Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KELOMPOK

DISKUSI TUTORIAL
BLOK PSIKIATRI SKENARIO 3

GANGGUAN SUASANA PERASAAN

OLEH:
KELOMPOK 14
G0009030
G0009032
G0009066
G0009120
G0009144
G0009156
G0009164
G0009194
G0009198
G0009202

ASRI SUKAWATI P.
ATIKA ZAHRO N.
DWI TIARA S.
LOUIS HADIYANTO
MUVIDA
NUR JIWO W.
OGI KURNIAWAN
RUBEN STEVANUS
SAYEKTI ASIH N
SOFI ARIANI

TUTOR: ANDRI IRYAWAN,dr,M.S,Sp.And

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2011
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki
gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah
cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada
pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam
peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform
mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan
somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.
Skenario :
Seorang laki-laki usia 21 tahun menderita sakit kepala yang tidak kunjung
sembuh selama 2 tahun terakhir. Pasien merasa khawatir menderita penyakit
mematikan seperti stroke atau tumor otak. Pasien sudah sering berobat ke
dokter umum atau spesialis tetapi tetap tidak sembuh. CT scan kepala tidak
didapatkan kelainan, namun kekhawatiran pasien belum hilang. Pasien
beberapa kali opname karena sakit kepala yang berat dan tiba-tiba tekanan
darahnya mencapai 150/90 mmHg. Hal ini semakin menambah kekhawatiran
pasien akan mengalami stroke seperti tetangganya yang kemudian meninggal.
Pasien menyangkal sedang menghadapi masalah berat. Tetapi menurut
alloanamnesis keluarga, usaha dagangnya sedang lesu karena ada pesaing
baru.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana psikopatologi dari gejala-gejala pada pasien?
b. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin pasien dengan kondisi
pasien?

c. Mengapa pasien sudah sering berobat tapi tidak sembuh?


d. Bagaimanakah hubungan kekhawatiran pasien terhadap timbulnya
keluhan?
e. Apa saja diagnosis bandingnya?
f. Bagaimanakah penatalaksanaannya?
g. Apa yang dimaksud dengan CLP?
h. Bagaimanakah reaksi tubuh terhadap kecemasan?
C.

TUJUAN

a. Menjelaskan psikopatologi dari gejala-gejala pada pasien


b. Menjelaskan hubungan usia dan jenis kelamin pasien dengan kondisi
pasien
c. Menjelaskan pasien sudah sering berobat tapi tidak sembuh
d. Menjelaskan hubungan kekhawatiran pasien terhadap timbulnya keluhan
e. Menjelaskan diagnosis banding penyakit yang diderita pasien
f. Menjelaskan penatalaksanaannya
g. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan CLP
h. Menjelaskan reaksi tubuh terhadap kecemasan
D. MANFAAT
a. Memahami psikopatologi dari gejala-gejala pada pasien
b. Mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin pasien dengan kondisi
pasien
c. Mengetahui pasien sudah sering berobat tapi tidak sembuh
d. Mengetahui hubungan kekhawatiran pasien terhadap timbulnya keluhan
e. Memahami diagnosis banding penyakit yang diderita pasien
f. Memahami penatalaksanaannya
g. Mengetahui apa yang dimaksud dengan CLP
h. Memahami reaksi tubuh terhadap kecemasan

BAB II
DISKUSI
1. JUMP 1 Klarifikasi Istilah
1) Doctors Shoping: mengunjungi berbagai dokter praktek untuk mengatasi
keluhan yang dialami oleh pasien.
2. JUMP 2 Rumusan Masalah
1) Apakah pasien mengalami gangguan psikosomatis?
2) Apakah ada hubungan antara kecemasan pasien dengan perdagangan
pasien yang sepi?
3) Apa saja macam-macam gangguan cemas?
4) Bagaimana reaksi tubuh terhadap kecemasan?
5) Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?
6) Mengapa pasien sudah sering berobat ke dokter umum maupun dokter
spesialis tetapi tidak sembuh ?
7) Apa yang menyebabkan tekanan darah pasien mencapai 150/90 mmHg?
8) Apakah ada hubungan kekhawatiran pasien dengan timbulnya keluhan?
9) Apa sajakah diagnosis banding dari kasus skenario ini?
10) Apakah itu CLP?
11) Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut?
3. JUMP 3 Analisis Permasalahan dan Membuat Pernyataan Sementara dari
Permasalahan
1) Apakah pasien mengalami gangguan psikosomatis?
Gangguan psikosomatik dapat diartikan sebagai reaksi jiwa pada
fisik (soma). Menurut American Psychosomatic Society (2005), gangguan
psikosomatik berasal dari bahasa Yunani (Psyche= jiwa dan Soma= fisik),
sehingga psikosomatik dapat diartikan sebagai hubungan fisik dan jiwa.
Ada hubungan yang sangat erat antara faktor fisik, faktor psikologis, dan
sosial terhadap perjalanan suatu penyakit (BKKBN NAD, 2010).

Gangguan ini mencakup pasien-pasien yang terutama emnunjukkan


keluhan somatis yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya gangguan
depresif, ansietas, atau penyakit medis. Ada dua gangguan yang termasuk
dalam kelompok gangguan somatoform: Pertama, yang gambaran
utamanya adalah kekhawatiran bahwa gejala yang ada merupakan bukti
adanya penyakit (hipokondriasis) atau deformitas (dismorfofobia), dan
kedua, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran tentang gejala
somatik itu sendiri (antara lain gangguan somatisasi, disfungsi autonomik
persisten, dan gangguan nyeri somatoform persisten) (Maramis, 2009).
2) Apakah ada hubungan antara kecemasan pasien dengan perdagangan
pasien yang sepi?
Istilah kecemasan dalam psikiatri muncul untuk merujuk suatu
respons mental dan fisik terhadap situasi yang menakutkan dan
mengancam. Secara mendasar lebih merupakan respons fisiologis
ketimbang respons patologis terhadap ancaman. Sehingga orang cemas
tidaklah harus abnormal dalam perilaku mereka, bahkan kecemasan
merupakan respons yang sangat diperlukan. Ia berperan untuk meyiapkan
orang untuk menghadapi ancaman (baik fisik maupun psikologik) (Deva,
2001).
Perasaan cemas atau sedih yang berlangsung sesaat adalah normal
dan hampir semua orang pernah mengalaminya. Cemas pada umumnya
terjadi sebagai reaksi sementara terhadap stress kehidupan sehari-hari
(Wasyanto, 2000).
Bila cemas menjadi begitu besar atau sering seperti yang
disebabkan oleh tekanan ekonomi yang berkepanjangan, penyakit kronik
dan serius atau permasalahan keluarga maka akan berlangsung lama;
kecemasan yang berkepanjangan sering menjadi patologis (Sudiyanto,
2000). Ia menghasilkan serombongan gejala-gejala hiperaktivitas otonom
yang mengenai sistem muskuloskeletal, kardiovaskuler, gastrointestinal
dan bahkan genitourinarius. Respons kecemasan yang berkepanjangan ini

sering diberi istilah gangguan kecemasan, dan ini merupakan penyakit


(Deva, 2001; Wasyanto, 2000).
3) Apa saja macam-macam gangguan cemas?
a. gangguan panik, dengan ciri munculnya mendadak tanpa faktor
pencetus
b. gangguan cemas umum, yaitu kecemasan yang diderita bersifat
mengambang bebas dan berlangsung menahun (kronik)
c. gangguan fobik yaitu kecemasan atau ketakutan terhadap situasi atau
obyek tertentu (spesifik)
d. gangguan obsesif kompulsif, yaitu kecemasan yang mendorong
penderita secara menetap untuk mengulangi pikiran atau perilaku
tertentu dan
e. gangguan stress pasca trauma yaitu kecemasan yang timbul setelah
penderita mengalami peristiwa yang sangat menegangkan (Sudiyanto,
2000).
4) Bagaimana reaksi tubuh terhadap kecemasan?

(Sherwood, 2001)
6

5) Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?


Perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5%) lebih cenderung
mengalami gangguan ansietas daripada laki-laki (prevalensi seumur hidup
19,2%). Prevalensi gangguan ansietas menurun dengan meningkatnya
status sosio-ekonomik. Gangguan panik perempuan lebih mudah
terkena dua hingga tiga kali daripada laki-laki. Gangguan panik paling
lazim timbul pada dewasa muda (sekitar 25 tahun) tetapi gangguan panik
dan agorafobia dapat timbul pada usia berapapun (Kaplan & Sadock,
2010).
Perempuan dengan gangguan somatisasi jumlahnya melebihi lakilaki 5 hingga 20 kali tetapi perkiraan tertinggi dapat disebabkan adanya
tendensi dini tidak mendiagnosis gangguan somatisasi pada pasien lakilaki. Gangguan ini berbanding terbalik dengan posisi sosial dan terjadi
paling sering pada pasien yang memiliki sedikit edukasi dan tingkat
pendapatan yang rendah. Gangguan somatisasi didefinisikan dimulai
sebelum usia 30 tahun; dan paling sering dimulai selama masa remaja
seseorang (Kaplan & Sadock, 2010). Prevalensi gangguan somatisasi
biasanya dua kali lebih tinggi pada perempuan dibanding pada laki-laki
(Kroenke & Spitzer, 1998).
6) Mengapa pasien sudah sering berobat ke dokter umum maupun dokter
spesialis tetapi tidak sembuh?
Seorang petugas kesehatan harus melihat pasien atau klien sebagai
makhluk fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang utuh. Keluhan seorang
pasien harus ditanggapi dengan serius (betapa pun anehnya keluhan
tersebut). Penelitian menunjukkan bahwa pasien psikosomatis seringkali
tidak puas dengan pelayanan medis yang didapatnya akibat tanggapan
dokter yang tidak serius tentang penyakitnya. Pasien ini akan cenderung
berpindah-pindah dokter atau rumah sakit tanpa hasil (Nieuwenhuijsen et
al, 2010).

7) Apakah yang menyebabkan tekanan darah pasien mencapai 150/90


mmHg?
Selama stres, selai terjadi perubahan-perubahan hormon yang
memobilisasi simpanan energi, hormon-hormon lain secara bersamaan
juga diaktifkan untuk mempertahankan volume dan tekanan darah selama
keadaan darurat. Sistem simpatis dan epinefrin berperan penting dengan
langsung bekerja pada jantung dan pembuluh darah untuk meningkatkan
fungsi sirkulasi. Selain itu, sistem renin-angiotensin-aldosteron juga
diaktifkan sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal yang dipicu
oleh sistem simpatis. Sekresi vasopresin juga meningkat selama keadaan
stres. Secara kolektif, hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma
dengan mendorong retensi garam dan H2O (Sherwood, 2001).
8) Apakah ada hubungan kekhawatiran pasien dengan timbulnya keluhan?
Ada hubungan antara kekhawatiran pasien dengan timbulnya
keluhan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
9) Apa sajakah diagnosis banding dari kasus skenario ini?
a. Gangguan Somatisasi
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi (Kaplan & Sadock,
2010).
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30
tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan
membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual
yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan
sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan
(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada,

rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau


selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala
gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah
selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual
atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual,
disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur,
perdarahan

menstruasi

berlebihan,

muntah

sepanjang

kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala
atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang
tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan
setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia,
retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri,
pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif
seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
C. Salah satu (1)atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis
umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat (misalnya
efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau
gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah
melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti
gangguan buatan atau pura-pura).

b. Hipokondriasis
Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis (Kaplan & Sadock, 2010)
A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia
menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi
keliru orang tersebut terhadap gejalagejala tubuh.
B. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis
yang tepat dan penentraman.
C. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham
(seperti gangguan delusional, tipe somatik) dan tidakterbatas pada
kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan
dismorfik tubuh).
D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
kilnis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain.
E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan
kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik,
gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan
somatoform lain.
c. Gangguan Nyeri
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat
gambaran klinis dan cukup parah untuk memerlukan perhatian
klinis.
B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam
onset, kemarahan, eksaserbasi atau bertahannnya nyeri.
D. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuatbuat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).

10

E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood,


kecemasan, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria
dispareunia.
d. Gangguan Ansietas Menyeluruh
10) Apakah itu CLP?
Consultation-Liaison Psychiatry adalah suatu cabang bidang ilmu
kedokteran jiwa (psikiatri) yang bekerja dengan memberikan
pelayanan psikiatri pada pasien dengan kondisi medis umum yang
mengalami gangguan kesehatan jiwa akibat kondisi medisnya.Pada
perkembangannya bukan hanya mencakup pelayanan medis, tetapi
juga pendidikan dan penelitian.
Beberapa contoh kerja sama adalah
1. Seorang psikiater yang bersama-sama dengan dokter saraf
menangani pasien stroke yang juga mengalami depresi pasca
stroke.
2. Psikiater bekerja sama dengan dokter obstetri ginekologi
menangani kasus-kasus depresi pasca melahirkan, baby blues,
infertilitas (kemandulan) dan depresi pada menopause.
3. Psikiater bekerja sama dengan dokter penyakit dalam menangani
kasus-kasus kencing manis (diabetes) yang erat kaitannya dengan
depresi
4. Psikiater bekerja sama dengan dokter bedah pada kasus-kasus
operasi estetika yang berlebihan, kondisi luka bakar dan amputasi.
Intinya dalam praktek sebagai seorang psikiater CLP, psikiater selain
bekerja mandiri sebagai pelayanan kesehatan jiwa di RSU juga
bekerja sebagai seorang konsultan yang bekerja sama dengan teman
sejawat lainnya. Salah satu nilai yang penting adalah semangat
kolaborasi untuk menciptakan layanan yang menyeluruh dan tepat.
(Leigh, 2008)

11

11) Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut?


a. Gangguan kecemasan
Untuk penyembuhan dengan baik pasien dengan gangguan
kecemasan adalah kombinasi farmakoterapi (psikofarmaka) dengan
psikoterapi.

Pertimbangannya

adalah

bahwa

psikoterapi

mempunyai keunggulan tidak adiktif tetapi kerugiannya lambat


dalam efek terapetiknya. Sebaliknya anxiolitik mempunyai
keunggulan efek terapetik cepat dalam menurunkan tanda dan
gejala kecemasan tetapi mempunyai kerugian resiko adiksi. Dalam
terapi kombinasi diberikan obat anxiolitik terlebih dahulu sampai 2
minggu, kemudian dilakukan psikoterapi yang dimulai pada awal
minggu kedua di samping obat anxiolitik masih tetap diberikan
tetapi secara bertahap diturunkan dosisnya (tapering off sampai
minggu ke empat pengobatan) (Sudiyanto, 2000). Ada juga yang
membedakan kasus baru dan lama. Kasus baru diberikan sampai 2
bulan bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk
penghentian pengobatan; kasus lama diberikan sampai 6 bulan
bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk penghentian
pengobatan (Depkes RI, 1995). Psikoterapi yang sering digunakan
untuk gangguan kecemasan adalah psikoterapi berorientasi insight,
terapi perilaku, terapi kognitif atau psikoterapi provokasi
kecemasan jangka pendek (Sudiyanto, 2000).
Obat-obatan yang sering digunakan untuk anxiolitik
(mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan kecemasan)
adalah golongan benzodiazepin, non-benzodiazepin, antidepresan:
trisiklik, monoamin inhibitor [MAOI], serotonin reuptake inhibitor
[SRI], specific serotonin reuptake inhibitor [SSRI] (Romadhon,
2002).

12

b. Hipnoterapi
Apabila masalahnya adalah program pikiran yang salah, berkaitan
dengan sistem kepercayaan, salah paham dan sebagainya, maka
dilakukan

re-edukasi atau

pembelajaran

ulang agar klien

mempunyai pikiran yang benar dan keyakinan baru yang positif.


Sedangkan bila sebabnya adalah emosi negatif, seperti depresi,
kecewa dan rasa bersalah, maka pikiran bawah sadar dipersilakan
menyadari masa lalu sebagai sebuah pelajaran, menerima dirinya
sepenuhnya, dan berbahagia dengan kondisi saat ini.
4. JUMP 4 Inventarisasi Permasalahan
Somatoform/ Gangguan Psikosomatik

Gangguan / kelainan
Faktor risiko
Patofisiologi
Diagnosis banding

Pemeriksaan penunjang

Diagnosiss
Prognosis
Komplikasi

Terapi

13

5. JUMP 5 Menentukan Tujuan Pembelajaran


1. Mengetahui tentang gangguan psikosomatis.
2. Mengetahui hubungan antara kecemasan pasien dengan perdagangan
pasien yang sepi.
3. Mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien.
4. Mengetahui sebab pasien sudah sering berobat ke dokter umum maupun
dokter dokter spesialis tetapi tidak sembuh .
5. Mengetahui penyebab tekanan darah pasien mencapai 150/90 mmHg.
6. Mengetahui diagnosis banding dari kasus skenario ini.
7. Mengetahui hubungan kekhawatiran pasien dengan timbulnya keluhan .
8. Mengetahui penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut.
9. Mengetahui macam-macam gangguan cemas .
10. Mengetahui CLP .
11. Mengetahui reaksi tubuh terhadap kecemasan .
6. JUMP 6 Mengumpulkan Informasi Mandiri
7.JUMP 7 (Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi yang
Diperoleh)
Taufik, 21 tahun, dokter muda (coass) yang sedang bertugas di puskesmas
merasa bingung dengan kasus yang sedang dihadapinya. Salah satu pasiennya,
seorang laki-laki, usia 35 tahun mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh-sembuh
selama 2 tahun terakhir. Pasien sering merasa khawatir menderita penyakit yang
mematikan seperti stroke atau tumor otak. Pasien sudah sering berobat ke
beberapa dokter umum dan spesialis, tetapi belum juga sembuh.
Hal ini dapat diakibatkan beberapa faktor seperti pemeriksaan penunjang
yang tidak tepat atau diagnosis yang kurang tepat. Tetapi bila hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang sudah dirasa tepat dan tetap menunjukkan tidak adanya
kelainan fisik yang mendasari keluhan, perlu dipikirkan bahwa pasien mungkin
menderita gangguan kejiwaan berupa gangguan psikosomatik. Pada kasus ini,
pasien mengeluhkan keluhan somatis tetapi tidak dapat dijelaskan adanya

14

gangguan depresi, ansietas atau penyakit medis yang mendasari timbulnya


keluhan. Onset pasien yang telah berlangsung selama 2 tahun juga memperkuat
dugaan mengarah pada gangguan psikosomatik.
Hasil pemeriksaan laboratorium dan CT Scan kepala pasien tidak
didapatkan kelainan menunjukkan tidak adanya kelainan organik pada pasien.
Namun hasil pemeriksaan tersebut tidak mampu meyakinkan pasien bahwa
sebenarnya memang tidak menderita suatu penyakit Keadaan tidak mau menerima
nasehat atau dukungan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit yang
juga telah dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien ini
merupakan salah satu pedoman diagnosis Gangguan Hipokondrik dan Disfungsi
Otonomik somatoform.
Keyakinan yang menetap adanya penyakit fisik yang serius yang
melandasi keluhan-keluhannya atau bisa dibilang distress kemungkinan adanya
gangguan yang serius pada pasien ini mengarahkan diganosis pada gangguan
Hipokondrik atau Disfungsi Otonomik Somatoform.
Namun pada Disfungsi Otonomik Somatoform juga harus ada hal lain
yaitu : adanya gejala-gejala bangkitan otonomik yang menetap dan mengganggu.
Sedangkan untuk pedoman diagnosis Hipokondrik hanya perlu dua hal yang
keduanya sudah ada pada pasien.
Pasien dalam skenario diketahui bahwa usaha perdagangannya sedang lesu
karena ada pesaing baru. Hal tersebut dapat mengakibatkan kecemasan pada
pasien yang memicu gejala-gejala yang keluar pada pasien. Pasien sudah
dijelaskan bahwa tidak terdapat kelainan fisik yang membahayakan pada dirinya,
tetapi kekhawatirannya belum bekurang. Hal ini bila tidak ada pengertian antara
dokter dan pasien mengenai kemungkinan keluhan-keluhan pasien menyebabkan
frustrasi dan kekecewaan pada kedua belah pihak.

15

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pasien laki-laki, 31 tahun dari keluhan-keluhan yang dialami, didiagnosis
mengalami gangguan kecemasan dan mengalami gangguan somatoform lebih
khususnya gangguan hipokondrik. Hal ini tampak dari kekhawatiran pasien
terhadap adanya tumor otak atau stroke yang membahayakan dirinya padahal
sebenarnya pemeriksaan laboratorium dan CT Scan tidak didapatkan kelainan.
Kecemasan pasien dapat timbul karena usaha perdagangannya yang lesu
karena adanya pesaing baru.
B. Saran
1. Untuk KBK
Dalam skenario 3 ini tutor membantu jalannya diskusi agar berjalan
dengan lancar. Mahasiswa mendapatkan ilmu yang berguna pada skenario
kali ini walaupun ada beberapa hal yang belum dimengerti. Untuk diskusi
selanjutnya sebaiknya mahasiswa lebih aktif dalam belajar sendiri di
rumah agar diskusi berjalan lebih baik.
2. Untuk kasus pada skenario
Pasien diberi terapi dan edukasi yang meliputi terapi yaitu:
a. terapi biologis(psikofarmaka) :
b. psikoterapi
c. intervensi psikososial : meliputi berbagai pendekatan misalnya
cognitive

behavioral

therapy

(CBT),

terapi

interpersonal,

psikoedukasi, dll.

DAFTAR PUSTAKA
16

BKKBN NAD. 2010. Gangguan Psikosomatis. http://nad.bkkbn.go.id/rubrik/200/


(diunduh pada 11 Desember 2011).
Deva, M. P. 2001. Presentation and Management of Anxiety Disorder in Family
Practice. Medical Progress January, pp. 16-20.
Dirjen Yanmed, Depkes RI. 1995. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di
Fasilitas Umum. hal. 2-3; 29; 65-6.
Kaplan, V. A.; Sadock, B. J. 2010. Gangguan Ansietas, dalam Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2. Jakarta:EGC.
Kroenke, K.; Spitzer, R. 1998. Gender differences in the reporting of physical and
somatoform symptoms. Psychosomatic Medicine,60, 1505.
Maramis, W. F.; Maramis, A. A. 2009. Gangguan Neurotik, Gangguan
Somatoform, dan Gangguan Terkait Stres, dalam Catatan Ilmu
Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya, Pusat Penerbitan dan Percetakan
(AUP).
Nieuwenhuijsen, K.; Verbeek, J. H. A. M.; De Boer, A. G. E. M.; Blonk, R. W.
B.; Van Dijk, F. J. H. 2010. Irrational Beliefs in Employees with an
Adjustment, a Depressive, or an Anxiety Disorder: a Prospective Cohort
Study. Journal of rationalemotive and cognitivebehavior therapy RET
(2010) Volume: 28, Issue: 2, Publisher: Springer US, Pages: 57-72.
Romadhon, Y. A. 2002. Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Penderita
Gangguan Kecemasan. Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002.
Sherwood, L. 2001. Organ Endokrin Perifer, dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem Edisi 2. Jakarta:EGC.

17

Sudiyanto, A. Aspek Klinik Gangguan Kecemasan. Simposium Nasional


Awareness Anxiety Programe. 5 Agustus 2000.
Wasyanto, T. Gangguan Cemas pada Penyakit Jantung. Simposium Nasional
Awareness Anxiety Program. 5 Agustus 2000.
Leigh H. Evolution of consultation-liaison psychiatry and psychosomatic
medicine. In: Handbook of Consultation-Liaison Psychiatry. Leigh H.,
Streltzer J. Springer New York. 2008

18

Anda mungkin juga menyukai