Anda di halaman 1dari 14

PENATALAKSANAAN STATUS

EPILEPTIKUS
By. dr.Hendri
BAB I
PENDAHULUAN
Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang
diakui meningkat akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika
Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana
pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA
menghasilkan kematian.1 Begitu pula dalam praktek sehari-hari
Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara
cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun
akibat yang terjadi kemudian.1
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di
ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun
setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya.
Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.
Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin
sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan
pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit
berat, atau cenderung menjadi status epileptikus1
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara
intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi,
motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus
adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang
lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.1
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena
diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat

dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan


rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi
kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bu
kan.
Selanjutnya
melakukan
identifikasi
kemungkinan
penyebabnya
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun
yang lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana
terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan
kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak
sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan
sebagai status epileptikus.2
2.2. Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi
dengan angka kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status
epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus
merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami
epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam
memakan obat antikonvulsan.Mortalitas yang berhubungan dengan
aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang
berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status
epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan
menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada
neonatus, anak-anak dan usia tua.2
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status
Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada
usia tua Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya

penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada


Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani
dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
2.3. Etiologi
Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada
orang dewasa, penyebab utama adalah antiepileptikus potensi
rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular (22%), termasuk akut
atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus
adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis,
ensefalitis, dan abses otak), alkohol, penyakit metabolik, toksisitas
obat, dan tumor.2
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat,
karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status
epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan
menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial
onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori
utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah
konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan
status epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus
berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik,
absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana
atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus
umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi
(parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada
periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,
hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:4
1. Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada
kesadaran penuh.
a. Tonik klonik
b. Tonik

c. Klonik
d. Mioklonik
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan
generalized convulsive status epilepticus dengan atau tanpa
aktivitas motorik.
3. Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4. Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.
2.5. Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan
masih sangat sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut
adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi yang inefektif
pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas
reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik
utama yang berperan dalam kejang adalah glutamat. Faktor
faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan
menyebabkan terjadinya kejang.
Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah
GABA. Antagonis GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat
menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu, kejang yang
berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA
sehingga mudah menyebabkan kejang.5
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan
hormon dimana terdapat glutamat yang berlebihan yang akan
menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan akhirnya
menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat
disebabkan oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme
kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri menyebabkan
terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika

terdapat hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.5


Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0
30 menit) dan fase kedua (> 30 menit). Pada fase pertama,
mekanisme kompensasi masih baik dan menimbulkan pelepasan
adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah ke otak,
meningkatnya
metabolisme,
hipertensi,
hiperpireksia,
hiperventilasi, takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase kedua,
mekanisme kompensasi telah gagal mempertahankan sehingga
autoregulasi cerebral gagal dan menimbulkan odem otak, depresi
pernafasan, aritmia jantung, hipotensi, hipoglikemia, hiponatremia,
gagal ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi
menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi,
seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output,
peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,
peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan
penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan saraf
reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase
kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan
darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf
irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang
berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat),
perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang
irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus
selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk
memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima,
tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.5
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status
epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan
ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan
kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Mekanisme yang
tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan

melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor


GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang
reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan
kerusakan sel yang diperantarai kalsium.5

2.6. Manifestasi Klinis


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium
untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik
umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status
epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei
ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain
dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-

clonic Status Epileptikus)


Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang
didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang
cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum
tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan
frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase
tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan
yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti
oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan
tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia
dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus
yang tidak tertangani.

A. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic


Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik
umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada

periode kedua.
B. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.

A. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang
buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,
infeksi atau kondisi degeneratif.
B. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat
kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy
state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion

movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.


Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens
pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon
terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
C. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan
status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau
biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan
paranoia,delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif
(impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa
kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized
spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave
discharges dari status absens.
D. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu
jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan
kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian
march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia
yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.
E. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari


frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara
episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat
aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi,
tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini dapat
dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

BAB III
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur
diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat
pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status
epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus
Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam
(Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga
obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric
acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan
kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada
570 pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi

berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana


Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan


dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang
panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi
pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal,
konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan
menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18
sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan
infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang
berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia
jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol
dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan
jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk
mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove
syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk
mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih
dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 %
kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti,
dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau
hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan laintremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang

epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi


dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli
menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara
intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan
kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas
kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang
dengan dosis awal.

Protokol
Penatalaksanaan
Epileptikus

Status

Pada : awal menit


1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera
bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubu
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea
Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obatobatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa
Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya
hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4
sampai 8 mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau
Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi
berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika
kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara

intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam.


Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg
intravena dengan kecepatan 100 mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial),
kemudian bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring
EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan
infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah
kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis
0,75 sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atauBerikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam.
Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan
pada acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC
Hospital Bandung, 12 Februari 2007.
2.
Penatalaksanaan status epileptikus, Available at :
http://owthey.blogspot.com/ diakses 1 April 2011.
3. Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

4.

Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from:


http://emedicine.medscape.com/ diakses 3 April 2011

5. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R,


Whitehouse W. The treatment of convulsive status epilepticus in
children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
6. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus.
Pediatr Clin North Am 2001;48:683-94.

Beranda
Search...

Anda mungkin juga menyukai