Anda di halaman 1dari 4

Orang-Orang Mapur

Oleh Kapten L. J. Zelle


Sumber Data dari Arif Sudana dan diterjemahkan oleh Fatin Aprilia Rahayu

Mapur adalah sebuah kampung (desa) yang terletak di perbatasan utara distrik
Sungailiat dengan Belinyu, di pulau Bangka. Penduduk kampung Mapur bukan merupakan
orang asli pulau Bangka. Menurut legenda lama, mereka adalah orang-orang yang berasal
dari Cochin China, yang terdampar di pesisir Bangka, di muara Sungai Mapur. Tidak
diketahui secara pasti kapan kedatangan mereka di Mapur. Mereka yang terdampar tidak
memiliki cara untuk kembali ke Cochin China, kemudian menetep di dekat pesisir kampung
Mapur. Tidak disebutkan pula apakah mereka yang mendirikan kampung Mapur atau bukan,
dan apakah menikahi wanita pribumi dan memberikan keturunan orang Mapur pada saat ini.
Anggapan bahwa mereka menetap di dalam kampung Mapur mungkin tidak
sepenuhnya benar, karena pada saat itu di pulau Bangka tidak terdapat desa dalam arti
sesungguhnya. Setiap keluarga tinggal di dalam hutan, tinggal di ladang (sawah tanpa
irigasi), dan berganti wilayah tinggal setiap dua atau tiga tahun. Maka dari itu kita sangat sulit
untuk bertemu mereka secara langsung. Setelah perang Depati Amir pada tahun 1850,
penduduk dipaksa oleh pihak Belanda untuk keluar dari hutan dan ladang. Penduduk
dikumpulkan di kampung-kampung, di sepanjang jalan besar. Namun belum diketahui secara
jelas apakah orang Mapur juga mengalami hal yang sama. Alasan orang-orang Bangka lebih
memilih tinggal di ladang daripada berkumpul bersama masyarakat lain, karena mata
pencaharian dan sumber penghidupan utama berasal dari hasil berladang. Penyebab lain
adalah faktor trauma dan ketakutan akan bajak laut. Sampai dengan tahun 1866, hampir
setiap tahun satu armada bajak laut yang cukup besar datang dari kepulauan Sulu dan
Mindanao menuju pulau Bangka. Mereka menculik orang-orang dalam jumlah yang besar,
terutama para wanita dan anak perempuan, dan dijadikan sebagai budak. Berdasarkan situasi
dan kondisi yang dihadapi, penduduk memilih tinggal di dalam hutan karena lebih terlindungi
dari serangan dan gangguan bajak laut. Pada waktu itu, orang-orang Bangka belum memiliki
keberanian untuk melawan serangan bajak laut.
Orang Bangka asli mengkonsumsi beras (nasi) hitam atau merah, umbi-umbian dan
ikan. Daging yang dimakan daging rusa jantan, karena agama Islam yang dianut melarang
memakan babi yang banyak dipelihara dan dimilik orang-orang Cina. Sebaliknya dengan

orang Mapur, mereka memakan semua yang diperoleh, seperti babi hutan, ular, kodok,
termasuk buaya. Mereka memasak atau memanggang daging atau ikan, sama seperti
penduduk pribumi lainnya, dan makan sebanyak yang mereka mampu. Hampir seperti semua
penduduk kepulauan Melayu, orang Mapur memiliki kebiasaan yang boros, tidak membuat
perkiraan kebutuhan yang akan datang (kecuali padi yang ditanam); laut dan hutan
menyediakan mereka makanan, selalu ada ikan dan hewan buruan yang melimpah. Bahanbahan yang memabukkan dan bersifat stimulan hampir tidak mereka ketahui, kecuali
tembakau yang mereka hisap sebagai rokok dengan pipa kayu (bambu) atau dari logam yang
dibuat orang Cina. Opium, sangatlah mahal bagi masyarakat Bangka pada waktu itu,
terutama bagi orang Mapur.
Orang Mapur tidak memiliki mata pencaharian lain selain berburu, menangkap ikan,
dan menanam padi lading yang hanya bergantung pada hujan. Untuk mendirikan ladang,
mereka menebas semak belukar dan pohon-pohon yang tidak terlalu besar di bidang tanah
yang diinginkan dan dibiarkan mengering hingga beberapa bulan. Setelah dibakar beberapa
hari sebelum hujan pertama, mereka menabur benih padi di dalam abu yang didinginkan. Jika
hujan datang, Jika hujan datang, mereka mengklaim bahwa Allah, akan memberikan panen
padi yang berlimpah. Pemerintah Hindia Belanda telah mencoba memperkenalkan budaya
sawah di Bangka, tapi terjadi kesalahan karena tidak melarang pembukaan ladang secara
tegas. Usaha ini juga tidak berhasil, karena pertanian sawah membutuhkan dana yang cukup
besar. Untuk mengganti dana tersebut, petani harus membawa beras hasil panen dan
menjualnya dengan harga di bawah harga produksi, selama kurang lebih tiga tahun. Dalam
hal hewan peliharaan, orang Mapur memelihara ayam dan terkadang seekor anjing. Untuk
penangkapan ikan, mereka menggunakan tali kail dan jaring yang dirajut. Perburuan babi
hutan dilakukan di lubang-lubang tersembunyi dan tertutup, dan di dalamnya diletakkan
umpan. Rusa ditangkap dengan anyaman alang-alang. Sebagai senjata, mereka semua
memiliki lebih dari satu tombak yang ujungnya terbuat dari besi dan sebuah parang, sejenis
pedang yang pendek, yang dapat mereka gunakan sebagai senjata dan alat untuk memotong
kayu.
Pemukiman tempat tinggal berbentuk rumah gubuk panggung. Dibangun di atas
fondasi tiang pancang, satu meter atau lebih di atas tanah. Seluruh materialnya berasal dari
kayu panjang lurus yang ditebang di dalam hutan. Dindingnya terbuat dari kulit kayu, atap
rumah menggunakan atap daun nipa. Kursi berbentuk bale-bale, sejenis sofa yang terbuat
dari bambu, yang digunakan sebagai tempat duduk dan sebagai tempat tidur kecil. Bantal
yang digunakan terbuat dari daun-daun kering, jarang yang terbuat dari kapok (kapas), yang
2

