali disusun oleh Morin pada tahun 1993 dengan nama Sleep

26

Impaiment Index. Namun, berkembangnya waktu banyak penelitian yang menguji


validitas dan reliabilitas kuesioner ini untuk mendiagnosis insomnia. Aspek tidur
yang dinilai adalah tingkat keparahan masalah susah tertidur, tetap tidur, dan bangun
dini hari, ketidakpuasan dengan pola tidur, mengganggu aktivitas harian, seberapa
terlihat masalah tidur yang dirasakan, dan distres yang muncul akibat gangguan tidur.
Setiap pertanyaan memiliki jawaban skala likert yaitu, skor 0 : tidak ada masalah,
skor 1 : ringan, skor 2 : sedang, skor 3 : parah, skor 4 dan: sangat parah. Total skor
ISI dapat di interpretasikan menjadi empat pilihan yaitu tidak mengalami insomnia
(0-7), insomnia ringan (15-21), insomnia parah (22-28) (Morin, LeBlanc, Daley,
Gregoire, & & Merette, 2006).
2.3.8
2.3.8.1.

Diagnosis Banding
Variasi Tidur Normal
Insomnia harus dibedakan dengan variasi tidur normal seperti petidur

pendek . Pada petidur pendek tidak ada gejala sulit tidur maupun gejala di siang hari.
Insomnia juga harus dibedakan pada individu yang kurang tidur akibat keadaan yang
memaksakannya untuk terjaga sehingga menghasilkan tidur yang tidak adekuat
(American Psychiatric Association, 2013).
2.3.8.2.

Gangguan Tidur Lainnya


Gangguan tidur lainnya pada umumnya memiliki gejala mirip dengan

insomnia yaitu sulit tertidur, sulit mempertahankan, maupun gejala di siang hari.
Namun, masing-masing gangguan tidur memiliki karakteristik yang berbeda. Pada
gangguan tidur irama sirkadian terjadi ketidaksejajaran antara periode tidur yang
diinginkan dan yang sesungguhnya terjadi, misalnya tipe fase tidur terlambat ditandai
dengan kesulitan tertidur pada waktu konvensional yang dikehendaki, namun setelah
tertidur tidak ada kesulitan untuk mempertahankan tidur (American Psychiatric
Association, 2013).
Gangguan tidur restless legs syndrome memberikan gambaran klinis sulit
tertidur dan sulit mempertahankan tidur. Namun yang membedakannya dari insomnia
adalah adanya gerakan kaki dan adanya rasa kesemutan pada kaki saat tidur.

27

Gangguan tidur narkolepsi juga bisa menyebabkan kesulitan tidur namun gejala siang
hari berupa ngantuk berlebihan hingga tiba-tiba bisa tertidur, katapleksi, sleep
paralysis, dan halusinasi. Sedangkan pada parasomnia ditandai dengan keluhan
perilaku atau kejadian yang tidak biasa saat tidur yang dapat menyebabkan seseorang
sering terbangun dan sulit untuk tidur kembali(American Psychiatric Association,
2013).

2.3.9

Penatalaksanaan

2.3.9.1.

Non Farmakologi
Penatalaksanaan insomnia secara non farmakologi

yaitu dengan

menggunakan terapi kognitif perilaku (Cognitive-behavioral therapy/CBT). CBT


merupakan kombinasi teknik perilaku dan kognitif untuk mengatasi disfungsi
perilaku tidur, mispersepsi, distorsi, dan pikiran mengganggu tentang tidur (Sadock,
Sadock, & Ruiz, 2015). Seperti yang terlihat pada Tabel 2.7. CBT terdiri dari sleep
restriction, stimulus control, cognitive therapy, relaxation therapy, dan sleep hygiene
(Winkelman, 2015). CBT dianggap sebagai lini pertama untuk pasien insomnia,
maupun kasus komorbid insomnia dengan diagnosis lain (Schutte-Rodin, et al, 2008;
Edinger, et al, 2009). Biasanya terapi ini disampaikan selama enam sampai delapan
kali pertemuan (Winkelman, 2015).
Tabel 2.7. Komponen dari Cognitive-behavioral Therapy untuk pasien insomnia
(Winkelman, 2015).

28

2.3.9.2.

Farmakologi
Selama bertahun-tahun, benzodiazepin merupakan obat yang paling sering

digunakan untuk mengobati insomnia (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Tabel 2.8.
memperlihatkan beberapa jenis obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
insomnia. Penggunaan obat-obatan ini biasanya jangka pendek untuk golongan
hipnotik, dan untuk terapi jangka panjang untuk golongan melatonin agonis,
golongan benzodiazepine-receptor agonist modulator non benzodiapine (misalnya
eszopiclone) (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
Tabel 2.8. Obat-obatan yang digunakan pada insomnia (Winkelman, 2015)

2.3.10 Dampak Negatif


Insomnia dapat menyebabkan masalah interpersonal, sosial, dan pekerjaan.
Penurunan perhatian dan konsentrasi menyebabkan peningkatan angka kecelakaan.
Insomnia kronik juga berhubungan dengan peningkatan risiko depresi, hipertensi, dan
infark miokard. Dampak insomnia juga menyebabkan produktivitas seseorang
menurun yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi (American Psychiatric
Association, 2013).

29

Angka morbiditas dan mortalitas pada penderita penyakit jantung dan kanker
lebih tinggi pada individu yang lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari
dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Amir,
2007). Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan sekitar 80 juta lansia mengalami
kecelakaan dengan biaya pengobatan dan perawatan sekitar 100 juta dolar per tahun
(Galimi, 2010).
2.3.11 Prognosis
Pada dasarnya

prognosis

insomnia baik

bila penanganannya

(KEMENKES RI, 2013)

BAB 3
KERANGKA KONSEP

Faktor Risiko
Usia
Jenis Kelamin
Kondisi Medis
Umum

Insomnia

Dukungan Sosial
Tidur Siang
Konsumsi Kafein

30

tepat

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1

Desain Penelitian
Desain penelitian ini bersifat deskriptif yang ditujukan untuk mengetahui

gambaran insomnia dan faktor risiko terjadinya insomnia pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
4.2

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Unit Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda selama periode Maret-April 2016.


4.3

Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subjek yang ingin diketahui
dalam penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya,
maka populasi target adalah semua lansia. Populasi terjangkau adalah semua lansia
yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda selama periode
penelitian.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang
berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda selama periode
penelitian.
4.3.3 Cara Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
teknik simple random sampling, dengan mengambil data sesuai besar sampel yang
telah ditentukan peneliti melalui perhitungan statistik dan diambil selama periode

31

Maret-April 2016 yang telah diseleksi sesuai kriteria yang telah ditentukan
sebelumnya.
Besar sampel minimal ditentukan dengan rumus (Budijanto, 2015):

= besar sampel minimal

= jumlah populasi di PSTW Nirwana Puri Samarinda = 117 orang

= nilai distribusi normal baku = 0,05 yaitu 1,96

= prevalensi kasus dari pustaka (%), 50% = 0,5 (Ohayon, 2002)

= 1-P, sehingga 1-0,5 = 0,5

= kesalahan absolut yang dapat ditolerir oleh peneliti, yaitu 10% = 0,1

Dari perhitungan diatas maka didapatkan besar sampel minimal dibulatkan


menjadi 53 subjek penelitian.
4.3.4 Kriteria Sampel Penelitian
4.3.4.1 Kriteria Inklusi:
1.

Lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
dan bersedia ikut serta dalam penelitian.

4.3.4.2 Kriteria Eksklusi:


1.

Lansia yang memiliki riwayat gangguan psikiatri lain, seperti demensia, dan
psikotik.

32

4.4

Cara Pengumpulan Data

4.4.1 Data Primer


Data primer pada penelitian ini berupa wawancara langsung lansia yang berada
di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda dengan berpedoman pada
kuesioner penelitian untuk mengidentifikasi faktor risiko usia, jenis kelamin, kondisi
medis umum, dukungan sosial, tidur siang dan konsumsi kafein.
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder pada penelitian ini berupa profil lansia dan rekam medik yang
berada di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda yang didapatkan dari
instansi yang terkait.
4.5

Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis,

lembar informed consent, kuesioner, data rekam medik responden, dan data
keanggotaan responden di PSTW Nirwana Puri Samarinda. Kuesioner yang
digunakan terdiri dari Mini Mental State Examination (MMSE),

Insomnia Severity

Index (ISI), Social Support Questionnaire (SSQ), dan kuesioner adaptasi dari
penelitian Hermana (2009) dan Suhartini (2014) yang sebelumnya telah dimodifikasi
terlebih dahulu oleh peneliti. Kuesioner MMSE, ISI, dan SSQ telah diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia dan telah dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas oleh penelitianpenelitian sebelumnya.
Kuesioner MMSE digunakan untuk menyingkirkan kriteria eksklusi yang
terdiri atas 11 pertanyaan dengan skor yang telah ditetapkan untuk setiap pertanyaan.
Hasil kuesioner tersebut dapat di interpretasikan menjadi tiga pilihan yaitu, normal
(skor 27-30), curiga demensia (skor 22-26), dan definitif demensia (skor <21)
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Kuesioner ISI merupakan kuesioner yang
digunakan untuk pengukuran tingkat insomnia seseorang. Kuesioner ini terdiri atas 7
pertanyaan yang bersifat negatif tentang tidur seseorang dengan kriteria sebagai
berikut, skor 0 : tidak ada masalah, skor 1 : ringan, skor 2 : sedang, skor 3 : parah,

33

skor 4 dan: sangat parah . Total skor insomnia dapat di interpretasikan menjadi empat
pilihan yaitu tidak mengalami insomnia (0-7), insomnia ringan (15-21), insomnia
parah (22-28) ) (Morin, LeBlanc, Daley, Gregoire, & & Merette, 2006). Kuesioner
SSQ digunakan untuk menilai dukungan sosial. Kuesioner ini terdiri dari 27
pertanyaan dalam 2 bentuk pertanyaan yakni social questionnaires number (SSQN)
dan social questionnaire satisfaction (SSQS). Nilai akhir didapatkan dari hasil
penjumlahan skor akhir SSQN dan SSQS, dengan nilai tertinggi 15. Semakin tinggi
nilai akhir maka semakin baik dukungan sosial yang didapatkan seseorang (Sarason,
Levine, Basham, & et al., 1983). Kuesioner adaptasi dari penelitian Hermana (2009)
dan

Suhartini (2014) yang sebelumnya telah dimodifikasi terlebih dahulu oleh

peneliti terdiri atas 11 pertanyaan. Setiap pertanyaan kuesioner akan dibimbing dan
diarahkan oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan faktor
risiko insomnia.
4.6

Definisi Operasional

4.6.1 Insomnia
Insomnia adalah ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur yang
ditandai dengan salah satu atau lebih dari tiga gejala dasar yaitu kesulitan untuk
memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur sehingga sering terbangun ataupun
sulit untuk tidur kembali, dan bangun tidur yang terlalu dini disertai dengan kesulitan
untuk tidur kembali berdasarkan hasil kuesioner Insomnia Severity Index.
Kriteria Objektif:
1. Insomnia klinis parah
2. Insomnia klinis sedang
3. Insomnia klinis ringan
4. Tidak mengalami insomnia klinis
Skala ukur yang digunakan adalah ordinal.

34

4.6.2 Lansia
Lanjut Usia adalah individu yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas (Republik Indonesia, 1998).
4.6.3 Usia
Usia adalah lama hidup pasien berdasarkan keterangan saat wawancara dan data
profil dari instansi terkait.
Kriteria Objektif:
Usia dalam angka tahun.
Skala ukur yang digunakan adalah rasio.
4.6.4 Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah identitas responden berdasarkan KTP responden dan/atau
yang tertera pada data profil instansi terkait.
Kriteria Objektif:
1. Laki-laki
2. Perempuan
Skala ukur yang digunakan adalah nominal.
4.6.5 Kondisi Medis Umum
Kondisi medis umum adalah semua kondisi medis yang telah didiagnosis oleh
dokter berdasarkan rekam medis pasien.
Kriteria Objektif:
1. Ada
2. Tidak Ada

35

Skala ukur yang digunakan adalah nominal.


4.6.6 Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau bantuan
yang diberikan orang lain kepada lansia berdasarkan hasil kuesioner Social Support
Questionnaire.
Kriteria Objektif:
Angka antara 0-15.
Skala ukur yang digunakan adalah rasio.
4.6.7 Tidur Siang
Tidur siang adalah kebiasaan tidur sejenak pada siang hari dalam satu hari.
Kriteria Objektif (National Sleep Foundation, 2006):
1. Tidur siang >20 menit
2. Tidur siang 1-20 menit
3. Tidak tidur siang
Skala ukur yang digunakan adalah ordinal.
4.6.8 Konsumsi Kafein
Konsumsi kafein adalah kebiasaan mengonsumsi minuman yang mengandung
kafein seperti kopi atau teh dalam satu hari.
Kriteria Objektif (National Sleep Foundation, 2005):
1. Konsumsi kopi atau teh >3 cangkir/hari
2. Konsumsi kopi atau teh 1-3 cangkir/hari
3. Tidak mengonsumsi kopi atau teh

36

Skala ukur yang digunakan adalah ordinal.


4.7

Pengolahan dan Penyajian Data


Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Word

2007 dan Microsoft Excel 2007. Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi, tabel
dan grafik.
4.8

Analisis Data

4.8.1 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan dengan mendeskripsikan setiap variabel dalam
penelitian dengan gambaran distribusi frekuensi dalam bentuk narasi, tabel dan
grafik.
4.9

Jadwal Kegiatan
Oktober,

Jadwal Kegiatan

Februari

Maret

April

Mei

November,
Desember,

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Februari
Pembuatan
Proposal
Seminar Proposal
Revisi Proposal
Izin Penelitian
Penelitian
Pengolahan Data
Penyelesaian
Tugas Akhir
Seminar Hasil

37

4.10 Alur Penelitian


Meminta izin penelitian ke
PSTW Nirwana Puri Samarinda

Surat Etik Penelitian dari KEPK

Mencatat keanggotaan lansia


dibagian administrasi PSTW
Nirwana Puri Samarinda

Informed
consent ke
responden

Menerima

Menolak

Melakukan tes MMSE

Demensia (+)

Demensia (-)

Melakukan wawancara
menggunakan kuesioner

Data responden

Pengolahan dan penyajian data

Pembahasan

Kesimpulan
38

DAFTAR PUSTAKA

Amir, N. (2007). Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran(157), 196-206.
Ancoli-Israel, S., & Ayalon, L. (2006). Diagnosis and treatment of sleep disorders in older
adults. Am J Geriatr Psychiatry, XIV, 95-103.
Association, A. P. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4 ed.).
Washington DC.
Association, A. P. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (text
revision). Washington DC: Author.
Association, A. P. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.).
Washington DC: American Psychiatric Publishing.
Belenky, G. (2001). Caffeine and Sleep. Dipetik January 20, 2016, dari National Sleep
Foundation: https://sleepfoundation.org/sleep-topics/caffeine-and-sleep
Bonnet, M., & Arand, D. (2012). Hyperarousal and insomnia a puzzle and a resolution.
Psychol Bull, CXXXVIII(138), 77-101.
Brooks, A., & Lack, L. (2006). A Brief Afternoon Nap Following Nocturnal Sleep Restriction:
Which Nap Duration is Most Recuperative? Sleep, XXIX(6), 831-840. Diambil kembali
dari http://journalsleep.org/Articles/290616.pdf
Budijanto, D. (2015). Populasi, Sampling, dan Besar Sampel. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI. Dipetik February 10, 2016, dari
http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id/2015/wpcontent/uploads/2013/02/SAMPLING-DAN-BESAR-SAMPEL.pdf
Bumb, J., Schilling, C., Enning, F., & al, e. (2014). Pineal gland volume in primary insomnia
and healthy controls: a magnetic resonance imaging study. J Sleep Res, XXIII, 274280.
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Berntson, G. G., Ernst, J. M., Gibbs, A. C., Stickgold, R., &
Hobson, J. A. (2002). Do Lonely Days Invade the Nights? Potential Social Modulation
of Sleep Efficiency. Psychological Science, XIII, 384-387.
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Crawford, L. E., Ernst, J. M., Burleson, M. H., Kowalewsk, R. B.,
. . . Berntson, G. G. (2002). Loneliness and Health: Potential Mechanisms.
Psychosomatic Medicine, LXIV, 407-417.

39

Campbell, S., Murphy, P., & Stauble, T. (2005). Effects of a nap on nighttime sleep and
waking function in older subjects. J Am Geriatr Soc, LIII, 48-53.
Chiu, H., & Tsoh, J. (2011). Sleep and Ageing: Disorders and Management. Dalam M. T.
Abou-Saleh, C. Katona, & A. Kumar (Penyunt.), Principles and Practice of Geriatric
Psychiatry (3rd ed., hal. 700-704). UK: John Wiley & Sons.
Compton, J. (2014). Classification of Sleep Disorders. Dalam B. Robertson, B. M. Marshall, &
M.-A. Car, Polysomnography for the Sleep Technologist (hal. 20-27). St. Louis:
Elsevier Health Sciences. Dipetik January 7, 2016, dari
http://www.elsevieradvantage.com/samplechapters/9780323100199/Marshall%20
ch02-019-030-9780323100199.pdf
Dewi, P. A., & Ardani, I. G. (2014). Angka Kejadian serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Gangguan Tidur (Insomnia) Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya
Denpasar Bali Tahun 2013. e-Journal Universitas Udayana, III(8). Dipetik October 10,
2015
Edinger, J., Fins, A., Glenn, D., Sullivan, R., Bastian, L., Marsh, G., & al, e. (2000). Insomnia
and the eye of the beholder: Are there clinical markers of objective sleep
disturbances among adults with and without insomnia complaints? Journal of
Consulting and Clinical Psychology, LXVIII, 586-593.
Edinger, J., Olsen, M., Stechuchak, K., & al, e. (2009). Cognitive behavioral therapy for
patients with primary insomnia or insomnia associated predominantly with mixed
psychiatric disorders: a randomized clinical trial. Sleep, XXXII, 499-510.
Eichling, P. S., & Sahni, J. (2005). Menopause Related Sleep Disorders. Journal of Clinical
Sleep Medicine, I(3), 291-300.
Endeshaw, Y., & Bliwise, D. (2006). Sleep Disorder in the Elderly. Dalam M. Agronin, & M.
G.J., Principle and Practice of Geriatric Psychiatry (1st ed., hal. 505-522).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Espiritu, J. (2008). Aging-related sleep changes. Clin Geriatr Med, XXIV, 1-14.
Foley, D., Ancoli-Israel, S., Britz, P., & Walsh, J. (2004). Sleep disturbances and chronic
disease in older adults: results of the 2003 National Sleep Foundation Sleep in
America Survey. J Psychosom Res, LVI, 497-502.
Foley, D., Monjan, A., Brown, S., Simonsick, E., Wallace, R., & Blazer, D. (1995). Sleep
complaints among elderly persons: an epidemiologic study of three communities.
Sleep, XVIII, 425-432.

40

Foley, D., Monjan, A., Simonsick, E., Wallace, R., & Blazer, D. (1999). Incidence and remission
of insomnia among elderly adults: an epidemiologic study of 6.800 persons over
three years. Sleep, XXII, 366-372.
Foundation, N. S. (2005, March 29). Summary of Findings. Dipetik January 20, 2016, dari
National Sleep Foundation:
https://sleepfoundation.org/sites/default/files/2005_summary_of_findings.pdf
Foundation, N. S. (2006). Sleep-Wake Cycle: Its Physiology and Impact on Health. Dipetik
November 21, 2015, dari National Sleep Foundation:
https://sleepfoundation.org/sites/default/files/SleepWakeCycle.pdf
Foundation, N. S. (t.thn.). Napping. National Sleep Foundation. Dipetik January 20, 2016,
dari https://sleepfoundation.org/sleep-topics/napping
Friedman, E. M., Love, G. D., Rosenkranz, M. A., Urry, H. L., Davidson, R. J., Singer, B. H., &
Ryff, C. D. (2007). Socioeconomic. Psychosomatic Medicine Status Predicts Objective
and Subjective Sleep Quality in Aging Women, LXIX, 682-691.
Galimi, R. (2010). Insomnia in The Elderly: An Update and Future Challenges. Gerontologia e
Geriatria, LVIII, 231-247.
Gambhir, I. S., Chakrabarti, S. S., Sharma, A. R., & Saran, D. P. (2014). Insomnia in the
elderlydA hospital-based study from North India. Journal of Clinical Gerontology &
Geriatrics, V, 117-121.
Gunarsa, S. (2004). Dari Anak Sampai Usia Lanjut : Bunga Rampai Psikologi Anak. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. Dipetik January 20, 2016, dari
https://books.google.co.id/books?id=GUAGhG74nH4C&printsec=frontcover&hl=id#
v=onepage&q&f=false
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11st ed.). (Irawati, D.
Ramadhani, F. Indriyani, F. Dani, I. Nuryanto, S. S. Rianti, . . . Y. J. Suyono, Penerj.)
Jakarta: EGC.
Hermana, M. (2009). Pengaruh Durasi Tidur Terhadap Risiko Obesitas Pada Pria Dewasa.
Bandung: Universitas Kristen Maranatha. Dipetik January 26, 2016, dari
http://repository.maranatha.edu/2095/
Indonesia, R. (1998). Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta: Sekretariat Negara.
Jaya, E. S. (2012). Intervensi kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) multi-komponen
pada Lanjut Usia di Depok untuk mengatasi insomnia. Depok: Universitas Indonesia.

