Hukum Perikatan Kuliah 19 Desember 2014
Hukum Perikatan Kuliah 19 Desember 2014
, SpN
081378774488
081275614100
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir
dari suatu perjanjian dan Undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat
menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian
tersebut. Perikatan
adalah
terjemahan
dari
istilah
bahasa
Belanda
verbintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum
di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap
orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa
perbuatan.
Perikatan dalam pengertian luas
Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa,
wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan
melawan hukum yang merugikan orang lain.
Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena
lahirnya anak dan sebagainya. Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan
untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan
sebagainya. Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili
badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.
Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau
dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari
undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang
bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka
bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguhsungguh mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah mereka
berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.
Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang
dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan
seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan
dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau
perikatan murni.
Disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula
berbagai macam perikatan yaitu sebagai berikut :
1. Perikatan bersyarat. ( Voorwaardelijk )
Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa
yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara
menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu,
maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut.
Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut
hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang
apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu
kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian,
demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata.
Dengan demikian syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk
mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan itu terjadi.
2. Perikatan dengan ketetapan waktu. ( Tijdsbepaling )
Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak
menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya atau pun menentukan lama waktu berlakunya
suatu perjanjian atau perikatan.
Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang,
kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa
ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang.
Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih
sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang,
tidak dapat diminta kembali.
3. Perikatan mana suka (alternatif).
Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah
satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh
memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan
sebagian barang yang lainnya, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini
tidak secara tegas diberikan kepada berpiutang.
Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu
pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undangundang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam
masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas
konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang
berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian
disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya! Suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat
mengenai sesuatu hal.
Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah diperlukan sesuatu formalitas.
Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil".
Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian
diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau
dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang
demikian itu merupakan suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah
sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari
KUHPerdata,
yang
berbunyi
"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1.
2.
3.
4.
Pasal
1320
:
Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu
disamping kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap
perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai
kesepakatan
mengenai
hal-hal
yang
pokok
dari
perjanjian
itu.
Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata
menetapkan empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
Persetujuan dari pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai
pokok-pokok perjanjian. Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan
dengan tegas, bukan secara diam-diam, harus bebas dari pengaruh atau tekanan
seperti :
1.
2.
3.
Persetujuan dua pihak ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, dapat
dikatakan secara tegas-tegas dan dapat pula secara tidak tegas. Kecakapan dari
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330 KUHPerdata). Pasal
1330 KUHPerdata mengatur tentang siapa yang dianggap tidak cakap untuk
mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan
(onbekwaam heid) dan ketidakwenangan (onbevoegheid).
Ketidakcakapan terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan
ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian
dengan sempurna, misalnya anak-anak yang belum cukup umur, mereka yang
ditempatkan dibawah pengampuan. Sedangkan ketidak-wenangan terdapat bila
seseorang, walaupun pada dasarnya cakap untuk mengikatkan dirinya namun
tidak dapat atau tanpa kuasa dari pihak ketiga, tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Akibat ketidakwenangan oleh undangundang tidak diatur, hanya dilihat untuk setiap peristiwa, apakah akibatnya dan
harus diperhatikan maksudnya.
Suatu hal tertentu, Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang dapat
diperdagangkan. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material,
tetapi juga barang immaterial, misalnya perjanjian untuk memberikan les piano,
pemeriksaan oleh dokter dan sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurangkurangnya dapat ditentukan, jumlahnya bisa saja tidak pasti asal kemudian
dapat dipastikan, umpamanya menjual hasil panen diladang yang masih belum
bisa dipanen.
Kausa yang halal (Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata), dari pasal-pasal tersebut
ternyata ada perjanjian dengan sebab palsu atau tidak halal, perjanjian tanpa
sebab. Undang-undang tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud
dengan sebab (kausa) itu. Khusus dengan perantaraan pengertian kausa
diselidiki apakah tujuan pembuatan perjanjian apakah untuk itu? Apakah isi
perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum atau kesusilaan.
Sedangkan debitur yang melalaikan atau tidak memenuhi kewajibannya
dinamakan melakukan wanprestasi, sedangkan kreditur terbukti telah
melaksanakan prestasinya. Dalam hal ini debitur wajib mengganti kerugian.
Syarat-syarat penentuan kerugian :
1.
2.
3.
4.
Adanya somasi (teguran) terlebih dahulu dari pihak kreditur.
Macam-macam wanprestasi :
1.
2.
3.
4.
UNSUR-UNSUR PERIKATAN
Hubungan hokum
Maksudnya adalah bahwa hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat,
hukum melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pad apihak lain dan
apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hukum dapat
memaksakannya.
Harta kekayaan
Maksudnya adalah untuk menilai bahwa suatu hubungan hukum dibidang harta
kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini yang membedakannya dengan
hubungan hukum dibidang moral (dalam perkembangannya, ukuran penilaian
tersebut didasarkan pada rasa keadilan masyarakat).
Prestasi (pasal 1234 KUH Perdata), prestasi yaitu :
a. Memberikan sesuatu.
b. Berbuat sesuatu.
c. Tidak berbuat sesuatu.
PERJANJIAN
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang
lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Perikatan merupakan suatu yang sifatnya abstrak sedangkan perjanjian adalah
suatu yang bersifat kongkrit. Dikatakan demikian karena kita tidak dapat melihat
dengan pancaindra suatu perikatan sedangkan perjanjian dapat dilihat atau
dibaca suatu bentuk perjanjian ataupun didengar perkataan perkataannya yang
berupa janji.
Asas Perjanjian
Ada 7 jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus
diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat didalamnya.
a. Asas sistem terbukan hukum perjanjian
Hukum perjanjian yang diatur didalam buku III KUHP merupakan hukum yang
bersifat terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat
didalam buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap yang bersifat
melengkapi.
b. Asas Konsensualitas
Asas ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat
lahir sejak adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat
perjanjian.
c. Asas Personalitas
Asas ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada
umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya
sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk
kepentingan pihak lain.
d. Asas Itikad baik
Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan itikad baik.
Perjanjian itikad baik mempunyai 2 arti yaitu :
1. Perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan.
2. Perjanjian yang dibuat harus didasari oleh suasana batin yang memiliki
itikad baik.
e. Asas Pacta Sunt Servada
Asas ini tercantum didalam Pasal 1338 ayat 1 KUHP yang isinya Semua
Perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
yang membuatnya.
Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian,
karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal
memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam
pasal 1320 KUHP sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan Hukum
Perjanjian dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang-Undang bagi
para pihak yang membuat perjanjian.
f. Asas force majeur
Asas ini memberikan kebebasan bagi debitur dari segala kewajibannya untuk
membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab
yang memaksa.
g. Asas Exeptio non Adiempletie contractus
Asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan
alasan bahwa krediturpun telah melakukan suatu kelalaian.
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
a. Syarat Subjektif
Keadaan kesepakatan para pihak
Adanya kecakapan bagi para pihak
b. Syarat Objektif
Adanya objek yang jelas
Adanya sebab yang dihalalkan oleh hukum
Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam ilmu pengetahuan
Hukum Perdata perjanjian memiliki 14 jenis, diantaranya adalah:
1) Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
bagi kedua belah pihak.
2) Perjanjian Cuma-Cuma
Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat
dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri.
3) Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
4) Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri,
maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi
sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII
KUHPerdata.
5) Perjanjian tidak bernama (Onboemde Overeenkomst)
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam
KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak
terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang
mengadakannya.
6) Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban
(oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering, transfer).
7) Perjanjian Obligator
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban
diantara para pihak.
8) Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut
KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338).
9) Perjanjiaan Riil
Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan
perjanjian, yaitu pemindahan hak.
10) Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada(Pasal
1438 KUHPerdata).
11) Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah
yangberlaku di antara mereka.
12) Perjanjian Untung-untungan
Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untunguntungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik
bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu.
13) Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah,
dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan
bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama(co-ordinated).
14) Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsure
perjanjian di dalamnya.
Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh satu pihak yang membuat perjanjian
ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh satu pihak biasanya
terjadi karena: