Anda di halaman 1dari 39

TG

SENIN, 01 FEBRUARI 2016

Jika ada satu ikon yang menengarai zaman ini, itu adalah ponsel. Bahasa Indonesia
menerjemahkannya dengan tepat sekali: "telepon genggam". Saya singkat: TG. Ia bisa kita
genggam kapan saja di mana saja, ia juga bisa menggenggam kita kapan saja dan di mana
saja. Hampir tiap kali seseorang duduk sendirian di sebuah pojok, atau dengan temannya
bertemu di sebuah kafe, atau berjejal di bus atau hadir di rapat desa, akan segera HP, eh, TG
dikeluarkan dari saku, pesan di layar sempit itu dibaca diam-diam, dan perhatian berpindah
sejenak. Tak jarang percakapan terhenti.
Kini benda pertama yang ditengok ketika bangun pagi--sebelum lampu dinyalakan--bukan
koran, bukan radio, bukan TV. Tapi TG: si BlackBerry, si Samsung, si Nokia, si Motorola.
Kita memasuki senjakala media cetak, seseorang berkata seperti penujum. Mungkin yang
lebih tepat: kita memasuki dunia yang justru tak mengacuhkan nujuman dan senjakala. Dunia
sedang dibentuk kapitalisme digital. Produksi, pemasaran, persaingan, dan meluasnya
konsumen kini seperti medium digital itu sendiri: meringkus, atau mengabaikan, ruang dan
waktu.
Dua abad yang lalu, "Membaca koran pagi adalah doa pagi seorang realis," kata Hegel di
Eropa. Dengan doa dan koran arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan (dalam doa) atau
oleh "dunia sebagaimana adanya" (melalui berita-berita). Kedua-duanya, kata Hegel,
memberikan rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri.
Saya tak yakin, tapi bisa mengerti: di zaman Hegel, berlangganan koran adalah salah satu
cara merawat stabilitas; koran yang dipilih seseorang adalah surat kabar yang sesuai dengan
seleranya selama ini. Ia tahu "di mana ia berdiri".
Tak mengherankan bila dalam Imagined Communities Benedict Anderson mengutip Hegel.
Tapi ia menambahkan. Seperti doa pagi, membaca koran berlangsung dalam ruang privat
yang hening, dalam lapis dalam kepala kita. Tapi pada saat yang sama, masing-masing kita
sadar bahwa ratusan ribu orang lain yang tak kita ketahui identitasnya melakukan hal yang
sama--tiap hari, sepanjang tahun.
Sebuah "komunitas" pun terbangun dalam imajinasi kita. Kita tak hanya sadar di mana kita
berdiri. Kita sadar dengan siapa kita berdiri. Kesadaran akan satu bangsa--diperkuat lagi oleh
satu bahasa dan satu jenis aksara--tumbuh dari "kapitalisme cetak" ini, menurut thesis
Anderson.
Tapi kini kita tak lagi hidup di zaman Mas Marco bahkan tak di zaman Jakob Oetama. Apa
jadinya jika yang tercetak digantikan dengan yang digital?

Kita tatap layar kecil TG kita. Informasi berdatangan, rapat, cepat. Pesan lalu-lalang. Di
Twitter berita 29 orang terbunuh di Burkina Faso disusul cerita seseorang yang kucingnya
hamil. Praktis tiap tiga detik, sepanjang 24 jam. Balas-membalas, dari pelbagai pojok bumi.
Sementara halaman surat kabar ditata sang editor dengan hierarki antara yang penting dan
yang kurang penting, dalam TG tak ada organisasi itu. Tiap informasi sama posisinya. Dialog
(pesan "interaktif") berlangsung tanpa moderator, tanpa otoritas. Siapa saja, dari orang yang
paling tahu sampai dengan yang paling tolol, hadir di satu arena yang riuh.
Huruf bersilang selisih dengan foto, bunyi-bunyian, dan film. Indra penglihatan, yang dalam
medium cetak praktis mendominasi pencerapan manusia tentang dunia--meskipun
berlangsung sebidang demi sebidang--kini lebur bersama indra pendengaran. Kecuali indra
penghidu dan peraba, tubuh kita bergelut secara simultan dengan manusia dan peristiwa di
mana pun. Sementara koran harian akan jadi basi dalam 24 jam, informasi digital akan
hambar pada detik berikutnya.
Jarak jadi tipis. Kini kita tak membayangkan lagi sebuah kantor, di bagian komunitas
nasional kita, tempat koran yang kita baca diproduksi. Pesan berlangsung dalam
"deteritorialisasi".
Mungkin sebab itu komunitas yang dalam dua abad terakhir terbentuk berkat pengaruh
"kapitalisme cetak" akan berubah. "Bangsa" mungkin akan tak terkait dengan sebuah wilayah
dan kenangan yang sama. Kita sudah banyak dengar tentang globalisasi, perpindahan modal
dan tenaga dari satu negeri ke negeri lain. Mungkin kini pudar pengertian "tanah tumpahdarah".
Tapi saya ragu bahwa akhirnya akan terjadi apa yang dimimpikan lagu Imagine. Kini
memang menonjol, atau timbul lagi, "perkauman" yang tak berpaut pada "bangsa" dan
"teritori". Malah ada penolakan kepada konsep "bangsa". Tapi Michael Billig menulis satu
buku yang serius tapi kocak, Banal Nationalism: nasionalisme hadir tiap hari, tak selalu
mengejutkan: ada waktu nasional, ada iklim nasional, ada makanan nasional.
Kosmopolitanisme pun hanya dalam fantasi.
"Saya belum pernah bertemu dengan banyak orang kosmopolitan dalam hidup saya," kata
Ben Anderson. "Mungkin tak lebih dari lima orang."
Selebihnya, bahkan dengan TG, tetap seperti dulu.

Goenawan Mohamad

Gafatar
SABTU, 30 JANUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Mumpung Romo Imam lagi santai, saya bertanya dengan serius, apakah ada beda antara
agama dan kepercayaan, dikaitkan dengan "bacaan" yang ada di konstitusi. "Apa contohnya?"
tanya Romo. Wah, saya pun semangat. "Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar yang
berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Karena Romo belum bereaksi, saya lanjutkan: "Kalau sama, mestinya kalimat itu disebut:
memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu." Romo tertawa sejenak. "Sampeyan ada-ada saja. Kalau
kalimat sampeyan dipakai, kebanyakan kata 'dan', bahasanya kurang enak. Tentu dijamin
memeluk agamanya dan kepercayaannya dan dijamin pula beribadat sesuai agama dan
kepercayaannya," kata Romo.
Saya kurang puas. "Jadi agama dan kepercayaan itu sama kan? Memeluk kepercayaan juga
dijamin konstitusi seperti halnya memeluk agama, begitu? Ini juga terkait dengan
amandemen UUD yang kedua, ada Pasal 28E ayat 2, bunyinya: Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya." Romo menatap saya: "Apa sih yang sampeyan mau persoalkan, langsung saja."
"Oke, Romo," saya mengalah. "Saya langsung saja. Soal Gafatar, Gerakan Fajar Nusantara,
yang lagi ramai. Mereka diboyong dari Kalimantan ke Jawa. Rumahnya di Kalimantan
dibakar. Tuduhannya, organisasi ini sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Padahal bekas
ketua umumnya, Mahful M. Tumanurung, jelas menyebutkan, Gafatar itu bukan Islam, ada di
luar Islam. Bagaimana bisa sebuah majelis agama yang terhormat menyebutkan kelompok
lain yang di luar agama itu sebagai kepercayaan sesat? Berarti ibadat cara Gafatar ini tidak
dijamin, dong. Sepanjang ibadatnya tak mengganggu ketenteraman, kan mestinya dilindungi.
Malah mereka diusir keluar Kalimantan."
Saya merasa terlalu emosional. Untung Romo tenang: "Mungkin Mahful berbohong dengan
menyebut kelompoknya di luar Islam." Saya menanggapi: "Kalau dia berbohong kan harus
dibuktikan dulu. Ajak dia berdialog baik-baik. Saya setuju pendapat Ketua Muhammadiyah

Jawa Tengah, Tafsir, yang menyebutkan Gafatar berprinsip sosialis humanis, kegiatan mereka
lebih mengutamakan etika universal sebagai landasan moral, orientasinya ekonomi, sosial,
pemberdayaan pertanian. Sayangnya, Tafsir berkata begitu setelah menemui mantan anggota
Gafatar di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, bukan sebelum kampung mereka
dibakar di Kalimantan."
"Kalau begitu, eks Gafatar harus dilindungi. Keyakinan mereka tak boleh direcoki oleh
majelis agama apa pun yang ada di negeri ini. Kita tak boleh menghakimi kepercayaan orang
sepanjang mereka tak melakukan tindak pidana," kata Romo. Saya langsung bilang setuju.
"Mereka itu tekun bertani, tak mencuri, tak berzina, malah merokok saja tidak. Ini kata Ketua
Muhammadiyah Semarang. Apa kelompok seperti itu masih kita berikan ceramah soal
nasionalisme atau ceramah agama yang sudah mereka lepaskan? Mari hormati keyakinan
mereka."
Saya minum, sedikit lebih tenang. "Kesalahan Gafatar adalah banyak orang yang dinyatakan
hilang karena ikut kelompok itu," kata saya. Romo menyela: "Itu pun belum tentu salah.
Mungkin terpaksa menghilangkan diri. Kalau sebuah keluarga hanya satu orang saja yang
berkukuh pindah agama, biasanya dia dikucilkan, lalu menghilangkan diri. Tapi keyakinan
baru itu harus tetap dihormati." Saya mengangguk.

Urgensi Transparansi Perizinan


Televisi
SELASA, 02 FEBRUARI 2016

Ade Armando, Mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia

Kegaduhan terjadi dalam dunia penyiaran Indonesia. Pemimpin Komisi I (bidang penyiaran)
Dewan Perwakilan Rakyat dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menuduh Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) telah bertindak melampaui wewenangnya, melanggar UndangUndang Penyiaran, dan mengancam keberadaan stasiun televisi swasta.
Tuduhan itu dilontarkan oleh Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Wakil Ketua Komisi I
Tantowi Yahya, dan Ketua ATVSI Ishadi SK. Mereka mempersoalkan langkah KPI
mengundang masukan dan catatan dari masyarakat yang akan digunakan untuk evaluasi 10
stasiun televisi terbesar di Indonesia yang harus memperpanjang izin siarannya pada Oktober
2016. Menurut mereka, tindakan mengundang masukan masyarakat tersebut tidak ada dalam
UU Penyiaran dan karena itu harus dilihat sebagai tindakan ilegal dan bertentangan dengan
hukum. Mereka bahkan menyebutkan soal perizinan adalah urusan pemerintah, bukan KPI.
Tuduhan itu sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mengacu pada UU Penyiaran,
KPI berhak sepenuhnya menerima masukan dari masyarakat (Pasal 8) dan memang pihak
yang harus terlibat dalam proses pemberian izin penyiaran (Pasal 33).
Kita mulai dengan logika perizinan lembaga penyiaran. Stasiun televisi beroperasi dengan
menggunakan frekuensi siaran, yang merupakan sumber daya alam yang tersedia bebas
namun jumlahnya terbatas. Pemiliknya, dalam perspektif masyarakat demokratis, adalah
rakyat. Karena itu, pemanfaatannya memang harus selalu mempertimbangkan kepentingan
rakyat dalam prioritas tertinggi.
Masalahnya, karena jumlahnya terbatas, tidak semua pihak bisa menggunakannya. Dalam

sistem penyiaran analog, jumlah pihak yang bisa menggunakan frekuensi siaran untuk televisi
dalam sebuah wilayah hanya maksimal sekitar 14-15.
Karena itu, harus ada pihak yang menentukan alokasi frekuensi. Dengan bahasa lebih
sederhana, harus ada lembaga yang memiliki otoritas untuk menentukan lembaga penyiaran
mana yang memperoleh frekuensi dan mana yang tidak. Dalam konteks itulah, di Indonesia
dikenal Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang harus dikeluarkan lembaga otoritas
penyiaran.
IPP ini pun tidak bersifat permanen. Di Indonesia, bagi stasiun televisi, IPP berlaku selama
10 tahun dan untuk radio lima tahun. Bila ternyata lembaga penyiaran menyalahgunakan
kepercayaan yang diperolehnya, IPP stasiun tersebut bisa saja tak diperpanjang, atau bahkan
dicabut di tengah jalan.
Cara menata penyiaran semacam ini berlaku di seluruh negara yang demokratis. Di Amerika
serikat, lembaga yang memberikan IPP adalah Federal Communications Commission (FCC).
Di Indonesia, kewenangan pemberian IPP dipegang dua lembaga: Kementerian Komunikasi
dan Informatika serta KPI.
Sebelum lahirnya UU Penyiaran pada 2002, izin penyiaran diberikan dengan cara tertutup.
Lima stasiun televisi pertama (RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV) memperoleh izin
karena restu Presiden Soeharto. Pemberian izin berikutnya melibatkan lebih banyak pihak.
Metro TV, Trans, TV7, Global TV, dan Lativi memperoleh izin dari sebuah tim bentukan
pemerintah, yang di dalamnya ada wakil masyarakat. Bagaimana pun, proses pemberian izin
ketika itu tetap tak transparan dan berjarak dari pemantauan masyarakat.
Sejak UU Nomor 31 Tahun 2002 diberlakukan, proses itu berubah menjadi lebih demokratis.
Menurut UU, untuk memperoleh IPP baru atau memperpanjang IPP lama, stasiun televisi
radio dan televisi harus mengurusnya dari "bawah". Jadi, mula-mula, stasiun mengajukan
permohonan kepada KPI, yang kemudian akan mempelajarinya dan mengadakan evaluasi
dengar pendapat.
Hasil evaluasi KPI akan diwujudkan dalam bentuk rekomendasi (menolak atau menerima)
yang dibawa untuk dibicarakan dalam forum rapat bersama (FRB) dengan Kementerian
Komunikasi. Hasil forum rapat bersatu itulah yang akan menentukan apakah permohonan
stasiun televisi atau radio diterima atau tidak. Proses ini diharapkan akan meredam praktekpraktek suap, kolusi, dan nepotisme yang mewarnai pemberian izin pada masa lalu.
Pada Oktober 2016, IPP sepuluh stasiun televisi terbesar tersebut sudah habis. Mereka dulu
memperoleh IPP tersebut dari Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Jalil yang
memang tidak menerapkan pemberian IPP melalui proses yang diamanatkan UU Penyiaran
dengan alasan yang tak bisa dipahami. Sofyan memberi IPP "penyesuaian"--begitu istilah
yang digunakan--pada 2006.

Menteri Komunikasi saat ini, Rudiantara, patuh kepada UU. Dia menyatakan perpanjangan
IPP harus dimulai dari KPI. Rudiantara berulang kali mengatakan rekomendasi KPI akan
sangat menentukan nasib sepuluh stasiun televisi tersebut.
Dalam konteks itulah, KPI kini mulai mengevaluasi IPP sepuluh stasiun televisi tersebut. KPI
tentu saja bisa memanfaatkan otoritasnya, misalnya, berunding dengan stasiun-stasiun
tersebut di belakang ruang tertutup. Namun KPI ternyata tidak "serendah" itu. KPI kini justru
mengundang masyarakat untuk memberikan masukan dan catatan tentang kualitas lembagalembaga penyiaran tersebut.
Jadi jelas, KPI justru sedang berusaha bersikap seterbuka mungkin dan berusaha melibatkan
masyarakat yang memang merupakan pemilik sah frekuensi siaran. Sangat mengherankan
bila ini dituduh sebagai ilegal. Saya gagal memahami logika para pemimpin Komisi I DPR
dan ATVSI tersebut.

Politik Clique di Balik Imlek


JUM'AT, 05 FEBRUARI 2016

Seno Gumira Ajidarma, panajournal.com

Tahun baru Cina, Imlek, adalah konstruksi dua perkara: (1) persilangan sejarah negeri dengan
riwayat pribadi; dan (2) persilangan sejarah itu sendiri dengan mitos. Sejarah negerinya
adalah periode Negara-negara Berperang (475-221 SM) dan pribadi yang diriwayatkan
adalah penyair Qu Yuan (340/339-278 SM), yang bahkan disebut sebagai dewa puisi. Namun,
dalam konteks Imlek, Qu Yuan adalah politikus, tepatnya politikus jujur, yang dasar
riwayatnya disebut semi-historis dan dengan senang hati dimaknai khalayak Tiongkok lebih
jauh sebagai mitos [Burkhardt, 1967 (1954): 27].
Periode Negara-negara Berperang semasa Tiongkok Kuno merupakan laboratorium terbaik
bagi seni perang maupun seni politik. Sun Bin, cicit generasi ketiga dari Sun Wu (alias Sun
Ji, penulis Seni Perang yang termasyhur sebagai Sun Tzu), hidup pada masa ini sebagai ahli
strategi kenamaan Kerajaan Qi. Kitab Seni Perang Sun Bin yang ditulisnya, meski tidak
semasyhur buku nenek moyangnya, sebetulnya adalah penyempurnaan buku Sun Tzu.
Pada masa itu, Tiongkok terbagi menjadi tujuh kerajaan, yakni Qin, Chu, Qi, Yan, Zhao, Han,
dan Wei. Di antara mereka, Qin adalah yang terkuat, serta Qi dan Chu adalah yang terkuat
kedua dan ketiga. Ketujuh kerajaan ini saling berperang, saling berebut kota dan wilayah
nyaris tanpa henti.
Dalam situasi itu, Qu Yuan adalah Menteri Kiri atau Menteri Pengawasan pada Kerajaan Chu,
yang berhasil mendapat kepercayaan Raja Huai karena strategi jitu: selama enam negara
bersekutu, Qin tidak akan gegabah menghadapi enam negara sekaligus. Kepercayaan
berlanjut dengan tugas baru, yang merupakan usulan Qu Yuan sendiri, yakni membuat
rancangan undang-undang untuk perubahan politik dalam negeri.

Para bangsawan dan pejabat tinggi yang merasa kepentingannya terancam, yang dikepalai
Pangeran Zhi Lan, mengutus Menteri Jin Shang membaca isi rancangan, tetapi Qu Yuan
menolak. Intrik dan clique politik ini diketahui mata-mata Kerajaan Qin, yang segera
melaporkannya. Qin pun melakukan manuver untuk memanfaatkan perpecahan, dengan
mengirim Perdana Menteri Zhang Ji agar mengusulkan persekutuan Kerajaan Chu dan
Kerajaan Qin.
Tokoh pertama yang didatangi Zhang Ji adalah Qu Yuan, yang langsung menyatakan
persekutuan enam negara tidak akan berubah. Dari sini Zhang Ji menemui Jin Shang, yang
memperkenalkannya kepada Zhi Lan. Menurut Zhi Lan, dasar kepercayaan Raja Huai kepada
Qu Yuan adalah berhasilnya persekutuan enam negara. Hancurnya persekutuan akan
menghancurkan juga kepercayaan itu.
Zhang Ji tentu menangkapnya sebagai pesan bahwa persekutuan Chu dan Qin hanya mungkin
dengan menyingkirkan Qu Yuan. Zhi Lan lantas mengajak Permaisuri Zheng Xiu masuk ke
dalam clique, yang ternyata segera memberikan usulan-usulan taktis: Zhang Ji agar
memfitnah Qu Yuan menerima suap di depan raja. Dia sendiri akan menggarap Raja Huai
supaya mempercayai fitnah itu. Kepada mereka, Zhang Ji membagikan barang-barang
berharga.
Fitnah ditelan Raja Huai dan dampaknya fatal: Qu Yuan diasingkan, persekutuan dengan Qin
membubarkan persekutuan enam kerajaan, imbalan tanah hanya 6 li persegi dari janji 600 li
persegi wilayah Shangyu sehingga persekutuan batal, dan ketika Chu menyerang Qin, justru
Qin sudah bersekutu dengan Qi. Kerajaan Chu berada di ambang kehancuran, tetapi Qu Yuan
berhasil membujuk Raja Xuan dari Qi agar menarik pasukannya.
Namun, clique Zhi Lan, Zheng Xiu, dan Jin Shang berhasil membuat Raja Huai menugasi Qu
Yuan yang berjasa itu di luar Ying, ibu kota Chu. Untuk seterusnya Qu Yuan menjadi saksi
segala kemunduran Chu maupun persekutuan enam negara: terdesak oleh Qin, Raja Huai
ditawan ketika datang ke Qin untuk berunding, dan mati di Xian Zhang, ibu kota Qin. Raja
Qing Xiang, yang menggantikannya sejak tertawan, menolak usulan Qu Yuan untuk
mempersatukan enam negara melawan Qin.
Setelah Jenderal Bai Qi membawa pasukan Qin membumihanguskan Ying pada 271 SM, Qu
Yuan yang sudah tua mengembara dan sampai ke tepi Sungai Milo di wilayah Hunan pada
278 SM. Tepat tanggal 5 bulan 5, ia mengikat dirinya pada batu besar, lalu terjun ke sungai
(Tung & Liu, 1958). Itulah bunuh diri ritual sebagai bentuk protes melawan jiwa korup pada
masanya. Juga merupakan konsekuensi kedukaan terdalam atas jatuhnya tempat kelahiran
maupun penderitaan bangsanya--yang hanya mungkin terjadi karena clique politik.
Patriotisme, begitulah, tidak pernah kekurangan dimensi politik, meski maknanya diangkat ke
tempat yang lebih tinggi, betapa patriotisme bukan tentang orang-orang dalam keterikatan

negeri, melainkan kehendak demokratisnya [Riff, 1995 (1982): 195-6). Imlek boleh ditafsir
menggarisbawahi kenyataan bahwa memang ada clique dalam politik.

Nostalgia
SENIN, 08 FEBRUARI 2016

Ini tahun 2016. Pada umur 75, masa depan saya jauh makin sedikit ketimbang masa lalu saya.
Pada umur ini orang lazimnya akan gugup dengan masa kini, karena di abad ke-21 masa kini
kian didera masa depan. Teknologi yang mengelilingi kita dipasang bukan untuk sekarang:
kereta api cepat, mobil dengan energi matahari, komunikasi hologram.... Hidup seperti
bergerak tanpa mampir ke hari ini.
Tapi di celah-celah itu ada nostalgia.
Kadang-kadang kita duduk. Di depan kita, sebuah meja kayu mahogani. Meja "Victorian",
sebuah katalog menyebutnya, tapi tak amat penting informasi ini. Meja antik itu tetap
memikat, dari mana pun zamannya, sebab ia langka. Ia bukan seperti meja kebanyakan yang
digelar di toko mebel. Sesuatu yang berbeda, yang tak terduga, memang memberi nilai
tambah dalam kreasi manusia. Tapi ada hal lain: meja itu menarik karena ia bertaut dengan
kesadaran waktu yang kini tak ada lagi.
Ia hasil craftsmanship, atau "kekriyaan", proses kerja yang dalam bahasa Jawa ditandai sikap
"titis, telaten, taberi". Dengan kata lain, ia dibuat dengan gerak tangan yang seakan-akan
menyatu dengan alat, bahan, dan rancangan. Semuanya berjalan dengan bebas, dengan intens,
tak peduli waktu, hingga karya selesai.
Kini kita kehilangan intensitas kerja pra-industrial itu. Rasa kehilangan itu, nostalgia, bukan
kehilangan sebuah milik. Svetlana Boym, dalam The Future of Nostalgia, dengan bagus
menggambarkannya sebagai kehilangan "irama yang lebih perlahan dari mimpi-mimpi kita".
Nostalgia, kata Boym, melawan gagasan modern tentang waktu. Di dunia modern waktu
adalah mesin hitung dalam gerak sejarah, dan gerak sejarah adalah kemajuan.

Tapi nostalgia bukan sepenuhnya pembangkangan. Nostalgia bisa produktif. Ia membentuk


utopianya sendiri, membangun sebuah imaji tentang masa lalu yang utuh, memukau,
menimbulkan rindu. Tapi utopia itu sebenarnya tak menangkap masa lalu itu sebagaimana
adanya. Masa lalu tak akan pernah kita ketahui kembali dengan persis. Sebab itu dalam
nostalgia utopia itu tak mengarah ke sana, tapi "ke samping". Nostalgia, kata Boym, bukan
anti-modern, melainkan "off-modern".
Kata off itu menunjukkan keadaan terlepas, dan dalam hal ini terlepas dari modernitas.
Nostalgia sebenarnya sebuah interupsi terhadap perjalanan yang lurus maju. Ia membawa kita
berbelok dari narasi sejarah yang seakan-akan memastikan bahwa the idea of progress adalah
kebenaran manusia.
Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan kegandrungan kita kepada "yang baru". Tapi
tak berarti kita hendak membuat "yang lama" sebagai kuil tempat kita menutup diri.
Nostalgia hanya mencegah kita jadi "malaikat sejarah" yang duduk dalam kokpit pesawat
pancar gas, yang (berbeda dengan Angelus Novus dalam gambar Paul Klee) hanya menatap
ke depan dengan gugup karena ia tak bisa lagi membedakan mana unggunan puing dari
kerusakan akibat zaman yang bergerak dan mana awan yang menutupi konstelasi bintang
petunjuk arah. Nostalgia tak menyukai malaikat ini.
Tapi terkadang tidak. Terkadang nostalgia membuahkan sesuatu yang juga menakutkan,
ketika ia hanya berarti algia (kerinduan) dan nostos (kembali ke rumah).
Boym dengan tepat melihat, ketika "kerinduan" jadi desakan "kembali ke rumah", dan
menimbulkan energi yang berkecamuk di masyarakat, ia bisa jadi bagian ideologi-ideologi
yang melahirkan monster.
Boym tampaknya ingin mengacu ke nostalgia ala Nazi. Naziisme merayakan Blut und Boden,
pertalian "darah dan tanah". Ikatan primordial itu menolak mereka yang bukan "pribumi",
dan dengan itu Hitler membasmi orang Yahudi, kaum tsigana yang mengembara, dan semua
oknum yang bukan Jerman.
Pasca-Nazi, datang yang lain: orang-orang yang ingin kembali ke ajaran yang "asli-murni"-sebuah utopia yang kaku. Mereka tak mau tahu yang "asli-murni" niscaya berubah ketika
dipandang dari posisi yang berubah. Asal-usul yang mereka kenang hari ini, dalam usia
sekarang, sebenarnya adalah bagian fantasi dan utopia.
Kemudian fantasi itu mereka anggap bukan fantasi dan utopia itu bukan utopia. Mereka
mengubah nostalgia jadi doktrin--sebuah sindrom "fundamentalisme" yang menganggap
masa lalu, manusia, dan teks bisa terbentuk di luar sejarah.
Untunglah, tak semua nostalgia melahirkan rabun itu. Memandang almari antik, di depan
bangunan kota tua, di latar pastoral pedesaan, nostalgia adalah rasa sayu yang berkabung.
Mungkin ini perkabungan manusia modern, yang sekaligus terasa sebagai sebuah
pengalaman estetik: kita bersua dengan sesuatu yang tak disangka-sangka, mempesona, dan
membuat kita terpekur. Kita merasakan hidup sedang memberi hormat kepada waktu.

Goenawan Mohamad

Staf Ahli
SABTU, 06 FEBRUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Janganlah menduga saya mau membahas kasus Masinton Pasaribu versus Dina Aditia
Ismawati. Saya bukan "pengamat sorot mata", juga bukan "pengamat kebijakan publik",
apalagi "pengamat perilaku pejabat", jenis-jenis pengamat yang tak saya ketahui ujungpangkalnya. Bagi saya, Masinton versus Dita diserahkan ke "pengamat sinetron", ibu-ibu
rumah tangga pasti tertarik menonton kalau kisah ini disinetronkan. Ada lelaki dan
perempuan, ada dua partai berbeda, ada batu akik, ada kafe, ada tuduhan orang mabuk, lalu
ada tonjokan.
Maaf, masalah yang saya soroti lebih ilmiah, ibu-ibu rumah tangga tak akan tertarik. Soal staf
ahli yang ada di mana-mana. Staf ahli, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih ahli
daripada staf yang biasa. Ternyata dalam praktek, staf ahli itu adalah jabatan yang tak disukai
banyak orang. Karena tak jelas pekerjaannya. Seorang teman bercerita, bapaknya yang
perwira menengah kepolisian, status jabatannya "sedang parkir". Lo, maksudnya apa?
Dijadikan staf ahli.
Tentu tak semua lembaga pemerintah menjadikan staf ahli dalam status "sedang parkir". Di
DPR, staf ahli itu bergengsi dan persyaratan pengangkatan pun berat. Karena itu, DPR tak
mau menyebutnya staf ahli, melainkan tenaga ahli. Sementara persyaratan anggota DPR
boleh cuma berijazah sekolah menengah atas--kalau nasib apes bisa memakai sertifikat
Kelompok Belajar (Kejar) Paket C--tenaga ahli harus lulus Strata-2 dengan IPK minimum 3.
Hal ini diatur dalam Peraturan DPR Nomor 3 Tahun 2014.
Jumlah tenaga ahli DPR terus bertambah. Pada periode 2004-2009, setiap anggota DPR
didampingi satu tenaga ahli. Pada periode 2009-2014, jumlah tenaga ahli bertambah menjadi

dua untuk setiap anggota DPR. Periode 2014-2019, jumlahnya paling sedikit lima orang
untuk setiap anggota DPR. Begitu banyak tenaga ahli, maka perlu ada tenaga administrasi,
yang jumlahnya dua orang untuk setiap anggota DPR. Jadi, satu anggota DPR minimum-boleh dibaca: paling sedikit--didampingi tujuh orang "tenaga tambahan". Beralasan kalau
ruang kerja DPR semakin sumpek dan perlu diperluas, perlu membangun gedung.
Apa manfaat 5 tenaga ahli dan 2 tenaga administrasi untuk masing-masing anggota?
Tergantung diamati dari mana: sorot mata, kebijakan, atau perilaku. Jika bicara positif,
produk legislasi DPR menjadi sangat bermutu--sedikit-sedikit ada ahlinya. Sidang paripurna
full terus karena setiap anggota mendapat masukan bahan dari tenaga ahlinya untuk berdebat.
Perdebatan pun tajam tapi sopan karena tenaga ahlinya mengingatkan adanya etika dan sopan
santun. Jika ada wakil rakyat yang mengusulkan agar presiden memecat menteri tertentu,
tenaga ahli segera menasihati, "Mbak soal menteri hak prerogatif presiden lo..." Siapa tahu
wakil rakyat itu mantan pemain sinetron yang tak paham konstitusi.
Apa yang terlihat saat ini? Jauh panggang dari api. Dengan didampingi 7 orang tenaga,
produk legislasi DPR justru keteteran. Mutu anggota DPR dibiarkan jadi menurun, baik
karena rekrut di partai asal-asalan maupun karena membeli suara, toh ada banyak tenaga ahli.
Celakanya, tenaga ahli yang diangkat itu serba tak jelas, apakah diseleksi sebelumnya, siapa
yang menyeleksi. Seharusnya ada evaluasi tenaga ahli ini, apa tak kebanyakan?
Anggota DPR Masinton menjemput tenaga ahlinya, Dita, malam-malam di sebuah kafe. Tibatiba keduanya bertengkar dan ada yang main tonjok. Saya gagal paham apa hubungan
anggota DPR dengan tenaga ahlinya malam-malam di kafe jika dikaitkan dengan nasib
rakyat? Jangan-jangan mereka tak paham bahwa gaji mereka dibayar oleh pajak rakyat.

Menunggu Presiden Berantas Amplop


Wartawan
SELASA, 09 FEBRUARI 2016

Sabam Leo Batubara, Mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Presiden Joko Widodo memastikan akan menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional 2016 di
Mataram, Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016. Dalam acara itu, Jokowi akan diberi
panggung untuk berinteraksi dengan kurang-lebih 600 wartawan nasional, petinggi negara,
dan tokoh masyarakat. Supaya pertemuan itu bermakna, bantuan atau kebijakan strategis apa
yang bisa Presiden keluarkan agar kehidupan pers Indonesia semakin sehat?
Jawabannya ada di buku Kepemimpinan Pro Rakyat yang diterbitkan Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) persis menjelang Jokowi dilantik menjadi Presiden. Buku itu memuat tulisan
39 tokoh pers berisi masukan dan harapan masyarakat media terhadap Jokowi. Salah satunya
adalah "Berantas Budaya Amplop" karya Pemimpin Redaksi Merdeka.com, Didik Supriyanto.
Jika harapan pada tulisan itu dipenuhi oleh Presiden, hal itu akan berdampak positif bagi
upaya menyehatkan pers.
Dalam tulisan itu, Didik mengharapkan, "Pemerintahan Jokowi dan seluruh jajarannya harus
memulai tradisi tidak menggunakan uang negara untuk menyogok wartawan melalui kerjakerja kehumasan yang selama ini berlangsung. Pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla harus
mampu menyadarkan jajarannya, dari kementerian, instansi, hingga gubernur dan kepala
daerah, bahwa kultur yang menyuburkan budaya penyuapan dan pemerasan tidak akan
menghasilkan apa-apa. Bagi wartawan, lahan subur yang bertabur uang justru berujung pada

pemerasan dan penipuan. Jika tidak ada pembinaan dari pemerintahan yang baru, lingkaran
setan penipuan dan pemerasan tidak akan pernah bisa diputus."
Mengapa Presiden harus turun tangan memberantas budaya amplop dengan, misalnya,
menerbitkan kebijakan melarang kementerian, kepala daerah, dan unit kerja di bawah
pemerintahannya mengalokasikan dana untuk "mengamplopi" pers?
Budaya amplop jelas merugikan negara dan pers paling tidak dalam empat hal. Pertama,
mengamplopi wartawan berarti menyia-nyiakan anggaran negara. Pada pertengahan tahun
lalu, beberapa media online Jakarta terlibat sengketa pers dengan 37 media lokal di Blitar,
Jawa Timur. Tempo.co, misalnya, meminta pembatalan rencana Pemerintah Kabupaten Blitar
agar 220 kepala desa mengalokasikan sekitar 5 persen, yakni Rp 3,5 miliar, dana desa untuk
pers lokal. Dalam upaya menyelesaikan perkara itu di Surabaya, Agustus tahun lalu, Dewan
Pers menegaskan bahwa pengalokasian dana desa untuk pers adalah tindakan mubazir.
Membiarkan program seperti itu berarti berpotensi menyia-nyiakan anggaran negara sekitar
Rp 1,2 triliun per tahun, yakni 5 persen dari Rp 350 juta kali 74.053 desa.
Gambaran perkembangan media nasional tecermin dari informasi yang disampaikan DPRD
Kota Padang ketika berkunjung ke Dewan Pers Jakarta pada awal Desember lalu. Salah satu
anggota Dewan melaporkan 65 persen anggaran sejumlah media Kota Padang berasal dari
APBD. Tanpa anggaran itu, media tidak mampu eksis.
Apa sikap Dewan Pers atas kenyataan banyak media bergantung pada "belas kasihan"
pemerintah? Pertama, hanya instansi yang bersih yang berani meniadakan amplop untuk pers.
Kedua, pengadaan dana publikasi itu bertujuan sekadar untuk mendukung perselingkuhan
pemerintah dan pers. Ketiga, penggunaan dana itu tidak terbukti telah mendorong penyehatan
pers secara kualitas dan kuantitas.
Dana publikasi triliunan rupiah tersebut semestinya segera dihentikan dan dialihkan ke
program pemberdayaan pers sehat. Selama 70 tahun ini, untuk menghasilkan hakim, jaksa,
camat, intel, perwira militer, dan polisi yang profesional, negara mendirikan sekolah tinggi
untuk mereka. Mereka pada gilirannya dilatih di Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi
(Sespa), Sekolah Staf dan Komandan (Sesko), serta Lembaga Ketahanan Nasional, yang
semuanya dibiayai negara.
Semestinya, untuk tersedianya wartawan bersertifikat kompeten, negara juga harus adil
dengan mendirikan dan mendanai sekolah tinggi jurnalistik di setiap provinsi dan
menyediakan semacam "Sespa" untuk wartawan. Sekarang ini kira-kira terdapat 100 ribu
wartawan di Indonesia, tapi hanya beberapa ribu orang yang berkualifikasi profesional dan
mampu membuat medianya sehat isi dan sehat bisnis.
Kedua, mengamplopi wartawan berarti melemahkan fungsi kontrol sosialnya. Ketiga,
wartawan amplop mencederai kemerdekaan pers. Dewan Pers berpendapat wartawan amplop
adalah penumpang gelap kemerdekaan pers dan mencederai profesi wartawan profesional.

Keempat, membunuh entrepreneurship pers. Pasal 3 Undang-Undang Pers menyebutkan pers


nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal ini bermakna media profesional
hanya bisa sehat bisnis jika prinsip-prinsip keekonomian pers dijalankan.
Membiarkan wartawan berkarya dengan menguber amplop, bukan hanya mematikan
semangat menumbuhkembangkan pers sesuai dengan prinsip-prinsip keekonomian pers, tapi
justru mengundang lebih banyak preman dan pengangguran untuk meramaikan pers abalabal.

Pelajaran Kebiri Kimiawi dari California


JUM'AT, 12 FEBRUARI 2016

Gita Putri Damayana, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
dan Studi S-2 University of Washington

Langkah Presiden Joko Widodo menyiapkan draf Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) tentang pemberatan hukuman terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap
anak dengan cara kebiri patut mendapat perhatian. Perhatian Presiden terhadap kekerasan
seksual pada anak ini harus dihargai setinggi-tingginya. Anak, dengan segala
keterbatasannya, adalah kelompok masyarakat yang paling rentan menjadi korban kekerasan.
Di Amerika Serikat, pengebirian secara kimiawi ini sudah dilakukan oleh beberapa negara
bagian, seperti California, Florida, Montana, dan Louisiana. California adalah negara bagian
pertama yang memberlakukan hukuman kebiri kimiawi pada 1996.
Dasar hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah Pasal 645 California
Criminal Code. Menurut hukum California, terapi kebiri kimiawi dimulai sepekan sebelum
pelaku dibebaskan dari penjara dan berlanjut terus sampai dinilai cukup oleh pemerintah.
Hormon kimia yang diberikan kepada terdakwa adalah medroxyprogesterone acetate atau
sejenisnya, yang berfungsi menekan berahi pelaku. Hukuman kebiri kimiawi ini dijatuhkan
oleh pengadilan bagi terdakwa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah
usia 12 tahun dengan bukti tak terbantahkan (beyond reasonable doubt) untuk kedua kalinya.
Artinya, bila seseorang baru pertama kali melakukan kekerasan seksual terhadap anak,

pengadilan tidak serta-merta menjatuhkan hukuman tersebut. Pengadilan juga tidak


memisahkan terdakwa yang mengidap paedofilia dengan mereka yang tidak memiliki
kecenderungan paedofilia.
Setelah hampir 20 tahun berjalan, pemberlakuan kebiri kimiawi ini mendapat kritik keras dari
berbagai kalangan. Pemberian hormon itu ternyata hanya efektif untuk menekan berahi
pelaku laki-laki. Sedangkan untuk pelaku perempuan, fungsi hormonalnya berubah menjadi
alat pengendali kelahiran (KB).
Pemerintah juga tak diwajibkan menyediakan terapi psikologis bagi pelaku. Hal ini juga
mendapat kritik keras karena pembuat undang-undang mengabaikan pentingnya perlakuan
yang berbeda bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang mengidap paedofilia atau
yang tidak.
Pertimbangan utama pasal kebiri kimiawi di California adalah untuk mencegah pelaku
mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Artinya, target pencegahannya bukan untuk
(calon) pelaku baru, melainkan untuk mencegah residivisme.
Pelaku kekerasan (bukan pelanggar yang berulang) bahkan bisa mengambil langkah yang
lebih drastis, yaitu kebiri melalui operasi, sehingga tidak dihukum penjara. Kebiri kimiawi
bisa menjadi pilihan untuk pelaku kekerasan seksual yang baru pertama kali melakukan
kejahatannya sebagai alat tawar-menawar hukuman dengan pihak penuntut umum.
Hal ini mengingat biaya kebiri kimiawi hanya US$ 160 per bulan, sedangkan biaya hidup
seorang narapidana di penjara California adalah US$ 47 ribu. Bila pelaku memilih dikebiri
kimiawi, beban anggaran negara berkurang.
Dari sisi pencegahan, pemerintah federal AS sejak 1996 sudah memberlakukan Megan's Law,
yaitu kewajiban negara bagian untuk menginformasikan ke publik mengenai domisili pelaku
kekerasan seksual. Megan's Law secara khusus mengatur kewajiban pelaku kekerasan seksual
terhadap anak untuk memberitahukan perpindahan tempat tinggal atau tempat kerjanya ke
aparat penegak hukum. Pemerintah federal AS menyediakan situs National Sex Offender
Public Website, yang menjadi pangkalan data pelaku kekerasan seksual nasional.
Dalam konteks Indonesia, pemerintah bisa memasukkan soal pemberatan kejahatan
kekerasan seksual dalam pembahasan revisi KUHP yang masih berlangsung di parlemen.
Presiden tidak perlu mengeluarkan perpu karena tidak ada alasan kegentingan yang memaksa
dan tak ada kekosongan hukum. Pasal 287 sampai 295 KUHP serta Pasal 81, 82, dan 88
Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengatur hukuman untuk pelaku kekerasan
seksual terhadap anak.
Pengalaman dari California menunjukkan bahwa kebijakan yang disusun melalui proses
politik normal dengan mempertimbangkan aspek preventif saja masih penuh kritik dan
tantangan.

Badui
SENIN, 15 FEBRUARI 2016

Ada sebuah cerita tentang seorang Badui yang hidup jauh dari Damaskus, jauh di pedalaman
Suriah, yang kecewa ketika ia naik kereta api buat pertama kalinya. "Aku tak puas," ia
mengeluh kepada temannya. "Karcisnya mahal, padahal perjalanan berakhir terlalu cepat."
Ia mungkin terdengar bodoh, seperti umumnya cerita orang kota yang mengolok-olok orang
udik, tapi sebenarnya si Badui mengingatkan orang-orang modern satu hal: mencapai sesuatu
dengan "cepat", yang bagi kebanyakan kita merupakan formula keberhasilan di zaman ini,
bisa tak sepadan dengan nilai pengalaman. Kecepatan memang bisa menghasilkan, tapi pada
saat yang sama menepis sesuatu yang lain.
Mengutamakan "cepat" hanyalah cara memandang waktu secara tertentu: waktu sebagai
terowongan. "Cepat" berarti terowongan itu pendek. Menganggap itu hal terpenting berarti
tak menganggap ukuran yang lain perlu--bahkan tak melihat kemungkinan lain di luar
terowongan itu.
Si Badui, misalnya. Ia tak memandang waktu sebagai sesuatu yang tertutup. Mungkin ia
membayangkannya sama dengan gurun pasir yang utuh yang nyaris tanpa tepi. Berhari-hari
ia biasa mengarunginya. Di atas untanya yang setia, ia menuju suatu titik, tapi ia praktis
seperti seseorang yang menjelajah. Ia mengikuti jadwalnya sendiri yang tak dituliskan dengan
tegas--dengan kemungkinan yang belum pasti.
Contoh lain orang yang berada dalam waktu yang tak sebagai berada dalam terowongan
adalah seorang penyair ketika menulis sebuah sajak. Ia bukan seorang wartawan yang
menulis dengan deadline. Ia bisa mulai menulis kapan saja, dan di saat itu ia sama sekali tak
tahu kapan ia merasa pas dengan kalimat yang akan ditulisnya dan apa pula yang akan

diungkapnya sebagai kata akhir. Tak ada kepastian. Tapi prosesnya intens, dan
pengalamannya kaya. Ia seakan-akan berada di antara yang kekal dan tak kekal. Seperti Amir
Hamzah:
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku...
"Kadang-kadang bepergian sedikit lebih baik ketimbang tiba." Sometimes it's a little better to
travel than to arrive.
Kalimat itu diucapkan sang narator dalam Zen and the Art of Motorcycle Maintenance. Dan
dengan itu, sang narator, mungkin sang pengarang sendiri, Robert M. Pirsig, berangkat dari
Minnesota ke Carolina Utara di atas sepeda motornya. Ia berdua dengan anaknya, Chris, yang
baru berumur 12 tahun.
Dari sinilah Pirsig menulis. Tapi seperti dikemukakannya, buku non-fiksi ini (yang kemudian
laku terjual sebanyak lima juta eksemplar) bukan tentang Buddhisme Zen dan bukan pula
tentang perawatan motor.
Pirsig sibuk dengan yang lain. Sepanjang perjalanan 17 hari itu pikirannya penuh dengan
dialog, kenangan, cerita tentang Phaedrus, si filosof yang tak diakui yang sebenarnya dirinya
sendiri di masa lalu, yang ingin membahas satu nilai kehidupan yang disebut "Quality".
Demikianlah ia berjalan. Tak penting agaknya ke mana dan kapan ia akan tiba. Seperti sang
Badui, ia memilih berada dalam waktu sebagai ruang terbuka. Seperti halnya ia memilih
sepeda motor, bukan mobil.
Dalam mobil kita selalu dalam sebuah kompartemen, dan karena kita sudah terbiasa dengan
itu kita tak menyadari bahwa melalui jendela mobil semua yang kita lihat hanya ibarat TV.
Kita jadi pengamat yang pasif dan semua bergerak di depanmu dengan membosankan di
dalam satu bingkai.
Di atas sepeda motor, bingkai itu lenyap. Kita sepenuhnya dalam kontak dengan semua, tak
cuma mengamati....
Dalam kontak dengan semua itu, "cepat" tak merupakan soal yang penting. Yang penting
liyan, orang lain, dunia tempat kita ada: anak, sahabat, lanskap musim panas, itik-itik liar,
burung hitam, pegunungan, badai, mimpi.... Bahkan juga benda yang selama ini hanya alat,
seperti sepeda motor Pirsig itu, misalnya, yang ia rawat dengan telaten dan mesra.
Ada sesuatu yang seperti si Badui di tengah padang pasir yang membuat kita, juga Pirsig,
bisa merasa betah dengan itu semua.
Kita tak menaklukkan gunung dengan yang disebut Pirsig sebagai ego-climbing. Orang yang
membawa egonya akan sampai di puncak namun tetap tak berbahagia. Ia merasa tak
menemukan sesuatu yang ajaib. Ia tak menemukan sesuatu yang ajaib karena keajaiban itu,
yang berada di sekitarnya sejak awal, dalam benda-benda sehari-hari, tubuh dan perasaan
hatinya sendiri, tak pernah ditengoknya, dan tak pernah mempesonanya. Ia seperti rabun
dalam terowongan waktu.

Kita lebih kagum kepada sang Badui, yang melepaskan diri dari terowongan itu. Di padang
pasir yang tak terukur ia memungut segenggam pasir. Segenggam pasir itu--dan berjuta-juta
isi dan bentuknya yang beraneka tak tepermanai--baginya sebuah dunia. Antara kekal dan tak
kekal.

Goenawan Mohamad

Koalisi
SABTU, 13 FEBRUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Romo Imam menepuk jidatnya begitu membaca "teks berjalan" di layar televisi yang
mengabarkan ada 25 orang meninggal dunia di Sleman, Yogyakarta, karena minum minuman
oplosan. "Media sangat aneh, pantas Presiden Jokowi pun memberikan kritiknya. Ada 25
nyawa melayang karena minuman oplosan tapi beritanya hanya sekilas, sementara satu orang
mati minum kopi beritanya menggegerkan Nusantara," katanya.
Saya menanggapi dengan santai. "Kita mudah tergiring dengan opini yang dibentuk media
massa. Makanya Romo, mari kita membicarakan hal-hal yang mulai dilupakan orang," kata
saya. "Misalnya, kita bicara soal reshuffle kabinet."
Romo tampaknya terpancing. "Reshuffle kabinet itu kan berangkat dari isu partai oposisi yang
membelot mendukung pemerintah. Koalisi Merah Putih katanya mulai ditinggalkan beberapa
partai, lalu muncul dugaan Jokowi akan memberikan hadiah menteri kepada partai yang baru
mendukung. Padahal Jokowi belum tentu memberikan jatah itu. Lagi pula partai yang
hengkang dari koalisi itu kan cuma dagelan."
Ah, saya terkesiap. Romo melanjutkan, "Koalisi Merah Putih dibentuk untuk membendung
partai-partai yang mendukung Jokowi. Karena calon presiden mereka kalah dan tak mungkin
dapat jabatan di eksekutif, koalisi bergerilya menguasai pimpinan parlemen. Secepat kilat
membuat undang-undang baru untuk merebut jabatan penting di parlemen. PDI Perjuangan
sebagai pemenang pemilu yang secara etika politik mestinya menjadi pimpinan DPR, tak
berdaya. Kini, setelah pimpinan parlemen mereka pegang, incaran selanjutnya jabatan
eksekutif, berebut jatah menteri. Jalan satu-satunya adalah seolah-olah mendukung
pemerintah."

"Seolah-olah, Romo?" saya kaget. "Ya, seolah-olah. Kalau mereka betul mendukung Jokowi
dengan ikhlas, semestinya mereka rela pimpinan parlemen dikocok ulang dan diberikan
kepada partai pemenang pemilu. Anggap sebagai imbalan agar Jokowi dan partai pengusung
semakin mesra. Tapi itu tak terjadi. Lagi pula, kalau mereka serius mendukung Jokowi,
kebijakan Jokowi pun harus didukung. Ini kan tidak," kata Romo.
Saya menyela, "Kebijakan apa yang tak didukung?" Romo menjawab, "Satu contoh saja,
revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sembilan fraksi di DPR menyetujui
isi draf revisi itu dalam rapat di Badan Legislasi DPR pada Rabu lalu. Yang menolak hanya
Partai Gerindra. Sehari setelah itu, Partai Demokrat berbalik mendukung Gerindra. Padahal
Gerindra merasa ditinggalkan sendiri di Koalisi Merah Putih dan Demokrat bukan partai
koalisi pendukung Jokowi."
Romo melanjutkan, "Malah pengusul draf itu Ichsan Soebagyo dari PDI Perjuangan. Yang
direvisi terkait jabatan komisioner KPK, Dewan Pengawas, wewenang SP3 oleh KPK,
penunjukan penyidik dan penyelidik independen oleh KPK, serta wewenang menyadap. Ini
semua memperlemah KPK dan yang ditentang Jokowi."
"Wah, kalau begitu, koalisi tak ada artinya," saya memotong. "Persis begitu," jawab Romo
cepat. "Koalisi itu hanya mengincar jabatan, bukan mendukung kebijakan. Ada koalisi atau
tidak, koalisi gendut atau kurus, sama saja selama partai-partai bertujuan mengumpulkan duit
untuk pemilu mendatang. Apalagi Pemilu 2019 berbeda, presiden dan DPR dipilih serentak
dan setiap partai peserta pemilu berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tak perlu
kuota suara, yang diperlukan duit. Maka jadi aneh tabiat partai sekarang, menyebut
pendukung pemerintah tetapi menelikung. Yang berada di luar pemerintah justru mendukung
Jokowi."
Saya nyeletuk, "Terbalik-balik dan memang lucu."

Patung dan Islam yang Mematung


RABU, 17 FEBRUARI 2016

Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

Pembakaran patung Arjuna di Purwakarta tak ayal memunculkan lagi pertanyaan: betulkah
Islam mengharamkan patung? Apakah patung niscaya identik dengan syirik? Sebetulnya ini
pertanyaan lama yang pernah dibahas oleh dua tokoh gerakan pembaruan Islam, Muhammad
Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).
Dalam kitabnya, Fatawa, Ridha membahas hukum lukisan dan patung dengan memeriksa
sejumlah hadis yang bernada keras terhadap pembuat patung dan pembuat gambar. Misal,
hadis yang bunyinya: "Sesungguhnya orang yang paling besar siksanya di hari kiamat
adalah para penggambar/pematung." Di Hari Akhir, penggambar/pematung akan ditantang
oleh Allah untuk memberi roh kepada karya-karyanya karena mereka telah menyaingi Tuhan.
Ridha juga menelaah pandangan para ulama klasik yang mengharamkan lukisan dan patung.
Ridha lalu menyimpulkan, patung diharamkan karena diperlakukan sebagai berhala yang
disembah. Selain itu, patung diharamkan agar orang-orang di kemudian hari tidak
menjadikan patung sebagai sesembahan. Dasarnya adalah sadd al-dzari'ah, yakni melarang
sesuatu karena dianggap bisa menjadi perantara bagi perbuatan haram.
Tapi, Ridha juga menegaskan bahwa hukum berdasar sad al-dzari'ah sifatnya tidak
permanen. Sesuatu bisa dianggap sebagai perantara keharaman pada zaman dan tempat
tertentu, tapi pada tempat/zaman lain tidak.
Dengan kerangka semacam itulah Ridha berpendapat bahwa keharaman patung di masa lalu
tak bisa serta-merta diterapkan pada era modern. Bagi Ridha, pada masa modern, lukisan dan
patung justru bisa bermanfaat untuk publik, misalnya dalam kedokteran, ilmu pengetahuan,
kemiliteran, kesenian, dan sejarah. Patung tak bisa serta-merta dihukumi haram, melainkan

mubah, karena tak terdapat tujuan penyembahan di situ. Bahkan tak jarang, patung dan
lukisan diperlukan demi kemanfaatan publik, seperti pendidikan dan estetika.
Fatwa Ridha di atas sejalan dengan pandangan gurunya, Syaikh Muhammad Abduh, yang
menulis tentang lukisan dan patung sehabis lawatannya ke Sisilia, Italia. Abduh takjub
dengan orang-orang Sisilia (Al-Shiqliyyun) yang memiliki kepedulian kuat terhadap seni,
khususnya patung dan lukisan. Kepedulian mereka untuk merawat patung dan lukisan mirip
dengan yang dilakukan kaum muslim pada awal sejarah Islam yang menghafalkan puisi-puisi
pra-Islam.
Kalau lukisan dan patung adalah "puisi yang terlihat, tapi tak terdengar," maka puisi adalah
"lukisan yang terdengar, tapi tak terlihat," demikian perkataan Abduh. Sebagaimana puisi,
lukisan dan patung berfungsi sebagai semacam lumbung bagi ragam ekspresi kehidupan
individu dan komunitasnya. Seperti sastra, lukisan dan patung adalah diwanul hai'at wal
ahwal al-basyariyyah, buku yang menampung ragam situasi dan hal ihwal manusia sekaligus
menggambarkan manusia dalam berbagai situasi kejiwaan, emosi, dan kepribadiannya.
Menurut Abduh, patung dan lukisan dulu diharamkan karena dianggap menyebabkan orang
lupa Tuhan (lahwun) dan menjadi obyek penyembahan. Itu terkait erat dengan tradisi
paganisme masyarakat Arab pada masa itu. Patung dan lukisan saat itu menjadi sarana bagi
perbuatan syirik. Implikasi logisnya, ketika alasan yang mengarah pada syirik tersebut tidak
lagi ditemukan saat ini, otomatis status hukumnya berubah. Tidak lagi haram, melainkan
mubah.
Tapi, bagaimana jika patung dan lukisan yang ada sekarang kembali jadi sarana/obyek
sesembahan di masa depan? Untuk menghindari kemungkinan munculnya syirik di masa
depan, apa tidak lebih baik lukisan dan patung dilarang saja? Menepis pertanyaan ini, Abduh
pun menyitir analogi yang sarkastis: lidah punya kemungkinan untuk berbohong. Apakah
karena itu lantas perlu diikat, biar tidak bisa bicara sama sekali?
Walhasil, baik Abduh maupun Ridha sama-sama mempertimbangkan perubahan ruang dan
waktu dalam melihat hukum patung. Pengharaman patung di masa lalu terkait dengan tujuan
pembuatannya, yakni untuk disembah. Apabila tak ada tujuan itu, otomatis keharamannya
tidak berlaku.
Tentu Ridla dan Abduh menyadari adanya hadis yang mengecam patung dan lukisan. Tapi
mereka berdua juga sadar, putusan hukum syar'i tidak bisa hanya berpatokan pada satu-dua
hadis saja, melainkan harus juga mempertimbangkan alasan atau illah yang mendasari hukum
tersebut. Ini sejalan dengan kaidah fikih Al hukmu yaduru ma'al 'illah wujudan wa 'adaman,
berlaku tidaknya suatu hukum bergantung pada ada-tidaknya alasan yang mendasari hukum
tersebut.
Di sini Abduh dan Ridha menawarkan suatu kontekstualisasi hukum Islam, terutama dalam
urusan di luar domain ritual (ibadah murni). Bagi mereka, pemahaman kita tentang hukum
Islam harus selalu diperbarui sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, dengan menjadikan

kemaslahatan sebagai patokan utamanya. Dengan cara itulah Abduh dan Ridha memaknai
klaim Islam sebagai shalihun li kulli zaman wa makan, relevan untuk segala waktu dan
tempat.
Tanpa kontekstualisasi, Islam justru akan terpenjara oleh masa lalunya sendiri, menjadi
agama yang mematung. Itulah keislaman sementara kaum muslim yang, dalam istilah Bung
Karno, gagal mengambil "api dan saripati Islam" dan hanya berkutat pada abu dan ampasnya.
Dan, itu ditunjukkan oleh mereka yang di hare gene getol menghancurkan patung.

Mengapa Kasus Novel Baswedan


Harus Dihentikan
JUM'AT, 19 FEBRUARI 2016

Bivitri Susanti, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Atas nama peraturan dan prosedur, esensi keadilan sering kali terpinggirkan. Ini terlihat
misalnya dalam tulisan "Posisi Hukum Penarikan Berkas Novel Baswedan" di Koran Tempo,
15 Februari 2016. Opini tersebut harus ditanggapi agar pandangan publik pembaca tidak
tersesat di belantara teks peraturan.
Kasus Novel Baswedan bukan kasus kriminal biasa. Ia adalah salah satu kasus penegakan
hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Kita sering
mengistilahkannya dengan "kriminalisasi", meski istilah ini kurang tepat dalam ilmu hukum.
Dalam "kriminalisasi", wewenang penegakan hukum digunakan oleh lembaga yang
berwenang seolah-olah untuk menegakkan hukum. Padahal tujuannya bukan menegakkan
hukum, melainkan merugikan orang yang dikehendaki.
Kita semua setuju keadilan harus ditegakkan bagi semua orang. Tak terkecuali bagi para
pencuri sarang burung walet yang mengisahkan penganiayaan oleh oknum polisi pada 2004.
Namun, kita juga harus kritis dan mampu melihat peristiwa ini dalam kacamata "kewajaran"
di penegakan hukum dan keadilan.
Banyak indikasi yang jelas menunjukkan keterkaitan antara kasus Novel dan kerja Komisi
Pemberantasan Korupsi yang terkait dengan kepolisian. Harus diingat, kasus yang dituduhkan
kepada Novel terjadi lebih dari satu dekade lalu. Sekelompok polisi di bawah pimpinan
Novel dituduh menganiaya sekelompok pencuri sarang burung walet. Peristiwa itu terjadi
saat Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004.

Setelah peristiwa itu, Novel sebagai pemimpin satuan menjalani pemeriksaan internal
kepolisian dan mendapat sanksi teguran. Ia tetap menjabat sampai Oktober 2005, dan kasus
dianggap selesai.
Tapi, kasus ini tiba-tiba menyeruak pada 2012. Saat itu, Novel selaku penyidik KPK tengah
menyidik petinggi kepolisian, Djoko Susilo, dalam kasus korupsi simulator SIM. Kita masih
ingat kehebohan yang timbul karena kepolisian menangkap Novel di gedung KPK.
Atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus ini tidak diteruskan, tapi tanpa
kejelasan secara hukum. Sampai kemudian kasus ini mencuat lagi ketika KPK berseteru
dengan kepolisian pada 2015 dalam kaitan dengan langkah KPK menjadikan Budi Gunawan
tersangka. Novel ditangkap seminggu setelah pengumuman penetapan tersangka tersebut.
Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, jaksa yang sudah melimpahkan kasus Novel
ke Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu menarik berkas kasus tersebut. Dasarnya adalah Pasal
144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu mengatakan penuntut dapat
menarik surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.
Opini di Koran Tempo pada 15 Februari lalu mengabarkan bahwa penarikan tidak dapat
dilakukan karena hari sidang sudah ditentukan. Perlu dicatat, pada saat jaksa penuntut
menarik dakwaan, penetapan hari sidang belum disampaikan oleh PN Bengkulu kepada jaksa
maupun pihak Novel. Pengetahuan publik mengenai tanggal sidang diketahui dari media
massa berdasarkan keterangan bagian hubungan masyarakat PN Bengkulu. Padahal, dalam
praktek hukum, semua pihak harus mendasarkan tindakannya pada dokumen resmi, bukan
pemberitaan.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh Kejaksaan adalah deponering. Deponering
atau seponering adalah istilah untuk wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan.
Ada pendapat, deponering hanya dapat dilakukan sebelum pelimpahan perkara oleh jaksa.
Benarkah demikian? Sebenarnya, selama sidang belum dimulai, Jaksa Agung dapat
menggunakan wewenangnya. Dalam kasus Novel, berkas perkara sudah kembali ke tangan
jaksa dan belum mencapai proses penuntutan di pengadilan. Dengan begitu, wewenang Jaksa
Agung mengesampingkan perkara bisa diterapkan.
Dijelaskan dalam UU Kejaksaan, "kepentingan umum" dalam konteks pengesampingan
perkara adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Kasus
Novel mengandung kepentingan masyarakat dan negara karena kasus itu adalah bentuk
paling nyata dari penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk menegakkan hukum semata,
melainkan juga untuk tujuan lain.
Kepentingan kasus Novel tidak bisa diukur dari statistik kerja atau jumlah pekerja KPK, tapi

dampak politik yang bisa timbul karena kasus ini. Bila kasus tidak dikesampingkan, akan
timbul persepsi yang salah bahwa wewenang atau kekuasaan bisa digunakan bila pemiliknya
merasa terusik. Maka, "kriminalisasi" bisa dijadikan modus serangan balik. Bukan mustahil
perkara serupa akan muncul dalam siklus setiap kali suatu lembaga merasa terusik.
Penarikan dakwaan yang dilakukan oleh jaksa penuntut pada 2 Februari lalu adalah upaya
untuk membereskan kasus ini. Tapi, apakah ini "intervensi kasus"? Campur tangan Presiden
dalam membereskan suatu penyimpangan haruslah dibedakan dengan intervensi berniat jahat.
Bedanya memang tipis. Namun, dalam dunia hukum, niat atau motif selalu dijadikan salah
satu dasar dalam menimbang suatu peristiwa. Dalam sebuah penalaran hukum (legal
reasoning), hukum pada akhirnya tidak bisa ditimbang berdasarkan teks belaka.

Fayadh
SENIN, 22 FEBRUARI 2016

Fayadh tak jadi dihukum mati. Kabar di awal Februari ini mengatakan: sebagai gantinya, ia
dihukum delapan tahun penjara dan dicambuk 800 kali.
Ashraf Fayadh penyair, umurnya 36 tahun, ia kurator seni, ia menerbitkan sebuah kumpulan
sajak (saya terjemahkan dari judul Inggris) Instruksi di Dalam, dan ia ditangkap Polisi Syariat
pada 2013. Oleh hakim Arab Saudi ia dianggap murtad. Hukumannya dipenggal atau
digantung.
Untung nasibnya diketahui dunia luar. Dari pelbagai penjuru protes dikemukakan, dan
Kerajaan Saudi mundur--setengah tapak. Delapan tahun disekap dan didera cambuk 800 kali
bukan hukuman yang enteng. Instruksi di Dalam tetap dianggap kejahatan serius.
Saya belum pernah membaca lengkap sajak-sajak seniman asal Palestina ini. Beberapa buah
saya temukan di internet dalam terjemahan Inggris; salah satunya (dalam versi Indonesia
saya) merupakan statemen yang lamat-lamat, mungkin tentang ketakbebasan, mungkin juga
bukan:
ia tak berhak berjalan, bagaimana pun,
bergoyang, bagaimana pun,
menangis, bagaimana pun
ia tak berhak membuka jendela
hati sendiri, buat melepas air mata, sampah,
dan udara lagi
Sajak itu dilanjutkan dengan semacam pengingat, entah kepada siapa: kau cenderung lupa,
kau adalah sepotong roti.

Aneh sekali puisi: beberapa puluh patah kata cukup membuat sebuah kekuasaan dengan
senjata lengkap dan lembaga perkasa merasa harus membungkamnya. Hari ini Fayadh. Di
masa lain, di Uni Soviet di bawah Stalin. Penyair Osip Mandelstam dihujat, ditangkap,
disingkirkan, akhirnya dibuang dan mati nyaris tak diketahui di Siberia. Juga karena sejumlah
sajak. Ia dianggap tak patuh kepada garis yang ditetapkan Partai untuk kesusastraan, dan
akhirnya dianggap menyerang Stalin.
Bagaimana para penguasa itu--hakim Saudi dan pembesar Partai Komunis--menganggap
interpretasi mereka adalah tafsir yang benar, sementara mungkin makna itu bukan niat
penyairnya?
"Dalam karya sastra yang murni," kata penyair Prancis Stephane Mallarme di abad ke-19,
dalam Crise de Vers, "sang penyair menghilang sebagai pembicara dan menyerahkan
tugasnya kepada kata-kata."
Kata-kata puisi lahir tanpa blueprint, dan hidup bak anak yatim. Begitu sebuah sajak kau
tafsirkan, kata-katanya praktis kau adopsi. Ada satu anekdot tentang Picasso. Seorang opsir
Jerman masuk ke apartemen pelukis terkenal itu dan melihat foto Guernica, mural besar
Picasso yang mengungkapkan keganasan perang dan kepedihan penduduk Kota Guernica di
Spanyol. Opsir Jerman itu bertanya: "Tuan yang membuat itu?" Jawab Picasso: "Bukan, Tuan
yang membuatnya."
Picasso mungkin hendak menunjukkan kekejaman Nazi di mural itu, tapi mungkin juga ia
hendak menunjukkan bahwa begitu sang opsir membuat tafsir atas karya itu ia pun
mengadopsi maknanya--apa pun makna itu. Sang perupa tak ikut lagi.
Tapi Polisi Syariat Saudi, apparatchik Soviet, tak akan mudah mempercayai keterangan
Mallarme dan tak akan menyadari bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka
baca dan tafsir. Orang-orang itu, yang pakaian dan isi kepalanya diseragamkan, terbiasa
membuat asumsi bahwa kata-kata berjalan lurus dari otak ke kertas cetak, dan bahwa makna
selalu transparan dan gampang disepakati secara serentak, bahwa kata tetap seperti semula
padahal telah disentuh pelbagai emosi dan analisis.
Bukankah dokumen dan perintah atasan yang mereka terima selalu seperti itu?
Dan di situlah soalnya. Aparat kekuasaan, apalagi yang punya niat mengatur hidup manusia
sampai ke lubuk hati dan imajinasi, selalu punya khayal: kekuasaan yang menghadirkan
mereka akan selalu sanggup mencakup dunia. Ironisnya, bagi mereka kekuasaan itu justru
selalu genting. Tiap kata bisa mereka anggap peluru yang ditembakkan dengan peredam.
Mungkin tak sepenuhnya salah. Kita hidup dalam masa Foucault. Kita makin menyadari
bahwa kekuasaan, yang bersifat relasional, sebenarnya selalu terkait dengan "wacana"
(discourse)--dengan persuasi, komunikasi, melalui penggunaan bahasa, pengukuhan simbolsimbol, perumusan hukum, pengelolaan ritual, juga penggunaan gertak, teror, dan kekerasan.
Senantiasa untuk menegakkan legitimasi.
Tapi wacana, sebagaimana juga kekuasaan, tak pernah berada di satu tempat. Ada yang
menguasai, ada yang dikuasai, tapi selalu interaktif dan tak stabil. "Wacana menjadi wahana

kekuasaan," kata Foucault, "juga memproduksi dan meneguhkannya, tapi dalam pada itu
menggerogoti dan menelanjanginya, hingga membuat kekuasaan keropos dan bisa
dirintangi."
Kekuasaan dengan demikian tak pernah stabil, di masa lalu, apalagi di masa "modernitas
yang cair" ini.
Sajak-sajak Fayadh mungkin terasa menunjukkan ketakstabilan itu. Ia berbicara tentang
"tuhan-tuhan yang telah kehilangan harga dirinya".

Goenawan Mohamad

Kalijodo
SABTU, 20 FEBRUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Seperti halnya Kramat Tunggak, nama Kalijodo bakal segera hilang dari peredaran di Jakarta.
Hilang sebagai lokalisasi prostitusi menyusul kawasan sejenis di kota yang berbeda, Gang
Dolly di Surabaya. Tapi ini tidak serta-merta menghilangkan praktek pelacuran itu sendiri.
Bahwa Menteri Sosial punya gagasan Indonesia bebas dari prostitusi pada tahun 2019, lebih
baik hal itu dipahami sebagai berakhirnya era lokalisasi, resmi atau pun tidak. Bukan praktek
prostitusi yang lenyap.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sejatinya bekerja biasa-biasa saja,
tak ada yang istimewa. Kawasan Kalijodo itu tanah negara. Peruntukannya adalah ruang
terbuka hijau. Bangunan yang ada di sana tergolong liar. Jikapun pada bangunan itu terpasang
listrik dari PLN secara resmi, lalu ada warga yang membayar pajak bumi dan bangunan
(PBB), ditambah pajak dari usaha kafe yang ada di sana, anggap saja itu sebuah "kesalahan
massal" yang dilakukan berbagai instansi. Termasuk, misalnya, di tanah negara yang
diserobot untuk permukiman, tiba-tiba ada rukun tetangga dan rukun warga yang diakui sah
oleh lurah.
Kini Ahok hanya menjalankan undang-undang, mengembalikan Kalijodo untuk tujuan awal,
hutan kota. Mengembalikan aset negara. Rencana itu sudah ada ketika Ahok menjadi wakil
gubernur. Namun ia tak mau menggusur begitu saja warganya jika belum ada penampungan.
Ahok, yang terkesan pemarah, ternyata punya hati juga. Kini rumah susun sudah ada dan
Ahok pun siap membongkar Kalijodo. Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian dan
Pangdam Jaya Mayjen Teddy Lhaksmana mendukung Ahok dan siap mengerahkan

anggotanya untuk pengamanan. Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mendukung
"pembubaran' Kalijodo.
Jika Ahok berhasil menggusur Kalijodo dengan atau tanpa perlawanan yang keras, itu adalah
tugas Ahok sebagai gubernur yang, sekali lagi harus dikatakan, biasa-biasa saja. Tak ada yang
istimewa. Bahwa ada yang menyebut Ahok pemberani, tegas, dan tanpa kompromi, itu karena
gubernur di daerah lain bekerja "tidak biasa", tak berani menjalankan undang-undang,
pengecut menghadapi preman, dan tidak bisa mengawasi penyimpangan aparat di bawahnya.
Ada sengketa yang timbul dari penyerobotan tanah negara dan kasusnya rumit karena sejak
awal, ketika masalahnya kecil, tak ada penanganan yang baik. Satu-dua bangunan berdiri di
tanah negara, tapi camat dan bupati diam saja. PLN mengalirkan listrik tanpa memeriksa
status bangunan. Lama-kelamaan, banyak bangunan berdiri dan penghuni menghimpun diri,
membentuk RT dan RW. Muncul preman pasang badan, preman yang kebanyakan dari
keluarga pejabat juga. Setelah bertahun-tahun tanpa ada pengawasan, barulah pemerintah
sadar ada penyerobot tanah negara. Pejabat saling menyalahkan terlebih dulu, baru kemudian
membongkar bangunan liar itu dengan penuh kehebohan dan juga keluar uang banyak.
Termasuk "uang kompensasi" yang seharusnya tak perlu.
Kalijodo secara teori lebih mudah digusur karena banyak yang mendukung. Di sini ada
maksiat, ada judi, juga ada narkoba, dunia yang sehitam-hitamnya. Lupakan rintihan para
pelacur, yang mengaku datang dari kampung miskin, dianiaya suami, ditipu muncikari,
terperangkap, dan seterusnya. Menteri Sosial boleh saja membantu mereka, ditampung di
panti sosial, dilatih berwiraswasta, namun pelacuran tak pernah hilang. Yang jauh lebih
penting adalah bagaimana agar kelak tak ada sengketa di permukiman yang tanahnya ternyata
milik negara. Ahok berani menjalankan undang-undang, seharusnya begitulah pemimpin.

Perang Diplomasi Dagang di Pasifik


SENIN, 22 FEBRUARI 2016

Bayu Krisnamurthi, Mantan Wakil Menteri Perdagangan

Dalam setiap kisah yang menceritakan peperangan, seperti pertempuran di Kurusetra dalam
kisah Baratayudha atau pertempuran di Middle Earth karangan Tolkien, selalu digambarkan
pertempuran itu adalah peperangan kebaikan melawan kejahatan. Dan, dalam semua kisah
itu, kebaikan akhirnya selalu menang. Dalam dunia nyata, diplomasi perdagangan ternyata
tidak demikian.
Diplomasi dagang memang suatu "peperangan", karena setiap negara ingin dan harus
memperjuangkan kepentingan masing-masing. Hanya, peperangan itu bukan antara yang baik
dan jahat, melainkan antara yang baik dan yang baik yang dilihat dari kepentingan masingmasing. Akibatnya, "perang" diplomasi dagang menjadi jauh lebih kompleks karena pihak
yang berperang tidak lagi hanya satu lawan satu atau bisa dibedakan siapa lawan dan siapa
sekutu. Perang diplomasi sering tak berwujud dan beberapa pihak yang terlibat semua lebur
dalam satu peperangan besar. Semua adalah lawan sekaligus kawan.
Itulah yang bisa dibayangkan dengan Trans Pacific Partnership (TPP), yang baru saja diteken
pada 4 Februari 2016 di Auckland, Selandia Baru. Dua belas negara lebur dalam satu ajang
perang diplomasi dagang yang kemudian mencapai kesepakatan, dan mereka menyebut
kesepakatan itu sebagai kemenangan bersama.
Keberadaan TPP jelas akan sangat mempengaruhi sistem perdagangan di kawasan, bahkan

akan mempengaruhi perdagangan dunia. TPP dianggap sebagai kesepakatan dagang terbesar
setelah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau World Trade Organization
(WTO). Indonesia dikabarkan tengah bersiap untuk bergabung dalam TPP. Apa yang akan
dihadapi Indonesia ketika masuk dalam perang diplomasi dagang di Pasifik itu?
Pertama, Indonesia akan menjadi pendatang baru di tengah kesepakatan yang sudah
ditandatangani. Artinya, Indonesia harus menerima kesepakatan tersebut sebagai awal
landasan perundingan dengan negara-negara yang sudah terlebih dulu masuk TPP. Indonesia
harus benar-benar mencermati 6.000 halaman lebih dokumen kesepakatan untuk melihat
apakah kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan masih memungkinkan Indonesia
membawa kepentingan sendiri atau harus "nurut" kepada apa yang sudah tertulis (yang bisa
saja memang sudah sesuai dengan keinginan Indonesia).
Kedua, Indonesia perlu mencermati bagaimana perimbangan kekuatan di antara negaranegara peserta TPP dan hubungan dagang yang sudah terjalin di antara negara-negara itu
dengan Indonesia. Ada Amerika Serikat, yang ekonominya jauh lebih besar dari anggota TPP
lainnya, yang menjadi salah satu negara mitra dagang Indonesia terbesar. Vietnam, Malaysia,
Singapura, dan Brunei Darussalam sudah bersama Indonesia di ASEAN. Jepang, Australia,
dan Selandia Baru sudah bersepakat dagang dengan Indonesia, baik secara langsung maupun
lewat ASEAN. Ada Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru yang masing-masing juga memiliki
berbagai bentuk kerja sama dagang dengan Indonesia.
Ketiga, dalam proses perundingan dan dokumen TPP, sangat terlihat kepemimpinan AS. Hal
itu dapat dimengerti. AS adalah ekonomi terbesar di TPP dan di dunia dengan PDB (produk
domestik bruto) sekitar US$ 17,5 triliun. Jika ekonomi 11 negara TPP lainnya dijumlahkan
pun, masih lebih kecil dibanding AS. Karena itu, banyak yang menyebutkan di TPP sangat
"terasa" aroma AS.
Misalnya, sejak dulu AS selalu mendorong agar pengadaan pemerintah (government
procurement) harus dilaksanakan dengan mekanisme pasar, tidak boleh ada keistimewaan
bagi BUMN. Tapi, di sisi lain, AS selalu menolak jika subsidi pertanian dihapuskan, seperti
yang terjadi pada kasus subsidi kapas. Kasus lain, AS juga selalu bertahan dengan hak paten
obat-obatan, padahal di WTO diakui bahwa ramuan obat dapat dijadikan sebagai produk
generik. Contoh-contoh itu terlihat jelas pada hasil kesepakatan TPP.
Kuatnya pengaruh AS di TPP tidak selalu berarti buruk, karena banyak posisi runding dan
konsep yang diajukan AS cukup logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip universal. Namun
Indonesia harus sadar bahwa memperjuangkan kepentingan Indonesia di TPP artinya harus
melalui proses meyakinkan, dan harus dengan persetujuan, AS.
Keempat, meski sudah ditandatangani di Selandia Baru, TPP baru akan berlaku jika telah
diratifikasi melalui proses perundang-undangan di ke-12 negara anggotanya. Dan, hal ini
masih penuh dengan ketidakpastian, termasuk di AS. Calon-calon Presiden AS, baik dari
Partai Demokrat maupun Republik, mengisyaratkan penentangan yang kuat atas kebijakan

Presiden Barack Obama dengan TPP. Belum lagi masalah di Kongres dan Senat AS serta
tentangan publik AS sendiri.
Kelima, selain mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN--dengan empat negara
anggota ASEAN sudah masuk TPP--Indonesia juga tengah berunding dan menjadi
koordinator dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ada tujuh negara
TPP yang ikut berunding di RCEP. Lalu, ada perundingan APEC dan beberapa proses
perundingan bilateral yang juga tengah diikuti Indonesia. Belum lagi kepemimpinan
Indonesia di G-33 dan implikasi politiknya yang bisa mendukung kepentingan Indonesia di
forum global. Semua itu harus dikelola sebaik-baiknya dengan kejelasan arah dan
kepemimpinan yang konsisten agar sinkron satu sama lain.
TPP merupakan front baru dalam peperangan besar itu. Ikut atau tidak ikut TPP akan
membawa risiko yang tidak ringan bagi Indonesia, di samping juga membuka peluang dan
manfaat. Tapi, dalam situasi perang diplomasi dagang seperti saat ini, yang paling berisiko
buruk dan hampir tak ada manfaat yang akan diperoleh adalah jika Indonesia tidak berbuat
apa-apa.

Hak Korban Terorisme yang


Terlupakan
SELASA, 23 FEBRUARI 2016

Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) 2013-2018

Gotri masih bersarang pada tubuh Ni Made Arsini. Perempuan 47 tahun itu adalah korban
bom Bali II, yang terjadi 12 tahun lalu. Selama bertahun-tahun, ia harus menjalani check-up
dan terapi rutin. Namun, ketika bantuan biaya pengobatan yang diberikan lembaga swadaya
masyarakat asal Australia berhenti pada 2008, berat bagi Arsini untuk membiayai pengobatan
lanjutan.
Hingga kini, Arsini masih trauma bila mendengar suara petasan. Ia tidak sendiri. Banyak
korban bom lainnya, yakni bom Bali I, bom Kuningan, bom Hotel JW Marriott, hingga bom
gereja di Solo, yang juga menderita dengan taraf hampir serupa.
Para korban serangan teroris mengeluhkan perbedaan perlakuan pemerintah terhadap pelaku.
Pemerintah dinilai lebih memperhatikan para pelaku dan keluarganya melalui program
pemberdayaan ekonomi dalam konteks deradikalisasi. Publik kerap mengira ketika korban
mendapat perawatan di rumah sakit, masalah telah selesai. Adapun perhatian publik dan
negara lebih awet dalam mengingat jaringan pelaku.
Apakah pemulihan korban kini menjadi agenda prioritas pemerintah? Setelah serangan teroris
di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pertengahan Januari lalu, Presiden Joko Widodo secara

proaktif mengundang pimpinan DPR RI dan pimpinan lembaga negara untuk menyampaikan
usul revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Usul tersebut disambut
positif dan menjadi agenda prioritas program legislasi nasional parlemen tahun ini.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan perubahan atas undang-undang tersebut
rencananya meliputi masa penahanan terduga teroris; kewenangan penangkapan, penuntutan,
dan pengusutan; serta pencabutan paspor bagi warga Indonesia yang mengikuti pelatihan
militer di luar negeri. Pemerintah berfokus pada upaya melawan dan mencegah serangan
terorisme. Di sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa pemulihan dan pemenuhan hak korban
belum menjadi prioritas.
Perhatian terhadap korban sebenarnya telah tertuang dalam berbagai perundang-undangan.
Setidaknya, soal itu terdapat dalam Undang-Undang 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme serta UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Apakah kedua undang-undang itu cukup untuk memfasilitasi pemenuhan hak
korban? Mari kita tengok.
Dalam UU Nomor 15, diatur soal hak korban untuk memperoleh kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi. Namun, pada prakteknya, hal itu belum terealisasi. Kompensasi alias
pembayaran untuk kerugian korban oleh negara hanya ada dalam putusan atas terdakwa
Masrizal alias Tohir dalam perkara pengemboman JW Marriott, September 2004, yang
mencantumkan besaran kompensasi bagi korban, baik yang mati maupun terluka.
Namun putusan tersebut tak kunjung dieksekusi karena tidak mencantumkan identitas korban
yang berhak mendapatkannya. Masih diperlukan upaya hukum lainnya, seperti penetapan dari
pengadilan atas siapa yang dimaksudkan dengan "korban", untuk kemudian diajukan ke
Menteri Keuangan. Sedangkan pengajuan rehabilitasi dan restitusi dilakukan melalui Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sejauh ini, belum terdengar ada korban yang mengajukan
permohonan rehabilitasi.
Pengaturan soal hak korban terorisme dalam UU 31 Tahun 2014 jauh lebih jelas. Dalam UU
tersebut, saksi atau korban terorisme menjadi salah satu prioritas yang dilindungi oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Korban juga berhak mendapat bantuan
medis, psikologis, dan psikososial. LPSK juga bisa memfasilitasi korban untuk mengajukan
kompensasi atau restitusi.
Sejak UU tersebut disahkan, LPSK menerima permohonan bantuan medis, psikologis, dan
psikososial dari para korban bom di Bali dan Jakarta. Dalam memproses permohonan korban
bom ini, LPSK membutuhkan keterangan yang menyatakan pemohon adalah korban
terorisme. LPSK telah meminta Kepolisian Daerah Bali dan Metro Jaya menerbitkan surat
keterangan korban.
Meski sudah ada pedoman kerja pelaksanaan nota kesepahaman antara LPSK dan kepolisian
sejak 2012, proses penerbitan surat keterangan tidak sepenuhnya mulus. Sebab, Polda Bali

dan Metro Jaya ternyata tidak memiliki data korban bom tersebut. Polda selama ini hanya
memiliki catatan korban yang diambil keterangannya sebagai saksi. Sedangkan korban yang
tidak diambil keterangannya sebagai saksi tidak tercatat.
Proses verifikasi ini cukup memakan waktu. Penanganan korban bom Thamrin juga
menghadapi hal serupa, termasuk belum adanya surat jaminan dari pemerintah atas
pembiayaan perawatan medis korban bom tersebut.
Karena itu, revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu merumuskan aturan dan
langkah konkret bagi pemenuhan hak-hak korban terorisme. Pertama, lembaga apa yang
bertanggung jawab atas perawatan medis atau santunan kematian bagi korban terorisme.
Perlu pula dipertegas penanggung jawab pemberian bantuan psikososial kepada korban.
Kedua, perlu diperjelas pengaturan kompensasi yang ada, yakni proses dan cara pemberian
yang lebih implementatif agar bisa dinikmati korban. Pertanyaan yang patut dikaji adalah
bagaimana bila pelaku tewas sehingga tidak ada proses hukum? Apakah korban masih
mungkin mendapat kompensasi? Mungkinkah hal itu diputuskan melalui penetapan
pengadilan? Hal penting didiskusikan karena pada hakikatnya hak korban tidak bergantung
pada situasi dan nasib pelaku.

Deradikalisasi Jalan di Tempat


JUM'AT, 26 FEBRUARI 2016

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Yayasan
Paramadina

Setelah serangan terorisme terjadi lagi di Jakarta pada pertengahan Januari lalu, pemerintah,
parlemen, dan publik kembali ramai membicarakan deradikalisasi. Tapi, kita tak melangkah
cukup jauh. Seperti gasing, kita hanya berputar-putar sambil bergeser sedikit.
Pertama, hingga kini tak ada ukuran keberhasilan deradikalisasi. Jika terpidana terorisme
bom Bali I, Ali Imron, sering disebut sebagai contoh keberhasilan, bukankah dia "tobat" lebih
dulu sebelum dideradikalisasi? Sebelum ada program deradikalisasi, dia sudah sadar bahwa
bom Bali pada 2002, yang ia turut orkestrasi, lebih merugikan daripada menguntungkan
gerakannya (Jemaah Islamiyah/JI) karena lebih banyak dikecam dibanding dipuji.
Jangan-jangan mana sebab dan mana akibat terbalik di sini. Ali Imron mendukung
deradikalisasi justru karena dia sudah tobat. Kasusnya bertentangan dengan kasus terpidana
lain, Amrozi dan Imam Samudera, yang tak pernah menyesal atas bom Bali.
Kedua, para ekstremis (untuk tak menggunakan kata teroris yang maknanya lebih terbatas)
hanya mau mendengar pendapat ekstremis lainnya. Karena itu, negara sering memanfaatkan
jasa mantan teroris yang sudah tobat, seperti Ali Imron, dalam deradikalisasi narapidana
teroris lain, bukan mantan Ketua Umum Muhammadiyah Syafii Maarif atau ahli tafsir
Quraish Shihab.

Tapi, jika anggapan itu betul, bukankah legitimasi ekstremis pertama (yang diajak negara
melakukan deradikalisasi) di mata ekstremis kedua akan segera hilang begitu kerja sama
dengan negara berlangsung? Artinya, bahkan narasumber deradikalisasi sehebat mantan
petinggi JI, Nasir Abbas, akan segera kehilangan legitimasinya di depan (mantan) rekanrekannya begitu diketahui bahwa dia bekerja sama dengan negara (yang "thagut").
Ketiga, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sering berargumen bahwa
banyak napi teroris yang tidak kooperatif mengikuti program deradikalisasi. Ya, tentu saja.
Bukankah niat mereka memang menghancurkan Republik? Tapi, bukankah itu tantangannya?
Atau, bukankah karena itu kita bisa berkesimpulan bahwa deradikalisasi adalah ilusi,
didorong wishful thinking?
Penting diketahui, sudah cukup banyak riset, misalnya dari Institute for Policy Analysis of
Conflict pimpinan Sidney Jones pada 2014, yang menunjukkan bahwa setidaknya sebagian
napi teroris bersedia ikut program deradikalisasi karena imbalan uang (atau lainnya) yang
menyertai. Mereka secara fisik datang ke ruang-ruang deradikalisasi, tapi mereka sebenarnya
tak cukup berlapang hati menerima (kemungkinan) kebenaran baru.
Pemerintah juga berjalan di tempat dalam soal kelemahan-kelemahan program deradikalisasi
di lembaga pemasyarakatan. Semuanya sudah dipublikasi, terbuka, hingga kita tahu ada napi
teroris yang menerjemahkan propaganda ISIS atau menyatakan dukungan kepada organisasi
biadab itu dari dalam penjara. Tak ada lagi yang aneh dengan korupsi di penjara di republik
ini. Tapi, tak ada langkah-langkah mematikan untuk mengatasinya.
Dilema lama antara mengumpulkan para napi teroris di satu tempat atau memisahkan mereka
dan membiarkan mereka bergabung dengan para napi lain dengan segala kelebihan dan
kekurangan masing-masing tak pernah diatasi dengan tegas. Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dan BNPT sudah tahu sama tahu soal ini, tapi keduanya seperti kucing dan
anjing yang sedang menghindari daging yang empuk tapi busuk.
Pemerintah juga tak pernah memikirkan sungguh-sungguh pilihan di luar deradikalisasi,
misalnya disengagement (mengambil jarak, berhenti), yakni keputusan seorang anggota
kelompok teroris atau ekstremis untuk berhenti ikut serta dalam aksi-aksi kekerasan.
Fokusnya pada tindakan, bertentangan dengan deradikalisasi yang menunjuk pada
penghancuran (delegitimasi) prinsip-prinsip ideologis yang mendasari tindakan itu (dalam
pikiran). Keduanya bisa dan harus dibedakan, karena seseorang bisa berhenti melakukan
kekerasan meskipun dia tidak mengalami deradikalisasi.
Dibanding deradikalisasi, disengagement lebih bisa didefinisikan dan diukur serta lebih
konkret. Ada beberapa jenis tindakan nirkekerasan di sini: keluar sepenuhnya dari organisasi
ekstremis, memilih peran-peran nirkekerasan dalam organisasi yang sama, atau sekadar
menjadi pendukung pasif (misalnya menjadi "tentara keyboard" dengan memanfaatkan
Facebook atau Twitter). Aksi-aksi ini jelas jauh lebih tak mematikan dibanding menjadi

senjata bom bunuh diri.


Dalam satu riset dengan wawancara 23 mantan mujahidin menyangkut konflik Poso (Hwang,
Panggabean, Ali-Fauzi, 2013), kami menemukan beberapa pola pokok saat seorang mantan
teroris berhenti ikut serta dalam tindakan kekerasan. Pertama, terbangunnya hubunganhubungan baru antara yang bersangkutan dan orang-orang di luar lingkaran organisasi
ekstremisnya. Dengan hubungan baru ini, dia bisa menyiapkan masa depan hidupnya pascapenjara.
Kedua, tekanan dari orang tua dan pasangan. Seorang napi teroris, misalnya, memutuskan
berhenti mendukung kelompok teroris karena tahu bahwa itulah satu-satunya doa yang
diucapkan ibunya setiap kali menunaikan salat.
Ketiga, pertimbangan untung dan rugi. Beberapa di antara mereka menyatakan berhenti
karena merasa bahwa keadaan Poso sudah lebih baik dan kini polisi, khususnya Densus 88,
punya cukup kemampuan untuk mengendus dan menangkap mereka.
Semua proses disengagement ini bisa, dan sudah, dipelajari. Pelajaran-pelajaran terbaik harus
dipetik darinya untuk dijadikan kebijakan bersama.

Anda mungkin juga menyukai