Ilustrasi Kasus
1. Identitas Pasien
Nama
: Tn. DC
Umur
: 27 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Pedagang pasar
: 85 98 05
Alamat
Tanggal masuk RS
2. Anamnesis
Tipe anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan utama : Nyeri perut kanan atas memberat sejak 2 hari SMRS.
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas yang mulai dialami sejak 1
minggu yang lalu SMRS, dirasakan terus menerus seperti ditusuk-tusuk sampai
tembus kebelakang dan makin memberat sejak 2 hari terakhir. Nyeri memberat
bila batuk dan bergerak. Bila berjalan pasien lebih merasa nyaman dengan posisi
membungkuk dan posisi terlentang saat tidur.
Demam (+) dialami sejak 4 hari yang lalu SMRS, hilang timbul namun tidak
tinggi, menggigil (-), kejang (-), berkeringat malam (-)
Batuk (+) sesekali, sesak nafas (+) kadang-kadang, nafsu makan berkurang
(+), nyeri dada (-), mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-), BAK nyeri (-), BAK
seperti teh pekat (+), BAB cair (+) 2x/hari, BAB seperti dempul (-).
Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga atau orang serumah yang mengalami hal serupa.
Riwayat pengobatan
Pasien berobat ke RS Swasta dan telah dilakukan USG Abdomen yang
VAS
:8
BB /TB
TTV
: TD 130/90 mmHg
Kepala leher
nafas 20x/i
nadi 100x/i
suhu 36,60C
: gerakan simetris kiri dan kanan, vokal fremitus simetris kiri dan
kanan, sonor D/S, vesikuler D/S, ronki (-), wheezing (-)
S1 S2 reguler dbn, bunyi jantung tambahan (-).
Abdomen
Ekstremitas
RT
4. Pemeriksaan penunjang
Darah (31/12/2015):
Hb
Leu
:33.800/L
Ht
:38,2% (N)
Plt
:159.000/L (N)
Kimia (31/12/2015)
GDS
Ureum
: 26 mg/dL (N)
Kreatinin
SGOT
: 69 U/L
SGPT
: 55 U/L
: 0,3 mg/dL
Bil Indirek
: 1,5 mg/dL
HbSAg
: Negatif
-Hepar : ukuran membesar, Sistem
bilier dan vaskuler tidak melebar.
Tampak
massa
heterogen
dengan
Bentuk
dan
ukuran
organ
Bentuk
dan
ukuran
Resume
Seorang laki laki umur 27 tahun yang bekerja sebagai pedagang kaki
lima datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang mulai
dialami 1 minggu SMRS, nyerinya terus menerus seperti ditusuk- tusuk sampai
tembus kebelakang dan dirasakan makin memberat dalam 4 hari terakhir. Demam
(+) dialami sejak 4 hari yang lalu SMRS, hilang timbul namun tidak tinggi. Batuk
(+) sesekali, sesak nafas (+) dirasakan kadang-kadang.Nafsu makan berkurang
(+), BAK seperti teh pekat (+) dan BAB cair 2 x/hari. Pasien berobat dan
mendapat obat demam dan sakit kepala.
Dari pemeriksaan fisik, pasien komposmentis, VAS 8, gizi baik. Tanda
vital didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg dan nadi 100 x/menit. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan subikterik. Pemeriksaan thoraks dalam batas
normal, pada abdomen didapatkan tampak asimetris dinding perut, tampak tegang.
nyeri tekan dan nyeri ketok (+) regio hipokondirum dextra, hepar teraba 3 jari,
tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi padat dan timpani (+)
Dari hasil pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis. Pada
pemeriksan kimia darah ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT serta total
bilirubin, direk dan indirek. Hasil USG abdomen didapatkan kesan abses hepar.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium
yang ada, pasien didiagnosa dengan penyakit abses hepar.
Diagnosis
Susp. Abses Hepar
Terapi
Saat di IGD dilakukan terapi awal :
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ketorolac 1 amp
Inj. Ranitidin 1 amp
Dengan rencana USG Abdomen
Bedrest
Diet makan lunak (ML) tinggi karbohidrat dan protein (TKTP)
Konsul dr.Arjunaidi,Sp.PD :
Advice :
IVFD RL 20 tpm makro
Magalat(magaldrate
dan
simethicone) 3 x 1 CI
Follow Up
Tanggal
31/12/201
Subject
pasien
Object
Kes : CM
mengeluhkan
14.03
nyeri perut
HR : 85 x/menit
(Hari I )
kanan atas,
RR : 20 x/menit
mual (+)
T : 36,50C
Batuk (+)
PF : nyeri tekan
yang
epigastrium (+)
nyeri tekan perut
dirasakan
membuat
perut sakit
Assesment
Abses hepar
: 1 20 tpm makro
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12jam
Inf.Metronidazol
500mg/12jam
Intunal tab
(Parasetamol,Fenilpro
panolamin HCL,
Desklofeniramin
Planning
IVFD D5% + Aminoleban 2
maleat,
arcus
Desktrometorfan dan
costae kanan
Gliseril guaiakolat)/8
jam
Inj. Ranitidin 1 amp/ 8 jam
Magalat syr 3 x 1 CI
Bedrest
Diet lunak TKTP
Abses hepar
1/1/2016
pasien
Kes : CM
10.30
mengeluhkan
(Hari II )
nyeri perut
HR : 102 x/menit
kanan atas,
RR : 22 x/menit
mual (+)
T : 36,50C
Batuk (+)
PF : nyeri tekan
epigastrium (+)
nyeri tekan perut
arcus
costae kanan
2/1/2016
pasien
Kes : CM
Abses hepar
13.30
(Hari III )
mengeluhkan
nyeri perut
HR : 75 x/menit
kanan atas,
RR : 24 x/menit
mual (+)
T : 360C
Batuk (+)
PF : nyeri tekan
epigastrium (+)
nyeri tekan perut
: 1 20 tpm makro
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12j
Inf.Metronidazol
500mg/12j
Intunal tab KP
Inj. Ranitidin 1 amp/ 8 jam
Magalat syr 3 x 1 CI
Bedrest
Diet lunak TKTP
arcus
costae kanan
3/1/2016
15.30
Abses hepar
pasien
Kes : CM
mengeluhkan
HR : 74 x/menit
kanan atas,
RR : 26 x/menit
mual (-)
T : 370C
menyesak ke
PF:
bagian atas,
epigastrium (-)
batuk (+)
nyeri
tekan
arcus
pasien
costae kanan
Kes : CM
mengeluhkan
nyeri perut
HR : 70 x/menit
kanan atas,
RR : 22 x/menit
pusing (+),
Batuk (+)
PF:
menyesak (+)
epigastrium (-)
Abses hepar
: 36,30C
nyeri
tekan
dibawah
5/1/2016
11.00
arcus
pasien
costae kanan
Kes : CM
mengeluhkan
Abses hepar
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
batuk (+)
T : 36,50C
PF:
nyeri
tekan
epigastrium (-)
nyeri tekan perut
arcus
pasien
costa kanan
Kes : CM
mengeluhkan
nyeri perut
HR : 74 x/menit
kanan atas,
RR : 20 x/menit
batuk (+)
T : 36,70C
Nyeri
Abses hepar
tekan
epigastrium (-)
kontrol
arcus
costae kanan
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi
Abses adalah pengumpulan cairan nanah tebal, berwarna kekuningan disebabkan oleh
bakteri, protozoa atau invasi jamur ke jaringan tubuh. Abses dapat terjadi di kulit, gusi,
tulang, dan organ tubuh seperti hati, paru-paru, bahkan otak area yang terjadi abses berwarna
merah dan menggembung, biasanya terdapat sensasi nyeri dan panas setempat.4
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati.
Dan sering timbul sebagai komplikasi dari peradangan akut saluran empedu.1
2.2. Etiologi
Abses hati amebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba hystolitica yang tinggi.
Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis mengeluarkan tropozoit dan kista
bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya terjadi setelah meminum air atau memakan
makanan yang terkontaminasi kotoran yang mengandung tropozoit atau kista tersebut.
Dinding kista akan dicerna oleh usus halus, keluarlah tropozoit imatur. Tropozoit dewasa
tinggal di usus besar terutama sekum. strain Entamoeba hystolitica tertentu dapat menginvasi
dinding kolon. Strain ini berbentuk tropozoit besar yang mana di bawah mikroskop tampak
menelan sel darah merah dan juga sel PMN. Pertahanan tubuh penderita juga berperan dalam
terjadinya amubiasis invasif.1,2,3
Abses piogenik disebabkan oleh Enterobactericeae, Microaerophilic streptococci,
Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumoniae, Bacteriodes, Fusobacterium, Staphilococcus
aereus, Staphilococcus milleri, Candida albicans, Aspergillus, Eikenella corrodens, Yersinis
enterolitica, Salmonella thypii, Brucella melitensis dan fungal.1
2.3. Patogenesis
Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahui secara pasti. Ada beberapa
mekanisme seperti faktor investasi parasit yang menghasilkan toksin, malnutrisi, faktor
resistensi parasit, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell
mediated. Secara kasar, mekanisme terjadinya amebiasis didahului dengan penempelan
E.Histolytica pada mukus usus, diikuti oleh perusakan sawar intestinal, lisis sel epitel
intestinal serta sel radang disebabkan oleh endotoksin E.histolytica kemudian penyebaran
amoeba ke hati melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai
nekrosis dan infiltrasi granulumatosa. Lesi membesar bersatu dan granuloma diganti dengan
jaringan nekrotik yang dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Hal tersebut memakan
waktu berbulan-bulan setelah kejadian amebiasis intestinal.1,2
Abses hati dapat berbentuk soliter atau multipel. Oleh karena peredaran darah hepar
yang sedemikian rupa, maka hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan
bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati
akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Lobus kanan hati lebih
sering terkena abses dibandingkan dengan lobus kiri. Hal ini berdasarkan anatomi hati di
mana lobus kanan lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
porta, sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran
limfatik.1
Penyakit traktus biliaris adalah penyebab utama dari abses hati piogenik. Obstruksi
pada traktus biliaris seperti penyakit batu empedu, striktura empedu, penyakit obstruktif
congenital ataupun menyebabkan adanya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi
kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena porta dan arteri hepatika
sehingga akan terbentuk formasi abses pileplebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakterimia sistemik.1
Penetrasi akibat luka tusuk akan menyebabkan inokulasi pada parenkim hati sehingga
terjadi abses hati piogenik. Sementara itu trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati,
perdarahan intrahepatik dan kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerus akan
dari kanalukuli. Kerusakan kanalukuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pertumbuhan bakteri dengan proses supurasi disertai pembentukan pus. Abses hati yang
disebabkan oleh trauma biasanya soliter.1
2.4. Manifestasi Klinis
Demam atau panas tinggi merupakan manifestasi klinis yang paling utama, anoreksia,
malaise, batuk disertai rasa sakit pada diafragma, anemia, hepatomegali teraba sebesar 3 jari
sampai 6 jari di bawah arcus-costa. Ikterus terdapat pada 25 % kasus dan biasanya
berhubungan dengan penyebabnya yaitu penyakit traktus biliaris, abses biasanya multipel,
massa di hipokondrium atau epigastrium, efusi pleura, atelektasis, fluktuasi pada hepar, dan
tanda-tanda peritonitis.2,3
2.5. Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, serta pemeriksaan penunjang. Terkadang diagnosis abses hepar sulit ditegakkan
karena gejalanya yang kurang spesifik. Diagnosis dini memberikan arti yang sangat penting
dalam pengelolaannya karena penyakit ini sebenarnya dapat disembuhkan. Diagnosis yang
terlambat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitasnya.3,4,5
a. Anamnesis
- Demam/panas tinggi
- Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, seperti ditusuk atau di tekan, rasa sakit akan
-
berubah saat berubah posisi dan batuk-batuk sebagai gejala iritasi diafragma
Rasa mual dan muntah
hepar
amebik
terjadi
proses
destruksi
parenkim
hati,
maka
PPT
pemeriksaan yang penting untuk membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses
dan besarnya. Sensitivitasnya dalam mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%.
Gambaran ultrasonografi pada amebiasis hati adalah:
1. Bentuk bulat atau oval
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)
Beberapa kriteria diagnostik untuk abses hepar:
Kriteria Sherlock
1. Hepatomegali yang
nyeri tekan
Kriteria Ramachandran
1. Hepatomegali yang
nyeri
2.
3.
4.
5.
Riwayat disentri
Leukositosis
Kelainan radiologis
Respon terhadap terapi
amoebisid
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kelainan hematologis
Kelainan radiologis
Pus amoebik
Tes serologic positif
Kelainan sidikan hati
Respon yang baik
dengan terapi
amoebisid
positif
Tanda klinis
intraabdominal
menetap di daerah endemik
Obstruksi bilier/manipulasi
Diabetes mellitus
Nyeri perut kanan atas
Akut: demam, menggigil, nyeri
Demam, menggigil, rigor, lemah,
abdomen, sepsis
malaise, anoreksia,
Subakut: nyeri abdomen relatif
penurunan berat badan, diare,
jarang,
batuk, nyeri dada pleuritik
Khas: tidak ada gejala kolonisasi
Hepatomegali
disertai
aminotransferase),
hiperbilirubinemia,
Pencitraan
hipoalbuminemia
Kultur darah positif (50%-60%)
Abses multifocal (50%)
Biasanya lobus dextra
Tepi irregular
aminotransferase normal
Serologi amuba positif (70%95%)
Khas: abses tunggal (80%)
Biasanya lobus dextra
Rounded atau oval, bersepta
wall enhancement pada CT
Scan dengan kontras intra vena
Cairan
aspirasi
Purulen
Tengguli (achovy paste)
Berbau busuk
Tidak berbau
Tampak kuman pada pewarnaan Ditemukan tropozit
gram
Kultur positif (80%)
2.6. Penatalaksanaan
Abses hepar amoebik tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang besar
bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah : 7,8,9
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan obat pilihan untuk semua infeksi amoeba. Pemberian
metronidazole untuk abses hepar amoebik bisa tunggal atau dikombinasikan dengan
klorokuin. Metronidazole termasuk derivat nitroimidazole. Dosis yang dianjurkan untuk
kasus abses hepar amoebik adalah 3 x 750 mg atau 800 mg per hari selama 3-10 hari.
Pemberian ini dapat membantu kesembuhan 90-95% pasien. Derivat nitroimidazole lainnya
yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg per hari selama 5 hari.
Gejala klinik umumnya mengalami perbaikan dalam 1-3 hari. Metronidazol dosis rendah
biasanya efektif pada penyakit invasif namun dapat gagal mengeliminasi amoeba pada infeksi
intraluminal sehingga dapat terjadi relaps.
b. Dehydroemetine (DHE)
Dehydroemetine (DHE) merupakan derivat diloxanite furoate. Dosis yang
direkomendasikan sebesar 3 x 500 mg per hari selama 7-10 hari. Emetin efektif mengatasi
serangan amubiasis (terutama invasi ke hati) dengan cara pemberian injeksi intramuskular
namun memiliki efek samping yang berat terhadap jantung. Diloxanite furoate merupakan
obat luminal yang berguna untuk mengatasi karier amubiasis dan mengeliminasi amoeba
intestinal.
c. Kloroquin
Dosis klorokuin yang dianjurkan adalah 1 gr/hari selama 2 hari dan diikuti 500
mg/hari selama 20 hari atau 4 x 250 mg tiap hari selama 21 hari. Klorokuin masih kurang
efektif untuk mengatasi abses hepar amoebik. Klorokuin dapat diberikan bersama
metronidazole.
2. Aspirasi
Tindakan aspirasi dianjurkan bila pengobatan medikamentosa (kemoterapi) tidak
berhasil dalam 3-5 hari, terdapat kontraindikasi pada penggunaan metronidazol seperti
kehamilan, atau abses yang beresiko mengalami ruptur. Abses yang berdiameter lebih 5 cm
dan abses yang terlokalisasi dalam lobus kiri memiliki resiko besar mengalami ruptur.
Aspirasi dapat pula dikombinasikan dengan metronidazol. Kombinasi ini dapat lebih
mempercepat pengurangan keluhan pasien seperti demam, nyeri abdomen, memperpendek
lama opname dan mencegah relaps.
3. Drainase Perkutan
Drainase abses perkutan merupakan prosedur yang dilakukan oleh dokter untuk
mengangkat atau mengeluarkan kumpulan cairan infeksi (abses) dari bagian tubuh. Drainase
perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. Drainase
juga berguna untuk mengurangi nyeri abdomen. Selama prosedur, jarum halus dimasukkan ke
dalam cairan abses dibawah panduan radiologis seperti CT-Scan.
4. Drainase Bedah
Drainase bedah dilakukan pada kasus komplikasi termasuk ruptur abses. Pembedahan
diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan pengobatan. Juga
diindikasikan untuk perdarahan yang mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa ruptur
abses. Termasuk penderita dengan septikemia karena abses amoeba yang mengalami infeksi
sekunder, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Laparoskopi digunakan
untuk mengevaluasi terjadinya ruptur abses amoeba intraperitoneal.
Penatalaksanaan untuk abses hepar piogenik yaitu :
1. Antibiotik
Antibiotik spektrum luas secara parenteral harus segera diberikan setelah dicurigai
adanya abses hepar pyogenik. Ini bertujuan untuk mencegah bakteriemia dan komplikasi
lainnya. Antibiotik sendiri hanya efektif pada beberapa pasien. Penanganan antibiotik tanpa
tindakan drainase memiliki angka mortalitas tinggi (59% -100%). Antibiotik berupa
kombinasi obat seperti ampisilin/penisilin, aminoglikosida dan metronidazol atau kombinasi
antara sefalosporin generasi ketiga dengan metronidazol. Kombinasi tersebut efektif melawan
E. coli, K. pneumonia, bakteroides, enterokokus dan streptokokus anaerobik. Pasien yang
berusia tua dan menderita kelemahan fungsi ginjal, sefalosporin generasi ketiga lebih dipilih
daripada aminoglikosida. Pilihan obat nantinya harus disesuaikan dengan hasil kultur. Lama
pengobatan antibiotik belum memiliki standar yang pasti dan bergantung pada keberhasilan
drainase. Namun umumnya direkomendasikan selama 2-4 minggu. Antibiotik harus tetap
diteruskan selama masih ada tanda infeksi seperti demam, rasa dingin, atau leukositosis atau
tergantung ukuran abses, respon klinik, dan potensi toksik dari pilihan pengobatan.
2. Drainase Bedah Terbuka
Penatalaksanaan secara konvensional adalah dengan drainase terbuka secara operasi
dan pemberian antibiotik spektrum luas oleh karena bakteri penyebab abses terdapat didalam
cairan abses yang sulit dijangkau dengan antibiotik tunggal tanpa melakukan aspirasi cairan
abses
3. Drainase Kateter Perkutaneus
Penatalaksanaan saat ini menggunakan drainase perkutaneus abses intra abdominal
dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer. Drainase yang dipandu CTScan menggambarkan rongga abses dan menuntun tindakan drainase perkutaneus. Persentase
keberhasilan drainase kateter perkutaneus pada abses hepar pyogenik antara 69% hingga
90%. Kelebihannya terdapat pada kesederhanaan terapi (umumnya dilakukan pada saat
melakukan diagnosis radiologi), tidak menggunakan anestesi umum, laparotomi, mencegah
komplikasi luka dari tindakan bedah terbuka dan mengurangi lama opname. Kontraindikasi
relatif dari drainase kateter perkutaneus adalah asites, koagulopati atau dekat dengan organ
vital. Drainase perkutaneus pada abses multipel memiliki angka kegagalan yang tinggi.
Pembedahan harus dipersiapkan pada pasien yang membutuhkan penanganan bedah akibat
proses patologi primer (misalnya apendisitis) atau pada penanganan teknik perkutaneus yang
mengalami kegagalan. Prosedur drainase laparoskopi telah dilaporkan banyak mengalami
kesuksesan.
4. Aspirasi Perkutaneus
Indikasi aspirasi yaitu risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang didefinisikan
dengan ukuran kavitas >5 cm, abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas
yang tinggi dengan frekuensi tinggi perforasi ke peritoneum dan perikardium serta tidak ada
respon klinis terhadap terapi konservatif dalam 5-7 hari. 6 Angka keberhasilannya antara 60%
sampai 90%, hampir sama dengan angka keberhasilan drainase kateter perkutaneus.
Kebanyakan aspirasi, bagaimanapun juga, membutuhkan lebih dari 1 kali aspirasi dan
seperempat pasien memerlukan 3 kali atau lebih tindakan aspirasi.
