Anda di halaman 1dari 26

TUGAS AKHIR

MASALAH DAMPAK PEMAKAIAN INSEKTISIDA


PADA LINGKUNGAN DAN KESEHATAN MANUSIA
(PEKERJA)

Periode 26 Januari 6 April 2015

Disusun Oleh:
Irawan, S.Ked

04101401031

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT


RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2015
1

KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya referat yang berjudul Masalah Dampak
Pemakaian Insektisida pada Lingkungan dan Kesehatan Manusia (Pekerja) dapat
diselesaikan dengan dengan baik. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memenuhi tugas di bagian kedokteran Masyarakat RS Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Anita Masidin, S.POK
yang telah membimbing dalam pembuatan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan,
oleh karena itu seluruh kritik dan saran bagi penyempurnaan karya tulis akan
penulis terima dengan senang hati. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini
dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Palembang, 4 Maret 2015

Penulis

HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS AKHIR

MASALAH DAMPAK PEMAKAIAN INSEKTISIDA


PADA LINGKUNGAN DAN KESEHATAN MANUSIA
(PEKERJA)

Oleh:
Irawan, S.Ked

04101401031

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Kedokteran Masyarakat Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Palembang, 4 Maret 2015


Pembimbing,

dr. Anita Masidin, S.POK

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................. 2
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................5
1.1 Rumusan Masalah.................................................................................6
1.2 Tujuan ..................................................................................................6
1.3 Manfaat ................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Insektisida.............................................................................................7
2.1.1

Organoklorin...........................................................................8

2.1.2 Organofosfat.......8
2.2.3 Piretroid.....................................................................................9
2.2.4 DEET.........................................................................................10
2.2.5 Fumigan.....................................................................................10
2.2.6 Asam Borat................................................................................13
2.2 Keracunan Insektisida..........................................................................27
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat adalah meningkatkan
kesadaran, keamanan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang agar terwujud
kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya masyarakat bangsa dan
negara Indonesia yang di tandai oleh pendduknya yang hidup dalam lingkungan
dan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehaan yang
optimal di seluruh wilayah Repoblik Indonesia (Depkes RI, 1999).
Penyakit menular yang disebabkan oleh vector hingga kini masih menjadi
bebab berat bagi sebagian besar negara tropis termasuk Indonesia.dan merenggut
ribuan jiwa tiap tahun. Oleh karrena itu, dibutuhkan alat atau bahan yang ampuh,
aman dan murah (termasuk insektisida) yang dapat dipergunakan untuk
mengendalikan vector. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang
konsumtif dalam penggunaan bahan kimia, maka banyak pihak yang salah kaprah
tentang penggunaan insektisida.
Racun serangga (insektisida) dalam rumah tangga terdapat dalam beberapa
sediaan yaitu bentuk semprotan (cair/aerosol), lotion, elektrik, kepingan dan
lingkaran (biasanya dibakar). Racun pembasmi nyamuk memiliki risiko merusak
kesehatan dan dapat masuk kedalam tubuh melalui tiga cara: termakan atau
terminum bersama makanan atau minuman yang tercemar, dihirup dalam bentuk
gas dan uap, termasuk yang langsung menuju paru-parulalu masuk kedalam aliran
darah dan ada juga yang teresap melalui kulit dengan atau tanpaterlebih dahulu
menyebabkan luka pada kulit (Rani, 2007).
Insektisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membasmi
serangga. Penggunaan insektisida di Jakarta dalam ruang lingkup rumah tangga
mencapai 80%. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi
menyatakan bahwa gangguan serangga menjadi masalah serius dibuktikan melalui
angka yang cukup tinggi dalam penggunaan insektisida di kalangan masyarakat.
Data lain yang diajukan yakni keragaman jenis insektisida yang digunakan

meliputi insektisida semprot (36%), insektisida koil/ bakar (14,8%), insektisida


oles/ lotion (15,6%), insektisida elektrik (12%), dan penggunaan insektisida
kombinasi antara bakar, semprot, dan oles (12,3%).
Penggunaan insektisida yang semakin luas oleh masyarakat tidak hanya
memberikan dampak positif melainkan dampak negatif baik pada manusia
maupun lingkungan terutama jika penggunaan insektisida tersebut tidak tepat.
Semua insektisida adalah toksik meskipun memiliki derajat toksisitas yang
berbeda antar jenis insektida. Hal ini memungkinkan terjadinya intoksikasi
terhadap pestisida. Selain itu, formulasi, jalan masuk pajanan insektisida, dan
perilaku pengguna insektisida memungkinkan pula terjadinya akumulasi
insektisida yang juga menyebabkan keracunan insektisida. Oleh sebab itu, paparan
terhadap insektisida yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan berbagai dampak negatif bagi kesehatan individu khususnya
tenaga kerja yang terlibat dalam penggunaan insektisida. Dengan demikian,
pengetahuan mengenai insektisida, keracunan insektisida bagi pekerja, dan
penanganannya perlu dibahas lebih lanjut.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu:
a) Dampak penggunaan insektisida pada kesehatan pekerja.
b) Dampak penggunaan insektisida pada lingkungan.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui dampak dari penggunaan insektisida pada kesehatan pekerja.
b. Mengetahui dampak dari penggunaan insektisida pada kesehatan
lingkungan.
1.3 Manfaat

a. Dapat memberi informasi kepada masyarakat khususnya para pekerja


bahaya penggunaan insektisida.
b. Dapat member informasi kepada masyarakat khususnya para pekerja agar
berhati-hati dalam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Insektisida
Insektisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membasmi
serangga. Penggunaan insektisida di Jakarta dalam ruang lingkup rumah
tangga mencapai 80%. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan
Farmasi menyatakan bahwa gangguan serangga menjadi masalah serius
dibuktikan melalui angka yang cukup tinggi dalam penggunaan insektisida di
kalangan masyarakat. Data lain yang diajukan yakni keragaman jenis
insektisida yang digunakan meliputi insektisida semprot (36%), insektisida
koil/bakar (14,8%), insektisida oles/lotion (15,6%), insektisida elektrik
(12%), dan penggunaan insektisida kombinasi antara bakar, semprot, dan oles
(12,3%).1 Menurut data WHO sekitar 500 ribu orang meninggal dunia setiap
tahunnya dan diperkirakan 5 ribu orang meninggal setiap 1 jam 45 menit
akibat pestisida dan/atau insektisida.
Insektisida merupakan kelompok pestisida terbesar dan memiliki sub
kelompok kimia yang berbeda seperti berikut.
1. Organoklorin
Organoklorin merupakan chlorinated hydrocarbon yang secara
kimiawi tergolong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif. Hal
ini ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai di lingkungan.
Salah satu contoh insektisida organoklorin yang terkenal ialah DDT.
Kelompok organoklorin bersifat toksik terhadap susunan saraf baik
7

pada serangga maupun mamalia. Keracunan ini dapat terjadi akut


maupun kronik. Hal tersebut disebabkan karena insektisida ini memiliki
waktu paruh yang relatif lama sehingga meskipun penggunaannya telah
dihentikan namun zatnya masih terdapat di lingkungan baik air maupun
tanah hingga beberapa tahun kemudian. Penggunaan insektisida
golongan ini sebagai insektisida rumah tangga telah dilarang di
Indonesia sejak tahun 1996.
2. Organofosfat
Organofosfat merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat
yang mempunyai waktu paruh bervariasi tergantung pada derajat
keasaman (pH). Pada pH netral, waktu paruh insektisida ini hanya
beberapa jam untuk diklorvos dan beberapa minggu utuk paration
sedangkan pada pH yang cenderung asam waktu paruh ini akan
meningkat beberapa kali. Organofosfat umumnya merupakan zat yang
paling toksik untuk membasmi hewan bertulang belakang seperti ikan,
burung, cicak, dan mamalia dengan memblokade penyaluran impuls
saraf melalui pengikatan enzim asetilkolinesterase. Akibatnya, terjadi
penumpukan asetilkolin yang meningkatkan aktivitas saraf dan hal ini
bermanifestasi menjadi rasa sakit kepala bahkan kejang otot dan
kelumpuhan. Di Indonesia, insektisida organofosfat jenis diklorvos dan
klorfirifos telah dilarang sejak tahun 2007.
3. Karbamat
Karbamat merupakan ester asam N-metilkarbamat yang bekerja
dengan cara menghambat menghambat asetilkolinesterase sama seperti
insektisida organofosfat. Namun, pengaruh insektisida jenis ini tidak
berlangsung lama karena proses yang cepat dan reversibel sehingga
apabila timbul gejala maka gejala tersebut berlangsung cepat dan
sementara hingga kembali ke keadaan normal. Insektisida ini dapat
bertahan dalam tubuh antara 1 sampai 24 jam dan selanjutnya akan
diekskresikan.5 Insektisida kelompok ini yang masih digunakan sebagai

insektisida rumah tangga hingga saat ini yaitu jenis propoksur yang
memiliki waktu paruh sekitar 4 jam. Meskipun waktu paruh yang
dimiliki relatif singkat, namun kemungkinan terjadinya akumulasi
masih ada dan hal ini yang akan berdampak negatif bagi para pekerja.
4. Piretroid
Piretroid merupakan jenis insektisida yang paling banyak
digunakan dalam insektisida rumah tangga terutama pada insektisida
koil/bakar dan semprot. Berdasarkan produknya piretroid dibedakan
menjadi piretroid alami yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum
cinerariaefolium dan piretroid sintetik yang hasil sintesis dari piretrin.
Piretroid sintetik sering dikombinasikan dengan bahan kimia lain
sehingga mempunyai efek yang sinergis dan menaikkan potensi namun
lebih persisten di lingkungan. Piertroid sintetik lebih lambat terurai
dibandingkan dengan piretroid yang berasal dari tanaman. Piretroid
alami lebih cepat terurai oleh sinar matahari, panas, dan lembab.
Insektisida ini merupakan racun saraf pada serangga dengan
menghalangi sodium channels pada serabut saraf. Akibatnya, transmisi
impuls akan dihambat. Piretroid juga sering dikombinasikan dengan
piperonyl butoxide yang merupakan penghambat enzim mikrosomal
oksidase pada serangga, sehingga kombinasi senyawa ini dengan
piretroid mengakibatkan serangga mati.
Piretroid mempunyai toksisitas rendah pada manusia karena
piretroid tidak terabsorpsi dengan baik oleh kulit. Meskipun demikian,
insektisida ini dapat menimbulkan alergi pada orang yang peka.
Piretroid jenis transfultrin, dalletrin, permetrin, dan sipermetrin banyak
digunakan sebagai insektisida rumah tangga baik dalam bentuk semprot
non aerosol (manual) maupun aerosol (dengan gas pendorong), elektrik,
dan koil/bakar. Hasil evaluasi insektisida yang dilakukan oleh USEPA
(The United State of Environmental Protection Agency) mengemukakan

bahwa dampak risiko pada manusia dan lingkungan sangat kecil jika
mengikuti petunjuk yang tertera pada label.
5. DEET
DEET memiliki nama IUPAC (The International Union of Pure
and Applied Chemistry) adalah N,N-Diethyl-3-methylbenzamide atau
nama lain N,N-Diethyl-m-toluamide. Insektisida ini berbentuk lotion
dan digunakan sebagai insektisida oles (repellent). DEET bekerja
dengan memblokade reseptor olfaktorius serangga yang mengakibatkan
hilangnya keinginan serangga untuk menggigit manusia.
Potensi DEET sebagai repellent akan meningkat dengan tidak
adanya bau keringat. DEET sukar larut dalam air dan termasuk
klasifikasi D yaitu tidak diklasifikasikan sebagai penyebab kanker pada
manusia. Meskipun demikian, penggunaannya disarankan tidak
diulangi setelah 8 jam karena DEET dapat berpenetrasi melalui kulit
sehingga berpotensi menimbulkan keracunan. Lotion yang mengandung
100% DEET mampu melindungi kulit selama lebih dari 12 jam
sedangkan yang mengandung 20-34% DEET mampu melindungi 3-6
jam. The Center for Disease (CDC) merekomendasikan kadar DEET
30-50% sebagai repellent untuk mencegah resistensi dari serangga.
The America Academy of Pediatrics menyatakan tidak ada
perbedaan dalam hal keamanan pada produk yang mengandung DEET
10% dan 30% dan merekomendasikan agar DEET tidak digunakan pada
bayi yang berumur kurang dari 2 bulan.1
6. Fumigan
Sesuai namanya, fumigan mencakup beberapa jenis gas, cairan
atau padatan yang mudah menguap pada suhu rendah dan melepaskan
gas yang dapat membasmi hama. Jenis fumigan yang banyak digunakan
adalah paradiklorbenzen (PDB) atau naftalen. PDB juga digunakan
sebagai penyegar udara dan penghilang bau. PDB jarang menyebabkan
keracunan pada manusia. PDB mempunyai stereoisomer diklorobenzen

10

yang lebih toksik dari bentuk para isomernya. Naftalen dikenal dengan
nama kapur barus mempunyai bau yang tajam dan dapat menimbulkan
iritasi kulit pada orang yang alergi.
7.

Asam Borat
Asam borat didaftarkan sebagai pestisida sejak tahun 1948
untuk mengontrol kecoa, rayap, semut, kutu, ngengat, dan serangga
lainnya. Pestisida ini bekerja dengan mempengaruhi metabolisme
serangga dan bersifat abrasive pada eksoskeleton serangga. Di pasaran,
asam borat tersedia dalam bentuk cairan, serbuk, umpan berbentuk
pasta atau gel. Umpan ini diletakkan pada perangkap dan ditempatkan
dibawah wastafel, kulkas atau kompor. Secara pelan, racun ini akan
membuat dehidrasi dan merusak sistem imun serangga. Serangga yang
masuk perangkap akan membawa racun pada sarangnya dan membunuh
serangga yang memakannya.
Selain klasifikasi tersebut, insektisida juga digolongkan berdasarkan
cara penggunaannya yaitu sebagai berikut.

1. Insektisida semprot dalam bentuk gas (aerosol) dan manual tanpa


aerosol, yang digunakan dengan cara menyemprotkan insektisida di
tempat yang memiliki hama serangga. Umumnya, insektisida semprot
dengan aerosol berbentuk kemasan siap pakai, mengandung propana
atau butana sebagai propellant, dan mempunyai kadar insektisida lebih
tinggi dibandingkan insektida non aerosol. Insektisida ini banyak
digunakan untuk serangga yang merayap seperti kecoa. Residu
insektisida akan tinggal di permukaan yang disemprotkan dan tempat
serangga bersarang dan berjalan yang akan membunuh serangga setelah
beberapa waktu kemudian. Bahan yang digunakan umumnya propoksur,
silica gel, resmetrin, atau piretrin.
2. Fogger/pengasapan, umumnya berkemasan tabung aerosol dan
melepaskan kabut yang jenuh pada ruang tertutup. Insektisida ini paling

11

baik digunakan pada ruang yang banyak hama. Penggunaan fogger


memerlukan persiapan yang baik seperti memindahkan tanaman dalam
ruangan, hewan peliharaan, makanan, dan menutup furniture.
Insektisida yang digunakan pada pengasapan tidak menimbulkan residu
sehingga pengasapan tidak akan membunuh hama melainkan hanya
mengusir hama serangga. Insektisida yang digunakan adalah piretroid
dan yang sinergis.
3. Insektisida elektrik, memiliki bentuk berupa padatan keping (mat) dan
cairan. Insektisida ini biasanya digunakan untuk membunuh nyamuk
dengan menggunakan aliran listrik yang dapat menimbulkan panas
sehingga insektisida yang terkandung dalam mat atau cairan akan
menguap. Uap atau gas yang ditimbulkan dapat membunuh hama
serangga seperti nyamuk. Bahan yang digunakan propoksur atau
piretroid ditambah bahan yang sinergis.
4. Insektisida bakar, berbentuk bulatan seperti koil dan biasanya
digunakan untuk membunuh nyamuk. Cara penggunaan insektisida ini
dilakukan dengan membakar ujung koil dan asap yang ditimbulkan
dapat melumpuhkan atau membunuh nyamuk. Bahan yang digunakan
piretroid ditambah dengan bahan yang sinergis.
5. Insektisida lotion/repellent, digunakan untuk menghindarkan gigitan
nyamuk ke kulit yang diolesi insektisida ini. Bahan yang digunakan
DEET atau dimetilftalat.
6. Cairan insektisida, tersedia dalam bentuk konsentrat sehingga sebelum
pemakaiannya harus terlebih dahulu dicampur dengan air atau pelarut
siap pakai. Umumnya, penggunaan insektisida ini dengan cara
disemprotkan pada celah atau lubang tempat serangga bersembunyi.
Bahan yang digunakan dalam insektisida ini berupa propoksur atau
piretroid ditambah bahan yang sinergis.
7. Serbuk, digunakan dalam bentuk kering dan tidak dicampur air.
Insktisida ini digunakan dengan cara ditaburkan pada celah atau lubang
tempat serangga bersarang. Efektivitas insektisida serbuk akan

12

berkurang jika suasana lembab karena sifanya yang akan menggumpal.


Bahan yang digunakan di dalam insektisida serbuk biasanya meliputi
asam borat atau propoksur.
8. Umpan dan perangkap berumpan, umumnya penggunaan ini dicampur
dengan makanan. Campuran umpan dan makanan ditempatkan dalam
kemasan logam dan diberi lubang pada kemasan agar serangga masuk.
Serangga yang masuk terkadang membawa racun kembali ke
sarangnya. Bahan yang digunakan dalam insektisida ini berupa
propoksur dan asam borat.
9. Kepingan kertas, berbentuk sepotong kertas yang dilapisi dengan racun
pada salah satu sisinya dan lem perekat agar menempel pada sisi yang
lain. Kertas ini ditempatkan pada tempat yang banyak serangga,
sehingga serangga akan mati setelah kontak dengan insektisida ini.
Bahan yang digunakan umumnya propoksur.
10. Fumigan rumah tangga, banyak tersedia dalam bentuk padatan bulat
atau pipih dan biasanya ditempatkan di dalam lemari untuk membasmi
Insektisida
ngengat, kutu pakaian, buku, karpet, dan Iain-lain. Bahan yang
digunakan umumnya
naftalen
atau PDB.
Menghambat
aktivitas
enzim
asetilkolin nesterase
2.2 Keracunan Insektisida
Tertumpuknya asetilkolin
Jenis insektisida yang paling sering menimbulkan keracunan di
Indonesia adalah sub kelompok organofosfat dan organoklorin. Golongan
memiliki
efek yang mirip
organofosfat,
tetapi jarang menimbulkan
Ganglion karbamat
autonom
neuromuskuler
Ujung-ujung
syaraf
simpatisSSP
Sinaps
kasus keracunan.
Bronkokostriksi
Kontraksi pulil,
dan
penglihatan
penekanankabur,
aktivitas
muntah,
jantung
diare,renore,salivasi,
Penurunan kesadaran
Tremor,banyak
kejang,keringat
paralisis

Penurunan curah jantung


Gangguan
dan pola
nutrisi
nafaskurang
tidak efektif
dari
Penurunan
kebutuhan
persepsi
tubuh
sensori

13
Gambar 1. Patofiosologi Keracunan Insektisida

Keracunan insektisida dapat menimbulkan reaksi keracunan yang


bervariasi. Tanda dan gejala keracunan insektisida, khususnya golongan
organosfosfat, seringkali dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang
persisten. Selain itu, adanya stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos
dan reseptor eksokrin muskarinik akan menimbulkan manifestasi klinis
berupa miosis, gangguan miksi dan defekasi (biasanya diare), eksitasi, dan
salivasi. Keracunan insektisida juga memiliki efek pada sistem respirasi
dengan menyebabkan bronkokonstriksi sehingga bermanifestasi menjadi
sesak nafas dan peningkatan sekresi bronkus. Pada penggunaan insektisida
dosis menengah sampai tinggi sering terjadi stimulasi nikotinik pusat
daripada efek muskarinik seperti ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar
bicara, kejang yang dapat berlanjut menjadi paralisis, serta pernafasan
Cheyne Stokes bahkan koma. Gejala-gejala tersebut umumnya timbul dalam
waktu 6-8 jam.

14

Pajanan insektisida yang berlebihan dapat menimbulkan kematian


dalam beberapa menit. Kematian keracunan akut akibat insektisida umumnya
disebabkan oleh kegagalan pernafasan. Edema paru, bronkokonstriksi, dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan akan menyebabkan kegagalan pernafasan.
Selain itu, dapat pula terjadi aritmia jantung seperti heart block dan henti
jantung meskipun memiliki kejadian yang lebih sedikit sebagai penyebab
kematian.
Insektisida diabsorbsi melalui cara pajanan yang bervariasi. Pada
pajanan melalui inhalasi gejala timbul dalam beberapa menit sedangkan pada
pajanan ingesti atau subkutan umumnya membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk menimbulkan tanda dan gejala. Pajanan yang sifatnya lebih
terbatas hanya menyebabkan gejala dan tanda yang terlokalisir. Absorbsi
perkutaneus dapat menimbulkan keringat yang berlebihan dan kejang otot
pada daerah yang terpapar. Insektisida yang terpapar pada mata dapat
menimbulkan miosis atau pandangan kabur. Pada insektisida inhalasi dengan
konsentrasi kecil dapat menimbulkan sesak nafas dan batuk.
Selanjutnya, komplikasi keracunan seringkali dihubungkan dengan
neurotoksisitas lama dan organophosphorus-induced delayed neuropathy
(OPIDN). Sindrom ini berkembang dalam 8-35 hari sesudah pajanan terhadap
organofosfat. Kelemahan progresif dimulai dari tungkai bawah bagian distal
kemudian berkembang menjadi kelemahan pada jari dan kaki berupa foot
drop sedangkan kehilangan sensori sedikit terjadi.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Keracunan Insektisida


No
1.

Jenis
Insektisida
Organofosfat
dan Karbamat

Manifestasi Klinis

Keterangan

Sakit kepala, lelah, pusing, hilang selera


makan, mual, kejang perut dan diare,
penglihatan kabur, mata berair, miosis,
keringat berlebih, hipersalivasi,
bradikardia, kejang otot subkutan.
Gejala di atas ditambah dengan tidak
sanggup berjalan, malaise, defekasi tidak

Insektisida
organofosfat
(diklorvos dan
klorfirifos) telah
dilarang digunakan
sebagai insektisida
rumah tangga.
15

terkontrol, kejang otot, dan sesak.


Antidot: SA dan
Gejala di atas ditambah dengan
pralidoksim
inkontinensia, kejang, bahkan tidak sadar.
2.

Piretroid
Iritasi kulit (rasa terbakar, gatal, hingga
Piretroid sintetik hipestesi atau anestesi).
Inkoordinasi, tremor, salivasi, muntah,
diare, iritasi pada indra pendengaran dan
perasa.
Piretroid derivat
tanaman:
piretrum dan
piretrin

3.
DEET

4.
Fumigan

Naftalen

5.
Paradiklorobenz
en (PDB)

Asam borat

Alergi, iritasi kulit dan asma. Piretrin


kurang alergik tetapi menimbulkan iritasi
pada orang yang peka.
Iritasi kulit dan mata.
Kulit kemerahan dan melepuh sehingga
terasa nyeri.
Pusing dan perubahan emosi.

Keracunan ringan

Iritasi mata dan saluran pernafasan atas.


Sakit kepala, pusing, mual, muntah,
diare, ikterik, kejang, bahkan koma.

Keracunan berat

Hemolisis.
Kerusakan eritrosit, anemia hemolitik,
lemah, hilang selera makan, gelisah,
pucat.
Hiperbilirubinemia, ensefalopati, dan
ikterik.

Iritasi ringan pada mata dan hidung.


Luka pada hepar dan tremor.
Iritasi kulit dan saluran nafas dan
pencernaan.
Mual, nyeri perut, muntah, dan diare.

Keracunan akut
dan tertelan
Jika terjadi
hemolisis, maka
berikan larutan
Ringer laktat atau
Na2CO3, pH urin
dijaga >7,5
Keracunan pada
bayi, tertelan dalam
jumlah besar
Keracunan berat

Iritasi kulit (gatal kemerahan, bahkan


mengelupas), hilang kesadaran, depresi

16

pernafasan dan gagal ginjal.


Adapun tingkat keracunan insektisida berdasarkan aktivitas enzim
kholinesterase dalam darah yang diukur melalui pemeriksaan tintometer kit
dengan perangkat uji Lovibond yaitu sebagai berikut.
75-100% kategori normal,
50-<75% katagori keracunan ringan,
25-<50% katagori keracunan sedang,
0%-<25% katagori keracunan berat.
Petani yang menunjukkan keracunan ringan berdasarkan hasil uji
kolinesterase sebaiknya menghentikan aktivitas menyemprot insektisida,
khususnya insektisida golongan organofosfat, selama dua minggu. Hal ini
bertujuan agar memberikan kesempatan kepada tubuh untuk mengembalikan
kadar kolinesterase dalam kadar normal. Oleh sebab itu, petani yang
keracunan namun tidak mengalami kontak keracunan lebih lanjut selama
lebih dari 2 minggu diperkirakan akan mengalami peningkatan kembali kadar
kolinesterase dalam darah. Pada petani dengan keracunan sedang sebaiknya
menghentikan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan insektisida yang
biasa dilakukan dan bila timbul gejala keracunan maka hendaknya dilakukan
pemeriksaan segera. Hal ini disebabkan karena keraguan mendiagnosis bila
terpapar insektisida derajat berat dalam beberapa menit dapat mengakibatkan
kematian sama halnya dengan dosis letal. Apabila seorang pekerja terpapar
insektisida dengan dosis letal, maka dapat dilakukan beberapa pertolongan
pertama seperti berikut ini.

Jika insektisida tertelan namun penderita masih sadar, maka penderita


harus segera distimulasi untuk muntah. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengorek dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain seperti
tongue spatle atau memberikan larutan garam dapur satu sendok makan
penuh dalam segelas air hangat. Sebaliknya, apabila penderita tidak
sadar maka tindakan muntah tersebut harus dihindari untuk mencegah
terjadinya aspirasi.

17

Jika penderita apnea, maka tetap dilakukan tindakan pertolongan


pertama seperti airway, breathing, circulation. Penderita terlebih dahulu
dibersihkan jalan napas baik mulut atau hidung dari sekret dan
kemudian beri ventilasi. Namun, apabila insektisida tersebut tertelan,
makan pernafasan dari mulut ke mulut merupakan kontraindikasi.

Jika pekerja mengalami pajanan insektisida melalui kulit, maka segala


pakaian dan kulit yang terpapar harus dicuci dengan air sabun.

Jika yang menjadi pajanan insektisida ialah mata, maka segera cuci
dengan air sebanyak mungkin selama 15 menit.
Selain tindakan pertolongan pertama di atas, ada pula penatalaksanaan

berupa medikamentosa, misalnya pemberian antidotum. Pada pekerja yang


mengalami keracunan insektisida khususnya golongan organofosfat, maka
antidotum yang dapat dipilih ialah sulfas atropin dengan dosis 2 mg IV atau
IM bahkan pada hari pertama dapat dibutuhkan sulfas atropin mencapai 50
mg. Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus
dulang setiap 10-15 menit hingga terlihat gejala keracunan atropin ringan
berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi.
Selanjutnya, atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24-48 jam
karena gejala keracunan insektisida ini dapat muncul kembali. Kemudian,
atropin dapat diberikan peroral 1-2 mg selang beberapa jam disesuaikan
dengan kebutuhan. Atropin akan menghilangkan gejala-gejala muskarinik
baik perifer (otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan
dapat membaik karena atropin bekerja dengan melawan brokokonstriksi,
menghambat sekresi bronkus, dan melawan depresi pernafasan di otak.
Namun, atropin ini tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka
misalnya kelumpuhan otot rangka, termasuk otot-otot pernafasan.
Selain sulfas atropin, ada pula pralidoksim yang diberikan segera
setelah pasien diberi atropine. Obat ini merupakan reaktivator enzim
kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot rangka
sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka. Namun, jika pengobatan
18

terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan, keefektifannya masih belum


diketahui. Dosis yang diberikan pada orang dewasa normal ialah 1 gram. Jika
kelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1-2 jam.
Pengobatan umumnya tidak dilanjutkan lebih dari 24 jam kecuali pada kasus
pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis.
Pekerja yang berkecimpung dalam bidang yang mengharuskan dirinya
terpapar zat-zat yang terkandung dalam insektisida perlu diberikan edukasi
mengenai pentingnya proteksi diri. Hal ini salah satunya untuk mencegah
terjadinya keracunan insektisida di kalangan pekerja tersebut. Adapun caracara pencegahan keracunan pestisida yang mungkin terjadi pada pekerja
pertanian, perkebunan, dan kehutanan yakni sebagai berikut:
a. Penyimpanan pestisida
1.

Pestisida harus disimpan dalam wadah yang diberi tanda dan


sebaiknya tertutup atau disimpan di dalam lemari terkunci.

2.

Campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh


disimpan di dekat makanan. Penandaan harus jelas khususnya untuk
pekerja yang buta huruf.

3.

Tempat-tempat bekas menyimpan yang tidak dipakai lagi harus


dibakar agar sisa pestisida musnah sama sekali.

4.

Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman


seperti botol tidak dianjurkan.

b. Pemakaian alat-alat pelindung


1. Para pekerja dianjurkan untuk memakai masker dan menyediakan
ventilasi di tempak kerja terutama selama melakukan pencampuran
kering bahan-bahan beracun.
2. Para pekerja hendaknya memakai pakaian pelindung, kacamata, dan
sarung tangan yang terbuat dari neoprene apabila pekerjaannya
untuk mencampur bahan tersebut dengan minyak atau pelarut-pelarut
organik. Selanjutnya, pakaian pelindung tersebut harus dibuka dan
kulit dicuci sempurna sebelum kontak dengan pekerjaan lain seperti
kontak dengan makanan.

19

3. Pekerja disarankan untuk menggunakan respirator, kacamata, baju


pelindung, dan sarung tangan selama menyiapkan dan menggunakan
insektisida semprotan, fogger, atau aerosol. Hal ini merupakan
tindakan preventif terhadap kulit atau paru-paru.
c. Cara pencegahan lain
1. Pekerja hendaknya selalu menyemprot ke arah yang tidak
memungkinkan angin membawa bahan agar zat yang terkandung
dalam insektisida tersebut tidak terinhalasi atau mengenai kulit
tenaga kerja yang bersangkutan. Selain itu, jika diberikan insektisida
semprot, maka penyemprotan tersebut dilakukan di tempat-tempat
yang memiliki risiko rendah kontak dengan tubuh manusia.
2. Waktu kerja sebaiknya tidak lebih dari 8 jam per hari bagi para
pekerja yang bekerja di ruangan tertutup dengan penguap termis.
Selain itu, alat tersebut juga tidak boleh digunakan di tempat
kediaman penduduk atau di tempat pengolahan bahan makanan
Menurut Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi
Republik Indonesia, pedoman dan petunjuk pemakaian pestisida adalah
sebagai berikut:
1. Semua pestisida adalah racun, tetapi bahayanya dapat diperkecil
bila diketahui cara-cara bekerja dengan aman dan tidak
mengganggu kesehatan.
2. Bahaya pestisida terhadap pekerja lapangan terjadi pada beberapa
saat tertentu seperti berikut ini.
a. Saat memindahkan pestisida dari wadah yang besar ke wadah
yang lebih kecil untuk diangkat dari gudang ke tempat bekerja,
b. Saat persiapan sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan dan
selama menyemprot,
c. Kontaminasi karena kecelakaan, yang dapat terjadi pada setiap
tingkat pekerjaan,

20

d. Saat pemindahan, bongkar muat, peredaran, transportasi,


penyimpanan, pengaduk, dan penyemprotan atau pemakaian
lainnya.
3. Mengingat hal-hal tersebut, maka perlu mendapat perhatian intensif
sebagai berikut:
a. Mereka yang bekerja dengan pestisida harus diberitahu bahaya
yang akan dihadapinya atau mungkin terjadi dan menerima serta
memperhatikan pedoman dan petunjuk-petunjuk tentang caracara bekerja yang aman dan tidak mengganggu kesehatan.
b. Harus ada pengawasan teknis dan medis yang cukup.
c. Harus tersedia fasilitas untuk PPPK (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan) mengingat efek keracunan pestisida yang dapat
berbahaya pada pekerja. Bila dipakai pestisida golongan
organofosfat harus tersedia atropin, baik dalam bentuk tablet
maupun suntikan. Untuk ini perlu adanya seorang pengawas
yang terlatih.
4. Penyemprot diharuskan memakai tutup kepala atau masker yang
tak dapat tembus dan dicuci dengan baik secara berkala.
5. Pekerja yang mendapat cedera atau iritasi kulit pada tempat-tempat
yang mungkin terkena pestisida, dalam hal ini ia tidak
diperkenankan bekerja dengan pestisida, karena keadaan ini akan
mempermudah masuknya pestisida ke dalam tubuh.
6. Fasilitas (termasuk sabun) untuk mencuci kulit (mandi) dan
mencuci pakaian harus tersedia cukup. Mandi setelah menyemprot
adalah merupakan keharusan yang perlu mendapat pengawasan.
7. Pekerja tidak boleh bekerja dengan pestisida lebih dari 4 sampai 5
jam dalam satu hari kerja, bila aplikasi dari pestisida oleh pekerja
yang sama berlangsung dari hari ke hari (kontinu dan berulang kali)
dan untuk waktu yang sama.

21

8. Harus dipakai pakaian kerja yang khusus dan tersendiri, pakaian


kerja ini harus diganti dan dicuci setiap hari, untuk pestisida
golongan organofosfat perlu dicuci dengan sabun.
9. Selain memperhatikan keadaan-keadaan lainnya, pekerja tidak
boleh merokok, minum atau makan sebelum mencuci tangan
dengan bersih memakai sabun dan air.
10. Bahaya terbesar terdapat pada waktu bekerja dengan konsentrat,
karenanya perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini:
a. Dalam mempersiapkan konsentrat dari bubuk dispersi dalam air,
haruslah dipakai bak pencampur yang dalam, serta alat
pengaduk yang cukup panjangnya untuk mencegah percikan,
dan dapat bekerja sambil berdiri. Demikian pula untuk
mencairkan past yang padat.
b. Mengisi bak pencampur harus demikian, sehingga bahaya
percikan dapat ditiadakan atau sekecil mungkin.
c. Pekerja disini selain memakai alat pelindung seperti pada
penyemprot, harus pula memakai skor dan sarung tangan yang
tidak dapat tembus.
d. Memindahkan konsentrat dari satu tempat atau wadah ke tempat
yang lain harus memakai alat yang cukup panjang.
e. Konsentrat cair harus ditempatkan dalam wadah yang cukup
kuat, tidak mudah rusak pada waktu pengangkutan dan ditutup
rapat.
11. Alat-alat

penyemprot

harus

memenuhi

ketentuan-ketentuan

keselamatan kerja.
12. Semua wadah pestisida harus mempunyai etiket yang memenuhi
syarat, mudah dibaca dan dimengerti baik oleh pekerja maupun
pengawas.
13. Harus dipenuhi ketentuan-ketentuan tentang wadah pestisida yang
telah kosong atau hampir kosong, yaitu :

22

a. Wadah ini harus dikembalikan ke gudang selanjutnya dibakar


atau dirusak dan kemudian dikubur.
b. Wadah dapat pula didekontaminasikan dengan memenuhi
persyaratan tertentu.
14. Sedapat mungkin diusahakan supaya tenaga kerja pertanian yang
bersangkutan dilakukan pemeriksaan kesehatan berkala, terhadap
yang menggunakan pestisida organofosfat dilakukan setiap bulan
sekali pemeriksaan kesehatan berkala yang berpedoman kepada
standar kolinesterase dalam darah.

BAB III
SIMPULAN
Insektisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membasmi
serangga. Berdasarkan zat kimia yang terkandung di dalamnya, insektisida terbagi
atas organoklorin, organofosfat, karbamat, piretroid, DEET, fumigan, dan asam

23

borat. Jenis insektisida yang paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia


ialah golongan organofosfat dan organoklorin.
Adapun tingkat keracunan insektisida berdasarkan aktivitas enzim
kholinesterase dalam darah yang diukur melalui pemeriksaan tintometer kit
diklasifikasi menjadi kategori normal (75-100%), keracunan ringan (50-<75%),
keracunan sedang (25-<50%), dan keracunan berat (0%-<25%). Manifestasi klinis
keracunan insektisida tersebut bervariasi pada setiap orang. Umumnya, tanda dan
gejala keracunan insektisida dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang
persisten dan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin muskarinik. Oleh
sebab itu, manifestasi klinis umumnya berupa miosis, gangguan miksi dan
defekasi, eksitasi, dan salivasi. Keracunan insektisida juga menyebabkan
bronkokonstriksi sehingga bermanifestasi menjadi sesak nafas dan peningkatan
sekresi bronkus. Pada keracunan beart, terjadi stimulasi nikotinik pusat yang lebih
besar dibanding efek muskarinik sehingga bermanifestasi menjadi ataksia,
hilangnya refleks, bingung, sukar bicara, kejang yang dapat berlanjut menjadi
paralisis, serta pernafasan Cheyne Stokes bahkan koma.
Prinsip penatalaksanaa keracunan insektisida ialah pertolongan pertama
setelah pajanan. Gejala-gejala tersebut umumnya timbul dalam waktu 6-8 jam.
Insektisida tertelan harus dimuntahkan kecuali pada pasien yang tidak sadar
karena dapat menyebabkan aspirasi yang justru lebih membahayakan. Jika
penderita apnea, maka tetap dilakukan tindakan pertolongan pertama seperti
airway, breathing, circulation. Jika pekerja mengalami pajanan insektisida melalui
kulit, maka segala pakaian dan kulit yang terpapar harus dicuci dengan air sabun.
Selanjutnya, penatalaksanaan lain berupa pemberian antidotum seperti sulfas
atropin 2 mg IV atau IM hingga timbul efek atropinisasi yang lebih menonjol
dibanding efek keracunan insektisida itu sendiri. Selain itu, diberikan pula
pralidoksim 1 gram yang pemberiannya tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus
pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis.
Hal penting lain yang perlu dilakukan pekerja ialah tindakan preventif
terhadap keracunan insektisida yaitu edukasi mengenai pentingnya proteksi diri.
Adapun cara-cara pencegahan keracunan pestisida yang mungkin terjadi pada

24

pekerja pertanian, perkebunan, dan kehutanan yakni melalui penyimpanan yang


diletakkan pada tempat tertutup, jauh dengan kontak makanan, dan diberi tanda,
pemakaian alat-alat pelindung seperti masker, pakaian pelindung, kacamata, dan
sarung tangan yang terbuat dari neoprene, respirator, kacamata, dan cara
penyemprotan yang hendaknya di tempat yang jauh dari jangkauan kontak dengan
tubuh manusia dan disemprotkan ke arah tidak memungkinkan angin membawa
bahan agar zat yang terkandung dalam insektisida tersebut tidak terinhalasi atau
mengenai kulit tenaga kerja yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Natawigena dan G. Satari. 1981. Kecenderungan Penggunaan
Pupuk dan Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya
Terhadap Lingkungan. Unpad Bandung.
Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan
Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

25

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada


University Press. Yogyakarta.
Anonim,2011.http://agrotekumpar.blogspot.com/2011/06/dampakpenggunaan-pestisida.html
Frank C. Lu. 1995, Toksikologi Dasar (Azas, Organ Sasaran dan
Penilaian
Resiko)
Jakarta
:
Penerbit
Universitas
Indonesia
Riza V.T. dan gayatri. 1994. Ingatlah Bahaya Pestisida : Residu Pestisida
dan
Alternatifnya
Bunga
Rampai
Press.
Sumarwoto, et al. 1978. Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian, Seminar
Pengendalian
Pencemaran
Air.

26

Anda mungkin juga menyukai