Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Fraktur merupakan suatu keadaan disintegritas tulang yang sebagian
besar disebabkan oleh insiden kecelakaan, namun faktor lain seperti proses
degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur <45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau disebabkan oleh kendaraan
bermotor. Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada
laki-laki, berkaitan dengan peningkatan insiden osteoporosis yang disebabkan
oleh perubahan hormon saat menopause.
Penyembuhan fraktur dalam era ini harusnya tanpa masalah dan tanpa
adanya penurunan fungsi permanen, mengingat pengobatan-pengobatan dan
teknik-teknik operasi yang modern. Namun, bagaimanapun juga fraktur
berhubungan dengan sejumlah komplikasi. Komplikasi umum fraktur dapat
berupa tetanus, Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), emboli lemak,
DIC, crush syndrome, gas ganggren.
Risiko komplikasi bervariasi tergantung dari jenis fraktur, tempat fraktur,
kompleksitas, kualitas penanganan, faktor risiko spesifik pasien (umur,
komorbiditas) dan aktivitas setelah fraktur (pergerakan, immobilitas). Pengobatan
dan teknis operasi modern. Menurut penelitian Institut Kedokteran Garvan tahun
2000 di Australia, setiap tahun diperkirakan 20.000 wanita meninggal karena
komplikasi fraktur, terutama komplikasi dari fraktur tulang panggul.

BAB II
PEMBAHASAN
KOMPLIKASI UMUM TRAUMA
A. Tetanus
1. Definisi

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin


yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat.
2. Patofisiologi
Organisme tetanus hanya berkembang dalam jaringan mati.
Organisme ini menghasilkan eksotoksin yang menuju susunan saraf pusat
lewat darah dan saluran getah bening perineural dari daerah yang
terinfeksi. Toksin terikat dalam cornu anterior sehingga tidak dapat
dinetralkan oleh antitoksin.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja
pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a.Tobin

menghalangi

neuromuscular

transmission

dengan

cara

menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.


b.Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena
toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c.Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous
System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,
periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine
dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia
mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan
neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot
masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot
yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga
dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme
otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
3. Gejala klinis
Tetanus ditandai oleh kontraksi tonik kemudianklonik, terutama pda
bagian otot rahang dan muka (trismus dan risus sardonicus), otot dekat
luka itu sendiri, dan kemudian pada leher dan badan. Pada akhirnya
diafragma dan otot intercostalis dapat kejang dan pasien meninggal karena
asfiksia.
Karekteristik dari tetanus
Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 7
hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw)
karena spasme otot masetter.
Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
4. Pencegahan
Imunisasi aktif pada seluruh masyarakat dengan TT. Pada pasien yang
sudah diimunisasi, dosis booster toksoid diberikan betapapun ringannya
luka. Pada pasien yang belum diimunisasi, pembersihan luka yang cepat
dan menyeluruh disertai antibiotik mungkin memadai, tetapi jika luka
terkontaminasi, dan terutama jika operasi ditunda.

5. Penatalaksanaan
Tujuan

terapi

ini

berupa

mengeliminasi

kuman

tetani,

menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan


bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
a. Merawat

dan

membersihkan

luka

sebaik-baiknya,

berupa:

-membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan


nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut
dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
b. Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan
untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam
waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.
c. Obat relaksan otot dan sedasi yang kuat.
d. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita.
e. Oksigen, pernafasan buatan, intubasi trakea dan tracheostomi bila
pasein kesulitan bernapas.
f. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
g. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan
dapat diberikan personde atau parenteral.
B. Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
1. Definisi
ARDS adalah suatu keadaan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksemia
berat, komplains paru yang buruk dan infitrat difus pada pemeriksaan
radiology; dimana odem paru karena dekompensasio kordis dapat
4

disingkirkan (walaupun pada kenyataannya sangat sulit menyingkirkan


keadaan ini).
2. Patofisiologi
Sebagian dari etiologi ARDS tidak diketahui dengan jelas . Walaupun saat
ini beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli tetapi mekanisme yang
sesungguhnya masih belum jelas. Secara umum ada 2 mekanisme yang
mendasari kejadian ARDS yaitu stimuli langsung seperti inhalasi zat
beracun, aspirasi dari cairan lambung, dan trauma toraks. tenggelam, dan
infeksi paru difus seperti Pneumonitis Carinii. Mekanisme yang kedua ini
lebih sering dijumpai, tetapi meknismenya justru lebih sedikit diketahui
seperti pada adanya kerusakan yang sistemik seperti pada sepsis, trauma,
luka bakar, transfusi beragam, pemakaian cardiopulmonary bypass yang
berkepanjangan, pankreatitis dan peritonitis. Semua keadaan ini akan
menyebabkan pelepasan berbagai mediator seperti TNF , NO, dan PMN
yang akan merusak parenkim paru.

Gambar 1. Pathogenesis of alveolar damage in ARDS


3. Gejala klinis

Sekitar 36 jam setelah cedera dan biasanya pada periode syok


hipovolemik, pasien mengalami sesak ringan. bahkan sebelum ini, jika
dilakukan pengukuran analisis gas darah akan menunjukkan PO2
berkurang. Perubahan ini sering terjadi setelah fraktur tulang panjang dan
emboli lemak. Pada hari kedua atau ketiga gambaran klinis yang lebih
jelas akan nampak; pasien gelisah, agak sianosis dan menunjukkan tandatanda gangguan pernapasan. Hasil analisis gas darah abnormal dengan
PO2 seringkali <60 mmHg. Foto x-ray menunjukkan diffuse pulmonary
infiltrate. Pemeriksaan khusus akan menunjukkan penurunan kompliance
paru dan volume tidal, peningkatan shunt, peningkatan dead space dan
peningkatan tekanan arteri pulmonum. Prognosis ini biasanya buruk. Bila
tidak ditangani secara serius akan berakibat fatal yang dapat menyebabkan
multiple organ failure dan hipoksemia, yang mengakibatkan terjadianya
gagal jantung kemudian cardiac arrest.
4. Penatalaksanaan
Manajemen terpenting adalah penanganan hipoksia dan syok yang lebih
awal dan efektif. Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan
oksigenasi. Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakheal merupakan
terapi yang mendasar pada penderita ARDS. Tergantung tingkat
keparahannya, maka penderita dapat diberi non invasive ventilation seperti
CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation. Sedapat mungkin
hilangkan penyebab dengan cara misalnya drainase pus, antibiotika, fiksasi
bila ada fraktur tulang panjang.
C. Emboli Lemak
1. Definisi
Emboli lemak adalah adanya gumpalan lemak yang diameternya > 10 um
dalam sirkulasi, dan sedikitnya ada tanda-tanda histologis dari emboli
lemak pada paru-paru.
Emboli lemak biasanya terjadi pada sebagian orang dewasa setelah
mengalami fraktur tertutup pada tulang panjang. Sumber emboli lemak
kemungkinan adalah sumsum tulang, dan keadaan ini sering ditemukan
pada pasien dengan fraktur multiple yang tertutup.

2. Patofisiologi
Emboli lemak lebih sering menyerang kapiler dan pembuluh darah vena,
sehingga paru merupakan organ yang paling sering dipengaruhi. Namun,
globuli lemak dapat mencapai sirkulasi sistemik dan juga berfek pada
jantung, otak, kulit, dan retina. Manifestasi emboli lemak sangat bervariasi
sehingga patofisiologi yang tepat masih merupakan kontroversi. Sampai
saat ini belum dapat dimengerti bagaimana beberapa pasien dapat
mengalami emboli lemak sedangkan yang lain tidak. Gejalanya bisa terjadi
dalam 12 jam sampai 72 jam, namun dapat terjadi pada hari ke-6 sampai
ke-10. Tiga teori mayor sebab terjadinya emboli lemak adalah:
a.
Mechanical theory
Jika emboli lemak cukup besar untuk menyumbat 80% pulmonary
capillary meshwork,gagal jantung kanan akut dapat terjadi. Globuli
lemak pada paru meningkatkan tekanan perfusi, pembuluh darah paru
menjadi lebih bengkak dan paru menjadi kaku, sehingga jantung kanan
b.

harus bekerja lebih keras.


Chemical theory
Paru memberi respon terhadap emboli lemak dengan melepaskan
lipase, yang menghidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas dan
gliserol. Asam lemak bebas akan meningkatkan permeabilitas kapiler,

destruksi arsitektur alveolar, dan merusak surfaktan.


c.
Mechanical and biochemical theories
Gejala awal diakibatkan oleh globuli lemak dan gejala sisanya
diakibatkan oleh reaksi biokimia.
3. Gejala klinis
pasien yang mengalami emboli lemak biasanya orang dewasa muda
dengan fraktur tungkai bawah. Tanda-tanda peringatan dini (dalam 72 jam
setelah cidera) adalah sedikit kenaikan suhu dan denyut nadi. Pada kasus
yang lebih berat terdapat sesak napas dan sedikit kekacauan mental atau
kegelisahan, petekie harus dicari pada bagian depan dan belakang dada
dan pada lipatan konjungtiva. Pada kasus yang paling berat terdapat
gangguan pernapasan yang jelas dan koma, sebagian akibat hipoksia dan
sebagian akibat emboli otak. Tanda-tanda pada stadium ini dapat berupa
sindrom gangguan pernapasan pada orang dewasa. Emboli lemak mungkin
merupakan salah satu predisposisi utama terjadinya ARDS. Faktor lain

yang penting adalah hipovolemia, penggantian cairan yang tidak tepat da


sepsis.
4. Penatalaksanaan
Pada kasus ringan, tidak perlu terapi tetapi perlu dilakukan pemantauan
yang tepat pada PO2 darah dan keseimbangan cairan. Jika terdapat tandatanda hipoksia, oksigen harus diberikan. Pasien dengan gangguan
pernapasan berat membutuhkan perawatan intensif dengan sedasi,
ventilator, keteterisasi Swan-Ganz untuk memantau fungsi jantung.
Keseimbangan cairan harus dipertahankan dan dianjurkan melakukan
upaya suportif lain, contohnya heparin untuk melawan tromboemboli,
steroid untukmembantu mengurangi edem pulmo, atau aprotinin (Trasylol)
untuk mencegah agregasi kilomikron.
Pada kasus emboli lemak berat, membutuhkan oksigen dalam dosis yang
tinggi yang diberikan segera setelah cedera dan stabilisasi yang cepat pada
fraktur tulang panjang. fiksasi fraktur juga memungkinkan pasien untuk
dirawat dalam posisi duduk, sehingga dapat mengoptimalkan ventilasi dan
perfusi paru.
Dalam kasus ringan, pengobatan suportif dengan tingginya tegangan
inspirasi oksigen jika perlu ditambah dengan ventilasi mekanis.
D. Crush Syndrome
1. Definisi
Crush Injury yang terlokalisir dapat menyebabkan manifestasi sistemik.
Crush Injury didefinisikan sebagai kompresi ekstremitas atau bagian lain
dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan / atau gangguan
neurologis di daerah tubuh yang terkena.
2. Patofisiologi
Kompresi otot menyebabkan stres mekanik yang membuka kanal ion
yang diaktivasi oleh regangan pada memban sel. Hal ini menyebabkan
influx cairan dan elektrolit termasuk Na+ dan Ca2+. Sel membengkak dan
konsentrasi Ca2+ intraselular meningkat sehingga menyebabkan proses
patologi dimulai (Gambar 2).