5. Reseksi Hepar
Adakalanya reseksi hati diperlukan pada abses hepar. Tindakan ini dapat dilakukan
pada infeksi hepar yang malignan, hepatolitiasis, atau striktur biliaris intrahepatik. Jika
destruksi hati akibat infeksi ini berat, beberapa pasien dapat lebih beruntung keadaannya
setelah tindakan reseksi.
2.7. Komplikasi
Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses ke
berbagai rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke kulit, sebesar
5-5,6%. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insiden perforasi ke rongga
pleura adalah 10-20%, akan terjadi efusi pleura yang besar dan luas yang memperlihatkan
cairan cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat berlanjut ke paru sampai ke bronkus sehingga
didapatkan sputum yang berwarna khas cokelat. Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa
seperti rasa hati selain didapatkan hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan
efusi perikard dan tamponade jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi
kronik seperti tuberkulosis perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan jantung
(perikarditis konstriktiva).2,3
Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut menyebabkan
peritonitis umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi, omentum dan usus mempunyai
kesempatan untuk mengurung proses inflamasi, menyebabkan peritonitis lokal. Perforasi ke
depan atau ke sisi terjadi ke arah kulit sehingga menimbulkan fistel. Infeksi sekunder dapat
terjadi melalui sinus ini. Meskipun jarang, dapat juga terjadi emboli ke otak yang
menyebabkan abses amuba otak.3
2.8 Prognosis
Prognosis abses hepar amoebik tergantung dari:
1. Virulensi parasit dan daya tahan host
2. Derajat dari infeksi
3. Adanya infeksi sekunder dan komplikasi lainnya
4. Terapi yang diberikan. Tanpa terapi, abses dapat mengalami ruptur dan menyebar ke organ
lain. Pasien yang menerima terapi memiliki kemungki nan besar sembuh atau hanya
mengalami komplikasi ringan.
BAB III
Pembahasan
1.
Diagnosis awal
Pasien berumur 27 tahun bekerja sebagai pedagang masuk dengan keluhan nyeri
perut kanan atas seperti ditusuk dan tembus sampai kebelakang yang mulai dirasakan sejak 1
minggu yang lalu dan makin memberat sekitar 2 hari yang lalu, Bila berjalan pasien lebih
merasa nyaman dengan posisi membungkuk dan posisi terlentang saat tidur. Demam yang
hilang timbul mulai dirasakan 4 hari yang lalu, nafsu makan berkurang, BAK sepeerti teh
pekat dan BAB cair sebanyak 2x/hari.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan sklera subikterik dan pada abdomen didapatkan
tampak asimetris dinding perut, tampak tegang. Nyeri tekan dan nyeri ketok (+) regio
hipokondirum dextra, hepar teraba 3 jari, tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi padat dan
timpani (+).
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin dan kimia didapatkan leukositosis dan
peningkatan SGOT dan SGPT serta bilirubin total. Diperkuat dengan pemeriksaan USG
abdomen yang ditemukan adanya massa heterogen dengan komponen padat dan kistik yang
mengarahkan pada diagnosis abses hepar amoebik.
2.
Penatalaksanaan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan pada pasien, pasien cenderung masuk pada klasifikasi abses hepar amoebik. Pada
penatalaksanaan abses hepar amoebik diberikan antibiotik seperti metronidazol yang
merupakan obat pilihan untuk semua infeksi amoeba.
Pada kasus, pasien diberikan terapi infus D5% + Aminoleban 2 : 1 20 tpm makro dan
antiamebisid metronidazol dan ceftriaxone. Selain itu diberikan terapi simptomatik seperti
ranitidin, magalat (magaldrate dan simethicone), intunal (paracetamol, dektromethorphan,
gliseril guaiakolat, desklorfeniramin maleat dan fenilpropanolamin HCl).
3.
Follow up
Pasien dirawat selama 7 hari. Rawatan hari pertama pasien mengeluhkan nyeri
pada perut kanan atas disertai keluhan lain seperti mual dan batuk. Dalam pemeriksaan fisik
suhu tubuh pasien dalam batas normal, didapatkan nyeri tekan perut kanan atas dan
hepatomegali. Pada hasil laboratorium didapatkan leukositosis dan peningkatan enzim hari
SGOT dan SGPT serta bilirubin total. Pada rawatan pertama pasien telah direncanaakan
untuk USG Abdomen dan telah diberikan terapi anti amoeba dan antibiotik. Hasil USG
Abdomen didapatkan adanya massa heterogen dengan komponen padat dan kistik. Dilobus
kanan hepar dengan batas tidak tegas yang berukuran sekitar 10,7 x 10,8 x 8,9 cm.
Pada hari rawatan kedua, ketiga dan keempat keluhan nyeri perut kanan atas masih
dominan namun keluhan lain yang ada sebelumnya telah berkurang namun diketahui BAK
pasien pekat seperti teh. Terapi untuk pasien masih melanjutkan terapi rawatan hari pertama
sambil mengobservasi keluhan yang ada dan keadaan umum pasien. Pada hari keempat
rawatan, pasien telah disarankan untuk dilakukan pemeriksaan USG abdomen kedua untuk
mengevaluasi respon pemberian terapi, namun hasil USG abdomen baru terlampir pada hari
rawatan keenam. Hasil USG didapatkan tampak massa heterogen dengan komponen padat
dan kistik. Dilobus kanan hepar dengan batas tidak tegas. Ukuran sekitar 10,8 x 10,7 x 8,5
cm. Ukuran untuk massa heterogen ini bila dibandingkan dengan hari rawatan pertama
mengalami sedikit pengurangan.
Pada hari rawatan kelima dan keenam, keluhan nyeri perut kanan atas sudah mulai
berkurang, rasa menyesak pernah dikeluhkan hanya terjadi sesekali. Pada hari rawatan
ketujuh, keluhan nyeri perut kanan berkurang dan keluhan keluhan lain juga sudah mulai
berkurang.
Pada pasien tidak dilakukan aspirasi cairan abses karna pasien respon terhadap terapi
yang diberikan dan selain itu ukuran massa yang lebih dari 5 cm membuat faktor resiko untuk
terjadinya ruptur saat dilakukan aspirasi cairan. Dalam mengurangi rasa nyeri dari pasien
untuk tata laksana rawat inap, pasien dapat diberikan tambahan injeksi analgetik seperti
ketorolac 1amp/8 jam.
4.
Prognosis
Jika diterapi dengan antibiotika yang sesuai,angka kematian dapat ditekan mejadi 10
16%. Pada pasien yang memiliki abses yang single pada lobus kanan dan respon terhadap
pemberian antibiotik selama rawatan membuat prognosis pasien dubia ad bonam. Diharapkan
pasien dapat melakukan kontrol ulang untuk dapat mengevaluasi gejala serta respon terhadap
pengobatan rawat jalan yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas, Nelly, Tendean. Waleleng, B, J. 2007. Abses hepar Pyogenik. Dalam Sudoyo, Aru,
W. Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. 2007. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 460-1.
2. Junita A, Widita, Soemohardjo S. Beberapa kasus abses hati amuba. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud. Denpasar. Diunduh dari : www.ejournal.unud.ac.id.
3. Sjamsuhidaja R & deJong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran. 2004.
4. Peralta, Ruben. Liver Abscess. Dominica:www.emedicine.medscape.com. 2008.
5. Kortz, Warren J. & Sabiston, David C. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.1994.
6. Nusi IA. Abses hati. Divisi Gastroentero-Hepatologi FK Unair. Surabaya.
7. Brailita, Daniel, Matei. 2008. Amebic Hepatic Abscesses. Divition of Infectious Diseases.
Mary Lanning Memorial Hospital. Updated : September 19th, 2008. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/183920
8. Gene D. Branum. George S. Tyson. Mary A. Branum. William C. Meyers. 2000. Hepatic
Abscess : Changes in Etiology, Diagnosis, and Management. Department of Surgery,
Duke
University
Medical
Center,
Durham,
North
Carolina.
Download
from:http://journal.uii.ac.id/index.php/media-informatika/article/viewFile /112/75.
9. Nickloes, Todd. A., 2009. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from:
Http://emedicine/193182.htm. Accessed on : november 1st, 2012.
10. Gultom IN. Hubungan beberapa parameter anemia dengan derajat keparahan sirosis
hepatis. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU. 2003.