41

Dipetik January 28, 2016, dari


https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&
uact=8&ved=0ahUKEwjricKxwufKAhVQv44KHZ8gDJkQFgheMAg&url=http%3A%2F%
2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F20304187-T30713%2520%2520Intervensi%2520kelompok.pdf&usg=AFQjCNEgGTGqI0jUB
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (2010). Tidur Normal dan Gangguan Tidur (Vol. II).
(I. M. Wiguna, Penyunt., & W. Kusuma, Penerj.) Tangerang: BINARUPA AKSARA
Publisher.
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Khasanah, K., & Hidayati, W. (2012). Kualitas Tidur Lansia Balai Rehabilitasi Sosial MANDIRI
Semarang. Nursing Studies, I(1), 189-196. Dipetik January 7, 2016, dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=74186&val=4707
Landolt, H., Werth, E., Borbly, A., & Dijk, D. (1995, March 27). Caffeine intake (200 mg) in
the morning affects human sleep and EEG power spectra at night.
Neuropsychopharmacology, 675(1-2), 67-74. Dipetik January 22, 2016, dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7796154
Lichstein, K., Taylor, D., McCrae, C., & Ruiter, M. (2011). Insomnia: Epidemiology and risk
factors. Dalam K. M.H., R. T., & D. W.C. (Penyunt.), Principles and practice of sleep
medicine (hal. 827-837). St. Loius: Elsevier Saunders.
Liu, X., & Liu, L. (2005). Sleep Habits and Insomnia in a Sample of Elderly Persons in China.
Sleep, XXVIII(12), 1579-1586.
Mai, E., & Buysee, D. J. (2008). Insomnia: Prevalence, Impact, Pathogenesis, Differential
Diagnosis, and Evaluation. Sleep Med Clin, III(2), 167-174.
Medicine, A. A. (2008). Insomnia. Dipetik December 15, 2015, dari
http://www.aasmnet.org/resources/factsheets/insomnia.pdf
Mishra, A. (2004). A Study of Loneliness in an Old Age Home in India : a case of Kanpur.
Indian Journal of Gerontology, XVII(1 & 2).
Monk, T., Buysee, D., Carrier, J., & al, e. (2001). Effects of afternoon "siesta" naps on sleep,
alertness, permformance, and cicardian rhythms in the elderly. Sleep, XXIV, 680687.

42

Morin, C. M., LeBlanc, M., Daley, M., Gregoire, J. P., & & Merette, C. (2006). Epidemiology of
insomnia: Prevalence, self-help treatments, consultations, and determinants of
help-seeking behaviors. Sleep Medicine, VII, 123-130.
National Heart, L. a. (2012, February 22). How Much Sleep Is Enough? Dipetik December 7,
2015, dari National Heart, Lung, and Blood Institute:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/sdd/howmuch#
Naylor, E., & Zee, P. (2006). Circadian rhythm alterations with aging. Dalam Ancoli-Israel
(Penyunt.), Sleep Medicine Clinics (hal. 187-196). New York: Elsevier.
Nichols, J., Alper, C., & Milkin, T. (2007). Strategies for the management of insomnia an
update on pharmacologic therapies. Formulary, XLII(2), 86-96.
Ohayon, M. (2002). Epidemiology of insomnia: what we know and what we still need to
learn. Sleep Med Rev, VI, 97-111.
Ohayon, M., & Paiva, T. (2005). Global sleep dissatisfaction for the assessment of insomnia
severity in the general population of Portugal. Sleep Medicine, VI, 435-441.
Ohayon, M., & Paiva, T. (2005). Global sleep dissatisfaction for the assessment of insomnia
severity in the general population of Portugal. Sleep Medicine, 6, 435-441.
Ohayon, M., Zulley, J., Guilleminault, C., Smime, S., & Priest, R. (2001). How age and daytime
activities are related to insomnia in the general population? Consequences for
elderly people. J Am Geriatr Soc, XLIX, 360-366.
Orford, J. (1992). Community Psychology : Theory & Practice. London: John Wiley and Sons.
Patel, S. R. (2007). Social and Demographic Factors Related to Sleep Duration. Sleep, XXX,
1077-1078.
Prayitno, A. (2002, January-April). Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut dan
penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran Trisakti, XXI(1), 23-30.
RI, D. K. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012. Jakarta, DKI
Jakarta, Indonesia. Diambil kembali dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/
23_Profil_Kes.Prov.KalimantanTimur_2012.pdf
RI, K. K. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan, 1-2.

43

RI, K. K. (2013). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
(1st ed.). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
RI, K. K. (2014). Situasi dan Analisis Lanjut Usia. InfoDATIN , Departemen Kesehatan RI.
RI, K. K. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
RI, S. K. (2015, May 27). Pelayanan dan Peningkatan Kesehatan Usia Lanjut. Dipetik January
20, 2016, dari Kementerian Kesehatan RI:
http://www.depkes.go.id/article/view/15052700010/pelayanan-dan-peningkatankesehatan-usia-lanjut.html
Riemann, D., Nissen, C., Palagini, L., Otte, A., Perlis, M. L., & Spiegelhalder, K. (2015, May).
The neurobiology, investigation, and treatment of chronic insomnia. Lancet
Neurol(14), 547558.
Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015). Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry (11st ed.). Brussels: Walters Kluwer.
Samarinda, B. P. (2015). Statistik Daerah Kota Samarinda 2015. Samarinda: Badan Pusat
Statistik Kota Samarinda. Diambil kembali dari
http://samarindakota.bps.go.id/webbeta/website/pdf_publikasi/Statistik-DaerahKota-Samarinda-2015.pdf
Sarafino, E. (2006). Health Psychology Biopsychosocial Interaction (5th ed.). United States of
America: John Wiley and Sons.
Sarason, I., Levine, H., Basham, R., & al, e. (1983). SOCIAL SUPPORT QUESTIONNAIRE.
Journal of Personality and Social Psychology, XLIV, 127-139.
Sari, N. N. (2011). Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Depresi Pada Lansia. Medan:
Universitas Sumatera Utara. Dipetik January 28, 2016, dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21410/1/Appendix.pdf
Schardt, D. (2012, December). Caffeine! Nutrition Action Health Letter, XXXIX(10), hal. 7-8.
Schutte-Rodin, S., Broch, L., Buysee, D., Dorsey, C., & Sateia, M. (2008). Clinical Guideline for
the Evaluation and Management of Chronic Insomnia in Adults. Journal of Clinical
Sleep Medicine, IV(5), 487-504.
Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem (6th ed.). (B. U. Pendit, Penyunt., &
N. Yesdelita, Penerj.) Jakarta: EGC.

44

Shiovitz-Ezra, Sharon, & Leitsch, S. A. (2010). The Role of Social Relationships in Predicting
Loneliness: The National Social Life, Health, and Aging. Social Work Research, XXXIV,
157-167.
Sivertsen, B., Krokstad, S., Overland, S., & Mykletun, A. (2009). The epidemiology of
insomnia: associations with physical and mental health. The HUNT-2 study. J
Psychosom Res, LXVII, 109-116.
Spriggs, W. H. (2014). Sleep Disorders. Dalam Essentials of Polysomnography (2nd ed., hal.
12-34). Carrolton: Jones & Bartlett Publishers. Dipetik January 7, 2016, dari
http://samples.jbpub.com/9781284030273/Chapter2_Secure.pdf
Statistik, B. P. (2012). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dipetik January 8\, 2016, dari
http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20Pendudu
k%20Lanjut%20Usia%20Indonesia%202011.pdf
Statistik, B. P. (2013). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dipetik January 8, 2016, dari
http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20Pendudu
k%20Lanjut%20Usia%202012.pdf
Statistik, B. P. (2014). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dipetik January 8, 2016, dari
http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20Pendudu
k%20Lansia%202013.pdf
Statistik, B. P. (2015). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dipetik January 8, 2016, dari http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/StatistikPenduduk-Lanjut-Usia-2014.pdf
Suhartini. (2014). Pengaruh Faktor Gizi, Merokok, Minum Kopi, Minum Teh dan Antenatal
Care Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (Bblr) di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013. Medan: Universitas
Sumatera Utara. Dipetik January 25, 2016, dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/49361/1/Appendix.pdf
Sukying, C., Bhokakul, V., & Udomsubpayakul, U. (2003). An epidemiological study on
insomnia in an elderly Thai population. J Med Assoc Thai, LXXXVI, 316e24.
Sutarti, E. (2014, December 12). Menuju Lansia Paripurna. Diambil kembali dari Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional:
http://www.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=123

45

Taylor, D. J., Mallory, L., Lichstein, K. L., Durrence, H. H., Riedel, B. W., & Bush, A. J. (2007).
Comorbidity of chronic insomnia with medical problems. Sleep, XXX(2), 213-218.
Torres, F. M. (2009, April). Caffeine - Induced Psychiatric Disorders. Article 353 1 Clock Hour,
hal. 74-78.
Tsou, M.-T. (2013). Prevalence and risk factors for insomnia in community-dwelling elderly
in northern Taiwan. Journal of Clinical Gerontology & Geriatrics, IV, 75-79.
United Nations, D. o. (2013). World Population Ageing 2013. New York: United Nations
Publisher. Dipetik January 6, 2016, dari
http://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/ageing/Wo
rldPopulationAgeing2013.pdf
United Nations, D. o. (2015). Wold Population Ageing 2015. New York: United Nations
Publisher. Dipetik January 8, 2016, dari
http://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/ageing/WP
A2015_Highlights.pdf
Vitiello, M. (2006). Sleep in normal aging. Dalam Ancoli-Israel (Penyunt.), Sleep Medicine
Clinics (hal. 187-196). New York: Elsevier.
Wahyuni, D., Tjekyan, R. S., & Darmayanti, S. (2009, January). Kualitas Tidur dan Gangguan
Tidur Pada Lansia di Panti Werda Bakti Dharma KM.7 Palembang. JKK, 2381-2388.
Winkelman, J. (2015, October 8). Insomnia Disorder. New England Journal of Medicine,
1437-1444. doi:10.1056/NEJMcp1412740
Yoon, I., Kripke, D., Youngstedt, S., & Elliott, J. (2003). Actigraphy suggests age-related
differences in napping and nocturnal sleep. J Sleep Res, XII, 87-93.
Youngberg, M. R., Karpov, I. O., Begley, A., Pollock, B. G., & Buysee, D. J. (2011). Clinical and
Physiological Correlates of Caffeine and Caffeine Metabolites in Primary Insomnia.
Journal of Clinical Sleep Medicine, VII(2), 196-203.
Zailinawati, A.-H., Mazza, D., & Teng, C. L. (2012). Prevalence of insomnia and its impact on
daily function amongst Malaysian primary care patients. Asia Pacific Family
Medicine, XI(9).

46

Lampiran 1
Informasi Penelitian
UNIVERSITAS MULAWARMAN
INFORMASI PENELITIAN

Pengantar

Dengan hormat,
Saya Maulinda Permatasari mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman Program S-1 Kedokteran Umum. Dengan ini saya meminta bantuan Bapak/
Ibu untuk menjadi subjek penelitian saya yang berjudul Gambaran Insomnia pada Lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda Periode Maret-April 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian insomnia dan gambaran
faktor risiko insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
Periode Maret-April 2015. Penelitian ini saya harap dapat memberikan manfaat kepada
responden mengenai informasi terkait dengan faktor risiko terjadinya insomnia sehingga
dapat dilakukan upaya pencegahan dan memberikan perhatian pada faktor yang dapat
diubah dari timbulnya kejadian tersebut.
Saya mengharapkan bantuan dari Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan dari
wawancara yang akan saya lakukan. Kerahasiaan jawaban Bapak/ Ibu akan dijaga.
Apabila setelah membaca penjelasan ini Bapak/Ibu bersedia menjadi subjek penelitian,
silahkan menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti persetujuan. Atas perhatian
dan partisipasi Bapak/ Ibu saya mengucapkan terima kasih.
Samarinda,

2016
Mengetahui,
Peneliti

47

Maulinda Permatasari

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden


Lembar Persetujuan Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama

Usia

tahun,

L / P

Saya menyatakan telah memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya terhadap


penelitian yang akan dilakukan, dan mengerti atas informasi tersebut. Saya bersedia
menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara dengan jujur. Saya juga bersedia
memberikan pernyataan saya untuk dijadikan bahan penelitian.
Demikian surat persetujuan ini Saya buat, tanpa ada paksaan dari pihak manapun,
untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Samarinda,
Peneliti

2016

Yang memberi persetujuan,

Maulinda Permatasari

48

Lampiran 3 Daftar Pertanyaan Wawancara

Tanggal
No. Responden

MINI MENTAL STATE EXAMINATION


(MMSE) (Sari, 2011)
PENILAIAN TOTAL NILAI
ORIENTASI
1. Sekarang ini, tahun berapa?
bulan apa?

___
___

1
1

tanggal berapa?

___

hari apa?

___

musim apa?

___

___
___

1
1

kota mana?

___

rumah sakit mana?

___

ruang apa / tingkat berapa?

___

___

___

2. Kita dimana, negara mana?


propinsi mana?

PENCATATAN
3. Sebutkan tiga obyek, dengan waktu satu detik tiap obyek.
Kemudian minta pasien untuk menyebutkan ketiga obyek tersebut.
Ulangi jawaban pasien sampai dapat menyebutkan ketiganya.
ATENSI DAN KALKULASI
4. Seri Tujuh. Minta pasien untuk menghitung mundur dengan selisih 7
dimulai dari angka 100. Berikan nilai satu untuk tiap jawaban benar.
Hentikan setelah 5 jawaban.
Alternatif lain: eja secara mundur kata M E S R A
5. Mengingat Kembali.
Minta pasien untuk menyebutkan tiga obyek yang telah
dipelajarinya pada pertanyaan 3.

49

Berikan nilai satu untuk tiap jawaban benar.

___

___

___

___

___

___

___

BAHASA
6. Tunjuk pada sebuah pensil dan sebuah arloji tangan.
Minta pasien untuk menyebutkan nama benda yang anda tunjuk.
7. Minta pasien mengulangi: Tanpa, bila, dan, atau tetapi
8. Minta pasien untuk mengikuti tiga tahap tugas:
Ambil kertas dengan tangan kanan anda.
Lipat kertas menjadi dua.
Letakkan kertas di atas lantai.
9. Minta pasien membaca dan melakukan tugas yang dibacanya:
MOHON PEJAMKAN MATA ANDA
10. Minta pasien untuk menulis sebuah kalimat pilihannya sendiri
pada dua garis. (Kalimat harus mengandung subyek dan obyek dan
harus mempunyai arti. Abaikan kesalahan eja saat menilai)
11. Minta pasien untuk menyalin gambar di bawah ini. (Berikan nilai satu

bila semua sisi dan sudut tergambar utuh dan gambar yang saling
memotong merupakan sebuah segi empat)

==============
=========
JUMLAH

50

___

30

ALAT UKUR INSOMNIA SEVERITY INDEX (ISI) (Jaya, 2012)


Untuk setiap pertanyaan, mohon beri TANDA CENTANG pada kolom yang sesuai dengan
kondisi Bapak/Ibu.
Mohon nilai tingkat SEBERAPA PARAH masalah tidur yang sedang Bapak/Ibu alami SAAT
INI (seperti: 1 MINGGU TERAKHIR).
No.

