Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran hewan coba sebagai hewan model dalam penelitian-penelitian ilmiah telah menjadi
sejarah panjang dalam upaya para peneliti menyelamatkan manusia dan lingkungannya. Salah
satu hewan coba yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus novergicus).
Tikus putih banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obatobatan maupun mekanisme penyakit infeksius. Tikus putih baik digunakan dalam penelitian
karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba
yang seragam dan mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang obat-obatan dan keracunan
banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit, karena mudah diperiksa melalui organorgan
utama yang berperan yaitu hati dan ginjal (Leickteig, et al., 2007). Oleh karena itu organ hati dan
ginjal harus dalam keadaan sehat baik secara klinis, patologi anatomi maupun histopatologi, jika
menggunakan tikus sebagai hewan model. Penetapan status sehat hanya berdasarkan inspeksi
banyak dilakukan terutama pada peneliti-peneliti pemula.
Langkah-langkah dalam melakukan nekropsi sesuai dengan metode Hussein (2008).
Sebelum nekropsi, tikus dieuthanasia dengan menggunakan ether di dalam kotak plastik.
Nekropsi dilakukan sesuai prosedur nekropsi pada mamalia, kemudian seluruh organ dalam
diperiksa secara patologi anatomi (makroskopik). Organ-organ dalam seperti hati, ginjal, paruparu dan usus diperiksa.
1.2 Tujuan
-

Untuk mengetahui metode nekropsi yang tepat

Untuk mengetahui adanya abnormalitas organ

Untuk mengetahui keadaan normal organ

1.3 Manfaat
-

Mengetahui metode nekropsi yang tepat

Mengetahui adanya abnormalitas organ

Mengetahui keadaan normal organ

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Signalement
Nama

: Kekewirausahaan

Jenis hewan

: Tikus (Ratus Norwegicus)

Kelamin

: Betina

Ras/breed

: Mencit

Warna bulu/kulit

: Putih

Umur

: < 1 tahun

Berat badan

: < 100 gr

Tanda kusus

: Berwarna putih

2.2 Nekropsi Tikus


Euthanasia tikus dilakukan dengan cara dislokasi leher. Pada saat nekropsi tikus,
ditemukan keadaan abnormal pada hepar. Ditemukan benjolan berwarna kuning di hepar. Belum
diketahui penyebab benjolan kuning tersebut di hepar.

Hasil pengamatan yang dilakukan hanya ditemukan organ hati yang dalam kondisi
kurang baik (abnormal) dimana terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati
meskipun belum menyeluruh.

Sirosis hepatik adalah fase lanjut penyakit hati kronis yang ditandai proses peradangan,
nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan penambahan jaringan ikat difus (fibrosis) dengan
terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati (Setiawan, 2007).

Etiologi

Konsumsi alcohol
Virus hepatitis (tipe B, C, D)
Penyakit hati metabolik (Hemochromatosis, Porphyria, Defisiensi 1 antitripsin
Steatohepatitis non alkoholik)
Penyakit hati cholestatic
- Sirosis bilier primer
- Sirosis bilier sekunder (penyebab yang mungkin : gallstones, strictures, infeksi
parasit)
- Primary sclerosing cholangitis (terkait dengan kolitis ulseratif dan
cholangiocarcinoma)
- Sindrom Budd-Chiari
- Gagal jantung kongestif yang berat dan Severe congestive heart failure dan
constrictive pericarditis
Obat dan herbal (Isoniazid, metildopa, amiodaron, metotrexat, henothiazine, estrogen,
steroid anabolik, black cohosh, jamaican bush tea)

Hati merupakan sistem penyaringan darah dari vena portal dan arteri hepatik. Darah
memasuki hati melalui triad portal mengalir melewati lobus hepar yang merupakan unit terkecil
dalam sistem ini dan juga ke vena sentral. Lobus hepar berbentuk heksagonal dan terdiri dari
cabang-cabang terkecil vena portal dan arteri hepatik. Di lobus hepatik, hepatosit terangkai pada
plate dari perifer sampai vena sentral. Arteri hepatik mensuplai oksigen ke triad portal.
Hepatosit perifer yang lebih banyak menerima oksigen dibandingkan dengan sel didekat vena
sentral. Darah arteri dan vena dari portal triad melewati lobus hepatik menuju vena sentral
melalui sinusoid hepatik. Setelah melewati lobus hepatik, darah berkumpul di vena sentral,
bersatu di vena hepatik kemudian memasuki vena cava inferior.
Pada kelainan hepatoselular, sel stellate yang normalnya menyimpan retinoid seperti
vitamin A, menjadi teraktivasi dan melepas retinoidnya serta memacu pembentukan fibroblast.
Zat ini kemudian menjadi sumber utama kolagen dan matriks protein lain yang berproliferasi
selama fibrosis. Adanya materi fibrosa diantara sinusoid akan mengganggu aliran darah yang
melewati lobus hepatik. Apabila kemudian terjadi penumpukan jaringan fibrosa maka tahanan
aliran darah portal meningkat. Hasilnya yaitu terjadi pengerasan dan peningkatan tekanan darah
portal. Tekanan normal vena portal adalah 5-10 mmHg. PHT terjadi bila tekanan vena portal
lebih besar 10 mmHg daripada tekanan vena cava inferior.

Terdapat juga fakta yang menyebutkan bahwa sirosis terjadi karena adanya perubahan
pada mediator vasodilatasi dan vasokonstriksi yang mengatur aliran darah pada sinusoid hepar.
Kombinasi antara penurunan produksi (Nitric Oxide) NO sebagai vasodilator dan meningkatnya
endotelin sebagai vasokonstriktor yang akan menyebabkan peningkatan tahanan aliran darah dan
peningkatan aliran darah pada vaskularisasi limfa (Sease et al, 2008).
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal
sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang,
perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki laki dapat timbul impotensi,
testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis
dekompensata), gejala gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu
tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih bewarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau
melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa,sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai
koma (Sudoyo, 2006).
Disamping itu, ditemukan adanya kanker paru-paru yang merupakan pertumbuhan sel
kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru. Patogenesis kanker paru belum benar-benar
dipahami. Sepertinya sel mukosal bronkial mengalami perubahan metaplastik sebagai respon
terhadap paparan kronis dari partikel yang terhirup dan melukai paru. Sebagai respon dari luka
selular, proses reaksi dan radang akan berevolusi. Sel basal mukosal akan mengalami proliferasi
dan terdiferensiasi menjadi sel goblet yang mensekresi mukus. Sepertinya aktivitas metaplastik
terjadi akibat pergantian lapisan epitelium kolumnar dengan epitelium skuamus, yang disertai
dengan atipia selular dan peningkatan aktivitas mitotik yang berkembang menjadi displasia
ukosal.
Peran hewan coba sebagai hewan model dalam penelitian-penelitian ilmiah telah menjadi
sejarah panjang dalam upaya para peneliti menyelamatkan manusia dan lingkungannya. Salah
satu hewan coba yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus novergicus).
Tikus putih banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obatobatan maupun mekanisme penyakit infeksius. Tikus putih baik digunakan dalam penelitian
karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba
yang seragam dan mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang obat-obatan dan keracunan
banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit, karena mudah diperiksa melalui organorgan utama yang berperan yaitu hati dan ginjal (Leickteig, et al., 2007). Oleh karena itu organ
hati dan ginjal harus dalam keadaan sehat baik secara klinis, patologi anatomi maupun
histopatologi, jika menggunakan tikus sebagai hewan model. Penetapan status sehat hanya
berdasarkan inspeksi banyak dilakukan terutama pada peneliti-peneliti pemula. Jika secara klinis
sehat, tetapi ternyata di dalam tubuh hewan coba terdapat parasit, tentu akan dapat mengacaukan
hasil penelitian atau validitas penelitian diragukan. Hal ini sangat berpengaruh terutama jika

parasit tersebut terkait dengan fokus penelitian, misalnya infeksi Cysticercus pada hati akan
sangat mempengaruhi hasil penelitian tentang fungsi hati. Infeksi Cysticercus secara klinis tidak
menunjukkan gejala, sebagaimana pada tikus yang digunakan sebagai penelitian pendahuluan.
Kejadian sistiserkosis terutama pada hepar banyak dilaporkan terdapat di India (Preet dan
Prakash, 2002). Di Indonesia belum banyak dilaporkan tentang kejadian sistisrkosis pada tikus.
Mengingat tikus merupakan makanan kucing dimana manusia sangat dekat dengan kucing, maka
Cysticercosis menjadi objek penelitian yang penting baik dari aspek hewan kesayangan maupun
hewan coba. Sebagai hewan kesayangan, maka kucing sangat mungkin sebagai inang definitif
dari Cysticercus sp pada tikus.
Lesi infeksi Cysticercus ditandai dengan adanya gelembung putih pada permukaan
jaringan hepar. Setiap tikus mengandung lesi tersebut bervariasi antara 1 sampai 3 gelembung.
Setelah diperiksa di bawah mikroskop tampak skolek dan rostelum Cysticercus sp. Identifikasi
terhadap spesies Cysticercus sp tersebut belum dapat ditentukan. pemilihan tikus sebagai hewan
coba sangat menentukan validitas hasil penelitian. Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan
inspeksi, adanya infeksi Cysticercus pada tikus sulit diketahui. Tetapi ada laporan penelitian
untuk mengetahui adanya infeksi Cysticercus pada tikus dilakukan dengan cara memeriksa
cairan plasma darah atau cairan peritoneal. Pada tikus yang terinfeksi Cysticercus terjadi
peningkatan ion chlorin dalam plasma dan dapat digunakan sebagai teknik diagnosis (Preet dan
Prakash, 2002). Adanya infeksi Cysticercus pada tikus menunjukkan adanya kesalahan
manajemen pemeliharaan tikus percobaan. Oleh karena itu sistem pemeliharaan hewan coba
sangat penting memperhatikan lingkungan, pakan, air minum serta faktor-faktor penyebab
kontaminasi dalam kandang (Muthalib, 2008; Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Penelitian
sistisekosis yang dihubungkan dengan perubahan tingkah laku dalam perkawinan rodensia
(Gourbal et al.,2004) merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tikus sebagai
hewan model. Dilaporkan bahwa infeksi Cysticercus pada mencit jantan menyebabkan mencit
betina menolak untuk dikawini. Hasil pemeriksaan histopatologi hati tikus yang terinfeksi
Cysticercus memperlihatkan terjadi perubahan berupa hilangnya jaringan hepar akibat invasi
Cysticercus, nekrosis disertai infiltrasi sel-sel radang baik di sekitar.

2.3 Hasil Nekropsi


Organ

Hasil

Colon

Normal, tidak ada kelainan

Uterus

Normal, tidak ada kelainan

Hepar

Terdapat benjolan (nodul) berwarna


kekuningan

Ginjal

Normal, tidak ada kelainan

Jantung

Normal, tidak ada kelainan

Usus halus

Normal, tidak ada kelainan

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil nekropsi tersebut dapat disimpulkan bahwa gejala klinis yang terlihat
pada sampel tikus tersebut adanya nodul pada hepar berwarna kuning. Untuk mengetahui
penyebab dari nodul pada hepar tersebut diperlukan pemeriksaan pada Laboratorium Patologi
untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada hasil nekropsi organ yang lain tidak ditemukan
abnormalitas.

3.2 Saran
Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya praktikan lebih teliti lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Hussein FN. 2008. Anesthesia and Euthanasia in Laboratory Animals. Workshop on the Care
and Use of Lab An Res. Collaboration Fac.Vet.Med. Airlangga Univ. and
Fac.Vet. Med. UPM. Surabaya.
Kiernan JA. 2001. Histological and Histochemical Methods. 3rd Ed. Toronto. Arnold Pub. Pp.
330-354.
Lacy, Charles F., et al, 2009. Drug Information Handbook, 18th Edition, Lexi Comp Inc, North
America
Lickteig AJ, Fisher CD, Augustine LM, Aleksunes LM, Besselsen DG, Slitt AL, Manautou JE,
Cherrington NJ. 2007. Efflux Transporter Expression and Acetaminophen
Metabolite Excretion Are Altered in Rodent Models of Nonalcoholic Fatty
Liver Disease. Drugs, Metabolism and Disposition
McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F., and Lange, J.D., 1995. Pathophysiology of
Disease, an Introduction to Clinical Medicine, 1st edition, Connecticut :
Appleton & Lange
Pagana, K.D. & Pagana, T.J. 2002. Mosbys Manual of Diagnostic and Laboratory Test. 2nd ed.
Missouri: Mosby, Inc.
Preet S, Prakash S. 2002. Cysticercosis in Rat Infected with Cysticercus fasciolaris (Rud): the
Possible Role of Plasma and Cystic Anions in Diagnosis. J Parasitic
Disease. 24(2): 135-139
Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragand, J.J. 2008. Portal Hypertension and Cirrhosis. In :
DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey,
L.M., Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Ed. 7th, New York :
McGrawhill Co
Setiawan, Poernomo Budi.2007. Sirosis Hati. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., and Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam I, edisi keempat, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai