ABSTRACT
Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia encountered in clinical practice
and is common in the elderly and those with structural heart disease. AF is also a
major risk factor for stroke. The pathophysiology of AF remains unclear at this time.
It is unlikely that a single pathophysiology is operative in all or even a majority of
cases. Clinical classification can be helpful in treatment decisions and the most
widely accepted classification schemes are found in the ACC/AHA/ESC guidelines.
Therapies to be considered for AF include prevention of thromboembolism, rate
control, and restoration and maintenance of sinus rhythm. Recent studies show that
the treatment strategies which combine control of ventricular rate with antithrombotic
therapy are as effective as the strategies aimed at restoring sinus rhythm. Current
antithrombotic therapy regimen in patients with AF involves chronic anticoagulation
with dose-adjusted vitamin K antagonists, unless patients have a contraindication to
these agents or are at low risk of stroke. AF patients who are at low risk of stroke
may benefit from aspirin. Although vitamin K antagonists are effective, their use is
problematic. This paper will provide an overview of the basis of current antithrombotic
guidelines in patients with AF, highlight the limitation of current antithrombotic drugs
used for stroke prevention, review the pharmacology of new antithrombotic drugs
under evaluation in AF and describe the new antiplatelet therapies (idraparinux, and
ximelagatran) in patients with AF. We also discuss the role of non-pharmacological
techniques to reduce the risk of stroke in patients with AF.
Keywords: atrial fibrillation, stroke, antithrombotic, idraparinux, ximelagatran
477
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489
PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (FA) merupakan suatu
takiaritmia supraventrikel yang ditandai
dengan aktivasi elektris atrium yang tak
terkoordinasi sehingga terjadi gangguan
fungsi mekanik atrium. Dari gambaran
elektrokardiogram FA dapat dikenali
dengan absennya gelombang P, yang
diganti oleh fibrilasi atau oskilasi antara
400-700 permenit dengan berbagai
bentuk, ukuran, jarak dan waktu
timbulnya yang dihubungkan dengan
respon ventrikel yang cepat dan tak
teratur bila konduksi AV masih utuh.
Irama semacam ini sering disebut
sebagai gelombang f.1,2 Bila tak ada
blok jantung maka kompleks QRS bisa
normal atau menunjukkan kompleks
QRS yang lebarnya bervariasi akibat
adanya konduksi aberasi yang bersifat
fisiologis atau bisa juga bersifat patologis
bila terjadi perpanjangan masa refrakter
di cabang berkas.1
Penderita dengan FA biasanya
mengeluhkan adanya gejala debar-debar,
bahkan mungkin terjadi gangguan
hemodinamik.
Sekitar sepertiga
478
PEMBAHASAN
Klasifikasi
Tampilan klinis FA sangat bervariasi.
Klasifikasi FA dapat menolong dalam
melakukan pengelolaan kelainan irama
tersebut. Terdapat banyak klasifikasi
yang dikenal dalam literatur, namun yang
direkomendasikan adalah klasifikasi
yang didasarkan pada pedoman ACC/
AHA/ESC2, yakni :
1. FA paroksismal: Suatu episode
aritmia yang dimulai dan berakhir
secara
spontan,
umumnya
berlangsung kurang dari 24 jam tapi
kadang-kadang bisa berlangsung
sampai 7 hari.
2. FA persisten: Episode aritmia yang
berlangsung lebih dari 7 hari atau
membutuhkan terminasi baik secara
farmakologis maupun secara
elektris.
3.
479
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489
Umur
(tahun)
Paling
rendah
< 60
Rendah
Tinggi
Tampilan penderita
Aspirin 81-325
mg/hari.
< 60
Aspirin81-325
mg/hari.
60-74
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0);
75
Wanita
>65
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0)
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0) atau
aspirin (81-325
mg/hari.
Gagal jantung,
Fraksi ejeksi 0,35 atau
Fract.shortening<25%+HTN
Paling
tinggi
Terapi
antitrombotik
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0)
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0)
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0) atau
lebih tinggi
480
Berbagai
penelitian
telah
mengidentifikasi faktor risiko ganda yang
dihubungkan dengan peningkatan
kejadian strok, termasuk umur, jenis
kelamin, hipertensi, penyakit jantung
iskemik, penyakit jantung reumatik,
katup prostesis, gagal jantung
bendungan, riwayat strok dan serangan
iskemik sementara, diabetes mellitus,
dan tirotoksikosis. Terapi sulih hormon
pada penderita menopause, merokok,
minum alkohol tidak terlalu berperan
sebagai faktor risiko.1
Dari 5 penelitian acak untuk pencegahan
strok pada penderita FA non-katup dibuat
skema stratifikasi risiko. Dalam hal ini
The Atrial Fibrillation Investigators (AFI)6
menganalisis bahwa beberapa faktor
risiko yang dihubungkan dengan lebih
dari 5% risiko strok pertahun jika mereka
tidak diberi terapi warfarin. Risiko strok
ini didasarkan pada umur yakni <65
tahun, 65-75 tahun dan >75 tahun (lihat
tabel 2).
Tabel 2. Laju kejadian strok pertahun dari analisis peneliti fibrilasi atrium
berdasarkan kelompok umur dan ada tidaknya faktor risiko.
Laju kejadian,%(95% CI)
Kategori umur
Kategori risiko
Plasebo
Warfarin
<65 tahun
FR tidak ada
FR > 1
1,0(0,3-3,1)
4,9(3,0-8,1)
1,0(0,3-3,0)
1,7(0,8-3,9)
65-75 tahun
FR tidak ada
FR > 1
4,3(2,7-7,1)
5,7(3,9-8,3)
1,1(0,4-2,8)
1,7(0,9-3,4)
>75 tahun
FR tidak ada
FR >1
3,5(1,6-7,7)
8,1(4,7-13,9)
1,7(0,5-5,2)
1,2(0,3-5,0)
481
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489
Tabel 3. Risiko tromboembolik pada penderita FA non-katup yang diberikan aspirin pada penelitian SPAF I-III dengan faktor resiko individu dan yang
dikombinasi dengan FR lainnya
Kelompok risiko
Risiko tinggi
Faktor risiko
TDS>160 mmHg
Wanita >75 tahun
Umur >75, ada
Riwayat HTN
Risiko sedang
Risiko rendah
populasi penderita
Laju
tromboemboli
pertahun
FR tunggal
> FR tambahan
FR tunggal
> FR tambahan
FR tunggal
7,2%
9,6%
7,8%
7,9%
5,0%
> FR tambahan
6,9%
7,1%(5,4-9,5)
2,6%
2,6%
2,6%
2,9%
2,6%(1,9-3,6)
0.9%(0,6-1,6)
FR tunggal
>FR tambahan
FR tunggal
>FR tambahan
482
Skor
Hipertensi
Diabetes mellitus
483
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489
484
Selain itu tersedia alternatif terapi nonfarmakologis yang baru, yakni terapi
ablasi untuk menghilangkan fokus
aritmogenik atau modifikasi konduksi
nodus AV dengan menggunakan ICD
(implanted cardiac device) yang
sanggup merangsang atrium dan
melakukan defibrilasi. Juga bisa
dilakukan tindakan operasi untuk
mencegah konduksi impuls yang bersifat
aritmogenik yang berasal dari atria ke
nodus AV.3,13
Kombinasi aspirin dan klopidogrel
Sebagi obat antiplatelet, baik aspirin
maupun klopidogrel mempunyai jalur
kerja yang berbeda. Aspirin menghambat
siklooksigenase dalam pembentukan
tromboksan A2, sedangkan klopidogrel
menghambat reseptor adenosin difosfat
(ADP) sehingga kedua-duanya dapat
mencegah proses agregasi platelet.
Kedua obat ini diabsorbsi dengan baik
di saluran gastrointestinal dan dapat
diberikan sekali sehari. Bila aspirin
diberikan tersendiri untuk mencegah
strok, dosis yang dianjurkan 325 mg
sekali sehari, sebaliknya bila diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan
klopidogrel, aspirin diberikan hanya
dengan dosis 81 mg perhari dan
klopidogrel 75 mg perhari. Anjuran
pemberian kombinasi antiplatelet ini
berasal dari the European Stroke
Prevention Study II (ESPS II). Penelitian
ini mengevaluasi formulasi dipiridamol
jangka panjang, suatu penghambat
trombosit lainnya, baik secara sendiri
maupun kombinasi dengan aspirin.
Penelitian lain yakni Management of
atherotrhrombosis with clopidogrel in
High-Risk Patients with recent Transient
Attack of Ischemic Stroke (MATCH) trial,
menggunakan klopidogrel sendiri
dibandingkan dengan kombinasi
klopidogrel dan aspirin. Penelitian lain
485
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489
486
Terapi ablasi
Penggunaan device
Terapi pembedahan
487
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489
DAFTAR RUJUKAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
488
7.
8.
9.
10.
11.
13.
14.
15.
489