Masalah Tidur

1.

Kesulitan untuk tidur

2.

Sulit untuk mempertahankan

Tidak

Sedikit

Sedang

Ada (0)

(1)

(2)

Parah (3)

Sangat
Parah (4)

tidur
3.

Terbangun lebih cepat dari


biasanya
4. Seberapa PUAS/TIDAK PUASkah Bapak/Ibu dengan kebiasaan tidur SAAT INI?
Sangat Puas (0)

Puas (1)

Cukup Puas (2)

Tidak Puas (3)

Sangat Tidak Puas


(4)

5. Menurut pengamatan orang lain, seberapa terlihatkah pengaruh masalah tidur pada kualitas
hidup Bapak/Ibu?
Sama sekali tidak

Sedikit (1)

Cukup (2)

Sangat (3)

Luar biasa terlihat

terlihat (0)

(4)

6. Seberapa KHAWATIR/KESAL Bapak/Ibu dengan masalah tidur saat ini?


Sama sekali tidak

Sedikit (1)

Cukup (2)

Sangat (3)

khawatir (0)

Luar biasa
khawatir (4)

7. Menurut Bapak/Ibu, seberapa BERPENGARUHKAH masalah tidur Bapak/Ibu SAAT INI


pada kegiatan hidup sehari-hari (seperti: mengantuk di siang hari, perasaan, kemampuan
untuk mengerjakan pekerjaan atau pekerjaan rumah harian, konsentrasi, ingatan, dan
lainnya)?

51

Sama sekali tidak

Sedikit (1)

Cukup (2)

Sangat (3)

berpengaruh (0)

Luar biasa
berpengaruh (4)

KUESIONER DUKUNGAN SOSIAL VERSI PENDEK SARASON


Pertanyaan:
1. Siapakah yang benar-benar Anda percaya saat Anda membutuhkan bantuan?
Tak ada ..
1. . (.) 5. . (.)
2. . (.) 6. . (.)
3. . (..) 7. . (.)
4. . (.) 8. . (.)
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak puas
2. Siapa yang benar-benar membantu Anda menenangkan pikiran ketika mengalami
tekanan/ketegangan?
Tak ada ..
1. . (.) 5. . (.)
2. . (.) 6. . (.)
3. . (..) 7. . (.)
4. . (.) 8. . (.)
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak puas
3. Siapa yang dapat menerima Anda sepenuhnya dengan segala kelebihan dan kekurangan?
Tak ada ..
1. . (.) 5. . (.)
2. . (.) 6. . (.)
3. . (..) 7. . (.)
4. . (..) 8. . (.)
Seberapa puaskah Anda?

52

6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak puas
4. Siapa yang benar-benar peduli pada Anda tanpa memandang keadaan?
Tak ada ..
1. . (.) 5. . (.)
2. . (.) 6. . (.)
3. . (..) 7. . (.)
4. . (..) 8. . (.)
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak
puas
5. Siapa yang benar-benar menghibur Anda ketika bersedih?
Tak ada ..
1. . (.) 5. . (.)
2. . (.) 6. . (.)
3. . (..) 7. . (.)
4. . (..) 8. . (.)
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak
puas
6. Siapa yang menenangkan Anda ketika sedang bingung?
Tak ada ..
1. . (.) 5. . (.)
2. . (.) 6. . (.)
3. . (..) 7. . (.)
4. . (..) 8. . (.)
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak
puas

KUESIONER TAMBAHAN (Hermana, 2009) (Suhartini, 2014)


1. Apakah Anda suka minum kopi?
a. Ya

53

b. Tidak
2. Jika Ya, seberapa sering Anda mengonsumsi kopi dalam seminggu?
............. kali/minggu
3. Berapa cangkir Anda mengonsumsi kopi dalam sehari?
............. cangkir/hari
4. Kapan biasanya Anda meminum kopi?
Pagi / Siang / Malam
5. Apakah Anda suka minum teh?
a. Ya
b. Tidak
6. Jika Ya, seberapa sering Anda mengonsumsi teh dalam seminggu?
............. kali/minggu
7. Berapa cangkir Anda mengonsumsi teh dalam sehari?
............. cangkir/hari
8. Kapan biasanya Anda meminum teh?
Pagi / Siang / Malam
9. Apakah Anda tidur siang secara rutin?
a. Ya
b. Tidak
10. Jika Ya, seberapa sering Anda tidur siang dalam seminggu?
.......... kali/minggu
11. Berapa lama Anda menghabiskan waktu untuk tidur siang dalam sehari?
.......... menit/hari

54

Anda mungkin juga menyukai