Anda di halaman 1dari 15

PUBLIKASI NASKAH ARSIP :.

TRANSPORTASI DI SURABAYA MASA HINDIA BELANDA SAMPAI REPUBLIK


Membicarakan transportasi di Kota Surabaya pada zaman Hindia Belanda (1800-1942)
sesungguhnya juga mengungkapkan perkembangan kota ini tatkala menapaki perubahan dari
kota tradisional menjadi kota modern. Namun demikian perlu disadari bahwa pengadaan
transportasi modern oleh pemerintah kolonial Belanda itu bukanlah satu-satunya sebagai faktor
determinat yang menyebabkan perkembangan kota Surabaya, melainkan peristiwa tersebut tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia pada umumnya dan di
Jawa Timur utamanya yang saat itu pihak pemerintah kolonial Belanda tengah menikmati masa
keemasan setelah dilaksanakannya kultuur stelsel (1830-1870) dan Opendeur Policy (1871dstnya). Faktor eksternalnya ialah pada periode yang sama terjadinya revolusi industri yang di
Eropa mencapai klimaksnya pada pertengahan abad XIX. Apabila di Eropa dan Amerika Serikat
kejadian itu ditandai dengan proses industrialisasi besar-besaran dengan imperialisme modern
sebagai puncak. Dalam konteks perkembangan itulah tanah jajahan berfungsi sebagai pasar
produk-produk industri, sumber bahan mentah, dan tempat penanaman modal. Dalam kerangka
itulah kemudian dilakukan modernisasi di Hindia Belanda sebagai tanah jajahan Belanda,
kemudian pihak negeri induk juga melakukan relokasi industri baik secara teknologis, komersialkapital maupun pemasaran. Dengan demikian Indonesia menjadi terlibat langsung dalam proses
produksi dunia.
Di Hindia Belanda yang kemudian menjadi Indonesia perkembangan itu ditandai dengan
dibukanya perkebunan-perkebunan besar yang modern (plantation) seperti kebun/pabrik
gula khususnya di Jawa Timur; perkebunan tanaman keras, kopi, teh, cokelat, kina di
Jawa Timur dan Jawa Barat, karet di Sumatra; pertambangan minyak di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Irian Barat; timah di Bangka-Belitung, dan lain-lainnya. Khusus bagi
perkebunan dan pabrik-pabrik besar maka untuk mengangkut produk-produknya sarana
transportasi tradisional yang ada saat itu seperti gerobak (Jw.cikar), sado, kuda beban,
perahu layar, sampan, tongkang dll. menjadi tidak memadai lagi. Bertepatan dengan itu
di Eropah juga menapaki fase-fase akhir revolusi industri. Dengan sendirinya untuk
kepentingan pengangkutan kekayaan dari tanah jajahan ke negeri induk atau ke negerinegeri tujuan ekspor/impor kemudian terjadilah transfer of technology. Dalam hal ini
selain Belanda membangun teknologi agroindustri juga untuk kepentingan agronomi
perlu diselenggarakan sarana-prasarananya yaitu transportasi. Dalam perkembangan
selanjutnya perkembangan teknologi transportasi itu juga membawa dampak lain di
bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan transportasi di Surabaya pada masa
Hindia Belanda (1800-1942) di bawah ini dijelaskan secara singkat perkembangan kota
Surabaya terutama yang berkaitan dengan penyelenggaran sarana perhubungannya.

B. MUNCULNYA SURABAYA DALAM SEJARAH


Nama Surabaya secara eksplisit muncul pada prasasti Trowulan II yang juga dikenal
sebagai ferry charter (1358). Disebut sebagai ferry charter atau piagam penambangan
karena di dalam prasasti itu nama Surabaya muncul nama-nama tua lain di Surabaya
seperti Bukul, Gesang, Cangkir dan 40 desa penambangan naditira pradeca lain di
sepanjang muara Brantas (16 desa) dan di sepanjang aliran Bengawan Solo (40 desa),
antara lain Widang, Plumpang dan Semanggi (Solo). Drs. Heru Sukadri K. di dalam
karyanya Dari Hujunggaluh ke Curabhaya menyatakan kata Surabaya yang berarti atau
terdiri dari ikan Sura dan Baya (buaya) merupakan pemitosan dari pertempuran
bersejarah antara pasukan R. Wijaya dan dengan pasukan Cina yang dipimpin oleh
Ikimese, Shih Pi dan Kau Hsing yang berakhir dengan kekalahan Cina pada 31 Mei
1293.
Adanya piagam di atas membuktikan bahwa Surabaya secara geografis, selain terletak di
muara Brantas juga sebagai delta dengan banyak anak sungai atau kali. Misalnya: kali
Greges, kali Butuh, kali Anak, kali Krembangan, kali Mas, kali Pegirian, kali Anda, kali
Palaca, kali Bokor, kali Pacekan dengan kedung-kedungnya (Ind. palung) antara lain
kedung Tarukan, kedung Sari, kedung Doro, kedung Rukem, kedung Sroko, kedung
Cowek, kedung Baruk, kedung Asem, kedung Turi, dll. Kenyataan itu menunjukkan
bahwa masalah transportasi merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat vital
sehubungan dengan kondisi geografis kota sehingga memerlukan perhatian kerajaan atau
negara sebagaimana tercantum di dalam prasasti bertarikh 1358 itu.
Berdasarkan toponimi pasar-pasar tradisional di Surabaya mulai dari hulu Brantas
sampai muaranya seperti pasar-pasar: Sepanjang, Kedurus, Wonokromo, Keputran,
Genteng, Pasar Gede (Pasar Besar), Pabean, Petekan maka jelaslah bahwa sungai, dalam
hal ini Sungai Brantas merupakan sarana perhubungan sangat vital di Surabaya.

C. PERKEMBANGAN KOTA SURABAYA PADA ZAMAN KOLONIAL

Apabila secara topografis lokasi pantai karena sedimentasinya tinggi hingga garis pantai
Surabaya terus-menerus mengalami pergeseran ke utara. Garis pantai itu pada abad IX
Dadungan, Banyuurip maka pada abad XIV garis pantai itu telah bergeser ke utara dari
Asemrawa, Tanjung Anom, Genteng, Sima, dan pada abad XV telah mencapai
Nyamplungan-Sukodono. Berlawanan dengan perkembangan topografis maka
perkembangan kota secara sosial, budaya dan ekonomi justru mulai dari arah utara.
Pemberitaan tentang keberadaan Surabaya memang telah muncul pada abad XIV baik
pada prasasti Trawulan I maupun di dalam Nagarakrtagama (1365).Bila demikian
Surabaya yang mendapat sima itu berada di muara atau delta yang berada di sebelah
barat Genteng, garis pantai abad XIV. Akan tetapi bagaimana deskripsi Surabaya belum
ada. Berdasarkan sumber-sumber tradisional babad pada awal abad XV Surabaya
menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa dengan di bawah pimpinan Raden Rahmat yang
kemudian terkenal dengan nama Sunan Ampel. Saat itu Ampel merupakan lokasi berada
di pantai atau delta Kali Surabaya (Kali Mas) dan Kali Pegirian. Kita harus kecewa
karena deksripsi Surabaya sebagai suatu kota belum kita jumpai. Deskripsi sederhana
kemudian tercantum di dalam laporan Ying Yhai Seng Lan (Pelayaran di Laut Selatan)
yang ditulis oleh Ma Huan, sekretaris Laksamana Cheng Ho. Bersama-sama dengan
Gresik, Surabaya merupakan kota pelabuhan (sungai) yang sebagian besar penduduknya
adalah orang Cina berjumlah sekitar 7.000 jiwa. Waktu itu yang menjadi pusat
bisnis/perdagangan Surabaya (central district bisniss) ialah Pasar Pabean, Jl. Panggung
dan Jl. Karet yang pada zaman Belanda disebut sebagai Chinesche voorstraat.
Berdasarkan deskripsi dari peta kuno Surabaya pada abad XVI-XVII Surabaya telah
menjadi kota dagang dan pelabuhan sungai yang menyaingi Gresik. Di Surabaya juga
bermukim berbagai kelompok etnis yang bermukim di sepanjang muara Brantas.
Etinisitas mereka kemudian juga digunakan sebagai nama kampung pemukimannya
seperti : kampung Arab (Apel), Melayu (selatannya), Cina (bagian barat dan selatan),
kemudian Belanda (di Rode Brug) atau Jembatan Merah.
Dalam Perang Trunajaya (1677-1680) Surabaya merupakan pangkalan dengan benteng
pertahanannya di sepanjang Kali Pegirian. Trunajaya menempati Surabaya mulai
Oktober 1666 sampai armada Belanda di bawah Laksamana Cornelis Speelman berhasil
merebutnya hingga Pangeran dari Madura itu terpaksa menyingkir ke Kediri.
Pemberitaan Surabaya selanjutnya diperoleh dari Francois Valentijn yang di sekitar tahun
1706 mengunjungi Surabaya. Ia di dalam karyanya Oud en Nieuw in Oost Indie Deel IV
mengatakan bahwa keraton Surabaya berada di tepi sungai dengan jalannya yang lebar
dan indah.
Di dalam Babad Tanah Djawi juga diberitakan pada tahun 1718-1722 terjadi Perang
Surabaya antara penguasa Surabaya R. Adipati Jayapuspita, adik Jayengrana melawan
Mataram dan VOC. Dalam perang ini Jayapuspita bersekutu dengan Pangeran Herucakra
atau Pangeran Dipanagara senior (Jw. sepuh) putera Pakubuwana I, Adipati Cakraningrat
III dari Madura dan Dewa Ktut dari Bali. Setelah tentara Surabaya dikalahkan dalam