Gambar 2: Patogenesis Rhabdomiolisis


Peningkatan dalam aktivitas enzim cytoplasmic neutral proteases
menyebabkan degradasi protein myofibrillar; enzim phosphorylase-Ca2+
dependent diaktifkan, dan terjadi degradasi membran sel. Selain itu,
nucleases diaktifkan, dan produksi ATP di mitokondria berkurang karena
adanya hambatan respirasi aerob selular.
Iskemia otot yang disebabkan oleh kompresi berkepanjangan atau
hasil cedera vaskular menyebabkan metabolisme anaerobik dan penurunan
lebih lanjut produksi ATP. Hal ini mengurangi aktivitas Na / K ATPase,
yang mengarah ke akumulasi cairan dan ion Ca2+ intraselular. Selain itu
peningkatan konsentrasi kemotraktans dari neutrofil juga terjadi pada
jaringan post-ischemic yang menyebabkan peningkatan netropil teraktivasi
bila terjadi reperfusi. Netropil teraktivasi ini akan mengahncurkan jaringan
dengan melepaskan enzim-enzim proteoliktik; menghasilkan radikal
bebas; memproduksi asam hipoklorit serta meningkatkan resistensi
vaskular.
Radikal bebas yang dilepaskan netropil mendegradasi membran sel
yang dikenal dengan lipid peroksidasi. Degradasi membran sel
menyebabkan permeabilitas membran berkurang dan terjadinya influx
cairan dan ion Na+ berlebihan dan berlanjut menjadi edema intra selualar
dan lisis sel. Sel otot yang lisis melepas berbagai konten intra selular ke
sirkulasi. Efek tersebut terjadi pada iskemia otot lebih dari tiga jam.
Pada kelompok otot tertentu, tekanan intracompartmental naik
dengan cepat. Ketika tekanan ini melebihi tekanan arteriol-perfusi,
tamponade otot dan kerusakan myoneuronal terjadi, menghasilkan sindrom
9

kompartemen. Tanda dan gejala sindrom kompartemen termasuk tegang,


otot kompartemen bengkak, nyeri dengan peregangan pasif, parestesia atau
anestesi, kelemahan atau kelumpuhan ekstremitas yang terkena, dan pada
tahap akhir, denyut nadi perifer berkurang.
Manifestasi sistemik rhabdomyolysis, yang disebabkan oleh
hipovolemia dan paparan toksin, adalah komponen dari crush syndrome.
Hipovolemia adalah manifestasi pertama yang tersering dari crush
syndrome. Pada tahun 1931, Blalock mampu menunjukkan bahwa cairan
plasma dalam jumlah besar terakumulasi dalam ekstremitas, menurunkan
volume intravaskular dan menyebabkan syok. Substansi sel otot yang
dilepaskan dari sel otot yang terkena setelah reperfusi dapat menyebabkan
efek sistemik dan mempengaruhi organ-organ vital.
Tabel 1. Konten intraselular yang dilepaskan saat rhabdomyolisis dan efeknya
Agen
Potassium

Efek
Hiperkalemia

dan

kardiotoksik,

disebabkan

karena

hipovolemi dan hipokalsemia


Fosfat

Hiperfosfatemia,

memperburuk

hipokalsemia

dan

menyebabkan kasifikasi metastatic


Asam Organik

Asidosis metabolik dan aciduria

Mioglobin

Mioglobinuria dan nefrotoksik

Creatin Kinase

Peningkatan kreatin kinase serum

Tromboplastin
Disseminated intravacular coagulation
Sebanyak 4%-33% pasien dengan rhabdomyolysis akan berujung
pada ARF/ Acute Renal Failure dengan tingkat kematian terkait dari 3%
sampai 50%. Ada tiga mekanisme utama rhabdomyolysis dapat
menyebabkan gagal ginjal : menurunkan perfusi ginjal, pembentukan
kristal dengan obstruksi tubular, dan efek langsung dari toksik mioglobin
pada tubulus ginjal.

10

3. Gejala

klinis

Beberapa

atau semua hal

berikut

mungkin menjadi

tanda dan gejala crush injury:

Kulit cedera - mungkin halus.


Pembengkakan - biasanya ditemukan terlambat.
Kelumpuhan menjadi diagnosis banding untuk cedera spinal
Parestesia, mati rasa - dapat menutupi tingkat kerusakan.
Nyeri - sering menjadi parah setelah dibebaskan.
Pulsasi pulsasi arteri distal mungkin atau tidak mungkin ada.
Myoglobinuria - urin mungkin menjadi merah gelap atau coklat,

menunjukkan adanya mioglobin.


Hiperkalemia- ditandai dengan timbulnya disritmia jantung
Sindrom kompartemen
Tanda dan gejala yang berhubungan dengan ini meliputi:
Parah nyeri pada ekstremitas yang terlibat.
Nyeri pada pasif peregangan otot-otot yang terlibat.
Penurunan sensasi di cabang-cabang saraf perifer terlibat.
Peningkatan intracompartmental tekanan pada manometry langsung.
Kebocoran

intravaskular

ke

membran

sel

terakumulasi

dan
dalam

kapiler

menyebabkan

jaringan

terluka.

cairan

Hal

ini

menyebabkan hipovolemia signifikan dan akhirnya syok hipovolemik.


