Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
UREMIC ENCEPHALOPATHY
1.1 Pendahuluan
Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati
metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang
global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan
kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak.
Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang ditandai
dengan:
1.
2.
3.
4.

Penurunan kesadaran sedang sampai berat


Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
Kelainan fungsi neurotransmitter otak
Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakterial yang jelas
Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan

mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul


sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil perombakan protein
juga menghasilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu
amonia (NH3). Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan
protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan amonia merupakan
senyawa toksik yang bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di
hati menjadi senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Selain
itu, urea juga disintesis di hati melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi
asam amino. Pada siklus urea, kelompok asam amino (amonia dan L-aspartat)
akan diubah menjadi urea. Produksi urea di hati diatur oleh Nacetylglutamate. Urea kemudian mempunyai sifat yang mudah berdifusi
dalam darah dan diekskresi melalui ginjal sebagai komponen urin, serta
sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.

Sedangkan uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan


dengan ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas
metabolik yang berkembang secara paralel dengan menurunnya fungsi ginjal.
Uremia sendiri berarti ureum di dalam darah.
Uremia lebih sering terjadi pada chronic kidney disease (CKD), tetapi
dapat juga terjadi pada acute renal failure (ARF) jika penurunan fungsi ginjal
terjadi secara cepat. Hingga sekarang, belum ditemukan satu toksin uremik
yang ditetapkan sebagai penyebab segala manifestasi klinik pada uremia. 1

Gambar 1. Gejala klinis pada Uremia


1.2. Definisi
Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun subakut
yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan
nilai kadar Creatinine Clearance mengalami penurunan. Sebutan Uremic
Encephalopathy sendiri memiliki arti gejala neurologis non spesifik pada uremia. 2,3
1.3. Epidemiologi4
Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi UE sulit
ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage renal disease
(ESRD),dan secara langsung tergantung pada jumlah pasien tersebut. Pada tahun
1990, lebih dari 165.000 orang diobati untuk ESRD sedangkan pada tahun 1970
jumlahnya 40.000. Dengan bertambahnya jumlah pasien dengan ESRD, diasumsikan
jumlah kasus UE juga bertambah.

Ga
mbar 2. Insidens ESRD

Mortalitas
Gagal ginjal fatal jika tidak ditangani
1. UE menunjukkan fungsi ginjal yang memburuk. Jika tidak ditangani, UE
dapat menyebabkan koma dan kematian.
2. Pasien memerlukan penanganan agresif untuk mencegah komplikasi dan
menjaga homeostasis yang tergantung pada intensive care dan dialisis. Di AS,
lebih dari 200.000 pasien menjalani hemodialisa.
Ras
Gagal ginjal lebih sering pada ras Afrika Amerika dibandingkan ras lainnya.
Jenis Kelamin
Insidens pada pria dan wanita sama banyak.
Usia
Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih
progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.
1.4. Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar darah
otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan satusatunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan kreatinin
tidak berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya asterixis dan
mioklonus.5
Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney disease
biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan penyakit yang
menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir dua kali lipat dari nilai
normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin diperantarai oleh aktivitas hormon
Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil penelitian pada anjing yang mengalami gagal
ginjal akut maupun kronik, EEG dan abnormalitas kalsium dapat dicegah dengan

dilakukannya paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal ginjal, EEG dan


gangguan psikologik juga dapat membaik dengan paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga menyebabkan
rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang memungkinkan pada
perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik
berkurang. Pompa Na/K ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting
dalam menjaga gradien kalsium 10 000:1 (di luardi dalam sel). Dengan adanya
uremia, terdapat peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi
menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase menurun pada keadaan uremik
akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan neurotransmitter
seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu menjelaskan gangguan fungsi sinaps
dan menurunnya konsentrasi neurotransmitter yang ditemukan pada tikus yang
mengalami uremi. 6
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan jumlah glisin
dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi perubahan metabolisme
dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan gejala awal berupa clouded
sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat gangguan fungsi sinaps yaitu adanya
studi bahwa dengan memburuknya uremia, terjadi akumulasi komponen guanidino,
terutama guanidinosuccinic acid, yang meningkat pada otak dan LCS pada gagal
ginjal, memiliki efek inhibisi pada pelepasan -aminobutyric acid (GABA) dan glisin
pada binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA).
Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan neurotransmitter dengan cara
menghambat channel klorida pada membran neuronal. Hal ini dapat menyebabkan
myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan, methylguanidine terbukti menghambat
aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8

Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat
Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui. Sumber
alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat. Transpor aluminium
menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin pada permukaan luminal pada
sel endotel kapiler otak. Jika sudah melewati otak, aluminium dapat mempengaruhi
ekspresi A4 protein prekursor yang melalui proses kaskade menyebabkan deposisi
ekstraselular dari A4 protein. Secara ringkas, patofisiologi dari UE adalah kompleks
dan mungkin multifaktorial.6
1.5. Gejala Klinis
Apatis, fatigue, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi,
gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari
hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien
anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat hingga koma. Pada pasien lain,

halusinasi visual ringan dan gangguan konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa
minggu.
Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai gangguan
motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien mulai kedutan, jerk dan
dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot, seluruh otot, atau
ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada saat bangun ataupun tidur.
Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi, tremor aritmik, mioklonus, khorea,
asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi phenomena motorik yang tidak terklasifikasi,
yang disebut uremic twitch-convulsive syndrome.

Gambar 4. Asterixis
Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma. Jika
asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan Kussmaul
yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes.9

Tabel 1. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum10


Ringan
Anoreksia
Mual
Insomnia
restlessness
Kurang atensi
Tidak mampu menyalurkan
ide
Penurunan libido

Sedang
Muntah
Lamban

Berat
Gatal
Gangguan

Mudah lelah
Mengantuk
Perubahan pola tidur
Emosional

orientasi
Kebingungan
Tingkah laku aneh
Bicara pelo
Hipotermia

Paranoia
Penurunan kognitif
Penurunan abstraksi
Penurunan kemampuan

Mioklonus
Asterixis
Kejang
Stupor

seksual

Koma

1.6. Diagnosis
Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan
kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat serta pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap untuk mendeteksi leukositosis, yang
mungkin menunjukkan penyebab infeksi dan menentukan apakah terdapat
anemia. (Anemia dapat berkontribusi pada keparahan perubahan mental.)
2. Pemeriksaan kalsium serum, fosfat, dan kadar PTH untuk menentukan adanya
hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan hiperparatiroidisme yang parah, yang
menyebabkan ensefalopati metabolik.
3. Kadar magnesium serum mungkin meningkat pada pasien dengan insufisiensi
ginjal, terutama jika pasien mengkonsumsi magnesium yang mengandung
antasida. Hipermagnesemia mungkin bermanifestasi sebagai ensefalopati.
4. Elektrolit, BUN, kreatinin, dan glukosa

a. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin terlihat pada ensefalopati


uremik.
b. Pemeriksaan elektrolit serum dan pengukuran glukosa untuk
menyingkirkan hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan
sindrom hiperosmolar sebagai penyebab ensefalopati.
5. Kadar obat dalam darah
a. Menentukan kadar obat karena obat dapat terakumulasi pada pasien
dengan gagal ginjal dan berkontribusi untuk ensefalopati (misalnya,
digoxin, lithium).
b. Beberapa obat tidak dapat dideteksi dan diekskresikan oleh ginjal. Ini
juga dapat terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal, sehingga
terjadinya ensefalopati (misalnya, penisilin, cimetidine, meperidin,
baclofen).
Pemeriksaan Radiologi
1. Pasien dengan gejala ringan, awalnya pasien diobati dengan dialisis dan
diamati untuk perbaikan neurologis.
2. Pasien dengan gejala parah11
a. Pemeriksaan MRI atau CT scan kepala untuk pasien uremik dengan
gejala neurologis yang parah untuk menyingkirkan kelainan struktural
(misalnya, trauma serebrovaskular, massa intrakranial).
b. CT scan tidak menunjukkan adanya temuan karakteristik ensefalopati
uremik.

Pemeriksaan Lain
1. Elektroensefalogram11,12
a. Pemeriksaan EEG biasanya dilakukan pada pasien dengan ensefalopati
metabolik. Temuan biasanya meliputi:

10

i. Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha


ii. Disorganisasi
iii. Semburan intermiten gelombang theta dan delta dengan
aktivitas latar belakang lambat.
b. Pengurangan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan penurunan
fungsi ginjal dan perubahan dalam fungsi otak. Setelah periode awal
dialisis, stabilisasi klinis mungkin terjadi saat temuan EEG tidak
membaik. Akhirnya, hasil EEG bergerak ke arah normal.
c. Selain dari EEG rutin, evoked potentials (EP) (yaitu, sinyal EEG yang
terjadi pada waktu reproduksi setelah otak menerima stimulus sensorik
[misalnya, visual, auditori, somatosensorik) dapat membantu dalam
mengevaluasi ensefalopati uremik.
d. Gagal ginjal kronis memperpanjang waktu dari respon visual-evoked
kortikal. Respon auditory-evoked umumnya tidak berubah dalam
uremia, tapi keterlambatan dalam potensi kortikal dari respon
somatosensory-evoked memang terjadi.

