Anda di halaman 1dari 13

REVIEW

Mappahya A A. Atrium fibrilation theraphy to prevent stroke

ATRIUM FIBRILATION THERAPHY TO PREVENT


STROKE: A REVIEW
Ali Aspar Mappahya
Department of Cardiology, Medical Faculty Hasanuddin University, Jl Perintis
Kemerdekaan 10 Tamalanrea, Makassar 90245, email:
Aliaspar_mappahya@yahoo.com

ABSTRACT
Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia encountered in clinical practice
and is common in the elderly and those with structural heart disease. AF is also a
major risk factor for stroke. The pathophysiology of AF remains unclear at this time.
It is unlikely that a single pathophysiology is operative in all or even a majority of
cases. Clinical classification can be helpful in treatment decisions and the most
widely accepted classification schemes are found in the ACC/AHA/ESC guidelines.
Therapies to be considered for AF include prevention of thromboembolism, rate
control, and restoration and maintenance of sinus rhythm. Recent studies show that
the treatment strategies which combine control of ventricular rate with antithrombotic
therapy are as effective as the strategies aimed at restoring sinus rhythm. Current
antithrombotic therapy regimen in patients with AF involves chronic anticoagulation
with dose-adjusted vitamin K antagonists, unless patients have a contraindication to
these agents or are at low risk of stroke. AF patients who are at low risk of stroke
may benefit from aspirin. Although vitamin K antagonists are effective, their use is
problematic. This paper will provide an overview of the basis of current antithrombotic
guidelines in patients with AF, highlight the limitation of current antithrombotic drugs
used for stroke prevention, review the pharmacology of new antithrombotic drugs
under evaluation in AF and describe the new antiplatelet therapies (idraparinux, and
ximelagatran) in patients with AF. We also discuss the role of non-pharmacological
techniques to reduce the risk of stroke in patients with AF.
Keywords: atrial fibrillation, stroke, antithrombotic, idraparinux, ximelagatran

TERAPI FIBRILASI ATRIUM UNTUK MENCEGAH KEJADIAN STROK


ABSTRAK
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam praktek
sehari-hari, umumnya dijumpai pada orang tua dan mereka dengan kelainan struktur
jantung. FA juga merupakan faktor risiko utama strok. Sampai saat ini patofisiologi
terjadinya FA masih belum jelas diketahui. Klasifikasi klinik yang akan membantu
menentukan terapi dan yang paling luas diterima adalah klasifikasi yang didasarkan
pada pedoman ACC/AHA/ESC. Terapi yang dipertimbangkan dipakai pada FA adalah
terapi untuk mencegah proses tromboemboli, mengontrol denyut jantung, dan
mengembalikan serta mempertahankan irama sinus. Dari penelitian akhir-akhir ini

477

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489

menunjukkan bahwa strategi pengobatan dengan mengkombinasikan pengontrolan


denyut jantung dan pemberian antitrombotik sama efektifnya dengan usaha untuk
mengembalikan irama jantung menjadi irama sinus. Antitrombotik yang dikenal saat
ini untuk penderita FA adalah antikoagulasi antagonis vitamin K dengan penyesuaian
dosis, kecuali ada indikasi kontra dan penderita dengan risiko rendah untuk mengalami
strok. Penderita yang berisiko rendah untuk mengalami strok mungkin pemberian
aspirin sangat berguna. Meskipun pemberian antagonis vitamin K efektif namun
penggunaannya masih menjadi persoalan. Tulisan ini memaparkan petunjuk
pemberian antitrombotik, dasar keterbatasan penggunaannya untuk mencegah strok,
ulasan farmakologis obat-obat antitrombotik yang baru, antiplatelet yang baru
(idraparinux, ximelagatran) pada penderita FA. Juga didiskusikan peranan cara-cara
non-farmakologis untuk mengurangi risiko strok pada penderita FA.
Kata kunci: fibrilasi atrium, strok, antitrombotik, idraparinux, ximelagatra

PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (FA) merupakan suatu
takiaritmia supraventrikel yang ditandai
dengan aktivasi elektris atrium yang tak
terkoordinasi sehingga terjadi gangguan
fungsi mekanik atrium. Dari gambaran
elektrokardiogram FA dapat dikenali
dengan absennya gelombang P, yang
diganti oleh fibrilasi atau oskilasi antara
400-700 permenit dengan berbagai
bentuk, ukuran, jarak dan waktu
timbulnya yang dihubungkan dengan
respon ventrikel yang cepat dan tak
teratur bila konduksi AV masih utuh.
Irama semacam ini sering disebut
sebagai gelombang f.1,2 Bila tak ada
blok jantung maka kompleks QRS bisa
normal atau menunjukkan kompleks
QRS yang lebarnya bervariasi akibat
adanya konduksi aberasi yang bersifat
fisiologis atau bisa juga bersifat patologis
bila terjadi perpanjangan masa refrakter
di cabang berkas.1
Penderita dengan FA biasanya
mengeluhkan adanya gejala debar-debar,
bahkan mungkin terjadi gangguan
hemodinamik.
Sekitar sepertiga

478

penderita yang masuk rumah sakit akibat


aritmia jantung disebabkan oleh FA.
Faktor predisposisi yang bersifat kardiak
dan non-kardiak dijumpai pada 90%
penderita dengan FA. Faktor kardiak
yang paling sering adalah hipertensi,
penyakit jantung koroner termasuk
riwayat pernah mengalami infark
miokard, penyakit katup dan gagal
jantung bendungan; sedangkan faktor
non-kardiak termasuk hipertiroidisme,
keadaan
paru
yang
hipoksik,
pembedahan dan intoksikasi alkohol.
Mereka yang tidak diketahui faktor
predisposisinya disebut lone atrial
fibrillation.3,4
FA non-katup merupakan jenis aritmia
jantung persisten yang paling umum
dijumpai. Di Amerika Serikat jenis aritmia
ini menghinggapi lebih dari 2 juta
penduduk dewasa dan diperkirakan akan
meningkat menjadi lebih dari 5 juta orang
pada tahun 2050.4
FA dulu pernah dianggap sebagai
kelainan yang bersifat benigna tapi saat

Mappahya A A. Atrium fibrilation theraphy to prevent stroke

ini diakui sebagai salah satu faktor risiko


strok independen yang paling kuat.
Penyulit yang paling ditakuti dari FA
adalah tromboemboli yang bisa
bermanifestasi sebagai strok atau
kejadian emboli sistemik. Penderita FA
yang non-katup mempunyai risiko
kejadian strok 2-7 kali, dengan risiko
strok absolut berkisar 1-15% pertahun,
tergantung ada tidaknya faktor-faktor
risiko klinis. Faktor-faktor yang
meningkatkan risiko strok pada penderita
FA adalah umur >75 tahun, gagal jantung
bendungan, hipertensi, diabetes mellitus,
dan riwayat pernah mengalami kejadian
kardioembolik sebelumnya termasuk
serangan iskemia sementara transient
ischemic attack (TIA), strok dan emboli
sistemik. FA ditemukan sampai 20%
penderita dengan strok iskemik akut,
yang dapat meningkatkan mortalitas dua
kali lipat.3

PEMBAHASAN
Klasifikasi
Tampilan klinis FA sangat bervariasi.
Klasifikasi FA dapat menolong dalam
melakukan pengelolaan kelainan irama
tersebut. Terdapat banyak klasifikasi
yang dikenal dalam literatur, namun yang
direkomendasikan adalah klasifikasi
yang didasarkan pada pedoman ACC/
AHA/ESC2, yakni :
1. FA paroksismal: Suatu episode
aritmia yang dimulai dan berakhir
secara
spontan,
umumnya
berlangsung kurang dari 24 jam tapi
kadang-kadang bisa berlangsung
sampai 7 hari.
2. FA persisten: Episode aritmia yang
berlangsung lebih dari 7 hari atau
membutuhkan terminasi baik secara
farmakologis maupun secara
elektris.

3.

FA permanen: Episode aritmia yang


berlangsung
lama
dimana
diperlukan terminasi yang berulangulang.

Bila penderita mengalami dua atau lebih


episode FA paroksismal ataupun FA
persisten maka jenis FA yang dialami ini
disebut FA rekuren. Definisi ini digunakan
terhadap episode FA yang lamanya lebih
dari 30 detik dan tidak dihubungkan
dengan suatu penyebab yang reversibel,
seperti operasi jantung, infark miokard,
emboli paru, miokarditis atau
hipertiroidisme. Bila penyebab yang
reversibel dapat dikenal maka penyebab
tersebut diobati secara simultan dengan
pengelolaan episode FA, dan kerapkali
strategi ini akan menghilangkan aritmia
tersebut dan tak membutuhkan lagi
pengelolaan aritmia jangka panjang.1,2
Adapun pedoman terapi antitrombotik
pada penderita FA berdasrkan pedoman
dari ACC/AHA/ESC dapat dilihat pada
tabel 1 dibawah ini.2,16
Mekanisme
Pada saat ini patofisiologi FA masih
belum begitu jelas.1 Secara teoretis ada
dua mekanisme yang terlibat dalam
patofisiologi terjadinya FA. Yang pertama
meningkatnya otomatisitas dari satu atau
beberapa fokus yang mengalami
depolarisasi dengan cepat dan kedua
terjadinya mekanisme reentri melalui
satu atau lebih jalur konduksi.1,2 Fokusfokus penyebab FA ini bisa berasal dari
vena pulmonalis superior, atrium kanan,
vena kava superior dan sinus
koronarius. 2 Remodeling baik yang
bersifat elektris, kontraktil maupun
struktural merupakan bagian dari
patofisiologi FA yang penting.1 Wijffels
dkk pertama kali menunjukkan bahwa FA
yang berkepanjangan menyebabkan

479

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489

Tabel 1. Pedoman terapi antitrombotik pada penderita FA menurut ACC/AHA/ESC


Katagori
risiko

Umur
(tahun)

Paling
rendah

< 60

Rendah

Tinggi

Tampilan penderita

Tidak ada penyakit jantung

Aspirin 81325mg/hari atau


tanpa terapi.

Ada penyakit jantung tapi tak ada FR


untu tromboemboli (termasuk gagal
jantung fraksi ejeksi <0,35, ada riwayat
hipertensi

Aspirin 81-325
mg/hari.

< 60

Tidak ada FR untuk tromboemboli.

Aspirin81-325
mg/hari.

60-74

Dengan DM atau PJK.

Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0);

75

Wanita

>65

Pria, tidak ada FR

Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0)
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0) atau
aspirin (81-325
mg/hari.

Gagal jantung,
Fraksi ejeksi 0,35 atau
Fract.shortening<25%+HTN

Paling
tinggi

Terapi
antitrombotik

Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0)

Peyakit jantung reumatik (stenosis


mitral)

Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0

Katup jantung prostesis atau lebih


tinggi
Tromboemboli sebelumnya.Trombus
atrial persisten yang dibuktikan dengan
TEE.

Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0)
Antikoagulasi oral
(INR 2,0-3,0) atau
lebih tinggi

FR=faktor risiko, DM=diabetes mellitus, PJK=Penyakit jantung koroner,


TEE=Transesophageal echocardiography.
perubahan sifat elektris (remodeling
elektris) atrium yang memacu FA
menjadi menetap. Perubahan elektris ini
diakibatkan oleh menurunnya masa
refrakter efektif dari atrium.5
Faktor-faktor
lain
yang
dapat
menginduksi atau mempertahankan FA
adalah ekstrasistole, aktivitas sistim

480

saraf otonom, iskemia atrium, regangan


atrium, konduksi anisotropik, dan faktor
ketuaan. Pada percobaan binatang
induksi FA akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard atrium,
sedangkan pada percobaan manusia
masa refrakter dan kecepatan konduksi
tidak homogen pada penderita FA.2

Mappahya A A. Atrium fibrilation theraphy to prevent stroke

Stratifikasi risiko stroke pada fibrilasi


atrium
FA diperkirakan bertanggung jawab
terhadap kejadian strok iskemik sekitar
15-25%, dan juga FA mungkin
dihubungkan dengan infark serebri
tenang. Laju kejadian strok bervariasi
dari 0,5% pertahun pada orang muda
tanpa kelainan struktur jantung sampai
12% pertahun pada penderita FA yang
pernah mengalami strok sebelumnya.1
Penetapan stratifikasi risiko sejak lebih
dari 20 tahun terakhir merupakan elemen
yang penting untuk menentukan jenis
terapi pencegahan kejadian strok.
Keputusan untuk mengobati seorang
penderita dengan antikoagulasi
seharusnya didasarkan pada keputusan
klinis
bahwa
risiko
kejadian
tromboemboli tanpa terapi lebih
berbahaya dibanding risiko terjadinya
perdarahan apabila diberi obat.

Berbagai
penelitian
telah
mengidentifikasi faktor risiko ganda yang
dihubungkan dengan peningkatan
kejadian strok, termasuk umur, jenis
kelamin, hipertensi, penyakit jantung
iskemik, penyakit jantung reumatik,
katup prostesis, gagal jantung
bendungan, riwayat strok dan serangan
iskemik sementara, diabetes mellitus,
dan tirotoksikosis. Terapi sulih hormon
pada penderita menopause, merokok,
minum alkohol tidak terlalu berperan
sebagai faktor risiko.1
Dari 5 penelitian acak untuk pencegahan
strok pada penderita FA non-katup dibuat
skema stratifikasi risiko. Dalam hal ini
The Atrial Fibrillation Investigators (AFI)6
menganalisis bahwa beberapa faktor
risiko yang dihubungkan dengan lebih
dari 5% risiko strok pertahun jika mereka
tidak diberi terapi warfarin. Risiko strok
ini didasarkan pada umur yakni <65
tahun, 65-75 tahun dan >75 tahun (lihat
tabel 2).

Tabel 2. Laju kejadian strok pertahun dari analisis peneliti fibrilasi atrium
berdasarkan kelompok umur dan ada tidaknya faktor risiko.
Laju kejadian,%(95% CI)
Kategori umur

Kategori risiko

Plasebo

Warfarin

<65 tahun

FR tidak ada
FR > 1

1,0(0,3-3,1)
4,9(3,0-8,1)

1,0(0,3-3,0)
1,7(0,8-3,9)

65-75 tahun

FR tidak ada
FR > 1

4,3(2,7-7,1)
5,7(3,9-8,3)

1,1(0,4-2,8)
1,7(0,9-3,4)

>75 tahun

FR tidak ada
FR >1

3,5(1,6-7,7)
8,1(4,7-13,9)

1,7(0,5-5,2)
1,2(0,3-5,0)

FR (faktor risiko): hipertensi, riwayat Diabetes Mellitus, pernah strok/TIA


sebelumnya.