Pelepasan mendadak dari ekstremitas yang terhimpit dapat
menyebabkan sindrom

reperfusi- hipovolemia akut dan kelainan

11

metabolik . Kondisi ini dapat menyebabkan aritmia jantung yang


mematikan. Selanjutnya, pelepasan tiba-tiba racun dari otot nekrotik ke
dalam sistem peredaran darah menyebabkan myoglobinuria, yang
menyebabkan gagal ginjal akut jika tidak diobati.

4. Penatalaksanaan

Algoritma tatalaksana Crush Syndrome dan pencegahan gagal ginjal

12

E. Disseminated Intravascular Coagulation


1. Definisi
DIC adalah kelainan koagulasi yang disebabkan oleh defisiensi faktor koagulasi
dan trombosit akibat konsumsi yang meningkat.

2. Patofisiologi

3. Gejala klinis
Biasanya tanda dan gejala mikrovaskular trombosis terjadi setelah periode
kehilangan darah berat, transfusi, dan kadang sepsis, berupa pucat,
bingung, disfungsi neurologis, kelainan kulit, oliguri dan gagal ginjal.
Abnormalitas hemostasis menyebabkan perdarahan hebat saat operasi,
perdarahan pada luka, perdarahan GIT, dan hematuria. Diagnosis
ditegakkan dengan adanya penurunan Hb, pemanjangan PT dan APTT,
trombositopeni,

hipofibrinogen,

dan

peningkatan

level

degredasi

fibrinogen.
4. Penatalaksanaan
a. Langkah awal adalah mengobati penyakit penyebabnya
b. Strategi pengobatan tambahan

Mencegah syok hipovolemik


Tranfusi platelet dan komponen plasma
Diindikasikan pada pasien yang mengalami perdarahan dan yang
membutuhkan prosedur tindakan invasive atau pada yang mengalami
komplikasi perdarahan. Transfusi platelet dapat diberikan pada
pasien yang mengalami thrombositopenia berat khususnya pada
pasien yang mengalami perdarahan atau resiko perdarahan
13

Pemberian factor koagulasi konsentrat


Ulangi pemeriksaan PT,aPTT, jika terjadi defisit vik K, maka
diberikan Vit K

c. Therapi antikoagulan

Pemberian heparin

d. Konsul hematoligis
F. Gas Gangren
1. Definisi
Gas gangren adalah infeksi jaringan subkutan dan otot yang disebabkan
toksin yang dihasilkan oleh spesies Clostridium terutama Clostridium
perfringens (C. Welchii).
2. Patofisiologi
Infeksi gas gangren terjadi karena masuknya spora Clostridium
kedalam luka.

Luka

pada jaringan akan mengganggu suplai darah

sehingga akan menyebabkan iskemia dan penurunan potensial reaksi


oksidasi/ reduksi di jaringan. Semua ini akan memudahkan spora dari
Clostridium untuk berkembang.
Sewaktu Clostridium bermultiplikasi bermacam macam eksotoksin
dilepaskan ke jaringan sekitarnya sehingga infeksi akan menjalar

ke

jaringan subkutan yang akan menyebabkan selulitis dan jaringan otot


sehingga terjadi nekrosis otot yang progresif. Fermentasi anaerob didalam
otot yang nekrosis akan menyebabkan terbentuknya gas gangren.
3. Gejala klinis
Gejala klinis timbul dalam 24 jam setelah cedera. Pasien mengeluh
nyeri hebat dan terdapat pembengkakan di sekitar luka dan sekret
kecoklatan dapat ditemukan.