Gambar 5. Hasil elektroensefalografi pada pasien uremic encephalopathy,

11

didapatkan perlambatan general dengan gelombang delta dan theta dan spikes
bilateral12
2. Punksi lumbal
a. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan, namun dapat diindikasikan untuk
menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status mental pasien
tidak membaik setelah dialisis dimulai.
b. Tidak ada temuan CSF spesifik menunjukkan ensefalopati uremik.

1.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati hipertensif, ensefalopati
hepatikum, sindrom respons inflamasi sistemik pada pasien sepsis, vaskulitis
sistemik, neurotoksisitas akibat obat (opioid, benzodiazepin, neuroleptik,
antidepresan), cerebral vascular disease, hematom subdural. Kejang dapat terjadi
pada UE, ensefalopati hipertensif, emboli serebral, gangguan elektrolit dan asambasa, tetanus.9,11
1.8. Penatalaksanaan Intensif
1. Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi
sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis
buruk. Oleh karena itu penatalaksanaan intensif dibutuhkan pada pasien UE.
2. Prinsip penatalaksaan intensif pada pasien ditujukan agar mencegah
komplikasi dari keadaan pasien dan kematian.
3. Pada pasien UE perlu dilakukan terapi secara intensif baik dari restriksi
asupan cairan karena fungsi ginjal yang buruk sehingga perlu dilakukan
balance cairan pada pasien ini. Pemantauan volume cairan dapat dilakukan
pemasangan Central Venous Catheter (CVC).
4. Hal yang menjadi indikasi pada pasien dilakukan terapi intensif juga yaitu
membutuhkan monitoring keadaan pasien. Hal tersebut dikarenakan pada

12

ruang rawat biasa tidak memilki monitor yang dapat menunjukkan keadaan
pasien. Dari monitor kita dapat memantau perkembangan pasien. Monitoring
menjadi penting karena pada pasien UE banyak memiliki komplikasi yang
mengarah pada mortalitas.
5. Pada pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal (ESRD), kelainan EEG
umumnya membaik setelah beberapa bulan tetapi mungkin tidak normal
sepenuhnya. Pada pasien dapat diberikan obat antikonvulsan.
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine
untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau
absens; ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk
status epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk
kejang mioklonik pada end stage renal disease. 14
Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas
GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA sehingga
memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya
BZD menyebabkan peningkatan frekuensi terbukanya channel klorida,
menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat eksitasi selular.15

13

Gambar 6. Mekanisme kerja Benzodiazepine15

Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis dengan


target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan meningkatnya fungsi
kognitif dan menurunkan perlambatan pada EEG.11
6. Mengatasi faktor-faktor berikut ketika merawat ensefalopati uremik, yang
juga termasuk dalam perawatan standar dari setiap pasien dengan ESRD:
a. Kecukupan dialisis
b. Koreksi anemia
c. Pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat
7. Diet Untuk menghindari malnutrisi pada pasien dengan ESRD, asupan
protein dijaga tetap cukup (>1g/kgBB/h) dan memulai dialisis (meskipun
adanya ensefalopati).
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi
renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan

14

pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan


toksin uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau
probiotik seperti bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting
untuk eliminasi toksin uremik.12
8. Ensefalopati uremik pada pasien dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal
kronis merupakan indikasi untuk inisiasi terapi dialisis (yaitu, hemodialisis,
dialisis peritoneal). Setelah mulai dialisis, pasien umumnya membaik secara
klinis, meskipun temuan EEG tidak segera membaik. Kerugian dari dialisis
adalah sifat non-spesifik sehingga dialisis juga dapat menghilangkan
komponen esensial. Transplantasi ginjal juga dapat dipertimbangkan.12
9. Tirah baring
Renal Replacement Therapy (Dialysis)16
Hemodialisis berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialysis
sendiri merupakan proses pemurnian suatu sistem koloid dari partikel-partikel
bermuatan yang menempel pada permukaan. Pada proses digunakan selaput
semipermeabel. Proses pemisahan ini didasarkan pada perbedaan laju transport
partikel.
Prinsip dari hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmosis dan
ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada
hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk ke dalam mesin dialiser
(yang berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat racun melalui
proses difusi dan ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di
dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah,
sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui
selaput dan masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat
terlarut) melalui suatu membran semipermeabel. Molekul zat terlarut (sisa
metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermeabel,

15

demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan, darah dialirkan kembali ke dalam


tubuh.