481

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489

Tabel 3. Risiko tromboembolik pada penderita FA non-katup yang diberikan aspirin pada penelitian SPAF I-III dengan faktor resiko individu dan yang
dikombinasi dengan FR lainnya
Kelompok risiko

Risiko tinggi

Faktor risiko

TDS>160 mmHg
Wanita >75 tahun
Umur >75, ada
Riwayat HTN

Risiko sedang

Risiko rendah

Semua Risiko tinggi


Umur >75 tahun,
Ada riwayat HTN
Diabetes

populasi penderita

Laju

tromboemboli
pertahun

FR tunggal
> FR tambahan
FR tunggal
> FR tambahan
FR tunggal

7,2%
9,6%
7,8%
7,9%
5,0%

> FR tambahan

6,9%
7,1%(5,4-9,5)
2,6%
2,6%
2,6%
2,9%
2,6%(1,9-3,6)
0.9%(0,6-1,6)

FR tunggal
>FR tambahan
FR tunggal
>FR tambahan

Semua Risiko sedang


Semua Risiko rendah

TDS=tekanan darah sistolik, FR=faktor risiko, HTN=hipertensi.

Skema stratifikasi lainnya yang


dikemukakan oleh peneliti The Stroke
Prevention in Atrial Fibrillation trial (SPAF)7
menilai risiko kejadian strok pada
penderita FA yang hanya diberikan aspirin untuk mencegah strok membagi
kelompok berisiko ini menjadi 3 yakni
risiko tinggi, risiko sedang dan risiko
rendah (lihat tabel 3). Ada skema
stratifikasi risiko yang melibatkan
penilaian
ekokardiografi
untuk
menentukan risiko. Secara umum akan
lebih
memudahkan
bila
kita
menggunakan skema yang lebih
sederhana tapi mencakup faktor-faktor
risiko penting dan tidak membutuhkan
pemeriksaan ekokardiografi. Skema ini
dikenal dengan istilah CHADS2 (congestive heart failure, hypertension, age, diabetes, stroke/TIA) (lihat tabel 4 dan
gambar 1).8

482

Pengontrolan irama atau laju antung


Bagian penting dari pengelolaan
penderita dengan FA adalah penggunaan
cara-cara untuk mengurangi risiko
terjadinya tromboemboli. Yang menjadi
pertanyaan apakah konversi FA menjadi
irama sinus akan menurunkan risiko
kejadian tromboemboli pada penderita
FA. Pertanyaan ini telah diajukan
terhadap 5 penelitian akhir-akhir ini
(PIAF, PAF2, AFFIRM, RACE, STAF)
dengan menguji apakah pengontrolan
irama atau laju jantung akan lebih efektif
mencegah terjadinya tromboemboli,
menurunkan mortalitas, dan lebih
mengurangi gejala atau memperbaiki
kualitas hidup penderita yang berumur
sekurang-kurangnya 65 tahun dengan
minimal terdapat satu faktor risiko lain
untuk terjadinya strok.1,3

Mappahya A A. Atrium fibrilation theraphy to prevent stroke

Tabel 4. Skema startifikasi risiko strok


CHADS 2 untuk penderita fibrilasi
atrium non-katup.
Faktor risiko
C

Skor

Gagal Jantung bendungan


yang baru

Hipertensi

Umur >75 tahun

Diabetes mellitus

S2 Riwayat strok atau


serangan iskemia sementara 2
Secara historis, pengelolaan FA dengan
mengontrol laju jantung merupakan
pendekatan terapi yang pertama dikenal.
Namun demikian dengan adanya obatobat antiaritmik dan kardioversi elektrik
maka pengontrolan irama jantung lebih
populer dilakukan oleh para dokter
berdasarkan teori yang masuk akal
bahwa pengontrolan irama jantung akan
memperbaiki
hemodinamik
dan
menurunkan frekwensi kejadian
tromboemboli. Hanya saja, pendekatan
terapi seperti ini terkadang memerlukan
obat antiaritmik jangka panjang yang
tidak selalu efektif, dalam hal ini lebih
dari 50% terjadi FA rekuren dan
dihubungkan dengan berbagai efek
samping termasuk kematian. Dengan
alasan ketidak puasan terhadap obat
antiaritmik ini untuk mempertahankan
irama sinus banyak penelitian dilakukan
untuk menggunakan terapi alternatif
yang bersifat non-farmakologis. Lagipula
kemanjuran antikoagulan untuk
mencegah
tromboemboli
telah
ditunjukkan pada berbagai penelitian.
Ketidak manjuran dan adanya efek yang
tidak menguntungkan dari obat-obat
antiaritmik yang digandengkan dengan
kemanjuran warfarin menimbulkan
banyak pertanyaan apakah strategi

pengontrolan irama dan antikoagulan


selektif harus menjadi pendekatan
pertama dan utama dibanding strategi
pengontrolan laju jantung dan
antikoagulan.1
Suatu penelitian yang paling besar yakni
the Atrial Fibrillation Follow-up
Investigation of Rhythm Management
(AFFIRM) trial, mengacak 4060
penderita FA baik yang paroksismal
maupun yang persisten menjadi dua
kelompok yakni kelompok pengontrolan
laju jantung dan kelompok pengontrolan
irama jantung. Untuk mengontrol laju
jantung digunakan obat-obatan maupun
dengan tindakan ablasi AV-junction
ditambah
antikoagulasi.
Untuk
pengontrolan irama jantung digunakan
obat-obat antiaritmik yang paling efektif
dan ditoleransi oleh penderita. Terapi
sering dirubah berdasarkan keadaan
klinis penderita. Penderita yang
dimasukkan dalam penelitian ini
sekurang-kurangnya berumur 65 tahun
atau mempunyai faktor risiko lain untuk
terjadinya strok atau kematian, dan tidak
ada indikasi-kontra terhadap antikoagulasi. Diagnosis terbanyak adalah
hipertensi (71%) dan penyakit jantung
koroner (38%); 13% tidak jelas
mempunyai kelainan struktural jantung.
Semua penderita mula-mula diberi

483

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489

antikoagulasi, tapi mereka yang


termasuk kelompok pengontrolan irama
jantung, yang telah terkonversi menjadi
irama sinus sekurang-kurangnya 3
bulan, pemberian warfarin dapat
dihentikan. Prevalensi irama sinus pada
kelompok pengontrolan irama jantung
adalah 82,73, dan 63% selang 1, 3, 5
tahun secara berurutan. Sedangkan
prevalensi irama sinus pada kelompok
pengontrolan laju jantung adalah 35%
setelah 5 tahun. Setelah folow-up sekitar
5 tahun ada kecenderungan insiden
kematian lebih rendah pada kelompok
pengontrolan laju jantung (21,3% vs
23,8%). Ada kecenderungan risiko strok
iskemik lebih tinggi pada kelompok
pengontrolan irama jantung dan
kebanyakan kejadian strok terjadi pada
kedua kelompok adalah mereka yang
tidak memperoleh antikoagulasi atau
tidak optimal pemberiannya. Jumlah
penderita yang dirawat dirumah sakit
selama follow-up lebih kurang secara
bermakna pada kelompok pengontrolan
laju jantung dibanding kelompok
pengontrolan irama jantung.1,3 Penelitian
ini menunjukkan bahwa tidak ada
peningkatan manfaat secara relatif
dalam hal morbiditas maupun mortalitas
dengan pengontrolan irama jantung
secara agresif dibanding pengontrolan
laju jantung. 3 Hasil temuan ini sesuai
dengan hasil tiga penelitian kecil
lainnya.9,10,11
Terapi farmakologis
Antitrombotik
Kemampuan terapi antitrombotik untuk
menurunkan risiko strok pada penderita
FA pertama kali dilaporkan pada akhir
tahun 1980-an. Manfaat pemberian
antikoagulasi jangka panjang pada
penderita FA pertama kali ditunjukkan
oleh penelitian The Copenhagen Atrial

484

Fibrillation, Aspirin, Anticoagulation


(AFASAK) yang kemudian dikonfirmasi
lebih jauh dengan beberapa penelitian
pencegahan primer.4
Berdasarkan data-data penelitian yang
telah dilakukan maka pilihan terapi
antitrombotik yang dianjurkan, baik untuk
pencegahan primer maupun sekunder
pada penderita dengan FA dibatasi pada
antikoagulasi kronik yakni antagonis
vitamin K dengan dosis yang disesuaikan
seperti warfarin dengan dosis
disesuaikan terhadap INR 2-3 dan/atau
aspirin pada penderita dengan risiko
rendah untuk terjadinya strok.3 Warfarin
sodium, sejak pertama kali diperkenalkan
secara komersial pada tahun 1954 telah
menjadi terapi antikoagulan baku yang
dapat digunakan jangka panjang. Obat
ini sangat efektif bila digunakan dengan
pengelolaaan yang baik, terbukti warfarin
dapat menurunkan risiko relatif strok
sebanyak 68% dibanding plasebo dan
sebanyak 46% dibanding aspirin.12
Meskipun aspirin menunjukkan alternatif
terapi yang lebih baik dan lebih aman
dibanding warfarin, dia tidak memberi
tingkat proteksi yang sama untuk
mencegah strok seperti wafarin pada
penderita FA.
Hanya sedikit informasi yang tersedia
tentang perlunya antikoagulasi pada
penderita FA yang secara spontan
kembali ke irama sinus. Oleh karena
sekitar 50% penderita yang kembali
menjadi FA, terutama mereka yang
didasari oleh penyakit jantung, maka
terapi antikoagulasi sangat tepat
diberikan pada kebanyakan penderita
semacam ini. Pada penderita yang masih
muda dan tanpa didasari oleh suatu
penyakit jantung tertentu, pemberian
antikoagulasi mungkin tidak diperlukan.3
Sebagai suatu golongan obat
antikoagulasi, warfarin mereduksi

Mappahya A A. Atrium fibrilation theraphy to prevent stroke

vitamin K menjadi bentuk 2-3 epokside.


Keterbatasan obat warfarin ini adalah
onset kerjanya yang lambat oleh karena
untuk memperkuat efek antitrombotiknya
warfarin harus mereduksi level
fungsional faktor X dan protrombin,
dimana proses ini memerlukan waktu 35 hari untuk tercapai.3
Kemanjuran dan keamanan warfarin
pada penderita FA membutuhkan suatu
INR 2,0-3,0. Keterbatasan lain dari
warfarin adalah perlunya memonitor nilai
INR oleh karena jendela terapi warfarin
sangat sempit. Bila INR <2 risiko untuk
terjadinya strok meningkat, sedangkan
bila INR >3 maka risiko perdarahan
meningkat.
Selain itu farmakodinamik warfarin
dipengaruhi oleh interaksi multipel
dengan beberapa obat yang diberikan
bersamaan. Asupan vitamin K dalam diet
yang bervariasi dan minum alkohol
berlebihan dapat juga mempengaruhi
respon antikoagulan warfarin. Lagi pula
variasi genetik isoenzim sitokrom P450
dapat mempengaruhi dosis yang
dibutuhkan untuk meningkatkan atau
menurunkan metabolisme warfarin.3,4
Pendekatan farmakologis alternatif
Mengingat adanya keterbatasan
penggunaan warfarin maka terbuka
peluang untuk menggunakan strategi
terapi antitrombotik yang baru yang
mekanisme kerjanya berbeda dengan
warfarin dan menghasilkan respon
antikoagulan yang diharapkan, dan tidak
memerlukan pemantauan INR.3
Pendekatan strategi yang baru ini
termasuk kombinasi dua obat antiplatelet
seperti aspirin + klopidogrel, idraparinux,
pentasakarida sintetis jangka panjang
parenteral dan ximelagatran, suatu
penghambat trombin langsung yang
diberikan per-oral.3,4,12

Selain itu tersedia alternatif terapi nonfarmakologis yang baru, yakni terapi
ablasi untuk menghilangkan fokus
aritmogenik atau modifikasi konduksi
nodus AV dengan menggunakan ICD
(implanted cardiac device) yang
sanggup merangsang atrium dan
melakukan defibrilasi. Juga bisa
dilakukan tindakan operasi untuk
mencegah konduksi impuls yang bersifat
aritmogenik yang berasal dari atria ke
nodus AV.3,13
Kombinasi aspirin dan klopidogrel
Sebagi obat antiplatelet, baik aspirin
maupun klopidogrel mempunyai jalur
kerja yang berbeda. Aspirin menghambat
siklooksigenase dalam pembentukan
tromboksan A2, sedangkan klopidogrel
menghambat reseptor adenosin difosfat
(ADP) sehingga kedua-duanya dapat
mencegah proses agregasi platelet.
Kedua obat ini diabsorbsi dengan baik
di saluran gastrointestinal dan dapat
diberikan sekali sehari. Bila aspirin
diberikan tersendiri untuk mencegah
strok, dosis yang dianjurkan 325 mg
sekali sehari, sebaliknya bila diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan
klopidogrel, aspirin diberikan hanya
dengan dosis 81 mg perhari dan
klopidogrel 75 mg perhari. Anjuran
pemberian kombinasi antiplatelet ini
berasal dari the European Stroke
Prevention Study II (ESPS II). Penelitian
ini mengevaluasi formulasi dipiridamol
jangka panjang, suatu penghambat
trombosit lainnya, baik secara sendiri
maupun kombinasi dengan aspirin.
Penelitian lain yakni Management of
atherotrhrombosis with clopidogrel in
High-Risk Patients with recent Transient
Attack of Ischemic Stroke (MATCH) trial,
menggunakan klopidogrel sendiri
dibandingkan dengan kombinasi
klopidogrel dan aspirin. Penelitian lain

485

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489

yang telah dilakukan adalah Atrial


Fibrillation Clopidogrel Trial with
Irbesartan for Prevention of Vascular
Events (ACTIVE) trial.3,4
Idraparinux
Obat ini merupakan obat sintesis yang
analog dengan pentasakarida pada
heparin dan heparin dengan berat
molekul rendah yang dimediasi
interaksinya dengan antitrombin,
mengkatalisis penghambatan faktor Xa
oleh trombin. Obat ini diberikan secara
subkutan sekali seminggu oleh karena
paruh waktunya sekitar 80 jam setelah
penyuntikan. Obat ini telah diteliti dalam
suatu penelitian yang besar yakni the
AMADEUS study.
Ximelagatran
Obat ini merupakan bentuk prodrug dari
melagatran, suatu antitrombotik baru
yang yang profil kemajuran dan
keamanannya lebih baik dibanding
warfarin, yakni obat yang secara
langsung menghambat trombin. Trombin
merupakan enzim kunci yang
bertanggung jawab terhadap konversi
fibrinogen menjadi fibrin, dengan
demikian memegang peran sentral untuk
mengawali pembentukan trombus.
Setelah diberikan secara oral obat ini
dengan cepat akan diabsorbsi oleh
saluran cerna dengan bioavaibilitas 20%
dan mencapai kadar puncaknya dalam
plasma sekitar 30 menit setelah
pemberian. Meskipun ximelagatran tidak
mempunyai aktivitas antikoagulan
intrinsik, namun dengan cepat dirubah
menjadi melagatran, suatu molekul kecil
yang menghambat aktivitas katalisis
enzim. Kadar plasma melagatran
mencapai puncaknya 2 jam setelah obat
dicerna, dan mempunyai paruh waktu 4
- 5 jam sehingga harus diberikan dua kali
sehari. 3,4 Melagatran menghambat

486

fungsi trombin tanpa memerlukan


pemantauan antikoagulan secara rutin
dan secara efektif menghambat baik
trombin bebas maupun trombin yang
terikat dengan gumpalan darah, suatu
efek yang secara farmakologis lebih
menguntungkan dibanding produk
heparin lainnya.12
Ximelagatran telah melalui 10 penelitian
fase III, dua diantaranya berhubungan
dengan pencegahan strok pada penderita
FA. Hasil penelitian umumnya bersifat
positif.
Pada penelitian the Stroke Prevention
Using the Oral Thrombin Inhibitor in
Patients with Non-valvular AF III
(SPORTIF III) dan SPORTIF V
mengevaluasi kemanjuran ximelagatran
36 mg oral dua kali sehari dibanding
terapi warfarin dengan dosis yang
disesuaikan untuk mecapai INR 2-3
untuk mencegah kejadian strok pada
penderita FA. Perbedaan kedua
penelitian ini adalah SPORTIF III openlabel European trial sedangkan
SPORTIF V adalah completely blinded
North American trial. Penelitian SPORTIF
III melibatkan 3407 penderita dimana
keberhasilan primer dijumpai pada 40
penderita dengan ximelagatran dan 56
penderita dengan warfarin. Berdasarkan
rata-rata waktu follow-up selama 21 bulan
dan analisis ITT, maka laju strok dan
emboli sistemik pertahun 1,6% pada
kelompok ximelagatran dan 2,3% pada
kelompok warfarin. Pada penelitian
SPORTIF V melibatkan 3922 penderita,
ada 51 penderita dengan strok atau
emboli sistemik pada kelompok
ximelagatran dan 37 penderita pada
kelompok warfarin.3,4,12
Berdasarkan primary endpoint dari
penelitian diatas dapat disimpulkan
bahwa ximelagatran 36 mg tidak lebih
inferior dibanding warfarin dengan

Mappahya A A. Atrium fibrilation theraphy to prevent stroke

penyesuaian dosis dalam pencegahan


semua jenis strok baik yang trombotik
maupun yang hemoragik dan kejadian
emboli sistemik pada penderita FA
persisten maupun paroksismal. Patut
ditambahkan bahwa FDA menolak
memberi persetujuan pemberian
ximelagatran untuk semua indikasi
terutama karena obat ini diperkirakan
dapat meningkatkan kejadian penyakit
arteri koroner pada mereka yang
menerima ximelagatran pada beberapa
penelitian dan kemungkinan timbulnya
gagal hati bila obat ini digunakan dalam
jangka yang lama.12

Isolasi vena pulmonalis mencegah blok


jantung total sehingga pacu jantung
menjadi permanen. Tindakan ini
didasarkan pada observasi bahwa FA
kerapkali dipicu oleh gangguan irama
ektopik yang muncul dari vena
pulmonalis dan dapat dipetakan menjadi
area yang kecil yakni kurang dari
beberapa milimeter. Area ini kemudian
dapat diablasi secara fokal atau diisolasi
dengan memakai lesi ablasi linear. Bila
berhasil maka tindakan ini akan
menghilangkan FA sehingga tidak perlu
diberi antikoagulasi.3,15

Terapi non-farmakologis fibrilasi


atrium
Modalitas terapi non-farmakologis akan
menurunkan risiko strok pada penderita
FA dengan cara terapi ablasi, terapi
device dan pembedahan. Cara
pendekatan ini ditujukan terhadap
penderita yang lebih muda yang
mengalami FA menetap dan tak
terkontrol dengan obat-obatan terutama
yang berisiko tinggi untuk mengalami
strok. Terapi pembedahan juga dapat
dipertimbangkan pada penderita yang
mengalami operasi jantung kausa yang
lain.3,13

Telah diketahui bahwa appendiks atrium


kiri (AAK) merupakan tempat yang paling
umum terjadinya trombus pada penderita
FA. Ini dapat dengan mudah dikeluarkan
dari sirkulasi sistemik pada waktu operasi
jantung dengan melakukan eksisi, ligasi,
penjahitan maupun dengan jepitan. Saat
ini, pengangkatan AAK pada waktu
operasi katup mitral dianjurkan untuk
menurunkan risiko strok dimasa depan.
Suatu penelitian yang sementara
berlangsung yakni The ongoing LAA
Occlusion Study (LAAOS) sedang
dievaluasi untuk melihat kelayakan oklusi
AAK rutin pada penderita yang sedang
menjalani operasi pintas koroner elektif.

Terapi ablasi

Penggunaan device

Terapi ablasi untuk penderita FA


termasuk ablasi nodus AV dan isolasi
vena pulmonalis, kedua-duanya dapat
dilakukan secara perkutan. Ablasi nodus
AV merupakan tindakan paliatif yang
menyebabkan blok jantung total. Suatu
pacu jantung permanen dibutuhkan
setelah tindakan ablasi. Penderita yang
menjalani tindakan ini memerlukan
pemberian
antikoagulasi
untuk
mencegah kejadian strok sebab tindakan
ini tidak menghilangkan FA maupun
mencegah kekambuhannya.3,14

Terapi device seperti penggunaan


Implantabel cardiac defibrillator (ICD)
dapat digunakan menghilangkan
kejadian FA. Baik defibrilator atrium
maupun dual chamber telah dievaluasi
pada penderita FA dan nampaknya
tindakan ini merupakan terapi yang
memungkinkan pada penderita yang
diseleksi dengan ketat yang mengalami
episode FA rekuren dan tidak mempan
lagi dengan obat. Pengaruh dari device
ini pada risiko kejadian emboli sistemik
tidak jelas.3

Terapi pembedahan

487

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489

Baru-baru ini ada dua device yang secara


khusus dirancang untuk melakukan
oklusi AAK yang telah diperkenalkan
yakni sistem the Percutaneous LAA
transcatheter Occlusion (PLAATO) dan
WATCMAN LAA. Lebih dari 200 device
PLAATO yang telah diimplantasikan
diseluruh dunia pada penderita FA nonreumatik yang berisiko tinggi untuk
terjadinya strok iskemik dan bukan
kandidat untuk mendapat terapi
antikoagulasi oral. Pada follow-up
diperkirakan reduksi risiko strok
sebanyak 61% dapat dicapai dengan
tindakan PLAATO. Sistem WATCHMAN

AAK untuk Protection in patients with


atrial fibrillation (Protec AF) study
dirancang untuk menunjukkan keamanan
dan kelayakan device WATCHMAN pada
penderita FA non-katup yang cocok
mendapat terapi antikoagulasi oral
jangka panjang. Penelitian ini ingin
menilai apakah device WATCHMAN ini
tidak inferior dibanding kontrol (yang
memperoleh warfarin). Saat ini, oklusi
AAK perkutan mungkin merupakan
pilihan yang dapat diterima pada
penderita berisko tinggi untuk strok yang
tidak
cocok
mendapat
terapi
antikoagulasi oral.13

DAFTAR RUJUKAN
1.

Hersi A and Wyse DG. Curr Probl Cardiol


2005; 30:175-234.

2.

Fuster V, Ryden LE, Asinger RW, dkk.


ACC/AHA /ESC Guidelines for the
Management of Patients with Atrial
Fibrillation. Eur Heart J 2001;22:18251932.

3.

ODonnel M, Agnelli G, and Weitz JI.


Emerging therapies for stroke prevention
in atrial fibrillation. Eur Heart J 2005;
7(supplement C),C19-C27.

4.

5.

6.

488

7.

Hart RG, Pearce LA, McBride R, Rothbart


RM, Asinger RW. Factors associated with
ischemic stroke during aspirin therapy in
atrial fibrillation: analysis of 2012
participant in the SPA I-III trials. The
stroke prevention in atrial fibrillation
(SPAF) investigators. Stroke 1999;
30:1223-9.

8.

Olsson SB. New advances in stroke


prevention in atrial fibrillation:
Ximelagatran and direct thrombin
inhibition. Eur Heart J 2004;
6(supplement B): 820-24.

Gage BF, Waterman AD, Shannon W,


Boechler M, Rich MW, Radford MJ.
Validation of clinical schemes for
predicting stroke: results from the
National Registry of Atrial Fibrillation.
JAMA 2001; 285: 2864-70.

9.

Wijffels MC, Kirchhof CJ, Dorland R,


Allessie MA. Atrial fibrillation begets atrial
fibrillation: a study in awake chronically
instrumented goats. Circulation 1995;
92:1954-68.

Van Gelder IC, Hagens VE, Bosker HA


dkk. A comparison rate control and rhythm
control in patients with recurrent
persistent atrial fibrillation. N Engl J Med
2002; 347:1834-40.

10.

Hohnloser SH, Kuck KH, Lifienthal J.


Rhythm or rate control in atrial fibrillationPharmacological intervention in Atrial
fibrillation (PIAF): a randomized trial.
Lancet 2000; 356:1789-94.

11.

McNamara RL, Tamaritz LJ, Segal JB


dkk. Management of atrial fibrillation:
review of the evidence for the role of
pharmacologic therapy, electrical

Atrial fibrrillation investigators; Risk factor


for stroke and efficacy of antithrombotic
therapy in atrial fibrillation: analysis of
pooled data from five randomized
controlled trials. Arch Intern Med 1994;
154:1449-57.

Mappahya A A. Atrium fibrilation theraphy to prevent stroke

conversion, and echocardiography. Ann


Intern Med 2003; 139:1018-33.
12.

Gulseth MP. Ximelagatran: An orally active


direct thrombin inhibitor, Am J Health-Syst
Pharm 2005; 62(4):1451-67.

13.

Onalan O, Crystal E. Left atrial appendage


exclusion for stroke prevention in patients
with nonrheumatic atrial fibrillation. Stroke
2007; 38: 624.

14.

Jordaens L. Treatment of atrial fibrillation


by catheter-based procedures. Europace
2004; 5(suppl.1): 30-5.

15.

Haissaguerre M, Jais P, Shah DC dkk.


Electrophysiological end point for catheter

ablation of atrial fibrillation initiated from


multiple pulmonary venous foci.
Circulation 2000; 101: 1409-17.
16.

ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for


Management of patients with atrial
fibrillation. A report of the American
College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice
guidelines and The European Society of
Cardiology Committee for Practice
Guidelines (Writing Committee to Revise
the 2001 Guidelines for the Managementr
of Patients with Atrial Fibrillation. JACC
2006; 48: 149-246.

489

Anda mungkin juga menyukai