Anda di halaman 1dari 17

Bagaimana saya melakukan pungsi lumbal dan menganalisis hasilnya

untuk menegakkan diagnosis meningitis bakterialis?


Sharon E. Straus, Kevin E. Thorpe, Jayna Holroyd-Leduc
Konteks. Pungsi lumbal (LP) diagnostik, yang umum digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, berkaitan dengan kejadian-kejadian tidak diinginkan.
Tujuan. Untuk secara sistematis meninjau bukti yang tersedia mengenai tekhnik-tekhnik
LP diagnostik yang dapat mengurangi risiko kejadian tidak diinginkan dan bukti-bukti mengenai
ketepatan uji analisis cairan serebrospinal (CSF) pada pasien dewasa dengan dugaan meningitis
bakterialis.
Sumber data. Kami melakukan pencarian di Cochrane Library, MEDLINE dari 1966
hingga Janari 2006 dan EMBASE dari 1980 hingga Januari 2006 tanpa batasan bahasa untuk
mengidentifikasi penelitian-penelitian yang sesuai dan mengidentifikasi penelitian-penelitian lain
dari bibliografi artikel yang didapat.
Pemilihan penelitian. Kami menyertakan uji-uji random yang dilakukan pada pasien
berusia 18 tahun atau lebih yang menjalani intervensi untuk memfasilitasi keberhasilan LP
diagnostik atau yang berpotensi mengurangi kemungkinan kejadian yang tidak diinginkan.
Penelitian-penelitian yang menilai ketepatan analisis biokimia CSF untuk kemungkinan
meningitis bakterialis juga diidentifikasi.
Ekstraksi data. Dua peneliti secara independen menilai kualitas penelitian dan
mengambil data yang relevan. Untuk penelitian-penelitian mengenai tekhnik LP, data mengenai
intervensi dan keluaran dieksktraksi. Untuk penelitian-penelitian mengenai diagnosis laboratoris
meningitis bakterialis, data mengenai standar referensi dan ketepatan tes diekstraksi.
Sintesis data. Kami menemukan 15 uji random. Model random-effects digunakan untuk
sintesis kuantitatif. Lima penelitian yang melibatkan 587 pasien membandingkan jarum
atraumatika dengan jarum standar dan mendapati penurunan non signifikan pada kemungkinan
sakit kepala dengan jarum atraumatika (absolute risk reduction [ARR], 12.3%; CI 95%, -1.72%
hingga 26.2%). Insersi ulang stylet sebelum pencabutan jarum mengurangi risiko sakit kepala
(ARR, 11.3%; CI 95%, 6.50%-16.2%). Kombinasi hasil dari 4 penelitian yang melibatkan 717
pasien menunjukkan penurunan non signifikan pada sakit kepala pada pasien yang dimobilisasi
setelah LP (ARR, 2.9%; CI 95%, -3.4 hingga 9.3%). Empat penelitian mengenai ketepatan

analisis biokimia CSF pada pasien dengan kecurigaan meningitis memenuhi kriteria inklusi.
Rasio glukosa CSF-darah sebesar 0.4 atau kurang (likelihood ratio [LR], 18; CI 95%, 12-27),
hitung sel darah putih CSF sebesar 500/L atau lebih (LR, 15; CI 95%, 10-22), dan kadar laktat
CSF sebesar 31.53 mg/dL atau lebih ( 3.5 mmol/L; LR, 21; CI 95%, 14-32) secara akurat
mendiagnosis meningitis bakterialis.
Kesimpulan. Data ini menunjukkan bahwa jarum atraumatika gauge-kecil dapat
mengurangi risiko sakit kepala setelah LP diagnostik. Insersi ulang stylet sebelum pencabutan
jarum perlu dilakukan dan pasien tidak memerlukan tirah baring setelah prosedur. Riset
mendatang perlu difokuskan pada evaluasi intervensi untuk optimalisasi keberhasilan LP
diagnostik dan untuk meningkatkan pelatihan keahlian prosedural.
SKENARIO PASIEN
Seorang wanita berusia 70 tahun yang sebelumnya sehat datang ke departemen gawat
darurat dengan riwayat demam, kebingungan, dan letargi selama 3 hari. Dia tidak dapat bekerja
sama dengan pemeriksaan fisis lengkap, namun dia mengalami kekakuan leher saat fleksi leher.
Skor pasien tersebut pada Glasgow Coma Scale adalah 13 (mata, 4; verbal, 4; motorik, 5).
Temuan dari radiograf dada dan urinalisis didapati normal. Anda meminta persetujuan dari
suaminya untuk melakukan pungsi lumbal (LP).
Mengapa prosedur diagnostik ini penting?
Dalam artikel Pemeriksaan Klinis Rasional terdahulu, Attia dan kawan-kawan membahas
skenario di atas dan merekomendasikan untuk melakukan LP untuk uji definitif cairan
serebrospinal (CSF). Cairan serebrospinal adalah cairan jernih, tanpa warna yang mengisi
ventrikel dan ruang subaraknoid yang mengelilingi otak dan korda spinalis. Pungsi lumbal
memungkinkan pengambilan sampel cairan ini, sehingga memfasilitasi diagnosis berbagai
kondisi.
Sejak pertama kali dideskripsikan oleh Quincke di tahun 1891, LP telah menjadi alat
diagnostik yang penting, terutama ketika mempertimbangkan diagnosis meningitis. Evaluasi
CSF dapat membantu menegakkan diagnosis dan memandu pemberian terapi antimikrobial.
Lebih jarang terjadi, LP digunakan sebagai bagian dari pemeriksaan diagnostik pasien dengan
dugaan perdarahan subarakhnoid, penyakit demielinasi, dan metastasis leptomeningeal.

Kejadian tidak diinginkan apa yang dapat terjadi pada LP?