Gambar 7. Mekanisme Hemodialisis


Indikasi dilakukannya dialysis adalah:
Adanya satu kriteria artinya dianjurkan, dua kriteria artinya sangat dianjurkan, tiga
kriteria diharuskan inisiasi RRT.
-

Anuria / oliguria (diuresis 200 ml dalam 12 jam)


Asidosis metabolik berat (pH <7.10)
Hyper Azotemia (BUN 80 mg / 100 mL) atau kreatinin> 4 mg / dL
Hiperkalemia (K + 6.5 mEq / L)
Tanda-tanda klinis keracunan uremik
Dysnatremia parah (Na + 115 atau 160 mEq / L)
Hipertermia (suhu> 40 C tanpa respon terhadap terapi medis)
Edema Anasarka atau kelebihan cairan yang parah

16

Kegagalan organ multipel dengan disfungsi ginjal dan / atau sindrom reaksi
inflamasi sistemik, sepsis atau syok septik dengan disfungsi ginjal

1.9. Prognosis
Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan
pengenalan terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat keparahan
dari UE dapat dikurangi.

17

BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1.

Identitas Pasien
Nama

Jenis Kelamin :

Perempuan

Usia

60 tahun

Agama

Islam

Alamat

Dusun I Urtung Pane Kab. Asahan Kec. Setia Janji

Status

Menikah

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk:
2.2.

Nurhayati

03 Februari 2015

Anamnesis
KU

Penurunan Kesadaran

Telaah

Hal ini dialami pasien 5 hari, terjadi secara perlahan-

lahan. 1 hari sebelum masuk RSUP HAM, Os terjatuh dari sofa dan tidak
sadar, kemudian sadar lalu kembali tidak sadar. Tetapi tidak ada yang melihat
saat Os terjatuh. Riwayat trauma kepala tidak jelas. Riwayat kejang (-).
Riwayat demam (-). Riwayat sesak nafas dijumpai 2 hari SMRS. Riwayat
DOE (-), PND (-), Ortopnoe (-). Riwayat muntah darah (+) berwarna hitam.
Riwayat BAK keruh (+), nyeri BAK (-), BAB (-) 1minggu terakhir. Riwayat
penyakit darah tinggi dan DM (+). Riwayat mengkonsumsi obat anti nyeri
dalam jangka waktu lama (+).
RPT
RPO

: Hipertensi, DM tipe II
: Insulin, Analgetik (jenis obat tidak jelas)

18

Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)

3 Januari 2016

4 Januari 2016

Pukul : 16.30 WIB

Pukul : 03.30 WIB


Pasien masuk HDU

Pasien tiba di
IGD RSUP HAM

4 Januari 2016
Pukul : 06.15
WIB
Pasien exitus

(Blue Line)

2.3

Secondary Survey

B1 (Breath)
Airway: clear, gargling / snoring / crowing: - / - / - , RR: 19x/mnt, SP:
vesikuler, ST: (-), Mallampati : II, JMH (Jarak Mentum Hyoid): >6 cm, GL

(Gerakan Leher) bebas, Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (+).
B2 (Blood)
Akral : H/M/K, TD : 100/50 mmHg, HR : 108 x/menit, Reguler, T/V : cukup,

Temp : 37C
B3 (Brain)
Sens : Sopor, GCS: 5 (E2V1M2), Pupil: isokor 3 mm / 3mm, RC(+/+),

pusing (-), kejang (-), mata kabur (-).


B4 (Bladder)
UOP : BAK (+), volume 1000 cc residu, kateter terpasang, warna : kuning

keruh.
B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi: simetris
Palpasi: dinding abdomen soepel
Perkusi: timpani
Auskultasi: bising usus (+)
B6 (Bone)
Edema (-)

2.4. Laboratorium tanggal 3 Januari 2016

19

Darah Lengkap
Hb : 12,5 gr/dl
Leukosit : 17,84 /mm3
Ht : 17 %
Trombosit : 185.000 /mm3

Faal Hemostasis
PT: 13.2 (14,5)
APTT: 30,7 (34.5)
TT: 28.2 (17)

Metabolisme Karbohidrat
KGD (sewaktu): 484 mg/dL

Fungsi Ginjal
Ureum: 458/ mg/dL
Kreatinin: 17,15 mg/dL

Elektrolit
Natrium: 139 mEq/L
Kalium: 7.2 mEq/L
Klorida: 110mEq/L

20

2.5. Hasil Pemeriksaan Radiologis


Foto Thorax

21

CT Scan Kepala

Kesimpulan : Bone intact

22

2.6. Tatalaksana di Ruang IGD

Tirah baring
Oksigen Non Rebreathing Mask + Reservoir 6-8 L/i
NGT, kateter urin terpasang
IVFD NaCl 0,9 % 15 gtt/I makro
Inj. Ceftriaxon 2g/24 jam (IV)
Drip. Ciprofloxacin 400mg/24 jam (IV)
Inj. Omeprazole 80 mg bolus selanjutnya 40mg/12jam
Inj. Humulin 8-8-8
Drip. Dopamin 200mg dalam 50cc NaCl 0.9% 4.5cc/jam uptitrasi

2.7. Tatalaksana di Ruang HDU

Pasang O2 Non Rebreathing Mask + Reservoir 6-8 L/i


IVFD NaCl 0.9% 15gtt/i makro
Inj. Ceftriaxone 1 gr/24 jam (IV)
Drip. Ciprofloxacin 400mg/24 jam (IV)
Drip. Dopamin 200mg dalam 50cc NaCl 0.9% 4.5cc/jam
Inj. Omeprazole 80 mg bolus selanjutnya 40mg/12jam
Inj, Transamin 500mg/8jam (IV)

23

FOLLOW UP
Tanggal
S :
O:

03-02-2016
Penuruan kesadaran
Stupor

Sens:

GCS:5 (E2V1M2)
Pupil: 3mm/3mm

Airway
RR
SP/ST
Akral
HR
TD
SaO2
UOP
Warna
A:

RC: (+/+)
Clear
19 x/i
Vesikuler/H/M/K
107 x/i
80/50 mmHg
99%
1000 cc/24jam (Kateter terpasang)
Kuning Keruh
Penurunan kesadaran ec uremic
encephalopathy+ syok sepsis + Acute on

P:

CKD stg V + PSMBA

O2 Non Rebreathing Mask +


Reservoir 6-8 L/i

IVFD NaCl 0.9% 15gtt/i makro

Inj. Ceftriaxone 1 gr/24 jam (IV)

Drip. Ciprofloxacin 400mg/24


jam (IV)

Drip. Dopamin 200mg dalam


50cc NaCl 0.9% 4.5cc/jam

Inj. Omeprazole 80 mg bolus


selanjutnya 40mg/12jam

Inj, Transamin 500mg/8jam (IV)

24

25

BAB 3
PEMBAHASAN
Kejadian Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut
maupun subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik.
UE dapat dialami wanita maupun pria dengan kejadian paling umum pada usia lanjut.
Pada pasien ini seorang wanita berusia 60 tahun dan ditegakkan dengan gagal ginjal
kronis stadium akhir.
Pasien dengan Uremic Encephalophaty (UE) dapat mengalami Apatis, fatigue,
iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi, gangguan persepsi
sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan
dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien anuria, gejala ini
dapat berlanjut secara cepat hingga koma. Pada pasien ini dijumpai kesadaran stupor,
yang terjadi secara perlahan-lahan sejak 5 hari yang lalu dan memberat 1 hari ini.
Penurunan kesadaran ini disebabkan karena gangguan metabolik dimana
pasien ditegakkan dengan gagal ginjal kronis stadium akhir dengan kadar ureum yang
tinggi di dalam darah serta memiliki riwayat Diabetes dan Hipertensi. Oleh sebab itu,
pemeriksaan awal adalah termasuk konfirmasi diagnosis dan pemeriksaan secara
yang cepat yaitu Airway, Breathing, Circulation dan Disability sangatlah penting
dalam keadaan emergensi seperti kasus ini.
Akses intravena harus ditentukan secepat mungkin dan tes darah dilakukan
sesegera mungkin untuk keadaan ini seperti darah rutin, kadar ureum dan kreatinin,
gula darah dan elektrolit. Hal ini dilakukan untuk menunjang diagnosis penyebab
penurunan kesadaran pasien. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan darah dimana dijumpai peningkatan leukosit, ureum darah, kadar
gula darah dan kalium serta penurunan dari clearance creatinin.
Pasien harus diberikan oksigen 100 % via face mask dengan kantung
reservoir. Pada penanganan pasien diberikan O2 6-8 liter dengan Non-Rebreathing
Mask untuk menjaga oksigenasi tetap baik. Pemasangan monitor EKG juga