14

Pembentukan gas biasanya tidak sangat nyata. Kadang tidak ada


demam tetapi denyut nadi meningkat dan bau yang khas. Dengan cepat
pasien mengalami toksemia dan dapat terjadi koma dan kematian.
Gas gangren, yang ditandai dengan mionekrosis perlu dibedakan dari
selulitis anaerob, dimana banyak pemebntukan gas yang dangkal tetapi
toksemia biasanya ringan. Kegagalan dalam mengenali perbedaan itu
dapat mengakibatkan amputasi yang tidak perlu untuk selulitis yang tak
mematikan.
4. Penatalaksanaan
Dalam

penatalaksanaan

gas

gangren

diperlukan

diagnosis

dan

penatalaksanaan cepat dan agresif.

Pemberian antibiotik

Terapi Hiperbarik Oksigen

Pemberian vaksin dan antitoksin

Tindakan debrideman

G. Kegagalan Multisistem Organ


1. Definisi
Kegagalan multisistem organ didefinisikan sebagai disfungsi progresif dan
kadang-kadang berurutan dari sistem fisiologis yang terjadi akibat trauma,
pembedahan atau infeksi. Sekali sistem mulai gagal, pengobatan menjadi
tidak efektif dan kematian menjadi semakin mungkin terjadi.
2. Patofisiologi
15

Trauma sel langsung (dari multiple injury) atau iskemia sel (dari
syok hipovolemik atau hipoksia berkepanjangan) memicu respon inflamasi
yang

secara

umum

berpotensi

membantu

memulainya

proses

penyembuhan dan memperkuat respon imun. Pada kegagalan multisistem


organ, respon inflamasi menjadi tidak terkendali khususnya sitokin.
Paru biasanya organ pertama yang mengalami kegagalan, diikuti
oleh hepar, mukosa usus dan ginjal. Selanjutnya, sistem saraf pusat dan
sistem

kekebalan

tubuh

semua

mulai

gagal.

Pasien

menjadi

hipermetabolik, penyimpanan protein dalam otot rangka yang digunakan


sepenuhnya untuk membentuk energi. Hal ini mengurangi kapasitas untuk
menyembuhkan jaringan dan melawan infeksi. Pasien biasanya muncul
septikemia, baik sebagai penyebab atau akibat dari kegagalan multisistem
organ.
3. Penatalaksanaan
Poin terpenting manejemen pada multisystem organ failure adalah
pencegahan, yang mencakup:
Stabilisasi fraktur
Penanganan syok
Pencegahan hipoksia
Eksisi jaringan yang kotor dan mati
Diagnosis dini dan penanganan infeksi
Diit

BAB III
KESIMPULAN
1. Komplikasi umum fraktur terdiri dari tetanus, ARDS, emboli lemak, crush
syndrome, DIC, gas gangren, dan kegagalan multisistem organ.
2. Monitoring umum untuk komplikasi umum fraktur meliputi vital sign dan
gejala 5 P: pain, pallor, parasthesias, pain with passive movement, dan
pulselessness.
3. Penanganan komplikasi umum fraktur yang tidak adekuat dapat menyebabkan
kematian.

16

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. G. dan Solomon, Louis. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Apley. Jakarta: Widya Medika.
Emmy, Hermiyanti. 2015. Basic and Advances in The Management of Acute
Respiratory Syndrome (ARDS). Bandung: FK UNPAD
George J, George R, Dixit R, Gupta RC, Gupta N. 2013. Fat Embolism Syndrome.
Lung India. Vol. 30:47-53.
Gupta A, Reilly CS. 2007. Fat Embolism. Continuing Education in Anasthesia,
Critical Care, and Pain. Vol 7. No 5. Pp 148-151.
Ho H. 2015. Gas gangrene. Diakses dari http://emedicine.medscape.com
Kiking, Ritarwan. 2015. Tetanus. Medan: FK USU
Revis
DR.
2015.
Clostridial
Gas
Gangrene.

Diakses

dari

http://emedicine.medscape.com
Sande M A. 1998. Gas gangrene. In: Internal Medicine. Ed. Stein JH et al.5 th
edition. Mosby Inc, Missouri
Shaikh N. 2009. Emergency Management of Fat Embolism Syndrome. J Emerg
Trauma Shock. Vol. 2(1):29-33.
Sonavane A. 2008. Gas gangrene at tertiary care centre. Bombay hospital
journals. Vol. 50:10-13

17

18

Anda mungkin juga menyukai