Bier adalah yang pertama untuk melaporkan tekhnik anesthesia spinal dan juga
memberikan (melalui pengalaman pribadi) deskripsi pertama mengenai sakit kepala post-LP.
Sakit kepala dan sakit punggung adalah kejadian tidak diinginkan terkait LP yang paling sering
dilaporkan. Sakit kepala dapat terjadi pada hingga 60% pasien yang menjalani LP, walaupun
perkiraan bervariasi karena perbedaan kriteria inklusi dan definisi sakit kepala. Sakit kepala
dapat terjadi amat berat dan melumpuhkan dan dipercaya terjadi karena kebocoran CSF melalui
situs pungsi dural. Sakit punggung lebih jarang terjadi namun dapat terjadi pada hingga 40%
pasien setelah LP. Kejadian tidak diinginkan yang langka antara lain adalah herniasi serebral,
perdarahan intrakranial subdural, perdarahan spinal epidural, dan infeksi.
Apakah kontraindikasi dalam melakukan LP?
Para klinisi sering khawatir bahwa lesi massa yang tidak terdeteksi atau obstruksi
ventrikel yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial membawa risiko bagi herniasi
serebral setelah LP. Namun, tidak terdapat bukti konklusif yang mendukung bahwa risiko dapat
dikurangi dengan pencitraan neurologis universal sebelum LP. Ketimbang penggunaan
pencitraan neurologis universal, para klinisi dapat menggunakan pemeriksaan klinis untuk
memandu keputusan untuk memesan pencitraan neurologis. Dalam satu penelitian prospektif,
113 pasien diperiksa oleh residen penyakit dalam (dengan pengawasan oleh dokter gawat
darurat) sebelum menjalani CT scan otak dan LP. Median usia pasien adalah 42 tahun, 36%
mengalami gangguan sistem imun (immunocompromised), dan 46% pasien mengalami
perubahan status mental. Perubahan status mental (LR, 2.2; CI 95%, 1.5-3.2), temuan neurologis
fokal (LR, 4.3; CI 95%, 1.9-10), dan papiledema (LR, 11; CI 95%, 1.1-115) meningkatkan
kemungkinan lesi intrakranial. Kesan klinis keseluruhan (tidak didefinisikan dalam penelitian
tersebut) dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan kontraindikasi menurut CT
terhadap LP (LR, 19; CI 95%, 4.8-43). Dalam penelitian prospektif kedua yang melibatkan 301
pasien dengan dugaan meningitis, 235 menjalani CT scan sebelum LP. Rata-rata usia pasien
adalah 40 tahun (16% berusia 60 tahun), 25% mengalami gangguan sistem imun, dan 27%
pasien memiliki skor komorbiditas Charlson lebih dari 1. Para pasien diperiksa secara klinis oleh
seorang dokter gawat darurat atau ahli penyakit dalam umum. Ketiadaan sejumlah fitur klinis

pada baseline dapat digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang berkemungkinan kecil
memiliki hasil CT abnormal (LR, 0.10; CI 95%, 0.03-0.31). Ketiadaan semua karakteristik
baseline berikut berkaitan dengan LR yang rendah tersebut: usia 60 tahun atau lebih, kondisi
gangguan sistem imun, riwayat penyakit sistem saraf pusat, dan kejang dalam 1 minggu sebelum
presentasi. Sebagai tambahan, temuan pemeriksaan fisis berikut perlu tidak dijumpai: tingkat
kesadaran abnormal, ketidakmampuan untuk mengikuti dua perintah secara konsekutif dengan
benar, gaze palsy, lapangan pandang abnormal, facial palsy, arm drift, leg drift, dan bahasa
abnormal. Dengan menggunakan pretest kemungkinan temuan CT abnormal dari penelitian
tersebut (23.8%), ketiadaan semua fitur yang dituliskan di atas akan mengurangi kemungkinan
temuan abnormal hingga 3.0%. Temuan dari kedua penelitian di atas belum divalidasi secara
prospektif dalam populasi independen lain.
Infeksi lokal pada situs pungsi juga merupakan kontraindikasi untuk menjalankan LP
namun hal ini jarang terjadi. Lebih sering terjadi, para klinisi khawatir mengenai defek koagulasi
dan penggunaan antikoagulan, yang dapat meningkatkan risiko perdarahan epidural. Dalam satu
penelitian mengenai komplikasi post-LP, keluaran dibandingkan pada 166 pasien yang menerima
antikoagulan dengan 171 pasien yang tidak menerima antikoagulan. Terdapat kecenderungan
peningkatan risiko paraparesis pada pasien yang menerima antikoagulan (relative risk, 11.0; CI
95%, 0.60-199) dengan 5 pasien dalam kelompok antikoagulan mengalami kejadian yang tidak
diinginkan dibanding dengan tidak ada dalam kelompok kontrol. Pada semua pasien yang
mengalami paraparesis, antikoagulasi telah dimulai dalam satu jam sebelum prosedur. Survei
pada 246 pimpinan departemen dan direktur program residensi neurologi pediatrik dan dewasa
mendapati bahwa 45% responden memesan pemeriksaan platelet dan antikoagulasi sebelum LP.
Kami tidak dapat menemukan data yang mengevaluasi keamanan LP pada pasien dengan hitung
platelet rendah. Dalam satu serial kasus yang melibatkan 66 pasien dengan leukemia akut, pasien
dengan hitung platelet rendah (< 50 x 10 3/L) memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
prosedur traumatika yang didefinisikan sebagai keberadaan 500 atau lebih sel darah merah dalam
CSF per high-powered field (HPF). Meskipun demikian, LP tidak dilakukan pada pasien dengan
hitung platelet kurang dari 20 x 103/L dalam penelitian tersebut.
Kami melakukan tinjauan sistematis untuk mengidentifikasi penelitian-penelitian
mengenai intervensi yang meningkatkan keberhasilan LP dan meminimalisir kemungkinan
kejadian yang tidak diinginkan. Berdasarkan tinjauan bukti dan integrasinya dengan pendapat

ahli, kami memberikan pendekatan praktik-terbaik untuk LP pada pasien dewasa. Karena
interpretasi klinisi mengenai hasil LP berkaitan erat dengan temuan pemeriksaan klinis, kami
juga meninjau literatur yang menguji ketepatan uji CSG umum untuk meningitis bakterialis.
Walaupun terdapat indikasi-indikasi lain untuk LP dan analisis CSF, artikel ini berfokus pada
analisis CSF untuk dugaan meningitis bakterialis karena kondisi ini memerlukan penanganan
segera dan adalah salah satu diagnosis paling lazim yang dipertimbangkan dokter umum ketika
melakukan LP.
METODE
Pencarian di Cochrane Library, MEDLINE (menggunakan Ovid dan PubMed) dari 1966
hingga Januari 2006, dan EMBASE dari 1980 hingga Januari 2006 diselesaikan untuk
mengidentifikasi penelitian-penelitian yang relevan. Strategi pencarian menggunakan istilah
lumbar puncture, spinal puncture, dural puncture, headache, headach, spinal needle,
cerebrospinal fluid, spinal fluid, dan meningitis. Penelitian-penelitian intervensi dibatasi pada uji
random terkontrol menggunakan istilah randomized controlled trial, controlled clinical trial,
clinical trial, random allocation, dan random. Pembatasan bahasa tidak digunakan. Artikel
tambahan diidentifikasi melalui pencarian bibliografi artikel yang didapat. Rincian mengenai
strategi pencarian tersedia jika diminta.
Uji-uji random yang melibatkan para pasien ( 18 tahun) yang menjalani intervensi yang
berpotensi mengurangi sakit kepala dan sakit punggung pada waktu LP diagnostik disertakan.
Namun, jika penelitian random mengenai intervensi tertentu tidak diidentifikasi sama sekali,
penelitian dengan kualitas lebih rendah termasuk kohort, case-control, dan serial kasus
disertakan. Penelitian yang memeriksa pasien yang menjalani LP selama anesthesia spinal atau
mielografi dieksklusikan karena prosedur-prosedur ini berbeda secara klinis dari LP diagnostik.
Jumlah cairan yang diambil selama anestesia spinal atau mielografi adalah lebih kecil dibanding
dengan LP diagnostik dan cairan lain dimasukkan selama kedua prosedur tersebut. Terlebih lagi,
risiko sakit kepala adalah lebih tinggi dengan LP diagnostik dibanding dengan anesthesia spinal.
Intervensi yang ingin diteliti adalah intervensi yang dapat digunakan pada waktu LP, seperti
mobilisasi segera, jarum atraumatika, dan insersi ulang stylet. Kami juga berupaya
mengidentifikasi penelitian-penelitian yang menilai pengaruh penempatan posisi pasien dan

pengalaman operator. Keluaran yang ingin diteliti adalah sakit kepala yang terjadi hingga 7 hari
setelah LP.
Untuk memeriksa ketepatan analisis CSF pada pasien dengan dugaan meningitis
bakterialis akut, kami menyertakan penelitian-penelitian yang sebagian besar melibatkan
populasi dewasa dan penelitian-penelitian yang mendeskripsikan penggunaan standar referensi
yang tepat (seperti, kultur CSF atau antigen bakteri) pada semua pasien. Sebagai tambahan, data
primer atau statistik rangkuman yang tepat harus tersedia dalam penelitian-penelitian yang
disertakan.
Dua peninjau (S.E.S. dan J.M.H-L.) secara independen meninjau dan memilih publikasipublikasi relevan yang memenuhi kriteria inklusi dari hasil pencarian. Perbedaan pendapat
diselesaikan melalui pencapaian konsensus. Jika terdapat keraguan, artikel lengkap diperoleh
untuk tinjauan dan diskusi. Artikel lengkap dari semua abstrak yang memenuhi kriteria inklusi
diperoleh.
Kedua peninjau secara independen membaca semua artikel lengkap untuk memastikan
bahwa kriteria inklusi dipenuhi. Para peninjau juga menilai kualitas penelitian. Untuk penelitianpenelitian intervensi, formulir pengumpulan data khusus digunakan untuk mengekstraksi data
mengenai kualitas penelitian termasuk metode pengacakan, keberadaan penyamaran (blinding),
dan metode yang digunakan untuk penilaian keluaran. Data juga diekstraksi mengenai intervensi
dan keluaran dikotomus (dichotomous) variabel sakit kepala post-LP. Kriteria inklusi inimal
untuk penelitian random mengenai intervensi untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan
adalah deskripsi pengacakan dan kemampuan untuk mengekstraksi data pasien yang relevan.
Untuk penelitian-penelitian mengenai ketepatan uji, data diekstraksi mengenai standar referensi,
keberadaan penyamaran, uji indeks, dan karakteristik populasi. Kriteria inklusi minimal untuk
penelitian-penelitian mengenai ketepatan uji pada pasien dengan dugaan meningitis adalah
kelengkapan standar referensi yang tepat untuk semua pasien dan kemampuan untuk
mengekstraksi data yang relevan. Perbedaan dalam penilaian oleh para peninjau diselesaikan
melalui diskusi, dan peneliti ketiga (K.E.T.) dapat dimintai pendapat jika perlu.
Untuk penelitian-penelitian intervensi, heterogeneitas statistik dinilai menggunakan
metode yang dideskripsikan oleh Woolf. Suatu model random-effects (DerSimonian dan Laird)
digunakan untuk data kuantitatif. Untuk penelitian-penelitian mengenai ketepatan uji, LR
dihitung menggunakan model random-effects. Analisis statistik dilakukan menggunakan R: A

Language and Environment for Statistical Computing dan rmeta. R adalah dialek open-source
dari bahasa S (S dikembangkan oleh AT & T) yang dipelihara oleh suatu tim inti. Nilai P duaekor sebesar < 0.05 dianggap signifikan secara statistik.
HASIL
Kami menemukan 537 kutipan mengenai intervensi potensial untuk optimalisasi tekhnik
LP. Tinjauan dari semua kutipan ini berujung pada pengambilan 22 artikel lengkap untuk
penilaian, 15 dari 22 artikel tersebut kemudian diidentifikasi untuk inklusi. Alasan untuk eksklusi
penelitian adalah ketiadaan pengacakan (5 penelitian), publikasi ulang (1 penelitian), dan
ketidakmampuan untuk memperoleh data keluaran (1 penelitian). Penelitian-penelitian
dikategorikan menurut intervensi termasuk jenis jarum, ukuran jarum, insersi ulang stylet,
mobilisasi setelah LP, dan penggunaan cairan suplemental. Tidak didapati penelitian mengenai
intervensi lain seperti penempatan posisi pasien selama LP, arah lubang jarum, volume CSF
yang diambil, atau penggunaan blood patch epidural profilaktik yang memenuhi kriteria
inklusi.
Deskripsi penelitian
Lima belas uji random diidentifikasi dengan ukuran sampel berkisar dari 44 hingga 600
individu. Delapan penelitian memiliki ukuran sampel 100 pasien atau kurang.
Pelaksanaan prosedur
Pengalaman operator. Kami tidak dapat mengidentifikasi uji random yang
mengevaluasi pengaruh pengalaman klinisi yang melakukan LP pada keluaran klinis. Beberapa
penelitian yang kami identifikasi melibatkan ahli neurologi berpengalaman, sementara beberapa
penelitian lain melibatkan mahasiswa di bawah pengawasan dokter. Dalam serial kasus LP yang
dilakukan di rumah sakit urban afiliasi-universitas, insidens LP traumatika adalah 15% dengan
definisi lebih dari 400 sel darah merah per HPF dan 10% dengan menggunakan definisi lebih
dari 1000 sel darah merah per HPF. Meskipun demikian, tingkat pelatihan dan spesialisasi dokter
tidak dicatat. Satu penelitian retrospektif membandingkan insidens LP traumatika pada akhir
tahun akademik residen ketika residen menjadi lebih berpengalaman dengan saat awal tahun
akademik baru ketika residen baru memulai pelatihan. Dengan menggunakan nilai ambang 1000

sel darah merah/L, tidak terdapat perbedaan dalam risiko LP traumatika antara residen
berpengalaman (14%) dan residen tidak berpengalaman (12%). Dalam kohort prospektif yang
melibatkan 501 pasien yang menjalani LP oleh perawat, dokter, residen, atau mahasiswa
kedokteran, tidak didapati perbedaan signifikan dalam risiko sakit kepala post-LP di antara tiga
kelompok. Kami tidak mendapat data mengenai jumlah LP yang diperlukan untuk
mendemonstrasikan atau mempertahankan keahlian.
Penempatan posisi pasien. Kami tidak dapat mengidentifikasi penelitian yang
mengevaluasi keberhasilan LP dengan berbagai posisi pasien atau pengaruh penempatan posisi
pasien pada risiko kejadian yang tidak diinginkan. Satu penelitian menyelidiki jarak
interspinosus untuk menentukan pengaruh penempatan posisi. Pengukuran jarak interspinosus
dilakukan pada 16 pasien yang ditempatkan dalam 3 posisi (berbaring lateral dengan lutut di
dada; duduk dan membungkuk ke depan pada tempat tidur yang dapat diatur; dan duduk dengan
kaki diganjal dan dada berada pada lutut). Jarak interspinosus didapati paling besar ketika pasien
ditempatkan dalam posisi duduk dengan kaki diganjal.
Pilihan jarum dan jumlah percobaan. Lima penelitian dengan data dari 587 pasien
membandingkan jarum atraumatik Sprotte atau Pajunk dengan jarum standar Quincke (gambar
1) selama LP diagnostik. Salah satu dari lima penelitian ini mendeskripsikan pengacakan metode
dan 4 penelitian mendeskripsikan penggunaan penilaian tersamar. Tiga penelitian menyediakan
data untuk analisis intention-to-treat.
Tidak terdapat penurunan non signifikan pada risiko sakit kepala pada pasien yang
menjalani LP dengan jarum atraumatik (ARR, 12.3%; CI 95%, -1.72% hingga 26.2%). Terdapat
heterogeneitas yang signifikan secara statistik antara semua penelitian ini ( 24 = 13.3, P < 0.01).
Heterogeneitas tampak dikarenakan terutama oleh penelitian yang kecil (n = 61) oleh Lenaerts
dan kawan-kawan (gambar 2) dengan hanya 9 kejadian keluaran. Satu penelitian menyertakan
data mengenai sakit kepala berat dan menemukan risiko ini berkurang secara signifikan dengan
jarum atraumatik (ARR, 23%; CI 95%, 6%-40%). Tidak terdapat data mengenai berapa sering
introducer digunakan dengan jarum atraumatik atau pengaruhnya.
Tiga dari penelitian-penelitian ini, yang melibatkan 296 pasien, menyertakan data
mengenai jumlah upaya yang diperlukan untuk menyelesaikan LP ketika menggunakan jarum
atraumatik. Tidak terdapat heterogeneitas signifikan antar penelitian ( 22 = 0.46, P = 0.80).
Terdapat peningkatan non signifikan dalam risiko memerlukan 2 atau lebih upaya ketika jarum

atraumatik digunakan (ARI, 4.9%; CI 95%, -13% hingga 3.4%). Satu penelitian menemukan
peningkatan risiko memerlukan 4 upaya dengan jarum atraumatik dibanding dengan jarum
standar (ARI, 14%; CI 95%, 3.1%-25%). Penelitian ini juga menyertakan data mengenai sakit
punggung dan tidak mendapati peningkatan risiko dengan jarum atraumatik (ARR, 7.4%; CI
95%, -12% hingga 27%) meskipun memerlukan lebih banyak upaya dengan jarum atraumatik.
Data mengenai sakit punggung dan jumlah upaya yang diperlukan dengan jarum atraumatik ini
merupakan keluaran sekunder dari penelitian ini dan perlu dievaluasi lebih lanjut dalam
penelitian yang lebih besar.
Garis panduan yang baru dipublikasikan dari American Academy of Neurology
mendukung penggunaan jarum atraumatik ketika menyelesaikan LP diagnostik untuk
mengurangi risiko sakit kepala post-LP. Dalam garis panduan versi terdahulu, mereka
melaporkan bahwa perlengkapan LP yang menyertakan jarum Sprotte memiliki harga yang sama
dengan perlengkapan LP yang menyertakan jarum Quincke.
Satu penelitian yang melibatkan 100 pasien membandingkan penggunaan jarum Quincke
26-gauge vs jarum Quincke 22-gauge. Pengamat keluaran tersamar digunakan dan data diberikan
untuk analisis intention-to-treat. Risiko sakit kepala berkurang secara signifikan dengan jarum
yang lebih halus (ARR, 26%; CI 95%, 11%-40%).
Insersi ulang stylet
Strupp dan kawan-kawan mempelajari 600 pasien dan membandingkan efek insersi ulang
stylet sebelum pencabutan jarum atraumatik dengan tanpa insersi ulang. Rincian tidak disediakan
mengenai metode pengacakan atau penggunaan penilaian keluaran tersamar. Jumlah pasien yang
menjalani LP dengan insersi ulang stylet lebih jarang mengalami sakit kepala (ARR, 11%; CI
95%, 6.5%-16%). Dipostulasikan bahwa serabut araknoid dapat memasuki jarum seiring aliran
CSF dan jika tidak diganti, serabut tersebut dapat terdorong balik melalui dura selama
pencabutan jarum, sehingga menyebabkan kebocoran CSF berkepanjangan. Melalui insersi ulang
stylet sebelum pencabutan jarum, serabut akan ditekan dan dipotong, sehingga mengurangi risiko
kebocoran berkelanjutan dan sakit kepala yang disebabkan kobocoran.
Tirah baring setelah prosedur

Empat penelitian dengan data dari 717 pasien membandingkan mobilisasi segera dengan
tirah baring yang berlangsung 4 jam untuk reduksi sakit kepala post-LP. Satu penelitian
memberikan sebagian rincian mengenai metode pengacakan. Penelitian ini juga mendeskripsikan
penggunaan pemeriksa keluaran tersamar. Dua dari 3 penelitian memberikan data untuk analisis
intention-to-treat.
Tidak terdapat heterogeneitas signifikan antara penelitian-penelitian ini (23 = 1.04, P =
0.79). Terdapat penurunan non signifikan dalam risiko sakit kepala pada pasien yang
dimobilisasi setelah LP (ARR, 2.9%; CI 95%, ARI 3.4%-ARR 9.3%; gambar 3). Tiga penelitian
mempelajari posisi kepala selama tirah baring, namun karena tidak terdapat efek signifikan dari
tirah baring, hasil dari ketiga penelitian ini dieksklusikan dari analisis lebih lanjut.
Cairan suplementer
Dalam satu penelitian yang melibatkan 100 pasien yang menjalani LP diagnostik,
Dieterich menyelidiki efek minum 1.5 L cairan vs 3 L cairan per hari pada risiko sakit kepala
post-LP. Tidak terdapat rincian disediakan mengenai metode pengacakan atau penggunaan
pemeriksa keluaran tersamar. Jumlah kejadian keluaran adalah terlalu kecil untuk mendeteksi
perbedaan antar kelompok (risk difference, 0.0; CI 95%, ARI 18.8%-ARR 18.8%). Sudlow dan
Warlow melakukan tinjauan sistematis untuk pencegahan sakit kepala post-LP dan tidak
mendapati efek pada sakit kepala post-LP.
Interpretasi hasil
Manuver selama prosedur. Tekanan CSF istirahat normal diperkirakan sebesar 60 hingga
180 mm H2O atau 6 hingga 14 mm Hg. Dalam satu penelitian yang diidentifikasi, tekanan CSF
sedikit berubah (< 1.1 mm H2O) dengan fleksi ekstremitas bawah. Berbagai manuver, seperti
kompresi abdomen atau vena jugularis (manuver Queckenstedt), dapat meningkatkan tekanan
CSF. Obstruksi aliran CSF mencegah peningkatan dan penurunan normal tekanan (Queckenstedt
positif), namun kami tidak dapat menemukan penelitian yang mendeskripsikan ketepatan
manuver ini bagi deteksi obstruksi aliran CSF.
Uji laboratoris

Walaupun sampel CSF dapat dihadapkan pada berbagai jenis analisis, kami berfokus
pada hasil tes yang segera relevan dan bermanfaat bagi dokter umum ketika mengevaluasi pasien
yang diduga mengalami meningitis bakterialis. Nilai CSF normal dicantumkan dalam tabel 1,
namun nilai-nilai ini dapat bervariasi dari satu laboratorium ke laboratorium lain. Kami
menemukan 460 artikel diagnotik dalam pencarian literatur kami, dan 6 memenuhi kriteria
inklusi (tabel 2). Satu ahli mengajukan bahwa hitung sel darah putih perlu dikoreksi untuk
keberadaan sel darah merah melalui pengurangan 1 sel darah putih dari hitung sel darah putih
total dalam CSF untuk tiap 700 sel darah merah. Dia juga menyatakan bahwa satu sel
polimorfonuklear dalam CSF dengan hitung sel darah putih kurang dari 5 L adalah dianggap
normal. Steele dan kawan-kawan menyarankan analisis cepat CSF dan menemukan bahwa
hitung neutrofil dapat berkurang sebesar 50% dalam 2 jam setelah pengambilan.
Kami menemukan 3 penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan yang mendeskripsikan
ketepatan pewarnaan Gram CSF untuk diagnosis meningitis bakterialis. Ketiga penelitian ini
tidak tampak sebagai penelitian prospektif. Semua penelitian melaporkan sensitivitas pewarnaan
Gram dan 1 penelitian melaporkan spesifisitas uji ini (tabel 3). Jika bakteri dijumpai dalam
pewarnaan Gram, temuan ini membantu penegakan diagnosis meningitis bakterialis namun jika
uji ini didapati negatif, kemungkinan meningitis bakterialis tidak dapat disingkirkan.
Kami mengidentifikasi 4 penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan yang melaporkan
ketepatan analisis biokimia CSF pada pasien dengan dugaan infeksi sistem saraf pusat (tabel 2
dan tabel 4). Hanya 1 penelitian mengenai hitung sel darah putih CSF memenuhi kriteria inklusi
kami yang ketat. Hitung sel darah putih CSF sebesar 500/L atau lebih meningkatkan
kemungkinan meningitis (LR, 15; CI 95%, 10-22), sementara nilai kurang dari 500/L
mengurangi kemungkinan menigitis (LR, 0,.3; CI 95%, 0.2-0.4).
Rasio glukosa CSF-darah sebesar 0.4 atau kurang didapati akurat untuk diagnosis
meningitis bakterialis (LR, 18; CI 95%, 12-27), sementara rasio glukosa CSF-darah membuat
diagnosis ini kurang mungkin (LR, 0.31; CI 95%, 0.21-0.45). Kadar laktat CSF sebesar 31.35
mg/dL atau lebih ( 3.5 mmol/L) didapati akurat untuk diagnosis meningitis bakterialis (LR, 21;
CI 95%, 14-32; tabel 4), sedangkan kadar laktat CSF kurang dari 31.53 mg/dL (< 3.5 mmol/L)
membuat diagnosis meningitis bakterialis kurang mungkin (LR, 0.12; CI 95%, 0.07-0.23).
Model-model prediksi

Spanos dan kawan-kawan mengembangkan aturan prediksi untuk diagnosis meningitis


bakterialis. Aturan ini (tabel 5) diturunkan dari tinjauan rekam medis retrospektif para pasien
dengan diagnosis akhir meningitis akut. Sampel dibagi ke dalam set turunan dan validasi, namun
data dari sejumlah besar rekam medis (94/214) dalam set turunan adalah tidak lengkap dan
dieksklusikan dari analisis. Dan, tekhnik yang digunakan untuk hitung sel CSF berubah selama
periode peenlitian, ini dapat mempengaruhi hasil penelitian. Ketepatan sebagaimana terukur
melalui area under the reveicer operating curve (AUC) adalah 0.97 untuk set validasi.
Hoen dan kawan-kawan berupaya memvalidasi aturan di atas dalam satu tinjauan
retrospektif dan menggunakan data yang sama untuk menghasilkan aturan keputusan mereka
sendiri (tabel 5) yang melibatkan 4 variabel klinis berbeda. Dalam validasi mereka akan
penelitian oleh Spanos dan kawan-kawan, AUC didapati 0.98 sementara AUC untuk persamaan
turunan mereka adalah 0.99. Dalam satu tinjauan retrospektif lain pada pasien dengan
meningitis, Leblebicioglu dan kawan-kawan menyelidiki aturan oleh Hoen dan Spanos dan
AUC didapati 0.99 dan 0.95, secara berurutan. McKinney dan kawan-kawan memperoleh hasil
serupa dalam tinjauan retrospektif mereka.
Dalam satu-satunya validasi prospektif yang kami identifikasi, Baty dan kawan-kawan
menyelidiki aturan Hoen dalam sampel 109 pasien berusia 1 hingga 85 tahun dengan meningitis
akut community-acquired. Data hanya tersedia pada pasien dengan meningitis bakterialis dan
viral, sehingga spesifisitas model tidak dapat dihitung. Sensitivitas model yang dihitung adalah
80%

untuk

diagnosis

meningitis

bakterialis.

Untuk

aturan

keputusan

ini

supaya

direkomendasikan dalam praktik klinis, ia perlu divalidasi secara prospektif dalam populasi yang
lebih besar dengan spektrum penyakit lebih luas.
Brivet dan kawan-kawan menyelesaikan penelitian retrospektif dan mendapati bahwa
keberadaan sekurang-kurangnya 1 tanda keparahan penyakit pada waktu rujukan dan hitung
neutrofil CSF lebih dari 1000/L merupakan prediktor akan meningitis bakterialis. Keparahan
didefinisikan melalui keberadaan sekurang-kurangnya 1 dari tanda-tanda berikut: perubahan
kesadaran, kejang, temuan neurologis fokal, dan syok. Karena sifat retrospektif dari penelitian
ini, data laboratoris yang relevan tidak tersedia untuk semua pasien. Dan, model ini belum
divalidasi secara prospektif dalam populasi independen.
Bagaimanakah LP seharusnya dilakukan?

Secara ideal, LP yang sukses perlu memenuhi kriteria berikut: (1) memperoleh CSF yang
cukup dalam upaya pertama, (2) terjadi tanpa trauma (yaitu, CSF mengandung < 1000 sel darah
merah per HPF), (3) terjadi dengan ketidaknyamanan minimal bagi pasien selama dan setelah
prosedur, dan, (4) dijalankan tanpa kejadian tidak diinginkan serius seperti herniasi serebral.
Deskripsi berikut mengenai metode pelaksanaan LP mempertimbangkan bukti terbaik yang
tersedia dan pendapat ahli untuk memfasilitasi pelaksanaan LP secara sukses.
Prosedur LP dan risiko-risikonya perlu dijelaskan kepada pasien dan informed consent
diperoleh jika relevan dalam kondisi klinis. Deskripsi perlu menjelaskan bagaimana LP akan
dilakukan, mengapa LP dilakukan, apa komplikasi yang dapat terjadi, dan bagaimana komplikasi
ditangani. Sebagai contoh, pasien dapat diberitahu bahwa pada rata-rata, 6 dari 10 individu dapat
mengalami sakit kepala transien setelah LP dan bahwa hingga 4 dari 10 individu dapat
mengalami sakit kepala temporer. Pasien harus ditanyai mengenai riwayat alergi obat, termasuk
anestetik lokal. Untuk pasien yang cemas, sebagian ahli menyarankan pemberian anxiolitik dosis
kecil (seperti lorazepam) sebelum prosedur jika pasien menginginkannya.
Tanpa keberadaan temuan neurologis fokal, perubahan status mental atau papiledema, LP
dapat dijalankan tanpa pemesanan CT scan. Jika CT scan dipesan sebelum LP ketika meningitis
bakterialis dicurigai, terapi antibiotik perlu segera dimulai dan tidak perlu menunggu hasil CT
scan. Jika mungkin, kultur darah harus diambil sebelum antibiotik dimulai.
LP biasa diselesaikan dengan pasien dalam posisi berbaring lateral dengan punggungnya
berada pada ujung tempat tidur untuk meminimalisir pembengkokan tulang belakang (gambar 4).
Kedua tungkai perlu difleksi menuju dada dan leher perlu juga sedikit difleksi. Bahu dan pelvis
pasien perlu berada vertikal terhadap tempat tidur. Dalam posisi ini, garis imajiner yang
menghubungkan kedua krista iliaka superior posterior akan menyilang ruang antara L4-L5
(gambar 4). Pungsi lumbal dapat dilakukan dalam ruang antara L3-L4, L4-L5, atau L5-S1. LP
tidak boleh dicoba pada ruang yang lebih tinggi untuk menghindari conus medullaris. Tidak
terdapat bukti untuk memandu klinisi mengenai apakah ruang antara L3-L4 atau L4-L5
merupakan situs optimal bagi upaya awal, yang merupakan topik yang perlu dibahas dalam riset
mendatang. LP dapat dilakukan pada L5-S1 karena jumlah radiks saraf yang sedikit dan ruang
antar vertebrae yang relatif luas. Processus spinosus yang superior terhadap ruang inter-vertebrae
yang dipilih perlu dipalpasi. Jarum perlu diinsersikan sekitar 1 cm inferior terhadap ujung
processus ini.

Dengan menggunakan sarung tangan steril dan masker, klinisi harus membersihkan situs
pungsi dengan larutan antiseptik melalui aplikasi larutan secara sirkular yang dimulai pada pusat
situs pungsi akan dilakukan. Kain steril dapat digunakan, dengan meninggalkan situs pungsi
terpapar. Palpasi processus spinosus lagi dan dengan 2 hingga 3 mL anestetik lokal (seperti
lidocaine), infiltrasi kulit pasien dan jaringan yang lebih dalam, tunggu 1 hingga 2 menit agar
reaksi anestetik terjadi. Jarum atraumatik tidak memiliki ujung tajam serupa seperti jarum
standar, maka penggunaan introducer untuk menembus kulit sebelum insersi disarankan jika
jarum atraumatik digunakan. Masukkan jarum spinal (menggunakan jalur yang sama seperti
untuk anestesi lokal) dan majukan secara horizontal sementara mengarah menuju umbilicus
hingga kedalaman sekitar 2 cm. Jika tulang ditemui, tarik jarum hingga posisi subkutaneus dan
masukkan ulang pada sudut yang sedikit berbeda. Terus majukan jarum hingga rasa menembus
kertas dirasakan, ini mengindikasikan penetrasi ligamentum flavum. Jarum sekarang seharusnya
berada dalam ruang subaraknoid. Ketika stylet ditarik, cairan jernih harus menetes. Jika cairan
tidak muncul, putar jarum untuk memastikan bahwa tidak terdapat lipatan dura yang
menghalangi aliran CSF. Jika cairan masih belum juga menetes, masukkan ulang stylet dan
dorong jarum sedikit, tarik stylet setelah tiap gerakan. Nyeri yang menyebar ke tungkai
mengindikasikan bahwa jarum terletak terlalu ke lateral dan telah menyentuh radiks saraf. Jika
hal ini terjadi, segera tarik jarum hingga mendekati kulit, periksa ulang posisi pasien, dan insersi
ulang jarum pada mid line. Jika proses ini gagal, turunkan situs insersi 1 vertebrae dan coba lagi.
Jika kegagalan lagi-lagi ditemui, prosedur perlu diupayakan oleh individu lain; sebagai alternatif,
LP dapat dilakukan dengan panduan fluoroskopik. Jika upaya LP tidak berhasil, LP dapat dicoba
dengan pasien dalam posisi duduk tegak. Namun, posisi ini tidak memungkinkan pengukuran
tekanan CSF secara akurat.
Ketika aliran CSF dilihat, tekanan dapat diukur melalui penyambungan manometer
secara langsung ke jarum atau melalui stopcock 2-way atau 3-way. Tanda 0 pada manometer
perlu ditempatkan setinggi jarum spinal dan tabung manometer dipegang secara vertikal. Secara
normal, akan terjadi variasi tekanan seiring respirasi.
Isi manometer dapat dilepaskan untuk pengumpulan dan analisis CSF. CSF tambahan
dapat diambil untuk pemeriksaan yang diperlukan. Secara tipikal, pemeriksa mempersiapkan 3
hingga 4 tabung pengumpulan. Sampel CSF awal ditempatkan dalam tabung yang diberi label
untuk biokimia, dan tabung nomor 2 adalah untuk pemeriksaan bakterial (pewarnaan Gram,

kultur, dan sensitivitas). Hitung sel dapat dilakukan pada tabung nomor 3, and tabung keempat
dapat digunakan untuk sitologi atau tes lain yang mungkin dilakukan ketika mempertimbangkan
diagnosis lain. Uji-uji ini akan bervariasi bergantung pada diagnosis banding pasien individual.
Ketika pengambilan CSF telah selesai, stylet perlu diinsersikan ulang sebelum pencabutan jarum.
Perban dapat ditempatkan pada situs pungsi dan pasien dibolehkan untuk bergerak.
Bagaimanakah LP perlu diajarkan atau dipelajari?
Survei terkini mengenai praktik klinis menunjukkan variasi tekhnik LP. Satu survei tahun
1996 pada para registar senior di semua departemen neurologi dan bedah saraf di United
Kingdom mendapati bahwa 15% responden melaporkan menggunakan jarum atraumatik dan
bahwa 73% merekomendasikan tirah baring hingga 6 jam setelah LP selesai dilakukan. Survei
yang serupa pada 2287 ahli neurologi yang aktif berpraktik di United States menemukan bahwa
2% menggunakan jarum atraumatik. Ahli neurologi tidak menggunakan jarum atraumatik karena
kurangnya pengetahuan mengenai jarum atraumatik atau karena jarum tersebut tidak tersedia di
institusi mereka.
American Board of Internal Medicine merekomendasikan 3 hingga 5 LP sebagai standar
minimal untuk memastikan kompetensi untuk melakukan LP. Namun, peserta pelatihan
melaporkan bahwa mereka perlu menyelesaikan 6 hingga 10 prosedur untuk merasa nyaman
dengan performa mereka.
Berdasarkan bukti yang ditinjau dalam artikel ini, beberapa target dapat diajukan untuk
membantu klinisi menilai kualitas performa LP mereka. LP yang sukses akan diindikasikan
melalui perolehan cairan CSF yang cukup untuk analisis pada upaya pertama dan melalui
pencapaian risiko sakit kepala post-LP kurang dari 60% dan risiko sakit punggung kurang dari
40%. Namun, nilai ini menggambarkan risiko rata-rata dari kejadian-kejadian tersebut sehingga
tidak dapat dianggap sebagai nilai referensi pembanding.
Hingga saat ini, terdapat sedikit bukti untuk mengarahkan pengajaran LP. Simulator telah
dikembangkan, namun belum dievaluasi secara cermat. Dalam satu uji random mengenai alat
pendidikan berbasis-Web, 14 peserta pelatihan diacak untuk menerima pelatihan berbasis-Web
atau tidak mendapat pelatihan. Modul latihan berbasis-Web menyediakan simulasi virtual LP.
Kedua kelompok menyelesaikan pre- dan post-LP pada manekin sintetis. Peneliti menemukan
perbaikan performa LP dengan penyelesaian modul latihan. Tidak dilakukan penilaian

kemampuan prosedural pada pasien atau risiko komplikasi post-LP. Bukti ini menegaskan
kebutuhan untuk mengevaluasi pengajaran pelaksanaan LP untuk memastikan kompetensi klinis
dicapai dan dipertahankan.
PENYELESAIAN SKENARIO
Pasien kita mengalami demam, kebingungan, dan kekakuan leher. Banyak klinisi akan
segera melakukan LP untuk menyingkirkan meningitis. Namun, kita tidak dapat melakukan
pemeriksaan neurologis lengkap karena pasien tidak dapat bekerja sama dengan pemeriksaan.
Seperti telah dibahas dalam artikel ini, bukti menunjukkan bahwa perubahan status mental pasien
dan usia pasien dan ketidakmampuan kita untuk memastikan ketiadaan temuan neurologis fokal
adalah indikasi-indikasi yang tepat untuk CT scan untuk menyingkirkan kemungkinan lesi
intrakranial. Situasi ini mendeskripsikan masalah pelik klinis yang umum ditemui, meskipun
insidens lesi intrakranial dengan presentasi semacam ini adalah rendah. Karena temuan klinis
kita adalah amat mengarah pada meningitis, kita memesan pemeriksaan darah termasuk hitung
darah lengkap, glukosa darah, dan kultur dan memulai terapi antibiotik segera. Kita memutuskan
untuk memesan CT scan (hasil CT scan menunjukkan ketiadaan lesi massa) sebelum melakukan
LP. Karena kebingungan pasien dan status neurologis yang tidak pasti, kita menyarankan
ambulasi dengan bantuan. Kita menggunakan jarum atraumatik dan menyelesaikan LP dengan
pasien dalam posisi berbaring lateral ke kiri. Cairan serebrospinal dikirim untuk pemeriksaan
hitung sel, pewarnaan Gram, kultur, protein, glukosa, dan laktat. Hasil menunjukkan hitung sel
darah putih 5000/L dan rasio glukosa CSF-darah sebesar 0.2, sehingga membantu kita untuk
menegakkan diagnosis meningitis bakterialis.
KESIMPULAN
Pungsi lumbal untuk menyelidiki meningitis pada pasien dewasa perlu dilakukan dalam
kondisi steril dengan pasien ditempatkan dalam posisi berbaring lateral dan lutut difleksi.
Sebagai alternatif, pasien dapat duduk dan membungkuk ke depan dengan kakinya diganjal
untuk meningkatkan ruang interspinosus. Bagi sebagian besar pasien, CT scan kepala untuk
menyingkirkan lesi massa tidak diperlukan sebelum LP dan pemeriksaan klinis dapat memandu
keputusan mengenai pencitraan neurologis.
1. Prosedur berikut dapat mengurangi risiko sakit kepala post-LP:

2. Penggunaan jarum atraumatik ukuran kecil untuk LP diagnostik adalah lebih disukai,
namun dapat memerlukan jumlah upaya yang lebih banyak,
3. Insersi ulang stylet sebelum pencabutan jarum spinal,
4. Mobilisasi pasien setelah LP selesai dilakukan.
Pada pasien yang dicurigai mengalami meningitis bakterialis, uji laboratoris berikut dapat
dipertimbangkan bersama dengan kultur yang sesuai, pewarnaan Gram dan pemeriksaan
serologis:
1. Rasio glukosa CSF-darah sebesar 0.4 atau kurang (LR positif, 18; CI 95%, 12-27; LR
negatif, -0.31; CI 95%, 0.21-0.45).
2. Hitung sel darah putih CSF sebanyak 500/L atau lebih (LR positif, 15; Ci 95%, 10-22;
LR negatif, 0.30; CI 95%, 0.20-0.40).
3. Kadar laktat CSF setinggi 31.5 mg/dL atau kurang ( 3.5 mmol/L; LR positif, 21; CI

95%, 14-32; LR negatif, 0.12; 0.07-0.23).

Anda mungkin juga menyukai