26

diindikasikan pada UE untuk melihat keberadaan penyakit jantung sebagai salah satu
akibat dari hiperkalemia.
Pada perawatan pasien harus dilakukan secara intensif dengan melakukan
monitoring cairan dimana pada pasien ini mengalami gagal ginjal stadium akhir yang
memiliki laju filtrasi yang menurun serta retensi cairan. Oleh karena itu dilakukan
balance cairan dengan tujuan membatasi (restricted) jumlah cairan yang masuk ke
dalam tubuh pasien. Monitoring setelah balance cairan dapat dilakukan dengan
pemasangan Central Venous Catheter (CVC). Pada kasus, pasien telah dilakukan
balance cairan dan pemasangan CVC.
Monitoring juga diperlukan pada diet atau asupan protein untuk mencegah
kadar ureum dalam darah meningkat yang dapat memperparah kondisi uremic
encephalopathy. Namun untuk menghindari malnutrisi pada pasien dengan ESRD,
asupan protein dijaga tetap cukup (>1g/kgBB/h). Pada kasus, pasien diberikan dengan
asupan sesuai dengan diet ginjal via Nasogastric tube (NGT).
Terapi yang terpenting pada pasien Uremic Encephalophaty dengan ESRD
adalah terapi suportif yaitu mencegah komplikasi dan kematian. Terapi yang
diberikan adalah Renal Replacement Therapy (RRT). Salah satu terapi RRT yang
dapat dilakukan adalah hemodialisis. Terdapat beberapa indikasi dianjurkan untuk
dilakukan hemodialisis yaitu dalam kondisi segera. Pada kasus, pasien memiliki
indikasi untuk dilakukan hemodialisis segera karena terdapat asidosis metabolic,
azotemia, hyperkalemia, tanda-tanda klinis uremia dan kegagalan fungsi organ yaitu
ginjal.
Pasien Uremic Encephalophaty dengan ESRD memiliki prognosis yang
buruk. Namun dapat dilakukan terapi hemodialisis ataupun transplantasi ginjal untuk
mengurangi mortalitas. Pada kasus, pasien memiliki prognosis buruk disebabkan
terjadi kegagalan fungsi organ ginjal dan terjadi keracunan ureum serta dijumpai
penyakit penyerta berupa diabetes mellitus dan hipertensi.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Alper AB. Uremia. Diunduh dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/245296-overview . Akses tanggal 19
April 2013.
2. Lohr JW. Uremic encephalopathy. Diunduh dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview . Akses tanggal: 19
April 2013.
3. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. Edisi 1. Springer. 2009
4. Bucurescu G. Neurological Manifestations of Uremic Encephalopathy.
Diunduh dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/1135651-overview
. Akses tanggal: 7 Februari 2016
5. Wijdicks EFM. Neurologic complications of critical illness. Edisi 2. Oxfor
Univ Press. 2002. Hlm 175
6. Burn, D.J., Bates, D. Neurology and the kidney. J. Neurol. Neurosurg.
Psychiatry Vol.65, No.6 810-821
7. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke K, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of
organic anion transporters in the efflux of uremic toxins across the bloodbrain barrier. J Neurochem. Feb 2006;96(4):1051-9.
8. De Deyn PP, Vanholder R, Eloot S, et al. Guanidino compounds as uremic
(neuro) toxins. Semin Dial. Jul-Aug 2009;22(4):340-5.
9. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill.
2009.
10. Weiner HL,Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2006. Hlm
214.
11. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain disorders
associated with renal failure. Seminars in neurology/volume 31, number 2
2011. Pg 139-141.
12. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012).
Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second Look,
Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech
13. Krishnan V, Murray P. Pharmacological issues in the critically ill. Clin Chest
Med 2003;24:671-88

28

14. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced


myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8.
15. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2006. Hlm 54;57
16. Permadi, BH. Cara Kerja Mesin Hemodialisis. Diunduh dari URL:
http://unhas.ac.id. Akses tanggal: 7 Februari 2016

Anda mungkin juga menyukai