pada saat ini tumbuh dengan banyak di Bangka. Beberapa perkakas menggunakan tembikar
Palembang, tidak bernilai artistik namun berkualitas baik. Mereka juga terkadang memiliki
gelas keramik Cina, namun vas untuk menampung air terbuat dari labu atau dari batok
kelapa. Seperti orang Bangka pada umumnya, mereka menyayangi anak-anak dan
memperlakukan nya dengan baik, begitu juga kepada istri-istri mereka. Mereka menghormati
orang-orang tua, hidup cukup baik dalam keluarga, mengurus dan memberi makan anakanak. Jika tidak terdapat anak perempuan yang siap menikah di desanya, orang Mapur sulit
menemukan teman hidup, bukan hanya karena mereka sangat miskin untuk membayar biaya
mas kawin, tapi karena mereka terhina dan dianggap kafir, yang memakan hewan yang
dilarang untuk dimakan. Terpaksa, jika ingin menikah, mereka menculik anak gadis dari
desa lain, yang biasanya tidak membawa konsekuensi yang fatal, karena orang Bangka sangat
pengecut untuk balas dendam atas kehormatannya, untuk melawan, atau mengambil kembali
anak gadisnya dari penculik.
Orang Mapur memiliki fisik yang kuat, bila dibandingkan dengan orang Bangka pada
umumnya. Para wanita khususnya yang membawa muatan yang lebih berat. Mereka pada
umumnya, sangat teliti dalam membawa tandu, karena mereka berjalan dengan langkah yang
meyakinkan dan jelas, dan mereka juga tidak mudah lelah. Satu-satunya cara mengangkut
yang digunakan adalah membawa muatan dengan kedua ujung sebilah bambu menggantung
di bahu. Orang-orang Mapur tidak memiliki banyak kemiripan dengan orang-orang Bangka,
mereka berpostur lebih besar, tampak lebih kuat, lebih bertenaga, dan terutama lebih berani.
Mereka juga memiliki sensitifitas organ penciuman, menciumi bau-bau yang memualkan
dengan ketenangan yang tinggi. Mereka tidak memakai satupun perhiasan. Pakaian yang
dikenakan laki-laki terbuat dari sepotong kecil kain katun atau berbahan kulit kayu,
berbentuk celmek, untuk menutupi daerah kemaluan. Sepotong kain yang berukuran lebih
besar dikenakan oleh wanita untuk mentupi beberapa bagian tubuh mereka. Terdapat
beberapa wanita yang memakai anting-anting, dan anak-anak yang menggunakan kalung
manik-manik besar atau kerang-kerangan. Tetapi tidak terdapat tato pada tubuh mereka.
Tidak satupun tarian, instrumen musik yang digunakan, pada saat itu mereka memiliki satu
jenis nyanyian monoton dan tidak enak didengar.
Bahasa mereka sama dengan pribumi lainnya di Bangka, yaitu bahasa Melayu kasar.
Namun mereka juga menggunakan kosakata Cochin dalam berbicara, seolah menjadi bukti
kebenaran legenda bahwa orang Mapur berasal dari wilayah Cochin China. Demikian juga
halnya dengan agama atau kepercayaan yang dianut. Kita tidak dapat mengatakan secara
langsung bahwa Orang Mapur acuh dalam urusan agama atau tidak memiliki agama,
3

walaupun mereka tidak memiliki pendeta/imam, agama, maupun kuil peribadatan. Mapur
memiliki bentuk (tata cara) ibadah tersendiri. Ibadah dilakukan dalam keadaan tidak sadar
(kerasukan/kesurupan). Orang Mapur mengubur orang yang telah mati tanpa upacara yang
besar dan mereka memiliki pemikiran yang pasti tentang kebaikan dan keburukan
berdasarkan keadaan sekitar. Mereka tidak melakukan pengorbanan atau upacara
persembahan. Orang Mapur bukan orang Muslim dan memakan babi, itulah alasan bahwa
secara umum mereka dianggap rendah dan dihina.
Perbudakan dihapuskan di Hindia Belanda, sejak 1 Januari 1860, maka tidak ada lagi
budak-budak di Bangka. Hubungan antara orang Mapur dengan perwakilan pemerintah
berjalan dengan mudah, mereka melakukan pekerjaan yang diperintahkan, membayar pajak,
tidak pernah memberi keluhan yang serius. Mereka mengabdikan sebagian besar waktunya
sebagai pembawa tandu. Karena jumlah mereka tidak melampaui beberapa ratus jiwa, mereka
saling mengetahui nama-nama mereka, dan juga tidak membutuhkan totem, maupun tanda
pengenal. Dengan segala keterbatasan pengetahuan mereka bergaul dan belajar memahami
nilai uang. Ada yang bisa menghitung hingga sepuluh dengan jari-jari, tapi untuk
menambahkan satu angka dan angka lainnya, serta menjumlahkannya, mereka masih
mengalami kesulitan.
Sangat sulit untuk berkomunikasi dan menggali informasi yang lebih detil tentang
mereka. Namun demikian, dari semua penduduk Melayu, orang Bangka lebih damai dan
orang Mapur hampir tidak suka berperang, meskipun mereka lebih berani.

Anda mungkin juga menyukai