pertempuran di Kapasan yang disebut-sebut sebagai pertempuran terbesar yang terjadi


sesudah zaman Majapahit, Jayapuspita mengundurkan diri dari keraton, ke Lawang
Seketheng di Peneleh, Praban dan Keputran. Pada 1722 pertahanan Jayapuspita juga
jatuh ke tangan VOC dan ia terpaksa mundur ke Japan (Mojokerto) sampai ia wafat di
sekitar 1724 karena tua.
Berdasarkan perjanjian Mataram-VOC tahun 1743 seluruh wilayah pesisir utara Jawa
jatuh ke tangan Belanda, termasuk Surabaya. VOC kemudian mendirikan pusat
pemerintahannya di kota benteng Jembatan Merah atau Rode Brug sebagai pemukiman
khusus Belanda. Komunitas Cina yang semula berpusat di sepanjang Jl. Panggung dan Jl.
Karet (Chinesche voorstraat) sebagai CDB kemudian memperluas pemukimannya di
Kembang Jepun, yang jalannya dihubungkan dengan Rode Brug. Pada tahun 1796
penguasa VOC (gezaghebber) di Surabaya Dik van Hogendorp mendirikan kediaman di
Simpang dengan menghadap ke Kali Mas sebagai Residence Wooning (kediaman
Residen) yang kemudian dikenal sebagai gedung Grahadi. Taman gedung ini (tuinhuis)
terletak di belakang kemudian dikenal sebagai Taman Apsari. Gedokan kudanyas
kemudian dimanfaatkan sebagai SDN Kaliasin III,dan gudangnya kemudian menjadi
gedung Kantor Pos Simpang.
Selama kultuur stelsel Surabaya tidak banyak mengalami perkembangan, justru pada era
sesudahnya yaitu era opendeur policy (1871) Surabaya mengalami perkembangan pesat.
Pada masa ini tampaknya disusun blue print pembangunan Kota Surabaya dengan
pengerasan berbagai jaringan jalan raya, pembangunan jaringan jalan kereta api yang
menghubungkan Surabaya dengan berbagai penjuru kota, pendirian pemukiman baru
yang elitis khusus untuk orang Eropa khususnya Belanda seperti Ketabang, Tegalsari dan
Darmo dengan berbagai fasilitasnya seperti stasiun, pelabuhan, lapangan terbang dan
pangkalan udara, rumah sakit, gedung sekolah dan perkantoran-perkantoran, dan bank.
Wilayah Kota Surabaya di selatan mencapai pelintasan kereta api di Wonokromo, di
barat dibatasi Reinir Boulevard, Pasaar Kembang Boulevard, Ardjuno Boulevard,
Pasarturi straat, Tandjung Perak straat, sedang di sebelah timur dibatasi oleh rel KA
mulai dari Wonokromo, Gubeng dan Sidotopo.
Jalur-jalur jalan raya terpenting yang kemudian juga menjadi urat nadi lalu lintas atau
transportasi di Surabaya pada masa-masa akhir kolonial Hindia Belanda sebagai berikut.
1.
2.
3.

Jalur jalan raya yang membujur dari utara - selatan bagian timur yaitu : Jl.
Wonokromo, Jl. Ngagel, Gubeng, Signal straat, Kapasari straat, Sidotopo straat.
Jalur jalan raya dari arah utara-selatan bagian tengah barat : Wonokromo, Darmo
Boulevard, Palmenlaan - Kaliasin straat, Embong Malang, Bubutan, Oost-West
Buitenweg, Tanjung Perak straat.
Jalur dari utara-selatan tengah timur : Wonokromo, Darmo, Palem laan, Simpang
straat, Tunjungan, Gamblongan , Kramatgantung/Baliwert, Societet straat, Heeren
straat, Tandjung Perak straat.

4.

Jalur dari utara - selatan bagian barat : Wonokromo, Reinierz Boulevard,


Pasarkembang, Ardjuno, Pasar Turi, Oosten Buitenweg, Heeren straat, dan
Tandjung Perak straat.

Jalur yang membujur dari arah timur-barat Surabaya antara lain sebagai berikut.
1.
Jalur Kenjeran, Kapasan, Kebang Jepun, Heerens straat, dan Tandjung Perak.
2.
Ngaglik, Kalianyar, Pasar Besar straat, Tembaan straat, Maspati, Pasar Turi
3.
Pacarkeling, Ambengan weg, Plampitan weg/Gentengkali, Praban straat,
Kranggan straat, Tembokdukuh straat, dan Sawahan straat.
4.
Gubeng Bagong, Gubeng straat, Simpang straat, Embong Malang, Princess laan,
Tidar straat, dan Pacuankuda.
5.
Keputran, Tamarin de laan (Pandegiling), Pasarkembang, Banyuurip.

Suatu pusat kota (Down Town) yang kemudian muncul dalam era pemekaran fisik dan
kondisi sosial, ekonomi, budaya di Surabaya yaitu kawasan Tundjungan straat sebagai
jantung kehidupan ekonomi di Surabaya pada pertengahan pertaa abad XX. Tidak boleh
dilupakan juga munculnya kawasan industri yang membentang sejajar dengan jalur
kereta api serta Kali Brantas/Mas sebagai kawasan industri terbentang dari stasiun
Wonokromo, Gubeng, Surabaya kota dan Tanjung Perak/Ujung. Inilah perkembangan
fisik kota Surabaya sampai berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda pada tahun 1942.
Di dalam konteks perkembangan berbagai fasilitas perkotaan di Surabaya itulah
kemudian ditulis kembali bagaimana perkembangan transportasi di Surabaya yang
menggeliat maju dari kota tradisional menuju kota modern. Karya ini oleh Badan Arsip
Jawa Timur disusun berdasarkan arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah
perhubungan di Kota Surabaya sebagai sumber pimer. Semoga bermanfaat !
Viva & bravo Surabaya !
Surabaya,
Medio
Desember 2007
Aminuddin
Kasdi

BAB I
TRANSPORTASI DARAT DI SURABAYA

A. KERETA API
Transportasi kereta api mulai dikenal di Hindia Belanda pada tahun 1864. Orang
pertama yang mengusulkan transportasi ini adalah Kolonel Jhr. Van der Wijk. Jalur
yang diusulkan adalah Surabaya - Jakarta. Beberapa perusahaan mengajukan diri
untuk terlibat dalam konsesi kereta api yang ada di Hindia Belanda. Salah satu yang
mengajukan diri dan diterima adalah Nederland Indisch Spoor Maatschappij
(NISM).
Pemerintah sendiri tidak tinggal diam dengan banyaknya perusahaan yang ikut serta
dalam pengelolaan kereta api di Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah
mengajukan beberapa persyaratan tertentu bagi perusahaan yang terlibat dalam
konsesi (Staatsblad tahun 1853 No. 4). Adapun syarat-syarat yang diajukan bagi
perusahaan tersebut, di antaranya :
1. Warga negara Belanda/pribumi yang mempunyai pendirian kuat serta patuh pada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
2. Mengikuti peraturan yang ditetapkan dalam syarat-syarat konsesi
3. Mengajukan permohonan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
4. dan lain-lain.
Perusahaan pertama yang ditunjuk untuk membangun jalur kereta api pertama
Semarang - Tanggung adalah Nederlandsch Indisch Spoor Maatschappij (NISM),
sejauh 25 km pada tahun 1967. Pada tahun 1873, jalur ini diperpanjang hingga
Yogyakarta. Dan pada tahun 1879, NISM telah selesai membangun jalur Surabaya Pasuruan - Malang.
Kereta api menjadi alat angkut yang paling diminati bagi penumpang maupun
barang. Pada saat itu, kehadirannya dengan cepat mendapat sambutan bagi
masyarakat Hindia Belanda yang umumnya masih memanfaatkan transportasi
tradisional, seperti kuda, pedati, atau manusia. Di samping harganya cukup
terjangkau, kereta api dianggap lebih cepat dibanding alat angkut apapun. saat itu.
Bahan bakar yang digunakan pun kayu bakar yang saat itu banyak terdapat di Jawa.
Sejumlah peraturan juga diterapkan untuk mengatur jalan kereta api yang banyak
terdapat di Hindia Belanda. (Staatsblad tahun 1880 No. 72). Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi adanya kecelakaan, juga mengatur lalu lintas yang ada. Adapun
perubahan peraturan untuk lalu lintas kereta api, di antaranya :
1. Penutupan/pembukaan jalan kereta api yang ada di jalan raya, ketika kereta
melintas dengan pagar tertentu
2. Panjang/lebar lintasan yang bisa dibuka/ditutup berbeda antara jalan besar dan
jalan kecil. Jalan besar 7,4 meter dan jalan kecil 4 - 6 meter.

B. ANGKUTAN KOTA, JEMBATAN DAN JALAN RAYA

Banyaknya sarana transportasi dalam masyarakat, membuat pemerintah memberlakukan pajak, tak terkecuali pad
untuk menambah biaya perbaikan jalan raya akibat seringnya dilewati oleh kereta kuda. Saat itu, kereta kuda jug
yang banyak diminati oleh masyarakat, terutama kalangan menengah atas yang umumnya adalah orang Cina dan
tambahan peraturannya juga dituliskan dalam bahasa Cina dan Jawa (Staatsblad tahun 1853 No. 6)

Pada tahun 1910 Pemerintahan Hindia Belanda di Wilayah Surabaya melalui BOW (Burgerlijke van Openbare W
jalan dan pengaspalan wilayah Surabaya. Perbaikan jalan tersebut dilakukan karena adanya beban/lalulintas kend
membebani jalan dan mempercepat kerusakan jalan. Di samping itu juga dilakukan pemasangan kabel dari perus
umum Hindia Belanda serta pemasangan pipa gas. Adapun jalan yang diaspal antara lain Jalan Pasar dan Gang B
Ploso, dan lain-lain.

Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 29 tanggal 15 Nopember 1910 disetujui anggaran
dari wilayah Surabaya untuk tahun 1911 berjumlah 72.048 yang dikeluarkan untuk pemeliharaan jalan. Jumlah
ditambah 4.316 sehingga jumlahnya menjadi 76.364

Selain itu juga dilaksanakan pula perbaikan jalan maupun jembatan sebagai sarana pendukung jalan raya yaitu je
Goebeng - Kebon Agoeng, diperbaiki dengan biaya yang disetujui 4.482 dengan dana yang dipergunakan 4.2
Dewan Daerah ddo. 20 Maret No. 2 yang disetujui 2.710. Serta dilakukan pula pengaspalan jembatan di Jalan K
menelan dana 2.100

Sementara itu di Kota Soerabaya juga ada kegiatan pelebaran jembatan Goebeng dari 5,50 m dan trotoir 1,25 dan
Dewan Kota tanggal 6 Oktober 1905 No. 240 dengan biaya 870 dan menghabiskan 845. Pengaspalan jalan pa
yang beraspal 46.110 m dari panjang keseluruhan 46.100 m yang meliputi jalan Kramat Gantoeng, De Chinesche

Kemudian pada tahun 1913 sesuai dengan Keputusan Dewan Kota tanggal 15 Januari 1913 no. 532 dan no. 557 t
juga melakukan perbaikan perempatan jalan Maleische Voorstraat serta membersihkan got/selokan sepanjang jala
menghabiskan anggaran kurang dari 1.617. Jalan tambahan dengan anggaran 2.976, biaya yang digunakan se

Pada tahun 1923 telah ada pengangkutan orang dengan taksi di Surabaya. Pemerintah banyak mengeluarkan pera
menyangkut pengaturan bis, kendaraan, pembayaran, barang, barang yang diangkut. Adapun macam-macam pa

http://dispendukcapil.surabaya.go.id/component/content/article/43-pergerakan-penduduk/292jumlah-penduduk-surabaya-tahun-2012

Permasalahan Transportasi di Kota Surabaya

Permasalahan Transportasi di Kota Surabaya

Transportasi diartikan sebagai usaha memindahkan, mengangkut, atau mengalihkan


suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain, dimana di tempat lain objek tersebut lebih
bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Dari pengertian tersebut
dapat dimengerti bahwa transportasi merupakan sebuah proses yakni proses pindah, proses
gerak, dan mengalihkan dimana proses ini tidak bisa dilepaskan dari sarana dan prasarana
untuk menjamin lancarnya proses perpindahan sesuai dengan waktu yang diinginkan.
Sebagai salah satu infrastruktur dasar di suatu wilayah, sarana dan prasarana
transportasi diharapkan menjadi pemicu akan adanya perkembangan suatu wilayah. Tetapi
ada kalanya perkembangan suatu kota menjadi lebih cepat dibandingkan dengan fasilitas
transportasi. Kenyataan itulah yang menyebabkan timbulnya permasalahan transportasi.
Inti persoalan lalu lintas menurut Buchanan adalah warisan sistem jalan,
aksesibilitas, lingkungan, mobilitas, lalu lintas pejalan dan benturan kepentingan. Sedangkan
permasalahan umum dalam transportasi adalah demand yang lebih besar daripada supply
(demand>supply), lingkungan, pendanaan, pengawasan dan ketegasan hukum.
Permasalahan transportasi tersebut sering kali diakibatkan oleh perencanaan
transportasi itu sendiri. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kesalahan dalam perkiraan
perkembangan wilayah kota sehingga terjadi kesalahan dalam perencanaan prasarana dan
sarana transportasi.

Perkembangan akan permintaan kebutuhan transportasi terus berkembang


pesat, sedangkan perkembangan penyediaan layanan fasilitas transportasi
perkotaan sangat rendah. Pada umumnya, permasalahan transportasi kota terletak
pada permasalahan kemacetan lalu lintas dan sistem angkutan umum. Keduanya
mempengaruhi mobilitas penduduk. Ketidak efisiensi dan efektiftas dalam
penggunaan sistem angkutan umum yang ada mengakibatkan aksesbilitas dan
mobilitas terganggu sehingga terjadi kemacetan lalu lintas. Masalah lalu lintas

tersebut menimbulkan kerugian yang besar pada pemakai jalan, terutama dalam
hal pemborosan bahan bakar, efisiensi waktu, dan rendahnya tingkat kenyamanan.
Surabaya sebagai kota besar di Indonesia juga menghadapi permasalahan dan
tantangan dalam aspek transportasi. Kemacetan lalu lintas merupakan
permasalahan yang terjadi akibat tingkat mobilitas dan aksesbilitas penduduk yang
tinggi. Mayoritas kota-kota besar di Indonesia mengalami permasalahan yang
serupa.
Fakta Kemacetan Lalu Lintas di Kota Surabaya

Sebagai kawasan Surabaya Metroplitan Area, Surabaya merupakan pusat


kegiatan perdagangan barang dan jasa, industri, maupun pemerintahan.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat menyebabkan tingkat pergerakan penduduk
semakin meningkat. Peningkatan mobilitas penduduk tersebut menyebabkan
peningkatan terhadap penggunaan kendaraan bermotor. Namun, hal tersebut tidak
diimbangi dengan pertambahan panjang jalan. Pada akhirnya, kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya titik-titik kemacetan di sebagian besar jalan di Kota
Surabaya. Titik kemacetan yang terjadi biasanya terdapat di jalan dimana menjadi
penghubung antara pusat kota dengan daerah su-urban seperti di Jalan Ahmad Yani
Surabaya.
Panjang jalan di kota Surabaya sendiri pada tahun 2003 mencapai 1.067, 36
kilometer meningkat menjadi 2.035,95 kilometer pada tahun 2007. Sedangkan
jumlah kepemilikan kendaraan bermotor di Surabaya pada tahun 2003 mencapai
1.000.042 unit meningkat menjadi 2.447.368 unit pada tahun 2007 (Husna,
Racmandita, 2007). Berdasarkan data tersebut maka pertumbuhan panjang jalan
hanya mencapai 0,6 % dari pertumbuhan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor
di kota Surabaya (analisa penulis, 2011). Hal tersebut menggambarkan bahwa
kondisi kemacetan lalu lintas yang terjadi diakibatkan oleh kurangnya infrastruktur
dalam hal ini jalan raya yang tidak memadai.
Selain itu, kemacetan yang terjadi juga disebabkan terjadinya peningkatan
volume lalu lintas di sepanjang ruas jalan utama Kota Surabaya. Volume lalu lintas
yang dapat dilihat peningkatannya secara signifkan terjadi di Jalan Ahmad Yani.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar Perbandingan Volume Lalu Lintas


di Ruas Jalan Utama Kota Surabaya
(Sumber : Dishub Surabaya, 2006 dalam Racmandita 2009)
Jalan Ahmad Yani selain berfungsi sebagai jalan propinsi juga merupakan
jalan arteri primer. Berdasarkan gambar diatas, Jalan Ahmad Yani dapat
menggambarkan kemacetan lalu lintas yang menghubungkan pusat Kota Surabaya
dengan daerah sub-urban (pinggiran kota).
Peningkatan volume lalu lintas yang terdapat di Jalan Ahmad Yani terjadi
dalam tiga waktu yaitu pada puncak pagi hari, siang hari, dan sore hari. Pada waktu
puncak tersebut merupakan terjadinya mobilitas penduduk tertinggi yang terjadi
setiap harinya. Berikut ini merupakan gambaran volume lalu lintas di Jalan Ahmad
Yani dari tahun 2006 hingga tahun 2013.

Gambar Perkembangan Volume Lalu Lintas


di Jalan Ahmad Yani Tahun 2006, 2008, 2013
(Sumber : Dishub Surabaya, 2006 dalam Racmandita 2009)
Berdasarkan gambaran di atas menunjukkan bahwa Jalan Ahmad Yani pada
tahun 2006 sampai 2013 akan mengalami peningkatan volume lalu lintas pada jamjam puncak. Peningkatan tersebut sebesar 6.649 satuan mobil penumpang pada
jam puncak pagi hari, 6.404 satuan mobil penumpang jam puncak siang hari dan
6.954 satuan mobil penumpang pada jam puncak sore hari.

Identifikasi Kemacetan Lalu Lintas Kota Surabaya

Berdasarkan penjelasan sebelumnya dan kondisi eksisting di atas, maka dapat


diidentifikasi permasalahan kemacetan lalu lintas kota Surabaya yaitu sebagai berikut :

A. Akibat perkembangan Kota Surabaya yang semakin meluas, pola penggunaan


lahan pun juga tersebar menyebabkan mobilitas penduduk yang semakin tinggi. Mayoritas
penduduk yang melakukan mobilitas adalah mereka yang bekerja di dalam maupun di luar
kota, begitu juga sebaliknya (pekerja ulang-alik). Semakin jauh dari pusat aktivitas kota
maka semakin jauh pula jarak penduduk untuk menjangkaunya.
B. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di perkotaan menyebabkan pemenuhan akan
kebutuhan mobilitas juga semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan
jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi. Ditambah lagi
kecenderungan penduduk kota Surabaya lebih suka memakai kendaraan pribadi daripada
kendaraan umum. Akibatnya, terjadi penurunan efisiensi penggunaan sarana jaringan jalan
yang semakin menyulitkan untuk mengurangi kemacetan.

C. Buruknya sistem transportasi dan manajemen lalu lintas Kota Surabaya. Seiring
dengan meningkatnya permintaan jasa pelayanan transportasi tidak diimbangi dengan
penyediaan fasilitas saran dan prasarana transportasi seperti penambahan kapasitas jalan
dan penyediaan angkutan umum. Menurunnya penggunaan angkutan umum pada
masyrakat Surabaya dikarenakan tingkat pelayanan angkutan umum yang rendah terkait
dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, aksesbilitas dan efesiensi waktu yang
lama, jumlah kapasitas angkut yang minimalis, sistem jaringan yang kurang memadai serta
tingkat kenyamanan yang rendah pula.

Berdasarkan identifikasi dari permasalahan tersebut, kemacetan lalu lintas di


Kota Surabaya perlu diatasi secara komprehensif. Alternatif pemecahan masalah
dapat menggunakan bentuk kajian sistem transportasi secara makro. Sistem
transportasi secara makro mengintegrasikan antara kebutuhan, sarana dan
prasarana rekayasa dan manajemen lalu lintas serta sistem kelembagaan. Untuk
menjamin kebutuhan dan pelyanan terhadap transportasi pemerintah perlu
menciptakan sistem transportasi perkotaan yang terpadu.

Kesimpulan

1. Salah satu dampak pengembangan kota Surabaya adalah permasalahan


transportasi, khususnya kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas yang terjadi di
Surabaya dapat digambarkan pada Jalan Ahmad Yani karena jalan tersebut merupakan jalan
yang menghubungkan pusat kota Surabaya dengan daerah sub-urban. Indikator yang dapat
dijadikan ukuran kemacetan lalu lintas pada Jalan Ahmad Yani adalah volume lalu lintas yang
terjadi pada jam puncak pagi, siang, dan sore hari. Selain itu, kemacetan lalu lintas
ditambah tidak seimbangnya sarana dan prasarana (kapasitas jalan, model angkutan umum,
fasilitas jalan) dengan jumlah kepemilikian kendaraan bermotor pribadi.

2. Dalam mengatasi permaslahan transportasi diperlukan upaya dalam jangka waktu


yang pendek, menegah dan panjang. Hal tersebut dikarenakan, permasalahan transportasi
akan muncul seiring dengan peningkatan terhadap kebutuhan transportasi di dalam
perkotaan.
3. Untuk strategi pengembangan sistem transportasi perkotaan yang terpadu maka
diperlukan perencanaan peningkatan sarana dan prasarana transportasi yang memadai dan
sistem manajemen lalu lintas yang harus terintegrasi. Selain itu, perlu tersedia lembaga
yang mengelola dalam pemenuhan dan pelayanan kebutuhan akan transportasi.
4. Dalam rangka pengalihan penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum
perlunya kebijakan yang dapat menghambat penggunaan kendaraan pribadi. Namun, hal
tersbut juga harus diimbangi oleh peningkatan pelayanan kualitas angkutan umum baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya.
5. Penggunaan kendaraaan pribadi secara tidak efisien dan efektif ternyata
menimbulkan kemacetan lalu lintas. Selain itu, secara tidak langsung ini merugikan bagi diri
sendiri termasuk dalam pemborosan bahan bakar, efisiensi waktu, kesehatan dan
mencemari lingkungan.

Angkutan umum sangat penting untuk mendukung aktivitas masyarakat. Masalah yang terjadi pada angkutan umum di Kota Surabaya
adalah kondisi armada, infrastruktur atau prasarana, penumpang, regulator, dan operator, termasuk sopir dan perusahaan. Pengumpulan
data pada studi ini dilakukan dengan cara on-board dan off-board survey, wawancara, dan kuesionair. Data kemudian dianalisis
menggunakan metode fish bone dan analisis deskriptif. Kondisi operasional armada menunjukkan frekuensi layanan yang kurang baik,
waktu antara rata-rata lebih besar dari 10 menit, dan load factor yang rendah. Alasan pemilihan moda yang paling diperhatikan
penumpang pengguna Bis AC adalah fasilitas, keamanan, dan kebersihan. Sedangkan bagi pengguna bis ekonomi adalah langsung ke
tempat tujuan, murah, dan pelayanan sopir yang memadai. Untuk mengakomodasi kebutuhan kedua kelompok pengguna tersebut
diperlukan perbaikan-perbaikan terhadap armada yang beroperasi, sistem pelayanan, serta manajemen operasional dan keuangan dengan
mengintegrasikan semua kepentingan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai