REAKSI ANAFILAKTIK
Disusun oleh:
Annisa Kinanti Asti
NIM 112011101016
Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Ramzy Syamlan, Sp.A
dr. Saraswati, Sp.A
dr. Lukman Oktadianto, Sp.A
DAFTAR ISI
Halaman Judul....................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................ 1
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN...................................................................................3
2.1 DEFINISI.............................................................................................3
2.2 KLASIFIKASI.....................................................................................3
2.3 EPIDEMIOLOGI.................................................................................4
2.4 ETIOLOGI...........................................................................................5
2.5 PATOFISIOLOGI................................................................................6
2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Tipe Cepat) ...........................6
2.5.2 Mekanisme Reaksi Anafilaktik................................................10
2.5.3 Mediator Anafilaksis................................................................12
2.6 FAKTOR RISIKO...............................................................................14
2.7 MANIFESTASI KLINIS............................... .....................................15
2.8 DIAGNOSIS........................................................................................18
2.8.1 Penegakkan diagnosis................................................................18
2.8.2 Pemeriksaan Penunjang.............................................................21
2.9 DIAGNOSIS BANDING.....................................................................23
2.10 PENATALAKSANAAN...................................................................25
2.10.1 Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut.....................................25
2.10.2 Obat-obatan pada reaksi anafilaksis.........................................28
2.10.3 Observasi..................................................................................30
2.11 PROGNOSIS......................................................................................31
2. 12 PENCEGAHAN....................................................................................22
BAB 3. PENUTUP.................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................36
BAB 1. PENDAHULUAN
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis) (Longecker, 2008).
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut,
berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ (Rachman dkk, 2007).
Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaksis non alergi (reaksi
anafilaktoid) yang secara klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak
disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaksis nonalergi
disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga
menyebabkan terlepaskan mediator (Rachman dkk, 2007).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi (Longecker, 2008).
2.2 KLASIFIKASI
Reaksi Hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963)
dibagi dalam 4 tipe reaksi, yaitu Tipe I (Reaksi Ig E), Tipe II (Reaksi sitotoksik
IgG atau IgM), Tipe III (Reaksi kompleks imun), dan Tipe IV (Reaksi seluler).
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan ikatan antara antigen dan IgE yang
diikat sel mast dan basofil melepas mediator vasoaktif. Manifestasinya terbagi
atas reaksi anafilaksis sistemik dan reaksi anafilaksis lokal. Reaksi anafilaksis
sistemik dapat berupa syok, dan bentuk lokalnya dapat berupa rhinitis, asma,
urtikaria, alergi makanan, dan ekzema (Rachman dkk, 2007).
sengatan dan obat-obatan. Makanan misalnya kacang, ikan, susu, telur, dan
makanan laut adalah produk makanan yang menimbulkan reaksi fatal.
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu
sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalensi
1.5%, Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai
sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat (IDAI, 2010).
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan
kemerahan muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada
gejala yang lebih berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala
kardiovaskular lebih sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik
anak misalnya pusimg, hipotensi, hingga sinkop (Cheng A, 2011).
2.4 ETIOLOGI
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anastetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin,
sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau
jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti bisa ular (Rachman dkk, 2007).
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan
dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopakm bromsulfalein,
benzilpenisilol-polilisin. Demikian pula dengan anastetikum lokal seperti prokain
atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilaksis misalnya bisa ular,
ssemut, dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan
yang telah dikenal sebagi penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang,
kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang (Rachman dkk, 2007).
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah
5
putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi
pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan
antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin
dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan
(Mustafa, 2013).
2.5 PATOFISIOLOGI
Coomb
dan
Gell
(1963)
mengelompokkan
anafilaksis
dalam
Reaksi alergi
4. Terpapar ulang dengan antigen yang sama
mast
a) Alergen
Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respon imun spesifik berupa
pembentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah zat
yang mampu beraksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen
selalu bersifat antigenik tetapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten,
kecuali kalau bergabung dengan protein. Alergen adalah antigen khusus yang
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2
kelompok, yaitu alergen protein lengkap dan alergen dengan sel molekul rendah
(hapten).
Alergen
yang
terdiri
dari
protein
lengkap
mampu
merangsang
pembentukan IgE tanpa bantuan zat lain karena mempunyai determinan antigen
yang dikenal sel B dan gugus karier yang merangsang makrofag dan sel T untuk
mengembangkan aktivasi sel B. Yang termasuk kelompok ini misalnya serbuk
sarim bulu binatang, serum anti tetanus (ATS), dan serum antidifteri (ADS).
Alergen dengan berat molekul redan tidak dapat menimbulkan respons
antibodi berupa IgE karena hanya berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten
harus berikatan dengan protein jaringan atau protein serum in vivo membentuk
kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons antibodi IgE. Yang
termasuk kelompok ini misalnya adalah obat-obatan (Rachman, 2007).
b) Antibodi
Produksi antibodi IgE spesifik memerlukan kerja sama aktif antar
makrofag, sel T dans el B. Alergen yang masuk melalui traktus respiratorius,
traktus gastrointestinalis atau kulit akan difagosit oleh makrofag untuk diproses
dan dipresentasikan kepada sel T. Sel T yang tersensitisasi akan merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang mensintesis dan mensekresi IgE spesifik.
Sel plasma yang memproduksi IgE terutama terdapat dalam lamina propria
traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis serta jaringan limfoid
bersangkutan. Kadar total IgE serum adalah jumlah IgE yang dihasilkan oleh
ketiga organ tersebut, yang secara pasif berdifusi ke dalam kompartemen vaskular.
IgE mempunyai sifat biologik unik, yaitu dapat terikat pada sel mast untuk jangka
waktu yang panjang (6 minggu).
8
mediator, ECF-A, PAF, dan heparin. Beberapa mediator disimpan dalam lisosom
(heparin, histamin) yang berada dalam sitoplasma sel mast, dan dilepaskan bila
terdapat rangsangan yang cukup. Rangsangan alergi dimulai dengan cross-linking
dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen.
Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik
yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ kedalam
sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Degranulasi sel mast dapat diatur oleh sejumlah zat. Zat yang menurunkan
cAMP atau menaikkan cGMP seperti adrenergik , zat kolinergik atau
prostaglandin F2a, memperhebat degranulasi sel mast. Sebaliknya zat yang
meningkatkan cAMP, seperti epinefrin, teofilin, dan prostaglandin E1 dan E2
menghalangi degranulasi sel (Rachman, 2007).
2.5.2 Mekanisme Reaksi Anafilaktik
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala (Ewan, 1998).
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators (Longecker, 2008).
10
meningkatkan
permeabilitas
kapiler
yang
nantinya
meningkatkan
penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa (Mustafa,
2013).
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut (Sampson, 2006).
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis
sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare (Sampson,
2006).
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
(Sampson, 2006).
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan sistemik, anafilaksis
juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.
a) Reaksi sistemik ringan
16
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian
perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan.
Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan
peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air
mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan
antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari
atau lebih pada kasus kronik.
b) Reaksi sistemik sedang
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan
pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan
napas, dispnu, batuk, dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum,
mual, dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas,
dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama
dengan reaksi sistemik ringan.
c) Reaksi sistemik berat
Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti
reaksi sistemik ringan dan reaksis sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam
beberapa menit (kadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan
edema laring disertai serak, stridor, dispnu beratm sianosism dan kadangkala
terjadi henti napas. Edema faring gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan
disfagia, kejang perut hebat, diare, dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat
disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps
kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok, dan koma.
Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal nafas dan kolaps
kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala obyektif
pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya
masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa, Pada anak
penyebab kematian paling sering adalah edema laring (Rachman, 2007).
2.8 DIAGNOSIS
17
18
tenggorokan tertutup.
Suara Hoarse
Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang
mengalami obstruksi.
Breathing Problems :
-
Circulation Problems:
-
kolaps.
Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
keduanya
Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
mukosa, atau
sengatan.
Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan
lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut
dan tenggorokan (Simons and Camargo, 2013).
20
maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung --protein susu sapi.
Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi.
a) Uji tusuk kulit (Skin prick test )
Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari untuk
antihistamin generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk antihistamin generasi 2. Uji
tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika
didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil). Batasan usia
terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan. Bila uji kulit positif, kemungkinan
alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit
negatif berarti alergi susu sapi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena
nilai duga negatif sebesar > 95%.
b) IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit,
tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk
kulit dengan uji IgE RAST. Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan antara lain karena --adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerah
pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin. Bila
hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi > 5 kIU/L pada --anak
usia 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun maka hasil ini
mempunyai nilai duga positif 53%, nilai duga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan
spesifisitas 94%.
c) Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan
berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji
RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah
dilakukan iet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan dengan uji
provokasi yaitu memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi. Uji provokasi
dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan
mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi.
22
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi
dan satu minggu kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula
susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan untuk tetap mengawasi
kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah
uji provokasi.
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis
yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai
akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana
masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ.
Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah
diagnosis banding urtikaria dan angioedema, yaitu sengatan serangga multipel dan
angioedema herediter. Pada sengatan serangga, terlihat titik ditengah bentol. Pada
angioedema herediter, terdapat edema subkutan atau submukosa periodik disertai
rasa sakit dan terkadang disertai edema laring, disertai keluhan sama pada
keluarga (Matondang dkk, 2007).
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik
adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak
terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang
23
menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering
diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada .
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan
darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran
napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,
nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant
syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut
nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan
tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk
berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor
pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada
pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin,
buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan
karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin (Mustafa, 2013).
2.10 PENATALAKSANAAN
2.10.1 Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
24
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah
(Mulkus et al, 2013)
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation
dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.
a) Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
b) Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit melalui masker (Mulkus et al, 2013). Oksigen harus diberikan
pada penderita yang mengalami sianosis, dispnu yang jelas, atau penderita
dengan mengi (Rachman, 2007).
c) Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar (Mulkus
et al, 2013).
Apabila anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstrimitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan
elama 1-2 menit.
25
intramuskuler.
Pada
pasien
dalam
keadaan
syok,
absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan (Mulkus et al, 2013).
Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksium 0,3 mg
(larutan 1:1000) diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas
atau paha. Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin
kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk
mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan
jarak waktu 5 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau
tidka bersepon dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,010,05 mg/kgBB(larutan1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2
menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit (Rachman, 2007).
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat (Mulkus et al, 2013).
b) Difenhidramin
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi
dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh
27
digunakan
untuk
menurunkan
respon
keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
28
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Kortikosteroid juga berguna
untuk mencegah gejala lama yang rekuren. Mula-mula diberikan Hidrokortison
intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau
deksametason 2-6 mg/kg BB (Mulkus et al, 2013). Pengobatan dihentikan
sesudah 2-3 hari (Rachman, 2007).
2.10.3 Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit (Mulkus et al, 2013).
29
yang
cepat,
tepat,
dan
sesuai
dengan
prinsip
kemungkinan
reaksi
sebesar
1-3%
dibandingkan
dengan
31
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan
kemerahan muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada
gejala yang lebih berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala
kardiovaskular lebih sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik
anak misalnya pusimg, hipotensi, hingga sinkop
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anastetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Ekstrak alergen
biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti bisa
ular
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan
32
diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya
adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.
Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan. Hitung eosinofil darah tepi
dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test). Pemeriksaan secara invivo
dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick
test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/ SET).
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik
adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras
dan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis
atau Ringer Laktat sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya sampai syok teratasi,.
Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksium 0,3 mg (larutan
1:1000) diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha.
Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3
ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi
absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5
menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidka
bersepon dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,01-0,05
33
34
DAFTAR PUSTAKA