Di negeri Kuwait wanita dilarang mengikuti proses pemilihan (hak suara) anggota Majelis Ummah. Perbuatan ini tergolong telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal ini karena dalam Majelis Ummah dalam pandangan Islam hanyalah sebuah majelis yang anggota-anggotanya 'wakil' dari rakyat untuk 'menyampaikan' aspirasi dan suara rakyat terhadap penguasa, baik kritikan maupun usulan. Jadi haknya hanya sebatas 'penyampaian' dan tidak berwenang dalam penentuan/pembuatan hukum maupun perundang-undangan. (Lihat Nizhamul Hukmi fil Islam, Syekh AnNabhani, hal 212). Karena kedudukan mereka sebagai wakil, maka sebenarnya hak ini (muwakalah) juga dimiliki oleh kaum wanita, sebagaimana bagi kaum pria, apalagi jika permasalahan yang akan diwakilkan itu berkait dengan problema kewanitaan, karena tidak mungkin mewakilkannya kepada kaum pria. Dalam hal ini mari kita simak kejadian pada masa Khalifah Umar bin Khatthab, dimana beliau selaku pimpinan negara berniat akan menetapkan batasan mahar (mas kawin) bagi kaum wanita agar tidak terlalu besar dan menyulitkan bagi kaum pria untuk menikah (maksimal 400 dinar), ternyata kebijakan ini ditentang oleh seorang wanita dengan menyampaikan sebuah firman Allah yang tidak pernah membatasi jumlah mahar. Mendengar teguran itu, Umar berkata : "Benarlah wanita itu dan salahlah Umar" Kisah lain yang juga perlu untuk disimak adalah ketika Khalifah Umar akan mengambil keputusan tentang beberapa lama para prajurit mujahiddin akan dikirim untuk bertugas ke perbatasan (meninggalnkan isteri dan keluarganya). Beliau meminta pendapat para wanita (kaum ibu) untuk menetapkan berapa lama waktu yang layak bagi mereka ditinggalkan suaminya dan ayahnya. Setelah mengumpulkan pendapat dari para wanita itulah, maka Umar menetapkan waktu selama 4 bulan bagi para tentara/prajurit untuk bertugas di perbatasan. Setelah 4 bulan mereka harus diganti dengan pasukan baru. Dua contoh kecil ini menunjukkan betapa 'suara' kaum wanita tetap diakui Islam untuk mengurusi berbagai problematika kemasyarakatan; baik atas nama dirinya sendiri maupun dalam rangka mewakili wanita yang lainnya. Karenanya wanita diperbolehkan emnjadi anggota Majelis Ummah (selama majelis ummah itu tetap berperan sebagai penyampaian pendapat atau kritik; tidak sebagai penetap atau pembuat hukum). Melarang kenyataan in adalah bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana yang telah dipraktekkan kehidupan masa Rasul dan para sahabat. Untuk memperkuat hal itu, kita bisa juga melihat realita Bai'atul Aqabah kedua, dimana kaum muslimin Yastrib, diantaranya beberapa wanita yang menyatakan sumpah setia dan ketaatan keada Rasul SAW. Kisah lain juga terlihat saat Abdurrahman bin Aufmengumpulkan suara untuk mencari pengganti Umar bin Khatthab sebagai Khalifah; beliau mendatangi setiap rumah dan
menanyakan pendapat mereka tentang siapa yang berhak/lebih layakantara
Utsman bin Affan ataukah Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman menanyai seluruh masyarakat tanpa membedakan antara pria dan wanita. Semua kisah nyata terseut menunjukkan bahwa dalam Islam, kaum wanita tetap memiliki hak berpolitik, terutama dalam menyampaikan suara atau dipilihuntuk wakil rakyat di Majelis Ummah. Adapun pembahasan wanita dalam posisi sebagi 'penguasa' maka memang terdapat dalil yang melarangnya denga tegas, yakni ketika Rasul bersabda, melalui jalur sahabat Abi barkah : "Tidaklah akan beruntung suatu kaumyang menyerahkan urusannya (hukum dan kekuasaan) kepada seorang wanita." Sesungguhnya hadits ini muncul ketika kerajaan Persia kehilangan rajanya, lau rakyat memilih seorang pengganti yaitu anak perempuan Kisra. Lalu berita ini didengar oleh RasulullahSAW dan beliau mengatakan hadits di atas kepada para shahabatnya. Pemberitaan Rasul ini menjadi penjelasan bagi kita bahwa kaum wanita diatur oleh Islam untuk tidak menempati posisi sebagai 'penguasa' dalam sistem pemerintahan Islam. Penguasa yang dimaksud di sini adalah posis yang berkait dengan kebijakan dan keputusan hukum/pemerintahan; dan tidak termasuk bagian dalam urusan politik yang hanay sebatas perwakilan suara, administratif dan hal lain yang tidak berkait dengan pengambilan dan penetapan hukum. Larangan (baca pengaturan) bagi wanita menduduki posisi penguasa ini, bukanlah merendahkan posisi wanita atau memuliakan posisi pria. Aturan ini hanyalah ketetapan dari Allah SWT untuk dilaksanakan manusia, tidak seperti pandangan musuh-musuh Islam yang sering menyudutkan posisi wanita dalam Islam. Pria dan wanita, keduanya bisa mulia bisa hina, tergantung ketakwaan dan keterikatannya terhadap aturan Allah SWT. Wallahu 'alam bi al-shawab. rekayasa sosial dimulai dengan mengubah kepribadian individu yang terlibat dalam pranata sosial itu. Cara mengubahnya adalah dengan menanamkan ideide perubahan pada dirinya Referensi: 1. Nizhamul Hukmi fil Islam. Pustaka Thariqul Izzah 2. Tata Kehidupan Wanita dalam Islam. Wahyu Press